Anda di halaman 1dari 29

IMUNOLOGI

REAKSI INFLAMASI

Di Susun Oleh :

1. I Putu Kusuma Negara 20334009


2. Anisa Deasabrina 20334013
3. Manda Safitri 20334014
4. Raudya Putdy Nafiah 20334018
5. Riris Liony Tanmerya 20334021
6. Retno Agus Pratiwi 20334029

Dosen :
Ritha Widyapratiwi, S. Si., MARS., Apt.

FAKULTAS FARMASI
PEOGRAM STUDI SARJANA FARMASI
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA
2022
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan Puja dan Puji syukur kehadirat Allah SWT atas
Rahmat serta hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah
Imunologi dengan judul "Reaksi Inflamasi" ini dengan tepat waktu. Tidak lupa
kami ucapkan terima kasih kepada Ibu Ritha Widyapratiwi, S. Si., MARS., Apt.
selaku Dosen Mata Kuliah Imunologi dan kepada semua pihak yang telah
membantu diselesaikannya makalah ini.
Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas Imunologi mengenai
"Reaksi Inflamasi" karena ini adalah salah satu mata ajar di dunia kefarmasian.
Oleh karena itu, pada penyusunan makalah ini kami berusaha menggunakan
bahasa yang sederhana dan mudah dipahami bagi pembaca.
Kami menyadari walaupun kami telah berusaha semaksimal mungkin
mencurahkan pikiran dan kemampuan yang kami miliki, makalah ini masih sangat
jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran
yang sifatnya membangun demi tercapainya suatu kesempurnaan dalam makalah
ini.

Jakarta, Oktober 2022

Penulis

i
Institus Sains Dan Teknologi Nasional
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................2
1.3 Tujuan........................................................................................................2
BAB II......................................................................................................................3
PEMBAHASAN......................................................................................................3
2.1 Pengertian Reaksi Inflamasi......................................................................3
2.2 Penyebab Inflamasi...................................................................................4
2.3 Inflamasi Lokal dan Sistemik....................................................................5
2.4 Mekanisme Inflamasi Akut.......................................................................7
2.5 Mekanisme Inflamasi Kronik....................................................................8
2.6 Macam – Macam Sel dan Mediator Inflamasi Kronik............................10
2.7 Peradangan Granulomatosa.....................................................................13
2.8 Metabolisme Asam Arakhidonat.............................................................14
2.9 Tanda - Tanda Inflamasi..........................................................................15
2.10 Proses Inflamasi Akut.............................................................................17
2.11 Faktor yang Mempengaruhi Peradangan dan Penyembuhan..................21
BAB III..................................................................................................................22
PENUTUP..............................................................................................................22
3.1 Kesimpulan..............................................................................................23
3.2 Saran........................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................23

ii
Institus Sains Dan Teknologi Nasional
iii
Institus Sains Dan Teknologi Nasional
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Inflamasi merupakan suatu respon protektif untuk menghilangkan


etiologi berupa mikroorganisme, trauma mekanis, zat-zat kimia, dan pengaruh
fisika serta membuang sel dan jaringan nekrotik yang diakibatkan oleh
kerusakan sel. Tujuan akhir dari respon inflamasi yaitu menarik protein
plasma dan fagosit ke tempat yang mengalami cedera agar dapat mengisolasi,
menghancurkan, atau menginaktifkan agen yang masuk, membersihkan
debris dan menyiapkan jaringan untuk proses penyembuhan (Corwin, 2008;
Robbins, 2004). Inflamasi dapat terjadi secara lokal, sistemik, akut, maupun
kronik. Respon inflamasi lokal ditandai dengan bengkak, panas, sakit, dan
kemerahan. Pada abad ke-2, Galen menambahkan pertanda inflamasi yang
kelima yaitu, kehilangan fungsi jaringan yang mengalami inflamasi.
Pengobatan gejala inflamasi pada umumnya untuk memperlambat atau
membatasi proses kerusakan jaringan yang terjadi pada daerah inflamasi.
Salah satu pengobatan gejala inflamasi menggunakan Non Steroid Anti
Inflammation Drugs (NSAIDs), yaitu obat yang digunakan untuk
menghilangkan gejala nyeri, kemerahan, bengkak, panas, dan kehilangan
fungsi jaringan dari kondisi medis seperti arthritis, kram saat menstruasi, dan
tipe lain dari nyeri jangka pendek. Menurut Food Drug Administration (FDA)
NSIADs mempunyai efek samping antara lain: meningkatkan resiko
perdarahan, ulserasi dan perforasi dari esophagus, lambung, dan intestinum,
tekanan darah tinggi, gagal jantung, gangguan hati termasuk gagal hati,
gangguan ginjal termasuk gagal ginjal, dan anemia.
Indonesia merupakan negara tropis yang cocok untuk pertumbuhan
pohon kelapa.Industri kelapa merupakan keunggulan komparatif bagi
Indonesia karena hanya beberapa negara di dunia yang memproduksinya
karena kelapa hanya tumbuh di negara tropis dan Indonesia merupakan
negara dengan areal perkebunan kelapa terluas. Di mana 33,63% di Sumatera,
22,75% di Jawa, Sulawesi 19,40%, Nusa Tenggara 7,70%, Kalimantan
7,62%, Maluku dan Papua 8,89%. Buah kelapa dapat diolah menjadi produk
yang sangat bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan masyarakat karena
daging kelapa dapat diproduksi menjadi Virgin Coconut Oil (VCO), cooking
oil, milk, desicatted, bungkil, soap base dan lain-lain.

1
Institus Sains Dan Teknologi Nasional
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan reaksi infalamasi


2. Penyebab inflamasi
3. Inflamasi lokal dan kronik
4. Tanda – tanda inflamasi
5. Faktor apa saja yang mempengaruhi peradangan dan penyembuhan
1.3 Tujuan

Memahami pengertian dari reaksi inflamasi, penyebab inflamasi,


perbedaan inflamasi lokal dan kronik, tanda inflamasi dan faktor apa saja
yang mempengaruhi peradangan dan penyembuhan inflamasi.

2
Institus Sains Dan Teknologi Nasional
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Reaksi Inflamasi

Reaksi Inflamasi adalah reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau


cedera dan melibatkan lebih banyak mediator dibanding respon imun didapat.
Inflamasi dapat lokal, sistemik, akut dan kronis yang menimbulkan kelainan
patologis. Sel-sel sistem imun non spesifik seperti neutrofil, sel mast, basofil,
eosinofl dan makrofag jaringan berperan dalam inflamasi. Neutrofil
merupakan sel utama pada inflamasi dini, bermigrasi ke jaringan dan
puncaknya terjadi pada 6 jam pertama.

Inflamasi merupakan manifestasi respons imun untuk mengeliminasi


antigen dari dalam tubuh. Proses ini akan terjadi hingga antigen tereliminasi
dari tubuh. Jika antigen dapat dengan mudah dieliminasi, maka yang akan
terjadi adalah inflamasi akut yang berlangsung beberapa jam hingga beberapa
hari. Jika antigen penyebab inflamasi bersifat persisten akibat pajanan
berulang atau terus menerus, maka akan terjadi inflamasi kronik yang dapat
menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan hingga hilangnya fungsi
fisiologis. Proses inflamasi ini dapat terjadi secara lokal maupun sistemik.

Inflamasi ditandai dengan kalor (panas), rubor (merah), tumor


(bengkak), dolor (sakit), dan gangguan fungsi. Prinsip pertahanan tubuh
melawan benda asing diperankan oleh protein plasma dan sirkulasi leukosit,
juga sel fagosit jaringan yang merupakan derivat sel sirkulasi. Untuk memulai
aktivitasnya, leukosit memerlukan interaksi dengan sel lain melalui molekul
adhesi pada matriks. Molekul adhesi dibutuhkan untuk pematangan leukosit
dalam jaringan limfoid, aktivasi dan migrasi leukosit ke jaringan, interaksi dan
aktivasi antar sel imun, baik limfosit B, limfosit T dan monosit. Inflamasi
terbagi menjadi dua pola dasar, yaitu:

3
Institus Sains Dan Teknologi Nasional
a) Inflamasi akut adalah inflamasi yang berlangsung relatif singkat, dari
beberapa menit sampai beberapa hari, dan ditandai dengan eksudasi cairan
dan protein plasma serta akumulasi leukosit neutrofilik yang menonjol.
b) Inflamasi kronik berlangsung lebih lama yaitu berhari-hari sampai
bertahun-tahun dan ditandai khas dengan influks limfosit dan makrofag
disertai dengan proliferasi pembuluh darah dan pembentukan jaringan
parut.

Sel dan mediator-mediator dari sistem imun sangat mempengaruhi


dalam proser respon inflamasi, yang khas ditandai dengan 4 fase. Pertama,
pembuluh darah didaerah sekitar daerah yang mengalami jejas memberi
respon kepada sistem imun. Kedua, sistem imun dalam pembuluh darah
bermigrasi ke dalam jaringan yang mengalami jejas, dan mekanisme dari
sistum imun bawaan dan sistem imun adaptif untuk menetralisir dan
menghilangkan stimulus yang menimbulkan jejas. Selanjutnya adalah proses
perbaikan dan penyembuhan dari jaringan yang mengalami jejas. Dan
peristiwa tersebut merupakan proses dari inflamasi akut. Apabila peristiwa
terus berlanjut dan jaringan yang mengalami jejas tidak mengalami proses
penyembuhan, disebut inflamasi kronik.

Berikut ini adalah mediator-mediator inflamasi beserta efeknya :

a) Vasodilatasi : prostaglandin dan nitrit oksida


b) Peningkatan permeabilitas vaskular : histamin, serotonin, bradikinin,
leukotrien C4, leukotrien D4, dan leukotrien E4
c) Kemotaksis, aktivasi leukosit : leukotrien B4, kemokin (misalnya:
interleukin 8 [IL-8])
d) Demam : IL-1, IL-6, prostaglandin, faktor nekrosis tumor (TNF)
e) Nyeri : prostaglandin dan bradikinin
f) Kerusakan jaringan : nitrit oksida, enzim lisosom neutrofil dan makrofag

2.2 Penyebab Inflamasi

a. Benda Fisik

4
Institus Sains Dan Teknologi Nasional
 Benda-benda Traumatik : Jarum, Pisau, Tombak, Panah, Binatang buas
 Suhu
 Listrik : Voltase tinggi
 Radiasi : Sinar X, Nuklir.
b. Bahan Kimiawi yang Korosif / Toksik :
 HNO3
 H2SO4
 Toksin : Bisa Ular / Kalajengking.
c. Benda Infektifa.
 Bakteri / Kuman / Basil
 Golongan Kokus : Stafilokokus, Streptokokus, Meningokokus,
Pneumokokuse, Diplokokus
 Golongan virus
 RNA : Polio, rabies,
 DNA : HIV
 Golongan Ricketsia 
 Golongan Klamidia
 Golongan mikrobakterium : KP, MH
 Golongan Parasit = Malaria, Sifilis, Kencing tikus. Cacing : Cacing
Kremi, cacing pita, cacing tambang, cacing gelang, Elephanthiasisc.
 Golongan Jamur- jamur = Kandida sp, Kriptokokus neoformans,
Epidermophyta Aspergyllus sp. Tinea : Ingunialis, Kapitis,
Versikolor.

2.3 Inflamasi Lokal dan Sistemik

Inflamasi lokal terjadi sebagai respons imunoproteksi secara segera


terhadap pajanan antigen di jaringan. Berbagai protein serum yang berasal dari
sistem sirkulasi akan teraktivasi di jaringan. Aktivasi tersebut terdiri atas
aktivasi sistem kinin, sistem pembekuan darah, dan fibrin. Bradikinin dan
fibrinopeptida menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas

5
Institus Sains Dan Teknologi Nasional
vaskular. Selain itu, aktivasi sistem komplemen menghasilkan anafilatoksin
(C3a dan C5a) yang akan menginduksi terjadinya degranulasi pada sel mast
sehingga terjadi sekresi berbagai mediator, di antaranya histamin yang
kemudian memicu vasodilatasi.
Beberapa jam setelah terjadinya perubahan vaskular, neutrofil
kemudian melakukan ekstravasasi dari sistem vaskular ke jaringan,
memfagositosis antigen dan melepaskan mediator inflamasi. Selain itu,
makrofag yang ikut memfagositosis antigen pun teraktivasi dan juga
menyekresikan sitokin pro inflamasi di antaranya interleukin (IL)-1, IL-6, dan
tumor necrosis factor (TNF-α). Ketiga sitokin tersebut menginduksi terjadinya
koagulasi darah. Sitokin IL-1 menginduksi diekspresikannya molekul adhesi
pada sel endotel, intercellular adhesion molecule (ICAM-1) dan vascular
adhesion molecule (VCAM-1), sedangkan TNF-α menginduksi peningkatan
ekspresi selektin-E. Dengan demikian, terjadi migrasi sel imun, seperti
limfosit, monosit dan neutrofil menuju area inflamasi dan ekstravasasi sel
imun dari sistem vaskular ke jaringan. Aktivitas interferon (IFN)-γ dan TNF-α
di jaringan meningkatkan kemampuan selular makrofag dan neutrofil. Periode
dan intensitas inflamasi perlu dikendalikan agar tidak menimbulkan kerusakan
jaringan yang parah. Fungsi kontrol ini dibawakan oleh tumor growth factor
(TGF-β) yang kemudian memicu akumulasi dan proliferasi fibroblas dan
matriks ekstraselular yang diperlukan untuk perbaikan jaringan.
Respons inflamasi lokal dapat disertai dengan respons sistemik yang
ditandai dengan demam, peningkatan produksi hormon ACTH dan
hidrokortison, proliferasi leukosit dan sintesis protein fase akut, yaitu C-
reaktif protein (CRP) di hati yang dapat meningkat sebesar 1000 kali selama
respons inflamasi akut.

6
Institus Sains Dan Teknologi Nasional
Gambar 1. Sel dan mediator pada respons inflamasi akut lokal
Kerusakan jaringan memicu pembentukan produk komplemen yang
berperan sebagai opsonin, anafilaktoksin dan faktor kemotaktik. Bradiknin
dan fibrinopeptida diinduksi kerusakan endotel dan memacu perubahan
vaskular. Neutrofil pada umumnya merupakan leukosit pertama yang
bermigrasi ke jaringan diikuti monosit dan limfosit, hanya sebagian interaksi
yang terlibat dalam ekstravasasi leukosit.

2.4 Mekanisme Inflamasi Akut

Pada umumnya inflamasi akut menunjukkan respons yang cepat dan


berlangsung sebentar. Respons ini merupakan respons khas respons imunitas
innate. Inflamasi akut biasanya disertai reaksi sistemik yang ditandai oleh
perubahan cepat dalam kadar beberapa protein plasma. Reaksi dapat
menimbulkan reaksi berantai dan rumit yang berdampak terjadinya
vasodilatasi, kebocoran vaskular mikro dengan eksudasi cairan dan protein
serta infiltrasi lokal sel-sel inflamasiKeterlibatan sel mast dalam inflamasi
akut dapat juga memicu aktivitas eosinofil.
Inflamasi akut adalah respon yang cepat dan segera terhadap
cederayang didesain untuk mengirimkan leukosit ke daerah cedera. Leukosit
membersihkan berbagai mikroba yang menginvasi dan memulai proses
pembongkaran jaringan nekrotik. Terdapat 2 komponen utama dalam proses
radang akut, yaitu perubahan penampang dan struktural dari pembuluh darah
serta emigrasi dari leukosit. Perubahan penampang pembuluh darah akan
mengakibatkan meningkatnya aliran darah dan terjadinya perubahan struktural
pada pembuluh darah mikro akan memungkinkan protein plasma dan leukosit
meninggalkan sirkulasi darah. Leukosit yang berasal dari mikrosirkulasi akan
melakukan emigrasi dan selanjutnya berakumulasi dilokasi cedera.
Segera setelah jejas, terjadi dilatasi arteriol lokal yang mungkin
didahului oleh vasokonstriksi singkat. Sfingter prakapiler membuka dengan
akibat aliran darah dalam kapiler yang telah berfungsi meningkat dan juga
dibukanya anyaman kapiler yang sebelumnya inaktif. Akibatnya anyaman
venular pasca kapiler melebar dan diisi darah yang mengalir deras. Dengan
7
Institus Sains Dan Teknologi Nasional
demikian, mikrovaskular pada lokasi jejas melebar dan berisi darah
terbendung. Kecuali pada jejas yang sangat ringan, bertambahnya aliran darah
(hiperemia) pada tahap awal akan disusul oleh perlambatan aliran darah,
perubahan tekanan intravaskular dan perubahan pada orientasi unsur-unsur
berbentuk darah terhadap dinding pembuluhnya. Perubahan pembuluh darah
dilihat dari segi waktu, sedikit banyak tergantung dari parahnya jejas. Dilatasi
arteriol timbul dalam beberapa menit setelah jejas. Perlambatan dan
bendungan tampak setelah 10-30 menit.
Peningkatan permeabilitas vaskuler disertai keluarnya protein plasma
dan sel-sel darah putih ke dalam jaringan disebut eksudasi dan merupakan
gambaran utama reaksi radang akut. Vaskulatur-mikro pada dasarnya terdiri
dari saluran-saluran yang berkesinambungan berlapis endotel yang bercabang-
cabang dan mengadakan anastomosis.
Sel endotel dilapisi oleh selaput basalis yang berkesinambungan. Pada
ujung arteriol kapiler, tekanan hidrostatik yang tinggi mendesak cairan keluar
ke dalam ruang jaringan interstisial dengan cara ultrafiltrasi. Hal ini berakibat
meningkatnya konsentrasi protein plasma dan menyebabkan tekanan osmotik
koloid bertambah besar, dengan menarik kembali cairan pada pangkal kapiler
venula. Pertukaran normal tersebut akan menyisakan sedikit cairan dalam
jaringan interstisial yang mengalir dari ruang jaringan melalui saluran
limfatik. Umumnya, dinding kapiler dapat dilalui air, garam dan larutan
sampai berat jenis 10.000 dalton.

2.5 Mekanisme Inflamasi Kronik

Inflamasi kronik terjadi jika antigen persisten di dalam jaringan.


Manifestasi inflamasi kronik adalah kerusakan jaringan yang parah, hingga
mengalami disfungsi. Awitan inflamasi kronik dipengaruhi oleh jenis antigen
serta tempat terjadinya reaksi imun yang dominan. Pada kasus inflamasi
kronik, ada keterlibatan elemen sistem imun adaptif (delayed-type
hypersensitivity), yaitu limfosit. Pada inflamasi kronik makrofag berperan
dalam hal:

8
Institus Sains Dan Teknologi Nasional
a) Fagositosis antigen atau debris selular, seperti neutrofil yang
berdegenerasi setelah terkontrolnya inflamasi
b) Aktivasi limfosit T melalui presentasi antigen dan sekresi sitokin
Inflamasi kronik merupakan inflamasi dengan durasi waktu yang lama
(beberapa minggu atau bulan) dimana terjadi peradangan, kerusakan jaringan,
dan perbaikan yang berdampingan. Inflamasi kronik terjadi bila proses
infalamasi akut gagal, dan bila antigen menetap. Antigen yang menetap
menimbulkan aktivasi dan akumulasi makrofag yang terus menerus. Makrofag
berperan dalam memperbaiki jaringan parenkim yang rusak. Fagositosis
dilakukan terhadap debris sel dan bahan-bahan lain yang belum didegradasi
oleh neutrofil. Hasilnya, dapat berupa kembalinya struktur normal jaringan,
atau fibrosis yang menyebabkan disfungsi pada jaringan tersebut.
Antigen yang persisten dapat menyebabkan timbulnya sel epiteloid dan
terjadinya granuloma. Aktivitas TNF-α di jaringan menyebabkan
dipertahankannya struktur granuloma. Keterlibatan limfosit T yang kemudian
menyekresikan IFN-γ menyebabkan terjadinya datangnya makrofag untuk
membentuk sel datia. Pembentukan granuloma biasanya ditemukan pada
kasus inflamasi akibat silika, talk, atau karena penyakit bakteri yang kronis
seperti infeksi M. tuberculosis, M. lepra, dan H. capsulatum. Infeksi bakteri
kronik dapat memacu pembentukan granuloma berupa agregrat fagosit
mononuklear dan sel plasma yang disebut delayed type hipersensitivity (DTH)
atau tipe lambat/ tipe 4.
Tujuan pembentukan granuloma ini adalah untuk mengisolasi fokus
inflamasi, membatasi penyebaran antigen serta membantu makrofag untuk
mempresentasikan antigen pada limfosit T.

Perbedaan inflamasi akut dan inflamasi kronis

Tabel 1. Perbedaan inflamasi akut dan inflamasi kronis

9
Institus Sains Dan Teknologi Nasional
Perbedaan inflamasi akut dan inflamasi kronis sesuai dengan pemicunya

Tabel 2. Perbedaan Inflamasi dan Pemicunya

2.6 Macam – Macam Sel dan Mediator Inflamasi Kronik

1) Makrofag
Makrofag merupakan sel dominan yang berperan penting pada
peradangan kronik. Makrofag adalah satu komponen sistem fagosit
mononuklear atau sistem retikuloendotel. Fagosit mononuklear berasal
dari sumsum tulang kemudian berkembang sebagai monosit di darah.
Monosit bermigrasi ke berbagai tempat dan berdiferensiasi menjadi
makrofag dan dapat bertahan hidup selama beberapa bulan atau beberapa
tahun. Monosit mulai bermigrasi sangat cepat ke dalam ekstravaskular
jaringan pada saat awal peradangan akut dan dalam 48 jam mereka

10
Institus Sains Dan Teknologi Nasional
menjadi sel yang dominan. Ketika monosit mencapai jaringan
ekstravaskular, segera bertransformasi menjadi makrofag.
Makrofag dapat diaktivasi oleh berbagai stimuli, misalnya produk
mikroba yang berikatan dengan toll like receptors (TLRs) dan sel reseptor
lainnya, sitokin (contohnya IFN-γ) yang disekresikan oleh limfosit T
tersensitisasi, natural killer cell (NK cell) dan mediator kimia lainnya.
Makrofag akan segera mengeliminasi berbagai agen yang berbahaya,
contohnya mikroba, dan memulai proses perbaikan serta bertanggung-
jawab atas kerusakan jaringan pada peradangan kronik. Aktivasi makrofag
yang merusak jaringan merupakan suatu tanda peradangan kronik. Pada
peradangan kronik, akumulasi makrofag yang menetap terjadi akibat
rekrutmen yang terus-menerus dari sirkulasi, dan terjadi proliferasi lokal
pada tempat peradangan.

2) Limfosit, Sel Plasma, Eosinofil dan Sel Mast


Selain makrofag, pada peradangan kronik juga ditemukan limfosit,
sel plasma, eosinofil dan sel mast. Limfosit-T dan limfosit-B bermigrasi ke
tempat radang dengan menggunakan beberapa pasangan molekul adhesi
dan kemokin yang serupa dengan molekul yang merekrut monosit.
Limfosit dimobilisasi pada keadaan setiap ada rangsang imun spesifik
(infeksi) dan peradangan yang diperantarai nonimun (infark atau trauma
jaringan). Telah disebutkan diatas bahwa aktivasi limfosit memiliki
hubungan dengan aktivasi makrofag, menyebabkan terjadinya fokus
radang akibat proliferasi dan akumulasi makrofag di tempat cedera.
Sel plasma merupakan produk akhir dari aktivasi sel limfosit-B yang
mengalami diferensiasi akhir. Sel plasma dapat menghasilkan antibodi
yang diarahkan untuk melawan antigen di tempat radang atau melawan
komponen jaringan yang berubah. Eosinofil secara khusus dapat
ditemukan di tempat radang sekitar terjadinya infeksi parasit atau bagian
reaksi imun yang diperantarai oleh IgE yang berkaitan khusus dengan
alergi.

11
Institus Sains Dan Teknologi Nasional
Kedatangan eosinofi dikendalikan oleh molekul adhesi yang sama
seperti yang digunakan oleh neutrofil dan juga kemokin eotaksin yang
dihasilkan oleh sel leukosit atausel epitel. Granula eosinofil mengandung
suatu protein disebut MBP (major basic protein), yaitu suatu protein
kationik bermuatan besar dan bersifat toksik terhadap bakteri.
Adapun sel mast merupakan sel yang tersebar luas dalam jaringan
ikat dan dilengkapi oleh IgE terhadap antigen tertentu. Apabila terpajan
dengan antigen tersebut, maka sel mast akan mengeluarkan histamin dan
produk asam arakhidonat yang menyebabkan perubahan vaskular pada
radang akut. Sel mast juga dapat mengelaborasisitokin seperti TNF yang
berperan pada respons kronik yang lebih besar.

3) Kerjasama seluler pada radang kronik


Infiltrat jaringan limfositik pada radang kronik meliputi dua jenis
utama limfosit, yaitu limfosit-B dan limfosit-T. Limfosit-B, pada saat
kontak dengan antigen, cepat berubah menjadi sel plasma, yang
merupakan sel khusus yang sesuai untuk produksi antibodi. Sedangkan
limfosit-T bertanggung jawab pada sel perantara imunitas. Pada saat
kontak dengan antigen, limfosit-T memproduksi berbagai faktor pelarut
yang disebut sitokin yang memiliki sejumlah aktivitas penting:

a. Pengumpulan makrofag ke dalam area


Telah diketahui bahwa makrofag dikumpulkan ke daerah lesi terutama
dipengaruhi oleh faktor penghambat migrasi (migrationinhibition
factors = MIF) yang akan mengikat makrofag dalam jaringan. Faktor
pengaktif makrofag (makrofag activation factors = MAF) merangsang
makrofag memakan dan membunuh bakteri.
b. Produksi mediator radang
Limfosit-T memproduksi sejumlah mediator radang, termasuksitokin,
faktor kemotaksis untuk neutrofil, dan faktor lain yangmeningkatkan
permeabilitas vaskuler.
c. Pengumpulan limfosit lain

12
Institus Sains Dan Teknologi Nasional
Interleukin merangsang limfosit lain untuk membelah dan memberikan
kemampuan membentuk sel perantara respons imun terhadap berbagai
antigen. Limfosit-T juga bekerja sama dengan limfosit-B
membantunya untuk mengenali antigen.
d. Destruksi sel target
Faktor-faktor seperti perforin diproduksi untuk menghancurkan sel lain
melalui perusakan membran selnya.
e. Produksi interferon
Interferon γ, diproduksi oleh sel-T teraktivasi, mempunyai sifat
antivirus dan pada saat tertentu mengaktifkan makrofag. Interferon α
dan β, diproduksi oleh makrofag dan fibroblas, yang mempunyai sifat
antivirus dan sel pembunuh alami yang aktif (activate natural
killercells = NK cells) dan makrofag.

2.7 Peradangan Granulomatosa

Peradangan granulomatosa adalah peradangan kronik dengan pola


yang khas, dapat menular dan pada beberapa kondisi tidak menular. Reaksi
imun biasanya terlibat pada perkembangan granuloma. Granuloma adalah sel
yang mengandung agen yang sulit untuk diberantas. Dalam upaya ini sering
aktivasi limfosit T yang kuat menyebabkan aktivasi makrofag, yang dapat
menyebabkan kerusakan pada jaringan normal. Pembentukan granuloma akan
mengisolasi fokus inflamasi yang persisten, membatasi penyebaran dan
memungkinkan fagosit mononuklear mempresentasikan antigen ke limfosit
yang ada dipermukaan. Tuberkulosis adalah prototipe penyakit
granulomatosa. Penyakit lainnya adalah sarkoidosis, cat-scratch disease,
limfogranuloma inguinale, lepra, brucellosis, sifilis, beberapa infeksi mikotik,
beriliosis, reaksi iritan lipid, dan beberapa penyakit autoimun. Adanya pola
granulomatosa dalam spesimen biopsi adalah penting karena untuk
mengetahui kemungkinan kondisi yang menyebabkan dan pentingnya
diagnosis yang berhubungan dengan lesi.
Granuloma adalah sebuah fokus peradangan kronik yang terdiri dari
agregasi mikroskopis makrofag yang berubah menjadi epitel seperti sel
13
Institus Sains Dan Teknologi Nasional
(epithelial-like cell), dikelilingi oleh leukosit mononuklear, terutama limfosit
dan kadang-kadang sel plasma. Dalam hematosilin biasa dan pewarnaan eosin
jaringan, sel-sel memiliki sitoplasma epiteloid butiran warna merah muda
pucat dengan batas-batas sel tidak jelas, sering muncul untuk bergabung
menjadi satu sama lain. Inti kurang padat dibandingkan limfosit, bisa oval atau
memanjang, dan dapat terlihat lipat membran nuklear. Granuloma yang sudah
tua dikelilingi tepi fibroblas dan jaringan ikat. Sering sel epiteloid berfusi
untuk membentuk sel-sel raksasa di pinggiran atau kadang-kadang di pusat-
pusat granuloma. Sel-sel raksasa memiliki diameter 40 sampai 50 mikrometer.
Mereka memiliki massa besar sitoplasma yang mengandung 20 atau lebih
nukleus diatur baik perifer (langerhans-jenis sel raksasa) atau acak (benda
asing tubuh (foreign body)-jenis sel raksasa). Tidak ada perbedaan fungsional
di antara kedua jenis sel raksasa.

2.8 Metabolisme Asam Arakhidonat

Prekursor utama dari mediator adalah asam arakhidonat. Asam


arakhidonat terdapat dalam komponen fosfolipid membrane sel, terutama
fosfatidil inositol dan kompleks lipid dan kompleks lipid lainnya. Asam
arakhidonat bebas dilepaskan dari jaringan fosfolipid oleh kerja fosfolipase A 2
dan hasil hydrolase lainnya, melalui suatu proses yang dikontrol oleh hormone
dan rangsangan lain.

Jalur utama metabolisme asam arakhidonat meliputi:

1. Jalur siklo-oksigenase: Semua eicosanoid berstruktur cincin sehingga,


prostaglandin, tromboksan, prostasiklin, disintesis melalui jalur
siklooksigenase. Ada dua siklooksigenase, yaitu COX-1 dan COX-2.
COX1 bersifat ada dimana-mana dan pembentuk, sedangkan yang kedua
diinduksi dalam respons terhadap rangsangan inflamasi.

2. Jalan lipooksigenase: Jalan lain, beberpa lipooksigenase dapat bekerja


pada asam arakhidonat untuk membentuk 5-HPETE, 12-HPETE dan 15-
HPETE, yang merupakan turunan peroksidasi tidak stabil yang dikonversi

14
Institus Sains Dan Teknologi Nasional
menjadi turunan hidroksilasi in, sesuai (HETES), atau menjadi leukotrin
atau lipok.

Enzim siklooksigenase terdapat dalam dua isoform disebut COX-1 dan


COX-2. Kedua isoform tersebut dikode oleh gen yang berbeda dan
ekspresinya bersifat unik. Secara garis besar COX-1 esensial dalam
pemeliharaan berbagai fungsi dalam kondisi normal di berbagai jaringan
khususnya ginjal, saluran cerna, dan trombosit. Di mukosa lambung, aktivasi
COX-1 menghasilkan prostasiklin yang bersifat sitoprotektif.
Siklooksegenase-2 diinduksi oleh berbagai stimulus inflamasi, termasuk
sitokin, endotoksin dan faktor pertumbuhan (growth factors). Tromboksan A2,
yang disintesis trombosit oleh COX-1, menyebabkan agregasi trombosit,
vasokontriksi dan proliferasi otot polos. Sebaliknya prostasiklin (PGI2) yang
disintesis oleh COX-2 di endotel makrovaskular melawan efek tersebut dan
menyebabkan penghambatan agregasi trombosit, vasodilatasi dan efek
antiproliferatif.

Metabolisme asam arakhidonat menghasilkan prostaglandin yang


mempunyai efek pada pembuluh darah, ujung saraf, dan pada sel-sel yang
terlibat dalam inflamasi. Obat golongan steroid menghambat enzim
fosfolipase A2 sehingga tidak terbentuk asam arakhidonat. Tidak adanya asam
arakhidonat berarti tidak terbentuknya prostaglandin. Sedangkan obat AINS
(non steroid) menghambat siklooksigenase (COX-1 dan COX-2) ataupun
menghambat secara selektif COX-2 saja sehingga tidak terbentuk mediator -
mediator nyeri yaitu prostaglandin dan tromboksan.

2.9 Tanda - Tanda Inflamasi

Terjadinya inflamasi adalah reaksi lokal dari jaringan atau sel terhadap
suatu rangsangan. Jika ada cedera, terjadi rangsangan untuk melepaskan zat
kimia tertentu yang menstimulasi terjadinya perubahan jaringan sebagai
manifestasi dari radang, diantaranya yaitu histamin, serotonin, bradikinin,
leukotrien dan prostaglandin.

15
Institus Sains Dan Teknologi Nasional
Cyclooxygenase (COX) merupakan enzim yang terdapat pada jalur
biosintetik dari prostaglandin, tromboksan dan prostasiklin. Enzim ini
ditemukan tahun 1988 oleh Dr. Daniel Simmons, peneliti dari Harvard
University. Cyclooxygenase terbagi dua yaitu COX-1 dan COX-2. COX-1
sebagai housekeeping gen pada hampir seluruh jaringan normal, sedangkan
enzim COX-2 bertanggung jawab terhadap mekanisme inflamasi dan rasa
nyeri. COX-2 membentuk PGE2 dan PGI2 yang dapat menyebabkan
terjadinya beberapa proses biologis yaitu peningkatan permeabilitas kapiler,
agen piretik dan hyperalgesia.

Beberapa tanda inflamasi:

a) Rubor atau kemerahan


Kemerahan atau rubor biasanya merupakan hal pertama yang
terlihat pada saat mengalami peradangan. Ketika reaksi peradangan mulai
timbul maka arteri yang mensuplai darah ke daerah tersebut melebar, oleh
karena itu darah mengalir lebih banyak ke dalam mikrosirkulasi lokal.
Pembuluh darah yang sebelumnya kosong atau sebagian saja meregang
dengan cepat dan terisi penuh oleh darah. Keadaan ini dinamakan
hiperemia atau kongesti menyebabkan warna merah lokal karena
peradangan akut. Timbulnya hyperemia merupakan permulaan reaksi
peradangan diatur oleh tubuh melalui pengeluaran zat mediator seperti
histamin.
b) Kalor atau peningkatan suhu tubuh
Panas merupakan reaksi pada permukaan tubuh yakni kulit yang
terjadi bersamaan dengan kemerahan akibat peradangan. Daerah
peradangan pada kulit menjadi lebih panas dari sekelilingnya, hal ini
terjadi karena darah dengan suhu 37oC lebih banyak disalurkan ke
permukaan daerah yang terkena radang lebih banyak dibandingkan ke
daerah normal.
c) Dolor atau nyeri
Rasa sakit atau dolor dari reaksi peradangan dihasilkan dengan
berbagai mekanisme. Perubahan pH lokal atau konsentrasi ion-ion
tertentu dapat merangsang ujung-ujung saraf untuk mengeluarkan zat
16
Institus Sains Dan Teknologi Nasional
kimia tertentu misalnya mediator histamin atau mediator lainnya yang
menyebabkan pembengkakan dan peradangan pada jaringan sehingga
mengakibatkan peningkatan tekanan lokal dapat menimbulkan rasa sakit.
d) Tumor atau pembengkakan
Gejala dari peradangan akut adalah tumor atau pembengkakan. Hal
ini terjadi akibat meningkatnya permeabilitas dinding kapiler serta adanya
penyaluran cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan yang cedera.
Pada peradangan, dinding kapiler tersebut menjadi lebih permeabel dan
lebih mudah dilalui oleh leukosit dan protein terutama albumin yang
diikuti oleh molekul yang lebih besar sehingga plasma jaringan
mengandung lebih banyak protein yang kemudian meninggalkan kapiler
dan masuk ke dalam jaringan sehingga menyebabkan jaringan menjadi
bengkak.
e) Functio Laesa
Functio laesa adalah reaksi peradangan yang ditandai dengan nyeri
disertai adanya sirkulasi yang abnormal akibat penumpukan dan aliran
darah yang meningkat sehingga menghasilkan lingkungan kimiawi lokal
yang abnormal dan menjadikan jaringan yang terinflamasi tersebut tidak
berfungsi normal.

2.10 Proses Inflamasi Akut

Inflamasi akut akan terjadi secara cepat (menit – hari) dengan ciri
khasutama eksudasi cairan, akumulasi neutrofil memiliki tanda – tanda
umum berupa rubor (redness), calor (heat), tumor (swelling), Dolor (pain),
Functio laesa (lose offunction). Seperti gambar dibawah ini :

17
Institus Sains Dan Teknologi Nasional
Gambar 2. Tahapan terjadinya inflamasi akut

Terjadi karena tujuan utama adalah mengirim leukosit ke tempat jelas


bersihkan setiap mikroba. Dengan dua proses utama, perubahan vaskular
(vasodilatasi, peningkatan permeabilitas) dan perubahan selular (rekrutmen
danaktivasi selular). Perubahan makroskopik yang dapat diamati berupa
hiperemia yang memberikan penampakan eritema, exudation yang
memberikan penampakan edema, dan emigrasi leukosit.

1) Hyperaemia
Jejak yang terbentuk pertama – tama akan menyebabkan dilatasi
arteri lokal (didahului vasokonstriksi sesaat). Dengan demikian
mikrovaskular pada lokasi jejas melebar, aliran darah mengalami
perlambatan, dan terjadi bendungan darah yang berisi eritrosit pada
bagian tersebut, yang disebut hiperemia. Pelebaran ini lah yang
menyebabkan timbulnya warna merah (eritema) dan hangat. Perlambatan
dan bendungan ini terlihat setelah 10-30 menit Hyperaemia di dalam
inflamasi berhubungan dengan perubahan mikrovaskular, yang disebut
Lewis’ triple response - berupa - a FLUSH, a FLARE and a WEAL‖. The
FLUSH ditandai dengan garis putih (dikarenakan adanya vasokonstriksi).
The FLUSH merupakan garis merah (dikarenakan dilatasi kapiler). The
FLARE merupakan daerah dengan warna merah yang lebih terang
disekitarnya (dikarenakan dilatasi arteri)

18
Institus Sains Dan Teknologi Nasional
2) Exudating
Selanjutnya, terjadi peningkatan permeabilitas endotel disertai
keluarnya protein plasma dan sel-sel leukosit ke daerah extravaskular
yang disebut eksudasi. Hal ini menyebabkan sel darah merah dalam darah
terkonsentrasi, viskositas meningkat, sirkulasi menurun, terutama pada
pembuluh darah – pembuluh darah kecil yang sisebut stasis. Pada ujung
arteriol kapiler, tekanan hidrostatik yang tinggi mendesak cairan keluar
ke dalam ruang jaringan interstisial dengan cara ultrafiltrasi.
Hal ini berakibat meningkatnya konsentrasi protein plasma dan
menyebabkan tekanan osmotik koloid bertambah besar, dengan menarik
kembali cairan pada pangkal kapiler venula. Pertukaran normal tersebut
akan menyisakan sedikit cairan dalam jaringan interstisial yang mengalir
dari ruang jaringan melalui saluran limfat umumnya, dinding kapiler
dapat dilalui air, garam, dan larutan sampai berat jenis 10.000 dalton.
Eksudat adalah cairan radang ekstravaskuler dengan berat jenis tinggi
(diatas 1.020) dan seringkali mengandung protein 2-4 mg% serta sel – sel
darah putihyang melakukan emigrasi. Cairan ini tertimbun sebagai akibat
peningkatan permeabilitas vaskuler (yang memungkinkan protein plasma
dengan molekul besar dapat terlepas), bertambahnya tekanan hidrostatik
intravaskular sebagai akibat aliran darah lokal yang meningkat pula dan
serentetan peristiwa rumit leukosit yang menyebabkan emigrasinya

3) Emigration
Penimbunan sel-sel darah putih, terutama neutrofil dan monosit
pada lokasi jejas, merupakan aspek terpenting reaksi radang. Sel – sel
darah putih mampu memfagosit bahan yang bersifat asing, termasuk
bakteri dan debris sel – sel nekrosis,dan enzim lisosom yang terdapat di
dalamnya membantu pertahanan tubuh dengan beberapa cara. Beberapa
produk sel darah putih merupakan penggerak reaksi radang, dan pada hal
– hal tertentu menimbulkan kerusakan jaringan yang berarti Baik
neutrofil, maupun sel berinti tunggal dapat melewati celah antar
selendhotelial dengan menggunakan pergerakan amoeboid menuju

19
Institus Sains Dan Teknologi Nasional
jaringan target. Dalam fokus radang, awal bendungan sirkulasi mikro
akan menyebabkan sel – sel darah merah menggumpal dan membentuk
agregat – agregat yang lebih besar daripada leukosit sendiri.
Menurut hukum fisika aliran, massa sel darah merah akan terdapat
di bagian tengah dalam aliran aksial, dan sel – sel darah putih pindah ke
bagian tepi (marginasi). Mula – mula sel darah putih bergerak dan
menggulung pelan – pelan sepanjang permukaan endotel pada aliran yang
tersendat tetapi kemudian sel – sel tersebut akan melekat dan melapisi
permukaan endotel. Emigrasi adalah proses perpindahan sel darah putih
yang bergerak keluar dari pembuluh darah. Tempat utama emigrasi
leukosit adalah pertemuan antar - selendotel. Walaupun pelebaran
pertemuan antar – sel memudahkan emigrasi leukosit, tetapi leukosit
mampu menyusup sendiri melalui pertemuan antar – sel endotel yang
tampak tertutup tanpa perubahan nyata.

4) Kemotaksi
Setelah meninggalkan pembuluh darah, leukosit bergerak menuju
ke arah utama lokasi jejas. Migrasi sel darah putih yang terarah ini
disebabkan oleh pengaruh – pengaruh kimia yang dapat berdifusi disebut
kemotaksis. Hampir semua jenis sel darah putih dipengaruhi oleh faktor –
faktor kemotaksis dalam derajat yang berbeda – beda. Neutrofil dan
monosit paling reaktif terhadap rangsang kemotaksis. Sebaliknya limfosit
bereaksi lemah. Beberapa faktor kemotaksis dapat mempengaruhi
neutrofil maupun monosit, yang lainnya bekerja secara selektif terhadap
beberapa jenis sel darah putih. Faktor – faktor kemotaksis dapat
endogen berasal dari protein plasma atau eksogen,
misalnya produk bakteri berupa protein maupun polipeptida

5) Fagositosis
Setelah leukosit sampai di lokasi radang, terjadilah proses
fagositosis. Meskipun sel-sel fagosit dapat melekat pada partikel dan
bakteri tanpa didahului oleh suatu proses pengenalan yang khas, tetapi

20
Institus Sains Dan Teknologi Nasional
fagositosis akan sangat ditunjang apabila mikroorganisme diliputi oleh
opsonin, yang terdapat dalam serum (misalnya IgG, C3). Setelah bakteri
yang mengalami opsonisasi melekat pada permukaan, selanjutnya sel
fagosit sebagian besar akan meliputi partikel, berdampak pada
pembentukan kantung yang dalam. Partikel ini terletak padavesikel
sitoplasma yang masih terikat pada selaput sel, disebut fagosom.
Meskipun pada waktu pembentukan fagosom, sebelum menutup lengkap,
granula-granula sitoplasma neutrofil menyatu dengan fagosom dan
melepaskan isinya ke dalamnya, suatu proses yang disebut degranulasi.
Sebagian besar mikroorganisme yang telah mengalami pelahapan mudah
dihancurkan oleh fagosit yang berakibat pada kematian mikroorganisme.
Walaupun beberapa organisme yang virulen dapat menghancurkan
leukosit.

2.11 Faktor yang Mempengaruhi Peradangan dan Penyembuhan

Seluruh proses peradangan bergantung pada sirkulasi yang utuh ke


daerah yang terkena. Jadi, jika ada defisiensi suplai darah kedaerah yang
terkena, maka proses peradangannya sangat lambat, infeksi yang menetap
dan penyembuhan yang jelek. Banyak faktor yang mempengaruhi
penyembuhan luka atau daerah cidera atau daerah peradangan lainnya, salah
satunya adalah bergantung pada poliferasi sel dan aktivitas sintetik,
khususnya sensitif terhadap defisiensi suplai darah lokal dan juga peka
terhadap keadaan gizi penderita.
Penyembuhan juga dihambat oleh adanya benda asing atau jaringan
nekrotik dalam luka, oleh adanya infeksi luka dan immobilisasi yang tidak
sempurna. Komplikasi pada penyembuhan luka kadang – kadang terjadi saat
proses penyembuhan luka. Jaringan parut mempunyai sifat alami untuk
memendek dan menjadi lebih padat, dan kompak setelah beberapa lama.
Akibatnya adalah kontraktur yang dapat membuat dareah menjadi cacat dan
pembatasan gerak pada persendian. Komplikasi penyembuhan yang kadang
– kadang dijumpai adalah amputasi atau neuromatraumatik, yang secara
sederhana merupakan poliferasi regeneratif dari serabut – serabut saraf
21
Institus Sains Dan Teknologi Nasional
kedalam daerah penyembuhan dimana mereka terjerat pada jaringan parut
yang padat.

Faktor yang mempengaruhi kualitas respon inflamasi dan perbaikan


 Ada/tidaknya suplai darah
 Status gizi individu ( protein ; vit.C )
 Ada/tidaknya infeksi
 Ada/tidaknya diabetes melitus
 Sedang dalam pengobatan glukokortikoid
 Kadar sel darah putih dalam sirkulasi

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi penyembuhan luka atau


daerah cedera atau peradangan jaringan lain. Proses penyembuhan, yang
demikian bergantung pada proliferasi sel dan aktifitas sistetik, khususnya
sensitive terhadap defisiensi suplai darah local (dengan disertai gangguan
pengiriman bahan baku), dan juga peka terhadap keadaan gizi penderita.
Pada penderita jelas kekurangan gizi luka tidak menyembuhkan secara
optimal. Penyembuhan luka juga dihambat oleh adanya benda asing atau
jaringan nekrotik dalam luka, oleh adanya infeksi luka, imobilisasi yang
tidak sempurna dan pendekatan tepi luka.

22
Institus Sains Dan Teknologi Nasional
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Reaksi Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau


cedera dan melibatkan lebih banyak mediator dibanding respon imun yang
didapat. Inflamasi dapat lokal, sistemik, akut dan kronis yang menimbulkan
kelainan patologis.
Inflamasi merupakan manifestasi respons imun untuk mengeliminasi
antigen dari dalam tubuh. Proses ini akan terjadi hingga antigen tereliminasi
dari tubuh. Jika antigen dapat dengan mudah dieliminasi, maka yang akan
terjadi adalah inflamasi akut yang berlangsung beberapa jam hingga beberapa
hari. Jika antigen penyebab inflamasi bersifat persisten akibat pajanan
berulang atau terus menerus, maka akan terjadi inflamasi kronik
Dapat di simpulkan bahwa inflamasi bukanlah suatu penyakit,
melainkan manifestasi dari suatu penyakit. Dimana inflamasi merupakan
respon fisiologis lokal terhadap cidera jaringan. Inflamasi dapat pula
mempunyai pengaruh yang menguntungkan, selain berfungsi sebagai
penghancuran mikroorganisme yang masuk dan pembuatan dinding pada
rongga akses, inflamasi juga dapat mencegah penyebaran infeksi. Tetapi ada
juga pengaruh yang merugikan dari inflamasi, karena secara seimbang radang

23
Institus Sains Dan Teknologi Nasional
juga memproduksi penyakit. Misalnya, abses otak dan mengakibatkan
terjadinya distori jaringan yang permanen dan menyebabkangangguan fungsi.

3.2 Saran

Dengan membaca dan mempelajari isi makalah ini, diharapkan


pengetahuan pembaca tentang reaksi inflamasi dapat bertambah, serta
mengerti tentang akibat dan pengaruh yang disebabkan oleh inflamasi itu
sendiri. Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini belum sempurna dan
masih banyak terdapat kekurangan, untuk itu kritik dan saran yang sifatnya
membangun sangat diharapkan demi perbaikan penulisan yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

Agustina, R., Indrawati, T., D., Masruhin, M., A., 2015, Aktivitas Ekstrak
Daun Salam (Eugenia Polyantha) sebagai Anti inflamasi pada Tikus Putih
(Rattus Norvergicus), J.Trop. Pharm. Chem. Vol 3. No 2.

Dorland, W.A.N. (2002). Kamus Kedokteran Dorland (Setiawan, A.,


Banni, A.P., Widjaja, A.C., Adji, A.S., Soegiarto, B., Kurniawan, D., dkk,
penerjemah).Jakarta: EGC. (Buku asli diterbitkan 2000).

Gunawan, Sulistia Gan. Setiabudy, Rianto. Nafrialdi. Elysabeth. 2007.


Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: FKUI.

Guyton, A.C. & Hall, J.E. (1997). Buku ajar fisiologi kedokteran (9th ed.)
(Setiawan, I., Tengadi, K.A., Santoso, A., penerjemah). Jakarta: EGC (Buku asli
diterbitkan1996).

Kee, J. L. dan Evelyn, R. H., 1996, Farmakologi : Pendekatan proses


Keperawatan. Cetakan I. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.

24
Institus Sains Dan Teknologi Nasional
Price, S. A. dan Wilson, L. M. C., 1995, Fisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit, Edisi Empat, Buku Kedua, 767-769, 773-776, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.

25
Institus Sains Dan Teknologi Nasional

Anda mungkin juga menyukai