Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

DERMATITIS ATOPIK
Disusun untuk Memenuhi Syarat Kelulusan Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin

Pembimbing :
Dr. Jaenudin, Sp.OG

Disusun Oleh :
Muhammad Farhan - 2013020037

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN


RSUD DR. SOESELO SLAWI KABUPATEN TEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2020-2021

1
LEMBAR PENGESAHAN REFERAT

Judul Referat : Dermatitis Atopik


Nama Mahasiswa : Muhammad Farhan
NIM : 2013020037

Disusun untuk memenuhi syarat dalam pembelajaran Kepaniteraan Klinik Bagian


Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soeselo Slawi
Pada hari ………., tanggal … Januari 2021

Dokter Pembimbing

dr. Jaenudin, Sp.OG

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat-Nya
yang begitu besar sehingga penyusun dapat menyelesaikan refrat yang berjudul
“DERMATITIS ATOPIK” pada kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soeselo Slawi Kabupaten Tegal.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada berbagai
pihak yang telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian makalah ini,
terutama kepada dr. Yusiyanti, Sp.OG selaku pembimbing yang telah memberikan
waktu dan bimbingannya sehingga refrat ini dapat terselesaikan.

Penyusun berharap laporan kasus ujian ini dapat menambah pengetahuan


dan bermanfaat bagi berbagai pihak khususnya dalam pengembangan ilmu
kedokteran. Penyusun menyadari bahwa dalam pembuatan laporan kasus ujian ini
masih banyak kekurangan, oleh karena itu, segala kritik dan saran dari semua
pihak yang membangun guna menyempurnakan makalah ini sangat penyusun
harapkan.

Tegal, Januari 2021

3
Muhammad Farhan

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN REFERAT...............................................................2


KATA PENGANTAR............................................................................................3
DAFTAR ISI...........................................................................................................4
BAB I.......................................................................................................................5
TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................5
A. DEFINISI......................................................................................................5
B. EPIDEMIOLOGI..........................................................................................5
C. FAKTOR RISIKO........................................................................................5
D. PATOFISIOLOGI.........................................................................................7
E. KLASIFIKASI............................................................................................10
F. KRITERIA DIAGNOSTIK........................................................................11
G. DIAGNOSIS BANDING 1,2,6......................................................................13
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG 2,4............................................................13
I. PENATALAKSANAAN............................................................................13
J. EDUKASI...................................................................................................16
K. KOMPLIKASI............................................................................................17
L. PROGNOSIS..............................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................18

4
BAB I

TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Dermatitis atopik (DA) merupakan peradangan kulit yang bersifat
kronis berulang, disertai rasa gatal, timbul pada tempat predileksi tertentu
dan berhubungan dengan penyakit atopi lainnya, misalnya rinitis alergi
dan asma bronkial. Kelainan dapat terjadi pada semua usia, merupakan
salah satu penyakit tersering pada bayi dan anak, sebanyak 45% terjadi
pada 6 bulan pertama kehidupan. Terdapat 2 bentuk DA, yaitu ekstrinsik
dan intrinsik. Bentuk ekstrinsik didapatkan pada 70-80% pasien DA. Pada
bentuk ini terjadi sensitisasi terhadap alergen lingkungan disertai serum
IgE yang meningkat.1,2

B. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi dermatitis atopik (DA) berbeda-beda antar negara. Di
negara industri seperti Amerika Serikat, Eropa, Jepang, Australia
prevalensi dermatitis atopik pada orang dewasa sekitar 1%-3% dan pada
anak sekitar 10%-20%. Prevalensi dermatitis atopik di negara agraris
seperti Cina, Eropa Timur, dan Asia Tengah jauh lebih rendah. Secara
umum prevalensi DA sekitar 10%-20% pada anak dan sekitar 1%-3%
pada dewasa.
Terjadi kecenderungan prevalensi menurut jenis kelamin dimana
wanita lebih banyak menderita daripada pria dengan rasio 1,3 : 1. Onset
DA yang lebih awal berkorelasi dengan sensitivitas terhadap allergen yang
lebih tinggi. Anak-anak yang mengalami DA pada awal masa
kehidupannya sangat sensitif terhadap beberapa allergen (sekitar 60% dari
seluruh kasus), sedangkan pada anak-anak dengan onset DA yang lebih
lambat didapatkan lebih kurang sensitif terhadap alergen 1.

C. FAKTOR RISIKO
1. Faktor Genetik

5
DA merupakan penyakit genetik yang kompleks dan berkembang
berdasarkan latar belakang genetik dan interaksi genetik dengan
lingkungan. Hal ini dicirikan dari onset DA yang lebih banyak pada usia
dini, prevalensi penyakit pada keluarga, dan angka kejadian yang tinggi
pada saudara kembar (pada monozigot sebesar 77%, pada dizigot sebesar
15%). Gen yang terlibat dalam DA antara lain:
a. Gen pada kromosom 5q31-33 yang mengandung famili gen sitokin
Th2 yaitu IL-3, IL-4, IL-5, IL-13 dan GM-CSF.
b. Gen lainnya yaitu pada kromosom 16p11.2-12 merupakan lokasi
IL-4 reseptor gen alfa (IL-4Rα). Polimorfisme pada minimal empat
asam amino yang berbeda pada lokasi sitoplasmik IL-
4Rαmempengaruhi sinyal reseptor IL-4 dan meningkatkan sekresi
IgE.
c. Gen pada 12q21-1q24.1, yaitu gen IFN-γ dan faktor sel punca (KIT
ligand/mast-cell growth factor) berlokasi berhubungan dengan
kadar IgE total yang tinggi.
d. Lokus gen 11q13 sebagai daerah untuk rantai β reseptor IgE terkait
dengan fenotip dermatitis atopic.
e. Dan varian dari area pengkode IL-13, mutasi pada promotor
proksimal gen RANTES dan keterkaitan dermatitis atopik dengan
kromosom 3q21, area yang mengkode molekul kostimulator
Cluster of Differentiation80 (CD80) dan CD86 telah diidentifikasi
sebagai lokus yang rentan padda DA1,2.
Penelitian lain menunjukkan terdapat hubungan yang kuat
antara DA dengan mutasi gen filagrin pada kromosom 1. Gen filagrin
merupakan risiko genetik terkuat dimana sebanyak 50% penderita
dengan DA mengalami mutasi pada gen ini. Mutasi gen filagrin
menyebabkan gangguan fungsional pada protein filagrin
danmenganggu fungsi sawar kulit. Manifestasi klinis gangguan ini
adalah kulit kering dengan fisura dan berisiko tinggi menjadi eksema 1-
4
.

6
2. Faktor Lingkungan
Hanya sedikit faktor risiko dari aspek lingkungan yang diterima
sebagai penyebab potensial DA. Salah satu contoh faktor ini adalah
gaya hidup barat yang mengarahkan pada peningkatan kejadian
eksema namun tidak mampu menunjukkan faktor risiko lingkungan
yang spesifik sehingga tindakan preventif tidak dapat ditentukan.
Terdapat suatu hipotesis yang menjelaskan peningkatan
prevalensi eksema. Hipotesis tersebut, dikenal sebagai hygiene
hypothesis,menyatakan bahwa rendahnya paparan terhadap infeksi
protipikal seperti hepatitis A dan tuberkulosis pada masa awal pada
anak-anak meningkatkan kerentanan atau kecenderungan seseorang
untuk menderita dermatitis atopik. Hipotesis ini didukung oleh data
bahwa saudara termuda memiliki risiko dermatitis atopik terendah
serta anak-anak yang tumbuh di lingkungan pertanian (terpapar oleh
berbagai jenis mikroflora, susu sapi yang belum terpasteurisasi, dan
hewan ternak) pada umumnya memiliki efek proteksi dari penyakit
alergi. Perkembangan penyakit DA juga dipengaruhi oleh lamanya
menyusui. Faktor-faktor gaya hidup modern (seperti penggunaan
antibiotic yang meningkat, jumlah anggota keluarga yang menurun,
dan higienitas yang meningkat) meningkatkan kemungkinan menderita
DA 36.

D. PATOFISIOLOGI
Belum ditemukan penyebab pasti DA. Berbagai faktor yang
kemungkinan berperan dalam patogenesis dermatitis atopik antara lain
faktor genetik, lingkungan, sawar kulit, dan sistem kekebalan 2.
Konsep dasar patogenesis terjadinya DA adalah melalui reaksi
imunologik. Parameter imunologi seperti kadar IgE dalam serum
ditemukan meningkat pada 60-80% penderita. Selain itu juga ditemukan
IgE yang spesifik terhadap bermacam aeroalergen dan eosinofilia darah
serta adanya molekul IgE pada permukaan sel Langerhans epidermal.
Suatu penelitian mendapatkan bahwa 80% anak dengan dermatitis atopik

7
mengalami asma bronkial atau rhinitis alergik. Hal ini menunjukkan
adanya hubungan antara DA dengan kejadian alergi pada saluran napas 4.
Respon imun dapat berlangsung dalam lapisan dermo-epidermal
dengan melibatkan sel langerhans (SL) epidermis, limfosit, eosinofil dan
sel mast. Apabila suatu antigen (baik berupa alergen hirup, alergen
makanan, autoantigen atau super antigen) terpajan ke kulit individu
dengan kecenderungan atopik, maka antigen tersebut akan ditangkap oleh
antibodi IgE yang ada pada permukaan sel mast atau membran SL
epidermis 6.
Antigen Presenting Cell (APC) pada DA (berupa sel langerhans
epidermis dan sel dendritik dermis) dapat mengaktifkan sel T alergen
spesifik melalui antibody IgE alergen spesifik (terikat pada reseptor
FcεRI, FcεRII dan IgE-binding protein). SL dengan ikatan IgE dan antigen
pindah dari dermis ke saluran limfe dan kelenjar getah bening regional
(regio parakortikal). Di sana antigen diproses menggunakan Major
Histocompatibility Complex (MHC) II dan dipresentasikan untuk
mengaktifkan sel T naïve. Diferensiasi sel T pada tahap awal aktivasi
menentukan perkembangan sel T ke arah Th1 atau Th2. Melalui
glikoprotein permukaan, sel T akan terekspresi secara berbeda pada proses
pematangan dan menentukan fenotip sel T, apakah menjadi sel T
helper/regulatory CD4+ atau sel T cytotoxic/ suppressor CD8+. Infiltrat
mononuklear pada lesi DA terutama berupa sel T CD4+ dan sedikit sel T
CD8+ 1.
Lingkungan sitokin berperan penting pada perubahan Sel T helper
menjadi sel Th1 atau Th2. Sel Th1 dipicu oleh interleukin (IL)-12 yang
disekresi oleh makrofag dan sel dendritik. Sel Th2 dipicu oleh IL-10 dan
Prostaglandin (PG) E. Sel Th1 memproduksi sitokin IFN-γ, TNF-α, IL-2
dan IL-17, sedangkan sel Th2 memproduksi IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, IL-10
dan IL-13. IL-4, IL-5 dan IL-13 menyebabkan peningkatan level IgE dan
eosinofil serta menginduksi molekul adesi yang terlibat pada migrasi sel
inflamasi ke lesi kulit 2.

8
Pola ekspresi lokal sitokin mempengaruhi inflamasi di jaringan
lokal, dimana pada DA pola ini bergantung pada usia lesi kulit. Pada kulit
dengan lesi akut atau tanpa lesi DA, sel T meningkatkan ekspresi IL-4, IL-
5, dan IL-1 dengan sedikit INF- γ. IL-4 menghambat produksi INF-γ dan
menekan diferensiasi ke arah sel Th1 sehingga lingkungan tersebut
memicu perkembangan ke arah sel Th2. Sitokin Th2 akan menginduksi
respon lokal IgE untuk menarik sel-sel inflamasi (limfosit dan eosinofil)
sehingga terjadi peningkatan pengeluaran molekul adesi. Pada lesi kronik
terdapat pola sitokin yang berbeda, dimana terjadi peningkatan kadar INF-
γ, IL-12, IL-5, dan granulocyte monocyte colony stimulating factor(GM-
CSF). IFN-γ sebagai sitokin Th1 akan diproduksi lebih banyak namun
kadar IL-5 dan IL-13 masih tetap tinggi. IFN-γ dan IL-12 memicu
terjadinya infiltrasi limfosit dan makrofag. IFN-γ dan GM-CSF
merangsang sel basal untuk berproliferasi menghasilkan pertumbuhan
keratinosit epidermis sehingga terjadi hiperplasia epidermis pada lesi
kronik.2
Kelainan imunologi utama pada DA adalah sekresi IgE yang
berlebihan. Ikatan antigen dengan IgE pada permukaan sel mast memicu
pelepasan mediator kimia seperti histamin sehingga berakibat keluhan rasa
gatal dan kemerahan pada kulit. Pelepasan mediator ini terjadi 15-60 menit
setelah pajanan dan disebutreaksi fase cepat (early phase reaction). Reaksi
fase lambat (late phase reaction) menyusul 3-4 jam setelah reaksi fase
cepat. Pada reaksi fase lambat terjadi ekspresi adesi molekul pada dinding
pembuluh darah dan diikuti tertariknya eosinofil, limfosit, monosit pada
daerah radang. Hal ini terjadi karena peningkatan aktifitas Th2
memproduksi IL-3, IL-4, IL-5, IL-13, GM-CSF yang merangsang sel
limfosit B membentuk IgE dan meningkatkan pertumbuhan dan
perkembangan sel mast,namun tidak terjadi peningkatan pada Th1 1,10,20

9
Gambar. Patogenesis dermatitis atopik (Leung dkk., 2012)

E. KLASIFIKASI
DA secara klinis terbagi menjadi 3 fase yaitu 8,10
1. Fase infantil (usia 0-2 tahun)
DA paling sering muncul pada tahun pertama kehidupan,
umumnya setelah usia 2 bulan. Lesi diawali di kulit muka (dahi, pipi)
dalam bentuk eritema, papulovesikel halus, karena keluhan gatal
kemudian digosok, pecah, eksudatif, dan akhirnya membentuk krusta
dan dapat terjadi infeksi sekunder. Pada usia sekitar 18 bulan mulai
timbul likenifikasi. Sebagian besar penderita sembuh setelah usia 2
tahun dan sebagian lagi berlanjut ke bentuk atau fase anak.
2. Fase anak (usia 2 - 12 tahun)
Fase anak dapat sebagai kelanjutan dari bentuk infantil atau dapat
timbul sendiri (de novo). Lesi DA anak berjalan menahun akan
berlanjut hingga usia sekolah. Predileksi biasanya pada lipatan siku,
lipatan lutut, leher dan pergelangan tangan. Jari-jari tangan sering
terkena berupa lesi eksudatif dan terkadang disertai kelainan kuku.
Umumnya kelainan kulit pada DA anak tampak lebih kering bila

10
dibandingkan pada bayi dan sering terjadi likenifikasi. Perubahan
pigmen kulit dapat terjadi sejalan dengan berlanjutnya lesi, dapat
menjadi hiperpigmentasi atau kadang hipopigmentasi.
3. Fase Dewasa (usia > 12 tahun)
DA pada fase dewasa gambarannya mirip dengan lesi pada anak
usia lanjut (8-12 tahun) dimana didapatkan likenifikasi terutama pada
daerah lipatan tangan. Lesi sifatnya kering, agak timbul, papul datar
dan cenderung bergabung menjadi plaklikenifikasi dengan sedikit
skuama, sering terjadi eksoriasi dan eksudasi karena garukan yang
lambat laun dapat menjadi hiperpigmentasi. Pada fase dewasa,
distribusi lesi bersifat tidak terlalu khas, sering mengenai tangan dan
pergelangan tangan, dapat juga bersifat lokal, misalnya bibir, vulva,
puting susu, atau kulit kepala. Kadang erupsi meluas, dan paling parah
di lipatan, mengalami likenifikasi.

F. KRITERIA DIAGNOSTIK
Hanifin Rajka telah membuat kriteria diagnosis untuk dermatitis
atopik yang didasarkan pada kriteria mayor dan minor yang sampai
sekarang masih banyak digunakan 1,16
Kriteria Mayor (Minimal harus ada 3 dari 4 tanda)
1) Pruritus (eksoriasi kadang terlihat)
2) Dermatitis di muka atau ekstensor pada bayi dan anak
3) Dermatitis fleksura pada dewasa
4) Dermatitis kronis atau residif
5) Riwayat atopi pada penderita pada keluarganya
Kriteria Minor (Ditambah 3 atau lebih kriteria minor)
1) Xerosis (kulit kering)
2) Infeksi kulit ( khususnya oleh S.aureus dan virus herpes simpleks)
3) Dermatitis nonspesifik pada tangan atau kaki
4) Iktiosis (khususnya hiperlinear palmaris atau pilaris keratosis)
5) Ptiriasis alba
6) Dermatitis di papilla mamae

11
7) White dermographism and delayed blanch response
8) Keilitis
9) Lipatan infra orbital DennieMorgan
10) Konjungtivitis berulang
11) Keratokonus
12) Katarak subscapular anterior
13) Orbita menjadi gelap
14) Alergi makanan
15) Muka pucat atau eritem
16) Gatal bila berkeringat
17) Intolerans terhadap wol atau pelarut lemak
18) Aksentuasi perifolikuler
19) Hipersensitif terhadap makanan
20) Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan atau emosi
21) Tes kulit alergi tipe dadakan positif
22) Kadar IgE di dalam serum meningkat
23) Awitan pada usia dini
Klinis
a. Rasa gatal, dapat sangat berat sehingga mengganggu tidur.2,3
b. Efloresensi lesi sangat bergantung pada awitan dan berat penyakit.4
c. Riwayat perjalanan penyakit kronis berulang.1-4
Hill dan Sulzberger membagi dalam 3 fase1,3-5
1. Fase bayi (usia 0-2 tahun)
Bentuk lesi: lesi akut, eritematosa, papul, vesikel, erosi,
eksudasi/oozing dan krusta. Lokasi lesi: kedua pipi, kulit kepala, dahi,
telinga, leher dan badan dengan bertambah usia, lesi dapat mengenai
bagian ekstensor ekstremitas.
2. Fase anak (usia 2 tahun-pubertas)
Bentuk lesi: lesi subakut, lebih kering, plak eritematosa, skuama, batas
tidak tegas dapat disertai eksudat, krusta dan ekskoriasi. Lokasi lesi:

12
distribusi lesi simetris, di daerah fleksural pergelangan tangan,
pergelangan kaki, daerah antekubital, popliteal, leher dan infragluteal.
3. Fase dewasa
Bentuk lesi: lesi kronik, kering, papul/plak eritematosa, skuama dan
likenifikasi.Lokasi lesi: lipatan fleksural, wajah, leher, lengan atas,
punggung serta bagian dorsal tangan, kaki, jari tangan dan jari kaki.
Kriteria yang dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis yaitu kriteria
William dan kriteria Hanifin-Rajka: 3 kriteria major dan 3 minor, 1,6
(kriteria Wiliam untuk PPK 1 dan PPK 2, kriteria Hanifin-Rajka untuk
PPK 3).7 Penilaian derajat keparahan DA dengan indeks SCORAD,8,9
sedangkan untuk penilaian DA pada penelitian epidemiologi
menggunakan TIS.8

1,2,6
G. DIAGNOSIS BANDING
a. Dermatitis seboroik
b. Dermatitis kontak iritan
c. Dermatitis kontak alergik
d. Skabies

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG 2,4


Bila diperlukan:
1. Pemeriksaan prick test
2. Pemeriksaan atopy patch test
3. Pemeriksaan serologi: kadar IgE total dan IgE RAST
4. Eliminasi makanan
5. Open challenge test
6. Double blind placebo controlled food challenge test (DBPCFC)

I. PENATALAKSANAAN
1. Prinsip:
a. Edukasi dan empowerment pasien, orang tua, serta caregiver(s).9,10-
12

13
b. Menghindari dan memodifikasi faktor pencetus lingkungan yaitu
menghindari bahan iritan dan alergen. 9,10,13
c. Memperkuat dan mempertahankan fungsi sawar kulit yang optimal
dengan pemberian sabun pelembap segera setelah mandi,14-16
dilakukan pada setiap fase perjalanan penyakit mulai dari individu
dengan kecenderungan genetik atopi hingga yang telah
bermanifestasi DA. 14,17,18
d. Anti-inflamasi diberikan pada yang telah bermanifestasi 10,14,17,18,
DA intrinsik maupun ekstrinsik (terapi reaktif) dan pada DA
9,19,20
subklinis sebagai terapi pemeliharaan (terapi proaktif). Pada
terapi pemelihataan, anti-inflamasi dapat dioleskan pada lesi yang
merah (hot spot) 1-2 kali/minggu (weekend therapy) sebagai terapi
proaktif.9,14,19,20
e. Mengendalikan dan mengeliminasi siklus gatal-garuk10,21
antihistamin sedatif (lebih dianjurkan pada bayi dan anak), 20,21 atau
non sedatif sebagai terapi adjuvant bila gatal sangat mengganggu.
21, 22

f. Konseling psikologi dapat membantu mengatasi rasa gatal dan


merupakan salah satu program edukasi.23,24
2. Topikal:
Sesuai dengan usia, kelainan klinis,dan lokasi kelainan.10,25 DA Lesi
basah: kompres NaCl 0,9%.7,10,14
a. Kortikosteroid topikal (KST) potensi lemah digunakan untuk
pasien DA bayi, lemah sampai sedang untuk DA anak, potensi
sedang sampai kuat untuk DA dewasa. 14
 Gunakan KST mulai potensi rendah yg paling efektif untuk
anak.7,10,14
 Usia 0-2 tahun maksimum KST potensi rendah. 7,10,14
 Usia >2 tahun maksimum KST potensi sedang.7,10,14
 Usia pubertas sampai dewasa poten tinggi atau superpoten 2
kali sehari.14

14
 Pada wajah dan fleksura dapat dikontrol dengan pemberian
KST potensi sedang selama 5-7 hari, kemudian diganti menjadi
KST potensi lebih ringan atau inhibitor kalsineurin inhibitor
(IKT).10,26
b. Gunakan KST 2 kali sehari sampai lesi terkontrol atau selama 14
hari.10,14,18
c. Lesi terkontrol KST 1 kali sehari pagi. 10,14,19,20 dan IKT sore hari
atau IKT dapat diganti dengan pelembap.10,14,18
d. Fase pemeliharaan: KST potensi lemah secara intermiten (2 kali
seminggu) dilanjutkan 1 kali seminggu pada daerah sering timbul
lesi atau hot spot.9,14,19 IKT digunakan apabila DA sering kambuh,
tidak dapat memakai KST, atau untuk mengurangi pemakaian
KST.10,20,26
e. KST kombinasi dapat diberikan pada DA selama 7 hari: (di PPK 2,
PPK 3) Infeksi lokalisata:
 Bakteri: kombinasi KST dengan asam fusidat, mupirosin.7,10,17
 Jamur: kombinasi KST dengan derivat azol: mikonazol,
flukonazol, kotrimazol. DA inflamasi berat dan rekalsitran:
kombinasi KST dengan asam fusidat atau mupirosin.7,17
f. Jumlah kebutuhan aplikasi obat topikal KSTL
Diukur dengan finger-tip unit (FTU) ~0,5 gram: jumlah salep yang
dikeluarkan dari tube dengan lubang berdiameter 5 mm, diukur
sepanjang ruas jari distal jari telunjuk, yang dihitung sesuai area
tubuh.27
3. Sistemik: (di PPK 2, PPK3)
a. Terapi gatal: antihistamin intermiten/jangka pendek. Non sedatif
untuk pagi hari/sedatif untuk malam hari bila menyebabkan
gangguan tidur.20-22
b. DA dengan infeksi sekunder yg luas atau tidak berespons dengan
terapi topikal diberi antibiotik selama 7 hari.10,17 Lini 1: amoksilin-
klavulanat, sefaleksin. Bila alergi penisilin dapat diberikan

15
eritromisin. Lini 2: eritromisin, sefalosporin generasi 2,
methycillin-resistant Staphylooccus aureus (MRSA).7,10
c. Kortikosteroid (prednison, metilprednidsolon, triamsinolon)
pemberian singkat (sampai dengan 1 minggu) untuk DA
eksaserbasi akut/kronik/berat/luas, rekalsitran di PPK 3. 23
d. Siklosporin-A: DA berat, refrakter terhadap terapi konvensional,
pada pasien DA anak dan dewasa. Dosis 3-5 mg/kgBB/hari atau
dewasa 150 mg/300 mg setiap hari23,28 di PPK 3.
e. Antimetabolit: mofetil mikofenolat (DA refrakter)29, metotreksat
(DA rekalsitran)30, azatioprin (DA berat) 23,31
4. Rawat inap:
Eritroderma, infeksi sistemik berat.7,10

J. EDUKASI
Sangat penting dilakukan.
1. Penjelasan kepada pasien, keluarga, dan/atau caregivers mengenai
penyakit, terapi, serta prognosis. Memberi edukasi cara merawat kulit,
menghindari penggunaan obat-obat tanpa sepengetahuan dokter.9-12
2. Penjelasan mencakup semua masalah yang berkaitan dengan DA;
gejala, penyebab, faktor pencetus, prognosis dan tatalaksana.10-12
3. Perawatan kulit pasien DA: mandi menggunakan air hangat kuku, tidak
lebih dari 10 menit, menggunakan sabun netral, pH rendah,
hipoalergenik, berpelembab,14,16 segera setelah mandi 3 menit
mengoleskan pelembab 2-3 kali sehari atau bila masih teraba kering.10,15
Pelembab efektif dan aman digunakan untuk terapi DA pada anak dan
dewasa dengan gejala ringan-sedang.34,35
4. Jenis pelembab: mengandung humektan, emolien dan oklusif atau
generasi baru yang mengandung antiinflamasi dan antipruritus
(glycerrhectinic acid, telmestein dan vitis vinifera)14,34,35 atau yang
mengandung bahan fisiologis (lipid, seramid, Natural Moisturizing
Factor. 14,16

16
5. Menghindari faktor pencetus: berdasarkan riwayat (bahan iritan, bahan
alergen, suhu ekstrim, makanan, stres), manifestasi klinis dan hasil tes
alergi.9,12,14
6. Terkait dengan terapi DA, dosis, cara pakai, lama terapi, cara
menaikkan dan menurunkan potensi, serta penghentian terapi.10,14,20

K. KOMPLIKASI
Barier kulit yang rusak, respon imun yang abnormal, penurunan
produksi peptide antimikroba endogen, semua presdiposisi mempengaruhi
penderita dermatitis atopik terkena infeksi sekunder. Infeksi kutan ini
dapat menimbulkan lebih resiko yang serius pada bayi dan pada waktu
mendatang akan berpotensi untuk infeksi sistemik. Penderita dermatitis
atopik juga sangat rentan dengan infeksi virus, yang paling berbahaya
adalah herpes simplex dengan penyebaran luas dapat mengakibatkan
ekzema hepetikum yang dapat terjadi pada semua usia3,22 .
Komplikasi pada mata juga dihubungkan dengan dermatitis
kelopak mata dan blepharitis kronis yang umumnya terkait dengan
dermatitis atopik dandapat mengakibatkan gangguan penglihatan dari
jaringan parutkornea. Kerato konjungvitis atopik biasanya bilateral dan
dapat memiliki symptom seperti rasa gatal dan terbakar pada mata, mata
berair dan mengeluarkan diskret yang mukoid 3.

L. PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad malam, karena merupakan kelainan kulit
inflamasi yang bersifat kronis berulang 1 , namun
tergantung dari penatalaksanaan untuk mencegah
kekambuhan.3

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Paller AS, Mancini AJ. Hurwitz Clinical Pediatric Dermatology. Edisi ke-4.
Sidney. Elsevier;2011.h.38-53.
2. Leung DYM, Eichenfield LF, Boguniewicz. Atopic Dermatitis. Dalam:
Goldsmith LA, Katz SJ, Paller AS, Leffell DJ, Wolff. Fitzpatrick‟s,
Dermatology in General Medicine. Edisi ke-8. New York: The McGraw-Hill
Company.inc; 2012.;165-82.
3. Eichenfield LF, Tom WL, Chamlin SL, Feldman SR, Hanifin JM, et al.
Guidelines of care for the management of atopic dermatitis: section 1.
Diagnosis and assessment of atopic dermatitis. J Am Acad Dermatol
2014;70(2):338-51.
4. Langan SM, Williams HCG. Clinical features and diagnostic criteria of atopic
dermatitis. Dalam: Irvine AD, Hoeger PH, Yan AC, editor. Harper‟s
Textbook of pediatric Dermatology Edisi ke-3. Oxford: Blackwell Publishing
Ltd; 2011; h. 28.1-28.19.
5. Krafchik BR, Jacob S, Bieber T, Dinoulos JGH. Eczematous dermatitis.
Dalam: Schachner LA, Hansen RC, editor. Pediatric Dermatology edisi ke-4.
China: Mosby Elsevier; 2011.h. 851-87.
6. Hanifin JM, Rajka G. Diagnostic features of atopic dermatitis. Acta Derm
Venereol Suppl (Stockh). 1980: 92: 44-7.
7. Panduan Diagnosis dan Tatalaksana Dermatitis Atopik di Indonesia.
Kelompok Studi Dermatologi Anak Indonesia,2014.
8. Oranje AP, Glazenburg EJ, Wolkerstofer A, De Waard-van der Spek FB.
Practical issues on interpretation of scoring atopic dermatitis: the SCORAD
index, objective SCORAD and the three-item severity score. Br J Dermatol.
2007;157:645-8.
9. Eichenfield LF, Tom WL, Chamlin SL, Feldman SR, Hanifin JM, et al.
Guidelines of care for the management of atopic dermatitis: section 4.
Prevention of disease flares and use of adjunctive therapies and approaches. J
Am Acad Dermatol. 2014;71(6):218–33.
10. Rubel D, Thirumoorthy T, Soebaryo RW, Weng SCK, Gabriel TM,
Villafuerte LL, dkk. Consensus guidelines for the management of atopic
dermatitis: An Asia-Pacific Perspective. Journal of Dermatology.
2013;40:160-71.
11. Grillo M,Gassner LRN,Marshman G, Dunn S, Hudson P.Pediatric Atopic
Eczema: The Impact of an Educational Intervention. Ped Dermatol.
2006;23(5):428-36.
12. Ricci G, Bendandi B, Alazzi R, Patrizi A, Masi M. Three Years of Italian
Experience of an Educational Program for Parents of Young Children
Affected by Atopic Dermatitis: Improving Knowledge produces Lower
Anxiety Levels in Parents of Children with Atopic Dematitis Ped Dematol
2009;26(1):1-5.
13. Oranje AP, Bruynzeed DP, StenveldHJ, Dieges PH.Immediate –and delayed-
type contact hupersesitivity in children olderthan 5 years with Atopic

18
Dermatitis: A pilot Study Comparing different test.Ped Dermatol
1994;11:9(3):209-15.
14. Eichenfield LF, Tom WL, Chamlin SL, Feldman SR, Hanifin JM, et al.
Guidelines of care for the management of atopic dermatitis: section 2.
Management and treatment of atopic dermatitis with topical therapies. J Am
Acad Dermatol 2014;71:116-32.
15. Chiang C, Eichenfield LF. Quantitative Assesment of Combination Bathing
and moisturizing regimens on skin hydration in Atopic Dermatitis.Ped
Dermatol 2009;26(3):273-78.
16. Simpson E, Trookman NS,Rizer RL,Preston N, Colon LE,Johson LA,
Gootschalk. Study and tolerability of a body wash and moisturizer when
applied to infants and toddlers with a history of atopic dermatitis: results from
an open-label study. Ped Dermatol 2012;29(5):590-97.
17. Hoare C, Li Wan Po A, Williams H. Systematic review of treatment for
Atopic Eczema. Health Technol Asses 2000;4:1-191.
18. Yawalkar SJ, Schwerzmann. Double-blind, comparative clinical trials with
halobetasol proprionate cream in patients with atopic dermatitis. J Am Acad
Dermatol. 1991;25:1163-6.
19. Schmitt J, K, Svensson A, Apfelbacher C. Efficacy and tolerability of
proactive treatment with topical corticosteroids and calcineurin inhibitors for
atopic eczema: systematic review and meta analysis of randomized controlled
trials. Br J Dermatol 2011; 164: 415-28.
20. Brenerman D, Fleischer AB, Arbamovits W, Zeichner MH, Gold MH,
Krisner RS et al. Intermiitent therapy for flare prevention and long- term
disease control in stabilized atopic dermatitis a randomized comparison of 3-
times-weekly application of tacrolimus ointment versus vehicle. J Am Acad
Dermatol 2008; 58:990-9.
21. Sidbury R, Davis DM, Cohen DE, Kelly M et al. Guidelines of care for the
management of atopic dermatitis: section 3. Management and treatment of
atopic dermatitis with phototherapy. J Am Acad Dermatol 2014;71:1-22.
22. Diepgen TL. Early treatment of the atopic Child Study Group. Long term
treatment with cetirizine of infant with atopic dermatitis a multi-country,
double -blind, randomized, placebo controlled trial (the ETAC trial over 18
months. Pediatr Allergy Immunol. 2002; 13: 278-86.
23. Ring J, Alomar A, Bieber M, Deleuran M et al. Guidelines for treatment of
atopic eczema (atopic dermatitis) part II. J Eur Acad Dermatol Venereol.
2012; 26:1-17.
24. Noren P, Melin L. The effect of combined topical steroid and habit-reversal
treatment in patients with atopic dermatitis. Br J Dermatol. 1989; 121: 359-
66.
25. Saeki H, Furue M, Furukawa F et al. Guidelines for management of atopic
dermatitis. J Dermatol. 2009;36:563–577.
26. Paller A, Eichenfield LF, Leung DYM, Stewart D, Appel M et all. A 12-week
study of tacrolimus ointment for the treatment of atopic dermatitis in pediatric
patients. J Am Acad Dermatol. 2001;44:S47-57.

19
27. Long CC, Finlay A.Y. The finger-tip-unit- anew practical measure. Clinl Exp
Dermatol. 1991;16: 444-47.
28. Harper JL, Ahmed I, Barclay G et al. Cyclosporin for severe childhood atopic
dermatitis: short course versus continous therapy. Br J Dermatol.
2000;42:653- 659.
29. Haeck IM, Knol MI, Ten berge O,de Bruin WellerMS et all. Enteric-coated
mycophenolate sodium versus cyclosporine A as long-term treatment in adult
patients within severe atopic dermatitis a randomized controlled trial. J Am
Acad Dermatol 2011; 64: 1074-84.
30. Schram ME, Roekevisch E, Leeflang MMG, Boss JD, Schmitt J et al. A
randomized trial of methotrexate versus azathiprine for severe atopic eczema.
J Allergy Clin Immunol. 2011;128: 353-359.
31. Berth-Jones J, Takwale A, Tan E et al. Azathioprine in severe adult atopic
dermatitis a double – blind , placebocontrolled, crossover triel. Br J Dermatol.
2002;147:324-30.
32. Rombold S, Lobisch K, Katzer K, Grazziotin TC et al. Efficacy of UVA
phototherapy in 230 patients with various skin diseases. Photodermatol
photoimmunol photomed. 2008;24:19-23.
33. Clayton TH, Clark SM, Turner D, Goulden V. The treatment of severe atopic
dermatitis in childhood with narrowband ultraviolet B phototherapy. Clin Exp
Dematol. 2007;32: 28-33.
34. Abramovits W, Boguniewicz M. A multicenter, randomized, vehicle-
controlled clinical study to examine the efficacy and safety of MAS063DP
(AtopiclairTM) in the management of mild to moderate atopic dermatitis in
adults. J Drugs Dermatol. 2006;5(3):236-44.
35. Boguniewicz M, Zechner JA, Eichenfield LF dkk. MAS063DP is effective
monotherapy for mild to moderate atopic dermatitis in infants and children :
A Multicenter, Randomized, Vehicle Controlled Study. J Pediatr.
2008;152:854-9.
36. Bloomfield, Leonard. 2016. Language. New York: Henry Holt and Company

20

Anda mungkin juga menyukai