Anda di halaman 1dari 31

BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN Desember 2019

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

AKNE VULGARIS

Oleh :

ANDI NUR MUTMAINNAH

10542063015

Pembimbing :

dr. Helena Kendengan, Sp.KK

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN FAKULTASKEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2019
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:

Nama / NIM : Andi Nur Mutmainnah, S.Ked / 10542063015

Judul LAPSUS : Akne Vulgaris

Telah menyelesaikan tugas laporan kasus dalam rangka kepaniteraan klinik

pada bagian Ilmu Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas

Muhammadiyah Makassar.

Makassar, Desember 2019

Pembimbing,

dr. Helena Kendengan, Sp.KK

i
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah Subhanahu Wa Ta’ala karena
atas rahmat, hidayah, kesehatan dan kesempatan-Nya sehingga laporan kasus
dengan judul AKNE VULGARIS ini dapat terselesaikan. Salam dan shalawat
senantiasa tercurah kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wa Sallam, sang teladan
yang memberikan pedoman hidup yang sesungguhnya.
Pada kesempatan ini, secara khusus penulis mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada dosen pembimbing dr. Helena
Kendengan, Sp.KK yang telah memberikan petunjuk, arahan dan nasehat yang
sangat berharga dalam penyusunan sampai dengan selesainya laporan ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat banyak kekurangan
dalam penyusunan laporan ini, baik dari isi maupun penulisannya. Untuk itu kritik
dan saran dari semua pihak senantiasa penulis harapkan demi penyempurnaan
laporan ini.
Demikian, semoga laporan ini bermanfaat bagi pembaca secara umum dan
penulis secara khusus.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Makassar, Desember 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman Pengesahan ............................................................................................. i


Kata Pengantar ...................................................................................................... ii
Daftar Isi .............................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi ............................................................................................... 2
B. Etiopatogenesis .................................................................................... 2
C. Gejala Klinis ....................................................................................... 6
D. Diagnosis ............................................................................................ 7
E. Diagnosis Banding ................................................................................ 8
F. Penatalaksanaan .................................................................................. 11
G. Prognosis ............................................................................................ 19
BAB III LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien ................................................................................... 21
B. Anamnesis .......................................................................................... 21
C. Pemeriksaan Fisik ............................................................................... 23
D. Diagnosis ........................................................................................... 23
E. Diagnosis Banding .............................................................................. 23
F. Penatalaksanaan .................................................................................. 24
G. Resume .............................................................................................. 24
H. Prognosis ........................................................................................... 24
I. Edukasi .............................................................................................. 25
BAB IV KESIMPULAN ....................................................................................... 26
Daftar Pustaka ...................................................................................................... 27

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Akne Vulgaris (AV) merupakan penyakit kulit berupa peradangan kronis folikel
pilosebasea dengan penyebab multifaktor. Manifestasi klinis Akne Vulgaris yakni
berupa komedo, papul, pustule, nodus, serta kista. Pada umumnya dimulai pada usia 12
– 15 tahun dengan puncak tingkat keparahan di usia 17 – 21 tahun. Akne Vulgaris
adalah penyakit terbanyak remaja usia 15 – 18 tahun. Etiologi AV masih belum
diketahui, namun beberapa faktor yang diduga terlibat yakni faktor intrinsik berupa
genetik dan hormonal serta faktor ekstrinsik berupa stres, suhu/kelembaban, kosmetik,
diet, dan obat-obatan.1
Lesi akne berkembang dari kelenjar sebasea yang terhubung dengan folikel
rambut terutama di wajah, punggung, dada dan daerah anogenital. Kelenjar sebasea
juga ditemukan pada kelopak mata dan mukosa, preputium dan serviks. Namun pada
daerah tersebut, kelenjar sebadea tidak berhubungan dengan folikel rambut. Kelenjar
sebasea mengandung sel holokrin yang mengeluarkan trigliserida, asam lemak, ester
wax dan sterol sebagai ‘sebum’. Perubahan – perubahan yang terjadi pada akne,
diantaranya adalah penebalan lapisan keratin dan obstruksi duktus sebasea yang
mengakibatkan terbentuknya komedo tertutup (whiteheads) atau komedo terbuka
((blackheads) yang warnanya disebabkan oleh melanin, bukan kotoran), peningkatan
sekresi sebum, meningkatnya bakteri Propionibacterium acnes di dalam duktus, dan
peradangan di sekitar kelenjar sebasea.2

Diagnosis akne vulgaris dapat ditegakan berdasarkan anamnesis atau perjalanan

klinis dan pemeriksaan fisik. Pada kasus tertentu, pemeriksaan lebih lanjut mungkin

diperlukan.3

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Akne vulgaris adalah peradangan kronik folikel pilosebasea yang
ditandai dengan adanya komedo, papul, pustul, nodul, bahkan scar. Komedo
merupakan lesi utama akne. Akne terutama mengenai daerah-daerah wajah,
leher, batang tubuh bagian atas, dan lengan atas. 4

B. Etiopatogenesis
Patogenesis Akne Vulgaris kompleks dan multifaktorial, dengan
stimulasi androgenik pubertas dari kelenjar sebasea memainkan peran utama.
Sementara hiperkeratosis folikel, peningkatan kolonisasi Propionibacterium
acnes, kejadian inflamasi, faktor makanan dan gaya hidup merupakan
kontribusi tambahan dalam proporsi variabel pada individu yang rentan secara
genetik.1,5

P
a b c d
Gambar. 2.1. Patogenesis Akne: a) Mikrokomedo b) Komedo c) Inflamasi papul/pustul d) Nodul3

1. Kelenjar Sebasea dan Hormon Androgen


Pada individu akne, secara umum ukuran folikel sebasea serta
jumlah lobul tiap kelenjar bertambah. Ekskresi sebum ada di bawah
kontrol hormon androgen. Hormon androgen berperan pada perubahan
sel-sel sebosit demikian pula sel-sel keratinosit folikular sehingga
2
menyebabkan terjadinya mikrokomedo dan komedo yang akan
berkembang menjadi lesi inflamasi. 1
Pasien AV baik laki-laki maupun perempuan akan memproduksi
sebum lebih banyak dari individu normal, namun komposisi sebum tidak
berbeda dengan orang normal kecuali terdapat penurunan jumlah asam
linoleat yang bermakna. Jumlah sebum yang diproduksi sangat
berhubungan dengan keparahan AV. 1
Tidak dapat disangkal bahwa hormon merupakan faktor pemicu
patogenesis akne. Dengan lonjakan androgen pada masa puber, kelenjar
sebasea diketahui matang dan mulai mensekresi sebum secara aktif.
Reseptor androgen (AR) diekspresikan dalam lapisan basal kelenjar
sebasea dan di keratinosit selubung akar luar folikel rambut. Ketika
testosteron bebas memasuki sel, ia dengan cepat direduksi menjadi 5a-
dihydrotestosterone (DHT) oleh enzim 5a-reduktase, yang aktivitasnya
meningkat secara proporsional dengan ukuran kelenjar sebasea. Pada
kultur primer sebosit manusia, androgen testosteron dan DHT hanya
merangsang proliferasi sebosit melalui protein yang mengikat unsur
respon sterol, sedangkan ligan PPAR diperlukan untuk diferensiasi dan
aktivitas lipogenik. Pemberian testosteron dan dehydroepiandrosterone
sulfate (DHEA-S) eksogen meningkatkan ukuran kelenjar sebasea dan
produksi sebum. Namun, kadar androgen serum tidak berkorelasi
dengan keparahan akne. Oleh karena itu androgen hanya dapat berfungsi
sebagai prasyarat untuk perkembangan akne. Meskipun ada bukti klinis
bahwa androgen merangsang kelenjar sebasea, efek androgen in vitro
pada proliferasi dan diferensiasi sebosit bervariasi dalam berbagai
eksperimen dan jenis sel.5,6
2. Hiperproliferasi Folikel Pilosebasea
Androgen merangsang duktus keratinosit untuk berkembang.
Keratinosit yang berproliferasi didorong menuju pusat saluran sebasea,
yang mengembang untuk menampung peningkatan volume tetesan lipid
sampai “membran kaca” inelastis yang menutup saluran pilosebasea
tidak dapat berkembang lagi. Akumulasi lebih lanjut dari keratinosit
dalam sistem tertutup ini menyebabkan peningkatan tekanan
3
intraluminal, yang menyebabkan hipoksia di bagian tengah duktus. Ini
menghasilkan lingkungan anoksik yang mendukung pembentukan
koloni P. Acnes intraductal, yang menyebabkan pecahnya dinding
saluran dengan melepaskan antigen luminal dan menimbulkan
peradangan. Ini adalah teori klasik tentang bagaimana akne
berkembang. Studi terbaru menggunakan folikel yang secara klinis
normal dari kulit pasien akne yang tidak terlibat menunjukkan bahwa
aktivasi sel endotel vaskular dan respon inflamasi terjadi sebelumnya
dan bertindak sebagai faktor penyebab yang mungkin dalam perubahan
hiperproliferatif akne, sebagai lawan dari kejadian sekunder, dengan
peningkatan aktivitas IL-1 terjadi sebelum hiperproliferasi folikel di
sekitar folikel yang tidak terlibat, memicu "siklus aktivasi keratinosit". 5

3. Kolonisasi Propionibacterium Acnes (PA)


PA merupakan mikroorganisme utama yang ditemukan di
daerah infra infundibulum dan PA dapat mencapai permukaan kulit
dengan mengikuti aliran sebum. PA akan meningkat jumlahnya seiring
dengan meningkatnya jumlah trigliserida dalam sebum yang merupakan
nutrisi bagi PA.1
P. acnes mampu menginduksi inflamasi dengan: (1) melepaskan
enzim litik dan lipase yang memicu pecahnya epitel folikel dan reaksi
inflamasi, (2) menghasilkan faktor-faktor kemotaksis yang merekrut
neutrofil melalui dinding epitel, (3) mengaktifkan sistem kekebalan
bawaan melalui TLR2 dan TLR4, (4) merangsang pembentukan C5a
dengan aktivasi jalur komplemen klasik dan alternatif, dan (5) memicu
respon imun adaptif yang dibuktikan dengan adanya sel T helper 1 (Th1)
teraktivasi pada lesi awal yang meradang.5
4. Proses Inflamasi
Dalam teori klasik tentang perkembangan jerawat, peradangan
dianggap sebagai peristiwa tahap akhir. Bukti yang muncul dari tubuh,
menunjukkan peradangan (subklinis) sebagai langkah awal, hampir
perlu dalam mendorong hiperkeratinisasi folikel dan hiperproliferasi,
mendukung gagasan bahwa jerawat komedonal adalah penyakit kulit

4
inflamasi. Penilaian jerawat berdasarkan bukti tersebut memiliki
implikasi pada strategi pengobatan. Mengobati kulit yang tidak terlibat
pada pasien jerawat menjadi penting, serta pilihan agen farmakologis.
Dimasukkannya obat yang memiliki sifat antiinflamasi dapat
mengurangi atau bahkan mencegah munculnya lesi jerawat yang
terlihat.5
Kolonisasi unit pilosebasea oleh P. acnes adalah peristiwa utama
yang memunculkan respons imun bawaan dan adaptif pada inang.
Interaksi P. acnes dalam mikroflora kulit dengan keratinosit, sebosit dan
sel-sel lain yang terdiri dari sistem kekebalan kulit sangat penting dalam
proses terjadinya akne.5
5. Faktor Genetik
Faktor genetik, yang berperan dalam patogenesis jerawat, pada
awalnya ditunjukkan oleh penelitian saudara kembar dan studi berbasis
komunitas. Dalam penelitian ini, kejadian dan keparahan gejala jerawat
menunjukkan kesesuaian yang kuat pada kembar identik dan kembar.
kecenderungan keluarga. Dalam sebuah studi kembar wanita Inggris
besar dari 458 pasangan monozigot dan 1.099 dizigot, 47% dari kembar
jerawat memiliki riwayat keluarga setidaknya satu saudara kandung
non-kembar yang terkena jerawat dibandingkan dengan 15% pada
kembar non-akne. Jerawat pada kedua orang tua dilaporkan pada 25%
saudara kembar yang jerawat dan 4% saudara kembar yang tidak
berjerawat, 41% dari kembar jerawat memiliki setidaknya satu anak
yang terkena jerawat, berbeda dengan 17% dari kontrol. Para penulis
penelitian ini menunjukkan bahwa jerawat adalah salah satu kelainan
kulit yang paling diwariskan dengan 81% varian dalam pada jerawat
yang dikaitkan dengan faktor genetik tambahan dan hanya 19% untuk
faktor lingkungan.5,7
6. Faktor Lingkungan
Selain faktor genetik, prevalensi yang bervariasi pada kejadian
akne di negara dan kebudayaan yang berbeda dapat menggambarkan
gaya hidup yang berbeda diantaranya faktor diet, merokok, mencuci
wajah dan paparan sinar matahari. 5
5
C. Gejala Klinis
Predileksi utama jerawat adalah pada wajah, punggung, dada, dan bahu.
Pada batang tubuh, lesi cenderung terkonsentrasi di dekat garis tengah. Akne
vulgaris ditandai oleh beberapa jenis lesi: komedo noninflamasi (terbuka atau
tertutup) dan lesi inflamasi (papula merah, pustula, atau nodul). Meskipun satu
jenis lesi mungkin mendominasi, inspeksi dekat biasanya memperlihatkan
adanya beberapa jenis lesi. Komedo tertutup dikenal sebagai "whiteheads", dan
komedo terbuka dikenal sebagai "blackheads". Komedo terbuka muncul
sebagai lesi datar atau sedikit terangkat dengan impaksi folikular sentral keratin
dan lipid. Berwarna gelap karena oksidasi. Komedo tertutup muncul sebagai
papula kecil berwarna krem, agak tinggi, dan tidak memiliki lubang yang
terlihat secara klinis. Peregangan, pencahayaan samping, atau palpasi kulit
dapat membantu dalam mendeteksi lesi.3
Lesi inflamasi bervariasi dari papula eritematosa kecil hingga pustula
dan nodul besar, lunak, fluktuatif. Beberapa nodul besar sebelumnya disebut
"kista," dan istilah nodulokistik telah digunakan untuk menggambarkan kasus-
kasus parah peradangan jerawat. Kista sejati jarang ditemukan pada jerawat;
istilah ini harus ditinggalkan dan diganti dengan jerawat nodular berat. Evolusi
lesi jerawat tidak jelas. Meskipun mayoritas lesi inflamasi tampaknya berasal
dari komedo (54%), sejumlah besar lesi inflamasi (26%) muncul dari kulit
normal yang tidak terlibat. Mekanisme yang terlibat dalam evolusi lesi
inflamasi masih belum jelas, tetapi inflamasi proses dianggap memainkan
peran. Apakah lesi muncul sebagai papula, pustula, atau nodul tergantung pada
luas dan lokasi infiltrat inflamasi dalam dermis.3

6
Gambar. 2.2. Manifestasi Klinis Akne: a) Komedo tertutup b) Komedo terbuka
c) Inflamasi papul/pustul d) Nodul3

D. Diagnosis
Diagnosis akne vulgaris dapat ditegakan berdasarkan anamnesis atau
perjalanan klinis dan pemeriksaan fisik. Pada kasus tertentu, pemeriksaan lebih
lanjut mungkin diperlukan.3

Gambar.2.3 Akne vulgaris grade 1 Gambar.2.4 Akne vulgaris grade 2

7
Gambar.2.5 Akne vulgaris grade 3 Gambar.2.6 Akne vulgaris grade 4

1. Perhitungan Lesi
Akne ringan (Mild akne ): Komedo < 20, atau lesi inflamasi <15,
atau total lesi < 30. Akne sedang (Moderate akne ): Komedo < 30, atau
lesi inflamasi 15-50, atau total lesi 30-125. Akne berat (Severe akne ):
Kista > 5 atau komedo <100, atau lesi inflamasi > 50, atau total lesi
>125.1
2. Grading
Grade 1 : Komedo, dan beberapa papula
Grade 2 : Papula, komedo, dan beberapa pustul
Grade 3 : Didominasi pustul, nodul, abses
Grade 4 : Kista, abses, dan scar yang menyebar luas.8

E. Diagnosis Banding
Meskipun terdapat satu jenis lesi yang dominan, akne vulgaris
didiagnosis dengan adanya beberapa variasi dari lesi akne (komedo, pustul,
papul, dan nodul) yang erdapat pada wajah, punggung, dan dada. Diagnosis
banding akne vulgaris antara lain erupsi akneiformis, rosasea, dan dermatitis
perioral.1,3,9

1. Erupsi Akneiformis
Erupsi akneiformis adalah kelainan kulit yang menyerupai akne
berupa reaksi peradangan folikular dengan manifestasi klinis
papulopustular. Berbeda dengan akne, erupsi akneiformis timbul secara
akut atau subakut, dan tempat terjadinya tidak di tempat predileksi akne

8
saja, namun di seluruh bagian tubuh yang mempunya folikel pilosebasea.
Menifestasi klinis erupsi adalah papul dan pustul pada mulanya tanpa
komedo.

Gambar 2.7 Erupsi Akneiformis

2. Rosasea
Rosasea adalah penyakit kulit kronik pada daerah sentral wajah
(yang menonjol/cembung) yang ditandai dengan kemerahan pada kulit
dan telengiektasi disertai episode peradangan yang memunculkan erupsi
papul, pustul, dan edema. Lesi umumnya simetris.

Gambar 2.8 Erupsi Rosasea

9
3. Folikulitis
Merupakan radang pada folikel rambut. Kelainan berupa papul
atau pustul yang eritematosa dan di tengahnya terdapat rambut, biasanya
multiple. Apabila terdapat di dalam epidermis disebut folikulitis
superfisialis. Disebut folikel profunda apabila sampai pada lapisan
subkutan.

Gambar 2.9 Folikulitis

4. Dermatitis Perioral
Perioral dermatitis adalah penyakit kulit dengan karakteristik
papul dan pustul kecil yang terdistribusi pada daerah perioral, dengan
predominan di sekitar mulut. Dermatitis perioral biasanya pada wanita
muda. Penyebab pasti belum diketahui, namun terdapat beberapa faktor
yang mungkin menjadi penyebab antara lain faktor hormonal,
emosional, sensitif terhadap kosmetik, pasta gigi berfluoride, agen
infektif, dan kortikosteroid topikal.

Gambar 2.10 Dermatitis Perioral

10
F. Penatalaksanaan
Tujuan tata laksana Akne yakni mempercepat penyembuhan, mencegah
pembentukan akne baru dan mencegah jaringan parut yang permanen. 1
1. Tata Laksana Umum
Menjaga kebersihan kulit terutama kulit wajah sangat berperan
penting pada terapi akne. Mencuci wajah rutin minimal dua kali sehari
bersamaan dengan penerapan terapi lainnya pada akne, akan
memberikan hasil yang lebih baik. Namun, pembersih wajah tetap harus
digunakan dengan hati-hati karena juga dapat mengakibatkan kulit
kering. 1,2,3

2. Tata Laksana Medikamentosa


Tata laksana medikamentosa diberikan berdasarkan gradasi
(berat-ringan) akne diikuti dengan terapi pemeliharaan/pencegahan. 1

Algoritme Ringan Sedang Berat


Tata
Laksana Komedonal Papular/pustular Papular/pustular Nodular Nodular/
Akne konglobata

Pilihan Retinoid Retinoid topikal Antibiotik oral Antibiotik oral Isotretinoin


pertama topikal + antimikroba + retinoid + retinoid oral
topikal topikal +/- BPO topikal +/- BPO
Alternatif Alt. retinoid Alt. agen Alt. Antibiotik Isotretinoin oral Antibiotik oral
topikal atau antimikroba oral + retinoid atau Alt. dosis tinggi +
azelaic acid topikal + alt. topikal +/- BPO antibiotik oral + retinoid
atau asam retinoid topikal Alt. retinoid topikal + BPO
salisilat atau azeleic acid topikal +/-
BPO/Azeleic
acid
Alternatif Lihat pilihan Lihat pilihan Antiandrogen Antiandrogen Antiandrogen
untuk pertama pertama oral + retinoid oral + retinoid oral dosis
perempuan topikal / azeleic topikal +/- tinggi +
acid topikal +/- antibiotik oral retinoid
antimikroba +/- Alt. topikal +/-
topikal antimikroba antimikroba
topikal

Terapi Retinoid topikal Retinoid topikal +/- BPO


maintenance

Tabel 2.1 Algoritme Tata Laksana Akne

11
a. Retinoid Topikal
Retinoid topikal merupakan terapi lini pertama untuk akne.
Terapi ini merupakan salah satu terapi yang paling efektif.1 Kelebihan
retinoid topikal dibandingkan retinoid sistemik adalah pada spesifisitas
lokasi. Retinoid topikal yang paling banyak digunakan diantaranya
adapalene, tazarotene, dan isotretinoin. Retinoid topikal menghambat
pembentukan mikrokomedo non-inflamasi dan inflamasi lesi akne
(menurunkan jumlah lesi). 10

Sebagian kecil pasien mungkin mengalami jerawat yang pustuler


dalam beberapa minggu pertama terapi retinoid topikal, yang merupakan
efek sementara yang mengindikasikan efektivitas terapi. Tazarotene
diberi label sebagai kategori X, berdasarkan indikasi untuk psoriasis
ketika terjadi perubahan di area dengan pelindung kulit yang lebih besar
sedang diobati. Tretinoin dan adapalene adalah kategori C.
Meminimalkan paparan sinar matahari disarankan pada semua
penggunaan retinoid dikarenakan peningkatan kerentanan terhadap
"burning", kemungkinan sekunder akibat penipisan stratum korneum.
Pasien harus diberikan instruksi spesifik tentang penggunaan retinoid. 11
- Tretinoin (asam trans-retinoat; asam vitamin A) pertama kali
tersedia 25 tahun yang lalu. Efek iritasi tretinoin kadang-kadang
membatasi manfaatnya, tetapi ini dapat diminimalisir dengan
metode aplikasi yang benar. Tretinoin meningkatkan regenerasi sel
epidermis dan mengurangi "cohesiveness" sel, dengan demikian
menghambat pembentukan komedo serta membantu menghilangkan
dan menghalau komedo yang ada. Tretinoin juga mengurangi
jumlah lapisan sel normal stratum korneum dari 14 menjadi 5. Ini
menurunkan ketebalan lapisan penghalang sehingga dapat
memudahkan penetrasi agen topikal lainnya.
- Adapalene adalah turunan dari asam naphthoic dan merupakan
analog asam retinoat selektif. Produk ini tidak terdegradasi oleh
sinar matahari, tidak fototoksik, dan kompatibel dengan
pengaplikasian BPO pada saat bersamaan. Jika dibandingkan
dengan gel tretinoin topikal 0,025%, ada insiden iritasi kulit yang
12
lebih rendah dan memiliki peebandingan lebih baik dalam
pengurangan kedua lesi inflamasi dan noninflamasi. Efek ini
mungkin terjadi sekunder dibandingkan ikatan selektifnya,
peningkatan sifat lipofilik, dan penetrasi folikel. Ini adalah sebuah
terapi lini pertama yang baik pada iklim yang lebih dingin atau pada
pasien dengan kulit sensitif.
- Tazarotene adalah retinoid selektif ampuh yang berikatan
dengan reseptor asam retinoat, RAR-B dan RAR-y. Obat ini
dikonversi di epidermis menjadi metabolit aktifnya asam tazarotenic
dan awalnya dikembangkan untuk pengobatan psoriasis. Tazorac
adalah obat kategori X dan harus dihindari pada kehamilan. Obat ini
bisa menyebabkan iritasi dan harus dihindari pada pasien dengan
kulit sensitif atau dermatitis seboroik. Gel 0,1% lebih efektif
dibandingkan dengan konsentrasi 0,05%. Namun apabila terapi
dimulai dengan konsentrasi 0,05%, akan mengurangi efek iritasi
yang mungkin terjadi. Beberapa peneliti menganjurkan terapi
kontak singkat, seperti 1-5 menit eksposur setiap malam, terutama
untuk pasien dengan komedo resisten. Waktu perawatan dapat
ditingkatkan secara bertahap hingga semalam. Terapi kontak singkat
dua kali sehari dapat ditoleransi pada individu dengan kulit lebih
berminyak. Produk ini tidak mengalami degradasi oleh sinar
matahari.

b. Antimikroba Topikal
- BPO memiliki efek bakteriostatik yang kuat dengan mengurangi
P. acnes dalam waktu 2 hari dan a pengurangan jumlah lesi setelah
4 hari aplikasi. BPO mengurangi kemungkinan resistensi bakteri dan
dapat menjadi andalan pada setiap program jerawat, jika ditoleransi.
Hal ini diduga bahwa agen ini terurai oleh sistein yang ada di kulit,
setelah itu oksigen radikal bebas mampu mengoksidasi protein di
sekitarnya. Protein ini termasuk protein bakteri dari folikel
sebaceous, sehingga mengurangi jumlah P. Acnes. Sensitivitas
kontak diamati pada 1% - 3% pasien. BPO dapat memutihkan warna
13
pakaian. Produk BPO sekarang sebagian besar dijual bebas, dengan
berbagai merek yang tersedia, bervariasi dalam kekuatan dari 2,5%
hingga 10%.11
Dalam terapi kombinasi, retinoid mencegah atau menghilangkan
komedo, sedangkan BPO atau antibiotik topikal memberantas P.
acnes. Retinoid juga meningkatkan penyerapan dari produk lain. 11
Benzoyl Peroksida salah satu medikasi yang paling sering
digunakan oleh para dermatolog. Benzoyl peroxide merupakan agen
antimikroba yang kuat. Mengurangi populasi bakteri dengan
melepaskan oksigen radikal bebas. Juga memiliki komponen
komedolitik yang ringan. Benzoyl peroksida tersedia dalam bentuk
krim, losion, gel, pencuci muka, dan foam. 3
- Antibiotik topikal dapat berpengaruh terhadap lesi jerawat oleh
tindakan bakteriostatik atau karena efek supresif pada respon
inflamasi. Lesi papular dan pustular memberikan respon paling baik,
aktivitas jerawat komedonal atau kistik tidak dapat diubah.
Organisme yang resisten mungkin muncul setelah terapi lanjutan,
terapi kombinasi dengan BPO meminimalkan risiko ini. Semua
antibiotik topikal diaplikasikan dua kali sehari.
o Clindamycin Phosphate tersedia dalam konsentrasi 1%
dalam pengangkut hidroalkohol (30 atau 60 mL) sebagai gel
atau lotion. Ada dua laporan kolitis pseudo-membraneous
setelah penggunaan klindamisin hidroklorida topikal. Pasien
dengan IBD harus menghindari penggunaan klindamisin
topikal, dan semua pasien harus diperingatkan untuk
menghentikan terapi jika gejala usus terjadi. Produk yang
mengkombinasikan clindamycin dengan BPO termasuk
BenzaClin dan Duac.
o Erythromycin Base yang dioleskan telah menjadi andalan
dalam pengobatan jerawat. Namun, resistensi yang luas
sekarang membatasi penggunaannya sebagai monoterapi.
Keuntungan utamanya terletak pada keamanannya pada ibu
hamil.
14
Eritromisin dan klindamisin merupakan terapi antibiotik topikal
akne yang paling sering digunakan.
- Asam salisilat efek utamanya adalah keratolitik, meningkatkan
konsentrasi dari substansi lain, selain itu juga mempunyai efek
bakteriostatik dan bakteriosidal. 3 Asam Salisilat adalah asam B-
hidroksi yang menembus ke dalam kelenjar sebaceous dan memiliki
sifat komedolitik dan anti-inflamasi. Ini dapat digunakan sebagai
terapi tambahan dan ditemukan dalam pembersih, toner, dan masker.
Efek samping diantaranya eritema dan skuama. 11
- Asam Azelaic adalah asam dikarboksilat yang memiliki
antimikroba, anti-inflamasi, dan aktivitas komedolitik, dan relatif
tidak menimbulkan iritasi. Ini tersedia dalam bentuk krim (Azelex)
atau formulasi gel (Finacea). Asam azelaic dapat membantu
meringankan hiperpigmentasi pasca inflamasi dan merupakan
pilihan yang baik untuk kulit berpigmen. Sejauh ini asam azeleic
menunjukkan kecenderungan minimal untuk resistensi bakteri. Obat
ini bekerja paling baik bila dikombinasikan dengan agen topikal
lainnya, misalnya, BPOs dan retinoid.11
- Dapson topikal bermanfaat dalam mengurangi peradangan
jerawat, meskipun mekanismenya tidak diketahui. Ini harus
dihindari oleh pasien dengan defisiensi dehidrogenase glukosa-6-
fosfat . Dapson topikal adalah kehamilan kategori C. 11

c. Terapi Kombinasi
Dalam terapi kombinasi, retinoid mencegah atau menghilangkan
komedo, sedangkan BPO atau antibiotik topikal memberantas P. acnes.
Retinoid juga meningkatkan penyerapan dari produk lain. Pada beberapa
orang pasien, dapat terjadi reaksi iritasi. Kombinasi dapat terdiri dari dua
atau lebih agen tunggal yang terpisah, atau sebuah produk kombinasi.

d. Antibiotik Sistemik
Efek menguntungkan dari antibiotik sangatlah banyak. Tidak
hanya itu menurunkan jumlah bakteri dan kadar asam lemak bebas
15
(FFA), tetapi antibiotik juga bermanfaat untuk terapi jerawat dengan
secara langsung mengganggu mekanisme inflamasi seluler dan kimia
lokal.
Tetrasiklin, eritromisin, dan klindamisin telah terbukti
menghambat kemotaksis leukosit dan fungsi inflamasi neutrofil lainnya
dan dapat secara langsung menghambat lipase ekstraseluler yang
bertanggung jawab atas pembentukan senyawa inflamasi. Terapi
antibiotik tidak bisa benar-benar dievaluasi sampai 6 hingga 8 minggu
setelah terapi dimulai. Kadar antibiotik dalam sebum tidak dapat
dideteksi sampai sekitar 7 hari setelah pengobatan dimulai, dan lipid
terbentuk dalam sel basal sebasea folikel mungkin membutuhkan 1 bulan
untuk mencapai permukaan kulit. Meskipun komposisi sebum berubah,
tingkat sekresi tetap konstan, karena itu, kulit dapat tetap berminyak.
Terapi mungkin perlu dilanjutkan selama beberapa bulan. Tapering
memungkinkan organisme yang resisten untuk tumbuh lebih mudah,
sementara penghentian secara tiba-tiba dapat menimbulkan lesi akne.
Penggunaan antibiotik jangka panjang hanya berkontribusi pada
kelompok organisme resisten.
- Minosiklin secara umum merupakan antibiotik yang paling
efektif untuk mengatasi akne namun dapat mengakibatkan efek
samping yang serius. Antibiotik ini sangat larut dalam lemak dan
lebih efektif menembus folikel sebasea, dan diserap dengan baik,
bahkan dengan makanan. Karena itu sifatnya sangat lipofilik, ia
melintasi sawar darah-otak dan dapat mengendap menjadi sindrom
pseudotumor serebri. Durasi terapi bisa satu minggu hingga satu
tahun, dengan gejala yang paling umum adalah sakit kepala,
gangguan penglihatan, diplopia, tinitus, mual, dan muntah.
- Doksisiklin memiliki karakteristik penyerapan dan durasi
aktivitas yang sama dengan minosiklin. Efektivitasnya dalam
mengatasi jerawat mendekati minocycline, ketika digunakan dalam
cara yang sama dengan dosis serupa. Data awal menunjukkan bahwa
dosis subantimikroba doksisiklin, 20 mg (Periostat), dapat
memainkan peran terapeutik pada jerawat dengan mengurangi
16
peradangan melalui antikolagenolitik, metalloproteinase yang
menurunkan antimatrix, dan sifat downregulating sitokin. Pasien
yang menggunakan doksisiklin harus diperingatkan untuk
menghindari paparan sinar matahari yang berlebihan karena
sensitivitas fotosensitasi penggunaan obat ini. Pasien harus
disarankan minum pil dengan makanan dan segelas penuh air, untuk
menghindari esofgitis erosif. Dosis malam harus diminum
setidaknya 30 menit sebelum berbaring untuk tidur.
- Eritromisin, 1 g / hari, juga efektif dalam pengobatan jerawat.
Dosis dan waktu yang sama tanggapan yang dicatat untuk tetrasiklin
juga berlaku untuk obat ini. Namun, hingga 40% dari organisme P.
acnes sekarang resisten terhadap eritromisin, kombinasi dengan
BPO topikal mungkin membantu mengurangi resistensi bakteri.
- Klindamisin, 300 hingga 450 mg / hari, adalah agen yang efektif
untuk jerawat. Namun, karena risiko terjadinya kolitis
pseudomembran, maka penggunaan sistemik klindamisin hanya
pada kasus yang sangat parah dan tidak responsif terhadap semua
mode terapi lainnya.
- Trimethoprim-Sulfamethoxazole juga telah terbukti
menurunkan kadar FFA dan menghambat peradangan jerawat.
Trimethoprim sangat lipofilik, meningkatkan pennetrasi pada
folikel. Mulailah penggunaan dengan satu tablet kekuatan ganda
sebelum tidur, hingga dua tablet per hari. Tingkat reaksi alergi yang
tinggi membatasi penggunaan obat ini. Neutropenia dapat terjadi
pada terapi jangka panjang dan hitung darah lengkap dasar dengan
pemantauan intermiten direkomendasikan. Kasus nekrosis hati dan
anemia aplastik juga telah dikaitkan dengan obat ini.
- Ampisilin juga dapat membantu pada pasien tertentu. Pada
pasien jerawat yang resisten, biakan dapat dilakukan untuk
menunjukkan bakteri gram negatif yang responsif terhadap
ampisilin.

17
- Azitromisin dalam dosis 500 mg tiga kali seminggu telah
terbukti menghasilkan 60% pengurangan papula inflamasi pada 83%
pasien yang terdaftar dalam studi yang dilakukan selama 12 minggu.

e. Terapi Hormonal (Supresi Kelenjar Sebasea)


- Kontrasepsi oral (estrogen diberikan sebagai agen anovulasi)
dapat digunakan dalam kasus yang tidak responsif pada wanita muda
setelah rejimen yang lebih konvensional gagal. Sebagian besar atau
semua efek estrogen adalah hasil dari penghambatan adrenal dan
androgen pada supresi lokal kelenjar. Ada sebuah korelasi langsung
antara tingkat penghambatan kelenjar sebaceous dengan perbaikan
jerawat. Namun, kelenjar merespon beragam terhadap penekanan
estrogen. Dirata-rata, akan ada penurunan 25% dalam produksi
sebum pada pemberian 0,1 mg etinil estradiol. Obat ini dan 3-metil
eternya, mestranol (yang memiliki dua pertiga dari potensi etinil
estradiol), adalah estrogen yang ada dalam kontrasepsi oral.
- Prednison. Untuk individu dengan flare jerawat akut, prednison
juga dapat digunakan dalam dosis 20 mg / hari selama 1 minggu
sebelum acara penting seperti pernikahan.
- Spironolaktone (Aldactone), digunakan selama bertahun-tahun
sebagai diuretik, juga merupakan antiandrogen yang menghalangi
pengikatan androgen ke reseptor androgen. Ini berguna dalam
perawatan jerawat bandel pada wanita dewasa dengan jerawat.
Penyimpangan menstruasi dan nyeri payudara adalah efek samping
yang umum, dan obat ini mungkin lebih mudah digunakan pada
wanita yang menggunakan kontrasepsi pil. Obat tidak boleh
digunakan selama kehamilan.
- Isotretinoin (Asam 13-cis-Retinoat, Accutane) harus
dipertimbangkan untuk pasien dengan jerawat kistik bandel parah,
atau pasien dengan pembentukan bekas luka. Efek dari retinoid
sintetik ini tidak dapat dibantah, meskipun cara kerjanya tetap tidak
jelas. Isotretinoin bersifat sebostatik, menyebabkan penurunan
tingkat produksi sebum hingga serendah 10% dari nilai
18
pretreatment. Terapi isotretinoin menyebabkan penurunan androgen
2,6 kali lipat. Dosis awal isotretinoin adalah 0,5 hingga 1,0 mg / kg
berat badan pasien. Dosis kumulatif harus antara 120 dan 150 mg /
kg, untuk efektivitas dan hasil optimal. Ini biasanya membutuhkan
5 hingga 6 bulan, tergantung pada dosis harian yang dapat ditolerir
pasien. Dalam dosis lebih besar dari 40 mg / hari, dosis harus dibagi
menjadi pagi dan sore hari.11
Isotretinoin oral merupakan obat sebosupressive paling efektif
dan diberikan untuk akne yang berat. Seperti retinoid lainnya,
isotretinoin mngurangi komedogenesis, mengecilkan ukuran
glandula sabaseus hingga 90% dengan menurunkan proliferasi dari
basal sebocyte, menekan produksi sebum invivo dan menghambat
diferensiasi termina sebocyte. Walaupun tidak berefek langsung
terhadap P.aknes, ini menghambat efek dari produksi sebum dan
menurunkan jumlah P.Aknes yang mengakibatkan inflamasi. 2,3

Hasil terapi dari isotretinoin menunjukkan perbaikan yang lebih


cepat untuk lesi inflamasi dibandingkan dnegan komedo.Pustule
menghilang lebih cepat daripada papul atau nodul, dan lesi yang
berlokasi di wajah, lengan atas, dan kaki daripada di punggung dan
badan.3
f. Tindakan / Terapi Fisik
Selain terapi topikal dan terapi sistemik, terdapat beberapa terapi
tambahan dengan menggunakan alat ataupun agen fisik, diantaranya
adalah injeksi kortikosteroid intralesi (KIL), ekstrasi komedo, laser,
electrosurgery, krioterapi, terapi ultraviolet, blue light, red light,
chemical peeling, dan lain-lain.1

G. Prognosis
Quo ad vitam : bonam

Quo ad functionam : dubia ad bonam

Quo ad sanationam : dubia ad bonam

Quo ad kosmetikum : dubia ad bonam

19
Perempuan pre-pubertas dengan akne komedonal dan wanita dengan
kadar DHEAS yang tinggi merupakan prediktor akne nodulokistik berat atau
jangka panjang.9
Onset dari akne vulgaris sangat bervariasi, dimulai dari 6 hingga 8 tahun
dan kemudian tidak timbul lagi hingga umur 20 atau lebih. Kejadian akne ini
biasanya diikuti oleh remisi yang terjadi secara spontan. Walaupun rata-rata
pasien akan mengalami penyembuhan pada usia awal 20 an tapi ada juga yang
masih menderita akne hingga decade ketiga sampai decade keempat.
Akne pada wanita biasanya berfluktuasi berkaitan dengan siklus haid dan
biasanya bermunculan sesaat sebelum menstruasi. Kemunculan akne ini tidak
seharusnya berhubungan dengan perubahan aktivitas glandula sabaseus, dimana
tidak terjadi peningkatan produksi sebum pada fase luteal dalam siklus
menstruasi.3

20
BAB III
LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien

Nama : Nn. MU

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 17 Tahun

Pekerjaan : Mahasiswa

Tanggal Periksa : 29 November 2019

Alamat : Parang Labbua

B. Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada pasien pada tanggal 29 -11

- 2019 di poli Kulit dan Kelamin RSUD Syekh Yusuf.

1. Keluhan Utama :

Gatal disertai kemerahan di kulit wajah

2. Riwayat Penyakit

Pasien perempuan berumur 17 tahun datang ke poli kulit dan kelamin RSUD

Syekh Yusuf dengan keluhan gatal disertai kemerahan di kulit wajah. Keluhan

gatal disertai kemerahan pertama kali muncul sejak 2 minggu yang lalu.

Dirasakan terus-menerus dan memberat setelah mengonsumsi mie atau bakso.

Keluhan diawali dengan munculnya bintik merah di pipi kiri kemudian

menyebar ke seluruh wajah. Awal mula lesi berupa papula disertai eritema

kemudian akibat pasien sering menyentuh dan menggaruk, terjadi perkembangan

lesi. Tampak pada wajah terdapat eritema, papul, pustul serta komedo. Batas

dengan kulit normal tidak jelas. Pasien mengaku tidak menggunakan produk

perawatan wajah maupun kosmetik. Saat ini pasien tidak sedang mengalami
21
menstruasi. Pasien sering mengendarai sepeda motor tanpa menggunakan

masker atau penutup wajah. Pasien suka mengonsumsi gorengan. Pasien

menjaga kebersihan wajah dengan mencuci muka 2 kali sehari.

3. Riwayat Penyakit Dahulu

 Riwayat penyakit seperti ini :-

 Riwayat Alergi : + (mie dan bakso)

 Riwayat Pengobatan :-

4. Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan yang sama

5. Riwayat Sosial Ekonomi

 Pasien seorang mahasiswa jurusan budidaya holtikultura. Transportasi yang

digunakan sehari – hari adalah motor.

 Riwayat Merokok :-

 Riwayat alkohol : disangkal

22
C. Pemeriksaan Fisik

Status Dermatologis :

Lokasi : Facialis

Effloresensi : Pada wajah tampak eritema, papul, pustul serta komedo

berukuran miliar, lesi multipel, beberapa konfluens, bentuk

tidak teratur dan tidak berbatas tegas, penyebaran regional

(wajah).

Gambar 3.1

D. Diagnosis

Akne Vulgaris Grade II

E. Diagnosis Banding

1. Erupsi Akneiformis

2. Rosasea

3. Folikulitis

4. Dermatitis Perioral

23
F. Penatalaksanaan

1. Doksisiklin 100 mg 1 x 1

2. Vitamin C 2 x 1

G. Resume

Pasien perempuan berumur 17 tahun datang ke poli kulit dan kelamin RSUD

Syekh Yusuf dengan keluhan gatal disertai kemerahan di kulit wajah. Keluhan gatal

disertai kemerahan pertama kali muncul sejak 2 minggu yang lalu. Dirasakan terus-

menerus dan memberat setelah mengonsumsi mie atau bakso. Keluhan diawali

dengan munculnya bintik merah di pipi kiri kemudian menyebar ke seluruh wajah.

Awal mula lesi berupa papula disertai eritema kemudian akibat pasien sering

menyentuh dan menggaruk, terjadi perkembangan lesi. Tampak pada wajah terdapat

eritema, papul, pustul serta komedo. Batas dengan kulit normal tidak jelas. Pasien

mengaku tidak menggunakan produk perawatan wajah maupun kosmetik. Pasien

mencuci wajah 2 kali sehari. Pasien mengaku suka memakan gorengan dan biasa

mengendarai motor tanpa menggunakan masker atau penutup wajah. Riwayat

penyakit dahulu (-), riwayat alergi (+), riwayat pengobatan (-), riwayat merokok (-),

riwayat konsumsi alkohol (-).

H. Prognosis

1. Ad vitam : bonam

2. Ad Functionam : dubia ad bonam

3. Ad sanationam : dubia ad bonam

4. Ad kosmetikum : dubia ad bonam

24
I. Edukasi

1. Memberikan informasi pada pasien tentang penyebab penyakitnya

2. Memberikan informasi kepada pasien bahwa penyakitnya dapat kambuh

kembali, sehingga pasein dianjurkan untuk segera berobat bila terjadi

kekambuhan

3. Memberikan informasi kepada pasien tentang pengobatan yang akan dilakukan

dan berobat secara teratur.

4. Memberikan penjelasan kepada pasien agar tidak menggaruk lesi agar tidak

memperburuk keadaan penyakit.

5. Mencuci wajah secara rutin 2 kali sehari.

6. Menghindari stress emosional.

7. Mengkonsumsi makanan yang bergizi untuk perbaikan status gizi terutama sayur

dan buah serta minum air putih yang cukup.

25
BAB IV

KESIMPULAN

Akne vulgaris adalah peradangan kronik folikel pilosebasea yang ditandai


dengan adanya komedo, papul, pustul, nodul, bahkan scar. Komedo merupakan lesi
utama akne. Akne terutama mengenai daerah-daerah wajah, leher, batang tubuh bagian
atas, dan lengan atas.
Etiopatogenesis Akne Vulgaris kompleks dan multifaktorial, dengan stimulasi
androgenik pubertas dari kelenjar sebasea memainkan peran utama. Sementara
hiperkeratosis folikel, peningkatan kolonisasi Propionibacterium acnes, kejadian
inflamasi, faktor makanan dan gaya hidup merupakan kontribusi tambahan dalam
proporsi variabel pada individu yang rentan secara genetik.
Predileksi utama jerawat adalah pada wajah, punggung, dada, dan bahu. Pada
batang tubuh, lesi cenderung terkonsentrasi di dekat garis tengah. Akne vulgaris
ditandai oleh beberapa jenis lesi: komedo noninflamasi (terbuka atau tertutup) dan lesi
inflamasi (papula merah, pustula, atau nodul). Meskipun satu jenis lesi mungkin
mendominasi, inspeksi dekat biasanya memperlihatkan adanya beberapa jenis lesi.
Komedo tertutup dikenal sebagai "whiteheads", dan komedo terbuka dikenal sebagai
"blackheads".
Diagnosis banding akne vulgaris antara lain erupsi akneiformis, rosasea, dan
dermatitis perioral.
Tujuan tata laksana Akne yakni mempercepat penyembuhan, mencegah
pembentukan akne baru dan mencegah jaringan parut yang permanen. Tata laksana
akne dapat berupa terapi topikal, sistemik, dan tindakan/terapi fisik. Prognosis dubia ad
bonam.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Sitohang IBS, Wasitatmadja SM. Akne Vulgaris dalam Menaldi SL, Bramono K,
Indriatmi W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 7, Cetakan Kelima.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2018. h: 288 - 92
2. Morris-Jones R. ABC of Dermatology 6th ed. London:BMJ Group, 2014. p: 89-96.
3. Zaenglein AL, Graber EM, Thiboutot DM, Strauss JS. Acne Vulgaris and Acneiform
Eruptions. In: Wolff K, Goldsmith L, Katz S, Gilchrest B, Paller A, Leffell D, eds.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 9th ed. New York: McGraw-Hill;
2019. p: 1391-413.
4. James WD, Elston DM, Treat JR, Rosenbach MA, Neuhaus IM. Andrews’ disease
of the skin Clinical Dermatology 13th ed. Canada : El Sevier; 2019. p: 231-38.
5. Cho S, Kang S. What’s New in Acne Pathogenesis in World Clinics Dermatology.
India : Jaypee Brothers Medical Publishers, 2014. p : 1 – 30
6. Zouboulis C, Chen WC, The Sebaceous Gland and Its Role as an Endocrine Organ
in World Clinics Dermatology. India : Jaypee Brothers Medical Publishers, 2013. p
: 37– 51
7. Dandby FW. Acne Causes and Practical Management. UK: John Wiley & Sons, Ltd,
2015. p: 31-34.
8. Adityan B, Kumari R, Thappa DM. Scoring systems in Acne Vulgaris. Indian: Indian
J Dermatol Venerol Leprol; 2009
9. Widaty Sandra, Soebono Hardyanto, Nilasari Hany, dkk. Panduan Praktis Klinis
Bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di Indonesia. PERDOSKI: Jakarta. 2017.
h: 248-51
10. Hui AM, Shalita AR. Topical Retinoids in Shalita AR, Rosso JQD, Webster GF.
Acne Vulgaris. Informa Health Care : UK. 2011. p : 86-91
11. Flemming KF, Alam M . Acne. In: Manual of Dermatology Therapeutics 8th ed.
Massachusetts: Lippincot Williams and Wilkins; 2014.

27

Anda mungkin juga menyukai