Anda di halaman 1dari 43

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dermatitis seboroik merupakan sebuah penyakit inflamatorik pada kulit yang
ditandai oleh morfologi papulo skuamosa pada area yang kaya akan kelenjar
sebasea, terutama wajah, kulit kepala, dan lipatan tubuh.1 Sebagai sebuah penyakit
kulit, kondisi ini umumnya tidak secara langsung menyebabkan kesakitan maupun
kematian pada penderitanya. Namun, deformitas fisik yang ditimbulkan oleh
penyakit ini dapat menimbulkan dampak negatif yang cukup signifikan bagi
penderitanya, seperti rasa tidak nyaman bagi orang disekitar penderita yang bahkan
dapat menyebabkan reaksi penolakan sosial, membuat penderita menghindari
kontak sosial, merasa cemas, hingga menyebabkan ide bunuh diri bagi
penderitanya. Sebagai kondisi dengan dampak negatif yang cukup signifikan dalam
kehidupan sehari-hari, kondisi ini juga perlu menjadi perhatian mengingat tingkat
kejadiannya yang cukup signifikan.2 Prevalensi dermatitis seboroik di seluruh dunia
diperkirakan sekitar 5% dan dapat mengenai semua etnis di semua wilayah di
seluruh dunia.1 Pada benua Asia, prevalensi dermatitis seboroik diperkirakan
berkisar antara 1-5% dari populasi dewasa. Prevalensi dermatitis seboroik memiliki
variasi yang cukup luas di antara kota dan negara yang berbeda, dimana prevalensi
terendah dilaporkan di Korea Selatan sebesar 2,1% dan prevalensi tertinggi
dilaporkan di Indonesia sebesar 26,5%.3,4 Selain itu, dalam sebuah data yang
mengumpulkan seluruh kasus di poliklinik kulit dan kelamin di berbagai rumah
sakit (RS) di Indonesia pada tahun 2013-2015, didapatkan bahwa proporsi
dermatitis seboroik berkisar antara 0,99%-5,8%.3
Sebagai penyakit yang memiliki dampak dan prevalensi yang cukup
signifikan, upaya untuk memahami faktor-faktor yang mungkin memiliki
keterkaitan dengan dermatitis seboroik menjadi suatu hal yang cukup penting
sebagai upaya untuk menentukan strategi dalam menurunkan prevalensi dan juga
tingkat keparahan dari kondisi tersebut. Beberapa faktor risiko dari dermatitis
seboroik termasuk usia, jenis kelamin, peningkatan aktivitas kelenjar sebasea, iklim
yang dingin dan kering, infeksi human immunodeficiency virus/acquired
immunodeficiency syndrome (HIV/AIDS), penyakit neurologis seperti

1
Universitas Tarumanagara
parkinsonisme, serta pajanan psoralen ultraviolet light A (PUVA).1,5 Selain itu
terdapat sebuah penelitian yang menunjukkan bahwa sindrom metabolik, sebuah
sindrom yang salah satunya terkait dengan obesitas, mungkin meningkatkan risiko
dermatitis seboroik.5
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Silvia et al.,
(2020) menyebutkan bahwa semakin tinggi nilai Indeks Massa Tubuh (IMT),
semakin tinggi pula angka kejadian dermatitis seboroik. Hasil uji sperman
diperoleh p=0,001 (p<0,05) dengan nilai r=0,282. Hal ini berarti ada hubungan
yang signifikan antara IMT dengan kejadian dermatitis seboroik.26
Etiologi pada kejadian dermatitis seboroik dikaitkan dengan sekresi
kelenjar sebum. Produksi kelenjar sebum yang berlebih mempunyai kaitan dengan
dermatitis seboroik. Metabolisme lipid sistemik dapat berperan dalam timbulnya
reaksi peradangan pada dermatitis seboroik. Pada penderita obesitas, aktivasi
kelenjar sebasea akan mengalami peningkatan sehingga terjadi produksi sebum
yang berlebih. Sebum yang berlebihan tersebut dapat dicerna oleh jamur
Malassezia spp pada kulit sehingga menghasilkan asam lemak tidak jenuh yang
dapat merusak lapisan kulit, terjadi hiperproliferasi, dan kembali meningkatkan
sekresi sebum.26
Faktor lain yang juga menyebabkan dermatitis seboroik adalah makanan.
Makanan tinggi lemak yang sering dikaitkan dengan obesitas lebih beresiko terkena
dermatitis seboroik. Parameter yang sering digunakan untuk menentukkan
seseorang obesitas adalah menggunakan Indeks Masa Tubuh (IMT).26
Hubungan antara obesitas dan dermatitis seboroik, mungkin terkait dengan
peningkatan produksi sebum terkait dengan peningkatan proporsi lemak tubuh. 6
Namun, hubungan antara keduanya masih belum terbukti dan juga belum banyak
diteliti, terutama yang menggunakan indeks massa tubuh sebagai indikatornya.
Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk meneliti hubungan antara indeks
massa tubuh dengan angka kejadian dermatitis seboroik pada populasi dewasa,
yang dalam hal ini merupakan mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas
Tarumanagara Angkatan 2020.

2
Universitas Tarumanagara
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Pernyataan Masalah
Belum diketahuinya hubungan antara indeks massa tubuh dengan angka
kejadian dermatitis seboroik pada mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Tarumanagara Angkatan 2020.
1.2.2 Pertanyaan Masalah
1. Bagaimana proporsi indeks massa tubuh mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Tarumanagara Angkatan 2020?
2. Berapa angka kejadian dermatitis seboroik pada mahasiswa Fakultas
Kedokteran Universitas Tarumanagara Angkatan 2020?
3. Apakah terdapat hubungan antara indeks massa tubuh dengan angka kejadian
dermatitis seboroik pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas
Tarumanagara Angkatan 2020?

1.3 Hipotesis Penelitian


Terdapat hubungan antara indeks massa tubuh dengan angka kejadian
dermatitis seboroik pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas
Tarumanagara Angkatan 2020.

1.4 Tujuan Penelitian


1.4.1 Tujuan Umum
Untuk menurunkan angka kejadian dermatitis seboroik.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui proporsi indeks massa tubuh mahasiswa Fakultas
Kedokteran Universitas Tarumanagara Angkatan 2020.
2. Mengetahui proporsi dermatitis seboroik pada mahasiswa Fakultas
Kedokteran Universitas Tarumanagara Angkatan 2020.
3. Mengetahui hubungan antara indeks massa tubuh dengan angka kejadian
dermatitis seboroik pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas
Tarumanagara Angkatan 2020.

3
Universitas Tarumanagara
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat Bagi Responden
Memberikan gambaran mengenai dampak dari status gizi, khususnya terkait
dengan kondisi kulit seperti dermatitis seboroik.
1.5.2 Manfaat Bagi Instansi Pendidikan
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk menjadi dasar
penelitian selanjutnya, khususnya yang terkait dengan pengobatan dermatitis
seboroik.
1.5.3 Manfaat Bagi Peneliti
Menambah pengalaman meneliti dalam bidang pendidikan kedokteran dan
mengetahui hubungan antara indeks massa tubuh dengan kejadian dermatitis
seboroik

4
Universitas Tarumanagara
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dermatitis Seboroik

2.1.1 Definisi

Dermatitis seboroik merupakan sebuah penyakit inflamatorik pada kulit yang


ditandai oleh lesi papulo skuamosa. Kondisi yang dapat mengenai anak dan dewasa
ini memiliki predileksi pada area dengan jumlah kelenjar sebasea yang banyak
seperti wajah, kulit kepala, tubuh bagian atas, dan lipatan tubuh (inguinal, infra
mamae, dan aksila). Tingkat keparahan dari dermatitis seboroik dapat bervariasi
dari bentuk yang relatif ringan seperti ketombe hingga yang berat seperti
eritroderma.1,7,8

2.1.2 Epidemiologi

Perkiraan yang akurat dari prevalensi dermatitis seboroik cukup terbatas akibat
tidak adanya kriteria diagnosis yang tervalidasi. Namun sebagai salah satu kelainan
kulit yang umum terjadi,9 prevalensi dermatitis seboroik pada populasi umumnya
bervariasi antara 2,35% hingga 11,3% bergantung dari penelitian, dengan rata-rata
prevalensi di seluruh dunia diperkirakan sekitar 5%.1 Pada Benua Asia, prevalensi
dermatitis seboroik diperkirakan berkisar antara 1-5% dari populasi dewasa.
Prevalensi dermatitis seboroik memiliki variasi yang cukup luas di antara kota dan
negara yang berbeda, dimana prevalensi terendah dilaporkan di Korea Selatan
sebesar 2,1% dan prevalensi tertinggi dilaporkan di Indonesia sebesar 26,5%.3,4
Selain itu, proporsi dermatitis seboroik berkisar antara 0,99%-5,8% didapatkan
dalam sebuah data yang mengumpulkan seluruh kasus di poli kulit dan kelamin di
berbagai RS di Indonesia pada tahun 2013-2015.3

Dermatitis seboroik dapat ditemukan pada individu dari berbagai usia,


selain itu terdapat beberapa perbedaan dari perjalanan penyakit dan gejala klinis
yang dapat ditemukan dari kelompok usia yang berbeda. Pada pasien remaja dan
dewasa muda, dimana aktivitas kelenjar sebasea meningkat akibat pengaruh
hormonal, dermatitis seboroik cenderung menunjukkan perjalanan penyakit yang
kronis dan rekuren. Varian klinis dermatitis seboroik sicca yang biasanya nampak

5
Universitas Tarumanagara
sebagai ketombe, merupakan salah satu jenis yang paling sering dijumpai, terutama
pada usia remaja ke atas. Insidensi dermatitis seboroik juga meningkat pada pasien
usia 50 tahun ke atas. Dermatitis seboroik juga dapat mengenai bayi dengan puncak
insidensi pada usia 3 bulan. Dermatitis seboroik pada bayi cenderung lebih sering
mengenai kulit kepala, membuat gambaran klinis khas yang disebut “cradle cap”
dan umumnya memiliki perjalanan penyakit yang self-limiting. Predominansi laki-
laki ditemukan pada semua usia tanpa adanya predileksi etnis maupun wilayah.
Terdapat beberapa laporan mengenai dampak perubahan musim dan iklim,
terutama pada wilayah-wilayah empat musim, dimana kondisi ini dilaporkan lebih
sering dan lebih berat pada iklim dingin dan kering dan sebaliknya. Pajanan
matahari dilaporkan mengurangi kejadian dan keparahan dari dermatitis seboroik,
namun beberapa kasus dilaporkan terinduksi oleh pajanan terapi psoralen
ultraviolet light A (PUVA). Pasien dengan kondisi imunosupresi seperti HIV/AIDS
juga dilaporkan memiliki angka kejadian dermatitis seboroik yang lebih tinggi
daripada populasi normal.4,7

2.1.3 Etiopatogenesis

Malassezia furfur (Pityrosporum ovale) awalnya dicurigai sebagai faktor kausatif


dari dermatitis seboroik, ketika kondisi tersebut pertama kali dideskripsikan pada
tahun 1897. Klasifikasi penyakit dari dermatitis seboroik pun kemudian menjadi
perdebatan umum selama bertahun-tahun, kemudian dengan pertimbangan utama
menitikberatkan pada disfungsi kelenjar sebasea dan tingginya jumlah Malassezia
furfur yang ditemukan pada skuama pasien dengan dermatitis seboroik.
Selanjutnya, pada tahun 1984 muncul bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa terapi
antifungal seperti ketokonazol dapat mensupresi aktivitas penyakit dari dermatitis
seboroik. Temuan tersebut kemudian dikembangkan oleh penelitian-penelitian
selanjutnya.10 Meski begitu, hingga saat ini etiologi dari dermatitis seboroik masih
belum sepenuhnya dipahami. Terdapat beberapa faktor, baik endogen maupun
eksogen yang diduga meningkatkan risiko terjadinya dermatitis seboroik. Teori
yang ada mencakup peranan kelenjar sebasea, gangguan imunologis, penyakit
neurologis, kolonisasi jamur Malassezia, pengaruh kelembaban lingkungan,
perubahan cuaca, dan juga trauma.7

6
Universitas Tarumanagara
Adanya peranan dari kelenjar sebasea, diasumsikan berdasarkan distribusi
lesi dermatitis seboroik pada daerah yang kaya akan kelenjar sebasea. Pengaruh
hormonal terkait dengan aktivitas kelenjar sebasea juga diduga dapat menjelaskan
adanya pola penyakit dermatitis seboroik infantile yang umumnya mengalami
remisi spontan dalam beberapa bulan pertama kehidupan seiring menurunnya kadar
androgen dari ibu yang berakibat menurunnya aktivitas kelenjar sebasea, dan
kemudian pola kedua terjadi pada masa remaja dan dewasa, dimana aktivitas
kelenjar sebasea kembali meningkat akibat pengaruh hormonal. Namun, terdapat
beberapa pasien yang dilaporkan memiliki kulit berminyak yang mengalami
dermatitis seboroik, namun menunjukkan sekresi sebum yang normal pada laki-laki
dan menurun pada perempuan. Karena itu peranan dari kelenjar sebasea masih
menjadi perdebatan dan belum ada bukti yang konklusif.4

Status imunologis dan juga penyakit neurologis diduga merupakan


penyebab atau meningkatkan kerentanan pasien untuk mengalami dermatitis
seboroik. Hal ini didasarkan temuan bahwa pasien dengan penyakit HIV/AIDS,
riwayat transplantasi organ, malignansi, pankreatitis alkoholik kronik, hepatitis C,
dan juga penyakit parkinsonisme lebih banyak mengalami dermatitis seboroik
dibandingkan populasi umum. Pada penyakit parkinson, asumsi ini juga diperkuat
oleh temuan bahwa terapi levodopa terkadang menimbulkan efek perbaikan dari
lesi dermatitis seboroik yang ada. Kelainan ini sering juga dijumpai pada pasien
dengan gangguan paralisis saraf. Peranan dari kolonisasi jamur Malassezia dalam
menyebabkan dermatitis seboroik didukung oleh adanya peningkatan jumlah ragi
dari genus Malassezia dalam beberapa epidermis terkelupas pada ketombe ataupun
dermatitis seboroik, adanya peningkatan antibodi terhadap Malassezia pada pasien
dermatitis seboroik, serta oleh adanya efektivitas terapi antijamur pada kondisi ini.
Hubungan antara lesi dermatitis seboroik dan pajanan matahari serta perubahan
cuaca masih belum konklusif, tetapi mengarahkan kemungkinan bahwa terdapat
berbagai faktor eksogen lain yang dapat berkontribusi pada terbentuknya dermatitis
seboroik. Berikut penjabaran dari faktor-faktor yang terkait dengan etiopatogenesis
dermatitis seboroik:4,11

• Respon Imun dan Inflamasi

7
Universitas Tarumanagara
Salah satu gangguan imunitas yang berperan dalam patogenesis dermatitis
seboroik adalah kondisi imunosupresi. Beberapa penelitian menunjukkan
defek pada imunitas seluler seperti sel CD4+ dan CD8+ serta imunitas
humoral terkait dengan timbulnya erupsi dermatitis seboroik. Namun masih
terdapat beberapa temuan yang bertentangan. Pada sebuah penelitian, rasio
CD4+:CD8+ ditemukan normal, sedangkan penelitian lain menunjukkan
penurunan rasio CD4+:CD8+ pada 68% pasien. Terdapat laporan yang
menunjukkan penurunan jumlah sel B pada 28% pasien dan peningkatan
jumlah sel natural killer pada 48% pasien dermatitis seboroik. Selain
imunosupresi, peranan dari reaksi inflamasi yang berlebihan juga diduga
mendasari patogenesis dari dermatitis seboroik. Terdapat beberapa laporan
yang menunjukkan adanya peningkatan produksi antibodi imunoglobulin
(Ig)A dan IgG dalam serum pasien dengan dermatitis seboroik, selain itu
dilaporkan juga peningkatan antibodi terhadap Malassezia. Namun,
terdapat juga temuan yang melaporkan bahwa tidak terdapat perbedaan dari
jumlah total antibodi terhadap Malassezia pada pasien yang mengalami
dermatitis seboroik. Peningkatan sitokin inflamasi seperti interleukin (IL)-
1, IL-4, IL-12, tumor necrosis factor α (TNF-α), dan interferon (IFN) juga
dilaporkan terjadi pada kulit dengan lesi dermatitis seboroik dibandingkan
dengan kulit normal. Penelitian mengenai ekspresi gen menggunakan DNA
microarrays pada 15 pasien dengan ketombe menunjukkan adanya induksi
ekspresi gen inflamasi dan represi dari gen metabolisme lipid ketika
dibandingkan dengan individu yang tidak berketombe. Ekspresi gen
inflamasi yang diinduksi secara jelas diamati pada kulit pasien yang tidak
terlibat juga, menunjukkan adanya faktor predisposisi yang terkait dengan
peradangan pada pasien dengan dermatitis seboroik. Selanjutnya,
peradangan yang disebabkan oleh stres oksidatif melalui spesies oksigen
reaktif mungkin memiliki peran potensial dalam patogenesis dermatitis
seboroik.4
• Efek mikroba
Malassezia merupakan salah satu flora normal pada kulit manusia dan
terkait dengan banyak jenis kelainan kulit termasuk Pityriasis versicolor,

8
Universitas Tarumanagara
dermatitis atopik, folikulitis dan juga dermatitis seboroik. Peranan
Malassezia dalam patogenesis dermatitis seboroik dapat dijelaskan oleh
beberapa hipotesis. Salah satunya adalah metabolit dari jamur Malassezia
yang bereaksi terhadap trigliserida yang dilepaskan dari kelenjar sebasea
sehingga menyebabkan pelepasan mediator inflamasi. Hipotesis lainnya
adalah bahwa lapisan lipid dari jamur Malassezia menginduksi keratinosit
untuk memproduksi sitokin proinflamatorik, yang menyebabkan inflamasi
dan erupsi kulit. Meski begitu, bukti-bukti ilmiah yang ada masih
bertentangan dan belum dapat ditentukan korelasi yang pasti mengenai
patomekanisme Malassezia dalam menimbulkan lesi kulit pada dermatitis
seboroik. Beberapa bukti yang mendukung peranan Malassezia dalam
patogenesis dermatitis seboroik termasuk predominansi lesi dermatitis
seboroik yang memiliki keterkaitan dengan distribusi kelenjar sebasea,
dimana diketahui bahwa Malassezia memiliki kecenderungan pada area
tersebut. Efek terapeutik obat antijamur pada dermatitis seboroik juga
memperkuat dugaan yang ada mengenai hubungan antara Malassezia dan
dermatitis seboroik. Selain itu, Pityriasis versicolor dan Pityrosporum
folliculitis, yang diinduksi oleh Malassezia, biasanya disertai dengan
dermatitis seboroik. Namun, tidak banyak perbedaan dalam jumlah
Malassezia antara pasien dermatitis seboroik dengan individu yang sehat.
Selain itu, bentuk patogen dari Malassezia berupa miselium yang diamati
pada Pityriasis versicolor belum terdeteksi pada dermatitis seboroik. Fakta-
fakta ini mengusulkan peran Malassezia dalam menyebabkan dermatitis
seboroik cukup kompleks. Peran tersebut diduga akibat aktivitas enzim
lipase Malassezia yang kemudian menganggu keseimbangan lipid pada
kulit, merusak barrier pelindung kulit, serta menyebabkan iritasi dan
menginduksi reaksi inflamasi.9
• Faktor lipid dan kerentanan pejamu
Terdapat beberapa temuan yang mengarah pada perubahan lipid permukaan
kulit pasien dengan dermatitis seboroik maupun ketombe. Asam lemak
bebas seperti asam oleat yang terbentuk akibat lipase M. globosa, dapat
menyebabkan iritasi dan memediasi pengelupasan kulit seperti ketombe

9
Universitas Tarumanagara
pada individu yang rentan. Kerentanan individu diduga terkait dengan
disrupsi barrier epidermis yang memungkinkan penetrasi dari zat-zat
metabolit yang dapat mengiritasi kulit. Kerusakan kulit tersebut juga dapat
membantu proses Malassezia untuk mencapai reseptor aril hidrokarbon
pada lapisan granular dan spinosus epidermis.
• Hiperproliferasi epidermis
Adanya peningkatan dari kecepatan pergantian sel epidermis dapat
ditemukan pada kondisi seperti dermatitis seboroik dan juga psoriasis.
Peningkatan kecepatan tersebut dapat mengindikasikan adanya kondisi
hiperproliferasi epidermis pada dermatitis seboroik. Perubahan epidermis
ini mungkin berhubungan dengan peningkatan aktivitas calmodulin. Selain
itu, dermatitis seboroik memiliki kemiripan dengan psoriasis dalam banyak
aspek, baik secara klinis maupun histologis, dan terkadang sulit untuk
membedakan kedua penyakit tersebut bahkan setelah biopsi kulit. Ada
laporan kasus bahwa keratolitik dan obat antiinflamasi berhasil dalam
pengobatan pasien dengan dermatitis seboroik.
• Abnormalitas neurotransmitter
Gangguan dari neurotransmitter menjadi salah satu hipotesis yang
mendasari keterkaitan dermatitis seboroik dengan kondisi-kondisi
neurologis seperti parkinsonisme, gangguan mood, penyakit alzheimer,
siringomielia, epilepsi, infark serebrovaskular, post ensefalitis, retardasi
mental, poliomielitis, quadriplegia, cedera saraf trigeminal, dan
alkoholisme. Hipotesis ini dinilai lebih dapat menjelaskan keterkaitan
dermatitis seboroik dengan kelainan neurologis, mengingat lokasi dari lesi
dan juga keparahan dari dermatitis seboroik tidak berkorelasi secara
langsung dengan lokasi kelainan neurologis yang terjadi. Salah satu temuan
yang mendukung teori ini, termasuk peningkatan kadar melanocyte
stimulating hormone pada penyakit parkinson yang mungkin diinduksi
perubahan neurotransmitter. Selain gangguan neurotransmitter, adanya
immobilitas, berkurangnya paparan sinar matahari, dan status kebersihan
pasien yang berkurang pada pasien dengan kondisi-kondisi neurologis juga

10
Universitas Tarumanagara
mungkin turut berpengaruh pada meningkatnya risiko terjadinya dermatitis
seboroik.
• Faktor lainnya
Kelembaban rendah dan suhu dingin memperburuk dermatitis seboroik,
khususnya pada musim dingin dan juga awal dari musim semi. Trauma
wajah (misalnya akibat garukan) dan terapi PUVA juga merupakan faktor
yang memperberat kondisi ini. Beberapa obat dapat menyebabkan erupsi
mirip dermatitis seboroik, termasuk griseofulvin, cimetidine, lithium,
methyldopa, arsenic, gold, auranofin, aurothioglucose, buspirone,
chlorpromazine, ethionamide, haloperidol, phenothiazine, stanozolol,
thiothixene, dan methoxsalen. Pasien dengan defisiensi zinc atau defisiensi
biotin juga memiliki erupsi dermatitis yang mirip seperti dermatitis
seboroik, tetapi erupsi kulit tidak merespons suplementasi seng atau biotin.
Selain itu terdapat bentuk familial dari dermatitis seboroik yang dilaporkan
dalam keluarga Yahudi Israel keturunan Maroko, yang disebabkan oleh
mutasi genetik dominan autosomal (ZNF750) yang mengkode zinc finger
protein (C2H2).4

2.1.4 Manifestasi Klinis

Dermatitis seboroik umumnya merupakan kondisi yang kronis, persisten, dan


berulang. Regio kulit yang sering kali mengalami lesi dermatitis seboroik termasuk
daerah berambut dari kulit kepala; wajah: alis, lipat nasolabial, side bum; aurikula
dan juga kanalis akustikus eksternus; bagian sentro-kaudal trunkus dan punggung,
lipatan gluteus, inguinal, genital, dan aksila. Lesi pada kulit umumnya memiliki
distribusi yang relatif simetris. Lesi berupa skuama berminyak dengan makula
eritematosa merupakan temuan yang cukup sering ditemukan terutama disekitar
kulit kepala dan wajah. Ketombe merupakan tanda awal manifestasi dermatitis
seboroik, terutama pada daerah rambut. Dapat ditemukan eritema perifolikular
yang pada tahap lanjut dapat berubah menjadi plak eritematosa berkonfluensi,
bahkan dapat membentuk rangkaian plak di sepanjang batas rambut frontal dan
disebut sebagai korona seboroika. Setelah berlangsung dalam durasi yang cukup

11
Universitas Tarumanagara
lama, dapat dijumpai kerontokan rambut pada daerah yang menunjukkan lesi
dermatitis seboroik. Pada liang telinga, lesi dapat ditemukan berupa otitis eksterna.7

Lesi berbentuk seperti bunga “petaloid” atau lengkungan “arcuate” dengan


skuama halus merah muda ketika mengenai daerah dada, punggung, atau umbilicus
(gambar 2.1). Sementara itu, pada daerah intertriginosa seperti lipatan inguinal dan
aksila, lesi biasanya memiliki sedikit atau tanpa skuama, yang membuatnya sulit
untuk dibedakan dengan intertrigo. Variasi lainnya dari gambaran klinis diatas juga
cukup umum ditemukan. Keterlibatan kulit kepala lebih sering terjadi pada pasien
laki-laki, durasi penyakit yang lama, dan pada pasien dengan riwayat akne. Keluhan
yang dialami pasien bervariasi dari eritema dan pruritus ringan hingga skuama tebal
berminyak, dengan sensasi terbakar atau kesemutan/tersengat yang sangat
mengganggu. Beberapa pasien juga dapat mengalami folliculitis pityrosporum dan
blepharitis seboroik. folliculitis pityrosporum biasanya bermanifestasi sebagai
erupsi papulo pustular difus dengan eritema perifer pada batang tubuh dan lebih
sering terjadi pada pasien dengan gangguan sistem imun. Meskipun jarang, kondisi
yang sangat berat berupa eritroderma dapat terjadi akibat dermatitis seboroik. Obat-
obatan seperti: buspiron, klorpromazin, simetidine, etionamid, fluorourasil, gold,
griseofulvin, haloperidol, interferon alfa, litium, metoksalen, metildopa,
fenotiazine, psoralen dapat memicu timbulnya erupsi dari lesi dermatitis
seboroik.4,7,11

12
Universitas Tarumanagara
Gambar 2.1 Dermatitis seboroik pada dada dan telinga.4

Gambar 2.2 Dermatitis seboroik pada wajah.10

13
Universitas Tarumanagara
Varian infantile dari dermatitis seboroik memiliki presentasi yang berbeda
dengan dermatitis seboroik yang terjadi pada usia yang lebih tua. Presentasi klinis
dari varian ini biasanya mulai timbul sekitar satu minggu setelah kelahiran dan
dapat menetap selama beberapa bulan. Erupsi kulit non pruritus umumnya
mengenai area frontal atau vertex (atau keduanya) dari kulit kepala dan area tengah
wajah dengan skuama kering, kuning, berminyak, tebal, melekat, dan dapat disertai
ruam eritematosa pada lipatan intertriginosa batang tubuh dan ekstremitas.
Keterlibatan luas dari kulit kepala, biasa disebut "cradle cap" (gambar 2.3) adalah
salah satu gambaran khas yang diamati pada varian infantile dari dermatitis
seboroik. Superinfeksi oleh mikroorganisme lain seperti Candida spp atau bakteri
(misalnya Streptococcus group A) dapat terjadi. Erupsi diseminata dengan papul
berskuama dengan gambaran seperti psoriasis (reaksi “psoriasiform id”) dapat
terjadi pada batang tubuh, bagian proksimal ekstremitas, dan wajah yang kadang
terkait dengan dermatitis seboroik yang berat ataupun yang mengalami superinfeksi
khususnya pada area popok. Varian infantile biasanya sembuh secara spontan
dalam 6 sampai 12 bulan pertama kehidupan.7,10

Gambar 2.3 Gambaran “cradle cap” pada dermatitis seboroik infantile.10

2.1.5 Diagnosis

14
Universitas Tarumanagara
Diagnosis dari dermatitis seboroik ditegakkan berdasarkan temuan klinis dari
morfologi lesi dan pola yang khas. Pemeriksaan penunjang tidak selalu diperlukan
dan umumnya hanya dilakukan untuk mengeksklusi adanya diagnosis banding
ketika terdapat keraguan. Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
termasuk pemeriksaan kerokan kulit dengan KOH dan biopsi kulit. 4,8,11 Pada
pemeriksaan biopsi kulit, dermatitis seboroik akut dapat menunjukkan adanya
spongiosis dengan infiltrat perivaskular dan perifolikuler superfisial yang
didominasi oleh limfosit. Seiring waktu, lesi yang lebih kronis dapat menunjukkan
gambaran yang serupa dengan psoriasis, tetapi tanpa disertai adanya exocytosis
neutrofil, mikroabses Munro, dan juga lapisan parakeratosis yang konfluen.10

2.1.6 Diagnosis Banding

Terdapat beberapa penyakit yang dapat dipertimbangkan dalam diagnosis banding


dari dermatitis seboroik, termasuk psoriasis, dermatitis atopic, dermatitis kontak
iritan, dermatofitosis, dan rosacea. Psoriasis umumnya menunjukkan skuama yang
lebih tebal dan lebih cenderung mengenai daerah ekstensor dibandingkan dengan
dermatitis seboroik. Selain itu gambaran khas psoriasis seperti ausfitz sign,
fenomena Koebner, dan fenomena tetesan lilin juga dapat membantu membedakan
kondisi ini dari dermatitis seboroik. Adanya stigmata atopi, riwayat keluarga atopi
mengarahkan kecendrungan ke dermatitis atopic. Sementara dermatitis kontak
iritan dapat dikenali berdasarkan adanya riwayat kontak dengan zat yang sifatnya
iritatif, misalnya komponen tertentu dari sabun pencuci wajah (contoh asam alfa
hidroksi). Riwayat kelembaban kulit, perluasan lesi, dan penyembuhan sentral
cukup mengarah pada dermatofitosis. Bila terdapat keraguan, kerokan kulit dengan
KOH sudah cukup untuk mengkonfirmasi atau mengeksklusi dermatofitosis dari
diagnosis banding dermatitis seboroik. Beberapa diagnosis banding berdasarkan
usia dan lokasi dari lesi dapat termasuk:7,8

1. Pada bayi: dermatitis atopik, skabies, psoriasis.


2. Pada anak dan dewasa: psoriasis, dermatitis atopik, dermatitis kontak,
impetigo, tinea.
3. Di lipatan: dermatitis intertriginosa, kandidosis kutis harus disingkirkan:
histiositosis sel Langerhans (pada bayi).7

15
Universitas Tarumanagara
2.1.7 Tatalaksana

Tujuan dari tatalaksana dermatitis seboroik, khususnya pada onset yang terjadi di
usia remaja dan dewasa, bukanlah untuk menyembuhkan penyakit secara
permanen, melainkan hanya untuk mengendalikan gejala yang ada pada saat
tersebut dan menurunkan risiko kekambuhan penyakit. Mengingat perjalanan
penyakit yang cenderung kronis dan rekuren. Terdapat beberapa alur yang dapat
digunakan dalam penatalaksanaan dermatitis seboroik (gambar 2.4 dan 2.5)
Beberapa tatalaksana yang dilakukan antara lain:7,8

1. Sampo dengan kandungan zat anti Malassezia, seperti: selenium sulfida,


zinc pirithione, ketokonazol, tar dan solusio terbinafine 1%.
2. Sabun lunak dapat digunakan untuk mencuci wajah secara berulang agar
dapat menghilangkan skuama tebal serta menurunkan jumlah sebum
pada kulit. Krim antimikotik seperti krim imidazol dan turunannya juga
dapat digunakan pada area lesi.
3. Krim dengan kandungan asam salisilat atau sulfur juga dapat diberikan
untuk melunakkan skuama.
4. Kortikosteroid topikal potensi sedang, immunosupresan topikal
(takrolimus dan pimekrolimus) terutama untuk daerah wajah sebagai
pengganti kortikosteroid topikal.
5. Metronidazol topikal, siklopiroksolamin, talkasitol, benzoil peroksida
dan salep litium suksinat 5%.
6. Terapi sinar ultraviolet-B (UVB) atau pemberian itrakonazole
100mg/hari per oral selama 21 hari dapat dipertimbangkan untuk kasus
yang tidak membaik dengan terapi konvensional.
7. Kortikosteroid sistemik dengan dosis tinggi seperti prednisolon 30
mg/hari dapat dipertimbangkan pada kasus yang berat dan tidak berespon
terapi, untuk memberikan respon perbaikan yang cepat.7

16
Universitas Tarumanagara
Gambar 2.4 Algoritma tatalaksana dermatitis seboroik pada daerah selain
kulit kepala berdasarkan derajat keparahan.8

17
Universitas Tarumanagara
Gambar 2.5 Algoritma tatalaksana dermatitis seboroik pada daerah kulit
kepala berdasarkan derajat keparahan.8

2.2 Indeks Massa Tubuh (IMT)

2.2.1 Definisi

Indeks massa tubuh (IMT) adalah salah satu pengukuran antropometri yang
dinyatakan dalam kilogram berat badan per meter kuadrat tinggi badan (kg/m2) dari
individu yang diukur. Indeks massa tubuh merupakan salah satu indikator utama
dari pengukuran status gizi, terutama pada remaja dan orang dewasa karena
pengukuran ini memiliki korelasi yang baik dengan komposisi lemak tubuh, dapat
dilakukan secara konsisten pada berbagai populasi, dan telah banyak diteliti serta
memiliki standar yang baku. Kemampuan IMT untuk secara tidak langsung
memperkirakan komposisi lemak dalam tubuh dan tersedianya data statistik dari
penelitian-penelitian sebelumnya untuk menentukan titik potong dari nilai IMT
yang dianggap bermakna untuk memprediksi adanya peningkatan morbiditas dan

18
Universitas Tarumanagara
mortalitas yang terkait dengan peningkatan lemak dalam tubuh merupakan salah
satu keunggulan pengukuran IMT dalam penilaian obesitas.12,13

2.2.2 Cara Pengukuran

Cara pengukuran dari IMT dimulai dari melakukan pengukuran untuk berat badan
(BB) dan juga tinggi badan (TB). Pengukuran berat badan dapat dilakukan
menggunakan timbangan. Terdapat berbagai jenis timbangan, mulai dari timbangan
dacin hingga timbangan digital. Pada prinsipnya, pengukuran berat badan untuk
remaja dan orang dewasa umumnya dilakukan dalam posisi berdiri tanpa dibantu
diatas timbangan. Selain itu, idealnya pengukuran dilakukan dalam kondisi
individu menggunakan baju seminimal/seringan mungkin dan telah melepaskan
benda-benda yang berpotensi menambah dari berat yang diukur, misalnya sepatu
dan ikat pinggang. Pencatatan berat badan umumnya dilakukan dengan ketelitian
sampai 0,1 kg.

Sementara itu, pengukuran tinggi badan dapat dilakukan menggunakan


stadiometer yang dapat digerakkan secara vertical dan memiliki penahan kepala
bersudut 90o terhadap stadiometer. Pengukuran dilakukan dalam posisi berdiri
tegak, kedua kaki menempel, tumit, bokong, dan belakang kepala menyentuh
stadiometer, dan pandangan menatap ke depan sejajar dengan bidang datar
Frankfort tanpa menggunakan alas kaki. Pengukuran tinggi badan dilakukan
dengan ketelitian sampai 0,1 cm. Setelah memperoleh data berat badan dan tinggi
badan, yang perlu dilakukan adalah mengonversi satuan tinggi badan dari
centimeter (cm) menjadi meter (m) dan kemudian membagi berat badan dengan
kuadrat dari tinggi badan yang telah diubah satuannya ke dalam meter.14

2.2.3 Klasifikasi

Terdapat beberapa klasifikasi IMT yang berbeda. Alasan untuk hal ini adalah
karena adanya perbedaan antropometri yang ditemukan bermakna secara statistik
antar populasi. Klasifikasi WHO yang ditujukan untuk populasi seluruh dunia tidak
sepenuhnya sesuai pada beberapa grup etnis. Misalnya pada orang Asia, yang dapat
memiliki jumlah lemak yang lebih banyak daripada orang Eropa dengan nilai IMT

19
Universitas Tarumanagara
yang sama. Adanya distribusi lemak yang cenderung lebih sentral pada orang Asia
dibandingkan orang Eropa juga mendukung hal tersebut. Selain itu, morbiditas dan
mortalitas terkait dengan obesitas juga terjadi pada IMT dan lingkar pinggang yang
lebih rendah pada orang Asia. Sehingga, disimpulkan bahwa orang Asia cenderung
mengalami akumulasi lemak intra abdominal tanpa mengalami obesitas yang
generalisata. Tabel 2.1 dan 2.2 menunjukkan klasifikasi oleh WHO internasional,
Asia-Pasifik, dan Indonesia. 12,13

Tabel 2.1. Klasifikasi WHO Internasional untuk status gizi pada orang dewasa
berdasarkan IMT.12

Klasifikasi IMT (kg/m2)

WHO Internasional WHO Asia-Pasifik

Underweight <18,5 <18,5

Normal 18,5 – 24,9 18,5 – 22,9

Overweight: ≥25 ≥23

Overweight 25 – 29,9 23 – 24,9

Obese I 30 – 34,9 25 – 29,9

Obese II 35 – 39,9 ≥ 30

Obese III ≥40

Tabel 2.2. Kategori ambang IMT pada orang dewasa untuk Indonesia.13

Kategori IMT

Kurus Kekurangan berat badan tingkat berat < 17,0

Kekurangan berat badan tingkat ringan 17,0 – 18,4

Normal 18,5 – 25,0

Gemuk Kelebihan berat badan tingkat ringan (overweight) 25,1 – 27,0

Kelebihan berat badan tingkat berat (obese) > 27,0

20
Universitas Tarumanagara
2.3 Hubungan antara IMT dan Dermatitis Seboroik

Hubungan antara IMT dan dermatitis seboroik masih belum terbukti dan juga
belum banyak diteliti. Berdasarkan teori yang ada, setidaknya terdapat dua alasan
yang dapat menunjukkan IMT dan dermatitis seboroik mungkin memiliki
hubungan. Pertama, indeks massa tubuh merupakan salah satu pengukuran yang
dapat merepresentasikan proporsi lemak tubuh.12,13 Sementara proporsi lemak
tubuh dikaitkan dengan aktivitas kelenjar sebasea, dimana penderita obesitas
cenderung memiliki produksi sebum berlebih.14 Produksi sebum berlebih kemudian
dapat dikaitkan dengan meningkatnya risiko dermatitis seboroik. (Fitzpatrick)
Kedua, obesitas dikaitkan dengan peningkatan berbagai sitokin proinflamasi seperti
CRP, interleukin 6 (IL-6), tumor necrosis factor α (TNF- α). Terdapat sejumlah
bukti yang menunjukkan adanya korelasi antara sindrom metabolik, yang salah satu
komponen utamanya adalah obesitas, dengan berbagai penyakit inflamatorik. Salah
satu penyakit inflamatorik pada kulit yang telah diketahui memiliki korelasi
bermakna dengan sindrom metabolik adalah psoriasis. Sementara itu, psoriasis
merupakan salah satu kondisi yang memiliki banyak kesamaan dengan dermatitis
seboroik, mengingat keduanya merupakan kondisi inflamatorik kronis pada kulit,
memiliki temuan klinis dari lesi kulit yang terkadang sulit dibedakan, dan bahkan
temuan histopatologis keduanya seringkali serupa.6

21
Universitas Tarumanagara
2.4 Kerangka Teori

Kenaikan Indeks
Massa Tubuh

Obesitas

Peningkatan aktivitas Peningkatan


kelenjar sebasea inflamasi

Produksi Gangguan
sebum imunitas

Faktor Efek Abnormalitas Hiperproliferasi


lipid dan mikroba neurotransmitter epidermis
kerentanan (mis.
pejamu Malassezia)

Dermatitis
Seboroik

22
Universitas Tarumanagara
2.5 Kerangka Konsep

Faktor Perancu:
- Stres
- Genetik
- Personal Hygiene

Indeks Massa Dermatitis


Tubuh Seboroik

23
Universitas Tarumanagara
BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian


Penelitian ini adalah penelitian analitik observasional dengan desain studi cross
sectional.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian


3.2.1 Tempat Penelitian
Penelitian ini menggunakan kuesioner yang dibagikan secara daring.
3.2.2 Waktu Penelitian
Waktu pelaksanaan penelitian pada bulan Januari – April 2022.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian


3.3.1 Populasi
1. Populasi Target adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran.
2. Populasi Terjangkau adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran di Universitas
Tarumanagara Angkatan 2020.
3.3.2 Sampel Penelitian
Sampel penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas
Tarumanagara Angkatan 2020 yang sesuai kriteria inklusi dan eksklusi. Teknik
pengambilan sampel menggunakan simple random sampling.

3.4 Perkiraan Besar Sampel

[(𝑍𝛼√2𝑃𝑄) + 𝑍𝛽 √(𝑃1 𝑄1 + 𝑃2 𝑄2 )]2


𝑛1 = 𝑛2 =
(𝑃1 − 𝑃2 )2
Keterangan:
n = Besar sampel
𝑍𝛼 = Tingkat kemaknaan, α ditetapkan (1,96)
𝑍𝛽 = Power, β ditetapkan (0,842)
1
P = (𝑃1 + 𝑃2 )
2

Q = (1 − 𝑃)

24
Universitas Tarumanagara
𝑃1 = Proporsi efek standar (dari pustaka = 0,059)
𝑃2 = Proporsi efek yang diteliti (clinical judgement)
𝑃2 = (𝑃1 + 10% 𝑃1) atau (𝑃2 − 𝑃1 ) = 10%

(𝑃2 − 𝑃1 ) = 20% 𝑄 = (1 − 𝑃)
𝑃2 = 0,2 + 0,059 = 0,259 𝑄 = (1 − 0,159) = 0,841

1
𝑃 = 2 (𝑃1 + 𝑃2 ) 𝑄1 = (1 − 𝑃1 )
1
𝑃 = 2 (0,059 + 0,259) 𝑄1 = (1 − 0,059) = 0,941
1
𝑃 = 2 (0,318) = 0,159 𝑄2 = (1 − 0,259) = 0,741

𝑛1 = 𝑛2
[(1,96√2(0,159𝑥0,841)) + 0,842 √(0,059𝑥0,941) + (0,259𝑥0,741)]2
=
(0,059 − 0,259)2

[(1,96√0,267) + 0,842 √(0,055) + (0,191)]2


𝑛1 = 𝑛2 =
(−0,2)2
[(1,012) + 0,842 √0,246]2
𝑛1 = 𝑛2 =
0,04
[1,012 + 0,417]2
𝑛1 = 𝑛2 =
0,04
[1,429]2
𝑛1 = 𝑛2 =
0,04
2.042
𝑛1 = 𝑛2 = = 51,05 ≈ 51
0,04
𝑛 = 2(51) = 102

Sehingga, jumlah responden minimal yang dibutuhkan yaitu sebanyak 102 orang.

3.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi


3.5.1 Kriteria Inklusi

25
Universitas Tarumanagara
1. Terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas
Tarumanagara Angkatan 2020.
2. Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Angkatan 2020
yang bersedia menjadi responden.
3.5.2 Kriteria Eksklusi
1. Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Angkatan 2020
yang tidak bersedia menjadi responden.

3.6 Cara Kerja Penelitian


1. Alokasi Subyek
Pemilihan sampel pada penelitian ini akan menggunakan teknik probability
sampling jenis simple random sampling.
2. Pengukuran dan Intervetasi
Peneliti mencari responden yang bersedia menjadi sampel penelitian sesuai
dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Responden mengisi questioner BB dan
TB, dan dilakukan pemeriksaan fisik, dilanjutkan dengan pengolahan dan
analisis data untuk mengetahui hubungan antara IMT dengan kejadian
dermatitis seboroik.

3.7 Variabel Penelitian


Variabel bebas : Indeks Massa Tubuh (IMT)
Variabel tergantung : Dermatitis Seboroik

3.8 Definisi Operasional


Tabel 3.1 Definisi Operasional
Definisi
Cara Skala
Operasio Definisi Alat Ukur Hasil Ukur
Ukur Ukur
nal
Indeks Indeks Kuesioner Tabel Data 1. Kekuran
Massa massa BB dan Batas katagor gan berat
Tubuh tubuh TB. Ambang ik skala badan
(IMT) (IMT) Indeks ordinal. tingkat

26
Universitas Tarumanagara
adalah Massa berat :
salah satu Tubuh <17,0
pengukura (IMT) 2. Kekuran
n Kementeri gan berat
antropome an badan
tri yang Kesehatan tingkat
dinyataka Republik ringan :
n dalam Indonesia. 17,0 –
kilogram 18,4
berat 3. Normal :
badan per 18,5 –
meter 25,0
kuadrat 4. Kelebiha
tinggi n berat
badan badan
(kg/m2) tingkat
dari ringan
individu (overwei
yang ght) :
diukur. 25,1 –
27,0
5. Kelebiha
n berat
badan
tingkat
berat
(obese) :
>27,0.
Dermatitis Dermatitis Pemeriksa Pemeriksa Data Tidak Dermatitis
Seboroik seboroik an fisik. an katagor Seboroik,
merupaka dermatolo ik skala Dermatitis
n sebuah gi ordinal. Seboroik

27
Universitas Tarumanagara
penyakit
inflamator
ik pada
kulit yang
ditandai
oleh
morfologi
papulo
skuamosa
pada area
yang kaya
akan
kelenjar
sebasea,
terutama
wajah,
kulit
kepala,
dan lipatan
tubuh.

3.9 Instrumen Penelitian


Pengambilan data mengenai IMT menggunakan questioner BB dan TB.
Dikategorikan menjadi kekurangan berat badan tingkat berat, kekurangan berat
badan tingkat ringan, normal, kelebihan berat badan tingkat ringan (overweight),
dan kelebihan berat badan tingkat berat (obese). Pengambilan data mengenai
dermatitis seboroik menggunakan pemeriksaan fisik. Dikategorikan menjadi tidak
dermatitis seboroik dan dermatitis seboroik.

3.10 Pengumpulan Data


Data yang didapatkan adalah data primer yang diperoleh dengan pengambilan data
secara langsung dari pengisian kuesioner oleh responden.

28
Universitas Tarumanagara
3.11 Analisis Data
Uji Chi Square dan data yang diperoleh dianalisa menggunakan aplikasi SPSS
Ver.23 untuk Mac.

3.12 Alur Penelitian

Pembuatan proposal

Pengumpulan dan persetujuan proposal

Permohonan izin penelitian

Pengambilan data
- Pengisian informed consent
- Pengisian kuesioner
- Pemeriksaan fisik

Pengolahan dan analisis data

Penarikan kesimpulan

Pembuatan laporan skripsi

Gambar 3.1 Alur Penelitian

3.13 Jadwal Pelaksanaan


Tabel 3.2 Jadwal Pelaksanaan
Tahun 2021 Tahun 2022
Kegiatan
5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7
Penentuan topik
Studi literatur
Pembuatan proposal
Persetujuan proposal
Pengumpulan data

29
Universitas Tarumanagara
Pengolahan data
Pembuatan skripsi
Pengajuan skripsi
Pengumpulan skripsi
Sidang skripsi

30
Universitas Tarumanagara
BAB 4
HASIL PENELITIAN

4.1 Karakteristik Demografi


Pada hasil penyebaran kuesioner, didapatkan total responden penelitian adalah 113
responden yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Karakterisitik
demografi yang didapatkan dari penyebaran kuesioner diuraikan pada tabel 4.1
didapatkan, umur rata-rata responden adalah 19,42 tahun dengan umur termuda
adalah 18 tahun dan umur tertua adalah 22 tahun. Mayoritas responden pada
penelitian ini adalah perempuan dengan proporsi 71 responden (62,8%).
Pada pengukuran antopometri didapatkan rata-rata berat badan responden
adalah 64,12 Kg dan rata-rata tinggi badan responden adalah 163,41 cm. Pada hasil
perhitungan indeks massa tubuh didapatkan rata-ratanya adalah 23,84 kg/m2,
dengan hasil mayoritas responden berstatus gizi normal yaitu sebanyak 65
responden (57,5%).
Tabel 4.1 Karakteristik Demografi
Variabel Jumlah (%) Mean±SD Median (Min;Max)
N= 113
Umur - 19,42±0,843 19 (18;22)
Jenis Kelamin
Laki-laki 42 (37,2%)
Perempuan 71 (62,8%)
Berat Badan 64.12±16.32 54(37;120)
Tinggi Badan 163,41±8,35 156 (145;181)
Indeks Massa Tubuh 23,84±4,9 23,56 (16,44;36,89)
Status Gizi
Sangat Kurang 2 (1,8%)
Kurang 10 (8,8%)
Normal 65 (57,5%)
Overweight 12 (10,6%)
Obesitas 24 (21,2%)

4.2 Prevalensi Dermatitis Seboroik

31
Universitas Tarumanagara
Pada hasil sebaran kuesioner didapatkan sebanyak 61 responden (54,0%)
mengalami dermatitis seboroik. Pada responden yang mengalami dermatitis
seboroik didapatkan mayoritas sebanyak 78,69% mengalami dermatitis seboroik
selama 0-3 bulan, berdasarkan beratnya keluhan sebanyak 85,24% memiliki
keluhan yang ringan. Dari 61 responden yang mengalami dermatitis seboroik
sebanyak 51 responden (83,6%) memiliki keluhan gatal dan sebanyak 10 responden
(16,4%) memiliki keluhan panas. Sehingga, sebanyak 31 responden (50,8%)
memilki kecenderungan untuk menggaruk daerah yang memilliki dermatitis
seboroik.
Lokasi dermatitis seboroik tersering adalah pada kulit kepala, yaitu
sebanyak 41 responden (67,2%). Lokasi lainnya adalah pada daerah alis dan daerah
jenggot yaitu masing-masing sebanyak 10 dan 6 responden (16,39% dan 9,83%)
dan sisanya pada daerah lain seperti pipi, hidung, dan punggung. Sebanyak 96
responden (85,0%) mengaku tidak ada anggota keluarga yang mengalami
dermatitis seboroik.
Sementara itu sebanyak 36 responden (59,0%) membersihkan daerah yang
memiliki dermatitis seboroik sebanyak 1x/hari, sedangkan sisanya
membersihkannya 2-3x/hari. Mayoritas sebanyak 33 responden (54,09%)
membersihkannya dengan menggunakan sabun. Hanya sebanyak 12 responden
(19,6%) berkunjung ke tenaga ahli/dokter spesialis kulit dan kelamin.

Tabel 4.2 Prevalensi Penderita Dermatitis Seboroik


Variabel N %
Kejadian Dermatitis Seboroik
Ya 61 54,0%
Tidak 52 46,0%
Lama Keluhan
0-3 bulan 48 78,69%
4-6 bulan 5 8,2%
7-9 bulan 2 3,28%
9-12 bulan 6 9,83%
Derajat keparahan

32
Universitas Tarumanagara
Ringan 52 85,24%
Sedang 8 13,11%
Berat 1 1,64%
Keluhan yang dialami
Gatal 51 83,6%
Panas 10 16,4%
Kecenderungan untuk menggaruk
Ya 31 50,8%
Tidak 30 49,2%
Lokasi Dermatitis Seboroik
Kulit kepala 41 67,21%
Alis 10 16,39%
Daerah jenggot 6 9,83%
Pipi 1 1,64%
Hidung 2 3,28%
Punggung 1 1,64%
Terdapat anggota keluarga yang
mengalami hal serupa
Ya 17 15,0%
Tidak 96 85,0%
Frekuensi membersihkan daerah yang
memiliki dermatitis seboroik
1x/hari 36 59,0%
2x/hari 3 4,9%
3x/hari 22 36,1%
Jenis alat yang digunakan untuk
membersihkan diri
Sabun 33 54,09%
Pembersih lainnya 28 45,91%
Kunjungan ke tenaga ahli
Ya 12 19,6%
Tidak 49 80,4%

33
Universitas Tarumanagara
Pada tabel 4.3, didapatkan prevalensi dermatitis seboroik berdasarkan jenis
kelamin, yaitu 24 (39,34%) berjenis kelamin laki-laki dan sebanyak 37 (60,66%)
berjenis kelamin perempuan. Pada hasil uji chi-square didapatkan nilai p=0,604
yang artinya tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan
kejadian dermatitis seboroik (p-value>0,05).

Tabel 4.3 Analisis Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian Dermatitis


Seboroik
Jenis Dermatitis Seboroik OR (CI-
Jumlah p-value
Kelamin Ya Tidak 95%)
Laki-laki 24 18
42 (100%)
(57,14%) (42,86%)
1,225
Perempuan 37 34 0,604
71 (100%) (0,56-2,64)
(52,11%) (47,89%)
Jumlah 61 52 113

4.3 Hubungan antara Indeks Massa Tubuh dengan Kejadian Dermatitis


Seboroik
Pada tabel 4.4, didapatkan pada responden yang mengalami dermatitis seboroik
sebanyak 3 responden (30%) memiliki indeks massa tubuh yang kurang dan
mayoritas sebanyak 40 responden (61,5%) memiliki indeks massa tubuh yang
normal. Sedangkan pada responden lainnya yang mengalami dermatitis seboroik
sebanyak 9 responden (75%) overweight dan 9 responden lainnya (37,5%) obesitas.
Analisis bivariat yang menguji hubungan antara indeks massa tubuh dan
kejadian dermatitis seboroik dengan analisa chi-square, didapatkan terdapat
hubungan yang signifikan antara indeks massa tubuh dengan kejadian dermatitis
seboroik dengan nilai p = 0,028 (p-value<0,05).

Tabel 4.4 Analisis Hubungan IMT dengan Kejadian Dermatitis Seboroik


IMT Dermatitis Seboroik Jumlah p-value

34
Universitas Tarumanagara
Ya Tidak
Sangat Kurang 0 (0%) 2 (100%) 2 (100%
Kurang 3 (30%) 7 (70%) 10 (100%)
Normal 40 (61,5%) 25 (38,5%) 65 (100%)
0,028
Overweight 9 (75%) 3 (25%) 12 (100%)
Obesitas 9 (37,5%) 15 (62,5%) 24 (100%)
Jumlah 61 52 113

35
Universitas Tarumanagara
BAB 5
PEMBAHASAN

5.1 Pembahasan
Telah dilakukan penelitian di Fakultas Kedokteran Universitas Tarumangara
Angkatan 2020, dengan total jumlah responden yang sesuai dengan kriteria inklusi
dan ekslusi adalah sebanyak 113 responden. Ketika dianalisa rata-rata usia
responden adalah 19,4 tahun, yang sesuai dengan rata-rata usia mahasiswa angkatan
2020. Prevalensi dermatitis seboroik memuncak kejadiannya pada tiga bulan
pertama kehidupan dan kemudian meninggi kembali pada usia adrenarche hingga
pada usia 40 tahun mengalami peningkatan yang kedua. Dermatitis seboroik juga
meningkat kejadiannya pada lansia dan orang-orang yang menderita HIV/AIDS
dengan prevalensinya mencapai 85%.17 Tingginya angka penderita dermatitis
seboroik sejalan dengan penambahan usia disebabkan oleh adanya perubahan
fisiologis dan patologis yaitu turunnya kadar lipid pada stratum korneum dan
tipisnya epidermis dan dermis. Sehingga dapat menyebabkan kulit menjadi
sensitive terhadap faktor eksternal pada kelompok usia lanjut.18
Berdasarkan jenis kelamin, mayoritas responden berjenis kelamin
perempuan dengan proporsi sebanyak 71 responden (62,8%). Berdasarkan kejadian
dermatitis seboroik, proporsi terbanyak adalah pada laki-laki yaitu sebanyak
57,14% sedangkan pada perempuan hanya 52,11%. Namun, berdasarkan hasil uji
statistic tidak terdapat korelasi yang signifikan. Pada penelitian yang dilakukan
oleh Silvia et al, yang meneliti hubungan antara jenis kelamin dengan angka
kejadian dermatitis seboroik didapatkan bahwa proporsi tertinggi juga terdapat
pada laki-laki yaitu sebanyak 47,3% sedangkan pada perempuan hanya 29,0%.
Berdasarkan uji statistic didapatkan nilai p=0,008 (p<0,05) yang berarti terdapat
korelasi yang signifikan antara jenis kelamin dengan dermatitis seboroik. Hal ini
dapat terjadi karena pada laki-laki hormon androgen akan mempengaruhi aktivitas
kelenjar sebasea sehingga pengeluaran sebum akan meningkat dan merangsang
proliferasi keratinosit pada kelenjar sebasea dan acroinfundibulum yang berperan
pada patofisiologi dermatitis seboroik.19
Pada hasil pengukuran antopometri mayoritas responden penelitian ini
memiliki status gizi yang normal yaitu sebanyak 57,5% dengan IMT rata-rata

36
Universitas Tarumanagara
adalah 23,84 kg/m2. Hal ini sesuai dengan hasil pemetaan status gizi pada
mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara yang dilakukan oleh
Yoshe, et al, didapatkan bahwa sebagian besar termasuk normal dan berlebih,
masing-masing sebanyak 44,64% dan 46,43% hal ini dapat disebabkan tingginya
pengetahuan mengenai nutrisi dan aktivitas fisik yang dimiliki oleh responden
tersebut.20
Berdasarkan prevalensi terjadinya dermatitis seboroik pada mahasiswa
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Angkatan 2020 didapatkan
sebanyak 61 responden (54,0%) memilikinya, diantaranya mayoritas mengalami
keluhan tersebut selama 0-3 bulan (78,69%). Lama keluhan dermatitis seboroik
bergantung pada seberapa cepat individu tersebut memberikan terapi pada keluhan
tersebut. Berdasarkan pedoman nasional pelayanan kedokteran tatalaksana
dermatitis seboroik lama pengobatannya dimulai 1 minggu hingga 1 bulan.5
Berdasarkan derajat keparahan didapatkan sebanyak 52 responden
(85,24%) memiliki keluhan yang ringan. Pitriasis sika, atau ketombe merupakan
jenis ringan dari dermatitis seboroik, sedangkan pada bentuk yang berat kelainan
kulit akan terdiri atas eritema dan skuama yang berminyak dan agak kekuningan,
dengan batas kurang tegas dan yang lebih berat lagi hingga akan disertai eksudasi
dan krusta tebal dan seluruh kepala tertutup oleh krusta-krusta kotor dan berbau
tidak sedap.21
Berdasarkan keluhan yang dialami, mayoritas memiliki keluhan gatal yaitu
sebanyak 51 responden (83,6%) dan 16,4% lainnya memiliki keluhan panas.
Sehingga sebanyak 50,8% memiliki kecenderungan untuk menggaruk daerah lesi.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Araya et al, yang meneliti
karakteristik klinis pada pasien dengan dermatitis seboroik, didapatkan bahwa
mayoritas sebanyak 78,9% memiliki keluhan gatal dan 4,8% memiliki keluhan
panas dan 19,3% lainnya asimptomatik.22 Hal ini berkaitan dengan patofisiologi
dari dermatitis seboroik yang merangsang pengeluaran histamin sehingga rasa gatal
merupakan gejala utama dari dermatitis seboroik, rusaknya barrier kulit
menjelaskan rasa terbakar yang dialami oleh penderita dermatitis seboroik.
Kecenderungan untuk menggaruk yang lama kelamaan akan merusak lapisan kulit

37
Universitas Tarumanagara
akan memudahkan masuknya bakteri kuman pathogen sehingga akan timbul infeksi
sekunder pada penderita.17
Mayoritas responden mengeluhkan daerah kulit kepala adalah daerah
terbanyak yang mengalami dermatitis seboroik yaitu sebanyak 41 responden
(67,21%) diikuti oleh daerah alis dan daerah jenggot. Hal ini berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh Terroe et al, dimana predileksi tersering dari
dermatitis seboroik adalah pada wajah yaitu sebanyak 53,7% diikuti oleh kulit
kepala sebanyak 28,4%.21 Pada penelitian yang dilakukan oleh Araya et al juga
mengemukakan bahwa predileksi dermatitis seboroik adalah pada daerah yang
banyak kelenjar sebasea yaitu pada daerah wajah dan kulit kepala.22
Hanya sebanyak 17 responden (15,0%) dari 61 responden yang menderita
dermatitis seboroik mengaku terdapat anggota keluarga yang mengalami hal yang
serupa. Walaupun dermatitis seboroik bukan penyakit keturunan, namun respons
imun dan ketahanan lapisan kulit memiliki kaitannya pada patofisiologi dermatitis
seboroik. Gen ACT1, C5, IKBKG/NEMO, STK4, 2C TCR merupakan gen yang
mengkode protein yang berperan dalam respons imun serta gen ZNF750 dan
MPZL3 berperan dalam diferensisasi epidermal.23
Sebanyak 36 responden (59,0%) membersihkan daerah yang memiliki
dermatitis seboroik sebanyak 1x/hari. Berdasarkan penelitian oleh Kusuma et al,
higienitas seseorang bukanlah pengaruh yang signifikan akan timbulnya dermatitis
seboroik karena tidak menjamin kebalnya terhadap penyakit ini. Faktor risiko dari
dermatitis seboroik adalah imunitas yang rendah dan tingkat stress yang tinggi. 24
Mayoritas sebanyak 33 responden (54,09%) membersihkan diri dengan
sabun dan hanya 12 responden yang berkunjung ke tenaga ahli untuk mengatasi
keluhan dermatitis seboroik. Untuk mengatasi dermatitis seboroik tidak cukup
hanya dibersihkan dengan sabun, pada dermatitis seboroik derajat ringan seringkali
digunakan kortikosteroid topical, sedangkan pada yang lebih berat diterapi dengan
kortikosteroid oral maupun dengan tambahan agen antijamur. Maka dari itu penting
untuk penderita dermatitis seboroik untuk berkunjung ke tenaga ahli atau dokter
spesialis kulit dan kelamin untuk memberi tata laksana yang tepat.25
Berdasarkan status indeks massa tubuh sebanyak 40 responden (61,5%)
yang menderita dermatitis seboroik memiliki status IMT normal, pada 9 responden

38
Universitas Tarumanagara
(75%) memiliki status IMT overweight dan 9 responden (37,5%) memiliki status
IMT obesitas. Berdasarkan hasil uji bivariat chi-square didapatkan nilai p=0,028
(p-value<0,05) yang berarti terdapat hubungan yang signifikan antara status IMT
dengan kejadian dermatitis seboroik. Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Silvia et al, didapatkan sebanyak 30 responden (41,7%) memiliki
status IMT obesitas I dan sebanyak 23 responden (21,9%) memiliki status IMT
normal. Hasil uji statistic didapatkan nilai p=0,001 (p-value<0,05) yang artinya
terdapat hubungan yang signifikan.26
Terdapat 3 hal yang menyebabkan dermatitis seboroik, yaitu aktivitas
kelenjar sebasea, aktivitas pathogen (Malassezia) dan kerentanan individu. Pada
individu yang obesitas akan memiliki lemak yang berlebihan dalam tubuh sehingga
kadar asam lemak bebas akan meningkat dan dihidrolisis oleh lipoprotein lipase
endotel sehingga kadar sebum akan meningkat.26
Dermatitis lebih berisiko pada orang yang memiliki tingkat IMT yang tinggi
atau obesitas karena terjadi hiperandrogenisme yaitu perangsang utama untuk
pengeluaran sebum. Ketika kadar sebum meningkat, sebum tersebut dapat dengan
mudah didegradasi oleh jamur Malassezia spp pada kulit dan memproduksikan
asam lemak bebas yang merusak barrier kulit, kemudian akan mengakibatkan
hiperproliferasi dan kulit akan kembali memproduksi sebum.27
Terdapat hubungan yang signifikan antara status IMT dengan kejadian
dermatitis seboroik. Menurut teori menyebutkan bahwa penderita obesitas terjadi
peningkatan asam lemak bebas. Peningkatan asam lemak bebas yang dilepaskan
karena adanya penimbunan lemak yang berlebihan juga menghambat terjadinya
lipogenesis sehingga menghambat klirens serum triasilgliserol dan mengakibatkan
peningkatan kadar trigliserida darah (hipertrigliseridemia). Pasien dengan
dermatitis seboroik menunjukkan kadar trigliserida dan kolesterol yang lebih tinggi
pada permukaan kulit. Kedua spesies Malassezia dan Propionibacterium acnes
mempunyai aktivitas lipase dimana trigliserida diubah menjadi asam lemak bebas,
dan beberapa penulis percaya bahwa gangguan flora normal, aktivitas lipase dan
radikal bebas lebih berisiko terkena dermatitis seboroik daripada gangguan respon
imun.26

39
Universitas Tarumanagara
Menurut teori Lausarina et al., (2019), Dermatitis seboroik merupakan
inflamasi kronik pada kulit yang dapat bertahan selama bertahun-tahun melalui
kekambuhan dan remisi. Dermatitis seboroik tergolong penyakit kulit kronik,
mengharuskan pasien menanggung beban penyakit selama bertahun-tahun bahkan
seumur hidup. Lamanya penderitaan yang ditanggung oleh pasien membuat
penilaian pengaruh penyakit kulit tersebut terhadap kualitas hidup menjadi suatu
hal yang penting dalam tatalaksana dan perbaikan kualitas hidup merupakan tujuan
terapi yang utama.28

5.2 Bias Penelitian


5.2.1 Bias Seleksi
Bias seleksi dapat dihindari karena pengumpulan sampel penelitian yang dilakukan
dengan teknik simple random sampling.

5.2.2 Bias Informasi


Responden penelitian sadar atau mengetahui bahwa dirinya merupakan bagian dari
responden penelitian, sehingga adanya kemungkinan bahwa responden akan
cenderung mengerjakan kuesioner dengan lebih serius dan dapat berbohong. Serta
kondisi dermatitis seboroik berdasarkan subjektif bukan data objektif.

5.2.3 Bias Perancu


Tidak dapat disingkirkan karena tidak dilakukan analisis multivariat.

40
Universitas Tarumanagara
BAB 6
KESIMPULAN

6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian tentang hubungan indeks massa
tubuh dengan angka kejadian dermatitis seboroik pada mahasiswa Fakultas
Kedokteran Universitas Tarumanagara angkatan 2020, dapat disimpulkan :
1. Presentase rata-rata indeks massa tubuh mahasiswa Fakultas
Kedokteran Universitas Tarumanagara angkatan 2020 adalah 23,84
kg/m2. Status gizi responden mayoritas adalah normal sebanyak 65
responden dengan presentase 57,5%.
2. Proporsi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
angkatan 2020 yang mengalami dermatitis seboroik adalah 61
responden (54,0%).
3. Terdapat hubungan yang signifikan antara indeks massa tubuh dengan
kejadian dermatitis seboroik dengan nilai p = 0,028 (p-value<0,05).

6.2 Saran
6.2.1 Saran Bagi Responden
Bagi responden diharapkan tetap mempertahankan indeks massa tubuh normal
dengan menerapkan pola makan dan gaya hidup yang sehat
6.2.2 Saran Bagi Institusi
Bagi institusi diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi dasar untuk melakukan
penelitan bersama antara ilmu gizi dan kulit-kelamin karena adanya hubungan yang
erat
6.2.3 Saran Bagi Peneliti
Bagi peneliti disarankan untuk melakukan pemeriksaan fisik dermatitis seboroik
dalam beberapa periode waktu agar penelitian berikutnya dapat lebih akurat dan
proporsional

41
Universitas Tarumanagara
DAFTAR PUSTAKA

1. Tucker D, Masood S. Seborrheic Dermatitis. [Updated 2020 Oct 3]. In:


StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-
. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK551707/
2. Karimkhani C, Dellavalle RP, Coffeng LE, Flohr C, Hay RJ, Langan SM,
Nsoesie EO, Ferrari AJ, Erskine HE, Silverberg JI, Vos T. Global skin
disease morbidity and mortality: an update from the global burden of disease
study 2013. JAMA dermatology. 2017 May 1;153(5):406-12.
3. Cheong WK, Yeung CK, Torsekar RG, Suh DH, Ungpakorn R, Widaty S,
Azizan NZ, Gabriel MT, Tran HK, Chong WS, Shih IH. Treatment of
seborrhoeic dermatitis in Asia: A consensus guide. Skin appendage
disorders. 2015;1(4):187-96.
4. Suh DH. Seborrheic Dermatitis. In: Kang S, Amagoi M, Bruckner AL, Enk
AH, Margolis DJ, McMichael AJ, et al, editors. Fitzpatrick’s Dermatology.
9th ed. New York: McGraw-Hill; 2019. p. 428-36
5. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MenKes/213/2019 Tengan Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Dermatitis Seboroik. Jakarta:
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2019.
6. Imamoglu B, Hayta SB, Guner R, Akyol M, Ozcelik S. Metabolic syndrome
may be an important comorbidity in patients with seborrheic dermatitis.
Archives of medical sciences. Atherosclerotic diseases. 2016;1(1):e158.
7. Jacoeb TNA. Dermatitis Seboroik. Dalam: Menaldi SLSW, Bramono K,
Indriatmi W, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-7. Cetakan
ke-2. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2016. Hal. 232-3
8. Widaty S, Soebono H, Nilasari H, Listiawan MY, Siswati AS, Triwahyudi
D, dkk. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.
Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia
(PERDOSKI); 2017. Hal. 15-8.
9. Berk T, Scheinfeld N. Seborrheic dermatitis. Pharmacy and Therapeutics.
2010 Jun;35(6):348.
10. Reider N, Fritsch PO. Other eczematous eruptions. In: Bolognia JL,
Schaffer JV, Cerroni L, editors. Dermatology. 4th ed. New York: Elsevier;
2019. p. 228-30
11. James WD, Berger TG, Elston DM, Neuhaus IM. Andrew’s Disease of The
Skin Clinical Dermatology. 12th ed. Philadelphia: Elsevier; 2016. P. 185-6.
12. Organization WH. The Asia-Pacific perspective: redefining obesity and its
treatment. Sydney: Health Communications Australia; 2000.
13. Kementerian Kesehatan R.I. Standar antropometri penilaian status gizi
anak. Jakarta: Direktorat Bina Gizi. 2011.
14. Herdanto A, Sjarif DR. Antropometri Anak dan Remaja dalam Buku Ajar
Nutrisi Pediatrik Dan Penyakit Metabolik Jilid 1. Ed 1. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI. 2011. Hal 23-36.
15. Deslanthy BT. Korelasi indeks massa tubuh dengan skor keparahan
dermatitis seboroik di kepala pada pasien poliklinik kulit dan kelamin

42
Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2017.
16. Baş Y, Seçkin HY, Kalkan G, Takci Z, Çitil R, Önder Y, Şahin Ş, Demir
AK. Prevalence and related factors of psoriasis and seborrheic dermatitis: a
community-based study. Turkish journal of medical sciences. 2016 Feb
17;46(2):303-9.
17. Tucker D, Masood S. Seborrheic Dermatitis. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 [cited 2022 May 7].
Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK551707/
18. Sanders M, Pardo L, Franco O, Ginger RS, Nijsten T. Prevalence and
determinants of seborrheic dermatitis in a middle aged and elderly
population: the rotterdam Study. Br J Dermatol. 2018;178(1):148–53.
19. Silvia E, Anggunan A, Effendi A, Nurfaridza I. Hubungan Antara Jenis
Kelamin Dengan Angka Kejadian Dermatitis Seboroik. J Ilm Kesehat Sandi
Husada. 2020 Jun 30;11(1):37–46.
20. Yoshe RT, Kumala M. Pemetaan status gizi berdasarkan indeks massa
tubuh dan komposisi tubuh pada mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Tarumanagara angkatan 2015 dan 2016. 2021;3(2):9.
21. Terroe RO, Kapantow MG, Kandou Rt. Profil Dermatitis Seboroik Di
Poliklinik Kulit Dan Kelamin Rsup Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode
Januari-Desember 2012. 2015;3:6.
22. Kulthanan K, Jiamton S, Araya M. Clinical characteristics and quality of
life of seborrheic dermatitis patients in a tropical country. Indian J Dermatol.
2015;60(5):519.
23. Karakadze MA, Hirt PA, Wikramanayake TC. The genetic basis of
seborrhoeic dermatitis: a review. J Eur Acad Dermatol Venereol. 2018
Apr;32(4):529–36.
24. Kusuma RB, Budiastuti A. Beberapa Faktor Resiko Terjadinya Dermatitis
Seboroik Pada Karyawan Go-Jek Kota Semarang. 2019;8(1):10.
25. Elisia E, Dalem Pemayun T. Profil dermatitis seboroik pada pasien di
Poliklinik Rawat Jalan Kulit dan Kelamin RSUD Wangaya Denpasar
periode Oktober 2017-Oktober 2018. Intisari Sains Medis [Internet]. 2019
Aug 1 [cited 2022 May 7];10(2). Available from:
https://isainsmedis.id/index.php/ism/article/view/414
26. Silvia E, Eksa DR, Panongsih RN, Dewi S. Hubungan Indeks Massa Tubuh
(IMT) Dengan Angka Kejadian Dermatitis Seboroik Di Poliklinik Kulit
Dankelamin Rsud Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung Tahun 2019. J
Med Malahayati. 2021 Oct 6;4(3):217–25.
27. Abulnaja KO. Changes in the hormone and lipid profile of obese adolescent
Saudi females with acne vulgaris. Braz J Med Biol Res. 2009
Jun;42(6):501–5.
28. Lausarina, Ririn, Satya Wydya Yenny, dan Ennesta Asri. Hubungan
Frekuensi Kekambuhan Dermatitis Seboroik dengan Kualitas Hidup pada
Pasien di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal
Kesehatan Andalas 8.1 (2019): 50-58.

43
Universitas Tarumanagara

Anda mungkin juga menyukai