PENDAHULUAN
1
Universitas Tarumanagara
parkinsonisme, serta pajanan psoralen ultraviolet light A (PUVA).1,5 Selain itu
terdapat sebuah penelitian yang menunjukkan bahwa sindrom metabolik, sebuah
sindrom yang salah satunya terkait dengan obesitas, mungkin meningkatkan risiko
dermatitis seboroik.5
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Silvia et al.,
(2020) menyebutkan bahwa semakin tinggi nilai Indeks Massa Tubuh (IMT),
semakin tinggi pula angka kejadian dermatitis seboroik. Hasil uji sperman
diperoleh p=0,001 (p<0,05) dengan nilai r=0,282. Hal ini berarti ada hubungan
yang signifikan antara IMT dengan kejadian dermatitis seboroik.26
Etiologi pada kejadian dermatitis seboroik dikaitkan dengan sekresi
kelenjar sebum. Produksi kelenjar sebum yang berlebih mempunyai kaitan dengan
dermatitis seboroik. Metabolisme lipid sistemik dapat berperan dalam timbulnya
reaksi peradangan pada dermatitis seboroik. Pada penderita obesitas, aktivasi
kelenjar sebasea akan mengalami peningkatan sehingga terjadi produksi sebum
yang berlebih. Sebum yang berlebihan tersebut dapat dicerna oleh jamur
Malassezia spp pada kulit sehingga menghasilkan asam lemak tidak jenuh yang
dapat merusak lapisan kulit, terjadi hiperproliferasi, dan kembali meningkatkan
sekresi sebum.26
Faktor lain yang juga menyebabkan dermatitis seboroik adalah makanan.
Makanan tinggi lemak yang sering dikaitkan dengan obesitas lebih beresiko terkena
dermatitis seboroik. Parameter yang sering digunakan untuk menentukkan
seseorang obesitas adalah menggunakan Indeks Masa Tubuh (IMT).26
Hubungan antara obesitas dan dermatitis seboroik, mungkin terkait dengan
peningkatan produksi sebum terkait dengan peningkatan proporsi lemak tubuh. 6
Namun, hubungan antara keduanya masih belum terbukti dan juga belum banyak
diteliti, terutama yang menggunakan indeks massa tubuh sebagai indikatornya.
Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk meneliti hubungan antara indeks
massa tubuh dengan angka kejadian dermatitis seboroik pada populasi dewasa,
yang dalam hal ini merupakan mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas
Tarumanagara Angkatan 2020.
2
Universitas Tarumanagara
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Pernyataan Masalah
Belum diketahuinya hubungan antara indeks massa tubuh dengan angka
kejadian dermatitis seboroik pada mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Tarumanagara Angkatan 2020.
1.2.2 Pertanyaan Masalah
1. Bagaimana proporsi indeks massa tubuh mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Tarumanagara Angkatan 2020?
2. Berapa angka kejadian dermatitis seboroik pada mahasiswa Fakultas
Kedokteran Universitas Tarumanagara Angkatan 2020?
3. Apakah terdapat hubungan antara indeks massa tubuh dengan angka kejadian
dermatitis seboroik pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas
Tarumanagara Angkatan 2020?
3
Universitas Tarumanagara
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat Bagi Responden
Memberikan gambaran mengenai dampak dari status gizi, khususnya terkait
dengan kondisi kulit seperti dermatitis seboroik.
1.5.2 Manfaat Bagi Instansi Pendidikan
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk menjadi dasar
penelitian selanjutnya, khususnya yang terkait dengan pengobatan dermatitis
seboroik.
1.5.3 Manfaat Bagi Peneliti
Menambah pengalaman meneliti dalam bidang pendidikan kedokteran dan
mengetahui hubungan antara indeks massa tubuh dengan kejadian dermatitis
seboroik
4
Universitas Tarumanagara
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
2.1.2 Epidemiologi
Perkiraan yang akurat dari prevalensi dermatitis seboroik cukup terbatas akibat
tidak adanya kriteria diagnosis yang tervalidasi. Namun sebagai salah satu kelainan
kulit yang umum terjadi,9 prevalensi dermatitis seboroik pada populasi umumnya
bervariasi antara 2,35% hingga 11,3% bergantung dari penelitian, dengan rata-rata
prevalensi di seluruh dunia diperkirakan sekitar 5%.1 Pada Benua Asia, prevalensi
dermatitis seboroik diperkirakan berkisar antara 1-5% dari populasi dewasa.
Prevalensi dermatitis seboroik memiliki variasi yang cukup luas di antara kota dan
negara yang berbeda, dimana prevalensi terendah dilaporkan di Korea Selatan
sebesar 2,1% dan prevalensi tertinggi dilaporkan di Indonesia sebesar 26,5%.3,4
Selain itu, proporsi dermatitis seboroik berkisar antara 0,99%-5,8% didapatkan
dalam sebuah data yang mengumpulkan seluruh kasus di poli kulit dan kelamin di
berbagai RS di Indonesia pada tahun 2013-2015.3
5
Universitas Tarumanagara
sebagai ketombe, merupakan salah satu jenis yang paling sering dijumpai, terutama
pada usia remaja ke atas. Insidensi dermatitis seboroik juga meningkat pada pasien
usia 50 tahun ke atas. Dermatitis seboroik juga dapat mengenai bayi dengan puncak
insidensi pada usia 3 bulan. Dermatitis seboroik pada bayi cenderung lebih sering
mengenai kulit kepala, membuat gambaran klinis khas yang disebut “cradle cap”
dan umumnya memiliki perjalanan penyakit yang self-limiting. Predominansi laki-
laki ditemukan pada semua usia tanpa adanya predileksi etnis maupun wilayah.
Terdapat beberapa laporan mengenai dampak perubahan musim dan iklim,
terutama pada wilayah-wilayah empat musim, dimana kondisi ini dilaporkan lebih
sering dan lebih berat pada iklim dingin dan kering dan sebaliknya. Pajanan
matahari dilaporkan mengurangi kejadian dan keparahan dari dermatitis seboroik,
namun beberapa kasus dilaporkan terinduksi oleh pajanan terapi psoralen
ultraviolet light A (PUVA). Pasien dengan kondisi imunosupresi seperti HIV/AIDS
juga dilaporkan memiliki angka kejadian dermatitis seboroik yang lebih tinggi
daripada populasi normal.4,7
2.1.3 Etiopatogenesis
6
Universitas Tarumanagara
Adanya peranan dari kelenjar sebasea, diasumsikan berdasarkan distribusi
lesi dermatitis seboroik pada daerah yang kaya akan kelenjar sebasea. Pengaruh
hormonal terkait dengan aktivitas kelenjar sebasea juga diduga dapat menjelaskan
adanya pola penyakit dermatitis seboroik infantile yang umumnya mengalami
remisi spontan dalam beberapa bulan pertama kehidupan seiring menurunnya kadar
androgen dari ibu yang berakibat menurunnya aktivitas kelenjar sebasea, dan
kemudian pola kedua terjadi pada masa remaja dan dewasa, dimana aktivitas
kelenjar sebasea kembali meningkat akibat pengaruh hormonal. Namun, terdapat
beberapa pasien yang dilaporkan memiliki kulit berminyak yang mengalami
dermatitis seboroik, namun menunjukkan sekresi sebum yang normal pada laki-laki
dan menurun pada perempuan. Karena itu peranan dari kelenjar sebasea masih
menjadi perdebatan dan belum ada bukti yang konklusif.4
7
Universitas Tarumanagara
Salah satu gangguan imunitas yang berperan dalam patogenesis dermatitis
seboroik adalah kondisi imunosupresi. Beberapa penelitian menunjukkan
defek pada imunitas seluler seperti sel CD4+ dan CD8+ serta imunitas
humoral terkait dengan timbulnya erupsi dermatitis seboroik. Namun masih
terdapat beberapa temuan yang bertentangan. Pada sebuah penelitian, rasio
CD4+:CD8+ ditemukan normal, sedangkan penelitian lain menunjukkan
penurunan rasio CD4+:CD8+ pada 68% pasien. Terdapat laporan yang
menunjukkan penurunan jumlah sel B pada 28% pasien dan peningkatan
jumlah sel natural killer pada 48% pasien dermatitis seboroik. Selain
imunosupresi, peranan dari reaksi inflamasi yang berlebihan juga diduga
mendasari patogenesis dari dermatitis seboroik. Terdapat beberapa laporan
yang menunjukkan adanya peningkatan produksi antibodi imunoglobulin
(Ig)A dan IgG dalam serum pasien dengan dermatitis seboroik, selain itu
dilaporkan juga peningkatan antibodi terhadap Malassezia. Namun,
terdapat juga temuan yang melaporkan bahwa tidak terdapat perbedaan dari
jumlah total antibodi terhadap Malassezia pada pasien yang mengalami
dermatitis seboroik. Peningkatan sitokin inflamasi seperti interleukin (IL)-
1, IL-4, IL-12, tumor necrosis factor α (TNF-α), dan interferon (IFN) juga
dilaporkan terjadi pada kulit dengan lesi dermatitis seboroik dibandingkan
dengan kulit normal. Penelitian mengenai ekspresi gen menggunakan DNA
microarrays pada 15 pasien dengan ketombe menunjukkan adanya induksi
ekspresi gen inflamasi dan represi dari gen metabolisme lipid ketika
dibandingkan dengan individu yang tidak berketombe. Ekspresi gen
inflamasi yang diinduksi secara jelas diamati pada kulit pasien yang tidak
terlibat juga, menunjukkan adanya faktor predisposisi yang terkait dengan
peradangan pada pasien dengan dermatitis seboroik. Selanjutnya,
peradangan yang disebabkan oleh stres oksidatif melalui spesies oksigen
reaktif mungkin memiliki peran potensial dalam patogenesis dermatitis
seboroik.4
• Efek mikroba
Malassezia merupakan salah satu flora normal pada kulit manusia dan
terkait dengan banyak jenis kelainan kulit termasuk Pityriasis versicolor,
8
Universitas Tarumanagara
dermatitis atopik, folikulitis dan juga dermatitis seboroik. Peranan
Malassezia dalam patogenesis dermatitis seboroik dapat dijelaskan oleh
beberapa hipotesis. Salah satunya adalah metabolit dari jamur Malassezia
yang bereaksi terhadap trigliserida yang dilepaskan dari kelenjar sebasea
sehingga menyebabkan pelepasan mediator inflamasi. Hipotesis lainnya
adalah bahwa lapisan lipid dari jamur Malassezia menginduksi keratinosit
untuk memproduksi sitokin proinflamatorik, yang menyebabkan inflamasi
dan erupsi kulit. Meski begitu, bukti-bukti ilmiah yang ada masih
bertentangan dan belum dapat ditentukan korelasi yang pasti mengenai
patomekanisme Malassezia dalam menimbulkan lesi kulit pada dermatitis
seboroik. Beberapa bukti yang mendukung peranan Malassezia dalam
patogenesis dermatitis seboroik termasuk predominansi lesi dermatitis
seboroik yang memiliki keterkaitan dengan distribusi kelenjar sebasea,
dimana diketahui bahwa Malassezia memiliki kecenderungan pada area
tersebut. Efek terapeutik obat antijamur pada dermatitis seboroik juga
memperkuat dugaan yang ada mengenai hubungan antara Malassezia dan
dermatitis seboroik. Selain itu, Pityriasis versicolor dan Pityrosporum
folliculitis, yang diinduksi oleh Malassezia, biasanya disertai dengan
dermatitis seboroik. Namun, tidak banyak perbedaan dalam jumlah
Malassezia antara pasien dermatitis seboroik dengan individu yang sehat.
Selain itu, bentuk patogen dari Malassezia berupa miselium yang diamati
pada Pityriasis versicolor belum terdeteksi pada dermatitis seboroik. Fakta-
fakta ini mengusulkan peran Malassezia dalam menyebabkan dermatitis
seboroik cukup kompleks. Peran tersebut diduga akibat aktivitas enzim
lipase Malassezia yang kemudian menganggu keseimbangan lipid pada
kulit, merusak barrier pelindung kulit, serta menyebabkan iritasi dan
menginduksi reaksi inflamasi.9
• Faktor lipid dan kerentanan pejamu
Terdapat beberapa temuan yang mengarah pada perubahan lipid permukaan
kulit pasien dengan dermatitis seboroik maupun ketombe. Asam lemak
bebas seperti asam oleat yang terbentuk akibat lipase M. globosa, dapat
menyebabkan iritasi dan memediasi pengelupasan kulit seperti ketombe
9
Universitas Tarumanagara
pada individu yang rentan. Kerentanan individu diduga terkait dengan
disrupsi barrier epidermis yang memungkinkan penetrasi dari zat-zat
metabolit yang dapat mengiritasi kulit. Kerusakan kulit tersebut juga dapat
membantu proses Malassezia untuk mencapai reseptor aril hidrokarbon
pada lapisan granular dan spinosus epidermis.
• Hiperproliferasi epidermis
Adanya peningkatan dari kecepatan pergantian sel epidermis dapat
ditemukan pada kondisi seperti dermatitis seboroik dan juga psoriasis.
Peningkatan kecepatan tersebut dapat mengindikasikan adanya kondisi
hiperproliferasi epidermis pada dermatitis seboroik. Perubahan epidermis
ini mungkin berhubungan dengan peningkatan aktivitas calmodulin. Selain
itu, dermatitis seboroik memiliki kemiripan dengan psoriasis dalam banyak
aspek, baik secara klinis maupun histologis, dan terkadang sulit untuk
membedakan kedua penyakit tersebut bahkan setelah biopsi kulit. Ada
laporan kasus bahwa keratolitik dan obat antiinflamasi berhasil dalam
pengobatan pasien dengan dermatitis seboroik.
• Abnormalitas neurotransmitter
Gangguan dari neurotransmitter menjadi salah satu hipotesis yang
mendasari keterkaitan dermatitis seboroik dengan kondisi-kondisi
neurologis seperti parkinsonisme, gangguan mood, penyakit alzheimer,
siringomielia, epilepsi, infark serebrovaskular, post ensefalitis, retardasi
mental, poliomielitis, quadriplegia, cedera saraf trigeminal, dan
alkoholisme. Hipotesis ini dinilai lebih dapat menjelaskan keterkaitan
dermatitis seboroik dengan kelainan neurologis, mengingat lokasi dari lesi
dan juga keparahan dari dermatitis seboroik tidak berkorelasi secara
langsung dengan lokasi kelainan neurologis yang terjadi. Salah satu temuan
yang mendukung teori ini, termasuk peningkatan kadar melanocyte
stimulating hormone pada penyakit parkinson yang mungkin diinduksi
perubahan neurotransmitter. Selain gangguan neurotransmitter, adanya
immobilitas, berkurangnya paparan sinar matahari, dan status kebersihan
pasien yang berkurang pada pasien dengan kondisi-kondisi neurologis juga
10
Universitas Tarumanagara
mungkin turut berpengaruh pada meningkatnya risiko terjadinya dermatitis
seboroik.
• Faktor lainnya
Kelembaban rendah dan suhu dingin memperburuk dermatitis seboroik,
khususnya pada musim dingin dan juga awal dari musim semi. Trauma
wajah (misalnya akibat garukan) dan terapi PUVA juga merupakan faktor
yang memperberat kondisi ini. Beberapa obat dapat menyebabkan erupsi
mirip dermatitis seboroik, termasuk griseofulvin, cimetidine, lithium,
methyldopa, arsenic, gold, auranofin, aurothioglucose, buspirone,
chlorpromazine, ethionamide, haloperidol, phenothiazine, stanozolol,
thiothixene, dan methoxsalen. Pasien dengan defisiensi zinc atau defisiensi
biotin juga memiliki erupsi dermatitis yang mirip seperti dermatitis
seboroik, tetapi erupsi kulit tidak merespons suplementasi seng atau biotin.
Selain itu terdapat bentuk familial dari dermatitis seboroik yang dilaporkan
dalam keluarga Yahudi Israel keturunan Maroko, yang disebabkan oleh
mutasi genetik dominan autosomal (ZNF750) yang mengkode zinc finger
protein (C2H2).4
11
Universitas Tarumanagara
lama, dapat dijumpai kerontokan rambut pada daerah yang menunjukkan lesi
dermatitis seboroik. Pada liang telinga, lesi dapat ditemukan berupa otitis eksterna.7
12
Universitas Tarumanagara
Gambar 2.1 Dermatitis seboroik pada dada dan telinga.4
13
Universitas Tarumanagara
Varian infantile dari dermatitis seboroik memiliki presentasi yang berbeda
dengan dermatitis seboroik yang terjadi pada usia yang lebih tua. Presentasi klinis
dari varian ini biasanya mulai timbul sekitar satu minggu setelah kelahiran dan
dapat menetap selama beberapa bulan. Erupsi kulit non pruritus umumnya
mengenai area frontal atau vertex (atau keduanya) dari kulit kepala dan area tengah
wajah dengan skuama kering, kuning, berminyak, tebal, melekat, dan dapat disertai
ruam eritematosa pada lipatan intertriginosa batang tubuh dan ekstremitas.
Keterlibatan luas dari kulit kepala, biasa disebut "cradle cap" (gambar 2.3) adalah
salah satu gambaran khas yang diamati pada varian infantile dari dermatitis
seboroik. Superinfeksi oleh mikroorganisme lain seperti Candida spp atau bakteri
(misalnya Streptococcus group A) dapat terjadi. Erupsi diseminata dengan papul
berskuama dengan gambaran seperti psoriasis (reaksi “psoriasiform id”) dapat
terjadi pada batang tubuh, bagian proksimal ekstremitas, dan wajah yang kadang
terkait dengan dermatitis seboroik yang berat ataupun yang mengalami superinfeksi
khususnya pada area popok. Varian infantile biasanya sembuh secara spontan
dalam 6 sampai 12 bulan pertama kehidupan.7,10
2.1.5 Diagnosis
14
Universitas Tarumanagara
Diagnosis dari dermatitis seboroik ditegakkan berdasarkan temuan klinis dari
morfologi lesi dan pola yang khas. Pemeriksaan penunjang tidak selalu diperlukan
dan umumnya hanya dilakukan untuk mengeksklusi adanya diagnosis banding
ketika terdapat keraguan. Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
termasuk pemeriksaan kerokan kulit dengan KOH dan biopsi kulit. 4,8,11 Pada
pemeriksaan biopsi kulit, dermatitis seboroik akut dapat menunjukkan adanya
spongiosis dengan infiltrat perivaskular dan perifolikuler superfisial yang
didominasi oleh limfosit. Seiring waktu, lesi yang lebih kronis dapat menunjukkan
gambaran yang serupa dengan psoriasis, tetapi tanpa disertai adanya exocytosis
neutrofil, mikroabses Munro, dan juga lapisan parakeratosis yang konfluen.10
15
Universitas Tarumanagara
2.1.7 Tatalaksana
Tujuan dari tatalaksana dermatitis seboroik, khususnya pada onset yang terjadi di
usia remaja dan dewasa, bukanlah untuk menyembuhkan penyakit secara
permanen, melainkan hanya untuk mengendalikan gejala yang ada pada saat
tersebut dan menurunkan risiko kekambuhan penyakit. Mengingat perjalanan
penyakit yang cenderung kronis dan rekuren. Terdapat beberapa alur yang dapat
digunakan dalam penatalaksanaan dermatitis seboroik (gambar 2.4 dan 2.5)
Beberapa tatalaksana yang dilakukan antara lain:7,8
16
Universitas Tarumanagara
Gambar 2.4 Algoritma tatalaksana dermatitis seboroik pada daerah selain
kulit kepala berdasarkan derajat keparahan.8
17
Universitas Tarumanagara
Gambar 2.5 Algoritma tatalaksana dermatitis seboroik pada daerah kulit
kepala berdasarkan derajat keparahan.8
2.2.1 Definisi
Indeks massa tubuh (IMT) adalah salah satu pengukuran antropometri yang
dinyatakan dalam kilogram berat badan per meter kuadrat tinggi badan (kg/m2) dari
individu yang diukur. Indeks massa tubuh merupakan salah satu indikator utama
dari pengukuran status gizi, terutama pada remaja dan orang dewasa karena
pengukuran ini memiliki korelasi yang baik dengan komposisi lemak tubuh, dapat
dilakukan secara konsisten pada berbagai populasi, dan telah banyak diteliti serta
memiliki standar yang baku. Kemampuan IMT untuk secara tidak langsung
memperkirakan komposisi lemak dalam tubuh dan tersedianya data statistik dari
penelitian-penelitian sebelumnya untuk menentukan titik potong dari nilai IMT
yang dianggap bermakna untuk memprediksi adanya peningkatan morbiditas dan
18
Universitas Tarumanagara
mortalitas yang terkait dengan peningkatan lemak dalam tubuh merupakan salah
satu keunggulan pengukuran IMT dalam penilaian obesitas.12,13
Cara pengukuran dari IMT dimulai dari melakukan pengukuran untuk berat badan
(BB) dan juga tinggi badan (TB). Pengukuran berat badan dapat dilakukan
menggunakan timbangan. Terdapat berbagai jenis timbangan, mulai dari timbangan
dacin hingga timbangan digital. Pada prinsipnya, pengukuran berat badan untuk
remaja dan orang dewasa umumnya dilakukan dalam posisi berdiri tanpa dibantu
diatas timbangan. Selain itu, idealnya pengukuran dilakukan dalam kondisi
individu menggunakan baju seminimal/seringan mungkin dan telah melepaskan
benda-benda yang berpotensi menambah dari berat yang diukur, misalnya sepatu
dan ikat pinggang. Pencatatan berat badan umumnya dilakukan dengan ketelitian
sampai 0,1 kg.
2.2.3 Klasifikasi
Terdapat beberapa klasifikasi IMT yang berbeda. Alasan untuk hal ini adalah
karena adanya perbedaan antropometri yang ditemukan bermakna secara statistik
antar populasi. Klasifikasi WHO yang ditujukan untuk populasi seluruh dunia tidak
sepenuhnya sesuai pada beberapa grup etnis. Misalnya pada orang Asia, yang dapat
memiliki jumlah lemak yang lebih banyak daripada orang Eropa dengan nilai IMT
19
Universitas Tarumanagara
yang sama. Adanya distribusi lemak yang cenderung lebih sentral pada orang Asia
dibandingkan orang Eropa juga mendukung hal tersebut. Selain itu, morbiditas dan
mortalitas terkait dengan obesitas juga terjadi pada IMT dan lingkar pinggang yang
lebih rendah pada orang Asia. Sehingga, disimpulkan bahwa orang Asia cenderung
mengalami akumulasi lemak intra abdominal tanpa mengalami obesitas yang
generalisata. Tabel 2.1 dan 2.2 menunjukkan klasifikasi oleh WHO internasional,
Asia-Pasifik, dan Indonesia. 12,13
Tabel 2.1. Klasifikasi WHO Internasional untuk status gizi pada orang dewasa
berdasarkan IMT.12
Obese II 35 – 39,9 ≥ 30
Tabel 2.2. Kategori ambang IMT pada orang dewasa untuk Indonesia.13
Kategori IMT
20
Universitas Tarumanagara
2.3 Hubungan antara IMT dan Dermatitis Seboroik
Hubungan antara IMT dan dermatitis seboroik masih belum terbukti dan juga
belum banyak diteliti. Berdasarkan teori yang ada, setidaknya terdapat dua alasan
yang dapat menunjukkan IMT dan dermatitis seboroik mungkin memiliki
hubungan. Pertama, indeks massa tubuh merupakan salah satu pengukuran yang
dapat merepresentasikan proporsi lemak tubuh.12,13 Sementara proporsi lemak
tubuh dikaitkan dengan aktivitas kelenjar sebasea, dimana penderita obesitas
cenderung memiliki produksi sebum berlebih.14 Produksi sebum berlebih kemudian
dapat dikaitkan dengan meningkatnya risiko dermatitis seboroik. (Fitzpatrick)
Kedua, obesitas dikaitkan dengan peningkatan berbagai sitokin proinflamasi seperti
CRP, interleukin 6 (IL-6), tumor necrosis factor α (TNF- α). Terdapat sejumlah
bukti yang menunjukkan adanya korelasi antara sindrom metabolik, yang salah satu
komponen utamanya adalah obesitas, dengan berbagai penyakit inflamatorik. Salah
satu penyakit inflamatorik pada kulit yang telah diketahui memiliki korelasi
bermakna dengan sindrom metabolik adalah psoriasis. Sementara itu, psoriasis
merupakan salah satu kondisi yang memiliki banyak kesamaan dengan dermatitis
seboroik, mengingat keduanya merupakan kondisi inflamatorik kronis pada kulit,
memiliki temuan klinis dari lesi kulit yang terkadang sulit dibedakan, dan bahkan
temuan histopatologis keduanya seringkali serupa.6
21
Universitas Tarumanagara
2.4 Kerangka Teori
Kenaikan Indeks
Massa Tubuh
Obesitas
Produksi Gangguan
sebum imunitas
Dermatitis
Seboroik
22
Universitas Tarumanagara
2.5 Kerangka Konsep
Faktor Perancu:
- Stres
- Genetik
- Personal Hygiene
23
Universitas Tarumanagara
BAB 3
METODE PENELITIAN
Q = (1 − 𝑃)
24
Universitas Tarumanagara
𝑃1 = Proporsi efek standar (dari pustaka = 0,059)
𝑃2 = Proporsi efek yang diteliti (clinical judgement)
𝑃2 = (𝑃1 + 10% 𝑃1) atau (𝑃2 − 𝑃1 ) = 10%
(𝑃2 − 𝑃1 ) = 20% 𝑄 = (1 − 𝑃)
𝑃2 = 0,2 + 0,059 = 0,259 𝑄 = (1 − 0,159) = 0,841
1
𝑃 = 2 (𝑃1 + 𝑃2 ) 𝑄1 = (1 − 𝑃1 )
1
𝑃 = 2 (0,059 + 0,259) 𝑄1 = (1 − 0,059) = 0,941
1
𝑃 = 2 (0,318) = 0,159 𝑄2 = (1 − 0,259) = 0,741
𝑛1 = 𝑛2
[(1,96√2(0,159𝑥0,841)) + 0,842 √(0,059𝑥0,941) + (0,259𝑥0,741)]2
=
(0,059 − 0,259)2
Sehingga, jumlah responden minimal yang dibutuhkan yaitu sebanyak 102 orang.
25
Universitas Tarumanagara
1. Terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas
Tarumanagara Angkatan 2020.
2. Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Angkatan 2020
yang bersedia menjadi responden.
3.5.2 Kriteria Eksklusi
1. Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Angkatan 2020
yang tidak bersedia menjadi responden.
26
Universitas Tarumanagara
adalah Massa berat :
salah satu Tubuh <17,0
pengukura (IMT) 2. Kekuran
n Kementeri gan berat
antropome an badan
tri yang Kesehatan tingkat
dinyataka Republik ringan :
n dalam Indonesia. 17,0 –
kilogram 18,4
berat 3. Normal :
badan per 18,5 –
meter 25,0
kuadrat 4. Kelebiha
tinggi n berat
badan badan
(kg/m2) tingkat
dari ringan
individu (overwei
yang ght) :
diukur. 25,1 –
27,0
5. Kelebiha
n berat
badan
tingkat
berat
(obese) :
>27,0.
Dermatitis Dermatitis Pemeriksa Pemeriksa Data Tidak Dermatitis
Seboroik seboroik an fisik. an katagor Seboroik,
merupaka dermatolo ik skala Dermatitis
n sebuah gi ordinal. Seboroik
27
Universitas Tarumanagara
penyakit
inflamator
ik pada
kulit yang
ditandai
oleh
morfologi
papulo
skuamosa
pada area
yang kaya
akan
kelenjar
sebasea,
terutama
wajah,
kulit
kepala,
dan lipatan
tubuh.
28
Universitas Tarumanagara
3.11 Analisis Data
Uji Chi Square dan data yang diperoleh dianalisa menggunakan aplikasi SPSS
Ver.23 untuk Mac.
Pembuatan proposal
Pengambilan data
- Pengisian informed consent
- Pengisian kuesioner
- Pemeriksaan fisik
Penarikan kesimpulan
29
Universitas Tarumanagara
Pengolahan data
Pembuatan skripsi
Pengajuan skripsi
Pengumpulan skripsi
Sidang skripsi
30
Universitas Tarumanagara
BAB 4
HASIL PENELITIAN
31
Universitas Tarumanagara
Pada hasil sebaran kuesioner didapatkan sebanyak 61 responden (54,0%)
mengalami dermatitis seboroik. Pada responden yang mengalami dermatitis
seboroik didapatkan mayoritas sebanyak 78,69% mengalami dermatitis seboroik
selama 0-3 bulan, berdasarkan beratnya keluhan sebanyak 85,24% memiliki
keluhan yang ringan. Dari 61 responden yang mengalami dermatitis seboroik
sebanyak 51 responden (83,6%) memiliki keluhan gatal dan sebanyak 10 responden
(16,4%) memiliki keluhan panas. Sehingga, sebanyak 31 responden (50,8%)
memilki kecenderungan untuk menggaruk daerah yang memilliki dermatitis
seboroik.
Lokasi dermatitis seboroik tersering adalah pada kulit kepala, yaitu
sebanyak 41 responden (67,2%). Lokasi lainnya adalah pada daerah alis dan daerah
jenggot yaitu masing-masing sebanyak 10 dan 6 responden (16,39% dan 9,83%)
dan sisanya pada daerah lain seperti pipi, hidung, dan punggung. Sebanyak 96
responden (85,0%) mengaku tidak ada anggota keluarga yang mengalami
dermatitis seboroik.
Sementara itu sebanyak 36 responden (59,0%) membersihkan daerah yang
memiliki dermatitis seboroik sebanyak 1x/hari, sedangkan sisanya
membersihkannya 2-3x/hari. Mayoritas sebanyak 33 responden (54,09%)
membersihkannya dengan menggunakan sabun. Hanya sebanyak 12 responden
(19,6%) berkunjung ke tenaga ahli/dokter spesialis kulit dan kelamin.
32
Universitas Tarumanagara
Ringan 52 85,24%
Sedang 8 13,11%
Berat 1 1,64%
Keluhan yang dialami
Gatal 51 83,6%
Panas 10 16,4%
Kecenderungan untuk menggaruk
Ya 31 50,8%
Tidak 30 49,2%
Lokasi Dermatitis Seboroik
Kulit kepala 41 67,21%
Alis 10 16,39%
Daerah jenggot 6 9,83%
Pipi 1 1,64%
Hidung 2 3,28%
Punggung 1 1,64%
Terdapat anggota keluarga yang
mengalami hal serupa
Ya 17 15,0%
Tidak 96 85,0%
Frekuensi membersihkan daerah yang
memiliki dermatitis seboroik
1x/hari 36 59,0%
2x/hari 3 4,9%
3x/hari 22 36,1%
Jenis alat yang digunakan untuk
membersihkan diri
Sabun 33 54,09%
Pembersih lainnya 28 45,91%
Kunjungan ke tenaga ahli
Ya 12 19,6%
Tidak 49 80,4%
33
Universitas Tarumanagara
Pada tabel 4.3, didapatkan prevalensi dermatitis seboroik berdasarkan jenis
kelamin, yaitu 24 (39,34%) berjenis kelamin laki-laki dan sebanyak 37 (60,66%)
berjenis kelamin perempuan. Pada hasil uji chi-square didapatkan nilai p=0,604
yang artinya tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan
kejadian dermatitis seboroik (p-value>0,05).
34
Universitas Tarumanagara
Ya Tidak
Sangat Kurang 0 (0%) 2 (100%) 2 (100%
Kurang 3 (30%) 7 (70%) 10 (100%)
Normal 40 (61,5%) 25 (38,5%) 65 (100%)
0,028
Overweight 9 (75%) 3 (25%) 12 (100%)
Obesitas 9 (37,5%) 15 (62,5%) 24 (100%)
Jumlah 61 52 113
35
Universitas Tarumanagara
BAB 5
PEMBAHASAN
5.1 Pembahasan
Telah dilakukan penelitian di Fakultas Kedokteran Universitas Tarumangara
Angkatan 2020, dengan total jumlah responden yang sesuai dengan kriteria inklusi
dan ekslusi adalah sebanyak 113 responden. Ketika dianalisa rata-rata usia
responden adalah 19,4 tahun, yang sesuai dengan rata-rata usia mahasiswa angkatan
2020. Prevalensi dermatitis seboroik memuncak kejadiannya pada tiga bulan
pertama kehidupan dan kemudian meninggi kembali pada usia adrenarche hingga
pada usia 40 tahun mengalami peningkatan yang kedua. Dermatitis seboroik juga
meningkat kejadiannya pada lansia dan orang-orang yang menderita HIV/AIDS
dengan prevalensinya mencapai 85%.17 Tingginya angka penderita dermatitis
seboroik sejalan dengan penambahan usia disebabkan oleh adanya perubahan
fisiologis dan patologis yaitu turunnya kadar lipid pada stratum korneum dan
tipisnya epidermis dan dermis. Sehingga dapat menyebabkan kulit menjadi
sensitive terhadap faktor eksternal pada kelompok usia lanjut.18
Berdasarkan jenis kelamin, mayoritas responden berjenis kelamin
perempuan dengan proporsi sebanyak 71 responden (62,8%). Berdasarkan kejadian
dermatitis seboroik, proporsi terbanyak adalah pada laki-laki yaitu sebanyak
57,14% sedangkan pada perempuan hanya 52,11%. Namun, berdasarkan hasil uji
statistic tidak terdapat korelasi yang signifikan. Pada penelitian yang dilakukan
oleh Silvia et al, yang meneliti hubungan antara jenis kelamin dengan angka
kejadian dermatitis seboroik didapatkan bahwa proporsi tertinggi juga terdapat
pada laki-laki yaitu sebanyak 47,3% sedangkan pada perempuan hanya 29,0%.
Berdasarkan uji statistic didapatkan nilai p=0,008 (p<0,05) yang berarti terdapat
korelasi yang signifikan antara jenis kelamin dengan dermatitis seboroik. Hal ini
dapat terjadi karena pada laki-laki hormon androgen akan mempengaruhi aktivitas
kelenjar sebasea sehingga pengeluaran sebum akan meningkat dan merangsang
proliferasi keratinosit pada kelenjar sebasea dan acroinfundibulum yang berperan
pada patofisiologi dermatitis seboroik.19
Pada hasil pengukuran antopometri mayoritas responden penelitian ini
memiliki status gizi yang normal yaitu sebanyak 57,5% dengan IMT rata-rata
36
Universitas Tarumanagara
adalah 23,84 kg/m2. Hal ini sesuai dengan hasil pemetaan status gizi pada
mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara yang dilakukan oleh
Yoshe, et al, didapatkan bahwa sebagian besar termasuk normal dan berlebih,
masing-masing sebanyak 44,64% dan 46,43% hal ini dapat disebabkan tingginya
pengetahuan mengenai nutrisi dan aktivitas fisik yang dimiliki oleh responden
tersebut.20
Berdasarkan prevalensi terjadinya dermatitis seboroik pada mahasiswa
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Angkatan 2020 didapatkan
sebanyak 61 responden (54,0%) memilikinya, diantaranya mayoritas mengalami
keluhan tersebut selama 0-3 bulan (78,69%). Lama keluhan dermatitis seboroik
bergantung pada seberapa cepat individu tersebut memberikan terapi pada keluhan
tersebut. Berdasarkan pedoman nasional pelayanan kedokteran tatalaksana
dermatitis seboroik lama pengobatannya dimulai 1 minggu hingga 1 bulan.5
Berdasarkan derajat keparahan didapatkan sebanyak 52 responden
(85,24%) memiliki keluhan yang ringan. Pitriasis sika, atau ketombe merupakan
jenis ringan dari dermatitis seboroik, sedangkan pada bentuk yang berat kelainan
kulit akan terdiri atas eritema dan skuama yang berminyak dan agak kekuningan,
dengan batas kurang tegas dan yang lebih berat lagi hingga akan disertai eksudasi
dan krusta tebal dan seluruh kepala tertutup oleh krusta-krusta kotor dan berbau
tidak sedap.21
Berdasarkan keluhan yang dialami, mayoritas memiliki keluhan gatal yaitu
sebanyak 51 responden (83,6%) dan 16,4% lainnya memiliki keluhan panas.
Sehingga sebanyak 50,8% memiliki kecenderungan untuk menggaruk daerah lesi.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Araya et al, yang meneliti
karakteristik klinis pada pasien dengan dermatitis seboroik, didapatkan bahwa
mayoritas sebanyak 78,9% memiliki keluhan gatal dan 4,8% memiliki keluhan
panas dan 19,3% lainnya asimptomatik.22 Hal ini berkaitan dengan patofisiologi
dari dermatitis seboroik yang merangsang pengeluaran histamin sehingga rasa gatal
merupakan gejala utama dari dermatitis seboroik, rusaknya barrier kulit
menjelaskan rasa terbakar yang dialami oleh penderita dermatitis seboroik.
Kecenderungan untuk menggaruk yang lama kelamaan akan merusak lapisan kulit
37
Universitas Tarumanagara
akan memudahkan masuknya bakteri kuman pathogen sehingga akan timbul infeksi
sekunder pada penderita.17
Mayoritas responden mengeluhkan daerah kulit kepala adalah daerah
terbanyak yang mengalami dermatitis seboroik yaitu sebanyak 41 responden
(67,21%) diikuti oleh daerah alis dan daerah jenggot. Hal ini berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh Terroe et al, dimana predileksi tersering dari
dermatitis seboroik adalah pada wajah yaitu sebanyak 53,7% diikuti oleh kulit
kepala sebanyak 28,4%.21 Pada penelitian yang dilakukan oleh Araya et al juga
mengemukakan bahwa predileksi dermatitis seboroik adalah pada daerah yang
banyak kelenjar sebasea yaitu pada daerah wajah dan kulit kepala.22
Hanya sebanyak 17 responden (15,0%) dari 61 responden yang menderita
dermatitis seboroik mengaku terdapat anggota keluarga yang mengalami hal yang
serupa. Walaupun dermatitis seboroik bukan penyakit keturunan, namun respons
imun dan ketahanan lapisan kulit memiliki kaitannya pada patofisiologi dermatitis
seboroik. Gen ACT1, C5, IKBKG/NEMO, STK4, 2C TCR merupakan gen yang
mengkode protein yang berperan dalam respons imun serta gen ZNF750 dan
MPZL3 berperan dalam diferensisasi epidermal.23
Sebanyak 36 responden (59,0%) membersihkan daerah yang memiliki
dermatitis seboroik sebanyak 1x/hari. Berdasarkan penelitian oleh Kusuma et al,
higienitas seseorang bukanlah pengaruh yang signifikan akan timbulnya dermatitis
seboroik karena tidak menjamin kebalnya terhadap penyakit ini. Faktor risiko dari
dermatitis seboroik adalah imunitas yang rendah dan tingkat stress yang tinggi. 24
Mayoritas sebanyak 33 responden (54,09%) membersihkan diri dengan
sabun dan hanya 12 responden yang berkunjung ke tenaga ahli untuk mengatasi
keluhan dermatitis seboroik. Untuk mengatasi dermatitis seboroik tidak cukup
hanya dibersihkan dengan sabun, pada dermatitis seboroik derajat ringan seringkali
digunakan kortikosteroid topical, sedangkan pada yang lebih berat diterapi dengan
kortikosteroid oral maupun dengan tambahan agen antijamur. Maka dari itu penting
untuk penderita dermatitis seboroik untuk berkunjung ke tenaga ahli atau dokter
spesialis kulit dan kelamin untuk memberi tata laksana yang tepat.25
Berdasarkan status indeks massa tubuh sebanyak 40 responden (61,5%)
yang menderita dermatitis seboroik memiliki status IMT normal, pada 9 responden
38
Universitas Tarumanagara
(75%) memiliki status IMT overweight dan 9 responden (37,5%) memiliki status
IMT obesitas. Berdasarkan hasil uji bivariat chi-square didapatkan nilai p=0,028
(p-value<0,05) yang berarti terdapat hubungan yang signifikan antara status IMT
dengan kejadian dermatitis seboroik. Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Silvia et al, didapatkan sebanyak 30 responden (41,7%) memiliki
status IMT obesitas I dan sebanyak 23 responden (21,9%) memiliki status IMT
normal. Hasil uji statistic didapatkan nilai p=0,001 (p-value<0,05) yang artinya
terdapat hubungan yang signifikan.26
Terdapat 3 hal yang menyebabkan dermatitis seboroik, yaitu aktivitas
kelenjar sebasea, aktivitas pathogen (Malassezia) dan kerentanan individu. Pada
individu yang obesitas akan memiliki lemak yang berlebihan dalam tubuh sehingga
kadar asam lemak bebas akan meningkat dan dihidrolisis oleh lipoprotein lipase
endotel sehingga kadar sebum akan meningkat.26
Dermatitis lebih berisiko pada orang yang memiliki tingkat IMT yang tinggi
atau obesitas karena terjadi hiperandrogenisme yaitu perangsang utama untuk
pengeluaran sebum. Ketika kadar sebum meningkat, sebum tersebut dapat dengan
mudah didegradasi oleh jamur Malassezia spp pada kulit dan memproduksikan
asam lemak bebas yang merusak barrier kulit, kemudian akan mengakibatkan
hiperproliferasi dan kulit akan kembali memproduksi sebum.27
Terdapat hubungan yang signifikan antara status IMT dengan kejadian
dermatitis seboroik. Menurut teori menyebutkan bahwa penderita obesitas terjadi
peningkatan asam lemak bebas. Peningkatan asam lemak bebas yang dilepaskan
karena adanya penimbunan lemak yang berlebihan juga menghambat terjadinya
lipogenesis sehingga menghambat klirens serum triasilgliserol dan mengakibatkan
peningkatan kadar trigliserida darah (hipertrigliseridemia). Pasien dengan
dermatitis seboroik menunjukkan kadar trigliserida dan kolesterol yang lebih tinggi
pada permukaan kulit. Kedua spesies Malassezia dan Propionibacterium acnes
mempunyai aktivitas lipase dimana trigliserida diubah menjadi asam lemak bebas,
dan beberapa penulis percaya bahwa gangguan flora normal, aktivitas lipase dan
radikal bebas lebih berisiko terkena dermatitis seboroik daripada gangguan respon
imun.26
39
Universitas Tarumanagara
Menurut teori Lausarina et al., (2019), Dermatitis seboroik merupakan
inflamasi kronik pada kulit yang dapat bertahan selama bertahun-tahun melalui
kekambuhan dan remisi. Dermatitis seboroik tergolong penyakit kulit kronik,
mengharuskan pasien menanggung beban penyakit selama bertahun-tahun bahkan
seumur hidup. Lamanya penderitaan yang ditanggung oleh pasien membuat
penilaian pengaruh penyakit kulit tersebut terhadap kualitas hidup menjadi suatu
hal yang penting dalam tatalaksana dan perbaikan kualitas hidup merupakan tujuan
terapi yang utama.28
40
Universitas Tarumanagara
BAB 6
KESIMPULAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian tentang hubungan indeks massa
tubuh dengan angka kejadian dermatitis seboroik pada mahasiswa Fakultas
Kedokteran Universitas Tarumanagara angkatan 2020, dapat disimpulkan :
1. Presentase rata-rata indeks massa tubuh mahasiswa Fakultas
Kedokteran Universitas Tarumanagara angkatan 2020 adalah 23,84
kg/m2. Status gizi responden mayoritas adalah normal sebanyak 65
responden dengan presentase 57,5%.
2. Proporsi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
angkatan 2020 yang mengalami dermatitis seboroik adalah 61
responden (54,0%).
3. Terdapat hubungan yang signifikan antara indeks massa tubuh dengan
kejadian dermatitis seboroik dengan nilai p = 0,028 (p-value<0,05).
6.2 Saran
6.2.1 Saran Bagi Responden
Bagi responden diharapkan tetap mempertahankan indeks massa tubuh normal
dengan menerapkan pola makan dan gaya hidup yang sehat
6.2.2 Saran Bagi Institusi
Bagi institusi diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi dasar untuk melakukan
penelitan bersama antara ilmu gizi dan kulit-kelamin karena adanya hubungan yang
erat
6.2.3 Saran Bagi Peneliti
Bagi peneliti disarankan untuk melakukan pemeriksaan fisik dermatitis seboroik
dalam beberapa periode waktu agar penelitian berikutnya dapat lebih akurat dan
proporsional
41
Universitas Tarumanagara
DAFTAR PUSTAKA
42
Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2017.
16. Baş Y, Seçkin HY, Kalkan G, Takci Z, Çitil R, Önder Y, Şahin Ş, Demir
AK. Prevalence and related factors of psoriasis and seborrheic dermatitis: a
community-based study. Turkish journal of medical sciences. 2016 Feb
17;46(2):303-9.
17. Tucker D, Masood S. Seborrheic Dermatitis. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 [cited 2022 May 7].
Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK551707/
18. Sanders M, Pardo L, Franco O, Ginger RS, Nijsten T. Prevalence and
determinants of seborrheic dermatitis in a middle aged and elderly
population: the rotterdam Study. Br J Dermatol. 2018;178(1):148–53.
19. Silvia E, Anggunan A, Effendi A, Nurfaridza I. Hubungan Antara Jenis
Kelamin Dengan Angka Kejadian Dermatitis Seboroik. J Ilm Kesehat Sandi
Husada. 2020 Jun 30;11(1):37–46.
20. Yoshe RT, Kumala M. Pemetaan status gizi berdasarkan indeks massa
tubuh dan komposisi tubuh pada mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Tarumanagara angkatan 2015 dan 2016. 2021;3(2):9.
21. Terroe RO, Kapantow MG, Kandou Rt. Profil Dermatitis Seboroik Di
Poliklinik Kulit Dan Kelamin Rsup Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode
Januari-Desember 2012. 2015;3:6.
22. Kulthanan K, Jiamton S, Araya M. Clinical characteristics and quality of
life of seborrheic dermatitis patients in a tropical country. Indian J Dermatol.
2015;60(5):519.
23. Karakadze MA, Hirt PA, Wikramanayake TC. The genetic basis of
seborrhoeic dermatitis: a review. J Eur Acad Dermatol Venereol. 2018
Apr;32(4):529–36.
24. Kusuma RB, Budiastuti A. Beberapa Faktor Resiko Terjadinya Dermatitis
Seboroik Pada Karyawan Go-Jek Kota Semarang. 2019;8(1):10.
25. Elisia E, Dalem Pemayun T. Profil dermatitis seboroik pada pasien di
Poliklinik Rawat Jalan Kulit dan Kelamin RSUD Wangaya Denpasar
periode Oktober 2017-Oktober 2018. Intisari Sains Medis [Internet]. 2019
Aug 1 [cited 2022 May 7];10(2). Available from:
https://isainsmedis.id/index.php/ism/article/view/414
26. Silvia E, Eksa DR, Panongsih RN, Dewi S. Hubungan Indeks Massa Tubuh
(IMT) Dengan Angka Kejadian Dermatitis Seboroik Di Poliklinik Kulit
Dankelamin Rsud Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung Tahun 2019. J
Med Malahayati. 2021 Oct 6;4(3):217–25.
27. Abulnaja KO. Changes in the hormone and lipid profile of obese adolescent
Saudi females with acne vulgaris. Braz J Med Biol Res. 2009
Jun;42(6):501–5.
28. Lausarina, Ririn, Satya Wydya Yenny, dan Ennesta Asri. Hubungan
Frekuensi Kekambuhan Dermatitis Seboroik dengan Kualitas Hidup pada
Pasien di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal
Kesehatan Andalas 8.1 (2019): 50-58.
43
Universitas Tarumanagara