Tentang
Asuhan Keperawatan pada Klien TB Paru dengan Diagnosis
Keperawatan HDR
Oleh :
Universitas Indonesia
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberi petunjuk dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas terstruktur kelompok
pada mata ajar konsep dasar keperawatan. Makalah ini membahas tentang konsep
dan analisis analisis kasus problem based learning II dimana pada kasus
tercantum masalah harga diri rendah situasional.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Giur selaku fasilitator
kelas Keperawatan Jiwa C yang telah memfasilitasi kami dalam menyelesaikan
tugas makalah ini. Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna,
maka kritik dan saran yang sifatnya membangun akan sangat kami hargai dalam
upaya penyempurnaan makalah ini. Semoga dengan adanya makalah ini akan
memberikan pengetahuan baru yang bermanfaat untuk kedepannya.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
BAB II ..................................................................................................................... 3
ISI ............................................................................................................................ 3
PENUTUP ............................................................................................................. 15
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tuberkolosis paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman
Tuberkulosis (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman Tuberkulosis
menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Kuman ini
berbentuk batang yang mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam
pewarnaan oleh karena itu disebut pula sebagai basil Tahan Asam (BTA) (Depkes
RI, 2008). Di Indonesia Tuberkulosis paru merupakan masalah utama kesehatan
masyarakat. Jumlah penderita Tuberkulosis Paru di Indonesia merupakan ke-3
terbanyak di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah penderita sekitar 10 %
dari total jumlah penderita Tuberkulosis Paru di dunia. Di perkirakan pada tahun
2004, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang. Insidensi
kasus Tuberkulosis Paru BTA positif sekitar 110 penduduk. (Depkes RI, 2008).
Untuk mengatasi masalah tersebut, peran serta keluarga sangat
dibutuhkan, dimana keluarga sebagai unit pertama dalam masyarakat. Apabila
salah satu anggota keluarga terkena penyakit Tuberkulosis Paru akan brpengaruh
terhadap anggota keluarga yang lain. Untuk memujudkan keluarga yang sehat
terhindar dari resiko penularan, maka harus ditunjang dengan pengetahuan tentang
Tuberkulosis Paru. Pengetahuan yang baik akan mempengaruhi tindakan keluarga
untuk bertindak dalam hal pencegahan penularan dan proses kesembuhan
penderita. Sebaliknya makin rendah pengetahuan keluarga tentang bahaya
penyakit Tuberkulosis Paru, makin besar pula resiko terjadi penularan dan proses
kesembuhan penderita kurang optimal ( Pira Mitha, 2012).
1
4. Apa saja batasan karakteristik dari Harga Diri Rendah Situasional?
5. Bagaimana asuhan keperawatan terkait dengan kasus PBL II?
2
BAB II
ISI
3
status nutrisi, status kesehatan secara umum, sensitivitas biologi, dan terpapar
racun (Stuart, 2013). Gangguan kesehatan seperti Tuberkulosis (TBC) yang
dialami oleh Nn. B menjadi faktor terganggunya kesehatan yang menjadi
penyebab terjadinya harga diri rendah situasional. Faktor psikologis yaitu adanya
stigma- stigma pada kasus Nn. B yang dapat memberikan tekanan pada kondisi
psikologisnya seperti menjadi takut, ansietas akan dikucilkan, dihina dan ditolak
oleh lingkungannya. Faktor sosial budaya dapat berupa perubahan penampilan
peran, ketidakmampuan menjalankan peran, dan konflik peran dimana
kesemuanya terjadi akibat dirawat, pengaruh sosial ekonomi khususnya masalah
finansial dalam program pengobatan, juga dapat mengakibatkan pasien menglami
harga diri rendah. Nn. B mengaku bahwa semenjak sakit klien terpaksa berhenti
bekerja sebagai karyawati, Nn. B merasa sedih karena terpaksa harus berhenti
bekerja. Kedua, faktor presipitasi adalah stimulus yang merubah atau menekan
sehingga memunculkan gejala saat ini (Stuart, 2013). Stresor pada orang yang
dirawat didapat dari proses penyakit dan dirawat (Coben, 2000 dalam (Stuart,
2013)). Stresor presipitasi ini bisa saja dialami dalam waktu yang lama oleh
pasien sehingga kehilangan kemampuan untuk mengatasi faktor pencetus tersebut.
Stresor presipitasi yang menyebabkan terjadinya harga diri rendah adalah trauma
(Stuart, 2013). Ketiga, penilaian stresor yang merupakan respon individu terhadap
stresor presipitasi yang dihadapi. Respon yang dilakukan individu dapat berupa
respon kognitif, afektif, fisiologis, perilaku maupun sosial (Stuart, 2013). Respon
kognitif terjadi ketika penurunan neurotransmitter norepinefrin dan serotonin pada
Nn. B karena penyakit TB paru sehingga mempengaruhi lobus frontal otak. Lobus
frontal otak berfungsi untuk proses berpikir seseorang (Stuart, 2013). Respon
afektif, yang dimana peningkatan neurotransmitter asetilkolin mempengaruhi
fungsi korteks serebral, sistem limbik, dan basal ganglia (Fontaine, 2009).
Perubahan fungsi dari sistem limbik ini, menyebabkan perubahan emosi pada
Nn.B seperti malu, sedih, khawatir, serta tanda dan gejala harga diri rendah
situasional lainnya. Respon fisiologis, yang merupakan penurunan harga diri yang
disebabkan terganggunya fungsi hipothalamus. Fungsi hipothalamus berfungsi
sebagai pengatur nafsu makan, siklus tidur sehat, mood, motivasi, dan regulasi
tanda vital dari individu (Stuart, 2013). Respon perilaku, yang dimana menurut
4
(Stuart, 2013) kortes serebral dan basal ganglia berfungsi dalam mengatur
perilaku individu. Respon sosial, diakibatkan karena adanya tekanan atau stresor
yang mempengaruhi individu. Keempat, mekanisme koping dan sumber koping
yang dimana semakin sehat individu, semakin baik juga kopingnya terhadap stress
karena penyakit yang diderita.
5
1. Predisposisi
- Adanya penolakan dari orangtua dan kurang pujian, yaitu keluarga
masih menganggap penyakit TB paru merupakan penyakit yang
memalukan dan merupakan aib bagi keluarga sehingga klien merasa
tidak diakui dan tidak disemangati untuk melewati rintangan hidupnya.
- Kebiasaan naik motor tanpa menggunakan masker, menyebabkan klien
mengalami TB paru dengan DIH (drug induced hepatitis)
2. Presipitasi
- Penyakit TB paru yang dimiliki oleh klien menyebabkan klien malu,
rendah diri, keluarga menolak, dll. (Penyakit fisik)
3. Perilaku atau batasan karakteristik
- Klien cenderung murung, pasif, dan malu dengan penyakit TB paru.
- Klien menyembunyikan penyakitnya dan memilih menyebutkan
penyakit lain jika ditanya.
- Klien merasa sedih karena terpaksa berhenti bekerja.
- Klien malu karena tidak produktif dan cemas akan masa depannya.
4. Psikodinamika
Teori psikodinamika adalah teori yang menjelaskan hakikat perkembangan
kepribadian (Stuart, 2013). Model psikodinamika terdiri dari:
a. Psikoanalitis dikenalkan oleh sigmund freud menjelaskan tentang
hakikat sifat manusia dan mekanisme pertahanan ego. Terdiri dari id,
superego, dan ego.
b. Interpersonal dikenalkan oleh sulivan dan peplau menjelaskan tentang
mengurangi gejala gangguan jiwa dengan hubungan interpersonal.
Rasa takut yang mendasar adalah rasa takut penolakan. Perilaku
berasas dari kepuasaan dan rasa nyaman.
c. Sosial dan lingkungan menimbulkan stres dan ansietas
d. Eksitensial dikenalkan oleh frankl, ellis, peris, glasser fokus pada
masa depan dan kehidupan bermakna jika manusia penuh menerima
dirinya sendiri.
e. Suportif fokus pada dukungan
6
f. Keluarga pola asuh dan pola keluarga sangat mempengaruhi jiwa
seseorang
g. Medis dikenalkan franzs akibat dari penyakit biologis
h. Keperawatan berupa orem dengan self-care, roy dengan adaptasi, dan
henderson dengan kebutuhan dasar.
Pada kasus 4 dapat disimpulkan bahwa Nn.B mengalami gangguan
kejiwaan dengan model psikodinamika hubungan interpersonal dan
suportif. Pada kasus dijelaskan bahwa Nn.B terlihat murung dan malu
semenjak didiagnosis medis TB paru dengan HID. Klien merasa
kenyamanan nya terganggu, mengalami ketakutan penolakan dari
lingkungan sekitar, dan merasa penyakitnya ialah aib. Selain itu
keluarganya pun memiliki pandangan yang sama bahwa penyakitnya ialah
aib.
5. Respon Stressor
Berdasarkan kasus diatas, respon stressor yang dialami oleh pasien yaitu
Respon Maladaptive. Respon Maladaptif merupakan koping yang bersifat
merusak (destruktif) dan respon individu dalam menghadapi masalah
dimana individu dimana pasien tidak mampu memecahkan masalah
tersebut. Respon maladaftifnya adalah : Harga diri rendah adalah individu
yang cenderung untuk menilai dirinya yang negatif dan merasa lebih
rendah dari orang lain. Seperti individu menghindar dari orang lain atau
mengurung diri dan tidak mau mengurus diri (Stuart, 2013). Harga diri
rendah merupakan komponen episode depresi mayor, dimana aktivitas
merupakan bentuk hukuman atau punishment (stuart dan laraia, 2005).
6. Mekanisme Koping
Mekanisme koping adalah berbagai usaha yang dilakukan individu untuk
menanggulangi stress yang dihadapinya. Menurut Nursalam (2009)
mekanisme koping adalah mekanisme yang digunakan individu untuk
menghadapi perubahan yang diterima. Mekanisme koping juga merupakan
setiap upaya yang diarahkan pada pelaksanaan stress, termasuk upaya
penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang
digunakan untuk melindungi diri. Mekanisme koping termasuk pertahanan
7
koping jangka pendek maupun jangka panjang serta penggunaan
mekanisme pertahanan ego untuk melindungi diri sendiri dalam
menghadapi persepsi diri yang menyakitkan (Stuart & Gail, 2007).
Pertahanan jangka pendek yang biasa dilakukan oleh pasien yang
mengalami HDR Situasional, yaitu aktivitas yang memberikan pelarian
sementara dari krisis identitas diri (menonton tv secara obsesif , konser
musik, bekerja keras), aktivitas yang memberikan identitas pengganti
sementara (ikut serta dalam klub sosial, politik, agama, kelompok),
aktivitas sementara yang menguatkan atau meningkatkan perasaan diri
yang tidak menentu (prestasti akademik, kontes untuk mendapatkan
popularits, dan olahraga yang kompetitif), dan aktivitas yang merupakan
upaya jangka pendek untuk membuat identitas diluar dari hidup yang tidak
bermakna saat ini (penyalahgunaan obat). Sedangkan pertahanan jangka
panjang yang biasa dilakukan oleh pasien yang mengalami HDR
Situasional, yaitu Pertama penutupan identitas-adopsi prematur yang
diinginkan oleh orang terdekat tanpa memperhatikan keinginan, aspirasi,
atau potensi diri individu. Kedua, Identitas negatif, asumsi identitas yang
tidak sesuai dengan nilai dan harapan yang diterima masyarakat.
Berdasarkan kasus, Nn. B dapat melakukan mekanisme koping jangka
pendek maupun jangka panjang, tergantung dengan koping yang dipilih
klien.
8
menggunakan kendaraan bermotor tanpa menggunakan masker udara. Ketika
berinteraksi dengan perawat, klien cenderung murung dan pasif, mengatakan
merasa malu tentang penyakit paru-paru yang diderita, tidak berani menceritakan
tentang penyakitnya kepada orang lain, cenderung menyembunyikan tentang
penyakitnya dan memilih menyebutkan jenis penyakit lain jika ada yang bertanya
tentang penyakit. Klien juga mengatakan merasa sedih karena terpaksa harus
berhenti bekerja akibat menderita penyakit ini. Kondisi ini juga membuat klien
merasa malu karena menjadi tidak produktif dan merasa khawatir akan masa
depannya kelak. Klien dan keluarganya juga masih memandang bahwa penyakit
TB paru merupakan penyakit yang memalukan dan merupakan suatu aib bagi
keluarga.
2. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat penyakit sekarang
Mual, kadang-kadang muntah, tidak nafsu makan yang
berlangsung selama 2 minggu sebelum masuk RS.
9
4. Data Klien
a. Data subjektif
Merasa malu
Tidak berani menceritakan tentang penyakitnya kepada
orang lain
Merasa sedih karena terpaksa harus berhenti bekerja
Merasa khawatir dengan masa depannya
b. Data Objektif
Murung
Pasif
ASUHAN KEPERAWATAN
10
Pada Klien
Mengidentifikasi
kemampuan dan
aspek positif
yang dimiliki
klien. Berhasil
HDR Situasional
Pada Klien
Data subjektif S: Pasiennya berubah,
Klien mampu
Merasa malu Membantu klien pasien mengatakan
mengidentifikasi
Tidak berani menilai bahwa sudah dapat
kemampuan dan
menceritakan kemampuan menerima
aspek positif
tentang yang dapat penyakitnya.
yang dimiliki
penyakitnya digunakan
kepada orang
1/ lain
19- Merasa sedih
10- karena terpaksa
18 harus berhenti
bekerja
Klien mampu O: Pasien tampak
Merasa Melatih klien
melakukan sudah memakai
khawatir dalam
keterampilan masker, ketika batuk
dengan masa melakukan
positif untuk pasien sudah bisa
depannya keterampilan
meningkatkan menutup mulut
Data Objektif positif
harga diri dengan tisu
Murung
Klien mampu Membantu Klien
Pasif
menyadari menyadari
hubungan positif hubungan positif
A: Masalah teratasi
antara harga diri antara harga diri
dan kesehatan dan kesehatan
fisik fisik.
Klien mampu Membantu P: Anjurkan pasien
11
melakukan Pasien untuk control pada hari yang
pemecahan memecahkan telah ditentukan
masalah masalah yang
dihadapi klien
Membantu klien
memilih/meneta
pkan kegiatan
Klien mampu yang akan
melatih kegiatan dilatih.
yang sudah
Melatih
dipilih sesuai
kegiatan/kemma
kemampuan
puan yang telah
dipilih klien
Membantu
Membantu menyusun
menyusun jadwal
jadwal pelaksanaan
pelaksanaan kemampuan
Keluarga Diskusikan
mengidentifikasi dihadapi
kemampuan keluarga dalam
12
memfasilitasi keluarga tentang
pelaksanaan harga diri rendah
kemampuan yang ada pada
yang masih klien.
dimiliki klien
Diskusikan
dengan keluarga
kemampuan
yang dimiliki
klien dan
memuji klien
atas
Keluarga kemampuannya.
memotivasi
klien untuk
Jelaskan cara-
melakukan
cara merawat
kegiatan yang
klien dengan
sudah dilatih dan
harga diri
memberikan
rendah.
pujian atas
keberhasilan Demonstrasikan
klien cara merawat
klien dengan
harga diri
rendah.
13
Beri kesempatan
kepada keluarga
untuk
mempraktikkan
cara merawat
Keluarga
klien dengan
mampu menilai
harga diri rendah
perkembangan
seperti yang
perubahan
telah perawat
kemampuan
demonstrasikan
klien
sebelumnya.
Bantu keluarga
menyusun
rencana kegiatan
klien dirumah.
14
BAB III
PENUTUP
15
Daftar Pustaka
16
Suliswati, et al. (2014). Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta:
EGC.
Videbeck, S. L. (2011). Psychiatric-Mental Health Nursing. (J. Rodenberger, Ed.)
(5th ed.). Philadelphia: Wolters Kluwer.
Wilkinson, J., & Ahern, N. (2009). Buku Saku Diagnosis Keperawatan (9th ed.).
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran : EGC.
17