Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

DERMATITIS KONTAK IRITAN DAN ALERGI

Pembimbing:

dr. Prima Kartika Esti, Sp.KK, M.Epid

Disusun Oleh:

Dina Malinda

031032010035

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


RSK DR. SITANALA TANGERANG
PERIODE 31 JANUARI – 4 MARET 2022
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
LEMBAR PENGESAHAN

Referat yang berjudul


Dermatitis Kontak Iritan dan Alergen

Yang disusun oleh:

Dina Malinda

031032010035

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing:


dr. Prima Kartika Esti, Sp.KK, M.Epid

Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan

Kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin

Periode 31 Januari – 4 Maret 2022

Tangerang, 1 Maret 2022


Pembimbing,

dr. Prima Kartika Esti, Sp.KK, M.Epid

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena atas berkah
dan nikmat- Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan referat yang berjudul
“Dermatitis Kontak Iritan dan Alergi”
Referat ini dapat diselesaikan juga berkat dukungan dan bantuan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, kami penulis tidak lupa mengucapkan terima
kasih kepada yang terhormat dr. Prima Kartika Esti, Sp.KK, M.Epid dan dr. Eka
Komarasari, Sp.KK yang telah meluangkan waktunya selama penulis menempuh
kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin di RSK dr.
Sitanala Tangerang.
Penulisan referat ini merupakan salah satu persyaratan untuk memenuhi
tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Pendidikan
Dokter Universitas Trisakti di RSK dr. Sitanala Tangerang. Penulis dalam
menyusun dan menulis referat ini walaupun telah ditulis berdasarkan berbagai
sumber namun tetap belum sempurna, sehingga penulis terbuka akan masukan
berupa kritik maupun saran yang membangun demi penulisan referat di masa
yang akan datang.
Penulis mohon maaf jika ada kesalahan dalam penulisan istilah, nama dan
tempat yang luput dari pengetahuan penulis, penulis berharap bahwa
pengetahuan atau wawasan dalam laporan kasus yang berujudul “Dermatitis
Kontak Iritan dan Alergi” ini dapat berguna bagi yang membaca, akhir kata
penulis ucapkan terima kasih.

Tangerang, 1 Maret 2022

Dina Malinda

3
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN.............................................................................. 2
KATA PENGANTAR....................................................................................... 3
DAFTAR ISI ..................................................................................................... 4
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………..…... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 6
2.1. Dermatitis kontak
………………………………………………….… 6
2.2. Klasifikasi dermatitis kontak ……..……………………………..
….. 6
2.2.1. Dermatitis kontak iritan (DKI) ………….…………...…… 6
2.2.2. Dermatitis kontak alergi (DKA) …….……………….….... 12
BAB III KESIMPULAN ................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................
21
BAB I
PENDAHULUAN

Dermatitis kontak ialah dermatitis yang disebabkan oleh bahan/substansi


yang menempel pada kulit. Dikenal dua jenis dermatitis kontak yaitu dermatitis
kontak iritan yaitu perubahan fisik dan kimia non-imunologis pada epidermis dan
dermatitis kontak alergik merupakan reaksi hipersensitivitas yang tertunda. Dapat
bersifat akut maupun kronik.(1,2) Dermatitis kontak merupakan suatu respon
intoleransi inflamasi yang ditandai dengan eritema, lepuh, eksudasi, papula dan
pengelupasan yang berturut-turut dan terus menerus.(3) Angka kejadian dermatitis
kontak di Indonesia sangat bervariasi dan paling banyak diderita oleh pekerja.
Kasus dermatitis pada anak-anak 20% disebabkan oleh dermatitis kontak alergi.
Pada studi epidemiologi penyakit kulit pada pekerja di Singapura memperlihatkan
bahwa 97% dari 389 kasus adalah dermatitis kontak, dimana 66,3 % diantaranya
adalah DKI dan 33,7% adalah DKA.(4) Untuk mendiagnosis dermatitis kontak
didasari dengan hasil anamnesis yang cermat dan pemeriksaan klinis yang teliti.2
Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat lokasi dan pola kelainan
kulit sering kali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya dan dapat untuk
menentukan penatalaksanaannya.(5)

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Dermatitis kontak


Dermatitis ialah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respons
terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, menyebabkan
kelainan polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama, likenifikasi) dan
keluhan gatal. Tanda polimorfik tidak selalu bersamaan, bahkan mungkin
hanya satu jenis misalnya hanya berupa papula (oligomorfik). Dermatitis
cenderung residif dan menjadi kronik.
Dermatitis kontak ialah dermatitis yang disebabkan oleh bahan/substansi
yang menempel pada kulit. Dapat bersifat akut maupun kronik.
2.2. Klasifikasi dermatitis kontak
2.2.1. Dermatitis Kontak Iritan (DKI)
a. Definisi
Dermatitis kontak iritan (DKI) merupakan suatu reaksi
peradangan kulit non-imunologik, yaitu kerusakan kulit terjadi
langsung tanpa didahului proses pengenalan/sensitisasi, akibat
respons terhadap pajanan bahan iritan, fisik, atau biologis yang
kontak pada kulit.(6)
b. Epidemiologi
Dermatitis kontak iritan dapat dialami oleh semua orang
dari berbagai golongan umur, ras, dan jenis kelamin. Jumlah orang
yang mengalami DKI lebih banyak yang berhubungan dengan
pekerjaan (DKI akibat kerja). DKI lebih sering terjadi pada wanita,
terkait dengan peningkatan pajanan pekerjaan dan rumah tangga.
(1,7)

c. Etiologi

6
DKI adalah penyakit multifaktor yang kompleks, paling
sering menyerang tangan akibat paparan kulit dengan bahan yang
bersifat iritan (misal bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas,
asam, alkali, dan serbuk kayu), dipengaruhi oleh faktor intrinsik
seperti latar belakan genetik, bersama dengan faktor ekstrinsik
seperti sifat iritan dan lingkungan.(7)
d. Patogenesis
Kelainan kulit oleh bahan iritan terjadi akibat kerusakan sel
secara kimiawi atau fisis. Bahan iritan merusak lapisan tanduk,
denaturasi keratin, menyingkirkan lemak lapisan tanduk, dan
mengubah daya ikat kulit terhadap air.
Kebanyakan bahan iritan (toksin) merusak membran lemak
(lipid membrane), keratinosit, namun sebagian dapat menembus
membran sel dan merusak lisosom, mitokondria, atau komponen
inti. Kerusakan membran mengaktifkan fosfolipase dan
melepaskan asam arakidonat (AA), diasilgliserida (DAG),
platelet activating factor (PAF), dan inositida (IP3). AA diubah
menjadi prostaglandin (PG) dan leukotrien (LT). PG dan LT
menginduksi vasodilatasi, dan meningkatkan permeabilitas
vaskular sehingga mempermudah transudasi pengeluaran
komplemen dan kinin. PG dan LT juga bertindak sebagai
kemoatraktan kuat untuk limfosit dan neutrofil, serta mengaktifasi
sel mas untuk melepaskan histamin, LT dan PG lain dan PAF,
sehingga terjadi perubahan vaskular.
DAG dan second messengers lain menstimulasi ekspresi
gen dan sintesis protein, misalnya interleukin-1 (IL-1) dan
granulocyte macrophage colony stimulating factor (GMCSF). IL-
1 mengaktifkan T-helper cell mengeluarkan IL-2 dan
mengekspresi reseptor IL-2, yang mengakibatkan stimulasi
autokrin dan proliferasi sel tersebut.

7
Pada kontak dengan iritan, keratinosit juga melepaskan
TNF𝜶, suatu sitokin proinflamasi yang dapat mengaktifasi sel T,
makrofag dan granulosit, menginduksi ekspresi molekul adesi sel
dan pelepasan sitokin.
Rentetan kejadian tersebut mengakibatkan gejala
peradangan klasik di tempat terjadinya kontak dengan kelainan
berupa eritema, edema, panas, nyeri, bila iritan kuat. Bahan iritan
lemah akan mengakibatkan kelainan kulit setelah kontak berulang
kali, yang dimulai dengan kerusakan stratum korneum oleh
karena delipidasi menyebabkan desikasi sehingga kulit
kehilangan fungsi sawarnya, Hal tersebut akan mempermudah
kerusakan sel di lapisan kulit yang lebih dalam.(1)
e. Gejala klinis
Kelainan kulit yang terjadi sangat beragam, bergantung
pada sifat iritan. Iritan kuat memberi gejala akut, sedangkan iritan
lemah memberi gejala kronis. Selain itu, banyak faktor yang
mempengaruhi sebagaimana yang telah disebutkan, yaitu faktor
individu (misal ras, usia, lokasi, atopi, penyakit kulit lain) dan
faktor lingkungan (misal suhu, kelembaban udara, oklusi.
Tanda-tanda klinis pertama DKI adalah kulit kering dan
sedikit bersisik, dengan peningkatan kemerahan dan likenifikasi
setelah paparan iritan yang berkepanjangan atau berulang.
Mungkin diikuti pembentukan fisura, juga dikenal sebagai
rhagades. Di area tangan yang sering terkena adalah punggung
tangan dan jari, serta bagian lengan bawah yang terbuka, telapak
tangan mungkin juga terlibat selama perjalanan penyakit. Lesi
eksim umumnya tetap terbatas pada tempat paparan, dan
penyebaran sekunder ke daerah lain biasanya tidak terjadi.(1,7)
f. Klasifikasi

8
Berdasarkan penyebab dan pengaruh berbagai faktor tersebut,
ada yang mengklasifikasikan DKI menjadi sepuluh jenis, yaitu:
(1,8,9,10)

 DKI akut  penyebab DKI akut adalah iritan kuat, misalnya


asam sulfat dan asam hidroklorid atau basa kuat (natrium dan
kalium hidroksida). Intensitas reaksi sebanding dengan
konsentrasi dan lama kontak, serta reaksi terbatas hanya pada
tempat kontak. Kulit terasa pedih, panas, rasa terbakar,
kelainan yang terlihat berupa eritema edema, bula, mungkin
nekrosis. Tepi kelainan berbatas tegas, dan pada umumnya
asimetris. Luka bakar bahan kimia juga termasuk DKI akut.
 DKI lambat akut (acute delayed irritancy)  gambaran
klinis dan gejala sama dengan DKI akut, namun baru terjadi 8
sampai 24 jam setelah kontak dengan bahan iritan. Bahan
yang dapat menyebabkan contohnya podofilin, antralin,
tretinoin, etilen oksida, benzalkonium klorida dan asam
hidrofluorat.
 Reaksi iritan  dermatitis kontak iritan subklinis pada
seseorang yang terpajan dengan pekerjaan basah dalam
beberapa bulan pertama, misalnya penata rambut dan pekerja
logam. Kelainan kulit bersifat monomorf dapat berupa
skuama, eritema, vesikel, pustul dan erosi. Dapat sembuh
sendiri, atau berlanjut menimbulkan penebalan kulit (skin
hardening) dan menjadi DKI kumulatif.
 DKI kronik kumulatif  paling sering terjadi.
Penyebabnya ialah kontak berulang dengan iritan lemah
(misal deterjen, pelarut, sabun, tanah, bahkan juga air).
Kelainan baru terlihat nyata setelah kontak berlangsung
beberapa minggu atau bulan, bahkan bertahun-tahun.
Gejala klasik berupa kulit kering, disertai eritema, skuama
yang akan menjadi tebal (hyperkeratosis) dengan

9
likenifikasi, yang difus. Bila kontak terus menerus kulit dapat
retak seperti luka iris (fisura).
 Reaksi traumatik  mengikuti trauma kulit akut, seperti
dermatitis akut atau luka bakar. Gejala klinis menyerupai
dermatitis numularis, penyembuhan berlangsung lambat,
paling cepat 6 minggu. Lokasi tersering di tangan.
 Exsiccation eczematid (asteatotic eczema)  pada pasien
usia lanjut. Ditandai dengan kulit kering, pecah-pecah, dan
bersisik yang biasanya meradang. Dapat menjadi lebih parah,
kulit pecah-pecah dan menyebabkan retakan (fisura).
 Reaksi pustular dan akneformis  sekelompok kelainan
yang ditandai dengan papul dan pustula yang menyerupai
akne vulgaris. Memiliki onset akut dan dapat memengaruhi
semua kelompok umur. Dapat diakibatkan oleh logam, ter,
minyak, zat terklorinasi, kosmetik. Lesi yang khas dapat
berupa nodul, papula, pustular atau kista.
 Iritasi non-eritematosa  merupakan bentuk subklinis
DKI, yang ditandai dengan perubahan fungsi sawar (stratum
korneum) tanpa disertai kelainan klinis. Penyebabnya adalah
produk surfaktan yang tinggi.
 Dermatitis karena friksi  terbatas pada lokasi trauma
geseran, dan sering muncul psoriasiform.
 Iritasi subyektif  disebut juga DKI sensori, karena
kelainan kulit tidak terlihat, namun pasien merasa
ketidaknyamanan pada sensorinya seperti tersengat (pedih)
atau terbakar (panas) setelah berkontak dengan bahan kimia
tertentu, misalnya asam laktat dan propilen glikol.
g. Diagnosis
Diagnosis didasarkan atas anamnesis yang cermat dan
pengamatan gambaran klinis.(6)
 Klinis :

10
o terdapat riwayat pajanan dan hubungan temporal
dengan bahan iritan.
o Tangan adalah lokasi tersering, diikuti wajah, dan
kaki
o Gejala subyektif berupa rasa gatal, terbakar/nyeri
o Sajian klinis bergantung pada jenis iritan dan pola
pajanan
o Biasanya disertai kulit kering atau gangguan sawar
kulit.
o Bila pajanan dihentikan maka lesi membaik
o Seringkali berhubungan dengan
pekerjaan/likungan pekerjaan.
 Pemeriksaan penunjang :
o Uji tempel bila tidak dapat dibedakan dengan
dermatitis kontak alergi
o Open test
h. Tatalaksana(1,6,11)
 Non medikamentosa
o Identifikasi penghindaran terhadap bahan iritan
tersangka.
o Anjuran penggunaan alat pelindung diri (APD),
misalnya sarung tangan, apron, sepatu bot. pada
beberapa kondisi oklusif akibat penggunaan sarung
tangan terlalu lama dapat memperberat gangguan
sawar kulit
o Menyingkirkan faktor yang memberat
o Edukasi mengenai prognosis, informasi mengenai
penyakit, serta perjalanan penyakit yang akan lama
walaupun dalam terapi dan sudah modifikasi
lingkungan pekerjaan, perawatan kulit.

11
 Medikamentosa 
o Apabila dengan nonmedikamentosa dapat
dilaksanakan dengan sempurna, dan tidak terjadi
komplikasi, maka DKI tersebut akan sembuh tanpa
pengobatan topikal, mungkin cukup dengan
pemberian pelembab untuk memperbaiki sawar
kulit.
o Apabila diperlukan, untuk mengatasi peradangan
dapat diberikan kortikosteroid topikal, misalnya
hidrokortison, atau untuk kelainan yang kronis
dapat diawali dengan kortikosteroid dengan
potensi kuat (misal clobetasol proprionate 0,05%).
Jangan menggunakan kortikosteroid potensi kuat
pada daerah dengan kulit yang tipis seperti pada
wajah, genita, daerah intertriginosa untuk
menghindari risiko atrofi kulit.
i. Prognosis
Bila bahan iritan yang menjadi penyebab dermatitis
tersebut tidak dapat disingkirkan dengan sempurna, maka
prognosisnya kurang baik. Keadaan ini sering terjadi pada DKI
kronis dengan penyebab multi-faktor dan juga pada pasien atopik.
(1)

Pada kasus dermatitis kontak ringan, prognosis sangat


bergantung pada kemampuan menghindari bahan iritan penyebab.
Pada kasus dermatitis kontak yang berat diakibatkan pekerjaan,
keluhan dapat bertahan hingga 2 tahun walaupun sudah berganti
pekerjaan.(6)

2.2.2. Dermatitis Kontak Alergi (DKA)


a. Definisi

12
Dermatitis kontak alergi (DKA) terjadi pada seseorang
yang telah mengalami sensitisasi terhadap suatu bahan
penyebab/alergen. DKA terjadi akibat pajanan dengan bahan
alergen di luar tubuh, diperantarai reaksi hipersensitivitas tipe 4.
(12)

b. Epidemiologi
Bila dibandingkan dengan DKI, jumlah pasien DKA lebih
sedikit, karena hanya mengenai orang dengan keadaan kulit yang
sangat peka (hipersensitif). Diperkirakan jumlah DKA maupun
DKI makin bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah
produk yang mengandung bahan kimia yang dipakai oleh
masyarakat.
Insiden DKA meningkat seiring bertambahnya usia, dan ini
kemungkinan terkait dengan paparan alergen dan komorbiditas
yang berkepanjangan dan/atau kumulatif.(7)
c. Etiologi
Penyebab DKA ialah bahan kimia sederhana dengan berat
molekul rendah (<1000 dalton), disebut sebagai hapten, bersifat
lipofilik, sangat reaktif, dan dapat menembus stratum komeum
sehingga mencapai sel epidermis bagian dalam yang hidup.
Berbagai faktor berpengaruh terhadap kejadian DKA, misalnya
potensi sensitisasi alergen, dosis per unit area, luas daerah yang
terkena, lama pajanan, oklusi, suhu dan kelembaban lingkungan,
vehikulum dan pH. Faktor individu juga ikut berperan, misalnya
keadaan kulit pada lokasi kontak (keadaan stratum korneum,
ketebalan epidermis), status imun (misalnya sedang mengalami
sakit, atau terpajan sinar matahari secara intens). Alergen
penyebab umum untuk DKA adalah nikel, balsam peru, kromium,
neomisin, formaldehyde, thiomersal, campuran wewangian,
kobalt, dan parthenium.(11)
d. Pathogenesis

13
Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada DKA mengikuti
respons imun yang diperantarai oleh sel (cell-mediated immune
respons) atau reaksi imunologik tipe IV, atau reaksi
hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi ini terjadi melalui dua fase,
yaitu fase sensitisasi dan fase elisitasi. Hanya individu yang telah
mengalami sensitisasi yang dapat mengalami DKA.

 Fase sensitisasi

Hapten yang masuk ke dalam epidermis melewati stratum


korneum akan ditangkap oleh sel Langerhans dengan cara
pinositosis, dan diproses secara kimiawi oleh enzim lisosom
atau sitosol serta dikonjugasikan pada molekul HLA-DR untuk
menjadi antigen lengkap. Pada awalnya sel Langerhans dalam
keadaan istirahat, dan hanya berfungsi sebagai makrofag
dengan sedikit kemampuan menstimulasi sel T. Akan tetapi,
setelah keratinosit terpajan oleh hapten yang juga mempunyai
sifat iritan, keratinosit akan melepaskan sitokin (IL-1) yang
akan mengaktifkan sel Langerhans dan mampu menstimulasi
sel-T. Aktivasi tersebut akan mengubah fenotip sel Langerhans
dan meningkatkan sekresi sitokin tertentu (misalnya IL- 1)
serta ekspresi molekul permukaan sel termasuk MHC kelas I
dan II, ICAM-1, LFA-3 dan B7. Sitokin proinflamasi lain yang
dilepaskan oleh keratinosit yaitu TNFa, yang dapat
mengaktifasi sel-T, makrofag dan granulosit, menginduksi
perubahan molekul adesi sel dan pelepasan sitokin serta juga
meningkatkan MHC kelas I dan II.

TNFa menekan produksi E-cadherin yang mengikat sel


Langerhans pada epidermis, juga menginduksi aktivitas
gelatinolisis sehingga memperlancar sel Langerhans melewati
membran basalis bermigrasi ke kelenjar getah bening setempat

14
melalui saluran limfe. Di dalam kelenjar limfe, sel Langerhans
mempresentasikan kompleks antigen HLA-DR kepada sel-T
penolong spesifik, yaitu sel T yang mengekspresikan molekul
CD4 yang dapat mengenali HLA-DR yang dipresentasikan
oleh sel Langerhans, dan kompleks reseptor sel-T-CD3 yang
mengenali antigen yang telah diproses. Keberadaan sel-T
spesifik ini ditentukan secara genetik.

Sel Langerhans mensekresi IL-1 yang menstimulasi sel-T


untuk mensekresi IL-2 dan mengekspresi reseptor-IL-2 (IL-
2R). Sitokin ini akan menstimulasi proliferasi dan diferensiasi
sel T spesifik, sehingga menjadi lebih banyak dan berubah
menjadi sel-T memori (sel T-teraktivasi) yang akan
meninggalkan kelenjar getah bening dan beredar ke seluruh
tubuh. Pada saat tersebut individu telah tersensitisasi. Fase ini
rata-rata berlangsung selama 2-3 minggu.

Menurut konsep 'danger' signal, sinyal antigenik mumi


suatu hapten cenderung menyebabkan toleransi, sedangkan
sinyal iritan menimbulkan sensitisasi. Dengan demikian
terjadinya sensitisasi kontak bergantung pada adanya sinyal
iritan yang dapat berasal dari alergen kontak sendiri, ambang
rangsang yang rendah terhadap respons iritan, bahan kimia
inflamasi pada kulit yang meradang, atau kombinasi ketiganya.
Jadi danger signal yang menyebabkan sensitisasi tidak hanya
berasal dari sinyal antigenik sendiri, melainkan juga dari sifat
iritasi yang menyertainya. Suatu tindakan mengurangi iritasi
akan menurunkan potensi sensitisasi.

 Fase elisitasi

15
Fase kedua (elisitasi) hipersensitivitas tipe lambat terjadi
pada pajanan ulang alergen (hapten) yang sama atau serupa
(pada reaksi silang). Seperti pada fase sensitisasi, hapten akan
ditangkap oleh sel Langerhans dan diproses secara kimiawi
menjadi antigen, diikat oleh HLA- DR kemudian diekspresikan
di permukaan sel. Selanjutnya kompleks HLA-DR-antigen
akan di- presentasikan kepada sel-T yang telah tersensitisasi
(sel-T memori) baik di kulit maupun di kelenjar limfe sehingga
terjadi proses aktivasi. Di kulit proses aktivasi lebih kompleks
dengan hadirnya berbagai sel lain. Sel Langerhans mensekresi
IL-1 yang merangsang sel-T untuk memproduksi IL-2 dan
mengekspresi IL-2R, yang akan menyebabkan proliferasi dan
ekspansi populasi sel-T di kulit. Sel-T teraktivasi juga
mengeluarkan IFN-𝜸 yang akan mengaktifkan keratinosit
untuk mengekspresi ICAM-1 dan HLA-DR. Adanya ICAM-1
rnemungkinkan keratinosit untuk berinteraksi dengan sel-T dan
leukosit lain yang mengekspresi molekul LFA-1. Sedangkan
HLA-DR memungkinkan keratinosit untuk berinteraksi
langsung dengan sel-T CD4+, dan juga memungkinkan
presentasi antigen kepada sel tesebut. Keratinosit
menghasilkan juga sejumlah sitokin antara lain IL-1, IL-6,
TNF-a, dan GMCSF, semuanya dapat mengaktivasi sel-T. IL-1
dapat merangsang keratinosit untuk menghasilkan eikosanoid.
Sitokin dan eikosanoid ini akan mengaktifkan sel mas dan
makrofag. Sel mas yang berada di dekat pembuluh darah
dermis akan melepaskan antara lain histamin, berbagai jenis
faktor kemotaktik, PGE2 dan PGD2, dan leukotrien B4
(LTB4). Eikosanoid baik yang berasal dari sel mas
(prostaglandin) maupun dari keratinosit atau leukosit akan
menyebabkan dilatasi vaskular dan meningkatkan
permeabilitas sehingga molekul terlarut seperti komplemen

16
dan kinin mudah berdifusi ke dalam dermis dan epidermis.
Selain itu faktor kemotaktik dan eikosanoid akan menarik
neutrofil, monosit dan sel darah lain dari dalam pembuluh
darah masuk ke dalam dermis. Rentetan kejadian tersebut akan
menimbulkan respons klinik DKA . Fase elisitasi umumnya
berlangsung antara 24-48 jam.(1)

e. Gejala klinis
Pasien umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit
bergantung pada tingkat keparahan dan lokasi dermatitisnya.
 Stadium akut : dimulai dengan bercak eritematosa
berbatas tegas kemudian diikuti edema,
papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula
dapat pecah menyebabkan erosi dan eksudasi
(basah). DKA akut di tempat tertentu, misalnya
kelopak mata, penis, skrotum, lebih didominasi oleh
eritema dan edema.
 Stadium kronis : terlihat kulit kering, berskuama,
papul, likenifikasi dan mungkin juga fisur, berbatas
tidak tegas. Kelainan ini sulit dibedakan dengan
dermatitis kontak iritan kronis; dengan
kemungkinan penyebab campuran.
DKA dapat meluas ke tempat lain, misalnya dengan cara
autosensitisasi. Skalp, telapak tangan dan kaki relatif resisten
terhadap DKA.
f. Diagnosis
Diagnosis didasarkan atas hasil anamnesis yang cermat dan
pemeriksaan klinis yang teliti.
Klinis :
 Riwayat terpajan dengan bahan alergen

17
 Terjadi reaksi berupa dermatitis, setelah pajanan ulang
dengan alergen tersangka yang sama. Bila pajanan
dihentikan maka lesi akan membaik
 Gambaran klinisnya polimorfik, sangat bervariasi
bergantung stadiumnya:
o Akut : eritema, edema, vesikel
o Subakut : eritema, eksudatif (madidans), krusta
o Kronik : likenifikasi, fisura, skuama
 Lesi dapat juga non-eksematosa, misal: purpurik, likenoid,
pigmented, dan limfomatoid
 Gejala subyektif : rasa gatal
 Pada DKA lokalisata : lesi berbatas tegas dan berbentuk
susuai dengan bahan penyebab.
 Pada DKA sistemik : lesi dapat tersebar luas/generalisata
 Dapat berhubungan dengan pekerjaan, hobi, obat topikal
yang pernah digunakan, obat sistemik, kosmetika,
berbagai bahan yang diketahui menimbulkan alergi,
penyakit kulit yang pernah dialami, riwayat atopi, baik
dari yang bersangkutan maupun keluarganya.
 Bila berhubungan dengan pekerjaan, memenuhi 4 dari 7
kriteria Mathias, yaitu:
o Manifestasi klinis sesuai dengan dermatitis kontak
o Pada lingkungan kerja terdapat bahan yang
dicurigai dapat menjadi iritan atau alergen
o Distribusi anatomis sesuai dengan area terpajan
o Terdapat hubungan temporal antara waktu terpajan
dan timbulnya manifestasi klinis
o Penyebab lain telah disingkirkan
o Kelainan kulit membaik pada saat tidak
bekerja/libur/cuti

18
o Tes tempel atau tes provokasi dapat
mengidentifikasi penyebab

Pemeriksaan penunjang :

 Uji tempel untuk mencari penyebab. Uji tempel dapat


digunakan dengan alergen standar, alergen seri tertentu
(misal seri kosmetik, seri sepatu, dll), serta alergen
tambahan yang berasal dari bahan yang dicurigai
(misalnya dari potongan sepatu, bahan dari pabrik
tempat bekerja).
 Pada DKA kosmetika, apabila tes tempel
meragukan/negatif dapat dilanjutkan dengan tes pakai
(use test), tes pakai berulang (repeated open application
test-ROAT).

g. Tatalaksana
Non-medikamentosa :
 Identifikasi dan penghindaran terhadap alergen tersangka
 Anjuran penggunaan alat pelindung diri (APD), misalnya
sarung tangan, apron, sepatu bot. pada beberapa kondusi
oklusif akibat penggunaan sarung tangan terlalu lama
dapat memperberat gangguan sawar kulit.(12)
Medikamentosa :
 Kortikosteroid (misalnya pemberian prednison 30
mg/hari)  dapat diberikan dalam jangka pendek untuk
mengatasi peradangan pada DKA akut yang ditandai
dengan eritema, edema, vesikel atau bula, serta eksudatif
(madidans)
 Topikal  cukup kompres dengan larutan garam
fisiologis atau larutan asam salisilat 1:1000, atau

19
pemberian kortikosteroid atau makrolaktam
(pimecrolimus atau tacrolimus).(1)
h. Prognosis
Prognosis DKA umumnya baik, sejauh dapat menghindari
bahan penyebabnya. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis
bila terjadi bersamaan dengan dermatitis oleh faktor endogen
(dermatitis atopik, dermatitis numularis, atau psoriasis), atau sulit
menghindari alergen penyebab, misalnya berhubungan dengan
pekerjaan tertentu atau yang terdapat di lingkungan pasien.(7,11)

BAB III
KESIMPULAN

Dermatitis kontak ialah dermatitis yang disebabkan oleh bahan/substansi


yang menempel pada kulit. Dapat bersifat akut maupun kronik. Dermatitis kontak
iritan (DKI) merupakan suatu reaksi peradangan kulit non-imunologik, sedangkan
dermatitis kontak alergen (DKA) terjadi akibat pajanan dengan bahan alergen di
luar tubuh, diperantarai reaksi hipersensitivitas tipe 4. Diagnosis didasarkan atas
hasil anamnesis yang cermat dan pemeriksaan klinis yang teliti. Pada tatalaksana
dermatitis kontak penting untuk menyingkirkan penyebabnya baik DKI maupun
DKA dan dengan menggunakan APD juga dapat membantu. Penatalaksanaan
medikamentosa diberikan pada kasus DKI apabila tidak membaik hanya dengan
non-medikamentosa, dapat diberikan sesuai simtomatis atau dapat diberikan
kortikosteroid topikal. Pada kasus DKA dapat diberikan kortikosteroid dalam
jangka pendek untuk mengatasi peradangan pada DKA akut, dan topikal dengan
larutan garam fisiologis dan asam salisilat 1:1000. Prognosis umumnya baik,
sejauh dapat menghindari bahan penyebabnya.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Menaldi S, Bramono K, Indriatmi W. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin:


Dermatitis Kontak. Jakarta:Badan penerbit FKUI. 2017; 137 – 40
2. Contact dermatitis. Elsevier. 2022.
3. Harlim A. Buku ajar ilmu Kesehatan kulit dan kelamin penyakit alergi
kulit. Jakarta:FK UKI. 2016
4. Wardani HK, Mashoedojo, Bustamam N. faktor yang berhubungan dengan
dermatitis kontak akibat kerja pada pekerja proyek bandara. IJOSH.
2018:7(2);249-59
5. Batasina T, Pandaleke H, Suling P. Profil dermatitis alergi di poliklinik
RSUP. Dr. R.D. Kandou Manado. Journal e-Clinic. 2017:5(1)
6. PERDOSKI. Panduan Praktik Klinis:Dermatitis Kontak Iritan.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI).
2017
7. Nixon RL, Allnut KJ, Diepgen TL. Contact Dermatitis. Middleton’s
allergy principles and practice. 9th ed. Elsevier. 2020; 553-61
8. Patterson JW. The spongiotic reaction pattern. Weedon’s Skin Pathology.
5th ed. Elsevier. 2021

21
9. Specht S, Persaud Y. Asteatotic Eczema. [Updated 2021 Jul 26]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022
10. Nair PA, Salazar FJ. Acneiform Eruptions. [Updated 2021 Aug 11]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022
Jan-
11. Litchman G, Nair PA, Atwater AR, et al. Contact Dermatitis. [Updated
2021 Sep 9]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing; 2022 Jan-.
12. PERDOSKI. Panduan Praktik Klinis:Dermatitis Kontak Alergen.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI).
2017

22

Anda mungkin juga menyukai