Anda di halaman 1dari 16

REFERAT

Dermatitis Kontak

Pembimbing :

dr. Hj Vita No’oraini Atmadi Hartati., Sp.KK

Oleh :

Khoerunnisa Cahyani Kurnia

2016730056

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

RUMAH SAKIT UMUM SAYANG CIANJUR

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Segala puji atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-
Nya sehingga saya dapat merampungkan tugas Referat dengan judul “Dermatitis Kontak”.

Makalah ini membahas mengenai pengobatan atau terapi untuk mengoreksi berbagai
kelainan kulit. Tujuan dibuatnya makalah ini untuk memenuhi tugas kepaniteraan di stase
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.

Saya sadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun sangat saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Terakhir saya ucapkan kepada semua pihak yang terlah berperan dalam penyusunan
makalah ini. Semoga Allah membalas segala kebaikan kita dan semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua. Khususnya bagi penulis.

Cianjur, 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................................................ii
BAB I....................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN................................................................................................................................1
BAB II..................................................................................................................................................2
PEMBAHASAN...................................................................................................................................2
A. Dermatitis Kontak...................................................................................................................2
1. Dermatitis Kontak Iritan....................................................................................................2
2. Dermatitis Kontak Alergi....................................................................................................7
BAB III...............................................................................................................................................12
KESIMPULAN..................................................................................................................................12

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Dermatitis merupakan peradangan kulit sebagai respon terhadap pengaruh factor


eksogen dan atau factor endogen, yang menimbulkan kelianan klinis erupa efloresesnsi
polimorfik dan keluhan gatal. Tanda polimorfik tidak selalu timbul bersamaan, bahkan
mungkin hanya beberapa. Dermatitis cenderung residif fan menjadi kronis

Dermatitis kontak merupakan penyebab kelainan kulit dan pruritus yang kerap
dijumpai pada sebagian besar populasi. Di Amerika, angka kejadian dari dermatitis kontak
sekitar 20% pada populasi umum. Dermatitis kontak merupakan penyakit yang multifactorial,
selain adanya pajanan terhadap allergen dan iritan, banyak factor yang individual dan
lingkungan yang turut berperan dalam perkembangan penyakit dermatitis kontak.

Dermatitis kontak merupakan pola respons dari inflamasi pada kulit akibat kontak
dengan factor eksternal. Dermatitis kontak diidentifikasi dalam dua varian yaitu dermatitis
kontak alergi dan dermatitis kontak iritan, pada dermatitis alergi melibatkan respon imun
spesifik. Meskipun mekanisme pathogenesis nya berbeda, dermatitis kontak alergi dan
dermatitis kontak iritan sukar dibedakan secara klinis, histologis maupun di tingkat
molekular. Sehingga diagnosis dermatitis kontak menjadi masalah yang kompleks, anamnesis
dan pemeriksaan penunjang, yaitu: uji tempel, dapat berperan penting dalam mendiagnosis
dermatitis kontak alergi dan dermatitis kontak iritan.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Dermatitis Kontak
Dermatitis kontak merupakan peradangan pada kulit yang disebabkan oleh
bahan/substansi yang menempel pada kulit. Terdapat dua jenis dermatitis kontak
yaitu, dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak alergi yang disebabkan oleh
reaksi peradangan imunologis. Pada keduanya dapat bersifat kronis. Pada dermatitis
kontak iritan disebabkan oleh reaksi nonimulogik, sehingga kerusakan kulit langsung
tanpa didahului proses sensitisasi terhadap alergen sedangkan pada dermatitis kontak
alergi terdapat sensitisasi terhadap suatu alergen. Hasil dari studi epidemiologi, di
Indonesia terdapat 97% dari 389 kasus dermatitis adalah dermatitis kontak, terdapat
66% kasus dermatitis kontak ritan dan 34% kasus dengan dermatitis alergi

1. Dermatitis Kontak Iritan


Dermatitis kontak iritan merupakan respon kulit yang tidak spesifik terhadap
kerusakan kulit secara kimiawi langsung dan dengan melepaskann mediator
inflamasi.. Dermatitis kontak iritan dapat diderita oleh semua orang dari berbagai
golongan umur, ras dan jenis kelamin. Jumlah penderita dermatitis kontak iritan
cukup banyak dan terjadi terutama akibat kerja.
Etiologi dari dermatitis kontak iritan ini adalah dari bahan yang bersifat iritan,
seperti bahan pelarut, detergen, minyak pelumas, asam, alkali, dan serbuk kayu.
Kelainan kulit yang terjadi selain ditentukan oleh ukuran molekul, daya larut,
konsentrasi bahan, juga dipengaruhi oleh faktor lain yaitu : lama kontak, terus
menerus kontak atau berselang, adanya oklusi yang menyebabkan kulit lebih
permeable, demikian pula gesekan dan trauma fisis. Suhu dan kelembaban
lngkungan juga ikut berperan.
Faktor dari individu juga berpengaruh dalam kejadian dermatitis kontak iritan
misalnya terdapat perbedaan ketebalan kulit di berbagai tempat sehingga
menyebabkan perbedaan permeabilitas, usia, ras, jenis kelamin, penyakit kulit
yang sedang dialami sehingga menyebabkan ambang rangsang terhadap bahan
iritan menurun.

2
a. Patogenesis
Pada dermatitis kontak iritan, pajanan pertama terhadap iritan mampu
menyebabkan repons iritasi pada kulit. Sel T memori pada dermatitis kontak
iritan tidak berperan. Terdapat empat mekanisme terjadinya dermatitis kontak
iritan yang saling berinteraksi dalam kejadian DKI, yaitu : kehilangan lipid
dan substansi pengikat air di epidermis, kerusakan membrane sel, denaturasi
keratin pada epidermis, dan efek sitotoksik langsung. Pada dermatitis kontak
iritan system imun nonspesifik berperan dalam terjadinya DKI. pajanan
terhadap iritan menyebabkan reaksi inflamasi berupa vasodilatasi dan infiltrasi
sel pada dermis dan epidermis akibat pelepasan sitokin pro inflamatorik IL-1
sebelum terjadi kerusakan kulit. Sel-sel yang berperan dalam proses ini adalah
keratin, makrofag, netrofil, eosinophil dan sel T naïve.
Kerusakan membrane mengaktifkan fosfolipase dan melepaskan asam
arakidonat, diasilgliserida, platelet activating factor, dan inostida. Asam
arakidonat diubah menjadi prostaglandin dan leukotriene sehingga meninduksi
terjadinya vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas vascular sehingga
mempermudah transudasi komplemen dan kinin. Prostaglandin dan
leukotriene bertidak sebagai kemoatraktan kuat untuk limfosit dan neutrophil
serta mengaktivasi sel mast untuk melepaskan histamine.
DAG dan second messegers lain menstimulasi ekspresi gen dan
sintesis protein seperti interleukin-1 (IL-1) dan granulocyte macrophage
colony stimulating factor (GMCSF), IL-1 mengaktifkan sel T-helper
mengeluarkan IL-2 yang menimbulkan stimulasi autokrin dan proliferasi sel.
Keratinosit juga membuat molekul permukaan HLA-DR dan adesi intrasel-1
(ICAM-1). Pada dermatitis kontak iritan,, keratinosit juga juga melepaskan
TNFα yaitu suatu sitokin proinflamasi yang dapat mengativasi sel T, makrofag
dan granulosit, menginduksi ekspresi molekul adesi sel dan pelepasan sitokin.
Dari mekanisme tersebut dapat menimbulkan gejala peradangan klasik
di tempat terjadinya kontak dengan iritan, gejala yang timbul dapat berupa
eritema, edema, panas, nyeri bila iritan tersebut kuat. Bahan iritan yang lemah
akan menimbulkan gejala atau kelainan kulit setelah pajanan yang berulang,
kerusakan dimulai dari kerusakan stratum korneum oleh karena delipidasi
yang menyebabkan desikasi dan kehilangan fungsi sawarnya. Sehingga
mempermudah kerusakan sel dibawahnya.

3
b. Klasifikasi
Dermatitis kontak iritan diklasifikasikan berdasarkan penyebab dan
pengaruh dari faktor-faktor penyebab yaitu DKI akut, DKI lambat akut,
DKI kumulatif, reaksi iritan, DKI traumateratif, eksikasi ekzematik,
pustular dan akneformis, nonerimatosa dan subyektif.
1) DKI akut
Iritan yang kuat adalah penyebab terjadinya DKI akut, contoh iritan
yang kuat misalnya larutan asam sulfat dan asam hidroklorid, atau basa
kuat seperti natrium dan kalium hidroksida. Karena iritan yang kuat
maka reaksi dan gejala timbul dengan cepat. Intensitas reaksi
sebanding dengan konsentrasi dan lamanya kontak dengan iritan.
Gejala yang dapat ditimbulkan adalah kulit terasa pedih, panas dan
rasa terbakar. Pada pemeriksaan fisik melalui inspeksi biasanya
didapatkan kelainan berupa eritema, edema, bula dan mungkin juga
terjadi nekrosis. Pada daerah pinggir kelainan kulit berbatas tegas dan
pada umumnya asimetris
2) DKI akut lambat
Gambaran klinis pada dermatitis kontak iritan akut lambat sama seperti
pada DKI akut, namun gejala baru muncul pada 8 sampai 24 jam atau
lebih setelah kontak dengan iritan. Bahan iritan yang biasanya
mengakibatkan DKI akut lambat misalnya adalah podofilin, antralin,
tretinoin, etilen oksida, benzalkonium klorida, asam hidrofluorat.
Kelainan yang dapat dilihat pada awalnya terlihat eritema yang lama
kelamaan menjadi vesikel atau bahkan terjadi nekrosis.
3) DKI Kumulatif
Jenis DKI kumulaif adalah paling banyak dan paling sering terjadi,
DKI kumulatif mempunyai nama lain yaitu DKI kronis. Penyebab
terjadinya DKI kumulatif adalah kontak dengan iritan yang lemah dan
terjadi berulang kali. Pada DKI kumulatif bisa terjadi bersamaan
dengan berbagai faktor lain. Kelainan pada DKI kumulatif dapat baru
nyata setelah kontak berminggu- minggu bahkan sampai bertahun-
tahun kemudian, sehingga pada anamnesis dibutuhkan informasi yang
cukup lengkap terkait dengan waktu dan rentetan kontak dengan iritan.

4
Gejala klasik pada DKI kumulatif dapat berupa kulit yang kerig,
eritema, skuama, lama kelamaan kulit menjadi tebal (hyperkeratosis),
likenifikasi dan difus. Jika kontak dengan iritan terjadi secara terus
menerus, dapat mengakibatkan kulit retak (fisur). Kejadian DKI
kumulatif pada umumnya berhubungannya dengan pekerjaan.
4) Reaksi iritan
Kelainan pada reaksi iritan merupakan kelainan kulit monomorf yaitu
dapat berupa skuama, eritema, vesikel, pustule, dan erosi. Reaksi iritan
ini merupakan jenis dermatitis kontak iritan subklinis yang terjadi pada
seseorang yang terpajan dengan pekerjaan basah, seperti penata rambut
dan pekerja logam yang bekerja dalam beberapa bulan pertama saat
pelatihan. Umumnya reaksi iritan ini dapat sembuh sendiri tetapi
menimbulkan penebalan kullit dan terkadang dapat berlanjut menjadi
DKI kumulatif.
5) DKI traumatik
Pada DKI traumatik terjadi setelah trauma panas atau laserasi dan
kelainan kulitnya berkembang secara lambat. Gejala yang timbul sama
seperti dermatitis numularis, penyembuhan paling cepat 6 minggu dan
lokasi paling sering terjadi pada tangan.
6) DKI noneritematosa
DKI noneritematosa ditandai dengan perubahan fungsi dari sawar
stratum korneum dan tanpa disertai dengan kelainan klinis. DKI
noneritematosa ini merupakan bentuk subklinis dari DKI.
7) DKI Subyektif
DKI subyektif disebut juga dengan DKI sensori, kelainan kulitnya
tidak terlihat tetapi penderitaya merasa seperti tersengat atau terasa
terbakar setalah kontak dengan bahan kimia tertentu, misalnya kontak
dengan asam laktat.
c. Diagnosis
Diagnosis pada dermatitis kontak iritan didasarkan oleh anamnesis
yang cermat dan pengaatan dari gambaran klinis. Pada DKI yang akut
maka gejala klinisnya timbul lebih cepat sehingga pasien lebih mudah
untuk mengingat pajanan apa yang membuat timblnya gejala. Pada DKI
kronis diagnosis suli ditegakkan karena mempunyai gambarn klinis yang

5
luas dan sulit dibedakkan dengan dermatitis kontak alergi, maka dari itu
diperlukan uji temple untuk melihat bahan apa yang dapat menimbulkan
gejala klinis pada pasien tersebut.
1) Uji tempel
Uji tempel ini digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan
dermatitis kontak alergi. Sensitfitas dari uji tempel ini adalah
bergantung kepada riwayat pasien dan pekerjaan pasien kemudian
dicek beberapa allergen yang berpotensi menimbulkan gejala
berdasakan dari riwayat tersebut.
2) Test laboratorium
Trans epidermal water loss (TEWL) merupkan pengukuran
kemampuan kulit untuk merawat homeostasis dari cairan di dalam
tubuh. TEWL merupakan ukuran fungsi penghalang dan peningkatan
TEWL menunjukkan peningkatan permeabilitas terhadap antigen.
TEWL tidak rutin dilakukan dalam praktik klinis tetapi digunkan
dalam studi penelitian terhadap dermatitis kontak iritan.
d. Penatalaksanaan
Untuk mengobati dermatitis kontak iritan diperlukan untuk mengetahui zat
penyebabnya sehingga dapat dilakukan proteksi untuk meminimalkan
pajanan dari zat tersebut. Jika sudah terjadi timbulnya gejala ma
pengobatan topical perlu dilakukan. Pada pasien dengan kuli kering dapat
diberikan emolien yang berfungsi untuk meningkatkan skin barrier.
Penggunaaan kortikosteroid pada kasus ini masih menjadi kontroversi,
namun steroid dapat membantu meredakkan efek inflamasinya. Jika terjadi
infeksi bakteri dapat diberikan antibiotic topical maupun sistemik.
Pemakaian alat pelindung diri yang adekuat diperlukan sebagai bentuk
pencegahan supaya meminimalkan terjadinya kontak dengan iritan.
e. Prognosis
Penderita dermatitis kontak iritan biasanya dapat sembuh meskipun sering
terpapar zat iritan, ini dikenal sebagai pengerasan. Proses ini belum dapat
dipahami secara lengkap, sehingga membuat kesulitan untuk mengetahui
pasien mana yang akan berkembang kepada dermatitis kontak alergi yang
kronis.

6
2. Dermatitis Kontak Alergi

Dermatitis kontak alergi merupakan suatu reaksi hipersensitivitas tipe IV,


yang mana reaksi pada dermatitis kontak alergi ini lambat dan dimediasi oleh
limfosit yang sebelumnya sudah tersensitisasi sehingga dapat menyababkkan
reaksi inflamasi.
Penyakit ini merupakan penyakit yang sering terjadi, di Amerika Serikat
terhitung sebanyak 7% dari penyakit yang terkait dengan pekerjaan. Insiden dan
tingkat prevalensi dari dermatitis kotak alergi dipengaruhi oleh allergen-alergen
tertentu. Kejadian DKA ini lebih banyak terjadi pada perempuan yaitu sebesar
11,5% dibandingkan dengan laki-laki. Data tersebut mengacu kepada prevalensi di
dalam suatu populasi.
Etiologi dari dermatitis kontak alergi ini adalah bahan kimia yang sederhana
dan umumnya memiliki berat molekul yang rendah. Beberapa faktor berpengaruh
dalam kejadian DKA ini misalnya sensitisasi allergen, dosisper unit area, luas
daerag yang terkena, lama pajanan, oklusi, suhu dan kelembaban lingkungan,
vehikulum dan pH. Selain itu jugga terdapat faktor individu misalnya keadaan
kulit pada lokasi kontak bergantung pada keadaan stratum korneum dan ketebalan
dari epidermis, dan juga status imunologik.
a. Pathogenesis
Mekanisme terjadinya dermatitis kontak alergi ini mengikuti respons
imun yang diperantarai oleh sel atau hipersensitivitas tipe IV, yang
merupakan tipe hipersensitivtas yang lambat. Reaksi terjadinya DKA ini
melalui dua fase, yaitu fase sensitisasi dan fase elistisasi, yang mana hanya
individu yang mengalami sensitisasi yang dapat menderita DKA.
Pada fase sensitisasi hapten yang masuk k dalam epidermis yang
melewati stratum korneum akan ditangkap oleh sel langherhans dengan cara
pinositsis kemudian diproses secara kimiawi olleh enzim lisoom atau sitosol
serta dikonjugasikan pada molekul HLA-DR menjadi antigen yang lengkap.
Sel Langerhans ini tadinya istirahat dan berfungsi sebagai makrofag dengan
sedikit kemampuannya untuk menstimulasi sel T. tetapi, setelah keratinosit
terpajan oleh hapten yang memiliki sifat iritan, akan melepaskan sitokin (IL-
1) sehingga mengaktifkan sel Langerhans untuk menstimulasi sel-T. aktivasi
tersebut dapat mengubah fenotip dari sel Langerhans dan meningkatkan

7
sekresi sitokin tertentu misalnya interleukin-1 serta ekspresi molekul
permukaan sel termasuk MHC klas I dan II, ICAM-1, LFA-3 dan B7. Sitokin
peroinflamasi lain yang diekskresikan oleh keratinosit yaitu TNFα yang dapat
mengaktifasi sel-T, granulosit dan makrofag yang menginduksi perubahan
molekul adesi sel. Pelepasan sitokin juga dapat meningkatkan MHC klas I dan
II
TNFα menekan produksi E-cadherin yang megikat sel Langerhans
pada epidermis dan juga menginduksi aktivitas gelatinolisis sehingga
memperlancar sel Langerhans melewati membrane basalis sehingga dapat
bermigrasi ke kelenjar getah bening setempat melalui saluran limfe. Di dalam
saluran limfe sel Langerhans mempresentasikan kompleks HLA-DR-antigen
kepada sel-T helper spesifik dengan cara mengekspresikan CD4 yang
mengenali HLA-DR sel Langerhans dan kompleks reseptol sel-T-CD3 yang
mengenali antigen yang telah diproses. Ada atau tidaknya sel-T spesifik ini
ditentukan secara genetic
Sel Langerhans mensekresi IL-1 yang menstimulasii sel-T untuk mensekresi
IL-2 dan mengeksresi reseptor IL-2. Sitokin ini akan menstimulasi proliferasi
sel T spesifik, sehingg sel menjadi lebih banyak. Turunan sel ini yaitu sel-T
memori (sel T teraktivasi) akan meninggalkan kelenjar getah bening an eredar
ke seluruh tubuh. Pada saat tersebut individu menjasi tersensitisasi. Fase ini
berlangsung rata-rata selama 2-3 minggu.
Sinyal antigenik murni suatu hapten cenderung menyebabkan toleransi,
sedangkan sinyal iritannya menimbulkan sensitisasi. Dengan demikian
terjadinya sensitisasi konyak bergantung pada adanya sinyal iritan yang dapat
berasal dari alergn kontak sendiri, dari ambang rangsang yang rendah
terhadap respons iritan, dari bahan kimia inflamasi pada kulit yang meradang
atau kombinasi dari ketiganya. Jadi sinyal bahaya yang menyebabkan
sensitisasi tidak berasal dari sinyal antigenik sendiri, melaikan dari iritasi
yang menyertainya. Suatu tindakan yang mmengurangi iritasi akan
menurunkan potensi sensitisasi.
Fase kedua adalah fase elisitasi, pada hipersensitivitas tipe lambat
terjadi pajanan ulang allergen (hapten). Seperti pada fase sensitisasi, hapyen
aan ditangkap oleh sel Langerhans dan diproses secara kimiawi menjadi
antigen, diikat oleh HLA-DR kemudian diekspresikan kepada sel-T memori

8
baik di kulit maupun di kelenjar limfe sehingga terjadinya proses aktivasi.
Proses aktivasi pada kulit terjadi lebih kompleks dengan hadirnya sel-sel yang
lain. Sel Langerhans mensekresi IL-1 yang menstimulasi sel T untuk
memproduksi IL-2 dan mengekspresi reseptor IL-2, sehingga menyebabkan
proliferasi dan ekspansi populasi sel- T di kulit. Sel-T teraktivasi jga
mengeluarkan IFN-γ yang akan mengaktifkan keratinosit untuk
mengekspresikan ICAM-1 dan HLA-DR. Adanya ICAM-1 memungkinkan
keratinosit untuk berinteraksi dengan sel-T dan leukosit yang lain
mengekspresi mlekul LFA-1. Sedangkan HLA-DR memungkinkan keratinosit
untuk berinteraksi langsung dengan sel-T CD4+, dan juga memungkinkan
presentasi antigen kepada sel tersebut. HLA-DR juga merupakn target sel-T
sitotoksik pada keratinosit. Keratinosit menghasilkan juga sejumlah sitokin
antara lain IL-1, IL-6, TNF-α dan GMCSF, semuanya dapat mengaktivasi sel-
T. IL-1 dapat menstimulasi keratinosit menghasilkan eicosanoid. Sitokin dan
elkosanoid ini akan mengaktifkan sel mast dan makrofag. Sel mast yang
berada di dekat pembuluh darah dermis akan melepaskan antara lain
histamine, berbagai jenis faktor kemotaktik, PGE2 dan PGD2 dan leukotrien
B4. Elkosanoid baik yang berasal dari sel mast (prostaglandin) maupun dari
keratinosit atau leukosit menyebabkan dilatasi vascular dan meningkatkan
permeabilitas sehingga molekul larut seperti komplemen dan kinin mudah
berdifusi ke dalam dermis dan epidermis. Selain itu faktor kemotaktik dan
elkosanoid akan menarik neutrophil, monosit dan sel darah lain dari dalam
pembuluh darah masuk ke dalam dermis. Rentetan kejadian tersebut akan
menimbulkan respons klinik DKA. Fase elisitasi umumnya berlangsung
antara 24-48 jam.
b. Gejala klinis
Gejala klinis yang dirasakan penderita pada umumnya mengeluhkan gatal.
Kelainan kulit yang terlihat saat pemeriksaan fisik berganting pada keparahan
dermatitis. Pada fase akut dapat dilihat bercak eritema berbatas jelas
kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula
ini dapat pecah dan menimbulan erosi dan eksudasi. Pada pasien dengan DKA
kronis dapat terlihat kulit yang kering, berskuama, papul, likenifikasi dan
mungkin juga fisur, batasnya tidak jelas sehingga sulit dibedakan dengan
dermatitis kontak iritan kronis.

9
c. Diagnosis
Diagnosis DKA didapatkan dari hasil anamnesis yang cermat dan
pemeriksaan fisik yang teliti. Pada anamnesis dapat digali mengenai kontak
yang dicurigai berdasarkan temuan kelainan kulit, selain itu menanyakan
riwayat pekerjaan, riwayat pengobatan, kosmetika, bahan-bahan yang
menimbulkan alergi, riwayat penyakit sebelumnya, riwayat keluarga.
Pemeriksaan fisik bertujuan untuk melihat lokasi dan pola dari
kelainan kulit tersebut. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan eritema,
edema dan papula disusul dengan pembentukan vesikel yang jika vesikel
tersebut pecah maka akan menimbulkan dermatitis yang basah, lesi pada
umumnya berlokasi pada tempat terjadinya kontak, tidak berbatas tegas dan
dapat meluas ke daerah sekitarnya, predileksi regional akan sangat membantu
penegakkan diagnosis. Selain itu, pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah
uji tempeluntuk mengetahui bahan atau zat apa yang menimbulkan dermatitis.
d. Diagnosis penunjang
1) Uji tempel
Digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas terhadap zat yang
bersentuhan dengan kulit sehingga allergen dapat ditentukan dan tindakan
korektif dapat diambil. Uji tempel ini merupakan permerikaan untuk
konfirmasi dan diagnostic. Zat uji biasanya diaplikasikan di punggung
atas, lengan luar atas juga bisa digunakan. Tempelan dihapus setelh 48
jam atau lenih cepat jika terjadi gatal yang parah atau rasa terbakar pada
kulit kemudian hasilnya dapat dibaca. Kulit yang ditempel ini perlu
dievaluasi lagi pada hari ke-4 atau hari ke-5, karena positif muungkin
tidak muncl sebelumnya.
2) Provocative Use Test
Pada pemeriksaan ini akan mengkonfirmasi reaksi uji tempel yang
endekati positif terhadap bahan-bahan dari zat, seperti kosmestik.
Pemeriksaan ini juga digunakan untuk menguji produk-produk untuk
kulit. Propocative uuse test ini dilakukan dengan cara bahan digosok ke
kulit normal pada bagian dalam dari lengan atas beberapa kali sehari
selama lima hari.
3) Uji Photopatch

10
Uji ini digunakan untuk mengevaluasi fotoalergi kontak terhadap zat
seperti sulfonamide, femotiazin, p-aminobenzoic acid, oxybenzone, 6-
metil kumarin, musk ambrette atau tetrachlorsalcylanilide. Sebuah uji
tempel standar diterapkan selama 24 jam, kemudian akan terekspos
15J/m2 dari ultraviolet-A dan dibaca setelah 48 jam.
e. Penatalaksanaan
Kortikosteroid topical dan sistemi merupakan gold standard untuk
menghilngkan gejala dan perbaikan cepat. Pada lesi akut dapat diberikan
kompres, misalnya dengan solusio NaCl 0,9%, pada keadaan kronis dan
sudah terjadi likenifikasi paling baik adalah pemberian emolien. Jika terdapat
keluhan gatal dapat diberikan obat anti prutitus topical atau histamine oral.

11
BAB III

KESIMPULAN

Dermatitis kontak diklasifikasikan menjadi dermatitis kontar iritan dan dermatitis


kontak alergi. Dermatitis kontak alergi termasuk kepada reaksi hipersensitivitas tipe IV.
Dermatitis kontak iritan paling banyakk terjadi terkait dengan pekerjaan dan pada kejadian
yang kronis sulit dibedakan dengan dermatitis kontak alergi, oleh karena itu diperlukannya
pemeriksaan yang detail sehingga diagnosis dapat ditegakkan.

12
DAFTAR PUSTAKA

Kang, S. (Ed.). (2019). Fitzpatrick's Dermatology. McGraw-Hill Education.

Djuanda, A., Hamzah, M., & Aisah, S. (2007). Ilmu penyakit kulit dan kelamin.

Ambarsari, D. D., & Mulasari, S. A. (2018). Faktor-Faktor yang berhubungan dengan


keluhan subyektif dermatitis kontak iritan pada petugas pengepul sampah di wilayah Kota
Yogyakarta. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, 17(2), 80-86.

Tersinanda, T. Y., & Rusyati, L. M. (2015). Dermatitis Kontak Alergi . Bagian/SMF Ilmu
PenyakitKulitdan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit
Umum Pusat Sanglah Denpasar.

13

Anda mungkin juga menyukai