Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH ILMU DASAR KEPERAWATAN

" RESPON RADANG"

Dosen pengampu : Ns.Metha Kemala Rahayu SyafwanM.Kep, Sp.Kep.An

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 4
Indah Afriyani (23366031)
Jihan Salsabila (23366032)
Naylatul Hassanah (23366033)
Nezla Anita (23366034)
Nur Raimah (23366035)

DEPARTEMEN KEPERAWATAN
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2023

Kata pengantar

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena telah memberikan


kesempatan pada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan
hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Respon
Radang tepat waktu.
Makalah Respon Radang disusun guna memenuhi tugas Ns.Metha Kemala
Rahayu SyafwanM.Kep, Sp.Kep.An pada di universitas negeri padang . Selain itu,
penulis juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca
tentang Respon Radang.
Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada ibuk selaku
dosen pengampu ilmu keperawatan dasar Tugas yang telah diberikan ini dapat
menambah pengetahuan dan wawasan terkait bidang yang ditekuni penulis.
Penulis juga mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu
proses penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan
makalah ini.

Padang, 16 februari 2024

Kelompok 4
Daftar Isi

Kata pengantar...................................................................................................................2
Daftar Isi.............................................................................................................................3
BAB I...................................................................................................................................3
PENDAHULUAN..................................................................................................................4
1.1 Latar belakang..........................................................................................................4
1.2 Rumusan masalah....................................................................................................4
1.3. Tujuan......................................................................................................................4
BAB II..................................................................................................................................6
PEMBAHASAN....................................................................................................................6
2.1 Definisi Respon Radang............................................................................................6
2.2. Penyebab Respon Radang.......................................................................................6
2.3. Jenis Respon Radang...............................................................................................8
2.4. Faktor faktor respon radang..................................................................................23
2.5 Patafisiologi Respon Radang...................................................................................25
2.6 Pencegahan dan pengobatan respon radang…………………………………………………….…26
BAB III...............................................................................................................................28
PENUTUP..........................................................................................................................28
3.1 Kesimpulan.............................................................................................................28
3.2 Saran......................................................................................................................28
DAFTAR PUSAKA...............................................................................................................30
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


Inflamasi adalah respons alami tubuh terhadap ancaman seperti infeksi, cedera,
atau paparan racun. Ini adalah proses kompleks yang dimulai dengan pelepasan
sitokin, molekul pengatur yang merangsang produksi sel inflamasi seperti
makrofag dan neutrofil.

Ketika tubuh mengalami cedera, sel-sel ini bekerja bersama untuk


mengidentifikasi dan menghancurkan agen penyebab penyakit. Namun, dalam
beberapa kasus, inflamasi dapat menjadi kronis dan berkontribusi pada berbagai
penyakit seperti arthritis, penyakit jantung, dan bahkan penyakit autoimun.

Peran sitokin menjadi sangat penting dalam konteks ini karena mereka tidak
hanya memicu respons inflamasi, tetapi juga berperan dalam mengatur
keseimbangan antara elemen-elemen pro-inflamasi dan anti-inflamasi. Oleh
karena itu, pemahaman yang lebih dalam tentang mekanisme ini menjadi krusial
untuk mengembangkan strategi pengobatan yang lebih efektif dan terarah,
mengingat peran inflamasi dalam perkembangan berbagai penyakit pada manusia.

Sel-sel kekebalan tubuh, saat menanggapi ancaman bakteri atau patogen, memicu
respons inflamasi sebagai upaya melindungi tubuh dan memulihkan jaringan yang
terluka. Meskipun penting, proses ini dapat menyebabkan gejala seperti rasa sakit,
pembengkakan, memar, dan kemerahan sebagai tanda aktivitas sel inflamasi.

Namun, pada individu dengan penyakit autoimun seperti arthritis, kompleksitas


sistem kekebalan tubuh menyebabkan dampak yang kontradiktif. Sistem
kekebalan yang seharusnya melindungi tubuh justru dapat berperilaku secara tidak
tepat, memicu peradangan tanpa kehadiran patogen penyebab penyakit. Dalam
keadaan ini, kebingungan bisa terjadi saat sistem kekebalan tubuh bereaksi seolah-
olah jaringan sehat telah terinfeksi, yang mengakibatkan serangan terhadap sel
sehat yang sebenarnya harus dilindungi.

Pemahaman yang mendalam tentang mekanisme ini menjadi kunci dalam


mengatasi dampak negatif penyakit autoimun, memungkinkan pengembangan
terapi yang lebih tepat dan spesifik. Oleh karena itu, penelitian yang terus
berkembang sangat penting untuk mengurai kompleksitas respons inflamasi dan
merancang pendekatan yang sesuai untuk mengatasi ketidakseimbangan dalam
sistem kekebalan tubuh pada kondisi patologis ini.

1.2. Rumusan masalah


A. Apakah definisi Respon Radang?
B. Apakah penyebab Respon Radang?
C. Apa saja jenis-jenis Respon Radang?
D. Apa saja Faktor factor Respon Radang?
E. Bagaimanakah fatofisiologi Respon Radang?
F. Bagaimana Pencegahan dan Pengobatan respon radang?

1.3. Tujuan
A. Mengetahui definisi Respon Radang
B. Mengetahui penyebab Respon Radang
C. Mengetahui jenis jenis Respon Radang
D. Mengetahui factor faktor Respon Radang
E. Mengetahui fatofisiologi Respon Radang
F. Mengetahui Pencegahan dan Pengobatan respon radang
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Definisi Respon Radang


Inflamasi atau peradangan adalah respons alami dari sistem kekebalan tubuh saat
sedang melawan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus/bakteri, cedera, atau
racun tertentu. Ketika tubuh mengalami cedera atau terinfeksi, sistem kekebalan
tubuh akan melepaskan sel inflamasi dan sitokin (zat yang merangsang produksi
sel inflamasi).

Kemudian, sel-sel tersebut akan memulai respons inflamasi untuk memerangkap


bakteri atau patogen penyebab penyakit lainnya dan menyembuhkan jaringan
yang terluka. Proses ini dapat menyebabkan rasa sakit, bengkak, memar, dan
kemerahan.

Namun pada orang dengan penyakit imun seperti artritis, sistem kekebalan tubuh
justru dapat memicu peradangan ketika tidak ada patogen penyebab penyakit yang
harus dilawan. Penyakit imun ini membuat sistem kekebalan tubuh bertindak
seolah-olah jaringan sehat telah terinfeksi sehingga secara keliru menyerang sel
sehat tersebut.

2.2. Penyebab Respon Radang

Secara umum, inflamasi adalah suatu kondisi yang terjadi ketika ada faktor fisik
yang memicu reaksi kekebalan tubuh, misalnya cedera. Selain itu, terdapat
perbedaan penyebab antara inflamasi akut dan kronis,berikut penjelasannya:

1. Penyebab Inflamasi Akut

Inflamasi akut dapat disebabkan oleh paparan terhadap suatu zat, sengatan
serangga, cedera, atau infeksi. Ketika tubuh mendeteksi adanya kerusakan, maka
sistem kekebalan tubuh akan memicu sejumlah reaksi, yaitu:
 Mengumpulkan protein plasma yang dapat memicu penumpukan cairan
sehingga mengakibatkan pembengkakan.
 Tubuh melepaskan neutrofil (sejenis leukosit) yang dapat menyebar ke
area yang terkena luka atau infeksi. Leukosit mengandung molekul yang
dapat melawan patogen penyebab penyakit sehingga dapat menyembuhkan
kerusakan.
 Kemudian, pembuluh darah kecil akan membesar agar leukosit dan protein
plasma lebih mudah mencapai lokasi tempat terjadinya kerusakan.

Inflamasi akut juga dapat dipengaruhi oleh beberapa kondisi atau penyakit, seperti
bronkitis, radang usus buntu (apendisitis), dan berbagai penyakit peradangan
lainnya (biasanya penamaan penyakit berakhiran dengan -itis). Kondisi lain yang
dapat memicu inflamasi akut adalah luka fisik, kuku kaki tumbuh ke dalam, atau
sakit tenggorokan, misalnya karena flu.

Gejala umum yang timbul akibat inflamasi akut adalah:


 Kemerahan pada kulit di sekitar lokasi cedera.
 Pembengkakan.
 Rasa nyeri dan panas.

2. Penyebab Inflamasi Kronis

Inflamasi adalah suatu kondisi yang berperan penting dalam proses penyembuhan.
Namun, jika terjadi secara berlebihan, peradangan justru dapat menyebabkan
timbulnya berbagai penyakit, seperti kanker, rheumatoid arthritis, periodontitis,
dan aterosklerosis. Inflamasi kronis dapat berkembang ketika seseorang:

• Hipersensitivitas terhadap suatu agen yang dapat menyebabkan alergi.


• Menderita penyakit autoinflamasi.
• Menderita gangguan autoimun.
• Mengalami peradangan akut terus-menerus.
• Terkena paparan bahan-bahan iritan dalam jangka panjang, misalnya
bahan kimia industri

Adapun beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya peradangan


kronis adalah sebagai berikut:s

• Berusia lanjut.
• Memiliki kebiasaan merokok.
• Memiliki berat badan berlebih (obesitas).
• Menerapkan pola makan tidak sehat.
• Mengalami gangguan tidur.
• Memiliki hormon seksual yang rendah.

Gejala inflamasi kronis yaitu:


 Sakit perut.
 Nyeri dada.
 Demam, misalnya pada tuberkulosis.
 Kelelahan, misalnya pada lupus.
 Nyeri dan kaku sendiri, misalnya pada rheumatoid arthritis.
 Luka di mulut, misalnya pada HIV.
 Ruam kulit, misalnya pada psoriasis.

2.3. Jenis Respon Radang


Jenis reaksi respon inflamasi ada 3 macam. Tiga jenis reaksi inflamasi adalah
inflamasi akut, inflamasi kronik dan inflamasi granulomatosa atau kerusakan
jaringan (jaringan parut atau granulomatosa). Gambaran perkembangan respon
inflamasi disajikan pada skema. Adanya trauma, infeksi, toksin atau allergen akan
segera diikuti dengan reaksi inflamasi akut. Inflamasi akut meningkatkan
presentasi antigen kepada system imun, menyelenggarakan respon imun terhadap
organisma penginfeksi. APC termasuk sel dendritik dan makrofag yang terdapat di
jaringan inflamasi kontak dengan antigen dan kemudian teraktifasi.
1. reaksi inflamasi akut
Biasanya akan terjadi hemostasis dengan terbentuknya jaringan thrombus
penutup luka oleh trombosit untuk menghentikan perdarahan diikuti dengan
infiltrasi netrofil dan penghancuran mikroba atau pathogen oleh netrofil
infiltrate. Terjadi aktifasi makrofag dan kemudian diikuti dengan hadirnya
limfosit di lokasi inflamasi, terjadi hipervas kularisasi sehingga meningkatkan
suplai protein plasma protektif di lokasi infeksi. Apabila reaksi inflamasi akut
berhasil menghilangkan pathogen maka reaksi inflamasi segera berhenti, tetapi
tidak berhasil maka akan berkembang menjadi inflamasi kronik.

2. Inflamasi kronik.
Patogen penginfeksi yang menetap dalam jaringan akan merangsang reaksi
inflamasi kronik. Inflamasi kronik dicirikan adanya pembentukan jaringan
parut dari kolagen yang dihasilkan fibroblast. Pada reaksi inflamasi kronik,
jaringan inflamasi terinfiltrasi oleh sel limfosit dan fagosit mononuclear,
monosit dan makrofag. Berbeda dengan reaksi inflamasi akut yang didominasi
oleh fagosit polimorfonuklear atau netrofil. Pada penyakit autoimun, reaksi
inflamasi kronik tidak didahului adanya reaksi inflamasi akut. Pada reaksi
inflamasi kronik diikuti dengan gangguan fungsi dan adanya bekas yang
disebut “scar” akibat reaksi inflamasi apabila dapat dihentikan. Reaksi
inflamasi kronik yang gagal dihentikan akan bersifat progresif dan
menimbulkan pembentukan fibrosis progresif yang bersifat destruktif
sehingga fungsi organ terganggu atau hilang. Contoh reaksi inflamasi kronik
adalah asma persisten yang dicirikan dengan perubahan struktur bronkhiolus,
sistik fibrosis dengan cirri utama bergantinya jaringan normal pada berbagai
organ dalam dengan jaringan fibrotic dan rematoid arthritis dengan deformasi
pada persendian.
3. Inflamasi granulomatosa
merupakan bentuk khusus reaksi inflamasi kronis. Inflamasi granulomatous
adalah bentuk khusus inflammation kronik yang dikaitkan dengan tingginya
aktivitas makrofag, yang dikendalikan oleh IFNγ yang diproduksi oleh sel Th.
Macrophages berdiferensiasi menjadi sel epithelioid dengan dominasi fungsi
sekretorik dan penurunan kapasitas fagositosis. Pada inflamasi granulomatosa
makrofag berfusi menjadi sel raksasa bernukleas ganda. Bangunan yang
tersusu atas kumpulan atau gabungan sel epiteloid, sel raksasa dan limfosit
pada jaringan inflamasi disebut dengan granuloma. Inflamasi granulomatosa
berhubungan dengan infeksi oleh Mycobacteria, Treponema pallidum
(penyebab sifilis) dan jamur. Inflamasi granulomatous juga terbentuk di
sekeliling korpal atau benda asing dalam jaringan, kelainan autoimun dan
kondisi idiopati seperti sarkoidosis.
Jenis reaksi pada respon inflamasi ada beberapa tahapan antara lain :
1. Reaksi inisiasi pada respons inflamasi
Secara umum reaksi pada respon inflamasi ada 3 tahap yaitu tahap inisiasi,
tahap reaksi utama dan tahap reaksi resolusi atau finalisasi.
Reaksi pada tahap inisiasi inflamasi diawali dari adanya trauma (injuri),
infeksi atau allergen atau toksin yang menghasilkan mediator inflamasi.
Inflammasi merupakan akibat dari berbagai kondisi antara lain infeksi, trauma
fisik atau injuri (termasuk luka bakar), keracunan (toksin, termasuk
endotoksin), alergi dan hipersensitifitas, serta penyakit autoimun yang
berujung dengan dikeluarkannya mediator proinflamasi. Sifat alami mediator
proinflamasi adalah menimbulkan serangkaian reaksi yang disebut dengan
respon inflamasi. Gambaran tahap insiasi respon inflamasi disahikan pada
Gambar. Inflamasi diawali oleh kompleks interaksi yang melibatkan mediator-
mediator kimiawi.

Degranulasi sel mas juga berperan penting pada inisiasi inflamasi tipe
infiltrative ini, dimana pada tahap awal inflamasi infiltartif yang melibatkan
sel mas ini didominasi dengan gambaran udema jaringan dan masuknya
eosinofil pada jaringan yang mengalami inflamasi, tetapi perbedaannya
dengan jenis inflamasi infiltrative sebelumnya, inflamasi infiltrative oleh sel
mas dan eosinofil tidak terbentuk pus. Pelepasan mediator inflamasi seperti
leukotrien dan prostaglandin serta kandungan sitoplasma lain akibat keruskan
sel merupakan inisiasi reaksi inflamasi pada trauma. Komponen bakteri dan
toksin yang dikeluarkan bakteri merupakan rangsang inflamasi pada infeksi.
Reaksi pada respon inflamasi berikutnya adalah aktifasi sel-sel darah.
Degranulasi sel mast dan aktifasi komplemen akibat trauma fisik
menyebabkan dilepaskannya histamine. Makrofag jaringan yang meningesti
partikel dan debris, menjadikannya aktif dan melepaskan sejumlah sitokin
proinflamasi seperti IL-1, IL-6 dan TNF-a
Peristiwa yang terjadi pada tahap inisiasi ini adalah:
(i). Aktifasi system komplemen oleh adanya mediator inflamasi. System komplemen
yang berperan pada inisiasi resksi inflamasi adalah komponen C3a dan C5a yang
disebut sebagai kemoatraktan atau anafilatoksin. Komponen komplemen 3a dan 5a
apabila aktif dapat menjadi daya tarik bagi komponen seluler dalam darah, terutama
netrofil dan monosit sehingga mendorong netrofil melakukan kemotaksis menuju
lokasi dimana terdapat C3a atau C5a.
(ii). Perubahan fisiologis pembuluh darah dan daya permeabilitas pembuluh darah
sehingga terjadi migrasi komponen seluler darah dan ekstravasasi cairan tubuh.
Mediator inflamasi maupun komponen 3a 5a komplemen menyebabkan perubahan
fungsi dan struktur vaskuler. Pembuluh darah mengalami perubahan fungsi akibat
adanya paparan mediator inflamasi, dimana endotel darah menjadi lebih aktif yang
ditandai dengan dihasilkannya mediator inflamasi berupa NO. 14 Imunofarmakologi
Radang Akibat adanya kemoatraktan dan perubahan fungsi pembuluh darah, banyak
komponen seluler darah, terutama sel polimorfonuklear migrasi daerah yang
mengalami luka atau infeksi. Perubahan komponen seluler di jaringan yang
mengalami inflamasi.
Proses migrasi komponen seluler darah merupakan peristiwa yang rumit dengan
melibatkan 3 tahapan proses yaitu: marginasi dan rolling, aktifasi dan adesi dan
transmigrasi.
Hasil dari proses inisiasi reaksi inflamasi adalah adanya respon inflamasi dini atau
respon inflamasi akut.
Gambaran aktivitas pada respon inflamasi akut 3 hari pertama adalah:
(i) ekstravasasi cairan tubuh, dimana cairan tubuh mengalami perpindahan dari
intravasa ke jaringan yang mengalami trauma atau infeksi, sehingga jaringan
yang mengalami radang tampak mengalami pembengkakan (udema).
(ii) migrasi komponen seluler darah yaitu sel polimorfonuklear dari dalam
pembuluh darh menuju ke lokasi yang mengalami trauma.
(iii) migrasi komponen seluler darah monosit.
Leucocytes bermigrasi ke daerah inflamasi, dengan jenis neutrophils yang datang
paling awal, kemudian diikuti oleh monosit dan limfosit dalam hitungan jam sampai
hari. Leucocytes secara normal beredar dalam pembuluh darah mengikuti aliran darah
yang bersifat laminer. Leucocytes melakukan kontak dengan endothelium secara
intermitten, melakukan rolling sepanjang vaskuler utk beberapa saat, dan kemudian
lepas dan beredar di tengah pembuluh darah sebagaimana semula, apabila tidak
terdapat timulus lebih lanjut dari molekul adherent. Jika rolling leucocyte menjumai
endotel inflamed yang mengekspresikan molekl adesi integrin teraktifasi, integrin
memdiasi terbentuknya adesi antara lekosit dengan endotel dalam bentuk tight
binding. Leucocyte kemudian dapat melakukan migrasi melalui celah endotel yang
sempit dengan dibantu oleh adanya pasangan molekul adesi yang lain (diapedesis).
Leucocytes mencapai lokasi jaringan yang mengalami kerusakan secara chemotaxis
(directional cell migration). Mediator Chemotactic mediators yang menarik perhatian
neutrophils antara lain anaphylatoxins, leukotrienes, chemokines seperti IL-8
(diproduksi oleh macrophages) dan produk bacterial, terutama formyl peptides.
2. Fase aktif respon inflamasi
Ada 2 jenis reaksi eksekusi pada respon inflamasi yaitu respon inflamasi akut
dan respon inflamasi kronik.
Tujuan akhir dari respon inflamasi baik respon inflamasi akut maupun kronik
adalah
(i) menghilangkan penyebab awal kerusakan sel,
(ii) menghilangkan sel dan jaringan yang rusak dan
(iii) menginisiasi perbaikan sel.
a. inflamasi dan eliminasi agen penginisiasi kerusakan sel/ jaringan
Fagosit berperan penting pada proses eliminasi patogen perusak atau
penyebab injuri/trauma. Beberapa fagosit utama yang berperan pada proses
eliminasi pathogen antara lain makrofag, netrofil, monost dan sel natural
killer. Pada fase inisiasi disamping terjadi proses perubahan pada vaskuler dan
migrasi sel darah juga terjadi proses aktifasi fagosit, terutama netrofil,
sehingga ketika netrofil bertemu dengan pathogen siap untuk melakukan
fagositosis. Boleh jadi ketika netrofil melakukan kemotaksis juga mengalami
proses aktifasi sehingga ketika sampai dilokasi infeksi dan berinteraksi
dengan pathogen langsung mampu melakukan proses eliminasi.
Gambaran jaringan kulit yang mengalami inflamasi akut disajkan pada
Gambar.
Bagaimana proses eliminasi pathogen “bakteri” melalui mekanisme
fagositosis oleh makrofag disajikan pada Gambar. Makrofag melakukan
proses eliminasi pathogen pada respon inflamasi dengan melibatkan reseptor
“patern recognition receptor” yang dapat mengenali bakteri (pathogen-
associated molecular patern / PAMP) sebagai ligannya. Interaksi PRR dengan
bakteri mengaktifkan proses fagositosis, fagosom, fagolisosom, dan terjadi
proses degradasi mikroorganisme.
Proses eliminasi pathogen pada inflamasi dapat melibatkan system
komplemen, terutama pada sel yang sudah mengalami apoptosis.
b. Inflamasi dan reparasi sel/jaringan rusak
Proses penyembuhan setelah cedera jaringan dapat secara luas dibagi menjadi
regenerasi dan perbaikan (Gbr. 1.7). Regenerasi mengacu pada proliferasi sel
dan jaringan untuk menggantikan struktur yang rusak dan hilang. Melalui
regenerasi total, jaringan yang hilang atau rusak sepenuhnya dibangun
kembali. Sebaliknya, perbaikan dapat mengembalikan beberapa struktur asli,
tetapi pemulihan tidak lengkap, dan perbaikan dapat menyebabkan kekacauan
struktural. Perbaikan paling sering terdiri dari kombinasi regenerasi dan
pembentukan bekas luka. Kontribusi relatif dari regenerasi dan jaringan parut
bervariasi tergantung pada kapasitas regeneratif jaringan dan tingkat serta
sifat cedera. Dalam jaringan dengan kapasitas regeneratif tinggi, seperti otot
rangka dan hati, regenerasi fungsional lengkap jaringan dapat diperoleh
melalui regenerasi sel parenkim (mis., Miosit dan hepatosit). Ini memerlukan
diferensiasi sel punca/progenitor dan/atau proliferasi sel parenkim yang ada
ditambah regenerasi stroma (mis. Pembuluh darah melalui angiogenesis).
Namun, pada sebagian besar jaringan, restorasi total jaringan utuh tidak dapat
dicapai, menghasilkan pembentukan parut. Bahkan dalam jaringan dengan
kapasitas regeneratif tinggi, seperti kulit, di mana luka dangkal sembuh
melalui regenerasi epitel, cedera parah sembuh melalui pembentukan bekas
luka. Dalam jaringan dengan kapasitas regenerasi terbatas, seperti otak dan
jantung, penyembuhan berlangsung dengan cepat melalui proses penutupan
luka dan jaringan parut fibrotik dengan mengorbankan struktur dan fungsi
jaringan. Luas dan sifat cedera (mis. Ringan versus parah) sangat
memengaruhi konsekuensinya. Selain itu, cedera persisten dan/atau resolusi
gagal menyebabkan peradangan kronis, yang dapat menyebabkan fibrosis dan
disfungsi jaringan (Gbr. 1.8.). Akan terlihat jelas melalui ikhtisar yang
disajikan dalam bagian berikut ini bahwa urutan kejadian setelah cedera pada
tingkat substansial serupa di semua jaringan, meskipun terdapat perbedaan
dalam sel yang membentuk jaringan. Jika kita mempertimbangkan
penyembuhan luka kulit dalam model cedera yang khas, proses ini
memerlukan tiga tahap yang tumpang tindih tetapi berbeda: (i) peradangan,
(ii) proliferasi sel dan pembentukan jaringan baru dan (iii) renovasi dan
pematangan

Fase inflamasi ditandai dengan aktivasi sistem kekebalan tubuh bawaan,


menghasilkan masuknya neutrofil awal diikuti oleh monosit yang dapat
berdiferensiasi menjadi makrofag. Makrofag dan sel-sel kekebalan lainnya
tidak hanya membersihkan puing-puing dan memerangi mikroba, mereka juga
mengoordinasikan proses seluler yang memulai fase selanjutnya dari
pembentukan jaringan baru, yang akan terjadi 2-10 hari setelah cedera.
Selama fase pembentukan jaringan, jaringan granulasi terdiri dari matriks
ekstraseluler/extra cellular matrix (ECM) dan pembuluh darah yang baru
terbentuk yang dihasilkan melalui angiogenesis mengisi ruang luka.
Proliferasi dan diferensiasi sel parenkim dan stroma kemudian dapat
mengembalikan integritas jaringan. Fase terakhir, remodeling dan maturasi,
dimulai 2-3 minggu setelah cedera dan dapat berlangsung selama
bertahuntahun jika jaringan parut tetap karena regenerasi jaringan yang tidak
sempurna. Fase ini ditandai dengan regresi pembuluh darah, resolusi
peradangan dan transformasi jaringan granulasi menjadi jaringan parut, di
mana ECM dirancang ulang dari ECM sementara menjadi matriks kolagen
permanen, meninggalkan massa yang mengandung beberapa sel dan sebagian
besar terdiri dari ECM.

c. Inflamasi dan pembersihan dari sel rusak (apoptosis) serta menggantinya


dengan yang baru
Proses pembersihan sel yang mengalami apoptosis pada inflamasi melibatkan
system komplemen, yaitu komponen collectin family member (C1q).
Urutan kejadian setelah cedera adalah secara substansial serupa di semua
jaringan, meskipun ada perbedaan dalam sel yang membentuk jaringan. Jika
kita mempertimbangkan penyembuhan luka kulit dalam model cedera yang
khas, proses ini memerlukan tiga tahap yang tumpang tindih tetapi berbeda:
(i) peradangan, (ii) proliferasi sel dan pembentukan jaringan baru dan (iii)
renovasi dan pematangan (1, 2, 5). Fase inflamasi ditandai dengan aktivasi
sistem kekebalan tubuh bawaan, menghasilkan masuknya neutrofil awal
diikuti oleh monosit yang dapat berdiferensiasi menjadi makrofag. Makrofag
dan selsel kekebalan lainnya tidak hanya membersihkan puing-puing
danmemerangi mikroba, mereka juga mengoordinasikan proses seluler yang
memulai fase selanjutnya dari pembentukan jaringan baru, yang akan terjadi
2-10 hari setelah cedera. Selama fase pembentukan jaringan, jaringan
granulasi terdiri dari matriks ekstraseluler (ECM) dan pembuluh darah yang
baru terbentuk yang dihasilkan melalui angiogenesis mengisi ruang luka.
Proliferasi dan diferensiasi sel parenkim dan stroma kemudian dapat
mengembalikan integritas jaringan.

3. Reaksi pengakhiran atau resolusi pada respon inflamasi


Normalnya reaksi pada respon inflamasi adalah terkontrol dan self limited
(dapat pulih secara mandiri). Namun juga tidak sedikit reaksi pada respon
imun inflamasi yang tidak berujung pada fase reaksi resolusi/pengakhiran.
Respon imun inflmasi yang tidak memasuki reaksi fase akhir biasanya
terjadi pada respon inflamasi yang berlebihan dan diluar kendali, terutama
terjadi pada autoimunitas.

Pada fase resolusi respon inflamasi terjadi beberapa aktivitas, yaitu (i)
pembesihan rangsang perusak; (ii) pembersihan mediator dan sel inflamasi
akut; (iii) pemindahan sel yang rusak dan normalisasi fungsi. Pada fase
resolusi mediator lipid, derifat asam arakhidonat memegang peran penting.
Fase terakhir, renovasi dan pematangan, dimulai 2-3 minggu setelah
cedera dan dapat berlangsung selama bertahun-tahun jika jaringan parut
tetap karena regenerasi jaringan yang tidak lengkap.
Pada fase resolusi komponen seluler di jaringan lebih banyak sel fagosit
mononuclear. Setelah reaksi utama inflamasi berhasil melakukan tugasnya
(eliminasi pathogen, membersihkan jaringan sel atau jaringan yang rusak
dan melakukan perbaikan jaringan atau sel yang rusak) maka respon
inflamasi secara alami akan bergeser ke fase resolusi.

Mulai terjadi penghambatan proses migrasi PMN dari dalam vaskuler ke


jaringan dan PMN yang terdapat di jaringan mengalami apoptosis.
Perbedaan fase reaksi utama dengan fase resolusi pada respon inflamasi
disajikan pada Gambar di atas.
Peradangan Granulomatosis
Pembentukan granuloma adalah tipe khusus respon inflamasi, terdiri dari
globular (granular) akumulasi nodul inflamasi dan fibrotik, bersama
dengan sel-sel inflamasi kronis (limfon cytes, macrophage) dan sel
raksasa. Dalam tuberkulosis, bagian tengah dari granuloma ini biasanya
pergi nekrosis (nekrosis caseous) sehingga jaringan sebagian besar diambil
dari kegunaan fungsional.
Sel asesori dan Treg juga berperan dalam resolusi inflamasi sebagaimana
ditunjukkan pada Gambar di bawah ini.

Pada respon inflamasi yang berlebihan biasanya dicirikan dengan


peningkatan sel fibroblast dan sitokin TGF-b. Treg berperan penting dalam
pengendalian respon inflamasi sehingga tidak berlebihan dan tidak
berkepanjangan. Sel Treg (Treg) Foxp3 + sangat penting untuk mencegah
autoimunitas dan peradangan yang tidak terkontrol, dan mereka
memodulasi respons imun selama infeksi dan perkembangan kanker.
Untuk mencapai hal ini diperlukan distribusi Treg yang luas dalam
jaringan limfoid dan nonfoid, dan rekrutmen Treg yang efektif ke situs
jaringan yang berbeda telah bermunculan sebagai titik pemeriksaan kunci
yang mengontrol peradangan jaringan dalam autoimunitas, infeksi, dan
pengembangan kanker, juga seperti dalam konteks penolakan penerimaan
atau allograft. Selain itu, Treg secara fungsional berbeda, dan telah
menjadi jelas bahwa beberapa keanekaragaman ini berkaitan dengan
lokalisasi Treg ke situs jaringan tertentu. Telah dipaparkan definisi trauma,
respon radang, manfaat dan mekanisme, klasifikasi serta aplikasinya
dalam menjaga homeostasis pada manusia.

2.4. Factor faktor Respon Radang


 Faktor Penyebab peradangan
Berikut beberapa kondisi yang bisa menyebabkan inflamasi di dalam
tubuh Anda.
1. Infeksi
Peradangan terjadi saat tubuh gagal dalam menghilangkan agen yang
menyebabkan infeksi (patogen), seperti bakteri Mycobacterium
tuberculosis, protozoa, jamur, atau parasit.
Agen tersebut bisa melawan sistem kekebalan pada tubuh inang dan tetap
berada di dalamnya. Jika inflamasi berlangsung dalam waktu lama,
kondisi inilah yang disebut inflamasi kronis.
2. Paparan iritan (zat pemicu iritasi)
Peradangan kronis mungkin juga disebabkan oleh paparan tingkat rendah
dari iritan atau bahan asing tertentu yang tidak dapat dihilangkan oleh
tubuh.
Salah satu contohnya ialah paparan bahan kimia industri, misalnya debu
silika, yang seseorang hirup dalam jangka waktu lama.
3. Gangguan autoimun
Gangguan autoimun terjadi ketika sistem kekebalan tubuh keliru
menganggap jaringan normal tubuh sebagai ancaman. Serangan pada
jaringan sehat inilah yang menimbulkan peradangan.
Beberapa jenis penyakit autoimun yang paling umum terjadi antara lain
rheumatoid arthritis (RA), lupus eritematosus sistemik (SLE), dan
psoriasis.
Peradangan berulang juga bisa dialami oleh pengidap penyakit auto-
inflamasi. Kondisi ini lebih disebabkan oleh perubahan pada gen tertentu.
Selain itu, orang yang tidak pulih sepenuhnya dari peradangan akut
kemungkinan juga dapat mengalami peradangan kronis yang butuh
penanganan serius.

 Faktor risiko peradangan


Siapa pun bisa mengalami inflamasi. Namun, orang-orang dengan kondisi
berikut memiliki risiko yang lebih tinggi.
• Jarang bergerak. Senyawa anti-inflamasi akan mengalir saat otot-
otot bergerak. Orang yang jarang bergerak lebih berisiko
mengalami peradangan, terutama ketika berusia lanjut.
• Obesitas. Berat badan berlebih dan obesitas memungkinkan
adanya lemak ekstra pada bagian perut. Lemak bisa mempercepat
pelepasan senyawa inflamasi yang merusak jaringan.
• Pola makan tertentu. Diet tinggi lemak jenuh, lemak trans, dan
gula rafinasi membuat risiko inflamasi meningkat, terutama pada
orang yang kelebihan berat badan.
• Punya kebiasaan merokok. Kebiasaan buruk ini bisa menurunkan
produksi zat anti-inflamasi sehingga kerusakan tubuh lebih mudah
terjadi.
• Pertambahan usia. Bertambahnya usia bisa meningkatkan risiko
terjadinya kerusakan pada tubuh.
• Stres dan kurang tidur. Kerusakan pada sel tubuh berkaitan erat
dengan dampak stres dan insomnia yang terjadi secara terus-
menerus.
• Hormon seks yang rendah. Kadar hormon estrogen dan testosteron
di bawah normal bisa memicu inflamasi.
2.5. Patofisologi Respon Radang
 Peradangan Akut
Proses peradangan umumnya sama, apapun penyebabnya. Waktu yang diperlukan
bervariasi dengan penyebab spesifik. Peradangan dapat terjadi segera dan
bertahan dalam waktu singkat, kemungkinan juga onset (permulaan suatu
penyakit) yang terlambat, misalnya luka bakar akibat cahaya matahari, atau bisa
juga bertahan lama dan sangat berat. Tingkat keparahan peradangan bervariasi
dengan penyebab spesifik dan waktu paparan. Ketika cedera jaringan terjadi, sel-
sel mast dan platelet melepaskan senyawa kimia yang termasuk histamine,
serotonin, prostaglandins, dan leukotrienes ke cairan tubuh (interstitial) dan darah.
Senyawa ini akan mempengaruhi pembuluh darah dan persarafan di area cedera.
Cytokines sebagai komunikator atas cairan jaringan, mengirimkan pesan ke
lymphocytes dan macrophages, sistem imunitas, atau ke hypothalamus untuk
memunculkan demam (rasa hangat).
Mediator kimia seperti histamine dilepaskan dengan segera dari granule (butiran)
pada sel mast dan memunculkan efek secara sekaligus. Mediator kimia lainnya
seperti leukotrienes dan prostaglandin harus disintesis dari arachidonic acid (asam
arakidonat) pada sel mast sebelum dilepaskan (bertanggung jawab untuk dampak
lebih lanjut) dan memperpanjang waktu peradangan. Banyak dari senyawa kimia
ini juga mampu meningkatkan reaksi kimia senyawa lainnya. Obat-obatan anti
peradangan dan antihistamine dapat mengurangi dampak dari mediator-mediator
kimia diatas.
Meskipun reflek persarafan pada area cedera akan menyebabkan vasokonstriksi
(penyempitan pembuluh darah) sementara, pelepasan mediator kimia yang sangat
cepat kemudian akan menyebabkan vasodilatasi (melemasnya otot halus yang
menyebabkan peningkatan diameter arteriole/pembuluh darah) lokal, yang
kemudian menyebabkan hyperemia (peningkatan aliran darah pada area tersebut).
Peningkatan permeabilitas membran kapiler juga terjadi, yang membiarkan
protein-protein plasma berpindah ke ruang interstitial bersama dengan cairan yang
lebih banyak. Peningkatan cairan akan mencairkan material-material racun pada
area.
 Peradangan Kronis
Peradangan kronis dapat terbentuk sebagai lanjutan peradangan masa akut,
apabila penyebab peradangan belum sepenuhnya hilang atau terbentuk akibat
iritasi kronis seperti merokok, bakteria tertentu, atau respon imun tidak normal
berkepanjangan. Karakteristik dari peradangan kronis termasuk berkurangnya
bengkak dan exudate (kumpulan cairan interstitial yang terbentuk di area radang)
tetapi terdapat lebih banyak lymphocytes, macrohages, dan fibroblast ( sel-sel
jaringan ikat) dibandingkan peradangan akut. Pada peradangan kronis juga terjadi
kerusakan jaringan yang terus menerus. Semakin banyak kolagen yang diproduksi
di area peradangan, maka semakin banyak terbentuk fibrous (serat) pada jaringan
yang luka.
2.6. Pencegahan dan pengobatan respon radang
 Pencegahan
• Rutin olahraga setidaknya tiga sampai lima kali per minggu.
• Menjaga pola makan agar berat badan tetap terkendali.
• Berhenti merokok dan menghindari asap rokok di sekitar Anda.
• Tidur yang cukup dan belajar untuk mengelola stres.
 Pengobatan
Beragam penyakit bisa menimbulkan inflamasi. Maka dari itu, pengobatan
akan disesuaikan dengan gangguan kesehatan yang dialami oleh pasien.
Contohnya, pemberian obat antidiabetes ditujukan kepada pasien diabetes
dan obat jantung untuk penyakit kardiovaskular. Dokter juga bisa
meresepkan antibiotik untuk pasien yang terserang infeksi bakteri.
Selain itu, ada pula beberapa pilihan obat yang umum digunakan untuk
mengatasi peradangan di dalam tubuh.
a. NSAID
Obat antiradang nonsteroid (nonsteroidal anti-inflammatory drug/NSAID)
membantu meredakan inflamasi serta gejala yang menyertainya, seperti
nyeri dan demam.
Dokter umumnya meresepkan obat NSAID seperti asam asetilsalisilat
(aspirin) dan ibuprofen.
b. Kortikosteroid
Untuk meredakan peradangan, dokter juga bisa memberikan obat
kortikosteroid dalam bentuk oral (minum), topikal (oles), maupun
suntikan.
Jenis obat ini berfungsi mengurangi inflamasi dan reaksi kekebalan tubuh
yang berlebih. Obat ini juga menjaga agar kerusakan jaringan tidak
bertambah parah.
Selain dari obat dokter, Anda juga dapat meringankan kondisi ini dengan
perawatan alami di rumah, misalnya dengan menggunakan kompres dingin
atau hangat.
Beberapa pasien mungkin dianjurkan untuk menjalani diet anti-inflamasi
agar gejala yang mereka alami tidak bertambah parah.
Perubahan gaya hidup menyeluruh juga sebaiknya dilakukan pada
pengidap inflamasi kronis.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Respons radang adalah mekanisme penting yang dilakukan oleh tubuh
sebagai respons terhadap infeksi, iritasi, atau cedera. Respon radang melibatkan
serangkaian proses biologis kompleks yang melibatkan pelepasan zat-zat kimia
seperti histamin dan sitokin, peningkatan aliran darah ke daerah yang terkena,
serta migrasi sel darah putih ke tempat peradangan untuk melawan agen penyebab
infeksi atau memulihkan jaringan yang rusak. Meskipun respon radang secara
umum adalah proses yang penting untuk melindungi tubuh, dapat menyebabkan
gejala yang tidak nyaman seperti pembengkakan, nyeri, dan kemerahan.
Pemahaman tentang respon radang telah membantu dalam pengembangan
berbagai macam terapi dan obat-obatan yang ditujukan untuk mengurangi
peradangan dan mengelola kondisi medis terkait.
3.2 Saran
Untuk mengelola respons radang dalam tubuh, penting untuk menerapkan
gaya hidup sehat yang mencakup pola makan seimbang, rutin berolahraga, cukup
istirahat, dan menghindari kebiasaan merokok serta konsumsi alkohol berlebihan.
Memilih makanan yang kaya akan antioksidan dan senyawa antiinflamasi seperti
buah-buahan, sayuran berdaun hijau, ikan berlemak, kacang-kacangan, dan biji-
bijian juga dapat membantu mengurangi peradangan. Selain itu, manajemen stres
dengan teknik relaksasi seperti meditasi dan yoga serta penggunaan terapi fisik
yang terarah juga dapat membantu mengurangi respon peradangan dalam tubuh.
Menggunakan obat-obatan antiinflamasi sesuai dengan petunjuk dokter juga
penting untuk mengurangi gejala peradangan seperti nyeri dan pembengkakan.
Penting juga untuk memantau kondisi medis yang berkaitan dengan peradangan
dan berkonsultasi dengan dokter secara teratur untuk evaluasi dan rencana
perawatan yang sesuai. Dengan mengimplementasikan langkah-langkah ini,
seseorang dapat membantu mengelola dan mengurangi peradangan dalam tubuh
serta mencegah masalah kesehatan jangka panjang yang berkaitan dengan
peradangan kronis.
Demikianlah makalah yang kami buat ini, semoga bermanfaat dan menambah
pengetahuan para pembaca. Kami mohon maaf apabila ada kesalahan ejaan dalam
penulisan kata dan kalimat yang kurang jelas, dimengerti, dan lugas.Karena kami
hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan Dan kami juga sangat
mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca demi kesempurnaan makalah
ini. Sekian penutup dari kami semoga dapat diterima di hati dan kami ucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya.
DAFTAR PUSAKA

Hidayati,TA.(2021).Buku Imunofarmakologi Radang.Jakarta: Perum Bukit Golf,


Arcadia Housing (https://eprints.uad.ac.id/35537/1/Imunofarmakologi
%20Radang%20OK_compressed.pdf )
Hospitals,S.(2023).Artikel Inflamasi - Jenis, Penyebab, Gejala, dan
Pengobatannya. Siloam Hospital Digital
(https://www.siloamhospitals.com/informasi-siloam/artikel/inflamasi-
adalah )
Purwoko,SA.(2023).Artikel Peradangan(inflamasi).Kemenkes RI HelloSehat
(https://hellosehat.com/sehat/gejala-umum/pengaruh-peradangan-adalah-
tubuh/ )
YPK Bali.(2020).Peradangan.Bali: Yayasan Peduli Kemanusiaan Bali
(https://ypkbali.org/wp-content/uploads/Peradangan.pdf )

Anda mungkin juga menyukai