Anda di halaman 1dari 12

Dermatitis Seboroik

Disusun oleh :

Fardiansyah

11.2018.073

Pembimbing :

dr.

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

RUMAH SAKIT HUSADA JAKARTA

PERIODE 15 MARET 2021– 17 APRIL 2021


Pendahuluan

Dermatitis seboroik (DS) merupakan penyakit eritroskuamosa kronis, biasa ditemukan


pada usia anak dan dewasa. Keadaan ini ditandai oleh kelainan kulit di area tubuh dengan banyak
folikel sebasea dan kelenjar sebasea aktif, yaitu daerah wajah, kepala, telinga, badan bagian atas
dan lipatan tubuh (inguinal, inframamae dan aksila). Kadang-kadang dapat juga mengenai daerah
interskapular, umbilikus, perineum, dan anogenital.1,2

Diagnosis dermatitis seboroik umumnya mudah ditegakkan secara klinis, dan tidak
memerlukan alat bantu khusus. Pemeriksaan tambahan lain berupa pemeriksaan laboratorium
dan pemakaian alat non invasif dapat membantu diagnosis dan terapi spesifik yang diperlukan.1

Prevalensi DS di Poliklinik Kulit dan Kelamin RS. dr. Cipto Mangunkusumo berkisar
antara 1 sampai 5 % pada populasi umum. Di Poliklinik Kulit dan Kelamin RS. dr Cipto
Mangunkusumo Jakarta pada tahun 2014, ditemukan prevalensi DS sebesar 1%, umumnya
menyerang dewasa muda, laki-laki lebih banyak dari pada perempuan dengan usia 1 bulan
hingga 88 tahun. Terdapat berbagai faktor yang berpengaruh pada DS yang berpengaruh pada
prinsip tatalaksana DS. Prognosis dipengaruhi oleh awitan DS, dan pada bayi prognosisnya jauh
lebih baik daripada DS pada dewasa.1

Dermatitis seboroik menyerang 1-5% populasi dunia, di Asia sendiri bervariasi antara
2,1% di Korea Selatan sampai 26,5% di Indonesia. Data dari Kemenkes menyebutkan pasien
dermatitis seboroik di poliklinik kulit dan kelamin di berbagai rumah sakit di Indonesia pada
tahun 2013-2015 adalah 0,99%-5,8%.1 Sedangkan jumlah pasien di poliklinik kulit dan kelamin
RSUP Sanglah Bali sendiri tercatat 1,03% dari keseluruhan pasien.3

Insidensi Dermatitis Seboroik sendiri tersering pada usia 3 bulan pertama sampai usia 3
tahun, selama pubertas, dan pada usia dewasa sekitar 40-60 tahun. Laki-laki lebih sering terkena
penyakit ini dibandingkan perempuan dengan perbandingan 3% banding 2,6% di semua
kelompok usia. Pada bayi usia 3 bulan, dermatitis seboroik ini umumnya menyerang bagian kulit
kepala, wajah, dan pantat. Sedangkan pada remaja dan dewasa banyak ditemukan pada wajah,
dada, ketiak, dan lipatan inguinal.3

Karena perjalanannya yang kronis dan kambuh-kambuhan, DS dapat ditekan namun tidak
dapat sembuh secara permanen. Sehingga kondisi ini memerlukan pengobatan yang rutin selama
bertahun-tahun. Pendekatan tatalaksana DS sebaiknya dipilih berdasarkan tampilan klinis,
perluasan dan lokasi penyakit.4

Epidemiologi

Dermatitis seboroik dapat terjadi pada semua kelompok usia, namun biasanya terpisah
menjadi dua golongan usia yaitu neonatus dan dewasa. Pada bayi, penyakit memuncak pada 3
bulan pertama, sedangkan pada dewasa pada usia 30 hingga 60 tahun. DS biasanya diderita lebih
banyak oleh lelaki dibandingkan dengan perempuan, dalam berbagai golongan usia dan ras. Di
berbagai negara Asia, pasien DS berusia antara 12 hingga 20 tahun. DS juga dapat ditemukan
pada pasien dengan kondisi imunosupresi (misalnya pasien dengan HIV/AIDS, transplantasi
organ) dan penyakit lain misalnya Parkinson, serta gangguan nutrisi dan kelainan genetik.1,4

Dermatitis seboroik dibagi dalam dua kelompok usia, bentuk infantil yang dapat sembuh
sendiri terutama pada tiga bulan pertama kehidupan dan bentuk dewasa yang kronis.
Predominansi laki-laki tampak pada semua usia, tanpa predileksi ras, atau transmisi horizontal.
Karakteristik DS memiliki tren bimodal, dengan frekuensi puncak pertama saat kelahiran dan
yang kedua adalah pada dewasa usia antara 30 sampai 60 tahun.9 Prevalensinya diperkirakan
5%, tetapi insiden seumur hidup termasuk tinggi secara signifikan. Dermatitis seboroik yang
ekstensif dan resisten terhadap terapi adalah suatu tanda kulit yang penting untuk infeksi HIV,
penyakit Parkinson dan gangguan mood.1,4

Etiologi dan patogenesis

Patogenesis DS masih belum diketahui dengan pasti, namun berhubungan erat dengan
jamur Malassezia, kelainan imunologis, aktivitas kelenjar sebasea dan kerentanan pasien. Jumlah
sebum yang diproduksi bukan faktor utama pada kejadian DS. Permukaan kulit pasien DS kaya
akan lipid trigliserida dan kolesterol, namun rendah asam lemak dan skualen. Flora normal kulit,
yaitu Malassezia sp dan Propionibacterium acnes, memiliki enzim lipase yang aktif yang dapat
mentransformasi trigliserida menjadi asam lemak bebas. Asam lemak bebas bersama dengan
reactive oxygen species (ROS) bersifat antibakteri yang akan mengubah flora normal kulit.
Perubahan flora normal, aktivasi lipase dan ROS akan menyebabkan dermatitis seboroik.1,4

Etiopatogenesis DS masih sebagian diketahui. Lipid kulit dan spesies Malassezia adalah
faktor etiologi yang paling banyak dipelajari. Kelenjar sebasea pasien DS tidak lebih banyak
dibandingkan dengan individu sehat. Selain itu tidak didapatkan kelainan morfologi dan ukuran
kelenjar pada penderita DS dibandingkan dengan orang sehat. 1,4

Tidak semua orang dengan hiperseborea mengalami DS, tetapi pasien dengan DS dapat
memiliki kuantitas sebum yang normal atau bahkan kulit yang kering. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa jumlah sebum bukanlah faktor penyebab terjadinya DS. Pada sebum pasien
DS, trigliserida dan kolesterol meningkat, sementara skualan dan asam lemak bebas berkurang.
Asam lemak bebas yang diketahui memiliki efek antimikroba dibentuk dari trigliserida oleh
lipase bakteri, diproduksi oleh Corynebacterium acne dan Malassezia yang merupakan flora
residen. Asam lemak bebas dan radikal oksigen reaktif dapat mengubah keseimbangan flora
normal kulit. 1,4

Spesies Malassezia tidak dapat memproduksi asam lemak yang penting untuk
pertumbuhannya. Namun, ia menghasilkan lipase dan fosfolipase yang akan memecah
trigliserida menjadi asam lemak bebas. Selanjutnya, spesies Malassezia menggunakan asam
lemak jenuh dan melepaskan asam lemak tak jenuh ke permukaan kulit. Akhirnya, spesies ini
menginduksi pelepasan sitokin proinflamasi (IL6 dan 8 dan tumor necrosis factor α).4

Pada pasien AIDS, DS lebih sering terjadi dan berat. Pada pasien AIDS, prevalensi DS
berkisar antara 34% hingga 83% (pada populasi umum prevalensinya hanya 3-5%). Pasien-
pasien ini kebanyakan laki-laki homoseksual atau biseksual dengan CD4+ <400/mm3. Mereka
menderita DS dengan peradangan dan deskuamasi yang lebih berat. Selanjutnya pada pasien
AIDS, beban Malassezia spp. lebih tinggi daripada pada subyek sehat. Hal ini dapat terjadi
karena pasien-pasien tersebut memiliki defisiensi seluler spesifik terhadap Malassezia Spp.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa Malassezia spp. Memiliki peranan dalam patogenesis DS.
Hal ini juga ditunjukkkan dari fakta bahwa antimikotik oral efektif sebagai terapi DS.4

Manifestasi klinis

Pada bayi berusia kurang dari 3 bulan lesi akan swasirna, sedangkan pada dewasa bersifat
kronis dan dapat residif.8 Secara klinis dapat ditemukan kondisi seboroik (seborrhoic state)
berupa perubahan warna kulit menjadi eritema atau hipopigmentasi atau keabuan dengan folikel
yang terbuka, serta skuama pitiriasiformis ringan hingga berat. Pada orang dewasa kelainan
ditemukan area wajah dan kelopak mata serta di daerah kepala berupa pitiriasis kapitis atau
ketombe. Sedangkan di area badan tampak lesi pitiriasiformis berbentuk petaloid atau folikular.
Kelainan dapat khusus di daerah lipatan disertai eksematisasi, atau dapat juga generalisata
hingga eritrodermik.1

Manifestasi klinis pada Bayi

Pada bayi dapat terjadi dari usia minggu pertama kelahiran hingga 3 bulan, dan kelainan
berhubungan dengan waktu neonatus memproduksi sebum yang selanjutnya akan mengalami
regresi hingga pubertas. Tempat predileksi adalah kulit kepala bagian vertex (cradle cap) berupa
plak eritematosa disertai skuama kuning kecoklatan yang lekat dan menyebar ke seluruh bagian
kulit kepala. Selain itu, juga terdapat krusta. Lesi dapat ditemukan di wajah, leher dan menyebar
ke punggung serta ektremitas, berupa plak inflamasi di daerah intertrigo, yaitu aksila dan lipat
paha. Lesi juga bisa didapatkan di area popok. Diagnosis banding perlu dipikirkan pada bayi
dengan gejala dermatitis seboroik yang luas, harus dibedakan misalnya dengan dermatitis,
atopik, antara lain dengan melakukan pemeriksaan penunjang misalnya immunoglobulin E
total.1

Manifestasi klinis pada dewasa

Pada orang dewasa DS bersifat kronis dan residif, terjadi ada usia 30-60 dengan puncak
di usia 40 tahunan. Pada kulit kepala umumnya tingkat keparahan DS sedang, skuama sedikit,
kering, warna putih dan mudah lepas. Pada gejala yang lebih berat terdapat plak berasal dari
skuama kering yang tebal kekuningan. Lesi dapat terlihat juga di wajah secara simetris yaitu di
alis, dahi, kelopak mata atas, plika nasolabialis dan cuping hidung. Tempat lain yang sering
terkena pada regio retroaurikularis, kanal auditori eksternal, aurikula dan conchae bowl. Gejala
yang ditemukan berupa eritema dan gatal disertai rasa terbakar dan gatal ringan terutama di kulit
kepala. Folikulitis pitirosporum juga dapat ditemukan di daerah seboroik. Biasanya dimulai saat
remaja sebagai akibat respons aktivitas androgen yang meningkatkan produktivitas kelenjar
sebasea. DS pada orang dewasa mengalami periode remisi dan eksaserbasasi. Pencetus
kekambuhan DS umumnya akibat stres emosional, letih, depresi, perubahan suhu, higiene
pribadi, pajanan matahari, perubahan pola makan, infeksi, obat dan berada di ruangan dingin
cukup lama.1
Pada pasien HIV-AIDS, DS umumnya parah dan cenderung sulit diatasi dengan terapi standar.
Secara klinis dapat ditemukan erupsi di wajah berupa butterfly rash, menyerupai lesi sistemik
lupus eritematosa. DS biasanya terjadi pada pasien dengan hitung CD4+ sebesar 200 – 500/mm3
dan dapat ditemukan sebagai manifestasi klinis pertama pada pasien HIV-AIDS.1

Diagnosis

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis lengkap mencakup keluhan utama,


perjalanan penyakit, faktor eksogen yang mempengaruhi, faktor pencetus, faktor predisposisi
penyakit, dan riwayat penyakit. Pemeriksaan fisik pada lokasi kulit dengan skuamanya juga
harus diperhatikan. Pada kasus yang sulit didiagnosis atau sulit dibedakan dengan penyakit lain
4
mungkin diperlukan pemeriksaan histopatologis. Histopatologi DS bervariasi sesuai dengan
perjalanan penyakitnya: akut, sub-akut, dan kronis. Dermatitis seboroik akut dan sub-akut,
didapatkan sebaran infiltrat limfosit dan histiosit perivaskuler superfisial, spongiosis ringan
sampai sedang, hiperplasia epidermis psoriasiform ringan, folikuler plugging dengan
orthokeratosis dan parakeratosis, skuama yang mengandung neutrofil pada ujung ostia
folikuler.1,5,16 Dermatitis seboroik kronis ditandai dengan dilatasi kapiler dan vena pada
pleksus superfisial ditambah dengan gambaran seperti pada DS akut/sub-akut.1 Lesi DS kronis,
secara klinis dan histopatologi berbentuk psoriasiform dan sering sulit dibedakan dengan
psoriasis.5

Diagnosis Banding

1. Psoriasis: skuama lebih tebal berlapis transparan seperti mika, lebih dominan di daerah
ekstensor.
2. Dermatitis atopik dewasa: terdapat kecenderungan stigmata atopi.
3. Dermatitis kontrak iritan: riwayat kontak misalnya dengan sabun pencuci wajah atau
bahan iritan lainnya untuk perawatan wajah (tretinoin, asam glikolat, asam alfa hidroksi).
4. Dermatofitosis: perlu pemeriksaan skraping kulit KOH.
5. Rosasea: perlu anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lebih teliti.2

Terapi dermatitis seboroik

Tujuan terapi DS tidak hanya untuk meredakan tanda dan gejalanya tetapi juga untuk
menghasilkan struktur dan fungsi kulit yang normal. Dermatitis seboroik dapat mempengaruhi
kualitas hidup pasien secara signifikan sehingga terapi bertujuan untuk memperbaiki gejala kulit
serta kualitas hidup.1,4

Sebuah panel konsensus 12 ahli dermatologi dari India, Korea Utara, Taiwan, Malaysia,
Vietnam, Singapura, Thailand, Filipina, Indonesia dan Italia yang diadakan di Singapura pada
tahun 2014 telah membuat rekomendasi praktis untuk tatalaksana DS pada orang Asia. Paduan
tatalaksana DS dibagi menjadi tatalaksana pada DS skalp dan area berambut serta DS non skalp
serta dibedakan berdasarkan kelompok usia dewasa dan bayi. 1,4

Terapi topikal

Terapi topikal bertujuan untuk mengatur produksi sebum, mengurangi kolonisasi M.


furfur pada kulit dan mengendalikan inflamasi. Tatalaksana DS dengan obat-obatan topikal
dibagi menjadi terapi skalp dan non skalp. Sebuah studi epidemiologi multisenter transversal
yang dilakukan pada 2159 pasien dengan DS pada wajah dan kulit kepala menunjukkan bahwa
terapi yang paling sering digunakan adalah steroid topikal (59,9%), anti jamur imidazol (35,1%),
topikal calcineurin inhibitor (TCI) (27,2%) bersamaan dengan penggunaan produk pelembab
atau emolien (30,7%).4

Terapi dermatitis seboroik pada kulit kepala

Terapi topikal adalah pendekatan lini pertama pada terapi DS skalp. Terapi topikal yang
digunakan adalah substansi yang memiliki fungsi anti jamur, pengatur sebum, keratolitik
dan/atau anti inflamasi. Agen tersebut tersedia dalam berbagai formulasi seperti krim, emulsi,
foam, salep dan sampo.4

Penggunaan sampo yang mengandung obat digunakan 2 sampai 3 kali seminggu,


didiamkan selama 5-10 menit, untuk optimalisasi efek anti jamur dan keratolitiknya.4

Ketokonazol adalah anti jamur golongan azol yang bersifat fungistatik, fungisidal dan
anti inflamasi. Ia menghambat pertumbuhan jamur melalui penghambatan lanosterol 14
dimetilase sehingga menghambat sintesis ergosterol. 4

Siklopiroksolamin adalah anti jamur berspektrum luas yang merupakan derivat


hidroksipiridon. Agen ini menghambat ambilan dan penggunaan substansi yang diperlukan
sintesis membran sel jamur dengan mengubah permeabilitasnya. Siklopiroksolamin juga
memiliki sifat anti inflamasi karena menghambat pelepasan prostaglandin dan leukotrien4

Pyroctone olamine juga dikenal sebagai octopirox dan efektif untuk terapi infeksi jamur.
Pyroctone olamine adalah bahan aktif yang dapat meredakan inflamasi kulit kepala dan
menurunkan pembentukan skuama pada kulit dengan penghambatan jamur. Pyroctone olamine
secara fungsional dapat mengganggu pembelahan sel ragi dan transfer material (inhibisi kanal
natrium kalium) dan juga menghambat pertumbuhan jamur. 4

Bisabolol atau Butyrospermum parkii biasa dikenal dengan nama shea butter. Bahan ini memiliki
sifat anti inflamasi sekaligus sifat anti jamur sehingga sering digunakan dalam pengobatan
dermatitis seboroik. Namun bisabolol kurang begitu poten bila diberikan secara mono terapi
sehingga biasanya dikombinasikan dengan agen lain. 4

Glycyrrhetic acid memiliki sifat anti inflamasi, anti iritasi, anti alergi dan antivirus. Asam
salisilat adalah sejenis asam beta hidroksi yang dapat melepaskan sisik keras dan tebal dari kulit
kepala melalui aktivitas keratolitik sehingga efektif untuk terapi DS. 4

Tar memiliki sifat anti jamur dan anti inflamasi. Beberapa studi telah menunjukkan
kemampuannya mengurangi sebum. Aktivitas fungistatik in vitro nampaknya sama dengan
ketokonazol. Shampo tar digunakan secara luas walaupun bukti yang menunjang efikasinya
masih sangat minim. 4

Zinc pyrithione, anti jamur fungistatik yang bekerja dengan meningkatkan kadar tembaga
dalam sel jamur dan merusak ikatan protein besi sulfur sehingga mengganggu metabolisme
jamur. Malassezia yang menjadi target didapatkan terutama pada infundibulum folikuler.
Sementara agen ini bekerja pada infundibulum folikuler kulit kepala serta bertahan pada folikel
rambut hingga 10 hari. 4

Kortikosteroid (KS) bersifat anti inflamasi, imunosupresif dan antiproliferasi sehingga


dapat menghambat proliferasi keratinosit dan fibroblas dan menyebabkan vasokonstriksi.
Pemilihan kortikosteroid berdasarkan tipe, lokasi, keparahan dan perluasan penyakit serta usia
pasien. Kortikosteroid dianggap sebagai pendekatan terapi lini pertama dan kedua pada DS
skalp/ kulit kepala dan non skalp/ kulit tidak berambut. Tujuan utama pengobatan dengan
kortikosteroid adalah mengontrol dengan cepat tanda dan gejala DS, namun data terbatas. Relaps
terjadi lebih cepat dan lebih sering ketika menggunakan KS daripada agen anti jamur dan terapi
topikal non steroid lainnya. 4

Penyerapan, efikasi dan toksisitas KS topikal bervariasi tergantung area yang diobati.
Pada dewasa dengan DS skalp sedang – berat, dengan keterlibatan yang difus, disertai rasa
terbakar dan gatal, dapat digunakan KS potensi sedang sampai kuat tunggal maupun kombinasi
dengan agen non steroid.23 Dermatitis seboroik pada wajah dapat diberikan KS potensi lemah
sampai sedang. Penggunaan zat pembawa yang tidak mengiritasi dan melembabkan sangat
disarankan.24 Setelah terjadi perbaikan, penggunaan KS dapat diturunkan secara bertahap dan
agen non steroid dapat ditambahkan untuk mencegah rekurensi dan relaps (terapi pemeliharaan).
4

Terapi dermatitis seboroik kulit tidak berambut

Pilihan terapi topikal tersedia untuk DS kulit tidak berambut derajat ringan dan sedang
dapat dilihat pada tabel 2.11 Beberapa agen telah dibahas dalam terapi dermatitis seboroik pada
kulit kepala. Pada dermatitis seboroik non skalp umumnya sediaan topikal yang digunakan
berbentuk krim, foam atau salep. 4

Pada sebuah studi acak terkontrol yang dilakukan pada 1162 pasien, dilakukan evaluasi
terhadap efikasi dan toleransi ketokonazol 2% krim dan foam dengan zat pembawa krim dan
foam yang diaplikasikan 2 kali sehari selama 4 minggu. Perbaikan klinis tampak pada 56%
kelompok yang diberikan terapi dan 42% kelompok kontrol. Selanjutnya, ketokonazol dalam
bentuk foam maupun krim sama efektifnya dan dapat ditoleransi dengan baik. 4

Sedangkan studi mengenai efikasi siklopiroksolamin 1% dilakukan secara acak dan buta
ganda pada 129 pasien menunjukkan perbaikan pada 63% kelompok yang diobati dibandingkan
dengan 34% dari kelompok kontrol. 4

Pada suatu percobaan buta ganda, 72 pasien diberikan ketokonazol 2% krim (n=63) atau
hidrokortison 1% krim (n=36) selama 4 minggu. respon klinis pada kelompok ketokonazol
adalah 80,8% dan 94,4% pada kelompok hidrokortison. Tidak ada perbedaan signifikan pada
gejala kemerahan, mengelupas, gatal dan papul antara kedua kelompok tersebut ketika skor
dijumlahkan pada minggu ke 2 dan ke 4 dibandingkan dengan skor awal. Insiden efek samping
pada kedua kelompok juga rendah. 4
Penghambat kalsineurin topikal memiliki sifat imunomodulator dan anti inflamasi yang
membuatnya berguna untuk terapi DS. Keduanya adalah macrolide lactone yang menghambat
enzim kalsineurin dan menekan pelepasan sitokin proinflamasi. Pimekrolimus menghambat
sintesis dan pelepasan sitokin proinflamasi dari limfosit T dan degranulasi sel mast. Takrolimus
memodulasi respon T helper 2, menghambat transkripsi IL-2. 4

Salep takrolimus 0,1% didapatkan sama efektifnya dengan salep hidrokortison 1% pada terapi
DS, membutuhkan aplikasi yang lebih sedikit selama 12 minggu masa studi karena dapat
menghilangkan gejala dan lebih disukai pasien. Pada percobaan acak, krim pimekrolimus 1%
dibandingkan dengan bethamethason 0,1% pada 20 pasien dengan DS yang diminta
menghentikan terapi ketika gejala sudah hilang. Pada hari ke 9, semua pasien sudah
menghentikan terapi. Dua obat tersebut sama efektifnya dalam mengurangi gejala eritema,
mengelupas dan gatal, tetapi masa remisi yang lebih panjang tampak pada kelompok
pimekrolimus. 4

Terapi sistemik

Penggunaan obat sistemik pada DS ditujukan pada kasus-kasus akut, area keterlibatan
luas, bentuk resisten, berhubungan dengan HIV dan kelainan neurologis. Tujuan dari terapi
sistemik adalah menurunkan gejala akut sedangkan penggunaan terapi topikal sebagai
pencegahan dan pemeliharaan. 4

Antijamur

Efek obat-obatan anti jamur adalah secara langsung melawan Malassezia dan anti
inflamasi. Anti jamur sistemik yang diindikasikan dalam terapi DS adalah golongan triazol
(itrakonazol dan flukonazol), diazol (ketokonazol) dan allilamin (terbinafin). Azol dan terbinafin
menghambat sintesis ergosterol (suatu komponen kunci membran sel). Diazol dan triazol
menghambat enzim 14 α sterol dimetilase, yang menyebabkan akumulasi 14 α metil sterol
menghasilkan penghambatan pertumbuhan jamur. Terbinafin juga menghambat sintesis enzim
skualan 2,3 epoksidase yang mempengaruhi metabolisme ergosterol dan akumulasi skualan yang
menyebabkan kematian sel jamur. Terbinafin memiliki mekanisme tambahan seperti modulasi
neutrofil, efek scavenger pada reactive oxygen species (ROS) dan modulasi sekresi sebum. 4
Ketokonazol adalah anti jamur sistemik pertama yang digunakan untuk terapi DS, saat ini
sudah tidak digunakan lagi karena sifat hepatotoksisitasnya. Saat ini ketokonazol hanya
digunakan secara topikal saja. Itrakonazol saat ini dianggap sebagai pilihan pertama untuk terapi
sistemik DS baik kasus akut maupun relaps. Itrakonazol mengalami metabolisme sitokrom P450
pada hati. Ia bersirkulasi di plasma sebagai metabolit aktif. Obat yang dimetabolisme oleh
sitokrom P450 berinteraksi dengan obat-obatan yang lainnya sehingga dapat meningkatkan
toksisitasnya ataupun menurunkan efikasinya. Itrakonazol memiliki tingkat keamanan yang baik
pada dosis 200 mg/hari. Hepatotoksisitas, nyeri epigastrium, gangguan irama jantung,
hipokalemia, hipertrigliseridemia dan peningkatan transaminase adalah efek samping yang
paling sering dijumpai selama terapi itrakonazol. 4

Flukonazol memiliki karakteristik dapat diserap dengan baik oleh traktus gastrointestinal
tidak dipengaruhi oleh keasaman atau makanan. Flukonazol secara signifikan meningkatkan
konsentrasi plasma beberapa obat seperti warfarin, siklosporin, takrolimus dan teofilin.
Rifampisin menurunkan kadar flukonazol dalam darah. 4

Terbinafin adalah molekul lipofilik sehingga dapat tersimpan pada kulit untuk
memelihara konsentrasi efektif obat bahkan setelah terapi dihentikan. Terbinafin memiliki profil
farmakologi yang aman dan ditoleransi baik dengan insiden efek samping yang rendah. Efek
samping yang dapat terjadi antara lain nyeri epigastrium, hepatotoksisitas, neutropenia, ruam dan
sindrom Steven Johnson. 4

Terapi pada bayi

Penanganan DS kulit kepala pada bayi lebih sederhana, seperti keramas rutin dengan
sampo bayi dan menyikat dengan lembut untuk melepaskan sisik. Penggunaan petrolatum putih
setiap hari dapat membantu melunakkan skuama. Jika hal tersebut masih kurang membantu,
maka dapat digunakan sampo ketokonazol 2% sampai terjadi perbaikan gejala.11 Manfaat klinis
krim anti inflamasi non steroid yang memiliki sifat anti jamur terbukti dapat mengurangi sisik
secara signifikan dibandingkan placebo. 4

Sedangkan untuk DS pada kulit tidak berambut dapat digunakan ketokonazol 2% krim
secara tunggal maupun kombinasi dengan kortikosteroid topikal potensi lemah.30 Pada penyakit
Leiner diperlukan hidrasi intravena, pengaturan suhu tubuh dan antibiotik jika terdapat infeksi
sekunder. 4

Daftar pustaka

1. S.Widaty & A.Marina. Pilihan pengobatan jangka panjang pada dermatitis seboroik.
MDVI Vol. 43 No. 4; 2016.
2. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Badan penerbit FK UI, edisi 7. 2016.
3. Elisia, Pemayun, T.D. 2019. Profil dermatitis seboroik pada pasien di Poliklinik Rawat
Jalan Kulit dan Kelamin RSUD Wangaya Denpasar periode Oktober 2017-Oktober 2018.
Intisari Sains Medis 10; 2019
4. Nurhadi S. Tatalaksana dermatitis seboroik ter kini. SMF ilmu kesehatan kulit dan
kelamin FK UNUD/rsup sanglah denpasar.
5. Astindari, Sawitri, Sandhika W. Perbedaan Dermatitis Seboroik dan Psoriasis Vulgaris
Berdasarkan Manifestasi Klinis dan Histopatologi. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit &
Kelamin, Vol. 26 No. 1 ;2014.

Anda mungkin juga menyukai