Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN KASUS

“Pasien anak 10 Tahun dengan Deratitis seborok”


Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna mengikuti ujian di SMF KULIT
dan KELAMIN Rumah Sakit Umum Jayapura

Oleh:
Silva Vitria andenas
(2019086016487)

Pembimbing:
dr. Rani, Sp.KK., M.Kes., FINDV

SMF KULIT DAN KELAMIN


RUMAH SAKIT UMUM JAYAPURA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS CENDERAWASIH
JAYAPURA
PAPUA
2021

1
BAB I

PENDAHULUAN

Dermatitis seboroik adalah kelainan kulit yang berupa peradangan superfisial


dengan papuloskuamosa yang kronik. Dengan tempat predileksi di daerah-daerah
seboroik yaitu daerah yang kaya akan kelenjar sebasea, seperti kepala, badan
bagian atas, dan daerah lipatan (Senderina, dkk. 2016)

Dermatitis seboroik menyerang 2-5% populasi, dapat menyerang bayi pada tiga
bulan pertama kehidupan dan dewasa umur 20 hingga 50 tahun. Di Amerika
Serikat prevalensi dermatitis seboroik sekitar 1-3% dari jumlah populasi umum,
dan 3-5% terjadi pada dewasa muda (Senderina, dkk. 2016)

Dermatitis seboroik (DS) yang juga disebut dengan eksema seboroik, adalah
penyakit yang sering terjadi yang ditandai oleh adanya sisik diatas dasar kulit
kemerahan. Penyakit peradangan kronis superfisial ini sering mengenai daerah
kulit yang memiliki produksi sebum yang tinggi dan daerah lipatan. Walaupun
patogenesisnya belum sepenuhnya diketahui, diperkirakan terdapat hubungan
dengan produksi sebum yang berlebihan dan ragi komensal Malassezia (Stefani
Nurhadi 2017)

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis lengkap mencakup keluhan


utama, perjalanan penyakit, faktor eksogen yang mempengaruhi, faktor pencetus,
faktor predisposisi penyakit, dan riwayat penyakit. Pemeriksaan fisik pada lokasi
kulit dengan skuamanya juga harus diperhatikan. Pada kasus yang sulit
didiagnosis atau sulit dibedakan dengan penyakit lain mungkin diperlukan
pemeriksaan tambahan (Elisia dan Tjokorda Dalem Pemayun, 2019)

2
Untuk penatalaksanannya pada dermatitis seboroik yakni dengan
nonmedikamentosa dan medikamentosa tujuannya untuk mengatasi ketombe dan
mengontrol kondisi kulit kepala (Sandra W dan Aninda M, 2016)

Tujuan dari penulisan laporan kasus ini untuk sebagai bahan pembelajaran dan
pengetahuan serta sebagai bahan referensi sekaligus untuk memenuhi kriteria
untuk ujian serta dalam penulisan ini akan dibahas secara keseluruhan tentang
dermatitis seboroik mulai dari anamnesa, pemeriksaan fisik dan
penatalaksanaannya.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Dermatitis seboroik (DS) adalah kelainan kulit papuloskuamosa, dengan
predileksi didaerah kaya kelenjar sebasea, scalp, wajah dan badan. Dermatitis
ini dikaitkan dengan malassezia, terjadi gangguan imunologis mengikuti
kelembaban lingkungan, perubahan cuaca ataupu trauma, dengan penyebaran
lesi dimulai dari derajat ringan, misalnya ketombe sampai dengan bentuk
eritoderma,( Tjut Nurul Alam Jacoeb,2016).

2.2 EPIDEMIOLOGI

Penelitian yang dilakukan oleh Elisia dan Tjokorda Dalem Pemayun, di


Poliklinik Rawat Jalan Kulit Dan Kelamin RSUD Wangaya Denpasar
Periode Oktober 2017-Oktober 2018 menyebutkan bahwa Dermatitis
seboroik menyerang 1-5% populasi dunia, di Asia sendiri bervariasi antara
2,1% di Korea Selatan, sampai 26,5% di Indonesia. Data dari Kemenkes
menyebutkan pasien dermatitis seboroik di poliklinik kulit dan kelamin di
berbagai rumah sakit di Indonesia pada tahun 2013-2015 adalah 0,99%-5,8%.
Sedangkan jumlah pasien di poliklinik kulit dan kelamin RSUP Sanglah Bali
sendiri tercatat 1,03% dari keseluruhan pasien. Insidensi Dermatitis Seboroik
sendiri tersering pada usia 3 bulan pertama sampai usia 3 tahun, selama
pubertas, dan pada usia dewasa sekitar 40- 60 tahun. Laki-laki lebih sering
terkena penyakit ini dibandingkan perempuan dengan perbandingan 3%
banding 2,6% di semua kelompok usia, (Elisia Dan Tjokorda Dalem
Pemayun).

4
2.3 ETIOLOGI DAN PATHOGENESIS

Penyebab pasti dari infeksi ini belum diketahui namun ada beberapa faktor
yang mempengaruhi etiopatogenesis antara lain sekresi kelenjar sebasea yang
berlebihan, kolonisasi Malassezia spp., dan respon imun tubuh penderita,
(Elisia Dan Tjokorda Dalem Pemayun).

Meningkatnya lapisan sebum pada kulit, kualitas sebum, respon imunologis


terhadap Pityrosporum, degradasi sebum dapat mengiritasi kulit sehingga
terjadi mekanisme eksema. Jumlah ragi genus Malassezia meningkat didalam
epidermis yang terkelupas pada ketombe ataupun dermatitis seboroik. Diduga
hal ini terjadi akibat lingkungan yang mendukung. Telah banyak bukti yang
mengaitkan dermatitis seboroik dengan Malassezia. Pasien dengan ketombe
menunjukan peningkatan titer antibody terhadap Malassezia, serta mengalami
perubahan imunitas seluler,(Tjut Nurul Alam Jacoeb,2016).

Salah satu infeksi jamur yang dapat menyebabkan inflamasi adalah infeksi
Pityrosporum ovale. Infeksi dari Pityrosporum ovale dianggap oleh Shuster
(1984) sebagai penyebab primer ketombe karena membuktikan dari postulat
Koch bahwa pertumbuhan Pityrosporum ovale di penderita ketombe
mengalami peningkatan. Meskipun begitu hingga sekarang patogenesis dari
Dermatitis Seboroik masih belum diketahui secara pasti walaupun menurut
Fritsch (2008), kejadian Dermatitis Seboroik memiliki hubungan yang erat
dengan produksi sebum yang berlebih dan adanya Malassezia, (Rova Budi
Kusuma, Asih Budiastuti, Aryoko Widodo S).

Jumlah sebum yang diproduksi bukan faktor utama pada kejadian dermatitis
seboroik. Permukaan kulit pasien dermatitis seboroik kaya akan lipid
trigleserida dan kolesterol, namu rendah asam lemak dan skualen. Flora
normal kulit yaitu Malassezia spp dan propionibacterium acnes, memiliki
enzim lipase yang aktif yang dapat mentransformasi trigliserida menjadi asam
lemak bebas. Asam lemak bebas bersama dengan reactive oxygen species

5
(ROS) bersifat antibakteri yang akan mengubah flora normal kulit. Perubahan
flora normal, aktivasi lipase dan ROS akan menyebabkan dermatitis seboroik.
Dibawah ini adalah alur yang menunukan peran Malassezia spp pada
dermatitis seboroik. Koloni jamur mempunyai kemampuan untuk
berproliferasi di permukaan kulit hingga menimbulkan reaksi inflamasi dan
secara klinis Nampak berupa skuama, (Sandra W dan Aninda M, 2016)

Gambar 1 : (SandraWidaty Aninda Marina, 2016, 152)


peran jamur malassezia pada dermatitis seboroik di kulit kepala

2.4 MANIFESTASI KLINIS

Dermatitis seboroik sering tampak sebagai plak eritema berbatas tegas dengan
permukaan berminyak, skuama kekuningan dengan berbagai perluasan pada
daerah yang kaya kelenjar sebasea, seperti kulit kepala, area retroaurikuler,
wajah (lipatan nasolabial, bibir atas, kelopak mata dan alis) dan dada bagian
atas. Pada bayi, Dermatitis seboroik dapat tampak pada area kulit kepala,
wajah, retroaurikuler, lipatan tubuh dan badan; jarang menjadi generalisata.
Cradle cap adalah manifestasi klinis yang paling sering. Dermatitis seboroik
pada anak-anak biasanya sembuh sendiri. Sebaliknya, dermatitis seboroik
pada dewasa biasanya kronis dan kambuhan. Gatal jarang dirasakan, tetapi

6
sering terjadi pada lesi di kepala. Komplikasi utamanya adalah infeksi
sekunder bakterial, yang meningkatkan kemerahan, eksudat dan iritasi local,
(Stefani Nurhadi 2017).

Bentuk dermatitis seboroik ada 2 yakni dermatitis seboroik infantil dan


dermatitis seboroik dewasa. Karakteristik lesi dermatitis seboroik berupa lesi
berbatas tegas, skuama berwarna kuning kemerahan kecoklatan serta
berminyak atau skuama menyerupai bedak yang menempel dan berbentuk
plak. Lesi paling sering timbul pada daerah kepala, telinga, wajah, parasternal,
dada, dan daerah intertrigo.
Gambar 2: (https://images.search.yahoo.com/search/)
klinis dari dermatitis seboroik bervariasi tergantung pada area kulit yang
terlibat

Keluhan gatal paling sering muncul pada dermatitis seboroik di daerah kulit
kepala, berikut merupakan jenis dan varian klinis dermatitis seboroik menurut
lokasi predileksinya (Menteri Kesehatan Republik Indonesia 2019).

7
Tabel 1. (Menteri Kesehatan Republik Indonesia 2019 hal 14).
Jenis dan varian klinis dermatitis seboroik
Jenis dermatitis seboroik dan Manifestasi klink
variannya
Dermatitis seboroik dewasa Disertai keluhan gatal
Kulit kepala (scalp) Ringan : skuama berminyak (ketombe/dandruff)
Berat : krusta seperti warna madu menempel pada
kulit kepala
Wajah Tempat predileksi : alis, glaball, malar,nasolabial
fold, dan palpebra
Eritema ringan disertai deskuamasi skuama putih
keabuan dan berminyak, pada palpebra bisa terjadi
blehparitis
Tubuh (ada beberapa Varian ) Tempat predileksi: aksila, parasternal, umbilicus,
inguinal, inframamaria, dan urogenila.
a. Pada area parasternal Lesi madidans, tampak adanya maserasi dengan dasar
terdapat dua bentuk eritem dan disekitar lesi.

Sering pada laki-laki, lesinya berupa papul folikuler


berwarna merah kecoklatan
1. Petaloid
Bentuk yang lebih berat dari petaloid skuama yang
menempel berbentuk oval, biasanya pada dada dan
2. Pitiriasiform leher, menyerupai pitiriasis rosea.

Terdapat pada daerah lipatan khususnya


retroaurikular, inguinal, dan inframammaria, pada
b. Dermatitis seboroik lesi kadang tidak terdapat skuama dan menyerupai
fleksuar intertrigo

Pustule dan papul kecil monomorfik serta difus


disertai eritema pada tubuh. Biasanya pada pasien
dengan imonokompromi.
c. Folikulitis pityrospornama
Kemerahan dan skuama diseluruh tubuh disertai
manifestasi sistemik seperti takikardi dan gangguan
termoregulasi
d. Eritroderma (dermatitis
eksfolsatif) Keluhan gatal sangat minimal bahkan dapat tidak
disertai rasa gatal

Cradle cap berupa plak merah kekunngan tertutupi


Dermatitis seboroik skuama tebal pada kulit kepala, biasanya terbentuk
infantile saat beberapa minggu awal kelahiran dengan puncak
pada usia 3 bulan

Kulit kepala (scalp)

8
Tubuh termasuk area Skuama kering tipis atau lesi berbentuk oval
(fleksor dan popok) berbatasa tegas tertutup oleh krusta tebal berminyak
berwarna coklat kekuningan, dan cenderung untuk
konfluens.
Lesner’s deases (penyakit Lesner’s deases merupakan bentuk dermatitis
lesner) seboroik infantile yang berat meluas sehingga
menjadi eritoderma. Ditandai dengan gejala demam,
anemia, diare, muntah, penurunan berat badan dan
dapat mengacam jiwa jika tidak diterapi dengan
segera dan tepat.
Ada yang maninfantil dan familial yakni C3/C5

2.5 DIAGNOSIS

2.5.1 Klinis

Pada bayi biasanya terjadi pada 3 bulan pertama kehidupan. Sering disebut

cradle cap. Keluhan utama biasanya berupa sisik kekuningan yang

berminyak dan umumnya tidak gatal. Pada anak dan dewasa, biasanya

yang menjadi keluhan utama dalah kemerahan dan sisik di kulit kepala,

lipatan nasolabial, alis mata, area post aurikula, dahi dan dada. Lesi lebih

jarang ditemukan di area umbilikus, interskapula, perineum dan

anogenital. Area kulit yang kemerahan biasanya gatal. Pasien juga dapat

mengeluhkan ketombe (Pitiriasis sika). Keluhan dapat memburuk jika

terdapat stressor atau cuaca dingin. Pada bayi umumnya bersifat swasirna

sementara cenderung menjadi kronis pada dewasa (Sandra widaty dkk

2017)

Pada bayi, dapat ditemukan skuama kekuningan atau putih yang

berminyak dan tidak gatal. Skuama biasanya terbatas pada batas kulit

kepala (skalp) dan dapat pula ditemukan di belakang telinga dan area alis

mata. Lesi lebih jarang ditemukan di lipatan fleksura, area popok dan

9
wajah. Pada anak dan dewasa dapat bervariasi mulai dari: Ketombe dengan

skuama halus atau difus, tebal dan menempel pada kulit kepala Lesi

eksematoid berupa plak eritematosa superfisial dengan skuama terutama di

kulit kepala, wajah dan tubuh Di dada dapat pula menunjukkan les

petaloid atau pitiriasiformis. Apabila terdapat di kelopak mata, dapat

disertai dengan blefaritis. Dapat meluas hingga menjadi eritroderma

(Sandra widaty dkk 2017)

2.5.2 Pemeriksaan Penunjang

Tidak ada pemeriksaan penunjang khusus untuk diagnosis. Apabila

diagnosis meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan kerokan kulit dengan

pewarnaan KOH untuk menyingkirkan infeksi jamur atau biopsi kulit

(Sandra widaty dkk 2017)

2.6 DIAGNOSIS BANDING

Dibagi menjadi Psoriasis gutata, Dermatitis atopic fase dewasa, Dermatitis

kontak iritan kumulatif, Dermatofitosis.

2.6.1 Psoriasis Gutata

Jenis ini khas pada dewasa muda, jika terjadi pada anak sering bersifat

swasirna. Bentuk spesifik yang dijumpai adalah lesi papul erupsi

berukuran 1-10 mm berwarna merah salmon, menyebar diskert secara

sentripetal terutama di badan, dapat mengenai ekstremitas dan kepala.

10
Gambar: 3 https://dermatologicadi.com.mx/psoriasis_guttata.html

2.6.2 Dermatitis atopic fase dewasa

Tempat predilkesi di kepala. Manifestasi klinis berupa kronis, berupa plak

hiperpigmentasi , hyperkeratosis , likenifiksasi eksoriasis dan dkuama.

Rasa gatal lebih hebat saat beristrahat, udara panas dan berkeringat

Gambar : 4 https://images.search.yahoo.com/search/images

11
2.6.3 Dermatitis kontak iritan kumulatif

Riwayat kontak misalnya dengan sabun pencuci wajah atau bahan iritan

lainnya untuk perawatan wajah (tretinoin, asam glikolat, asam alfa

hidroksi). Biasa terjadi pada semua usia dan gejala klinisnya berupa kulit

kering disertai eritema, skuama yang lambat laun kulit menjadi tebal

tebakl n(hiperkeratonosis) dengan likenifikasi dan akan menuju ke fisurra.

Gambar : 5 https://images.search.yahoo.com/search/images;

2.6.4 Dermatofitosis

Dermatofitosis atau yang dikenal dengan tinea, ringworm, kurap, herpes

sirsinata, teigne, adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat

tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut dan kuku yang

disebabkan oleh golongan jamur dermatofita. Golongan jamur dermatofita

mempunyai sifat5 mencerna keratin, yaitu dibagi dalam 3genus yaitu :

Microsporum, Trichophyton dan Epidermphyton. Dermatofitosis dibagi

12
menjadi beberapa bentuk berdasarkan pada gambaran kliis yakni tinea

kapitis, tinea barbae, tinea krurus dll. (Tjut Nurul Alam Jacoeb,2016)

Gambar :6 https://images.search.yahoo.com/search/images

2.7 TATALAKSANA

2.7.1 Terapai Nona medikamentosa

Beberapa hal yang penting terkait terapi non-medikamentosa antara lain


sebagai berikut:
1) Menghindari faktor pemicu/pencetus misalnya: a) Penggunaan pendingin
ruangan (air conditioner) atau udara dengan kelembaban rendah di lingkungan
kerja. b) Hindari garukan yang dapat menyebabkan lesi iritasi
c) Hindari bahan yang dapat menimbulkan iritasi. d) Konsumsi makanan
rendah lemak. e) Tetap menjaga higiene kulit.
2) Pada dermatitis seboroik yang berat dan rekalsitran, perlu dicari faktor-
faktor predisposisi yang diduga sebagai penyebab antara lain infeksi
HIV/AIDS, penyakit Parkinson, dan lain-lain.

3) Edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai perjalanan penyakit dan

tujuan pengobatan, hasil pengobatan yang diharapkan, lama terapi, cara

13
penggunaan obat, serta efek samping obat yang mungkin terjadi. (Sandra

widaty dkk 2017)

2.7.2 Terapi Medikamentosa dan Kerja obatnya

Pengobatan secara medikamnetosa dapat dibagi menjadi ringan dan

sedang/berat berikut merupakan penjelasanannya:

A. Ringan
 Antijamur topikal: krim ciclopirox 1%, krim ketokonazol 2% 2
kali sehari selama 4 minggu.
 AIAFp: krim piroctone olamine/alglycera/bisabolol 2 kali sehari
selama 4 minggu
 Kortikosteroid topikal kelas I: krim atau salep hidrokortison 1% 2
kali sehari selama 4 minggu
 Inhibitor kalsineurin topikal: krim pimekrolimus 1%, salep
takrolimus 0,1% 2 kali sehari selama 4 minggu
B. Sedang/berat
 Kortikosteroid topikal kelas II: krim desonide 0,05%5-6,10,13
(A,1), salep aclometasone 0,05% 2 kali sehari selama 4 minggu
 Antijamur sistemik: Itrakonazol 200 mg/hari selama 1 minggu
kemudian 200 mg/hari selama 2 hari/bulan selama 11 bulan dan
Terbinafin 250 mg/hari selama 4-6 minggu (regimen kontinu) atau
250 mg/hari selama 12 hari/bulan untuk 3 bulan (regimen
intermiten) (Sandra widaty dkk 2017)

Pengobatan tidak menyembuhkan secara permanen sehingga terapi dilakukan

berulang saat gejala timbul. Tatalaksana yang dilakukan antara lain

1. Shampo yang mengandung obat anti malassezia, misalnya : selenium

sulfide, zinc pirithion, ketokonazole, berbagai shampoo yang mengandung

ter dan solusio terbinafine 1% .

14
2. Untuk menghilangkan skuama tebal dan mengurangi jumlah sebum pada

kulit dapat dilakukan dengan mencuci wajah berulang dengan sabun lunak.

Pertumbuhan jamur dapat dikurangi dengan krim imidazol dan

turunannya, bahan antimikotik di daerah lipatan bila ada gejala.

3. Skuama dapat diperlunak denga krim yang mengandung asam salisilat

atau sulfur

4. Pengobatan simptomatik dengan kortikosteroid topical potensi sedang,

immunosupresan topical (takrolimus dan pimekrolimus) terutama untuk

daerah wajah sebagai pengganti kortikosteroid topical

5. Metronidazole topical, siklopiroksolamin, talkasitol, benzoil peroksida dan

saleb litium suksinat 5%

6. Pada kasus yang tidak membaik dengan terapi konvesional dapat

digunakan terapi sinar ultraviolet-B (UVB) atau pemberian irakonazole

100 mg/hari peroral selama 21 hari

7. Bila tidak membaik dengan semua modalitas terapi, pada dermatitis

seboroik yang luas dapat diberikan prednisolon 30 mg/hari untuk respon

cepat (Tjut Nurul Alam Jacoeb,2016)

Terapi topikal
Terapi topikal bertujuan untuk mengatur produksi sebum, mengurangi kolonisasi
M. furfur pada kulit dan mengendalikan inflamasi. Tatalaksana DS dengan obat-
obatan topikal dibagi menjadi terapi skalp dan non skalp. (Stefani Nurhadi, 2017)

1. Terapi dermatitis seboroik pada kulit kepala


Terapi topikal adalah pendekatan lini pertama pada terapi DS skalp. Terapi
topikal yang digunakan adalah substansi yang memiliki fungsi anti jamur,

15
pengatur sebum, keratolitik dan/atau anti inflamasi. Agen tersebut tersedia
dalam berbagai formulasi seperti krim, emulsi, foam, salep dan sampo
Penggunaan sampo yang mengandung obat digunakan 2 sampai 3 kali
seminggu, didiamkan selama 5-10 menit, untuk optimalisasi efek anti jamur
dan keratolitiknya. Pilihan obat-obatan yang biasa digunakan dapat dilihat
pada lampiran. (Stefani Nurhadi, 2017)
1.1. Ketokonazol adalah anti jamur golongan azol yang bersifat
fungistatik, fungisidal dan anti inflamasi. Ia menghambat pertumbuhan
jamur melalui penghambatan lanosterol 14 dimetilase sehingga
menghambat sintesis ergosterol. Banyak studi menunjukkan efikasinya.
Pada suatu studi terbuka kelompok paralel acak menunjukkan efikasi
sampo ketokonazol 2% lebih baik daripada 1% (p<0,001). Tujuh
percobaan buta ganda, acak, terkontrol yang menganalisis ulasan berbasis
bukti menunjukkan hasil yang baik pada 88% subyek yang diterapi dengan
sampo atau krim ketokonazol. Studi buta ganda acak terkontrol telah
menunjukkan bahwa terapi kombinasi sampo ketokonazol bergantian
dengan sampo klobetasol propionat 0,05% menunjukkan efikasi yang
lebih baik dibandingkan ketokonazol saja (p<0,05) Profil keamanannya
ketokonazol yang tinggi didukung oleh beberapa studi berdasarkan sangat
minimalnya penyerapan perkutan dan potensi iritasi dan sensitisasi yang
rendah.
1.2. Siklopiroksolamin adalah anti jamur berspektrum luas yang
merupakan derivat hidroksipiridon. Agen ini menghambat ambilan dan
penggunaan substansi yang diperlukan sintesis membran sel jamur dengan
mengubah permeabilitasnya. Siklopiroksolamin juga memiliki sifat anti
inflamasi karena menghambat pelepasan prostaglandin dan leukotrien.
Selanjutnya studi in vitro menunjukkan aktivitasnya dalam menghambat
pertumbuhan mikroorganisme gram positif dan negatif. Pada studi
multisenter, acak, terkontrol, buta ganda, 178 pasien mendapatkan 2 kali
atau sekali siklopiroksolamin 0,77% jel atau hanya zat pembawa. Pada
akhir studi, gejala membaik secara signifikan pada kelompok pasien yang

16
diobati dengan siklopiroksolamin dibandingkan dengan kelompok kontrol
(p<0.01).
1.3. Pyroctone olamine juga dikenal sebagai octopirox dan efektif
untuk terapi infeksi jamur. Pyroctone olamine adalah bahan aktif yang
dapat meredakan inflamasi kulit kepala dan menurunkan pembentukan
skuama pada kulit dengan penghambatan jamur. Pyroctone olamine secara
fungsional dapat mengganggu pembelahan sel ragi dan transfer material
(inhibisi kanal natrium kalium) dan juga menghambat pertumbuhan jamur.
1.4. Bisabolol atau Butyrospermum parkii biasa dikenal dengan nama
shea butter. Bahan ini memiliki sifat anti inflamasi sekaligus sifat anti
jamur sehingga sering digunakan dalam pengobatan dermatitis seboroik.
Namun bisabolol kurang begitu poten bila diberikan secara mono terapi
sehingga biasanya dikombinasikan dengan agen lain.
1.5. Glycyrrhetic acid memiliki sifat anti inflamasi, anti iritasi, anti
alergi dan antivirus. Pada suatu studi klinis perbandingan acak yang
dilakukan pada 67 subyek yang terkena DS kulit kepala, diberikan sampo
yang mengandung Glycyrrhetic acid ditambah siklopiroksolamin dan zinc
pyrithione. Setelah pemberian 3 kali seminggu selama 2 minggu, subyek
secara acak menerima produk sekali seminggu selama 8 minggu atau
sampo netral. Perbaikan signifikan diamati selama masa terapi (p<0,0001)
dengan penurunan gejala gatal dan pengelupasan kulit) serta adanya
Malassezia kulit. Selama fase pemeliharaan, perbaikan bertahan hanya
pada kelompok yang menerima terapi pemeliharaan dengan perbedaan
antar kelompok yang signifikan.
1.6. Asam salisilat adalah sejenis asam beta hidroksi yang dapat
melepaskan sisik keras dan tebal dari kulit kepala melalui aktivitas
keratolitik sehingga efektif untuk terapi DS.
1.7. Tar memiliki sifat anti jamur dan anti inflamasi. Beberapa studi
telah menunjukkan kemampuannya mengurangi sebum. Aktivitas
fungistatik in vitro nampaknya sama dengan ketokonazol. Shampo tar
digunakan secara luas walaupun bukti yang menunjang efikasinya masih
sangat minim

17
1.8. Zinc pyrithione, anti jamur fungistatik yang bekerja dengan
meningkatkan kadar tembaga dalam sel jamur dan merusak ikatan protein
besi sulfur sehingga mengganggu metabolisme jamur. Malassezia yang
menjadi target didapatkan terutama pada infundibulum folikuler.
Sementara agen ini bekerja pada infundibulum folikuler kulit kepala serta
bertahan pada folikel rambut hingga 10 hari. (Stefani Nurhadi, 2017)

Kortikosteroid (KS) bersifat anti inflamasi, imunosupresif dan antiproliferasi


sehingga dapat menghambat proliferasi keratinosit dan fibroblas dan
menyebabkan vasokonstriksi.22 Pemilihan kortikosteroid berdasarkan tipe, lokasi,
keparahan dan perluasan penyakit serta usia pasien. Kortikosteroid dianggap
sebagai pendekatan terapi lini pertama dan kedua pada DS skalp/ kulit kepala dan
non skalp/ kulit tidak berambut. Tujuan utama pengobatan dengan kortikosteroid
adalah mengontrol dengan cepat tanda dan gejala DS, namun data terbatas. Relaps
terjadi lebih cepat dan lebih sering ketika menggunakan KS daripada agen anti
jamur dan terapi topikal non steroid lainnya. Penyerapan, efikasi dan toksisitas
KS topikal bervariasi tergantung area yang diobati. Pada dewasa dengan DS skalp
sedang – berat, dengan keterlibatan yang difus, disertai rasa terbakar dan gatal,
dapat digunakan KS potensi sedang sampai kuat tunggal maupun kombinasi
dengan agen non steroid.23 Dermatitis seboroik pada wajah dapat diberikan KS
potensi lemah sampai sedang. Penggunaan zat pembawa yang tidak mengiritasi
dan melembabkan sangat disarankan.24 Setelah terjadi perbaikan, penggunaan KS
dapat diturunkan secara bertahap dan agen non steroid dapat ditambahkan untuk
mencegah rekurensi dan relaps (terapi pemeliharaan). (Stefani Nurhadi, 2017)

2. Terapi dermatitis seboroik kulit tidak berambut


Pilihan terapi topikal tersedia untuk DS kulit tidak berambut derajat ringan dan
sedang. Pada dermatitis seboroik non skalp umumnya sediaan topikal yang
digunakan berbentuk krim, foam atau salep misalnya pada ketokonazol dalam
bentuk foam maupun krim serta siklopiroksolamin 1% obat tersebut sama
efektifnya dalam mengurangi gejala eritema, mengelupas dan gatal. (Stefani
Nurhadi, 2017)

18
Terapi sistemik
Penggunaan obat sistemik pada DS ditujukan pada kasus-kasus akut, area
keterlibatan luas, bentuk resisten, berhubungan dengan HIV dan kelainan
neurologis. Tujuan dari terapi sistemik adalah menurunkan gejala akut sedangkan
penggunaan terapi topikal sebagai pencegahan dan pemeliharaan (Stefani
Nurhadi, 2017)

1. Anti jamur
Efek obat-obatan anti jamur adalah secara langsung melawan Malassezia dan
anti inflamasi. Anti jamur sistemik yang diindikasikan dalam terapi DS adalah
golongan triazol (itrakonazol dan flukonazol), diazol (ketokonazol) dan
allilamin (terbinafin). Azol dan terbinafin menghambat sintesis ergosterol
(suatu komponen kunci membran sel). Diazol dan triazol menghambat enzim
14 α sterol dimetilase, yang menyebabkan akumulasi 14 α metil sterol
menghasilkan penghambatan pertumbuhan jamur. Terbinafin juga
menghambat sintesis enzim skualan 2,3 epoksidase yang mempengaruhi
metabolisme ergosterol dan akumulasi skualan yang menyebabkan kematian
sel jamur. Terbinafin memiliki mekanisme tambahan seperti modulasi
neutrofil, efek scavenger pada reactive oxygen species (ROS) dan modulasi
sekresi sebum. (Stefani Nurhadi, 2017)
Ketokonazol adalah anti jamur sistemik pertama yang digunakan untuk terapi
DS, saat ini sudah tidak digunakan lagi karena sifat hepatotoksisitasnya. Saat
ini ketokonazol hanya digunakan secara topikal saja. Itrakonazol saat ini
dianggap sebagai pilihan pertama untuk terapi sistemik DS baik kasus akut
maupun relaps. Itrakonazol mengalami metabolisme sitokrom P450 pada hati.
Ia bersirkulasi di plasma sebagai metabolit aktif. Obat yang dimetabolisme
oleh sitokrom P450 berinteraksi dengan obat-obatan yang lainnya sehingga
dapat meningkatkan toksisitasnya ataupun menurunkan efikasinya.
Itrakonazol memiliki tingkat keamanan yang baik pada dosis 200 mg/hari.

19
Hepatotoksisitas, nyeri epigastrium, gangguan irama jantung, hipokalemia,
hipertrigliseridemia dan peningkatan transaminase adalah efek samping yang
paling sering dijumpai selama terapi itrakonazol. (Stefani Nurhadi, 2017)
Efikasi terapeutik itrakonazol didukung bukti bahwa agen ini disekresikan
bersama sebum pada stratum korneum dimana kolonisasi Malassezia berada.
Sifat molekulnya yang lipofilik menyebabkan agen tersebut lebih lama berada
pada kulit dan adneksanya bahkan setelah tidak lagi minum obat. Studi yang
dilakukan oleh Kose dan kawan-kawan pada 20 pasien DS menunjukkan
penurunan inflamasi dan perbaikan gejala DS setelah pemberian itrakonazol
sistemik pada dosis 200 mg/hari selama seminggu diikuti pemberian obat
dengan dosis 200 mg/hari untuk 2 hari pertama setiap bulan pada 2 bulan
berikutnya. Sedangkan efektivitas itrakonazol sebagai terapi pemeliharaan
dibuktikan dari studi oleh Caputo dan kawan-kawan pada 160 pasien yang
sudah diterapi 7 hari dengan itrakonazol dosis 200 mg per hari. Selanjutnya
diberikan dosis 200 mg/hari pada 2 hari pertama per bulan selama 8 bulan.
Tidak didapatkan rekurensi selama periode observasi. (Stefani Nurhadi, 2017)
Flukonazol memiliki karakteristik dapat diserap dengan baik oleh traktus
gastrointestinal tidak dipengaruhi oleh keasaman atau makanan. Flukonazol
secara signifikan meningkatkan konsentrasi plasma beberapa obat seperti
warfarin, siklosporin, takrolimus dan teofilin. Rifampisin menurunkan kadar
flukonazol dalam darah.7 Sebuah percobaan acak terkontrol yang
mengevaluasi efikasi terapi jangka pendek dengan flukonazol dan plasebo
pada 63 pasien dengan DS. Obat diberikan kepada 27 pasien dengan dosis 300
mg per minggu selama 2 minggu. perbaikan klinis signifikan dicapai pada
pasien dengan flukonazol pada akhir studi, sementara pasien dengan plasebo
tidak menunjukkan perbaikan. Ada juga percobaan lain yang menggunakan
dosis 200 mg/minggu selama 4 minggu. (Stefani Nurhadi, 2017)
Terbinafin adalah molekul lipofilik sehingga dapat tersimpan pada kulit untuk
memelihara konsentrasi efektif obat bahkan setelah terapi dihentikan.
Terbinafin memiliki profil farmakologi yang aman dan ditoleransi baik
dengan insiden efek samping yang rendah. Efek samping yang dapat terjadi
antara lain nyeri epigastrium, hepatotoksisitas, neutropenia, ruam dan sindrom

20
Steven Johnson.7 Scaparno dan kawan-kawan melakukan studi acak
multisenter untuk mengevaluasi efikasi terbinafin dibandingkan salep
pelembab pada dosis 250 mg/hari selama periode 4 minggu. Terbinafin
menyebabkan penurunan signifikan gejala DS seperti eritema, skuama dan
gatal (p<0.0001). (Stefani Nurhadi, 2017)

Terapi pada bayi


Penanganan DS kulit kepala pada bayi lebih sederhana, seperti keramas rutin
dengan sampo bayi dan menyikat dengan lembut untuk melepaskan sisik.
Penggunaan petrolatum putih setiap hari dapat membantu melunakkan skuama.
Jika hal tersebut masih kurang membantu, maka dapat digunakan sampo
ketokonazol 2% sampai terjadi perbaikan gejala. Sedangkan untuk DS pada kulit
tidak berambut dapat digunakan ketokonazol 2% krim secara tunggal maupun
kombinasi dengan kortikosteroid topikal potensi lemah.30 Pada penyakit Leiner
diperlukan hidrasi intravena, pengaturan suhu tubuh dan antibiotik jika terdapat
infeksi sekunder. (Stefani Nurhadi, 2017)

2.8 PROGNOSIS

Pada prognosis dengan dermatitis seboroik yakni Quo ad vitam : ad bonam


Quo ad functionam : ad bonam Quo ad sanationam : dubia Dermatitis
seboroik pada bayi bersifat swasirna atau bisa sembuh sendiri. Sementara pada
dewasa bersifat kronis dan dapat kambuh (Sandra widaty dkk 2017)

21
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : An.AV

Umur : 10 Thn

Jenis Kelamin : Perempuan

TTL : 12 /05/ 2012

Alamat : hamadi

Pekerjaan : pelajaer

Agama : islam

No. Rekam Medik : 483125

Tanggal Pemeriksaan : 30 06 2021 (11.25 WIT)

3.2 ANAMNESA

3.2.1 Keluhan Utama

Gatal , bersisik kurang lebih 3 minggu

3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang

Pasein datang ke poli kulit dan kelamin RSUD Dok 2 dengan

keluhan timbul bercak-bercak bersisik warna putih dan diikuti gatal-gatal

serta permukaan kulit berwarna merah sejak ± 3 minggu yang lalu.

Awalnya pasien mengeluh gatal pada kulit kepala dan menggaruk kulit

22
kepala. Pasien juga mengatakan bahwa biasa melepaskan ketombe atau

sisik pada kulit kepala tersebut secara perlahan, bercak putih tersebut

biasanya paling banyak terdapat pada daerah kepala terutama di daerah

temporal kiri dan kanan. Pasien juga mengeluh terasa pedih kalau

kepalanya dibasahi oleh air atau dicuci.

3.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu

- Riwayat Penyakit sebelumnya yang sama seperti saat ini disangkal

- Riwayat Alergi disangkal

- Riwayat Penyakit Asma

- Riwayat Hipertensi disangkal

- Riwayat Diabetes Melitus disangkal

- Riwayat Penyakit Jantung disangkal

3.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga

- Riwayat Penyakit sebelumnya yang sama seperti saat ini disangkal

- Riwayat Alergi disangkal

- Riwayat Penyakit Asma disangkal

- Riwayat Hipertensi disangkal

- Riwayat Diabetes Melitus disangkal

- Riwayat Penyakit Jantung disangkal

23
3.2.5 Riwayat Kebiasaan

Pasien adalah seorang pelajar SmP . Pasien mengatakan sering enginap di

hotel dengan tean sekolahnya dan juga pasien sering keramas rambutnya

dalam 2-3 hari sekali dalam seminggu, kepala sering berkeringat .

3.3 PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum : Tampak Sakit Ringan

Kesadaran : Compos Mentis

Tanda-tanda Vital

- Tekanan Darah : 110/80 mmHg ; Nadi : 93 x/menit SPo2 : 98%

- Respirasi : 21x/menit ; Suhu Tubuh : 36.2 ̊C

3.3.1 Status Generalis

Kepala : Normocephal
Mata : Conjungtiva anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-),
Leher : Pembesaran KGB>2 cm (-)
Telinga : Serumen (-/-), Sekret (-/-),
Hidung : Sekret (-/-)
Tenggorok : Hiperemis pada tonsil dan faring (-/-)
Thoraks
- Jantung : BJ I-II regular, murmur (-), Gallop (-)

- Paru : Simetris, Ikut gerak napas, retraksi (-), Suara

napas : Vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheazing

24
(-/-), Vocal fremitus Dextra = sinistra, perkusi

Sonor pada semua lapang paru


Abdomen : Tampak datar, BU (+) 3-4 x/menit, Perkusi

Timpani, P> Hepar (-), Pembesaran Lien (-),

Nyeri tekan (-)

Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan

Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2”, Edema (-/-)

3.3.2 Status Dermatologis

1. Lokasi

Kepala baigin tengah ,di bagian temporalis sisnistra dan dextra

2. Elfloresensi Primer dan Sekunder

Terdapat macula, eritema, plak dan ukurannya plakat yaitu lebih besar

dari uang logam yang tersusun secara sirkumskrip serta Skuama halus

menyerupai bedak yang menempel dengan batasnya tegas, berikut

merupakan gambaran dari dermatitis seboroik yang tampak pada

pasien

25
Dilihat dari kepala bagian tengah terutama di daerah parietal tampak skuama,
berbatasa tegas, dan likenifikasi yang terlihat

26
Dari tampak kepala di parietal k dapat dilihat ada skuama, batas tegas, dan
likenifikasi

3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tidak Dilakukan

3.5 DIAGNOSIS KERJA

27
Dermatitis seboroik

3.6 DIAGNOSIS BANDING

Tinea kapitis gray patch

Psoriasis Vulgaris scalp

3.7 PENATALAKSANAAN

Pengobatan tidak menyembuhkan secara permanen sehingga terapi

dilakukan berulang saat gejala timbul. Tatalaksana yang dilakuka antara

lain :

1. Sampo ketokonazole

2. Kortikosteroid dexamethasone 0.5 mg (PO)

2.8 Prognosis

Ketika ditangani secara baik itu dengan cara menghindari faktor


predisposes dan penggunaan obat secara baik maka prognosisnya baik

BAB IV

PEMBAHASAN

Anamnesis dan pemeriksaan fisik Pada kasus ini didapatkan adanya timbul
bercak-bercak bersisik warna putih atau ketombe dan setalah dianamnesi Awalnya

28
pasien mengeluh gatal pada kulit kepala dan menggaruk kulit kepala serta kulit
kepala berwarna merah. Pasien juga mengatakan bahwa biasa melepaskan
ketombe atau sisik putih tersebut secara perlahan , dan ketika dibilas ada rasa
nyeri akibat pembersihan ketombe dengan menggunakan sisir.

Berdasarkan tinjauan Teori dari anamnesis dan pemeriksaan fisik Pada anak dan
dewasa, biasanya yang menjadi keluhan utama adalah kemerahan dan sisik. Area
kulit yang kemerahan biasanya gatal. Pasien juga dapat mengeluhkan ketombe
(Pitiriasis sika). Keluhan dapat memburuk jika terdapat stressor atau cuaca dingin.
Selain itu keluhannya dapat bervariasi mulai dari, Ketombe dengan skuama halus
atau difus, tebal dan menempel pada kulit, Lesi eksematoid berupa plak
eritematosa superfisial dengan skuama, dapat pula menunjukkan lesi petaloid atau
pitiriasiformis sehingga dapat meluas hingga menjadi eritroderma (Sandra widaty
dkk 2017)

Untuk Epidemiolog atau predileksi dermatitis seboroik pada pasien ini terdapat
bercak putih tersebut biasanya paling banyak di daerah kepala terutama di daerah
tengah pada kepala.

Berdasarkan Literatur Dermatitis seboroik sering tampak sebagai plak eritema


berbatas tegas dengan permukaan berminyak, skuama kekuningan dengan
berbagai perluasan pada daerah yang kaya kelenjar sebasea, seperti kulit kepala,
area retroaurikuler, wajah (lipatan nasolabial, bibir atas, kelopak mata dan alis)
dan dada bagian atas. Pada bayi, Dermatitis seboroik dapat tampak pada area
kulit kepala, wajah, retroaurikuler, lipatan tubuh dan badan; jarang menjadi
generalisata. Cradle cap adalah manifestasi klinis yang paling sering (Stefani
Nurhadi 2017). Lesi paling sering timbul pada daerah kepala, telinga, wajah,
parasternal, dada, dan daerah intertrigo (Menteri Kesehatan Republik Indonesia
2019).

Diagnosis banding saat dilakukan pemeriksaan terhadap pasien adalah tinea


kapitis sebab dilihat dari predileksi lokasinnya di kepala dan juga terdapat
skuama, batas yang tegas serta rasa gatal yang dikeluhkan oleh pasien. dan
psoriasis vulgaris tampak skuama dan juga pasien sering merasakan gatal.

29
Dermatitis seboroik sering tampak sebagai plak eritema berbatas tegas dengan
permukaan berminyak, skuama kekuningan dengan berbagai perluasan pada
daerah yang kaya kelenjar sebasea, seperti kulit kepala, area retroaurikuler, wajah
(lipatan nasolabial, bibir atas, kelopak mata dan alis) dan dada bagian atas.
(Stefani Nurhadi 2017). Hal tersebutlah yang mendukung dermatitis seboroik,
dimana sesuai dengan gejala dan tanda klinis dari pasien atau kasus diatas,
sedangkan untuk diagnosis bandingnya yakni

tinea kapiis dan psoriasis vulgaris yaitu Berdasarakan literature untuk tinea capitis
merupakan kelainan yang disebabkan oleh spesies dermatofita. Kelainan ini dapat
ditandai dengan lesi bersisik, kemerahana, alopesia dan kadang gambaran klinis
yang lebih berat yang disebut kerion (pembengkakan) (Tjut Nurul Alam
Jacoeb,2016). Selain itu juga perlu dilakukan pemeriksaan untuk mendiagnosis
yakni dilakukan pemeriksaan kerokan kulit dengan pewarnaan KOH untuk
menyingkirkan infeksi jamur atau biopsi kulit (Sandra widaty dkk 2017) hal
tersebutlah yang melemahkan diagnosis diagnosis tinea kapitis.

Psoriasis Vulgaris scalp merupakan penyakit kulit inflamasi kronis residif


ditandai adanya plak eritema berbatas tegas dengan skuama kasar dan berlapis-
lapis. Lesi pada psoriasis vulgaris berupa skuama yang tebal, kasar dan berlapis-
lapis. Lokasi lesi atau predileksinya yaitu pada ekstremitas bagian ekstensor
terutama siku, lutut, kuku dan daerah lumbosakral dan juga again genital. (Karina
dan Damayanti, 2018). Hal tersebutlah yang melemahkan diagnosis Psoriasi
Vulgaris, sebab tempat predilkesinya pada DS di kepala.

Penggunaan Terapi pada kasus ini adalah dengan menggunakan sampo


ketokonazole, obat untuk minum kortikosteroid Dexametasone 0,5 mg

Terapi topikal bertujuan untuk mengatur produksi sebum, mengurangi kolonisasi


M. furfur pada kulit dan mengendalikan inflamasi. Tatalaksana DS dengan obat-
obatan topikal dibagi menjadi terapi skalp dan non skalp. Terapi topikal adalah
pendekatan lini pertama pada terapi DS skalp. Terapi topikal yang digunakan
adalah substansi yang memiliki fungsi anti jamur, pengatur sebum, keratolitik
dan/atau anti inflamasi. Agen tersebut tersedia dalam berbagai formulasi seperti

30
krim, emulsi, foam, salep dan sampo Penggunaan sampo yang mengandung obat
digunakan 2 sampai 3 kali seminggu, didiamkan selama 5-10 menit, untuk
optimalisasi efek anti jamur dan keratolitiknya. Misalnya ketokonazole dan
Ketokonazol adalah anti jamur golongan azol yang bersifat fungistatik, fungisidal
dan anti inflamasi (Stefani Nurhadi, 2017).
Pemberian terapi pada dermatitis seboroik harus mencakup penatalaksanaan untuk
mengurangi gatal, memperbaiki struktur fungsi kulit, mencegah faktor resiko dan
pencetus berulang. Biasanya pemberian terapi meliputi Non Skalp dan Skalp.
Pada daerah non skalp pada dewasa bisa digunakan kortikosteroid topikal maupun
anti jamur untuk dermatitis seboroik yang ringan, sedangkan pada yang berat bisa
dikombinasikan penggunaan kortikosteroid topikal,sistemik, dan anti jamur.
Penggunaan kalsineurin inhibitor topikal juga disarankan jika pengobatan
sebelumnya tidak mencapai target terapi. Pada daerah kulit kepala bisa digunakan
sampo antijamur yang dihentikan secara bertahap sampai remisi, jika tidak ada
perbaikan bisa digunakan kombinasi dengan kortikosteroid topikal potensi lemah
hingga kuat selama 2 minggu hingga 1 bulan. Anti jamur sistemik mungkin
diperlukan jika berulang kembali. (Elisia dan Tjokorda Dalem Pemayun, 2019)
Berdasarkan tinjauan teori yakni dengan Terapi sistemik Penggunaan obat
sistemik pada DS ditujukan pada kasus-kasus akut, area keterlibatan luas, bentuk
resisten, berhubungan dengan HIV dan kelainan neurologis. Tujuan dari terapi
sistemik adalah menurunkan gejala akut sedangkan penggunaan terapi topikal
sebagai pencegahan dan pemeliharaan. Efek obat-obatan anti jamur adalah secara
langsung melawan Malassezia dan anti inflamasi. Anti jamur sistemik yang
diindikasikan dalam terapi DS adalah golongan triazol (itrakonazol dan
flukonazol), diazol (ketokonazol) dan allilamin (terbinafin).Ketokonazol adalah
anti jamur sistemik pertama yang digunakan untuk terapi DS, saat ini sudah tidak
digunakan lagi karena sifat hepatotoksisitasnya. (Stefani Nurhadi, 2017)

Prognosisnya akan membaik ketika diterapi dan menghindari faktor


predisposisnya.

31
Menurut literature Dermatitis seboroik pada bayi bersifat swasirna. Sementara
pada dewasa bersifat kronis dan dapat kambuh (Sandra widaty dkk 2017)

BAB V

KESIMPULAN

Dermatitis seboroik (DS) adalah kelainan kulit papuloskuamosa, dengan

predileksi didaerah kaya kelenjar sebasea, scalp, wajah dan badan.

32
- Diagnosis kerja dermatitis seboroik diambil berdasarkan anamnesis dan

pemeriksaan fisik. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, didapatkan

keluhan gatal-gatal disertai dengan perih saat dilakukan pencucian rambut

selain itu berdasarakan pemeriksaan fisik ditemukan kelainan pada kulit

kelapa berupa macula, eritema, plak dan ukurannya plakat yaitu lebih

besar dari uang logam yang tersusun secara sirkumskrip, Skuama halus

menyerupai bedak yang menempel dengan batasnya yang tegas

- Tatalaksana pada pasien ini sudah sesuai Adapun obat-obatan yang

diberikan, untuk menghilangkan skuma dan menghilangkan rasa gatal.

DAFTAR PUSTAKA

33
1. Tjut Nurul Alam Jacoeb dalam buku : Sri linuwih SWM dkk,. Ilmu
penyakit kulit dan kelamin,. Edisi ke-7,. Cetakan
kedua,.FKUI,.Jakarta,.2016,.Hal 232-233

2. Elisia dan Tjokorda Dalem Pemayun,. Profil Dermatitis Seboroik Pada


Pasien di Poliklinik Rawat Jalan Kulit dan Kelamin RSUD Wangaya
Denpasar Periode Oktober 2017-Oktober 2018,. Denpasar,. 2019,.
Volume 10,. Hal 2:497- 500

3. Rova Budi Kusuma, Asih Budiastuti, Aryoko Widodo S,. Beberapa


Faktor Resiko Terjadinya Dermatitis Seboroik Pada Karyawan Go-Jek
Kota Semarang,. Semarang,. 2019,. Volume 8,. Nomor 1.

4. Stefani Nurhadi,.Tatalaksana Dermatitis Seboroik Terkini,. Denpasar,.


2017.

5. Menteri Kesehatan Republik Indonesia,.Pedoman Nasional Pelayanan


Kedokteran Tata Laksana Dermatitis Seboroik Jakarta,. 2019

6. Sandra widaty dkk,.dalam buku: Perhimpunan Dokter spesialis kulit


dan kelamin Indonesia (PERDOSKI),. panduan praktik klinis. Jakarta.
2017

7. Senderina M, Renate TK, Thigita AP,. Profil dermatitis seboroik di


Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado
periode Januari – Desember 2015. Manado. 2016

8. Sandra W dan Aninda Marina,. Pilihan Pengobatan Jangka Panjang


Pada Dermatitis Seboroik. FKUI. Jakarta. 2016

34

Anda mungkin juga menyukai