Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH IMUNOLOGI DASAR I

HIPERSENTIVITAS TIPE II
(Antibody Mediated)

Dosen Pengampu :
Mardiansyah Bahar, S.KM.,M.Kes

Disusun Oleh:

Annika Rahmi Yudisa (22010001)


Galan Darta Jaya (22010003)
Adi Kaurian Sahadi (22010005)
Riska Erlina (22010025)
Riski Diansyah (22010026)
Rossy Viara (22010027)
Sella Seri Aprianti (22010028)
Serin Marsela (22010029)

AKADEMI ANALIS KESEHATAN HARAPAN BANGSA


BENGKULU 2022/2023
KATA PENGANTAR

Rasa syukur kami haturkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat karunianya
kami dapat menyusun makalah ini dengan baik dan selesai tepat pada waktunya. Penyusunan
makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas IMUNOLOGI Dasar I dari Dosen pengampu mata
kuliah. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk memberikan tambahan wawasan bagi kami
sebagai penulis dan bagi para pembaca.
Kami selaku penulis tidak lupa untuk mengucapkan terima kasih kepada Mardiansyah
Bahar, S.KM.,M.Kesselaku Dosen mata kuliah Virologi .Tidak lupa bagi pihak-pihak lain yang
telah mendukung penulisan makalah ini kami juga mengucapkan terima kasih.

Terakhir, kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari
itu kami membutuhkan kritik dan saran yang bisa membangun kemampuan kami, agar
kedepannya bisa menulis makalah dengan lebih baik lagi. Semoga makalah ini bermanfaat bagi
para pembaca, dan bagi kami khususnya sebagai penulis.

Bengkulu,12 Mei 2023

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................................................2
DAFTAR ISI...................................................................................................................................................3
1.1 Latar Belakang...................................................................................................................................4
1.2 Rumusan masalah..............................................................................................................................4
1.3 Tujuan................................................................................................................................................5
BAB II.........................................................................................................................................................6
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................6
2.1 Pengertian........................................................................................................................................6
2.2 Epidemiologi.....................................................................................................................................9
2.2.1 Penipisan atau Penghancuran Sel Tanpa Peradangan...........................................................9
2.2.2 Peradangan Yang Dimediasi Oleh Pelengkap Atau Reseptor FC........................................10
2.2.3 Disfungsi Seluler Oleh Antibodi.............................................................................................10
2.3 Etiologi............................................................................................................................................11
2.3.1 Toleransi kekebalan..................................................................................................................11
2.4 Epidemiologi...................................................................................................................................11
2.5 Patofisiologi.....................................................................................................................................11
2.5 Histopatologi...................................................................................................................................11
2.5.1 Sejarah dan Fisik.......................................................................................................................12
2.5.2 Evaluasi...................................................................................................................................12
2.6 Pengobatan dan Penatalaksanaan.....................................................................................................12
2.6.1 Protokol Manajemen.................................................................................................................12
2.6.2 Perbedaan diagnosa..................................................................................................................13
2.6.3 Komplikasi...............................................................................................................................13
2.7 Pencegahan dan Pendidikan Pasien.................................................................................................14
2.7.1 Meningkatkan Hasil Tim Perawatan Kesehatan........................................................................14
BAB III......................................................................................................................................................15
PENUTUP.................................................................................................................................................15
3.1 Kesimpulan................................................................................................................................15
3.2 Saran...............................................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................16

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hipersensitivitas tipe 2, juga dikenal sebagai reaksi hipersensitivitas sitotoksik, merupakan salah
satu dari empat tipe reaksi hipersensitivitas dalam sistem kekebalan tubuh. Reaksi ini terjadi ketika
antibodi yang dihasilkan oleh sistem kekebalan tubuh menyerang sel-sel normal dalam tubuh.
Antibodi ini disebut imunoglobulin G (IgG) atau imunoglobulin M (IgM) dan biasanya diarahkan
terhadap antigen yang terletak pada permukaan sel.

Latar belakang hipersensitivitas tipe 2 dapat melibatkan berbagai kondisi atau mekanisme, termasuk:

1. Hemolisis imunologis: Antibodi dapat menyerang dan menghancurkan sel-sel darah merah,
menyebabkan anemia hemolitik. Contohnya adalah penyakit hemolitik pada bayi baru lahir
(hemolisis pada bayi yang disebabkan oleh perbedaan antigen Rh antara ibu dan janin).

2. Reaksi autoimun: Sistem kekebalan tubuh dapat menghasilkan antibodi yang menyerang sel-sel
tubuh sendiri, seperti dalam penyakit lupus eritematosus sistemik (SLE) atau anemia hemolitik
autoimun.

3. Transfusi darah yang tidak cocok: Jika seseorang menerima transfusi darah yang tidak sesuai
dengan golongan darahnya, antibodi dalam darah penerima dapat menyerang dan
menghancurkan sel darah donor.

4. Penyakit reaksi transplantasi: Setelah transplantasi organ atau jaringan, sistem kekebalan tubuh
penerima dapat mengenali organ atau jaringan donor sebagai benda asing dan menyerangnya. Ini
disebut penolakan transplantasi dan melibatkan mekanisme hipersensitivitas tipe 2.

Gejala hipersensitivitas tipe 2 dapat bervariasi tergantung pada organ atau sel yang terlibat.
Beberapa gejala yang mungkin timbul meliputi anemia, pembesaran limpa, kulit kemerahan, atau
gangguan fungsi organ yang terkena.

Penanganan hipersensitivitas tipe 2 tergantung pada kondisi yang mendasarinya. Ini bisa mencakup
pemberian imunosupresan untuk mengendalikan respons kekebalan tubuh, pengobatan gejala, atau
pengobatan kondisi penyerta yang mendasarinya.

Penting untuk berkonsultasi dengan profesional kesehatan untuk diagnosis dan pengelolaan yang
tepat jika Anda mengalami gejala atau memiliki kekhawatiran terkait hipersensitivitas tipe 2 atau
kondisi terkaitnya.

1.2 Rumusan masalah

1. Apa yang dimaksud dengan hipersensitivitas tipe 2 dan bagaimana dampaknya pada tubuh
manusia?
2. Pentingkah pengenalan dan pemahaman tentang hipersensitivitas tipe 2 dalam konteks
kesehatan?
3. Bagaimana cara mendiagnosis dan mengelola hipersensitivitas tipe 2?
4. Apakah terdapat terapi atau pengobatan yang efektif untuk mengatasi hipersensitivitas tipe 2?
5. Bagaimana peran pendidikan dan kesadaran masyarakat dalam menghadapi masalah
hipersensitivitas tipe 2?
6. Bagaimana upaya pencegahan yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko terjadinya
hipersensitivitas tipe 2?

1
1.3 Tujuan

1. Mengetahui yang dimaksud dengan hipersensitivitas tipe 2 dan bagaimana dampaknya pada
tubuh manusia?
2. Mengetahui pengenalan dan pemahaman tentang hipersensitivitas tipe 2 dalam konteks
kesehatan?
3. Mengetahui cara mendiagnosis dan mengelola hipersensitivitas tipe 2?
4. Mengetahui Terdapat terapi atau pengobatan yang efektif untuk mengatasi hipersensitivitas
tipe 2?
5. Mengetahui peran pendidikan dan kesadaran masyarakat dalam menghadapi masalah
hipersensitivitas tipe 2?
6. Mengetahui upaya pencegahan yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko terjadinya
hipersensitivitas tipe 2?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian

Reaksi hipersensitivitas tipe II berkembang sebagai respons terhadap modifikasi permukaan


sel atau antigen terkait matriks yang menghasilkan epitop antigenik yang dianggap asing oleh sistem
kekebalan tubuh. Penyebab paling umum termasuk obat-obatan seperti penisilin, tiazid, sefalosporin,
dan metildopa.

Obat berikatan dengan permukaan sel yang menghasilkan neoantigen atau mengubah epitop
dari self-antigen yang ada di permukaan sel. Ini mengarahkan sistem kekebalan untuk mengenali
antigen yang dimodifikasi sebagai benda asing, dengan kerusakan toleransi kekebalan dan produksi
antibodi yang diarahkan ke antigen sendiri.

Toleransi kekebalan adalah fenomena dimana sistem kekebalan mengenali antigennya dan
tidak menghasilkan respons antibodi terhadap antigennya. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap
kerusakan toleransi meningkatkan produksi antibodi terhadap antigen sendiri.

Hipersensitivitas tipe ini banyak diperantarai oleh IgM dan IgG. Mekanisme yang terjadi
adalah kedua antibodi tersebut dapat mengenali selfantigen yang ada di permukaan suatu sel, sehingga
akan menimbulkan respon imun terhadap sel tersebut. Akibatnya akan terjadi kerusakan pada sel
tersebut.
Contoh penyakit yang termasuk dalam hipersensitivitas tipe II ini adalah Erythroblastosis fetalis dan
Graves Disease

Mekanisme hipersensitivitas tipe II, dimana antibodi dapat mengenali antigen permukaan sel
(dicontohkan adalah sel darah merah/eritrosit) dan memicu respon imun terhadap sel tersebut
mengakibatkan kerusakan eritrosi

Erythroblastosis fetalis.

3
Penyakit ini berupa kondisi anemia berat pada janin yang disebabkan karena antibodi ibu mengenali
antigen Rhesus pada eritrosit janin. Pengenalan ini akan mengakibatkan sel darah merah menggumpal
dan menyebabkan kerusakan. Sehingga terjadi anemia berat

Erythroblastosis fetalis terjadi ketika antibodi ibu dapat mengenali


antigen Rhesus yang ada di permukaan sel darah merah janin.

Kejadian Erythroblastosis fetalis bisa dapat terjadi jika seorang wanita dengan golongan darah
Rhesus negatif (Rh-) menikah dengan laki-laki dengan golongan darah Rhesus positif
(Rh+),kemudian mengandung janin dengan golongan darah Rhesus positif (Rh+). Umumnya pada
kehamilan pertama,
antibodi ibu terhadap sel darah merah janin belum berdampak serius pada janin. Hal ini bisa terjadi
karena antibodi ini belum banyak terbentuk. Namun, pada kehamilan berikutnya, reaksi antibodi ibu
dengan antigen sel darah merah janin akan mengakibatkan anemia, hipoalbuminemia, peningkatan
kadar bilirubin, gagal jantung dan kematian.Gejala pada bayi yang terkena Erythroblastosis fetalis
warna kulit yang kuning (jaundice), pucat dan tubuhnya membengkak. Organ hati atau limpanya
berukuran lebih besar dari organ pada bayi normal.

Pada kehamilan pertama, erythroblastosis fetali belum berdampak serius pada janin (kiri),
setelah kelahiran, antibodi terhadap antigen Rhesus janin semakin banyak terbentuk (tengah), antibodi
ini kemudian dapat berpengaruh buruk pada janin di kehamilan kedua (kanan).

Pada bayi yang mengalami erythroblastosis fetalis akan mengalami


jaundice (warna kuning pada kulit, mata) akibat peningkatan kadar bilirubin.

Graves Disease

Graves Disease. adalah suatu penyakit yang disebabkan karena produksi hormon tiroid yang
berlebihan (hipertiroidisme). Seperti kita ketahui bahwa hormon tiroid dihasilkan oleh kelenjar tiroid
yang terdapat di dasar leher kita. Hormon tiroid pada individu normal berfungsi untuk mengatur
proses metabolisme dalam tubuh dan berpengaruh pada hampir semua organ tubuh. Produksi hormon
tiroid dipengaruhi oleh hormon lain yang disebut dengan Thyroid Stimulating Hormone (TSH). Pada
permukan sel-sel kelenjar tiroid, hormon TSH ini akan ditangkap oleh reseptor TSH, sehingga akan
memicu proses produksi tiroid.

Kelenjar tiroid yang terletak di dasar leher.

Pada penderita Graves Disease, terdapat antibodi yang dikenali oleh reseptor TSH, sehingga
produksi tiroid menjadi semakin banyak, bukan hanya karena hormon TSH tetapi juga karena
pengikatan antara antibodi dengan resptor TSH.

Hipertiroidisme bisa terjadi ketika antibodi dapat berikatan dengan reseptor TSH di sel-sel
tiroid. Inilah yang terjadi pada penderita Graves Disease

Gejala Graves Disease bermacam-macam dan hal ini dapat mempengaruhi kegiatan sehari-
hari dari penderita dan menimbulkan ketidaknyamanan. Gejala-gejala tersebut antara lain :

1. Pembesaran kelenjar tiroid (goiter).


2. Mata yang menonjol (Graves ophthalmopathy).
3. Tremor pada tangan dan jari tangan.

5
4. Kulit memerah dan menebal (Graves dermopathy).
5. Penurunan nafsu makan.
6. Perubahan siklus menstruasi.
7. Detak jantung cepat dan tidak teratur.

Beberapa gejala Graves Disease antara lain perbesaran kelenjar tiroid (kiri atas), mata melotot
(kanan atas) dan kulit bersisik (bawah) (sumber: Mayo Clinic).

2.2 Epidemiologi

Data epidemiologis mengenai reaksi hipersensitivitas masih langka. Sepertiga dari reaksi
merugikan yang terjadi akibat obat-obatan sebenarnya adalah reaksi hipersensitivitas. Reaksi
hipersensitif ini terbukti mematikan dan juga dapat memperpanjang rawat inap. Faktor predisposisi
genetik masih belum dijelajahi, tetapi ada kemungkinan kita dapat mengidentifikasi populasi berisiko
tinggi dengan studi genetik lanjutan di masa depan. Epidemiologi juga bervariasi sesuai dengan
penyebab yang mendasari reaksi hipersensitivitas tipe II, seperti pada kasus penyakit hemolitik pada
bayi baru lahir; meskipun imunoprofilaksis lanjut, diperkirakan 1 sampai 3 dari 1000 wanita Rh-
negatif masih mengembangkan alloimunisasi hari ini. Patofisiologi
Coombs dan Gell menggambarkan reaksi hipersensitivitas langsung yang dimediasi imun (IHR)
sebagai respons yang digerakkan oleh antibodi yang terjadi dalam 24 jam dan mengklasifikasikannya
menjadi reaksi hipersensitivitas tipe I, II, III, dan IV. Reaksi ini melibatkan antibodi IgE, IgM, dan
IgG. Pada hipersensitivitas tipe II, setelah terpapar agen pemicu, autoantibodi diproduksi (IgG dan
IgM) ke sel inang (fase sensitisasi), mempromosikan serangkaian hasil patogenik (fase efektor). [7]

Patofisiologi reaksi hipersensitivitas tipe II dapat secara luas diklasifikasikan menjadi tiga jenis:
1. Penipisan atau penghancuran sel tanpa peradangan
2. Peradangan dimediasi oleh komplemen atau reseptor Fc
3. Disfungsi seluler oleh antibodi

Prosesnya melibatkan serangkaian peristiwa yang dimediasi kekebalan yang mungkin mengambil
bentuk berbeda.

2.2.1 Penipisan atau Penghancuran Sel Tanpa Peradangan

Antibodi dapat berikatan dengan permukaan sel target, khususnya antibodi IgG. Melalui
bagian Fc mereka, mereka mengikat reseptor Fc masing-masing pada permukaan makrofag dan
dengan demikian bertindak sebagai opsonin. Opsonin adalah molekul apa pun yang meningkatkan
fagositosis zat apa pun. Jadi dengan mengikat kedua sel target dan reseptor Fc dari makrofag, itu
mengaktifkan makrofag dan menyebabkannya memfagositosis sel target.

Antibodi juga dapat berikatan dengan sel target dan mengaktifkan jalur komplemen sehingga
terbentuk komponen komplemen C3b, yang juga berperan sebagai opsonin dan berikatan dengan
reseptor di permukaan makrofag. Ini, pada gilirannya, mengaktifkan makrofag yang menyebabkan
mereka menelan sel yang mengakibatkan penipisan sel.
Antibodi juga dapat berikatan dengan sel target yang menghasilkan aktivasi jalur komplemen
dan pembentukan kompleks serangan membran yang melibatkan komponen komplemen C5b6789.
Kompleks serangan membran menciptakan saluran untuk menginduksi lisis sel. Satu saluran cukup
untuk menginduksi lisis sel berinti seperti eritrosit, tetapi sel berinti membutuhkan beberapa kompleks
serangan membran untuk menghancurkan sel tersebut.

Sitotoksisitas yang dimediasi sel yang bergantung pada antibodi adalah fenomena di mana
antibodi berikatan dengan sel target dan kemudian sel efektor dari sistem kekebalan. Ini terutama
adalah sel pembunuh alami yang menempel pada bagian Fc dari antibodi dan kemudian diaktifkan,
melepaskan perforin dan granzim, menyebabkan lisis sel target. Jenis penipisan atau penghancuran sel
tanpa peradangan ini terlihat pada anemia hemolitik autoimun, trombositopenia autoimun, reaksi
transfusi darah tertentu, dan eritroblastosis fetalis.

2.2.2 Peradangan Yang Dimediasi Oleh Pelengkap Atau Reseptor FC

Antibodi dapat mengaktifkan jalur komplemen dengan mengikat self-antigen yang


menghasilkan pembentukan komponen komplemen C3a dan C5a, yang bertindak sebagai faktor
kemotaktik untuk neutrofil, menyebabkan perekrutan neutrofil ke situs dan menghasilkan aktivasi
neutrofil. Neutrofil ini kemudian melepaskan enzim dan spesies oksigen reaktif, yang merusak
jaringan. Misalnya, pada sindrom Goodpasture, autoantibodi diarahkan melawan kolagen di membran
basal glomerulus dan alveolar. Pengikatan antibodi ini menyebabkan aktivasi yang kuat dari sistem
komplemen, yang merekrut leukosit yang mengakibatkan peradangan.

Antibodi terhadap antigen asing juga dapat memicu aktivasi komplemen dan peradangan
melalui mekanisme mimikri molekuler. Ini adalah ciri khas demam rematik akut di mana antibodi
yang ditujukan terhadap antigen streptokokus secara struktural meniru myosin jantung di jantung
manusia, menyebabkan reaktivitas silang dari antibodi ini terhadap bakteri dan antigen inang dan
karena itu berikatan dengan myosin dan merusak jaringan jantung.

2.2.3 Disfungsi Seluler Oleh Antibodi

Autoantibodi berikatan dengan reseptor pada sel target, menyebabkan disfungsi tanpa
menyebabkan inflamasi atau kerusakan. Misalnya, pada penyakit Graves, autoantibodi berikatan
dengan reseptor tirotropin pada sel folikel tiroid yang mengakibatkan produksi hormon tiroid berlebih.
Biasanya produksi tirotropin oleh hipofisis diatur oleh kadar hormon tiroid dalam darah, tetapi
antibodi ini menyebabkan produksi hormon tiroid secara otonom oleh sel-sel folikel, yang tidak
dihambat oleh tingginya kadar hormon tiroid dalam darah sehingga menghasilkan banyak tingkat
yang lebih tinggi daripada menyebabkan gejala tirotoksikosis.

Pada myasthenia gravis, autoantibodi yang diarahkan melawan reseptor asetilkolin nikotinat
tidak memungkinkan asetilkolin berikatan dengan reseptornya pada sel otot yang menyebabkan
kelemahan otot.

Reaksi hipersensitivitas tipe II mengacu pada reaksi imun yang dimediasi antibodi di mana
antibodi (IgG atau IgM) diarahkan terhadap antigen matriks seluler atau ekstraseluler, yang
mengakibatkan kerusakan sel, kehilangan fungsional, atau kerusakan jaringan. Kerusakan dapat
terjadi melalui berbagai mekanisme. Kegiatan ini mendefinisikan mekanisme patogenik yang terlibat,
presentasi klinis, evaluasi, dan pengelolaan bentuk umum reaksi hipersensitivitas tipe II dan
menyoroti peran tim interprofessional dalam perawatan pasien ini.

Reaksi hipersensitivitas tipe II mengacu pada reaksi imun yang dimediasi antibodi di mana
antibodi (IgG atau IgM) diarahkan terhadap antigen matriks seluler atau ekstraseluler, yang
mengakibatkan kerusakan sel, kehilangan fungsional, atau kerusakan jaringan.

7
Kerusakan dapat terjadi melalui tiga mekanisme berbeda:
1.Ikatan antibodi dengan reseptor permukaan sel dan mengubah aktivitasnya
2.Aktivasi jalur komplemen
3.Sitotoksisitas seluler yang bergantung pada antibodi

2.3 Etiologi

Reaksi hipersensitivitas tipe II berkembang sebagai respons terhadap modifikasi permukaan


sel atau antigen terkait matriks yang menghasilkan epitop antigenik yang dianggap asing oleh sistem
kekebalan tubuh. Penyebab paling umum termasuk obat-obatan seperti penisilin, tiazid, sefalosporin,
dan metildopa. Molekul obat berikatan dengan permukaan sel yang menghasilkan neoantigen atau
mengubah epitop dari self-antigen yang ada di permukaan sel. Ini mengarahkan sistem kekebalan
untuk mengenali antigen yang dimodifikasi sebagai benda asing, dengan kerusakan toleransi
kekebalan dan produksi antibodi yang diarahkan ke antigen sendiri.

2.3.1 Toleransi kekebalan

Toleransi kekebalan adalah fenomena dimana sistem kekebalan mengenali antigennya dan
tidak menghasilkan respons antibodi terhadap antigennya. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap
kerusakan toleransi meningkatkan produksi antibodi terhadap antigen sendiri.

2.4 Epidemiologi

Data epidemiologis mengenai reaksi hipersensitivitas masih langka. Sepertiga dari reaksi
merugikan yang terjadi akibat obat-obatan sebenarnya adalah reaksi hipersensitivitas. Reaksi
hipersensitif ini terbukti mematikan dan juga dapat memperpanjang rawat inap. Faktor predisposisi
genetik masih belum dijelajahi, tetapi ada kemungkinan kita dapat mengidentifikasi populasi berisiko
tinggi dengan studi genetik lanjutan di masa depan. Epidemiologi juga bervariasi sesuai dengan
penyebab yang mendasari reaksi hipersensitivitas tipe II, seperti pada kasus penyakit hemolitik pada
bayi baru lahir; meskipun imunoprofilaksis lanjut, diperkirakan 1 sampai 3 dari 1000 wanita Rh-
negatif masih mengembangkan alloimunisasi hari ini.

2.5 Patofisiologi

Coombs dan Gell menggambarkan reaksi hipersensitivitas langsung yang dimediasi imun
(IHR) sebagai respons yang digerakkan oleh antibodi yang terjadi dalam 24 jam dan
mengklasifikasikannya menjadi reaksi hipersensitivitas tipe I, II, III, dan IV. Reaksi ini melibatkan
antibodi IgE, IgM, dan IgG. Pada hipersensitivitas tipe II, setelah terpapar agen pemicu, autoantibodi
diproduksi (IgG dan IgM) ke sel inang (fase sensitisasi), mempromosikan serangkaian hasil patogenik
(fase efektor).

2.5 Histopatologi

Imunohistopatologi reaksi hipersensitif tipe II menggambarkan sitotoksisitas yang dimediasi


antibodi (IgG dan IgM) bersama dengan gambaran spesifik penyakit lainnya. Pada penyakit Graves,
terjadi hiperplasia difus sel-sel folikel tiroid dengan peningkatan rasio folikel/stroma. Demam
rematik akut dengan keterlibatan miokardium menunjukkan infiltrasi inflamasi katup yang padat dan
badan Aschoff, yang merupakan temuan karakteristik peradangan rematik jantung.
Pada sindrom Goodpasture, biopsi ginjal di bawah mikroskop cahaya menunjukkan glomerulonefritis
bulan sabit. Imunofluoresensi menunjukkan deposisi linier IgG dengan komplemen di sepanjang
membran dasar. Pada pemfigus vulgaris, histopatologi menunjukkan celah suprabasal dan
penampakan "batu nisan" dari sel basal. Imunofluoresensi menunjukkan pengendapan antar sel
antibodi terhadap IgG dan C3.

2.5.1 Sejarah dan Fisik

Temuan anamnesis dan pemeriksaan fisik berbeda berdasarkan kategori penyakit yang
disajikan. Dengan reaksi hipersensitivitas tipe II, selama anamnesis, pasien mungkin melaporkan
transfusi darah berulang, ketidakcocokan golongan darah atau rhesus, atau riwayat asupan obat baru-
baru ini. Pasien mungkin secara klinis menunjukkan gambaran autoimunitas, misalnya,
trombositopenia imun (ditandai dengan gangguan perdarahan), anemia hemolitik autoimun (ditandai
dengan ikterus), dan diskrasia darah lainnya (neutropenia autoimun). saya myasthenia gravis, pasien
dapat memiliki gejala sugestif kelemahan otot umum dengan kesulitan dalam bergerak, makan,
berbicara, dan melakukan aktivitas rutin.

2.5.2 Evaluasi

Evaluasi bentuk reaksi hipersensitivitas segera tergantung pada sifat faktor pencetus dan
kombinasi dari presentasi klinis dan data investigasi untuk menegakkan diagnosis yang tepat.

Mensurvei reaksi yang dimediasi oleh antibodi merupakan fitur utama yang
mempertimbangkan riwayat dan pemeriksaan. Salah satu contoh paling umum dari hipersensitivitas
tipe II adalah yang mengikuti asupan obat pada pasien dengan lupus yang diinduksi oleh obat. Pada
tipe ini, antibodi anti-sel darah merah atau anti-dsDNA diproduksi sebagai akibat dari obat yang
menempel pada sel darah merah yang mengakibatkan lupus eritematosus sistemik (SLE) yang
diinduksi oleh obat.

Evaluasi meliputi hal-hal berikut: Jumlah sel darah lengkap yang mensurvei hemoglobin
(anemia hemolitik autoimun), jumlah sel darah merah, neutrofil, limfosit, dan trombosit untuk
sitopenia, dan penilaian imunoglobulin dengan uji kuantitatif untuk IgG, IgM, dan IgE tergantung
pada jenis reaksi hipersensitivitas. Hewan, tumbuhan, makanan, dan polutan lingkungan dapat
digunakan dalam uji tusuk kulit, dan uji radioalergosorben (RAST untuk IgE) dapat dilakukan. Alergi
obat juga dapat dideteksi melalui tes intradermal, seperti hipersensitivitas terhadap ceftriaxone dan
carbamazepine.

Deteksi autoantibodi dapat dinilai pada penyakit autoimun sistemik seperti SLE dan
rheumatoid arthritis (RA). Autoantibodi juga dapat dilakukan terhadap organ tertentu, misalnya
autoantibodi terhadap sel islet pada diabetes melitus, antibodi reseptor thyroid-stimulating hormone
(TSH) untuk membedakannya dari penyebab tirotoksikosis lainnya, dan uji antibodi reseptor
asetilkolin (sangat spesifik untuk myasthenia gravis).

2.6 Pengobatan dan Penatalaksanaan

Perawatan setelah diagnosis akan tergantung pada pedoman pengobatan dan rekomendasi
untuk setiap subset penyakit. Menghindari pemicu pemicu dalam kasus efek samping obat, hemolisis,
atau penyakit autoimun akibat obat sangat penting. Manajemen sitopenia harus dilakukan sesuai
dengan protokol yang ditentukan. Glukokortikoid sistemik merupakan intervensi penting lainnya
untuk menekan respons antibodi dan mencegah kerusakan jaringan.

9
2.6.1 Protokol Manajemen

Dalam kasus efek samping yang diinduksi obat, lupus yang diinduksi obat, atau sitopenia,
obat harus dihentikan. Terapi antibiotik harus dimulai pada kasus demam rematik akut untuk
memberantas pengangkutan streptokokus grup A. Penisilin V dan benzilpenisilin terutama digunakan
untuk tujuan ini. Sefalosporin oral digunakan sebagai terapi alternatif untuk pasien alergi penisilin.
Pengobatan simtomatik manifestasi akut seperti artritis (dengan NSAID), karditis (dengan aspirin atau
prednison oral), dan chorea (dengan diazepam) harus diberikan. Pencegahan perkembangan kerusakan
jantung dengan memberikan profilaksis terhadap infeksi streptokokus grup A di masa depan harus
dilakukan. Benzatin penisilin G diberikan secara intramuskular untuk profilaksis.

Pada tirotoksikosis yang dimediasi imun (penyakit Graves), obat antitiroid, termasuk
propiltiourasil dan methimazol, dimulai. Ablasi radioiodine dan eksisi bedah juga harus
dipertimbangkan. Glukokortikoid digunakan untuk oftalmopati.

Pada myasthenia gravis, penghambat asetilkolinesterase seperti piridostigmin dimulai. Terapi


imunosupresif (seperti kortikosteroid) digunakan untuk pasien yang refrakter terhadap terapi
piridostigmin. Timektomi dipertimbangkan pada pasien yang refrakter terhadap terapi obat.
Pertukaran plasma dan globulin imun intravena harus diberikan pada krisis miastenia.

2.6.2 Perbedaan diagnosa


Diagnosis banding reaksi hipersensitivitas tipe II sangat tergantung pada pola presentasi yang spesifik
untuk setiap kategori penyakit. Selain itu, pengetahuan tentang berbagai jenis reaksi hipersensitivitas
lainnya dan presentasi klinis masing-masing sangat penting.

Berikut ini adalah contoh yang paling umum:


1. Anemia hemolitik
2. Sitopenia (trombositopenia-neutropenia)
3. Toksisitas obat
4. Penyakit autoimun
5. Reaksi alergi
6. Infeksi
7. Endokrinopati
8. Gangguan neuromuskuler (kongenital, familial, degeneratif, inflamasi, iatrogenik,
neoplastik, dan autoimun)
9. Penyakit katup jantung
10. Prognosa

Prognosis reaksi hipersensitivitas tipe II berbeda berdasarkan diagnosis tepat waktu, dengan hati-
hati mempertimbangkan kemungkinan diagnosis banding. Selain itu, ini bervariasi dari satu kategori
penyakit ke kategori lainnya. Misalnya, prognosis keseluruhan penyakit hemolitik pada bayi baru
lahir adalah baik jika diidentifikasi dan diobati dengan segera. Dalam kasus myasthenia gravis,
sebagian besar pasien memiliki rentang hidup yang hampir normal dengan modalitas pengobatan saat
ini. Lima puluh tahun yang lalu, angka kematian sekitar 50% sampai 80% pada krisis myasthenic, dan
sekarang telah berkurang secara substansial menjadi 4,47%.

2.6.3 Komplikasi

Jika tidak diobati, pasien dapat mengalami kerusakan jaringan atau organ, yang bergantung
pada gambaran klinis, misalnya sitopenia dapat menyebabkan infeksi, kecenderungan perdarahan, dan
anemia berat. Demam rematik akut dapat menyebabkan penyakit jantung rematik dengan lesi katup
(stenosis dan regurgitasi). Krisis myasthenia dapat berakibat fatal jika tidak segera diobati dengan
intubasi dan terapi glukokortikoid.
2.7 Pencegahan dan Pendidikan Pasien

Pasien harus dididik tentang penyakit yang didiagnosis dan pentingnya minum obat untuk
menghindari komplikasi serius yang terbukti dapat mengancam jiwa. Mereka harus disarankan untuk
menghindari minum obat baru tanpa berkonsultasi dengan penyedia medis. Pasien dengan myasthenia
gravis harus disarankan untuk mematuhi rencana pengobatan untuk memastikan bahwa penyakitnya
tetap terkontrol dengan baik.

2.7.1 Meningkatkan Hasil Tim Perawatan Kesehatan

Reaksi hipersensitivitas tipe II memerlukan kolaborasi dan komunikasi yang erat di antara tim
interprofessional yang melibatkan dokter (MD, DO, NP, dan PA), ahli imunologi, perawat, apoteker,
dan staf laboratorium. Ini akan memberikan pendekatan yang berpusat pada pasien, meningkatkan
hasil dan keselamatan pasien, dan meningkatkan kinerja tim. Dalam kasus alergi obat, apoteker harus
memeriksa catatan pengobatan pasien, dan staf perawat harus waspada dan harus mengklarifikasi
reaksi alergi obat sebelumnya kepada pasien.

Perawat dapat berfungsi sebagai titik kontak pasien dan mengkoordinasikan kegiatan antara
anggota tim interprofessional. Semua orang di tim perawatan harus dapat berkomunikasi dengan
anggota tim lainnya jika ada masalah atau perubahan status pasien. Semua intervensi dan pengamatan
harus didokumentasikan dalam catatan kesehatan pasien oleh setiap anggota tim sehingga setiap orang
memiliki akses ke informasi terkini yang sama mengenai kasus tersebut. Pendekatan interprofessional
ini akan membantu mendorong hasil pasien sebaik mungkin dengan efek samping sesedikit mungkin

11
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh seseorang
menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang umumnya non
imunogenik. Mekanisme terjadinya alergi terdiri dari fase sensitasi dan fase elisitasi. Klasifikasi dari
hipersensitivitas terdiri dari empat tipe yaitu tipe I. Tipe II. Tipe III dan Tipe IV. Jdan macamnya
terdiri dari alergi oleh karena debu, suhu udara, makanan. obala-obatan dan oleh bahan kimia lainnya
yang dapat berpengaruh. Sedangkan untuk pemeriksaan terhadap alergi dapat dilakukan dengan
pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan penunjang, dan untuk terapi alergi dapat dilakukan dengan
menghindari allergen dan melakukan terapi farmakologis.

3.2 Saran

Mencegah lebih baik dari pada mengobati. Untuk mencegah alergi ini kembali.. Merubah pola
hidup menjadi dasar perbaikan seluruh kondisi alergi. Prinsip utama dalam menangani reaksi alergi
adalah menghindari pencetusnya, dan bukan memberinya obat- obatan. Jadi, perhatikan faktor
lingkungan di sekitarnya.
DAFTAR PUSTAKA

Warrington R, Watson W, Kim HL, Antonetti FR. Pengantar imunologi dan imunopatologi.
Alergi Klinik Asma Immunol. 10 November 2011; 7 Suppl 1 (Suppl 1):S1. [ Artikel gratis PMC ]
[ PubMed ]
Hashimoto G, Wright PF, Karzon DT. Sitotoksisitas yang dimediasi sel yang bergantung pada
antibodi terhadap sel yang terinfeksi virus influenza. J Menginfeksi Dis. November 1983; 148
(5):785-94. [ PubMed ]
Viel S, Pescarmona R, Belot A, Nosbaum A, Lombard C, Walzer T, Bérard F. Kasus
Hipersensitivitas Tipe 2 terhadap Rasburicase Didiagnosis dengan Uji Aktivasi Sel Pembunuh Alami.
Imunol depan. 2018; 9 :110. [ Artikel gratis PMC ] [ PubMed ]
Schwartz RH. Tinjauan sejarah toleransi imunologi. Cold Spring Harb Perspektif Biol. 2012
April 01; 4 (4):a006908. [ Artikel gratis PMC ] [ PubMed ]
Demoly P, Gomes ER. Hipersensitivitas obat: definisi, epidemiologi dan faktor risiko.
Klinik Alergi Eur Ann Immunol. 2005 Juni; 37 (6):202-6. [ PubMed ]

13
SOAL IMUNOLOGI DASAR 1
HIPERSENTIVITAS TIPE 2

1.Seorang pasien mengalami hemolisis, yaitu pecahnya sel darah merah (red blood cell/RBC) di
dalam darahnya. Gejala ini terjadi karena adanya reaksi imun yang melibatkan antibodi yang
menempel pada RBC. Reaksi tersebut termasuk dalam jenis hipersensitivitas tipe berapa?
a. Tipe 1
b. Tipe 2
c. Tipe 3
d. Tipe 4
Jawaban:
b. Tipe 2

2.Antigen(terintegrasi pada jaringan)IgM,IgG,komplemen,PMN,dan makrofag,adalah komponen yang


terlibat pada?
a.Reaksi hipersensitivitas tipe I
b.Reaksi hipersensitivitas tipe 2
c.Reaksi hipersensitivitas tipe 3
d.Reaksi hipersensitivitas tipe 4
Jawab:
b. hipersensitivitas tipe 2

3.Penyakit yang diakibatkan karena reaksi hipersensitivitas tipe 2 adalah?


a.Anemia hemolitik
b.Asma
c.Syok anafilaksis
d.Rhinitis alergi
Jawab:
A.anemia hemolitik

4.Antibodi yang terlibat dalam hipersensitivitas tipe 2 disebut sebagai?


a. IgE
b. IgG
c. IgM
d. IgA
Jawaban: b. IgG

5.Pasien dengan golongan darah A menerima transfusi darah dengan golongan darah B. Reaksi
hipersensitivitas tipe 2 yang mungkin terjadi adalah:
a. Anafilaksis
b. Urtikaria
c. Hemolisis
d. Rinitis alergi
Jawaban: c. Hemolisis

6.Salah satu contoh penyakit yang terkait dengan hipersensitivitas tipe 2 adalah:
a. Asma
b. Lupus eritematosus sistemik
c. Penyakit Hashimoto
d. Pemfigus vulgaris
Jawaban:
d. Pemfigus vulgaris

7.Reaksi hipersensitivitas tipe 2 terjadi melalui mekanisme yang melibatkan:


a. Produksi sitokin
b. Aktivasi sel T sitotoksik
c. Antibodi yang menempel pada antigen sel target
d. Produksi IgE
Jawaban:
c. Antibodi yang menempel pada antigen sel target
8.Salah satu contoh hipersensitivitas tipe 2 adalah reaksi hemolitik pada bayi yang terkena penyakit
hemolitik pada bayi baru lahir (HDN). Penyakit ini disebabkan oleh:
a. Sensitisasi terhadap antigen Rh pada sel darah merah (RBC)
b. Paparan terhadap alergen tertentu
c. Produksi berlebihan IgE
d. Defisiensi imunoglobulin

15
Jawaban:
a. Sensitisasi terhadap antigen Rh pada sel darah merah (RBC)

9.Pada pasien dengan penyakit lupus eritematosus sistemik, antibodi yang dihasilkan menargetkan:
a. Jaringan ikat
b. Sel darah merah (RBC)
c. Sel epitel
d. Komponen inti sel
Jawaban:
d. Komponen inti sel

10.Pasien dengan penyakit Graves menderita hipertiroidisme karena produksi antibodi yang
merangsang reseptor hormon tiroid. Antibodi yang terlibat dalam kasus ini termasuk dalam kelas
immunoglobulin:
a. IgA
b. IgD
c. IgE
d. IgG
Jawaban:
d. IgG

Anda mungkin juga menyukai