Oleh:
Silva Vitria andenas
(2019086016487)
Pembimbing:
dr. Rani, Sp.KK., M.Kes., FINDV
1
BAB I
PENDAHULUAN
Dermatitis seboroik menyerang 2-5% populasi, dapat menyerang bayi pada tiga
bulan pertama kehidupan dan dewasa umur 20 hingga 50 tahun. Di Amerika
Serikat prevalensi dermatitis seboroik sekitar 1-3% dari jumlah populasi umum,
dan 3-5% terjadi pada dewasa muda (Senderina, dkk. 2016)
Dermatitis seboroik (DS) yang juga disebut dengan eksema seboroik, adalah
penyakit yang sering terjadi yang ditandai oleh adanya sisik diatas dasar kulit
kemerahan. Penyakit peradangan kronis superfisial ini sering mengenai daerah
kulit yang memiliki produksi sebum yang tinggi dan daerah lipatan. Walaupun
patogenesisnya belum sepenuhnya diketahui, diperkirakan terdapat hubungan
dengan produksi sebum yang berlebihan dan ragi komensal Malassezia (Stefani
Nurhadi 2017)
2
Untuk penatalaksanannya pada dermatitis seboroik yakni dengan
nonmedikamentosa dan medikamentosa tujuannya untuk mengatasi ketombe dan
mengontrol kondisi kulit kepala (Sandra W dan Aninda M, 2016)
Tujuan dari penulisan laporan kasus ini untuk sebagai bahan pembelajaran dan
pengetahuan serta sebagai bahan referensi sekaligus untuk memenuhi kriteria
untuk ujian serta dalam penulisan ini akan dibahas secara keseluruhan tentang
dermatitis seboroik mulai dari anamnesa, pemeriksaan fisik dan
penatalaksanaannya.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Dermatitis seboroik (DS) adalah kelainan kulit papuloskuamosa, dengan
predileksi didaerah kaya kelenjar sebasea, scalp, wajah dan badan. Dermatitis
ini dikaitkan dengan malassezia, terjadi gangguan imunologis mengikuti
kelembaban lingkungan, perubahan cuaca ataupu trauma, dengan penyebaran
lesi dimulai dari derajat ringan, misalnya ketombe sampai dengan bentuk
eritoderma,( Tjut Nurul Alam Jacoeb,2016).
2.2 EPIDEMIOLOGI
4
2.3 ETIOLOGI DAN PATHOGENESIS
Penyebab pasti dari infeksi ini belum diketahui namun ada beberapa faktor
yang mempengaruhi etiopatogenesis antara lain sekresi kelenjar sebasea yang
berlebihan, kolonisasi Malassezia spp., dan respon imun tubuh penderita,
(Elisia Dan Tjokorda Dalem Pemayun).
Salah satu infeksi jamur yang dapat menyebabkan inflamasi adalah infeksi
Pityrosporum ovale. Infeksi dari Pityrosporum ovale dianggap oleh Shuster
(1984) sebagai penyebab primer ketombe karena membuktikan dari postulat
Koch bahwa pertumbuhan Pityrosporum ovale di penderita ketombe
mengalami peningkatan. Meskipun begitu hingga sekarang patogenesis dari
Dermatitis Seboroik masih belum diketahui secara pasti walaupun menurut
Fritsch (2008), kejadian Dermatitis Seboroik memiliki hubungan yang erat
dengan produksi sebum yang berlebih dan adanya Malassezia, (Rova Budi
Kusuma, Asih Budiastuti, Aryoko Widodo S).
Jumlah sebum yang diproduksi bukan faktor utama pada kejadian dermatitis
seboroik. Permukaan kulit pasien dermatitis seboroik kaya akan lipid
trigleserida dan kolesterol, namu rendah asam lemak dan skualen. Flora
normal kulit yaitu Malassezia spp dan propionibacterium acnes, memiliki
enzim lipase yang aktif yang dapat mentransformasi trigliserida menjadi asam
lemak bebas. Asam lemak bebas bersama dengan reactive oxygen species
5
(ROS) bersifat antibakteri yang akan mengubah flora normal kulit. Perubahan
flora normal, aktivasi lipase dan ROS akan menyebabkan dermatitis seboroik.
Dibawah ini adalah alur yang menunukan peran Malassezia spp pada
dermatitis seboroik. Koloni jamur mempunyai kemampuan untuk
berproliferasi di permukaan kulit hingga menimbulkan reaksi inflamasi dan
secara klinis Nampak berupa skuama, (Sandra W dan Aninda M, 2016)
Dermatitis seboroik sering tampak sebagai plak eritema berbatas tegas dengan
permukaan berminyak, skuama kekuningan dengan berbagai perluasan pada
daerah yang kaya kelenjar sebasea, seperti kulit kepala, area retroaurikuler,
wajah (lipatan nasolabial, bibir atas, kelopak mata dan alis) dan dada bagian
atas. Pada bayi, Dermatitis seboroik dapat tampak pada area kulit kepala,
wajah, retroaurikuler, lipatan tubuh dan badan; jarang menjadi generalisata.
Cradle cap adalah manifestasi klinis yang paling sering. Dermatitis seboroik
pada anak-anak biasanya sembuh sendiri. Sebaliknya, dermatitis seboroik
pada dewasa biasanya kronis dan kambuhan. Gatal jarang dirasakan, tetapi
6
sering terjadi pada lesi di kepala. Komplikasi utamanya adalah infeksi
sekunder bakterial, yang meningkatkan kemerahan, eksudat dan iritasi local,
(Stefani Nurhadi 2017).
Keluhan gatal paling sering muncul pada dermatitis seboroik di daerah kulit
kepala, berikut merupakan jenis dan varian klinis dermatitis seboroik menurut
lokasi predileksinya (Menteri Kesehatan Republik Indonesia 2019).
7
Tabel 1. (Menteri Kesehatan Republik Indonesia 2019 hal 14).
Jenis dan varian klinis dermatitis seboroik
Jenis dermatitis seboroik dan Manifestasi klink
variannya
Dermatitis seboroik dewasa Disertai keluhan gatal
Kulit kepala (scalp) Ringan : skuama berminyak (ketombe/dandruff)
Berat : krusta seperti warna madu menempel pada
kulit kepala
Wajah Tempat predileksi : alis, glaball, malar,nasolabial
fold, dan palpebra
Eritema ringan disertai deskuamasi skuama putih
keabuan dan berminyak, pada palpebra bisa terjadi
blehparitis
Tubuh (ada beberapa Varian ) Tempat predileksi: aksila, parasternal, umbilicus,
inguinal, inframamaria, dan urogenila.
a. Pada area parasternal Lesi madidans, tampak adanya maserasi dengan dasar
terdapat dua bentuk eritem dan disekitar lesi.
8
Tubuh termasuk area Skuama kering tipis atau lesi berbentuk oval
(fleksor dan popok) berbatasa tegas tertutup oleh krusta tebal berminyak
berwarna coklat kekuningan, dan cenderung untuk
konfluens.
Lesner’s deases (penyakit Lesner’s deases merupakan bentuk dermatitis
lesner) seboroik infantile yang berat meluas sehingga
menjadi eritoderma. Ditandai dengan gejala demam,
anemia, diare, muntah, penurunan berat badan dan
dapat mengacam jiwa jika tidak diterapi dengan
segera dan tepat.
Ada yang maninfantil dan familial yakni C3/C5
2.5 DIAGNOSIS
2.5.1 Klinis
Pada bayi biasanya terjadi pada 3 bulan pertama kehidupan. Sering disebut
berminyak dan umumnya tidak gatal. Pada anak dan dewasa, biasanya
yang menjadi keluhan utama dalah kemerahan dan sisik di kulit kepala,
lipatan nasolabial, alis mata, area post aurikula, dahi dan dada. Lesi lebih
anogenital. Area kulit yang kemerahan biasanya gatal. Pasien juga dapat
terdapat stressor atau cuaca dingin. Pada bayi umumnya bersifat swasirna
2017)
berminyak dan tidak gatal. Skuama biasanya terbatas pada batas kulit
kepala (skalp) dan dapat pula ditemukan di belakang telinga dan area alis
mata. Lesi lebih jarang ditemukan di lipatan fleksura, area popok dan
9
wajah. Pada anak dan dewasa dapat bervariasi mulai dari: Ketombe dengan
skuama halus atau difus, tebal dan menempel pada kulit kepala Lesi
kulit kepala, wajah dan tubuh Di dada dapat pula menunjukkan les
Jenis ini khas pada dewasa muda, jika terjadi pada anak sering bersifat
10
Gambar: 3 https://dermatologicadi.com.mx/psoriasis_guttata.html
Rasa gatal lebih hebat saat beristrahat, udara panas dan berkeringat
Gambar : 4 https://images.search.yahoo.com/search/images
11
2.6.3 Dermatitis kontak iritan kumulatif
Riwayat kontak misalnya dengan sabun pencuci wajah atau bahan iritan
hidroksi). Biasa terjadi pada semua usia dan gejala klinisnya berupa kulit
kering disertai eritema, skuama yang lambat laun kulit menjadi tebal
Gambar : 5 https://images.search.yahoo.com/search/images;
2.6.4 Dermatofitosis
tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut dan kuku yang
12
menjadi beberapa bentuk berdasarkan pada gambaran kliis yakni tinea
kapitis, tinea barbae, tinea krurus dll. (Tjut Nurul Alam Jacoeb,2016)
Gambar :6 https://images.search.yahoo.com/search/images
2.7 TATALAKSANA
13
penggunaan obat, serta efek samping obat yang mungkin terjadi. (Sandra
A. Ringan
Antijamur topikal: krim ciclopirox 1%, krim ketokonazol 2% 2
kali sehari selama 4 minggu.
AIAFp: krim piroctone olamine/alglycera/bisabolol 2 kali sehari
selama 4 minggu
Kortikosteroid topikal kelas I: krim atau salep hidrokortison 1% 2
kali sehari selama 4 minggu
Inhibitor kalsineurin topikal: krim pimekrolimus 1%, salep
takrolimus 0,1% 2 kali sehari selama 4 minggu
B. Sedang/berat
Kortikosteroid topikal kelas II: krim desonide 0,05%5-6,10,13
(A,1), salep aclometasone 0,05% 2 kali sehari selama 4 minggu
Antijamur sistemik: Itrakonazol 200 mg/hari selama 1 minggu
kemudian 200 mg/hari selama 2 hari/bulan selama 11 bulan dan
Terbinafin 250 mg/hari selama 4-6 minggu (regimen kontinu) atau
250 mg/hari selama 12 hari/bulan untuk 3 bulan (regimen
intermiten) (Sandra widaty dkk 2017)
14
2. Untuk menghilangkan skuama tebal dan mengurangi jumlah sebum pada
kulit dapat dilakukan dengan mencuci wajah berulang dengan sabun lunak.
atau sulfur
Terapi topikal
Terapi topikal bertujuan untuk mengatur produksi sebum, mengurangi kolonisasi
M. furfur pada kulit dan mengendalikan inflamasi. Tatalaksana DS dengan obat-
obatan topikal dibagi menjadi terapi skalp dan non skalp. (Stefani Nurhadi, 2017)
15
pengatur sebum, keratolitik dan/atau anti inflamasi. Agen tersebut tersedia
dalam berbagai formulasi seperti krim, emulsi, foam, salep dan sampo
Penggunaan sampo yang mengandung obat digunakan 2 sampai 3 kali
seminggu, didiamkan selama 5-10 menit, untuk optimalisasi efek anti jamur
dan keratolitiknya. Pilihan obat-obatan yang biasa digunakan dapat dilihat
pada lampiran. (Stefani Nurhadi, 2017)
1.1. Ketokonazol adalah anti jamur golongan azol yang bersifat
fungistatik, fungisidal dan anti inflamasi. Ia menghambat pertumbuhan
jamur melalui penghambatan lanosterol 14 dimetilase sehingga
menghambat sintesis ergosterol. Banyak studi menunjukkan efikasinya.
Pada suatu studi terbuka kelompok paralel acak menunjukkan efikasi
sampo ketokonazol 2% lebih baik daripada 1% (p<0,001). Tujuh
percobaan buta ganda, acak, terkontrol yang menganalisis ulasan berbasis
bukti menunjukkan hasil yang baik pada 88% subyek yang diterapi dengan
sampo atau krim ketokonazol. Studi buta ganda acak terkontrol telah
menunjukkan bahwa terapi kombinasi sampo ketokonazol bergantian
dengan sampo klobetasol propionat 0,05% menunjukkan efikasi yang
lebih baik dibandingkan ketokonazol saja (p<0,05) Profil keamanannya
ketokonazol yang tinggi didukung oleh beberapa studi berdasarkan sangat
minimalnya penyerapan perkutan dan potensi iritasi dan sensitisasi yang
rendah.
1.2. Siklopiroksolamin adalah anti jamur berspektrum luas yang
merupakan derivat hidroksipiridon. Agen ini menghambat ambilan dan
penggunaan substansi yang diperlukan sintesis membran sel jamur dengan
mengubah permeabilitasnya. Siklopiroksolamin juga memiliki sifat anti
inflamasi karena menghambat pelepasan prostaglandin dan leukotrien.
Selanjutnya studi in vitro menunjukkan aktivitasnya dalam menghambat
pertumbuhan mikroorganisme gram positif dan negatif. Pada studi
multisenter, acak, terkontrol, buta ganda, 178 pasien mendapatkan 2 kali
atau sekali siklopiroksolamin 0,77% jel atau hanya zat pembawa. Pada
akhir studi, gejala membaik secara signifikan pada kelompok pasien yang
16
diobati dengan siklopiroksolamin dibandingkan dengan kelompok kontrol
(p<0.01).
1.3. Pyroctone olamine juga dikenal sebagai octopirox dan efektif
untuk terapi infeksi jamur. Pyroctone olamine adalah bahan aktif yang
dapat meredakan inflamasi kulit kepala dan menurunkan pembentukan
skuama pada kulit dengan penghambatan jamur. Pyroctone olamine secara
fungsional dapat mengganggu pembelahan sel ragi dan transfer material
(inhibisi kanal natrium kalium) dan juga menghambat pertumbuhan jamur.
1.4. Bisabolol atau Butyrospermum parkii biasa dikenal dengan nama
shea butter. Bahan ini memiliki sifat anti inflamasi sekaligus sifat anti
jamur sehingga sering digunakan dalam pengobatan dermatitis seboroik.
Namun bisabolol kurang begitu poten bila diberikan secara mono terapi
sehingga biasanya dikombinasikan dengan agen lain.
1.5. Glycyrrhetic acid memiliki sifat anti inflamasi, anti iritasi, anti
alergi dan antivirus. Pada suatu studi klinis perbandingan acak yang
dilakukan pada 67 subyek yang terkena DS kulit kepala, diberikan sampo
yang mengandung Glycyrrhetic acid ditambah siklopiroksolamin dan zinc
pyrithione. Setelah pemberian 3 kali seminggu selama 2 minggu, subyek
secara acak menerima produk sekali seminggu selama 8 minggu atau
sampo netral. Perbaikan signifikan diamati selama masa terapi (p<0,0001)
dengan penurunan gejala gatal dan pengelupasan kulit) serta adanya
Malassezia kulit. Selama fase pemeliharaan, perbaikan bertahan hanya
pada kelompok yang menerima terapi pemeliharaan dengan perbedaan
antar kelompok yang signifikan.
1.6. Asam salisilat adalah sejenis asam beta hidroksi yang dapat
melepaskan sisik keras dan tebal dari kulit kepala melalui aktivitas
keratolitik sehingga efektif untuk terapi DS.
1.7. Tar memiliki sifat anti jamur dan anti inflamasi. Beberapa studi
telah menunjukkan kemampuannya mengurangi sebum. Aktivitas
fungistatik in vitro nampaknya sama dengan ketokonazol. Shampo tar
digunakan secara luas walaupun bukti yang menunjang efikasinya masih
sangat minim
17
1.8. Zinc pyrithione, anti jamur fungistatik yang bekerja dengan
meningkatkan kadar tembaga dalam sel jamur dan merusak ikatan protein
besi sulfur sehingga mengganggu metabolisme jamur. Malassezia yang
menjadi target didapatkan terutama pada infundibulum folikuler.
Sementara agen ini bekerja pada infundibulum folikuler kulit kepala serta
bertahan pada folikel rambut hingga 10 hari. (Stefani Nurhadi, 2017)
18
Terapi sistemik
Penggunaan obat sistemik pada DS ditujukan pada kasus-kasus akut, area
keterlibatan luas, bentuk resisten, berhubungan dengan HIV dan kelainan
neurologis. Tujuan dari terapi sistemik adalah menurunkan gejala akut sedangkan
penggunaan terapi topikal sebagai pencegahan dan pemeliharaan (Stefani
Nurhadi, 2017)
1. Anti jamur
Efek obat-obatan anti jamur adalah secara langsung melawan Malassezia dan
anti inflamasi. Anti jamur sistemik yang diindikasikan dalam terapi DS adalah
golongan triazol (itrakonazol dan flukonazol), diazol (ketokonazol) dan
allilamin (terbinafin). Azol dan terbinafin menghambat sintesis ergosterol
(suatu komponen kunci membran sel). Diazol dan triazol menghambat enzim
14 α sterol dimetilase, yang menyebabkan akumulasi 14 α metil sterol
menghasilkan penghambatan pertumbuhan jamur. Terbinafin juga
menghambat sintesis enzim skualan 2,3 epoksidase yang mempengaruhi
metabolisme ergosterol dan akumulasi skualan yang menyebabkan kematian
sel jamur. Terbinafin memiliki mekanisme tambahan seperti modulasi
neutrofil, efek scavenger pada reactive oxygen species (ROS) dan modulasi
sekresi sebum. (Stefani Nurhadi, 2017)
Ketokonazol adalah anti jamur sistemik pertama yang digunakan untuk terapi
DS, saat ini sudah tidak digunakan lagi karena sifat hepatotoksisitasnya. Saat
ini ketokonazol hanya digunakan secara topikal saja. Itrakonazol saat ini
dianggap sebagai pilihan pertama untuk terapi sistemik DS baik kasus akut
maupun relaps. Itrakonazol mengalami metabolisme sitokrom P450 pada hati.
Ia bersirkulasi di plasma sebagai metabolit aktif. Obat yang dimetabolisme
oleh sitokrom P450 berinteraksi dengan obat-obatan yang lainnya sehingga
dapat meningkatkan toksisitasnya ataupun menurunkan efikasinya.
Itrakonazol memiliki tingkat keamanan yang baik pada dosis 200 mg/hari.
19
Hepatotoksisitas, nyeri epigastrium, gangguan irama jantung, hipokalemia,
hipertrigliseridemia dan peningkatan transaminase adalah efek samping yang
paling sering dijumpai selama terapi itrakonazol. (Stefani Nurhadi, 2017)
Efikasi terapeutik itrakonazol didukung bukti bahwa agen ini disekresikan
bersama sebum pada stratum korneum dimana kolonisasi Malassezia berada.
Sifat molekulnya yang lipofilik menyebabkan agen tersebut lebih lama berada
pada kulit dan adneksanya bahkan setelah tidak lagi minum obat. Studi yang
dilakukan oleh Kose dan kawan-kawan pada 20 pasien DS menunjukkan
penurunan inflamasi dan perbaikan gejala DS setelah pemberian itrakonazol
sistemik pada dosis 200 mg/hari selama seminggu diikuti pemberian obat
dengan dosis 200 mg/hari untuk 2 hari pertama setiap bulan pada 2 bulan
berikutnya. Sedangkan efektivitas itrakonazol sebagai terapi pemeliharaan
dibuktikan dari studi oleh Caputo dan kawan-kawan pada 160 pasien yang
sudah diterapi 7 hari dengan itrakonazol dosis 200 mg per hari. Selanjutnya
diberikan dosis 200 mg/hari pada 2 hari pertama per bulan selama 8 bulan.
Tidak didapatkan rekurensi selama periode observasi. (Stefani Nurhadi, 2017)
Flukonazol memiliki karakteristik dapat diserap dengan baik oleh traktus
gastrointestinal tidak dipengaruhi oleh keasaman atau makanan. Flukonazol
secara signifikan meningkatkan konsentrasi plasma beberapa obat seperti
warfarin, siklosporin, takrolimus dan teofilin. Rifampisin menurunkan kadar
flukonazol dalam darah.7 Sebuah percobaan acak terkontrol yang
mengevaluasi efikasi terapi jangka pendek dengan flukonazol dan plasebo
pada 63 pasien dengan DS. Obat diberikan kepada 27 pasien dengan dosis 300
mg per minggu selama 2 minggu. perbaikan klinis signifikan dicapai pada
pasien dengan flukonazol pada akhir studi, sementara pasien dengan plasebo
tidak menunjukkan perbaikan. Ada juga percobaan lain yang menggunakan
dosis 200 mg/minggu selama 4 minggu. (Stefani Nurhadi, 2017)
Terbinafin adalah molekul lipofilik sehingga dapat tersimpan pada kulit untuk
memelihara konsentrasi efektif obat bahkan setelah terapi dihentikan.
Terbinafin memiliki profil farmakologi yang aman dan ditoleransi baik
dengan insiden efek samping yang rendah. Efek samping yang dapat terjadi
antara lain nyeri epigastrium, hepatotoksisitas, neutropenia, ruam dan sindrom
20
Steven Johnson.7 Scaparno dan kawan-kawan melakukan studi acak
multisenter untuk mengevaluasi efikasi terbinafin dibandingkan salep
pelembab pada dosis 250 mg/hari selama periode 4 minggu. Terbinafin
menyebabkan penurunan signifikan gejala DS seperti eritema, skuama dan
gatal (p<0.0001). (Stefani Nurhadi, 2017)
2.8 PROGNOSIS
21
BAB III
LAPORAN KASUS
Nama : An.AV
Umur : 10 Thn
Alamat : hamadi
Pekerjaan : pelajaer
Agama : islam
3.2 ANAMNESA
Awalnya pasien mengeluh gatal pada kulit kepala dan menggaruk kulit
22
kepala. Pasien juga mengatakan bahwa biasa melepaskan ketombe atau
sisik pada kulit kepala tersebut secara perlahan, bercak putih tersebut
temporal kiri dan kanan. Pasien juga mengeluh terasa pedih kalau
23
3.2.5 Riwayat Kebiasaan
hotel dengan tean sekolahnya dan juga pasien sering keramas rambutnya
Tanda-tanda Vital
Kepala : Normocephal
Mata : Conjungtiva anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-),
Leher : Pembesaran KGB>2 cm (-)
Telinga : Serumen (-/-), Sekret (-/-),
Hidung : Sekret (-/-)
Tenggorok : Hiperemis pada tonsil dan faring (-/-)
Thoraks
- Jantung : BJ I-II regular, murmur (-), Gallop (-)
24
(-/-), Vocal fremitus Dextra = sinistra, perkusi
1. Lokasi
Terdapat macula, eritema, plak dan ukurannya plakat yaitu lebih besar
dari uang logam yang tersusun secara sirkumskrip serta Skuama halus
pasien
25
Dilihat dari kepala bagian tengah terutama di daerah parietal tampak skuama,
berbatasa tegas, dan likenifikasi yang terlihat
26
Dari tampak kepala di parietal k dapat dilihat ada skuama, batas tegas, dan
likenifikasi
Tidak Dilakukan
27
Dermatitis seboroik
3.7 PENATALAKSANAAN
lain :
1. Sampo ketokonazole
2.8 Prognosis
BAB IV
PEMBAHASAN
Anamnesis dan pemeriksaan fisik Pada kasus ini didapatkan adanya timbul
bercak-bercak bersisik warna putih atau ketombe dan setalah dianamnesi Awalnya
28
pasien mengeluh gatal pada kulit kepala dan menggaruk kulit kepala serta kulit
kepala berwarna merah. Pasien juga mengatakan bahwa biasa melepaskan
ketombe atau sisik putih tersebut secara perlahan , dan ketika dibilas ada rasa
nyeri akibat pembersihan ketombe dengan menggunakan sisir.
Berdasarkan tinjauan Teori dari anamnesis dan pemeriksaan fisik Pada anak dan
dewasa, biasanya yang menjadi keluhan utama adalah kemerahan dan sisik. Area
kulit yang kemerahan biasanya gatal. Pasien juga dapat mengeluhkan ketombe
(Pitiriasis sika). Keluhan dapat memburuk jika terdapat stressor atau cuaca dingin.
Selain itu keluhannya dapat bervariasi mulai dari, Ketombe dengan skuama halus
atau difus, tebal dan menempel pada kulit, Lesi eksematoid berupa plak
eritematosa superfisial dengan skuama, dapat pula menunjukkan lesi petaloid atau
pitiriasiformis sehingga dapat meluas hingga menjadi eritroderma (Sandra widaty
dkk 2017)
Untuk Epidemiolog atau predileksi dermatitis seboroik pada pasien ini terdapat
bercak putih tersebut biasanya paling banyak di daerah kepala terutama di daerah
tengah pada kepala.
29
Dermatitis seboroik sering tampak sebagai plak eritema berbatas tegas dengan
permukaan berminyak, skuama kekuningan dengan berbagai perluasan pada
daerah yang kaya kelenjar sebasea, seperti kulit kepala, area retroaurikuler, wajah
(lipatan nasolabial, bibir atas, kelopak mata dan alis) dan dada bagian atas.
(Stefani Nurhadi 2017). Hal tersebutlah yang mendukung dermatitis seboroik,
dimana sesuai dengan gejala dan tanda klinis dari pasien atau kasus diatas,
sedangkan untuk diagnosis bandingnya yakni
tinea kapiis dan psoriasis vulgaris yaitu Berdasarakan literature untuk tinea capitis
merupakan kelainan yang disebabkan oleh spesies dermatofita. Kelainan ini dapat
ditandai dengan lesi bersisik, kemerahana, alopesia dan kadang gambaran klinis
yang lebih berat yang disebut kerion (pembengkakan) (Tjut Nurul Alam
Jacoeb,2016). Selain itu juga perlu dilakukan pemeriksaan untuk mendiagnosis
yakni dilakukan pemeriksaan kerokan kulit dengan pewarnaan KOH untuk
menyingkirkan infeksi jamur atau biopsi kulit (Sandra widaty dkk 2017) hal
tersebutlah yang melemahkan diagnosis diagnosis tinea kapitis.
30
krim, emulsi, foam, salep dan sampo Penggunaan sampo yang mengandung obat
digunakan 2 sampai 3 kali seminggu, didiamkan selama 5-10 menit, untuk
optimalisasi efek anti jamur dan keratolitiknya. Misalnya ketokonazole dan
Ketokonazol adalah anti jamur golongan azol yang bersifat fungistatik, fungisidal
dan anti inflamasi (Stefani Nurhadi, 2017).
Pemberian terapi pada dermatitis seboroik harus mencakup penatalaksanaan untuk
mengurangi gatal, memperbaiki struktur fungsi kulit, mencegah faktor resiko dan
pencetus berulang. Biasanya pemberian terapi meliputi Non Skalp dan Skalp.
Pada daerah non skalp pada dewasa bisa digunakan kortikosteroid topikal maupun
anti jamur untuk dermatitis seboroik yang ringan, sedangkan pada yang berat bisa
dikombinasikan penggunaan kortikosteroid topikal,sistemik, dan anti jamur.
Penggunaan kalsineurin inhibitor topikal juga disarankan jika pengobatan
sebelumnya tidak mencapai target terapi. Pada daerah kulit kepala bisa digunakan
sampo antijamur yang dihentikan secara bertahap sampai remisi, jika tidak ada
perbaikan bisa digunakan kombinasi dengan kortikosteroid topikal potensi lemah
hingga kuat selama 2 minggu hingga 1 bulan. Anti jamur sistemik mungkin
diperlukan jika berulang kembali. (Elisia dan Tjokorda Dalem Pemayun, 2019)
Berdasarkan tinjauan teori yakni dengan Terapi sistemik Penggunaan obat
sistemik pada DS ditujukan pada kasus-kasus akut, area keterlibatan luas, bentuk
resisten, berhubungan dengan HIV dan kelainan neurologis. Tujuan dari terapi
sistemik adalah menurunkan gejala akut sedangkan penggunaan terapi topikal
sebagai pencegahan dan pemeliharaan. Efek obat-obatan anti jamur adalah secara
langsung melawan Malassezia dan anti inflamasi. Anti jamur sistemik yang
diindikasikan dalam terapi DS adalah golongan triazol (itrakonazol dan
flukonazol), diazol (ketokonazol) dan allilamin (terbinafin).Ketokonazol adalah
anti jamur sistemik pertama yang digunakan untuk terapi DS, saat ini sudah tidak
digunakan lagi karena sifat hepatotoksisitasnya. (Stefani Nurhadi, 2017)
31
Menurut literature Dermatitis seboroik pada bayi bersifat swasirna. Sementara
pada dewasa bersifat kronis dan dapat kambuh (Sandra widaty dkk 2017)
BAB V
KESIMPULAN
32
- Diagnosis kerja dermatitis seboroik diambil berdasarkan anamnesis dan
kelapa berupa macula, eritema, plak dan ukurannya plakat yaitu lebih
besar dari uang logam yang tersusun secara sirkumskrip, Skuama halus
DAFTAR PUSTAKA
33
1. Tjut Nurul Alam Jacoeb dalam buku : Sri linuwih SWM dkk,. Ilmu
penyakit kulit dan kelamin,. Edisi ke-7,. Cetakan
kedua,.FKUI,.Jakarta,.2016,.Hal 232-233
34