Anda di halaman 1dari 15

REFERAT

DERMATITIS SEBOROIK

Referat ini di buat untuk melengkapi persyaratan mengikuti


Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Kulit dan Kelamin RSU. Haji Medan

Pembimbing:
dr. Isma Aprita Lubis, Sp. KK

Disusun Oleh:
Ainun Ma’wa
20360171

KEPANITRAAN KLINIK SENIOR ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proses penyusunan referat ini
dengan judul “Dermatitis Seboroik”. Penyelesaian referat ini banyak bantuan dari
berbagai pihak, oleh karena itu adanya kesempatan ini penulis menyampaikan rasa
terimakasih yang sangat tulus kepada dr. Isma Aprita Lubis, Sp. KK selaku pembimbing
yang telah banyak memberikan ilmu, petunjuk, nasehat dan memberi kesempatan
kepada kami untuk menyelesaikan referat ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini tentu tentu tidak lepas dari kekurangan
karena kebatasan waktu, tenaga, dan pengetahuan penulis. Maka sangat diperlukan
masukan dan saran yang membangun. Semoga referat ini dapat memberikan manfaat.

Medan, Juni 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul.............................................................................................. ...... i


Kata Pengantar ................................................................................................... ii
Daftar Isi .............................................................................................................. iii
A. Definisi ............................................................................................................ 1
B. Epidemiologi .................................................................................................... 1
C. Etiologi............................................................................................................. 2
D. Gejala klinis ..................................................................................................... 3
E. Faktor predisposisi ........................................................................................... 4
F. Patofisiologi ..................................................................................................... 6
G. Diagnosis ......................................................................................................... 8
H. Diagnosis Banding ........................................................................................... 8
I. Penatalaksanaan ................................................................................................ 8
J. Pencegahan ...................................................................................................... 9
K. Prognosis ........................................................................................................ 9
DAFTAR PUSTAKA

iii
Dermatitis Seboroik

A. Definisi
Dermatitis seboroik (DS) adalah penyakit papuloskuamosa kronis yang
menyerang bayi dan juga orang dewasa (Collins dan Hivnor., 2017).
Biasanya terjadi pada area tubuh yang banyak mengandung kelenjar sebasea,
skalp atau kulit kepala, wajah, dan badan (Jacoeb, T.N.A., 2017). Menurut
Collins dan Hivnor (2017) DS sering ditemukan pada bagian tubuh dengan
konsentrasi folikel sebasea yang tinggi dan aktif termasuk wajah, kulit
kepala, telinga, dan bagian fleksura (inguinal, lipatan bawah payudara, dan
aksila). Penyebaran lesi dermatitis seboroik dimulai dari derajat ringan,
misalnnya ketombe sampai dengan bentuk yang berat yaitu eritroderma
(Jacoeb, T.N.A., 2017).

B. Epidemiologi
Menurut (Clark et al., 2015) menyatakan bahwa prevalensi DS adalah
1% hingga 3% pada populasi umum dan 34% hingga 83% pada orang dengan
keadaan defisiensi imun. Sedangkan prevalensi pria (3,0%) lebih sering
terkena daripada wanita (2,6%) pada semua kelompok umur, hal ini
menunjukkan bahwa dermatitis seboroik mungkin berkaitan dengan hormon
seks seperti androgen (Borda dan Wikramanayake, 2015). Teori lain juga
membahas bahwa dermatitis seboroik mempunyai dua puncak kejadian, yang
pertama dalam tiga bulan pertama kehidupan dan yang kedua dimulai pada
masa pubertas dan mencapai puncaknya di usia 30-60 tahun (Sampaio et al.,
2011).
Di Amerika, data mengenai prevalensi dermatitis seboroik adalah sekitar
1-3% (Terroe et al., 2015). Survei Australia 1116 anak usia 11 hari sampai 5
tahun 11 bulan ditemukan prevalensi keseluruhan dermatitis seboroik
menjadi 10,0% pada laki-laki dan 9,5% pada anak perempuan, menunjukkan
bahwa kondisi dermatitis seboroik juga sering terjadi pada anak usia dini
(Elewski, 2009).

1
2

Di Singapura prevalensi dermatitis seboroik yaitu 3,2% pada anak-anak


dan 7,0% pada orang dewasa. Penduduk Asia yang berusia 12-20 tahun
memiliki prevalensi dermatitis seboroik yang bervariasi berdasar kota dan
negara (misalnya, Macao 2,7%, Guangzhou 2,9%, Malaysia 17,2%, dan
Indonesia 26,5%) (Cheong et al.,2016). Pada penelitian di Indonesia,
diperkirakan pravelensi dermatitis seboroik sebesar 10,17% pada anak usia
12-20 tahun, sedangkan golongan usia 20 tahun ke atas prevalensi didapatkan
sebesar 26,45% (Kalalo et al, 2019). Data di RSUP Cipto Mangunkusumo
Jakarta tahun 2000-2002 menunjukkan rata rata prevalensi dermatitis
seboroik 8,3% dari jumlah kunjungan (Terroe et al., 2015). Menurut riset
kesehatan daerah provinsi lampung menempati urutan ke 28 dari seluruh
provinsi yang ada di Indonesia (40,3%) (RISKESDAS, 2007). Dari total 32
pasien di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung tahun 2014, 18
orang (56,3%) adalah pria dan 14 orang (43,8%) adalah wanita (Fadila et al.,
2014). Pada penelitian ini penderita dermatitis seboroik di temukan frekuensi
usia terbanyak yaitu pada rentang usia36-45 tahun (26,4%). Hal ini sesuai
dengan teori yang peneliti dapatkan bahwa insiden dermatitis seboroik
mencapai puncak pada umur 18-40 tahun (Tarroe et al, 2015).

C. Etiologi

Penyebab dermatitis seboroik belum diketahui pasti, beberapa faktor


berperan dalam etiopatogenesis penyakit ini yaitu spesies Malassezia,
aktivitas kelenjar sebaseus, dan Kerentanan individu (Thaha, 2014).
Menurut Collins dan Hivnor (2017), patogenesis yang pasti dari
dermatitis seboroik belum dimengerti sepenuhnya, tetapi dermatitis ini
umumnya berkaitan dengan jamur Malassezia, kelainan immunologi,
aktivitas sebasea yang meningkat dan kerentanan pasien. Namun banyak
peneliti yang mendukung bahwa keterlibatan jamur Malassezia sebagai
penyebab utama terjadi dermatitis seboroik (Gayatri dan Barakbah, 2011).
3

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan kulit kepala,


diantaranya adalah stres lingkungan, misalnya iklim, musim, kolonisasi
mikroba dan perubahan hormonal.(Robbins., 2002).
Faktor resiko dermatitis seboroik lainnya diantaranya lipid dan
hormon, kondisi komorbiditas, faktor-faktor imunologi, faktor gaya hidup
(Elewski, 2009). Salah satu etiologi yang sering dikaitkan dengan kejadian
dermatitis seboroik adalah sekresi kelenjar sebum.Produksi kelenjar sebum
yang berlebih mempunyai kaitan dengan dermatitis seboroik (Picardo dan
Cameli, 2003; Abulnaja, 2009).
Beberapa faktor lain yang menyebabkan dermatitis seboroik adalah
makanan. Makanan tinggi lemak yang sering dikaitkan dengan obesitas
lebih beresiko terkena dermatitis seboroik (Siregar,2014). Dermatitis
seboroik memiliki banyak faktor pencetus, terutama kadar minyak yang
tinggi dan kelembaban. Munculnya minyak pada rambut yang terlampau
lama dapat menimbulkan ketombe dan juga iritasi. Kebersihan rambut juga
berperan disini. Jika rambut tidak sering dibersihkan maka dermatitis
seboroik akan muncul akibat manifestasi dari ketombe. Penggunaan pomade
dapat menyebabkan ketombe karena mengandung petroleum jelly dan bees
wax. Volume dan lama penggunaan pomade yang membuat rambut dalam
keadaan lembab menjadi salah satu faktor yang dapat menyebabkan
terjadinya ketombe(Robi et al., 2005).

D. Gejala Klinis
Gambaran dermatitis seboroik ditandai dengan bercak eritematosa
dengan lesi superfisial, hal ini dipengaruhi oleh kepadatan dan aktivitas
kelenjar sebaseus yang tinggi berhubungan dengan produksi sebum. Daerah-
daerah tersebut diantaranya kulit kepala, wajah, tengah dada, dan genital
(Wakelin, 2016).
Lokasi yang terkena seringkali di daerah kulit kepala berambut : wajah
(alis, lipat nasolabial, side burn, telinga dan liang telinga, bagian atas –
tengah dada dan punggung, lipat gluteus, inguinal, genital dan ketiak.
Sangat jarang menjadi luas.
4

Dapat ditemukan skuama kuning berminyak, eksematosa ringan, kadang


kala disertai rasa gatal dan menyengat . Ketombe merupakan tanda awal
manifestasi dermatitis seboroik,. Dapat dijumpai kemerahan perifolikular
yang pada tahap lanjut menjadi plak eritemtosa berkonfluensi, bahkan dapat
membentuk rangkaian plak disepanjang batang rambut frontal dan disebut
sebagai korona seboroika.
Pada fase kronis dapat dijumpai kerontokan rambut. Lesi dapat juga
dijumpai pada daerah retroaurikular,. Bila terjadi di liang telinga, lesi berupa
otitis eksternal atau dikelopak mata sebagai blefaritis. Bentuk varian ditubuh
yang dapat dijumpai pitriasifrom (mirip pitriasis rosea) atau anular. Pada
keadaan parah dermatitis seboroik, dapat berkembang menjadi eritroderma.
Obat obatan yang memicu dermatitis seboroik antara lain : buspiron,
klorpromazine, simetidine, etionamid, fluorourasil, gold, gliserofulvin,
haloperidol, interferon alfa, litium, metoksalen, metildopa, fenotiazine, dan
psoralen.

E. Faktor Predisposisi
a. Usia
Hal ini dikarenakan aktivitas kelenjar sebasea mencapai puncak pada
awal pubertas sampai dekade-dekade selanjutnya hingga akhirnya menetap
lebih lama, pada laki-laki yaitu mencapai umur 50-60an, dan menurun pada
perempuan akibat menopouse (Tarroe, 2015).
Peningkatan angka kejadian dermatitis seboroik ini seiring dengan
pertambahan usia karena terjadi beberapa perubahan fisiopatologis. Salah
satunya akan terjadi penurunan jumlah lipid di stratum korneum dan
penipisan epidermis serta dermis. Hal ini dapat mengakibatkan kerentanan
yang lebih tinggi terhadap rangsangan eksternal pada kelompok usia lanjut
(Sanders et al., 2018). Daya tahan tubuh yang semakin menurun dapat
mengakibatkan orang dengan lanjut usia menjadi rentan terhadap berbagai
macam penyakit, seperti dermatitis seboroik (Malaka et al., 2016).
5

b. Jenis Kelamin
Dermatitis seboroik lebih sering terjadi pada laki-laki dibanding dengan
perempuan pada semua rentang usia yang menunjukkan adanya
kemungkinan hubungan dermatitis seboroik dengan hormon seks seperti
androgen (Sampaio et al., 2011).
Terdapat perbedaan antara kulit pria dan wanita, perbedaan tersebut
terlihat dari jumlah folikel rambut, kelenjar sebaseus atau kelenjar keringat
dan hormon. Kulit pria mempunyai hormon yang dominan yaitu androgen
yang dapat menyebabkan kulit pria lebih banyak berkeringat dan ditumbuhi
lebih banyak bulu (Ade., 2014).

c. Obesitas dan alkoholisme


Pada penderita obesitas, aktivasi kelenjar sebasea akan mengalami
peningkatan sehingga terjadi produksi sebum yang berlebih. Insiden tertinggi
dari dermatitis seboroik juga telihat pada pasien dengan alkoholisme dan
gangguan pada sistem endokrin yang berhubungan dengan obesitas (Collins
et al., 2012).

d. Peningkatan Aktivitas Fisik


Hal ini dikarenakan meningkatnya aktivitas fisik di usia remaja yang
berdampak pada peningkatan produksi sebum sehingga mengakibatkan
peningkatan aktivitas mikroflora khususnya Malassezia sp pada kulit
kepala.(Istiqomah et al., 2016).

e. Perawatan Rambut
Dermatitis seboroik dapat dipicu salah satunya oleh kebersihan yang
buruk.(Mohamed et al., 2014). Kebersihan rambut harus dijaga dengan
mencuci rambut sekurang-kurangnya 2 kali seminggu, mencuci rambut
memakai shampoo atau bahan pencuci rambut lainnya, dan sebaiknya
menggunakan alat-alat pemeliharaan rambut sendiri.(Zarei et al., 2013).
6

f. Penggunaan Hijab
Penggunaan hijab dapat ikut berperan dalam meningkatkan kelembapan
daerah kepala sehingga meningkatkan kejadian dermatitis seboroik. Hal ini
disebabkan mikroorganisme penyebab dermatitis seboroik dapat berkembang
dengan baik pada kondisi kepala yang lembab.(Dawson., 2007).

F. Patofisiologi

Aktivitas kelenjar sebasea yang mempengaruhi ekskresi dari sebum


lebih meningkat pada laki-laki karena adanya pengaruh dari hormon
androgen. Hormon androgen menyebabkan peningkatan ukuran kelenjar
sebasea, menstimulasi produksi sebum, serta menstimulasi proliferasi
keratinosit pada duktus kelenjar sebasea dan acroinfundibulum. Sebum ini
akan disintesis oleh kelenjar sebasea secara kontinu dan disekresikan ke
permukaan kulit melalui pori – pori folikel rambut. Kelenjar sebasea
mensekresikan lipid melalui sekresi holokrin. Sekresi sebum ini diatur
secara hormonal. Kelenjar sebasea terletak pada seluruh permukaan tubuh,
namun jumlah kelenjar yang terbanyak didapatkan pada wajah, pungung,
dada, dan bahu. Ketidakseimbangan antara produksi dan kapasitas sekresi
sebum akan menyebabkan pembuntuan sebum pada folikel rambut
(Afriyant., 2015).
Jamur Malassezia (P. Ovale) merupakan flora normal yang terdapat
pada kulit kepala dengan kecepatan pertumbuhan normal kurang dari 47%,
akan tetapi jika ada faktor pemicu yang mengganggu keseimbangan flora
normal pada kulit kepala maka akan terjadi peningkatan kecepatan
pertumbuhan jamur Malassezia yang dapat mencapai 74%, dan akan
merusak pertumbuhan rambut serta mengganggu kesehatan kulit kepala
secara umum (Thomas, 2007). Umumnya Malassezia bergantung pada lipid
untuk bertahan hidup, jamur Malassezia biasanya ditemukan pada daerah
yang banyak sebum seperti wajah, kepala, pundak dan punggung. Dapat
juga ditemukan pada daerah lain pada tubuh seperti lengan, kaki dan
genitalia(Gupta et al., 2004).
7

Masa remaja terjadi peningkatan aktivitas kelenjar sebum sehingga


terjadi peningkatan produksi lipid. Malassezia memiliki sifat komensal
pada bagian tubuh yang banyak lipid salah satunya di kepala yang terdapat
banyak kelenjar sebum. Lipid merupakan sumber makanan bagi
Malassezia(Collins et al.,2012). Terjadinya peningkatan aktivitas kelenjar
sebasea maka terjadi peningkatan pertumbuhan Malassezia yang abnormal
dan dapat menyebabkan terjadinya masalah pada kulit kepala(Thomas,
2007).
Metabolisme lipid sistemik dapat berperan dalam timbulnya reaksi
peradangan pada dermatitis seboroik. Aktivasi kelenjar sebasea akan
mengalami peningkatan sehingga terjadi produksi sebum yang berlebih.
Sebum yang berlebihan tersebut dapat dicerna oleh jamur Malassezia spp
pada kulit sehingga menghasilkan asam lemak tidak jenuh yang dapat
merusak lapisan kulit, terjadi hiperproliferasi,dan kembali meningkatkan
sekresi sebum (Picardo et al., 2003; Abulnaja., 2009).
Peningkatan asam lemak bebas yang dilepaskan karena adanya
penimbunan lemak yang berlebihan juga menghambat terjadinya
lipogenesis sehingga menghambat klirens serum triasilgliserol dan
mengakibatkan peningkatan kadar trigliserida darah (hipertrigliseridemia)
(Putriet al., 2015). Selain itu teori dari Collins dan Hivnor dalam buku
fitzpatrick menjelaskan bahwa pasien dengan dermatitis seboroik
menunjukkan kadar trigliserida dan kolesterol yang lebih tinggi pada
permukaan kulit. Kedua spesies Malassezia dan Propionobacterium acnes
mempunyai aktivitas lipase dimana trigliserida diubah menjadi asam lemak
bebas, dan beberapa penulis percaya bahwa gangguan flora normal,
aktivitas lipase dan radikal bebas lebih beresiko terkena dermatitis seboroik
daripada gangguan respon imun (Collinset al., 2012). Penelitian ini sejalan
dengan teori mauro picardo dan norma cameli dimana metabolisme lipid
sistemik dan antioksidan dapat berperan dalam reaksi inflamasi pada
dermatitis seboroik (Picardo et al., 2003). Malassezia adalah komponen
normal flora normal kulit, tetapi pada orang dengan dermatitis seboroik
jamur tersebut menyerang stratum korneum melepaskan lipase yang
8

menghasilkan pembentukan asam lemak bebas dan menyebabkan mulainya


proses inflamasi. Malassezia tumbuh subur di lingkungan berlemak tinggi,
sehingga keberadaan asam lemak bebas meningkatkan pertumbuhan jamur
tersebut.Peradangan menyebabkan stratum korneum hiperproliferasi dan
korneosit berdiferensiasi tidak lengkap sehingga mengubah barier stratum
korneum dan fungsinya (Clark et al., 2015).

G. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan morfologi khas lesi eksema dengan


skuama kuning berminyak di area predileksi(siregar., 2015).

H. Diagnosis Banding
a. Psoriasis : Skuama lebih tebal berlapis transparan seperti mika, lebih
dominan di daerah ekstensor
b. Dermatitis Atopik Dewasa : terdapat kecenderungan stigmata atopi
c. Dermatitis Kontak Iritan : Riwayat Kontak, misal : dengan sabun pencuci
wajah atau bahan perawatan wajah (asam glikonat, asam alfa hidroksi,
tretinoin).
d. Dermatofitosis : Perlu pemeriksaan scraping kulit dengan KOH
e. Rosasea : Perlu anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lebih teliti(Sri.,
2017).

I. Penatalaksaan

Pengobatan tidak menyembuhkan secara permanen sehingga terapi


dilakukan berulang saat gejala timbul. Tatalaksana yang dilakukan :

a. Sampo yang mengandung obat anti Malassezia. Misalnya : Selenium Sulfida,


Ketokonazol, Zinc Pirithione, dan Terbinafine 1 %.
b. Untuk menghilangkan skuama tebal dan mengurangi jumlah sebum pada
kulit dapat dilakukan dengan mencuci wajah berulang dengan sabun lunak.
Pertumbuhan jamur dikurangi dengan krim imidazole dan turunannya, bahan
9

antimikotik di daerah lipatan bila ada gejala.


c. Skuama dapat diperlunak dengan krim yang mengandung asam salisilat atau
sulfur.
d. Pengobatan simtomatik dengan kortikosteroid topical potensi sedang,
immunosupresan topical (takrolimus dan pimekrolimus) terutama untuk
daerah wajah sebagai pengganti kortikosteroid topical.
e. Metronidazole topical, siklopirosolamin, talkasitol, benzoil peroksida dan
salep litium suksinat 5 %
f. Pada kasus yang tidak membaik dengan terapi konvensional dapat digunakan
terapi sinar Ultraviolet-B (UVB) atau pemberian itrakonazole 100 mg/hari
peroral selama 21 hari.
g. Bila tidak membaik dengan semua modalitas terapi, pada dermatitis seboroik
yang luas dapat diberikan prednisolone 30 mg/hari untuk respons cepat.
h. Antihistamin H1 sebagai penenang dan anti gatal
i. Vitamin B Kompleks
j. Kortikosteroid oral dan antibiotic (penisilin dan eritromisin)(Sri., 2017).

J. Pencegahan
Hindari semua faktor yang memperberat, makanan berlemak, dan stress
emosi. Jaga kebersihan diri dan lingkungan(Siregar., 2015).

K. Prognosis

Baik, jika faktor faktor pencetus dapat dihilangkan(Siregar., 2015).


DAFTAR PUSTAKA

Abulnaja, K.O., 2009. Changes in the hormone and lipid profile of obese adolescent Saudi
females with acne vulgaris. Brazilian Journal of Medical and Biological
Research, 42(6), pp.501-505.
Afriyanti, R.N., 2015. Akne vulgaris pada remaja. Jurnal Majority, 4(6), pp.10-17.
Astindari, A., Sawitri, S. and Sandhika, W., 2014. Perbedaan Dermatitis Seboroik dan Psoriasis
Vulgaris Berdasarkan Manifestasi Klinis dan Histopatologi. Berkala Ilmu Kesehatan
Kulit dan Kelamin, 26(1), pp.1-7.
Ayu, B., Indrastiti, R. and Ratnaningrum, K., 2018. Hubungan Perilaku Perawatan Rambut
Terhadap Kejadian Dermatitis Seboroik pada Siswi SMA Muhammadiyah 1
Semarang. MAGNA MEDICA: Berkala Ilmiah Kedokteran dan Kesehatan, 2(4),
pp.76-84.
Borda, L.J. and Wikramanayake, T.C., 2015. Seborrheic dermatitis and dandruff: a
comprehensive review. Journal of clinical and investigative dermatology, 3(2).
Cheong, W.K., Yeung, C.K., Torsekar, R.G., Suh, D.H., Ungpakorn, R., Widaty, S., Azizan,
N.Z., Gabriel, M.T., Tran, H.K., Chong, W.S. and Shih, I.H., 2015. Treatment of
seborrhoeic dermatitis in Asia: a consensus guide. Skin appendage disorders, 1(4),
pp.187-196.
Clark, G.W., Pope, S.M. and Jaboori, K.A., 2015. Diagnosis and treatment of seborrheic
dermatitis. American family physician, 91(3), pp.185-190.
Dawson Jr, T.L., 2007, December. Malassezia globosa and restricta: breakthrough
understanding of the etiology and treatment of dandruff and seborrheic dermatitis
through whole-genome analysis. In Journal of Investigative Dermatology
Symposium Proceedings (Vol. 12, No. 2, pp. 15-19). Elsevier.
Fadila, M.N., Sibero, H.T., Wahyuni, A. and Hamzah, M.S., 2014. Hubungan antara Dermatitis
Seboroik dengan Kualitas Hidup Pasien di Rsud Abdul Moeloek Lampung. Jurnal
Majority, 3(6).
Gayatri, L. and Barakbah, J., 2011. Dermatitis seboroik pada HIV/AIDS. Berkala Ilmu
Kesehatan Kulit & Kelamin, 23(3), pp.229-33.
Griffiths, C., Barker, J., Bleiker, T.O., Chalmers, R. and Creamer, D. eds., 2016. Rook's
textbook of dermatology. John Wiley & Sons.
Gupta, A.K., Batra, R., Bluhm, R., Boekhout, T. and Dawson Jr, T.L., 2004. Skin diseases
associated with Malassezia species. Journal of the American Academy of
Dermatology, 51(5), pp.785-798.
Indrawan, I.A., Suwondo, A. and Lestantyo, D., 2014. Faktor-faktor yang berhubungan dengan
kejadian dermatitis kontak iritan pada pekerja bagian premix di PT. X
Cirebon. Jurnal Kesehatan Masyarakat (Undip), 2(2), pp.110-118.
Istiqomah, M.I., Subchan, P. and Widodo S, Y.L., 2016. Prevalensi dan faktor risiko terjadinya
ketombe pada polisi lalu lintas kota Semarang (Doctoral dissertation, Diponegoro
University).
Jacoeb, T., 2017. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi 7 Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Kalalo, J.V., Pandeleke, H.E. and Gaspersz, S., 2019. Hubungan Penggunaan Hair Styling
terhadap Kejadian Dermatitis Seboroik pada Mahasiswa Laki-laki di Fakultas
Kedokteran Universitas Sam Ratulangi. e-CliniC, 7(1).
Malak, S., Kandou, R.T. and Pandaleke, T.A., 2016. Profil Dermatitis Seboroik Di Poliklinik Kulit
Dan Kelamin Rsup Prof. DR. RD Kandou Manado Periode Januari-Desember
2013. e-CliniC, 4(1).
Putri, S.R. and Anggraini, D.I., 2015. Obesitas sebagai faktor resiko peningkatan kadar
trigliserida. Jurnal Majority, 4(9), pp.78-82.
Ro, B.I. and Dawson, T.L., 2005, December. The role of sebaceous gland activity and scalp
microfloral metabolism in the etiology of seborrheic dermatitis and dandruff.
In Journal of Investigative Dermatology Symposium Proceedings (Vol. 10, No. 3,
pp. 194-197). Elsevier.
Robbins, C.R., 2012. Chemical composition of different hair types. In Chemical and physical
behavior of human hair (pp. 105-176). Springer, Berlin, Heidelberg.
Sampaio, A.L.S.B., Mameri, Â.C.A., Vargas, T.J.D.S., Ramos-e-Silva, M., Nunes, A.P. and
Carneiro, S.C.D.S., 2011. Seborrheic dermatitis. Anais brasileiros de
dermatologia, 86, pp.1061-1074.
Sanders, M.G.H., Pardo, L.M., Franco, O.H., Ginger, R.S. and Nijsten, T., 2018. Prevalence and
determinants of seborrhoeic dermatitis in a middle‐aged and elderly population: the
Rotterdam Study. British Journal of Dermatology, 178(1), pp.148-153.
Schwartz, J.R., Messenger, A.G., Tosti, A., Todd, G., Hordinsky, M., Hay, R.J., Wang, X.,
Zachariae, C., Kerr, K.M., Henry, J.P. and Rust, R.C., 2013. A comprehensive
pathophysiology of dandruff and seborrheic dermatitis–towards a more precise
definition of scalp health. Acta dermato-venereologica, 93(2), pp.131-137.
Silvia, E., Anggunan, A., Effendi, A. and Nurfaridza, I., 2020. Hubungan antara Jenis Kelamin
dengan Angka Kejadian Dermatitis Seboroik. Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi
Husada, 11(1), pp.37-46.
Siregar, R.,(2014). Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC

Terroe, R.O., Kapantow, M.G. and Kandou, R.T., 2015. PROFIL DERMATITIS SEBOROIK DI
POLIKLINIK KULIT DAN KELAMIN RSUP PROF. DR. RD KANDOU MANADO
PERIODE JANUARI-DESEMBER 2012. e-CliniC, 3(1).
Thaha, M.A., 2015. Hubungan kepadatan spesies Malassezia dan keparahan klinis dermatitis
seboroik di kepala. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, 2(2).
Utami, A.R., Sukohar, A., Setiawan, G. and Morfi, C.W., 2018. Pengaruh Penggunaan Pomade
Terhadap Kejadian Ketombe Pada Remaja Pria. Jurnal Majority, 7(2), pp.187-192.
Zarei-Mahmoudabadi, A., Zarrin, M. and Mehdinezhad, F., 2013. Seborrheic dermatitis due to
Malassezia species in Ahvaz, Iran. Iranian journal of microbiology, 5(3), p.268.

Anda mungkin juga menyukai