Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II

ASUHAN KEPERAWATAN HIPERSISENTIVITAS

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK III

1. Lydia prastika pratami yeti 19031034 7. ocda ravendra 20031025


2. Widya Aprilia Ningsih 19031035 8. Tria Fazira Nanda 20031028
3. Tiara Afrianti Nur 20031005 9. Selpia Putri 20031030
4. Fitra Ramadhani Nasution 20031008 10. Marcella Tiodora 20031031
5. Bagus Zakaria Witama 20031009 11. Siti Nur Aisyah 20031036
6. Firdaus 20031023 12. Cici Amini 20031038

DOSEN PEMBIMBING :
Ns. Rani lisa indra S.Kep, M.Kep, Sp.Kep,MB

PROGAM STUDI UNIVERSITAS KESEHATAN HANGTUAH PEKANBARU


TAHUN PELAJARAN 2021\ 2022
KATA PENGANTAR

Assalammu’alaikum Warrahmatullahi Wabarokatuh


Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pada mata
kuliah Keperawatan Medikal Bedah II. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan tentang Ilmu Keperawatan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepadaNs. Rani lisa indra S.Kep, M.Kep,
Sp.Kep,MB yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan
wawasan sesuai dengan program studi yang kami tekuni.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah
ini.
Wassalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh

Pekanbaru, 16 Mei 2022

Kelompok 3

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................................... 2
BAB 1...............................................................................................................................................3
PENDAHULUAN........................................................................................................................... 3
1.1 LATAR BELAKANG............................................................................................................ 3
1.2 RUMUSAN MASALAH........................................................................................................4
1.3 TUJUAN.................................................................................................................................4
BAB 2...............................................................................................................................................5
PEMBAHASAN.............................................................................................................................. 5
2.1 Definisi Hipersensitivitas........................................................................................................5
2.2 Etiologi................................................................................................................................... 5
2.3 Komplikasi..............................................................................................................................6
2.4 Manifestasi Klinis...................................................................................................................7
2.5 Patofisiologi............................................................................................................................8
2.6 WOC..................................................................................................................................... 10
2.7 Pemeriksaan penunjang........................................................................................................ 11
2.8 Penatalaksanaan.................................................................................................................... 11
2.9 Pencegahan tersier, primer,sekunder.................................................................................... 12
BAB 3.............................................................................................................................................13
ASUHAN KEPERAWATAN........................................................................................................13
3.1 Pengkajian........................................................................................................................... 13
3.2 Diagnosa Keperawatan......................................................................................................... 14
3.3 Intervensi.............................................................................................................................. 14
BAB 4.............................................................................................................................................18
PENUTUP......................................................................................................................................18
4.1 Kesimpulan..............................................................................................................................18
4.2 Saran....................................................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................19

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-spesifikdan imunitas
spesifik. Imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang secaraaktif diperankan oleh sel
limfosit B, yang memproduksi 5 macam imunoglobulin (IgG,IgA, IgM, IgD dan IgE) dan sistem
imunitas seluler yang dihantarkan oleh sel limfositT, yang bila mana ketemu dengan antigen lalu
mengadakan differensiasi danmenghasilkan zat limfokin, yang mengatur sel-sel lain untuk
menghancurkan antigentersebut.
Bila mana suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan respon.Bilamana
alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang menguntungkan,sehingga yang terjadi
ialah keadaan imun. Tetapi, bilamana merugikan, jaringan tubuhmenjadi rusak, maka terjadilah
reaksi hipersensitivitas atau alergi.
Mekanisme reaksi alergi adalah berdasar pada reaksi hipersensitivitas, yaitutimbulnya
respon IgE yang berlebihan terhadap bahan yang dianggap sebagai alergen,sehingga terjadi
pelepasan berbagai mediator penyebab reaksi alergi, walaupun padaorang normal reaksi ini tidak
terjadi. Apabila reaksi alergi ini berlangsung sangat berlebihan, dapat timbul syok anafilaktik.
Histamin yang dilepaskan menimbulkan berbagai efek. Vasodilatasi dan peningkatan
permeabilitas kapiler yang terjadi menyebabkan pindahnya plasma dansel-sel leukosit ke
jaringan, sehingga menimbulkan bintul-bintul berwarna merah di permukaan kulit. Sementara
rasa gatal timbul akibat penekanan ujung-ujung serabutsaraf bebas oleh histamin. Kemudian
kerusakan jaringan yang terjadi akibat prosesinflamasi menyebabkan sekresi protease, sehingga
menimbulkan rasa nyeri akibat perubahan fungsi. Efek lain histamin, yaitu kontraksi otot polos
dan perangsangansekresi asam lambung, menyebabkan timbulnya kolik abdomen dan diare.
Selain itu, sekresi enzim untuk mencerna zat gizi dan pertahanan tubuh padakondisi
lingkungan (suhu, debu dan udara) yang tidak sesuai (ekstrem), belum dapat bekerja maksimal,
sehingga terjadi alergi pada makanan tertentu, terutama makanan berprotein. Ada alergi yang
dapat membaik, karena maturitas enzim dan barier yang berjalan seiring dengan bertambahnya
umur. Hal ini juga dapat terjadi akibat faktor polimorfisme genetik antibodi yang aktif pada
waktu tertentu, sehingga menentukankepekaan terhadap alergen tertentu.
Secara umum, hasil pemeriksaan laboratorium normal. Terjadi eosinofiliarelatif, karena
disertai dengan penurunan basofil akibat banyaknya terjadi degranulasi.Eosinofil sendiri
menghasilkan histaminase dan aril sulfatase. Histaminase yangdihasilkan ini berperan dalam
mekanisme pembatasan atau regulasi histamin,sehingga pada pasien dengan kasus alergi yang
berat, jumlah eosinofil akan sangatmeningkat melebihi normal.

1
1.2 RUMUSAN MASALAH
- Apa defenisi penyakit hipersensitivitas?
- Etiologi penyakit hipersensitivitas?
- Patofisiologi penyakit hipersensitivitas?
- Berapa klasifikasi penyakit hipersensitivitas?
- Apa tanda dan gejala penyakit hipersensitivitas?
- Bagaimana cara pemeriksaan fisik hipersensitivitas?
- Bagaimana cara pemeriksaan penunjang hipersensitivitas?
-. Bagaimana diagnostik hipersensitivitas?
-. Bagaimana penanganan atau terapi penyakit hipersensitivitas

1.3 TUJUAN
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan dan pengetahuanlebih dalam
mengenai malfungsi sistem imun pada gangguan imunologi khususnya penyakit hipersensitifitas
(alergi) serta untuk memenuhi tugas mata kuliah Imunologi I

2
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Hipersensitivitas


Hipersensitivitas (Reaksi Hipersensitivitas) adalah reaksi-reaksi dari sistem kekebalan
yang terjadi ketika jaringan tubuh yang normal mengalami cedera/terluka. Mekanisme dimana
sistem kekebalan melindungi tubuh dan mekanisme dimana reaksi hipersensitivitas bisa melukai
tubuh adalah sama. Karena itu reaksi alergi juga melibatkan antibodi, limfosit dan sel-sel lainnya
yang merupakan komponen dalam system imun yang berfungsi sebagai pelindung yang normal
pada sistem kekebalan. Reaksi ini terbagi menjadi empat kelas (tipe I – IV) berdasarkan
mekanisme yang ikut serta dan lama waktu reaksi hipersensitif. Tipe I hipersensitivitas sebagai
reaksi segera atau anafilaksis sering berhubungan dengan alergi. Gejala dapat bervariasi dari
ketidaknyamanan sampai kematian. Hipersensitivitas tipe I ditengahi oleh IgE yang dikeluarkan
dari sel mast dan basofil. Hipersensitivitas tipe II muncul ketika antibodi melilit pada antigen sel
pasien, menandai mereka untuk penghancuran. Hal ini juga disebut hipersensitivitas sitotoksik,
dan ditengahi oleh antibodi IgG dan IgM. Kompleks imun (kesatuan antigen, protein komplemen
dan antibodi IgG dan IgM) ditemukan pada berbagai jaringan yang menjalankan reaksi
hipersensitivitas tipe III. hipersensitivitas tipe IV (juga diketahui sebagai selular) biasanya
membutuhkan waktu antara dua dan tiga hari untuk berkembang. Reaksi tipe IV ikut serta dalam
berbagai autoimun dan penyakit infeksi, tetapi juga dalam ikut serta dalam contact dermatitis.
Reaksi tersebut ditengahi oleh sel T, monosit dan makrofag.

2.2 Etiologi
Faktor yang berperan dalam elergi yaitu :
1. Faktor Internal
a. Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi : asam lambung, enzim-
enzim usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi imonologis ( misalnya :IgA sekretorik)
memudahkan penetrasi alergen makanan. Imaturitas juga mengurangi kemampuan usus
mentoleransi makanan tertentu. Imaturitas usus (ketidakmatanga usus) secara mekanik
integritas mukosa usus dan peristaltik merupakan pelindung masuknya alergen kedalam
tubuh. Secara kimiawi asam lambung dan enzin pencernaan menyebabkan denaturasi
allergen. Secara imunologik sIgA pada permukaan mukosa dan limfosit pada lamina propia
dapat menangkal allergen masuk kadalam tubuh. Pada usus imatur sistem pertahanan tubuh
tersebut masih lemah dan gagal berfungsi, sehingga memudahkan alergen masuk kedalam
tubuh.
b. Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai janin sampai masa
bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan norma kehidupan setempat. Alergi
dapat diturunkan dari orang tua atau kakek/nenek pada penderita.bila ada ornag tua, keluarga
atau kakek/nenek yang menderita alergi kita harus mewaspadai tanda alergi pada anak sejak
dini. Bila ada salah satu ornag tua yang menderita gajala alergi, maka dapat menurunkan
resiko pada anak sekitar 17-40%, bila kedua orang tua alergi maka resiko pada anak
meningkat menjadi 53-70%.
c. Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan penyerapan alergen
bertambah.
2. Faktor Eksternal

3
a. Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas,hujan), faktor psikis (sedih, stres) atau beban
latihan (lari, olahraga)
b. Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut prevalensinya : ikan
15,4%. Telur 12,7%, susu 12,2%, kacang 5,3% dll
c. Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat menimbulkan reaksi
alergi
3. Faktor Resiko
a. Riwayat keluarga. Terdapat potensi menderita alergi makanan, jika banyak keluarga yang
mengalami gangguan ini
b. Alergi makanan masa lalu. Pada masa anak-anak mungkin seseorang dapat mengatasi
gangguan alergi makanan, namun dalam beberapa kasus, gangguan ini kembali di
kemudian hari.
c. Alergi lain. Jika sudah alergi terhadap satu makanan, mungkin mempunyai resiko alergi
terhadap makanan lainnya. Demikian juga,jika memiliki jenis reaksi alergi yang lain
seperti demam, atau eksim, risiko mengalami alergi makanan lebih besar.
d. Usia. Alergi makanan yang paling umum terjadi pada anak-anak, terutama balita dan bayi.
Ketika bertambah tua, tubuh cenderung untuk menyerap komponen makanan atau
makanan yang memicu alergi. Untungnya, anak-anak biasanya dapat mengatasi alergi
terhadap susu, gandum kedelai, dan telur. Alergi parah dan alergi terhadap kacang-
kacangan dan kerang mungkin dapat diderita seumur hidup.
e. Asma. Asma dan alergi makanan biasanya terjadi bersama-sama. Ketika terjadi, baik
alergi makanan dan atau gejala asma biasanya menjadi parah.

2.3 Komplikasi
1) Artritis Rematoid inflamasi yang dimediasi oleh sitokin TH 17 dan TH1 peranan antibodi dan
komplek imun manifestasi klinis :
• Artritis kronik dengan inflamasi
• Destruksi tulang rawan sendi
2) Sklerosis Multipel inflamasi yang dimediasi oleh sitokin TH1 dan TH17 dan destruksi myelin
oleh aktivasi makrofag, manifestasi klinis :
• Demielinisasi pada SSP inflamasi perivaskuler
• Paralisis
3) Diabetes Melitus Tipe 1 inflamasi oleh sel T dan destruksi sel-sel pulau kecil sel oleh CTLs,
manifestasi klinis :
• Insulin (inflamasi kronis di pulau kecil)
• Destruksi sel β: Diabetes
4) Inflammatory bawel disease inflamasi dimediasi oleh sitokin TH1 dan TH 17 manifestasi
klinis:
• Peradangan usus kronik dan obstruksi
5) Psoriasis inflamasi dimediasi oleh sitokin TH1 dan TH 17 manifestasi klinis:
• Destruksi plak pada kulit
2.4 Manifestasi Klinis
1) Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal. Pemberian
antigen protein atau obat (misalnya, penisilin) secara sistemik (parental) menimbulkan

4
anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada pejamu yang tersensitisasi
akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan bengkak) dan eritems kulit, diikuti oleh
kesulitan bernapas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan
hipersekresi mukus. Edema laring dapat memperberat persoalan dengan menyebabkan obstruksi
saluran pernapasan bagian atas. Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat terserang, dan
mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi segera, dapat terjadi vasodilatasi
sistemik (syok anafilaktik) dan penderita dapat mengalami kegagalan sirkulasi dan kematian
dalam beberapa menit.
Reaksi lokal biasanya terjadi antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai jalur
pemajananya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria) traktus gastrointestinal (ingesti,
menyebabkan diare) atau paru (inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi).

2) Reaksi tipe II umumnya berupa kelainan darah, seperti anemia hemolitil, trombositopenia,
eosinofilia dan granulositopenia.

3) Manifestasi klinik hipersensitivitas tipe III dapat berupa :


a) Urtikaria, angioedema, eritema, makulopapula, eritema multiforme dan lain-lain. Gejala
sering disertai pruritis
b) Demam
c) Kelainan sendi, artralgia dan efusi sendi
d) Limfadenopati
e) Kejang perut, mual
f) Neuritis optic
g) Glomerulonefritis
h) Sindrom lupus eritematosus sistemik
i) Gejala vaskulitis lain

4) Manifestasi klinis hipersensitivitas tipe IV. Dapat berupa reaksi paru akut seperti demam,
sesak, batul, dan efusi pleura. Obat yang tersaring menyebabkan reaksi ini yaitu nitrofuratonin,
nefritis intestisial, ensafalomielitis, hepatitis juga dapat merupakan manifestasi reaksi obat.
Adapun gejala klinis umumnya :
a) Pada saluran pernapasan : asma
b) Pada saluran cerna : mual, muntah, diare, dan nyeri perut
c) Pada kulit : urtikaria, angioderma, dermatitis, prurituis, gatal, dan demam
d) Pada mulut : rasa gatal dan pembengkakan bibir

2.5 Patofisiologi
Hipersensitivitas tipe I disebabkan karena antibodi IgE yang melapisi sel mast dan basofil
berikatan dengan antigen bebas. Akibatnya, terjadi degranulasi sel dan pelepasan histamin serta
mediator inflamasi lainnya, seperti prostaglandin, leukotrien, triptase, platelet-activating factor,
dll.). Pelepasan histamin meningkatkan kontraksi otot sehingga dapat terjadi bronkospasm,
kram, rhinitis, hingga hypovolemi dan hypoxia.

5
Hipersensitivitas tipe II disebabkan oleh IgM atau IgG yang berikatan dengan antigen sel
normal pada jaringan tertentu. Kemudian, sistem komplemen akan teraktivasi untuk merangsang
fagositosis dan lisis pada sel yang berikatan.

Sistem komplemen merupakan protein yang bersirkulasi di dalam darah namun hanya
sebagai prekursor inaktif. Saat ada stimulasi, seperti tautan IgM atau IgG dengan sel, komplemen
akan teraktivasi dan merangsang aktivasi antibodi tersebut. Saat fungsi antibodi aktif, ia akan
mengganggu fungsi normal sel terikat.
Hipersensitivitas tipe III disebabkan karena IgG antibodi yang bertautan dengan antigen
membentuk kompleks imun sehingga membentuk endapan di jaringan tertentu. Kompleks imun
tersebut kemudian mengendap pada jaringan (umumnya pembuluh darah) sehingga
menimbulkan kaskade komplemen untuk melepaskan enzim lisosom dari netrofil guna
membunuh sel-sel yang terdapat di endapan kompleks imun tersebut. Akibatnya, dapat terjadi
inflamasi hingga vaskulitis (peradangan dinding pembuluh darah).
Hipersensitivitas tipe IV merupakan reaksi hipersensitivitas yang tertunda, atau tidak
langsung terjadi pada saat kontak pertama dengan agen, dan dimediasi oleh sel limfosit T.
Hipersensitivitas tipe IV disebabkan oleh sensitisasi pada kontak pertama yang tertangkap oleh
sel Langerhans sehingga merangsang limfosit T menjadi sensitif terhadap agen tersebut. Ketika
limfosit T terpapar kembali, sel T akan langsung merangsang sekresi limfokin dan sitokin (IFN-γ,
TNF-α). Setelah itu, makrofag akan teraktivasi dan terjadilah reaksi inflamasi pada jaringan.

6
2.6 WOC

7
2.7 Pemeriksaan penunjang
1) Uji kulit: sebagai pemeriksaan penyaring (misalnya dengan alergen hirup seperti tungau, kapuk,
debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergen makanan seperti susu, telur, kacang,
ikan.).
2) Darah tepi: bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung leukosit 5000/ml disertai
neutropenia 3% sering ditemukan pada alergi makanan.
3) IgE total spesifik: harga normal IgE total adalah 1000u/I sampai umur 20 tahun. Kadar IgE lebih
dari 30u/ml pada umumnya menunjukkan bahwa penderita adalah atopi, atau mengalami infeksi
parasit atau keadaan depresi imun seluler.
4) Tes intradermal nilainya terbatas, berbahaya.
5) Tes hamaglutinin dan antibodi presipitat tidak sensitif.
6) Biopsi usus: sekunder dan sesudah dirangsang dengan makanan food chalange didapatkan
infalamsi/ atrofi mukosa usus, peningkatan limfosit intraepitelial dan IgM. IgE (dengan mikroskop
imunoflouresen).
7) Pemeriksaan/ tes D Xylose, proktosigmoidoskopi dan biopsi usus.
8) Diit coba buta ganda. (Double blind food chalange) untuk diagnosa pasti

2.8 Penatalaksanaan
Pada reaksi hipersensitivitas akut penatalaksanaan yang dilakukan adalah :
Evaluasi ABC-Airway, Breathing dan Circulation. Selanjutnya apabila ABC stabil kita dapat
memberikan antihistamin dapat berupa dypenhhidramin 10 mg secara intramuskular, selanjutnya pasien
dapat diobservasi selama 4 sampai 6 jam. Apabila keluhan pasien membaik pasien dapat dipulangkan dan
diberi obat oral berupa ceterizine 1x1.

-Algoritma Penanganan Syok Anafilaktik


Apabila keluhan pasien tidak membaik maka pasien dapat dirawat opname kemudian diberikan steroid
dan diobservasi selama 4 jam apabila kondisi membaik maka pasien boleh dipulangkan. Sedangkan
apabila keluhan belum kunjung hilang maka dicari tau apa penyebabnya, atau apabila terjadi syok
anafilaktik maka dilakukan injeksi epinefrin dengan dosis 0,01 ml/kg/BB sampai mencapai maksimal 0,3
ml subkutan dan diberikan setiap 15-20 menit sampai 3-4 kali. Seandainnya kondisi semakin memburuk
atau memang kondisinya sudah buruk, suntikan dapat diberikan secara intramuskuler selama pasien
diketahui tidak mengidap penyakit jantung Dosis maksimal epinefrin untuk orang dewasa adalah 0,5
miligram dan pada anak-anak 0,01 mg/kgBB dimana pemberian epinefrin harus dimonitor secara ketat
pada pasien dengan gangguan jantung serta pasien geriatri.
Pencegahan terhadap paparan alergen merupakan penatalaksanaan terbaik. Untuk mengetahui secara pasti
alergen yang berpotensi menyebabkan hipersensitivitas dapat dilakukan uji cukit (Skin Prick Test) agar
dapat menghindari paparan
alergen yang berpotensi tersebut
Pencegahan merupakan faktor yang tidak kalah penting dalam tatalaksana reaksi anafilaksis.
Pencegahan dapat berupa :8

8
1) Riwayat penyakit : apakah ada reaksi alergi sebelumnya. Pemberian antibiotic dan obat-obatan
lainnya secara rasional (tepat pasien, tepat indikasi, tepat obat, tepat dosis dan cara pemberian,
serta waspada efek samping). Pemberian oral lebih dianjurkan daripada parenteral.
2) Informed consent / persetujuan keluarga
3) Bila terjadi reaksi, berikan penjelasan dasar kepada pasien dan keluarga agar tidak terulangnya
kejadian tersebut.

2.9 Pencegahan tersier, primer,sekunder

A. pencegahan primer
Di berbagai daerah di Indonesia, angka kejadian alergi bervariasi mulai 3% hingga 60%. Meski
dipengaruhi karakteristik morbiditas subjek dan disain penelitian, angka diatas sangat jelas
menunjukkan semakin banyak kejadian alergi dilaporkan dibandingkan periode sebelumnya.
Alergi susu sapi pada kejadian dermatitis atopik ditemukan bahkan hingga 60%Alergi susu
sapidan dermatitis atopik adalah salah satu manifestasi klinis alergi yang paling banyak
ditemukan pada tahun pertama kehidupan dan dapat meningkatkan risiko terjadinya manifestasi
alergi lain pada masa selanjutnya. Pencegahan alergi terdiri dari pencegahan primer, sekunder
dan tersier.
Pencegahan alergi secara primer dapat menurunkan risiko terjadinya manifestasi penyakit
alergi.Mengingat upaya pencegahan alergi secara primer memberikan daya guna yang paling
efisien untuk menurunkan kejadian alergi, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) memandang
perlu perluasan informasi tentang upaya yang bisa dilakukan pada pencegahan alergi.
Pencegahan pimer bertujuan untuk menurunkan risiko alergi susu sapi, dermatitis atopik, asma
dan rinitis alergi. Rekomendasi ini membahas upaya pencegahan primer pada anak yang
memiliki risiko alergi berdasarkan penyakit atopik dalam keluarga.
Prinsip-prinsip pencegahan dapat dihubungkan dengan dua kategori, individu dan kelompok, dan
dibagi menjadi primer, sekunder, tersier.
Pencegahan primer fokus pada induksi kontak sensitisasi dan kontrol paparan.

B. Pencegahan sekunder berhubungan dengan elisitasi, dan pencegahan tersier untuk mengukur
dermatitis berulang.

9
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
1. Identitas klien
Meliputi nama, umur,jenis kelamin,pendidikan, alamat, pekerjaaan, agama, suku
bangsa, tanggal dan jam MRS, no register dan diagnose medis.
2. Keluhan utama
Biasanya terdapat kemerahan dan bengkak pada kulit dan terasa gatal.
3. Riwayat penyakit sekarang
Pasien mengeluh nyeri perut, sesak nafas, demam, bibirnya bengkak, tibul kemerahan
pada kulit, mual muntah dan terasa gatal.
4. Riwayat penyakit dahulu
Mengkaji apakah sebelumnya pasien pernah mengalami nyeri perut,sesak nafas,
demam,bibirnya bengkak,tibul kemerahan pada kulit,mual muntah,dan terasa gatal
dan pernah menjalani perawatan di RS atau pengobatan tertentu.
5. Riwayat penyakit keluarga
Mengkaji apakah dalam keluarga pasien ada/tidak yang mengalami penyakit yang
sama.
6. Riwayat psikososial
Mengkaji orang terdekat dengan pasien, interaksi dalam keluarga, dampak penyakit
pasien terhadap keluarga, masalah yang mempengaruhi pasien, mekanisme koping
terhadap stres, persepsi pasien terhadap penyakitnya, tugas perkembangan menurut
usia saat ini, dan sistem nilai kepercayaan.
7. Pemeriksaan fisik

10
a. kulit, seluruh kulit harus diperhatikan apakah ada peradangan kronik, bekas
garukan terutama daerah pipi dan lipatan kulit daerah fleksor.
b. Mata, diperiksa terhadap hiperemia, edema, sekret mata yang berlebihan dan
katarak yang sering dihubungkan dengan penyakit atropi.
c. Telinga, telinga tengah dapat merupakan penyulit rinitis alergi.
d. Hidung, beberapa tanda yang sudah baku misal: salute, allergic crease,
allergic shiners, allergic facies.
e. Mulut dan orofaring pada rinitis alergik, sering terlihat mukosa orofaring
kemerahan, edema. Palatum yang cekung kedalam, dagu yang kecil serta
tulang maksila yang menonjol kadang-kadang disebabkan alergi kronik.
f. Dada, diperiksa secara infeksi, palpasi, perkusi, auskultasi. Pada waktu
serangan asma kelainan dapat berupa hiperinflasi, penggunaan otot bantu
pernafasan.
g. Periksa tanda-tanda vital terutama tekanan darah.
8. Pemeriksaan Diagnostik.
a. Pemeriksaan pada jumlah leukosit dan hitung jenis sel.
b. Pemeriksaan sel eosinofil pada sekret konjungtiva, hidung, sputum.
c. Pemeriksaan serum Ig E total dan Ig G spesifik.

3.2 Diagnosa Keperawatan


1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan terpajan allergen
2. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan infalamasi dermal,intrademal
sekunder
4. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan berlebih
5. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi ( allergen,ex: makanan).

3.3 Intervensi
NO Tujuan Intervensi
1 - NOC: 1. Kaji frekuensi, kedalaman
Setelah melakukan pernapasan dan ekspansi paru.

11
tindakan 3 x 24 jam, Catat upaya pernapasan,
diharapkan pasien termasuk pengguanaan otot
menunjukkan pola nafas bantu/ pelebaran masal.
efektif dengan frekuensi 2. Observasi pola batuk dan
dan kedalaman rentang karakter secret.
normal. 3. Auskultasi bunyi napas dan
Kriteria hasil : catat adanya bunyi napas
 Frekuensi pernapasan adventisius seperti krekels,
pasien normal (16-20 mengi, gesekan pleura.
kali per menit) 4. Tinggikan kepala dan bantu
 Pasien tidak merasa mengubah posisi. Bangunkan
sesak lagi pasien turun dari tempat tidur
 Pasien tidak tampak dan ambulansi sesegera
memakai alat bantu mungkin.
pernapasan 5. Berikan oksigen tambahan.

 Tidak terdapat tanda- 6. Berikan humidifikasi

tanda sianosis tambahan, mis: nebulizer

- ultrasonic

- 2 Setelah dilakukan tindakan 1. Pantau suhu pasien ( derajat


keperawatan selama 3 x 24 dan pola ).
jam, diharapkan suhu 2. Pantau suhu lingkungan,
tubuh pasien menurun. batasi atau tambahkan linen
Kriteria hasil : tempat tidur sesuai indikasi.
 Suhu tubuh pasien 3. Berikan kompres mandi
kembali normal hangat; hindari penggunaan
( 36,5 oC -37,5 oC) alcohol
 Bibir pasien tidak
bengkak lagi
3 Setelah dilakukan tindakan 1. Lihat kulit, adanya edema,
keperawatan selama 3 x 24 area sirkulasinya terganggu

12
jam, diharapkan pasien atau pigmentasi.
tidak akan mengalami 2. Hindari obat intramaskular.
kerusakan integritas kulit 3. Beritahu pasien untuk tidak
lebih parah. menggaruk area yang gatal..
Kriteria hasil :
 Tidak terdapat
kemerahan,bentol-
bentol dan odema
 Tidak terdapat
tanda-tanda
urtikaria,pruritus
dan angioderma
 Kerusakan
integritas kulit
berkurang

4 NOC: 1. Kaji turgor kulit, kelembaban


Setelah dilakukan tindakan membrane mukosa (bibir,
keperawatan selam 3 x 24 lidah).
jam, diharapkan 2. Ukur dan pantau TTV, contoh
kekurangan volume cairan peningakatan suhu/ demam
pada pasien dapat teratasi. memanjang, takikardia,
Kriteria hasil : hipotensi ortostatik.
 Pasien tidak 3. Beri obat sesuai indikasi
mengalami diare misalnya antipiretik,
lagi antiemetic.
 Pasien tidak
mengalami mual
dan muntah
 Tidak terdapat

13
tanda-tanda
dehidrasi
 Turgor kulit
kembali normal
5 Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji tingkat nyeri (PQRST)
keperawatan selama 3 x 24 2. Observasi TTV
jam, diharapkan nyeri 3. Bantu pasien melakukan
pasien teratasi teknik relaksasi
kriteria hasil : 4. Berikan posisi yang nyaman
Pasien menyatakan dan sesuai dengan kebutuhan
menunjukkan nyerinya 5. Ciptakan suasana yang tenang
hilang 6. Kolaborasi dengan dokter
Wajah tidak meringis dalam pemberian analgesik
Skala nyeri 0
 Hasil pengukuran
TTV dalam batas
normal, TTV
normal yaitu :
 Tekanan darah :
140-90/90-60
mmHg
 Nadi
60-100 kali/menit
 Pernapasan
: 16-20
kali/menit
 Suhu 36-37oC

14
BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Hipersensitivitas (Reaksi Hipersensitivitas) adalah reaksi-reaksi dari sistem kekebalan
yang terjadi ketika jaringan tubuh yang normal mengalami cedera/terluka. Mekanisme dimana
sistem kekebalan melindungi tubuh dan mekanisme dimana reaksi hipersensitivitas bisa melukai
tubuh adalah sama, Hipersensitivitas tipe I disebabkan karena antibodi IgE yang melapisi sel
mast dan basofil berikatan dengan antigen bebas. Akibatnya, terjadi degranulasi sel dan
pelepasan histamin serta mediator inflamasi lainnya, seperti prostaglandin, leukotrien,
triptase, platelet-activating factor, dll.). Pelepasan histamin meningkatkan kontraksi otot
sehingga dapat terjadi bronkospasm, kram, rhinitis, hingga hypovolemi dan hypoxia.

4.2 Saran
Dengan disusunnya makalah ini mengharapkan kepada semua pembaca agar dapat
menelaah dan memahami apa yang telah terulis dalam makalah ini sehingga sedikit banyak bisa
menambah pengetahuan pembaca. Disamping itu kami juga mengharapkan saran dan kritik dari
para pembaca sehinga kami bisa berorientasi lebih baik pada makalah kami selanjutnya.

15
DAFTAR PUSTAKA
Bulechek, Gloria. dkk. (2013). Nursing Interventions Classification Edisi Bahasa Indonesia.
Jakarta : Mocomedia.
Hikmah, N., & Dewanti, I. D. A. R. (2015). Seputar Reaksi Hipersensitivitas (Alergi).
STOMATOGNATIC-Jurnal Kedokteran Gigi, 7(2), 108-112.
Mooehead, Sue. dkk. (2013). Nursing Outcomes Classification Edisi Bahasa Indonesia. Jakarta :
Mocomedia
Brunner & Suddarth. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, volume 3, Jakarta :
EGC.
Osborn DA,Sinn JKH.The Cochrane Collaboration.2009 Muraro.A,Dreborg.S,Halken S,Host
A,Niggemann B,Aalberse R,et al. Pediatr Allergy Immunol 2004;15:291-307

16

Anda mungkin juga menyukai