Anda di halaman 1dari 40

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Dermatitis seboroik adalah suatu kelainan kulit kronis papuloskuamosa
yang sering ditemukan dan mudah dikenali. Kelainan kulit ini dapat terjadi pada
bayi dan dewasa. Dermatitis seboroik sering dikaitkan dengan malassezia, dimana
terjadi gangguan imunologis mengikuti kelembaban lingkungan, perubahan cuaca
ataupun trauma. Predileksi dermatitis seboroik pada kulit kepala dan daerah
folikel sebasea di wajah (terutama lipatan nasolabial) dan dada. Kulit tampak
berwarna merah muda ditutupi sisik kuning kecoklatan dan krusta. Penyebaran
lesi dimulai dari derajat ringan sampai derajat berat, seperti ketombe sampai
dengan eritroderma.1,2,3
Prevalensi dermatitis seboroik pada populasi umum sebesar 1% - 3% dan
34% - 83% pada orang dengan defisiensi imun. Insidensi puncak dermatitis
seboroik terjadi pada beberapa kelompok umur yaitu, umur 2-12 bulan, remaja
dan pada dewasa awal. Derajat berat dapat muncul pada kondisi dengan iklim
dingin dan kering serta pada keadaan stress.4
Penelitian di Amerika menunjukkan 3% - 5% dermatitis seboroik terjadi
pada dewasa. Dermatitis seboroik lebih sering terjadi pada laki-laki daripada
perempuan pada semua kelompok umur.2 Menurut survei yang dilakukan di
Australia terhadap 1.116 anak, didapatkan prevalensi dermatitis seboroik pada
anak laki-laki sebesar 10% dan pada anak perempuan sebesar 9,5%. Pada
penelitian ini tidak didapatkan perbedaan prevalensi pada berbagai ras.5 Data di
Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo pada tahun 2000-
2002 tercatat insidensi dermatitis seboroik sebesar 8,3% dari total kunjungan
pasien.6 Di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP DR. M. Djamil Padang dilaporkan
sebanyak 73 kunjungan pasien dengan dermatitis soboroik pada tahun 2016,
dimana insiden dermatitis seboroik ini mengalami peningkatan dari tahun
sebelumnya.7
Dermatitis seboroik disebabkan oleh banyak faktor. Ada 3 faktor yang
diduga sebagai penyebab utama terjadinya dermatitis seboroik yaitu produksi

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 1


sebum berlebihan yang merupakan sekresi glandula sebasea, metabolisme
mikroba yaitu Malassezia dan kerentanan individu. Pada kelompok
imunokompromais akan mengalami peningkatan insidensi dermatitis seboroik.8
Menurut penelitian yang dilakukan di Manado, wajah merupakan lokasi
terbanyak sebagai tempat munculnya lesi dermatitis seboroik.9 Gejala yang
muncul pada penderita dermatitis seboroik ini berupa skuama kuning berminyak
dan krusta di atas kulit eritema ringan sampai dengan plak yang sangat merah.10
Ketombe merupakan gejala awal dari dermatitis seboroik.3 Hal ini ditandai dengan
serpihan kulit yang lepas berwarna putih dan kering.5 Pada bentuk yang lebih
berat, terdapat lesi pada kepala yang ditutupi oleh krusta-krusta kotor dan berbau
tidak sedap. Sebagian besar penderita dermatitis seboroik mengeluhkan rasa gatal
dan sensasi meyengat, dimana sebagian lainnya asimtomatik.3,11 Berdasarkan
predileksi, gambaran lesi yang muncul dan keluhan yang dirasakan dapat
memberikan pengaruh yang besar terhadap kepercayaan diri penderita dermatitis
seboroik tersebut.9
Gambaran klinis yang tampak dari luar dapat memberikan dampak
psikososial yang signifikan. Rasa cemas, depresi, marah, malu dan tidak percaya
diri dapat membuat pasien mengisolasi diri dari masyarakat. Aktivitas sosial dan
interaksi denngan orang lain akan terganggu karena pasien kuatir mengenai
pandangan orang lain terhadap kondisi kulit mereka. Gangguan fisik, psikis,
kehidupan sosial dan aktivitas sehari-hari pasien akan memberikan efek negatif
terhadap kualitas hidup pasien. Hal ini tidak hanya sekali dirasakan oleh pasien
penyakit kronik seperti halnya dermatitis seboroik ini.12
Dermatitis seboroik merupakan inflamasi kronik pada kulit yang dapat
bertahan selama bertahun-tahun melalui kekambuhan dan remisi yang terjadi pada
penyakit ini.13 Penelitian di Thailand melaporkan sebesar 68,1% pasien dengan
kekambuhan kronis dan kadang-kadang mengalami eksaserbasi. Sebagian pasien
mengalami gejala yang menetap dan berkelanjutan, dimana dalam penelitian
tersebut ditemukan sebesar 20,5% pasien. Frekuensi kekambuhan dermatitis
seboroik ini dapat terjadi dalam rentang waktu sekali dalam 4 tahun sampai setiap
minggu. Angka median kekambuhan tersebut yaitu 6 kali dalam setahun.11

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 2


Dermatitis seboroik yang tergolong penyakit kulit kronik, mengharuskan
pasien menanggung beban penyakit tersebut selama bertahun-tahun bahkan
seumur hidupnya. Lamanya penderitaan yang ditanggung oleh pasien membuat
penilaian pengaruh penyakit kulit tersebut terhadap kualitas hidup menjadi suatu
hal yang penting dalam tata laksana dan perbaikan kualitas hidup merupakan
tujuan terapi yang utama.12
Menurut World Health Organization (WHO), kualitas hidup adalah
persepsi seseorang dalam konteks budaya dan norma yang sesuai dengan tempat
hidupnya serta terkait dengan tujuan, harapan, standar dan kepedulian selama
hidupnya.14 Kualitas hidup ini merupakan suatu konsep multidimensi yang luas,
dimana hal ini mencakup evaluasi secara subjektif dari kehidupan individu
masing-masing menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC) pada
tahun 2011.15 Penelitian yang dilakukan di Spanyol terhadap 2.159 dewasa
dengan dermatitis seboroik didapatkan rata-rata mengalami gangguan kualitas
hidup ringan.16 Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan di Afrika Selatan,
dimana dermatitis seboroik memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap
kualitas hidup pasien dinilai dari derajat keparahannya.17 Di Thailand, penilaian
kualitas hidup terhadap penderita dermatitis seboroik rata-rata berada pada
kategori sedang dan 3,6% mengalami pengaruh yang sangat besar terhadap
kualitas hidupnya. Dermatitis seboroik memiliki dampak yang lebih besar
terhadap kualitas hidup pasien dibandingkan dengan penyakit yang disebabkan
oleh infeksi jamur lainnya.11
Penilaian kualitas hidup pasien dermatitis seboroik telah banyak
dilakukan. Kualitas hidup tersebut diukur berdasarkan hal-hal yang
mempengaruhinya seperti, jenis kelamin penderita, tingkat pendidikan, lokasi lesi
dan derajat keparahannya.17,18 Kualitas hidup dermatitis seboroik juga dapat
dipengaruhi oleh kekambuhan yang dialami oleh penderita dikarenakan sifatnya
yang kronik residif.11 Akan tetapi, belum ada data penelitian yang
menghubungkan secara langsung tingkat kekambuhan dermatitis seboroik dengan
kualitas hidup penderita dermatitis seboroik.
Penilaian kualitas hidup pasien dapat diukur menggunakan kuesioner
Skindex, Dermatology Quality of Life Scales (DQOLS) dan Dermatology Life

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 3


Quality Index (DLQI). Pada penelitian ini kualitas hidup pasien diukur
menggunakan kuesioner DLQI karena telah banyak dilakukan pada berbagai
penelitian pasien dengan kelainan dermatologi. Kuesioner ini dapat diisi langsung
secara mandiri oleh responden. Pada kuesioner DLQI terdiri atas 10 pertanyaan
yang meliputi gejala dan perasaan, aktivitas sehari-hari, kegiatan di waktu luang,
pekerjaan dan sekolah, hubungan personal dan terapi. Kuesioner tersebut telah
digunakan pada 202 penelitian penyakit kulit di 32 negara dan terdapat dalam 55
bahasa. Validasi DLQI berbahasa Indonesia dengan nama Indeks Kualitas Hidup
Dermatologi (IKHD) telah dilakukan di Universitas Indonesia dengan hasil uji
validitas dan reliabilitas yang dinilai baik, sehingga kuesioner ini merupakan
instrumen yang valid dan reliabel untuk menilai kualitas hidup pasien dengan
berbagai penyakit kulit di Indonesia.12
Berdasarkan uraian di atas dan terkait bahwa penelitian mengenai hal
tersebut belum pernah dilakukan pada pasien di RSUP Dr. M. Djamil Padang,
maka peneliti berminat untuk menggali hubungan frekuensi kekambuhan
dermatitis seboroik dengan kualitas hidup pada pasien dermatitis seboroik di
RSUP Dr. M. Djamil Padang.
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimana hubungan frekuensi kekambuhan dermatitis seboroik dengan
kualitas hidup pasien di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Dr. M. Djamil
Padang?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan frekuensi kekambuhan dermatitis seboroik dengan
kualitas hidup pada pasien di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Dr. M. Djamil
Padang.
1.3.2 Tujuan Khusus
1) Mengetahui gambaran kekambuhan dermatitis seboroik pada pasien di
Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Dr. M. Djamil Padang
2) Mengetahui kualitas hidup pada pasien dermatitis seboroik di Poliklinik
Kulit dan Kelamin RSUP Dr. M. Djamil Padang

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 4


3) Mengetahui hubungan frekuensi kekambuhan dermatitis seboroik
dengan kualitas hidup pada pasien di Poliklinik Kulit dan Kelamin
RSUP Dr. M. Djamil Padang
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Penelitian
Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi penelitian selanjutnya
mengenai kualitas hidup penyakit kulit dermatitis seboroik.
1.4.2 Bagi Pendidikan
a. Dapat digunakan sebagai salah satu sumber informasi mengenai
tingkat kekambuhan dermatitis seboroik terhadap kualitas hidup
pasien
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam upaya
peningkatan kualitas hidup pasien dermatitis seboroik
1.4.3 Bagi Tenaga Kesehatan
Hasil penelitian ini dapat dijadikan pedoman bahwa dalam memberikan
pelayanan kesehatan pada pasien dermatitis seboroik membutuhkan multidisiplin
ilmu.
1.4.4 Bagi Pasien
Penelitian ini dapat memberitahukan kepada pasien bahwa pentingnya
pengobatan dermatitis seboroik dan meminimalisir kekambuhan dermatitis
seboroik untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 5


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Pustaka


2.1.1 Dermatitis Seboroik
2.1.1.1 Definisi
Dermatitis seboroik adalah suatu kelainan kulit kronik berupa
papuloskuamosa yang mudah dikenali. Penyakit ini sering mengenai bayi dan
dewasa, seringkali dikaitkan dengan adanya peningkatan produksi sebum di scalp
dan pada area yang kaya akan kelenjar sebasea.2
Dermatitis seboroik ini merupakan dermatitis yang sering mengalami
kekambuhan. Dermatitis ini memiliki karakteristik berupa plak eritem yang
dangkal dan mengenai daerah dengan banyak kelenjar sebasea seperti skalp,
wajah, dada bagian tengah dan daerah anogenital. Predileksi dermatitis seboroik
yaitu pada daerah lipatan kulit meliputi fleksura yang besar dan area submammary
dan distribusi lesi selalu simetris.16
Dermatitis seboroik adalah salah satu manifestasi kulit yang sering terjadi
pada pasien dengan infeksi human immunodeficiency virus (HIV) dan acquired
immunodeficiency syndrome (AIDS).2 Dermatitis juga dikaitkan dengan
Malassezia, dimana terjadi gangguan imunologis mengikuti kelembaban
lingkungan, perubahan cuaca ataupun trauma. Penyebaran lesi dimulai dari derajat
ringan seperti ketombe sampai dengan derajat berat termasuk bentuk psoriasiform
atau pityriasiform dan eritroderma.2,3

2.1.1.2 Epidemiologi
Dermatitis seboroik terjadi pada 1-3% populasi dewasa. Studi kasus yang
dilakukan di Rumah Sakit Greek pada tahun 1995-2002 dilaporkan terdapat 4%
kasus secara keseluruhan. Dandruff terjadi pada lebih dari setengah populasi di
dunia setelah pubertas. Dermatitis seboroik lebih banyak terjadi pada laki-laki,
sama halnya dengan penelitian yang dilakukan di Belanda, dimana laki-laki dua
kali lebih sering mengalami dermatitis seboroik dibandingkan dengan
perempuan.16,19 Insidensi akan meningkat tajam pada umur diatas 20 tahun.16

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 6


Dermatitis seboroik memiliki 2 golongan umur sebagai periode puncak
yaitu 3 bulan pertama dalam kehidupan dan pada dekade ke 4 sampai dengan 7.
Dermatitis seboroik terjadi lebih dari 42% pada bayi.8 Prevalensi dermatitis
seboroik pada kelompok geriatri sebesar 31%.20 Penelitian pada populasi di
Amerika Serikat melaporkan bahwa insiden dermatitis seboroik mencapai 3%
sampai dengan 5%, dimana lesi dermatitis seboroik lebih sering muncul
dibandingkan dengan psoriasis.2
Insidensi dermatitis seboroik juga meningkat pada pasien-pasien dengan
penyakit lainnya. Manifestasi dermatitis seboroik muncul dari 17% sampai
dengan 83% pada pasien dengan HIV dan AIDS. Dermatitis seboroik juga
meningkat pada pasien dengan imunosupresi iatrogenik seperti penerima
transpalantasi ginjal mengalami hingga 9,5%. Pasien dengan gangguan neurologi
seperti Parkinson dan cidera saraf tulang belakang juga mengalami dermatitis
seboroik dengan inisidensi yang tinggi.16

2.1.1.3 Etiopatogenesis
Penyebab dermatitis seboroik ini belum diketahui secara pasti. Dermatitis
seboroik dikaitkan denngan tiga faktor yaitu, metabolisme mikroba (Malassezia),
peningkatan produksi sebum dan pengaruh kerentanan individu.10
a. Metabolisme mikroba
Malassezia merupakan flora normal di kulit yang bersifat lipofilik.
Jumlah Malassezia meningkat pada orang-orang dengan ketombe dan penderita
dermatitis seboroik.2 Malassezia globosa dan Malassezia restricta adalah jenis
Malassezia yang sering ditemukan pada penderita dermatitis seboroik.21
Malassezia awalnya ditemukan pada infundibulum kelenjar sebasea,
dimana lemak, sumber energi tersedia secara bebas. Hal ini mendukung
pertumbuhan Malassezia. Dermatitis seboroik dapat terjadi akibat sekresi lipase
dan fosfolipase oleh Malassezia. Enzim lipase yang disekresikan akan
menghidrolisis trigliserida menjadi asam lemak tersaturasi dan tidak tersaturasi
serta gliserol. Malassezia dapat menginduksi reaksi imun melalui pengeluaran
sitokin, meliputi Interleukin (IL)-1, IL-2, IL-4, IL-6, Interferon-γ dan tumor
necrosis factor-α, dimana sistem imun memiliki peran yang besar terhadap
mekanisme terjadinya dermatitis seboroik.22 Proses ini akan menginduksi
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 7
terjadinya inflamasi. Asam lemak tersaturasi berperan dalam proliferasi
Malassezia, sedangkan asam lemak tidak tersaturasi digunakan untuk mengiritasi
kulit. Iritasi pada kulit dilakukan dengan merusak barrier kulit sehingga terjadi
proses deskuamasi yang tampak sebagai pengelupasan kulit pada manifestasi
klinis dermatitis seboroik.6,16,23

Gambar 2.1: Peran Malassezia dalam Dermatitis Seboroik24

b. Peningkatan produksi sebum


Dermatitis seboroik dikaitkan dengan kulit berminyak, walaupun tidak
selalu terjadi peningkatan sebum. Tingginya insiden dermatitis seboroik pada bayi
berhubungan dengan ukuran serta aktivitas dari kelenjar sebasea pada umur
tersebut. Bayi memiliki ukuran kelenjar sebasea yang besar dan sekresi sebum
yang tinggi. Keadaan ini mirip dengan dewasa.2
Lipid pada permukaan kulit tidak mengalami kenaikan, tetapi lipid
mengalami peningkatan komposisi. Komponen lipid tersebut adalah kolesterol,
trigliserida dan paraffin serta penurunan squalene, asam lemak bebas dan wax

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 8


esters.2 Asam lemak bebas merupakan salah satu komponen yang berperan dalam
proses iritasi kulit pada dermatitis seboroik, yaitu berupa proliferasi.

Gambar 2.2: Komponen Sebum Manusia24


c. Kerentanan individu
Pada dermatitis seboroik dan ketombe, terdapat perbedaan kualitas
sebum lipid antara kulit sehat dan kulit berpenyakit, dimana ekspresi dan fungsi
Malassezia bergantung pada fungsi barrier kulit dan kerentanan individu yang
berperan dalam eksaserbasi terhadap kondisi ini.25 Mekanisme kerentanan
individu terhadap kejadian dermatitis seboroik belum diketahui secara pasti. 6
Kerentanan individu diduga berkaitan dengan pertahanan barrier dari
stratum korneum setiap individu.6 Masing-masing individu memiliki kemampuan
sawar kulit yang berbeda-beda dalam mencegah penetrasi asam lemak. Komponen
utama dari asam lemak sebum manusia yaitu asam oleat, dimana asam oleat ini
dapat menstimulasi terjadinya deskuamasi mirip dandruff.8
Penetrasi dari bahan-bahan sekresi kelenjar sebasea pada stratum
korneum dapat menginduksi terjadinya inflamasi dan terbentuknya skuama pada
kulit kepala. Bahan-bahan tersebut dapat menembus stratum korneum dikarenakan
berat molekul yang rendah (<1-2kDa) serta dapat larut di dalam lemak.8 Respon
imun setiap individu juga memiliki perbedaan dalam bereaksi terhadap protein
dan polisakarida oleh Malassezia.6

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 9


2.1.1.4 Faktor Risiko
Faktor risiko dari peyakit dermatitis seboroik antara lain :
a. Genetik
Faktor genetik merupakan salah satu risiko yang memicu terjadinya
dermatitis seboroik. Faktor genetik yang diturunkan diduga berhubungan dengan
pertahanan barrier pada stratum korneum masing-masing individu. Respon imun
tubuh masing-masing individu dalam menghadapi protein dan polisakarida dari
aktivitas Malassezia juga mempengaruhi terjadinya dermatitis seboroik.26
b. Usia
Insiden puncak dermatitis seboroik terjadi pada 3 bulan pertama kehidupan
dan diatas 40 tahun. Ini disebabkan karena pada periode tersebut kelanjar sebasea
berada pada fase paling aktif, sehingga lesi dermatitis seboroik muncul terutama
pada daerah-daerah yang kaya akan kelenjar sebasea.27
c. Jenis Kelamin
Dermatitis seboroik mengalami peningkatan insiden dua kali lebih sering
pada laki-laki dibandingkan perempuan. Hal ini terkait dengan hormon androgen,
dimana produksi hormon androgen terjadi lebih banyak pada laki-laki sehingga
produksi sebum lebih banyak pada laki-laki akibat peningkatan aktivitas kelenjar
sebasea.19,28
d. Penyakit lain
Dermatitis seboroik juga dikaitkan dengan pasien-pasien yang mengalami
penyakit penyerta lainnya. Insidensi meningkat pada pasien dengan gangguan
neurologi dan psikiatri, seperti parkinsonisme, dyskinesia, trauma otak, cidera
medula spinalis dan depresi.8 Prevalensi dermatitis seboroik juga meningkat pada
pasien dengan terapi epilepsi dan depresi. Hal ini diduga akibat adanya
peningkatan akumulasi sebum yang disebabkan oleh imobilisasi, anomali
neurotrasmiter dan pengobatan yang digunakan dalam penyakit dasar.28

2.1.1.5 Faktor Pencetus Kekambuhan


Faktor-faktor yang diduga sebagai pencetus kekambuhan dermatitis
seboroik diantaranya adalah variasi musim, konsumsi obat-obatan dan stress
emosional.10,29 Musim dingin diduga merupakan salah satu faktor pencetus
kekambuhan dermatitis seboroik walaupun mekanismenya masih belum jelas.27
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 10
Obat-obatan yang dapat memicu dermatitis seboroik diantaranya adalah arsenik,
gold, metildopa, simetidine dan neuroleptik.2

2.1.1.6 Gambaran Klinis


Dermatitis seboroik pada dewasa sering terjadi pada wajah dan atau
skalp, dimana lesi dapat berbentuk plak eritematous. Lesi dermatitis seboroik
dapat melibatkan satu atau lebih tempat predileksi. Lesi sering terjadi pada skalp,
garis rambut depan, alis mata, dahi, hidung, lipatan melolabial, telinga, bagian
tengah dada dan genitalia. Pruritus bukan gejala utama pada dermatitis seboroik,
tetapi hal ini sering dikeluhkan oleh penderita.31

Gambar 2.3: Lesi difus mencapai dahi, alis mata dan garis batas rambut16

Gambar 2.4: Dermatitis seboroik di daerah alis3

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 11


Lesi pada kepala dimulai dari bentuk pengelupasan ringan tanpa adanya
dasar kulit yang eritema sampai erupsi inflamasi. Lesi tampak adanya penebalan,
kuning, sisik berminyak dan krusta. Gejala yang serupa juga dapat ditemukan
pada jenggot. Inflamasi yang terjadi pada garis depan kelopak mata dan bulu mata
memiliki risiko debris jatuh hingga masuk ke dalam mata sehingga terjadi iritasi
pada konjungtiva dan mata merah.16
Lesi pada presternal sering terjadi pada laki-laki. Lesi ini merupakan tipe
petaloid dan terlokalisasi. Lesi dapat meluas hingga mencapai bagian punggung
atas, umbilikus, aksila, sela paha dan area submammary. Lesi yang terdapat pada
daerah lipatan yang luas tampak mengkilap dan berwarna merah muda.16

Gambar 2.5: Dermatitis seboroik area presternal16

Gambar 2.6: Dermatitis seboroik pada area punggung30

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 12


Lesi dengan tipe pityriasiform tampak sebagai erupsi eritematous
skuamosa menyeluruh. Lesi ini menyerupai pityriasis versicolor namun, pada
pityriasiform dapat mencapai bagian atas leher hingga melewati batas garis
rambut. Lesi anogenital dapat mengenai semua jenis kelamin.16
Variasi klinis pada dermatitis seboroik dapat ditemukan pada bayi. Lesi
dermatitis seboroik pada bayi dikenal dengan istilah cradle cap. Lesi muncul pada
usia 3 bulan dan mulai menghilang secara spontan pada umur 8 bulan. Bayi
mengalami pengelupasan pada kulit kepala yang biasanya tampak berwarna
kekuningan.6

Gambar 2.7: Dermatitis seboroik pada bayi30

Pada pasien imunokompromais seperti pasien dengan HIV positif,


terdapat variasi klinis pada lesi dermatitis seboroik yang dialaminya. Pada pasien
ini juga terdapat skuama kuning pada kulit kepala, namun memiliki karakteristik
yang lebih tebal dan lebih berminyak dibandingkan lesi khas dermatitis seboroik
lainnya. Pada beberapa pasien juga memiliki superinfeksi bakteri.32

2.1.1.7 Diagnosis
Dermatitis seboroik dapat diketahui dengan jelas melalui temuan klinis.16
Diagnosis dermatitis seboroik ditegakkan berdasarkan temuan morfologi eksema
dengan skuama kuning berminyak yang terdapat pada tempat-tempat predileksi.3
Dermoskopi dapat membantu dalam membedakan lesi dermatitis
seboroik dengan psoriasis. Dimana, pada dermatitis seboroik tampak pembuluh
yang atipikal dan tidak ditemukan bintik-bintik merah serta globula yang
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 13
merupakan ciri dari psoriasis.16 Dermoskopi atau trikoskopi dapat menampilkan
kulit kepala yang lebih tajam. Pemeriksaan ini merupakan prosedur non invasif
untuk diagnosis dan dapat digunakan dalam pemantauan pengobatan yang telah
terbukti berguna pada beberapa gangguan kulit kepala.33
Beberapa pemeriksaan lain juga dapat dilakukan pada penderita
dermatitis seboroik. Pada kasus-kasus yang sulit dapat dilakukakn pemeriksaan
histopatologi.3 Tes HIV juga dilakukan pada semua kasus.16

2.1.1.8 Tatalaksana
Pengobatan dermatitis seboroik untuk remaja identik juga dengan
pengobatan pada dewasa. Tujuan utama dilakukan pengobatan adalah untuk
menghilangkan lesi yang muncul serta mengurangi rasa gatal dan eritema.
Pengobatan yang diberikan dapat berupa shampo dan antijamur topical,
calcineurin inhibitors dan kortikosteroid. Dermatitis seboroik merupakan suatu
kondisi yang kronis, sehingga sangat dibutuhkan pemeliharaan terapi yang
berkelanjutan dalam jangka panjang.4
Anti jamur topikal atau kortikosteroid topikal merupakan terapi lini
pertama pada dermatitis seboroik dan tidak jarang digunakan secara kombinasi.
Antijamur topikal ini digunakan oleh karena kemampuannya dalam mengurangi
proliferasi Malassezia dan memiliki efek anti inflamasi. Anti jamur topikal juga
aman digunakan bagi semua jenis kulit dan bayi. Penggunaan dengan cara
kombinasi bersama kortikosteroid topikal memberikan respon lebih baik pada
penderita dermatitis seboroik dibandingkan dengan monoterapi.27
Kombinasi terapi shampo clobetasol propionate 0,05% dua kali dalam
satu minggu dan shampo ketokonazol 2% dua kali dalam satu minggu selama 4
minggu lebih efektif daripada ketokonazol monoterapi. Pengobatan dengan
golongan azol topikal lainnya juga efektif dan memiliki toleransi yang baik
seperti, bifonazol 1% ointment, ketokonazol 2% krim atau shampo dan flukonazol
2% shampo.27
Pirithione dapat memfasilitasi transportasi zinc melewati membrane. Zinc
piriothine ini akan menghambat pertumbuhan jamur. Ciclopirox olamine 1%
dalam bentuk shampo, krim ataupun gel merupakan agen antijamur spektrum luas

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 14


dan memiliki efek antiinflamasi sehingga efektif untuk pengobatan dermatitis
seboroik di daerah skalp dan wajah.27
Selenium sulfida juga digunakan dalam terapi dermatitis seboroik
dikarenakan oleh efeknya yang dapat menghambat aktivitas jamur dan efek
keratolitik. Selenium sulfida dapat digunakan dalam bentuk shampo, lotion, krim,
foam dan suspensi.27
Anti jamur oral juga digunakan dalam kasus-kasus dermatitis seboroik
yang sudah resisten terhadap terapi topikal. Ketokonazol oral 200mg setiap hari
selama 4 minggu efektif untuk mengobati dermatitis seboroik pada skalp dan
badan. Itrakonazol 200mg setiap hari selama 7 hari juga memiliki hasil yang lebih
efektif. Itrakonazol mengurangi risiko hepatotoksisitas dibandingkan dengan
ketokonazol.27
Penyakit kronik seperti dermatitis seboroik ini memerlukan terapi
pemeliharaan dan profilaksis. Ketokonazol 2% dalam bentuk shampo dapat
digunakan sebagai profilaksis dalam mencegah kekambuhan dari gejala dermatitis
seboroik tersebut dan sebagai terapi pemeliharaan. Penggunaan terapi ini
dilakukan satu kali dalam seminggu.27
Pada kasus-kasus yang tidak membaik dengan terapi konvensional, maka
dilakukan terapi lainnya. Terapi yang dapat digunakan adalah terapi sinar
ultraviolet-B (UVB) atau pemberian itrakonazole 100mg per hari oral selama 21
hari. Prednisolon 30mg juga dapat diberikan setiap hari apabila dermatitis
seboroik tidak membaik dengan semua modalitas terapi dan menginginkan respon
terapi yang cepat.3

2.1.2 Kualitas Hidup


2.1.2.1 Definisi
World Health Organization (WHO) mendefinisikan kualitas hidup
merupakan persepsi individu terhadap posisi individu tersebut dalam hidup,
kesesuaian dengan konteks nilai dan budaya tempat tinggal dan kaitannya dalam
tujuan hidup, ekspektasi, standar dan hal-hal lain yang menjadi perhatian.14
Kualitas hidup adalah suatu konsep multidimensi yang luas, mencakup evaluasi
secara subjektif dari kehidupan individu masing-masing menurut Centers for
Disease Control and Prevention (CDC) pada tahun 2011.15 Di Indonesia,
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 15
meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia merupakan salah satu nawacita
dari Presiden Republik Indonesia periode 2014-2019.

2.1.2.2 Indeks Kualitas Hidup dalam Dermatologi


Kualitas hidup merupakan tolak ukur yang penting terhadap penilaian
lesi kulit pada penyakit-penyakit yang tidak mengancam nyawa. Dermatitis
seboroik merupakan penyakit kronis pada kulit yang tidak mengancam nyawa
penderitanya. Manfaat dalam penilaian kualitas hidup ini adalah membandingkan
efek yang terjadi oleh karena menderita penyakit tersebut dengan kehidupan yang
dijalani oleh penderita. Efek yang dinilai merupakan suatu efek mayor dari
penyakit tersebut yang mengganggu kehidupan. Dokter dalam praktik klinisnya
dapat menarik kesimpulan tentang pengaruh penyakit yang diderita oleh pasien
terhadap kehidupan pasien tersebut sehingga mendorong dokter dalam pemberian
terapi secara holistik dan adekuat. 34
Penilaian kualitas hidup dalam dermatologi dapat dilakukan dengan
beberapa kuesioner yang valid. Kuesioner yang digunakan bias dalam bentuk
generik atau yang bersifat umum dan kuesioner spesifik terhadap penyakit kulit.
Instrument generik adalah kuesioner yang dapat digunakan pada semua penyakit
sehingga dapat digunakan untuk membandingkan beberapa penyakit yang diteliti
seperti Study Form(SF-36), Nottingham Health Profile (NHP) dan World Health
Organization Quality of Life (WHOOQOL).12
Kuesioner spesifik ini adalah kuesioner yang ditujukan dalam penilaian
kualitas hidup pada kelainan dermatologi. Kuesioner yang bisa digunakan antara
lain Skindex, Dermatology Quality of Life Scales (DQOLS) dan Dermatology Life
Quality Index (DLQI). Instrumen yang bersifat spesifik ini membahas mengenai
domain secara rinci, karakteristik, maupun keluhan yang relevan untuk suatu
penyakit tertentu. Kuesioner ini juga lebih sensitif dan responsif dalam menilai
perubahan kualitas hidup antara kelompok pasien dengan penyakit yang sama.12
Skindex merupakan salah satu jenis kuesioner yang digunakan dalam
menilai kualitas hidup pasien dengan kelainan dermatologi. Awalnya skindex
memiliki 61 pertanyaan, membutuhkan waktu pengisian selama 15 menit. Skindex
direvisi menjadi Skindex-29, meliputi 30 pertanyaan yang mencakup 3 aspek
yaitu, emosi, fungsi dan gejala. Skindex-16 dan Skindex-17 merupakan revisi
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 16
terbaru yang lebih singkat namun, kuesioner ini baru digunakan untuk 9
penelitian.35,36
Kuesioner lainnya yaitu DQOLS juga merupakan kuesioner spesifik yang
digunakan dalam penilaian kualitas hidup terhadap penderita penyakit kulit.
Kuesioner ini juga membutuhkan waktu yang cukup lama bagi responden dalam
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan. Pada kuesioner DQOLS ini
mencakup 3 aspek yaitu psikososial, aktivitas fisik dan gejala.35,37
Instrumen dalam mengukur kualitas hidup penderita kelainan
dermatologi lainnya adalah DLQI. Kuesioner ini merupakan instrumen yang
sering digunakan saat ini. Kuesioner ini dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan
Indeks Kualitas Hidup Dermatologi (IKHD). Pada DLQI ini mencakup 10
pertanyaan yang meliputi beberapa aspek antara lain, gejala dan perasaan,
aktivitas sehari-hari, kegiatan di waktu luang, pekerjaan dan sekolah, hubungan
personal dan terapi. Kuesioner ini dapat digunakan pada pasien berumur lebih dari
18 tahun. Kuesioner ini sederhana tetapi sensitif. Pengisian kuesioner dapat
dilakukan dengan cepat dan akurat karena pasien dapat mengisi dengan mudah
tanpa bantuan lebih lanjut dari peneliti. Waktu yang dibutuhkan untuk pengisian
kuesioner 1-3 menit. Kuesioner ini telah digunakan dalam 202 penelitian pada 33
penyakit di 32 negara dengan 55 bahasa. Uji validitas dan realibilitas di
Universitas Indonesia tahun 2013 menyatakan IKHD memiliki hasil yang baik
dan nilai Cronbach α 0,858.12

2.1.2.3 Dermatitis Seboroik dengan Kualitas Hidup


Dermatitis seboroik merupakan penyakit kulit kronis yang bersifat
rekuren. Lesi yang timbul pada dermatitis seboroik muncul sebagian besar pada
wajah.9 Penderita dermatitis seboroik mengeluhkan rasa gatal dan menyengat.3,11
Gambaran klinis yang tampak dari luar dapat memicu munculnya perasaan cemas,
depresi, marah, malu dan tidak percaya diri sehingga membuat pasien mengisolasi
diri dari masyarakat. Hal ini memberikan dampak psikososial secara signifikan.12
Skalp dermatitis merupakan salah satu gejala yang muncul pada
dermatitis seboroik. Skalp dermatitis dapat mengakibatkan kulit tampak
berminyak, nyeri, gatal, kemerahan dan gejala lainnya. Hal ini juga dapat
memberikan dampak yang besar terhadap kualitas hidup pasien.38 Pandangan
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 17
orang lain terhadap penyakit kulit yang diderita baik secara langsung maupun
tidak langsung akan memberikan dampak terhadap aktivitas sosial penderita.12
Gangguan fisik, psikis, kehidupan sosial dan aktivitas sehari-hari pasien akan
memberikan efek negatif terhadap kualitas hidup pasien meskipun dermatitis
seboroik bukanlah penyakit yang mengancam nyawa.18
Efek yang muncul tidak hanya sekali dirasakan oleh pasien penyakit
kronik seperti halnya dermatitis seboroik ini.12 Dermatitis seboroik dapat bertahan
selama bertahun-tahun melalui kekambuhan dan remisi yang terjadi pada penyakit
ini.13 Penderita diharuskan menanggung beban penyakit tersebut selama bertahun-
tahun bahkan seumur hidupnya. Lamanya penderitaan yang ditanggung oleh
pasien membuat penilaian pengaruh penyakit kulit tersebut terhadap kualitas
hidup menjadi suatu hal yang penting dalam tata laksana. Perbaikan terhadap
kualitas hidup juga menjadi tujuan terapi utama.12
Dermatitis seboroik juga dialami oleh pasien-pasien penyakit berat. Pada
pasien dengan penyakit berat yang menyertai dermatitis seboroik, seperti
Parkinson atau infeksi HIV, penyakit kulit bersamaan bukanlah masalah fisik
utama meskipun penyakit kulit termasuk dermatitis seboroik dapat mengurangi
kualitas hidup pasien secara signifikan.18

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 18


2.2 Kerangka Teori

Variasi musim, Genetik Penyakit Penyerta


Obat-obatan, Stres Usia
emosional Jenis Kelamin

Imobilisasi, anomali
neurotransmitter, pengobatan

Aktivitas kelenjar

sebasea Akumulasi sebum

Sebum

Metabolisme

Malassezia

Dermatitis Seboroik Kerentanan Individu

Kekambuhan
Dermatitis Seboroik

Gangguan fisik, psikis,


kehidupan sosial dan Kualitas Hidup
aktivitas sehari-hari

Gambar 2.8 : Kerangka Teori

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 19


BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konseptual Penelitian

Frekuensi Kualitas Hidup


kekambuhan Pasien Dermatitis
Dermatitis Seboroik Seboroik

Gambar 3.1 : Kerangka Konseptual

Keterangan :
= Variabel bebas

= Variabel tergantung

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara frekuensi


kekambuhan dermatitis seboroik dengan kualitas hidup pada pasien dermatitis
seboroik.
3.2 Hipotesis Penelitian
Terdapat hubungan antara frekuensi kekambuhan dermatitis seboroik
dengan kualitas hidup pada pasien di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Dr. M.
Djamil Padang.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 20


BAB 4
METODE PENELITIAN

4.1 Jenis dan rancangan penelitian


Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan menggunakan desain
cross sectional. Penelitian ini menggunakan data rekam medis sebagai data awal
untuk survei terhadap pasien dengan diagnosis dermatitis seboroik di Poliklinik
Kulit dan Kelamin RSUP Dr. M. Djamil Padang.

4.2 Lokasi dan waktu penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Dr. M.
Djamil Padang, Rekam Medik RSUP Dr. M. Djamil Padang dan Rumah Pasien.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari - Juni 2018.

4.3 Populasi, sampel, besar sampel dan teknik pengambilan sampel


4.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien dengan diagnosis
dermatitis seboroik di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP DR. M. Djamil Padang
pada tahun 2015-2017.
4.3.2 Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah semua populasi yang memenuhi
kriteria inklusi sebagai berikut :
1. Kriteria inklusi
- Pasien usia >18 tahun dengan diagnosis dermatitis seboroik di
Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Dr. M. Djamil Padang
- Pasien bersedia menjadi reponden dalam penelitian ini
2. Kriteria eksklusi
- Pasien yang tidak memberikan alamat rumah atau nomor telepon yang
bisa dihubungi pada data rekam medis di RSUP Dr. M. Djamil Padang.
- Pasien yang baru pertama kali merasakan gejala dermatitis seboroik
saat datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Dr. M. Djamil
Padang.
- Pasien dengan keadaan lain seperti HIV dan AIDS

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 21


- Pasien yang tidak berdomisili di Kota Padang
4.3.3 Besar sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh anggota populasi yang
memenuhi kriteria inklusi.
4.3.4 Teknik pengambilan sampel
Sampel pada penelitian ini diambil dengan metode total sampling, yaitu
semua sampel dimasukkan ke dalam penelitian.

4.4 Variabel penelitian dan definisi operasional


4.4.1 Variabel penelitian
Variabel dependen pada penelitian ini adalah kualitas hidup pasien
dengan diagnosis dermatitis seboroik. Variabel independen yang digunakan
adalah kekambuhan dermatitis seboroik.
4.4.2.1 Definisi operasional
1. Dermatitis seboroik
a. Pengertian : Dermatitis kronik yang terdapat pada daerah
yang memiliki kelenjar sebasea aktif seperti wajah, kulit kepala,
area presternal dan daerah lipatan badan ditandai dengan
munculnya pruritus, bercak eritema, sisik kering, basah,
berminyak serta bercak kuning berkrusta.39,40
b. Cara ukur : Observasi
c. Alat ukur : Data rekam medis pasien
d. Hasil ukur : Ya = pasien dengan diagnosis dermatitis
seboroik
Tidak = bukan pasien dengan diagnosis
dermatitis seboroik
e. Skala ukur : Nominal
2. Kekambuhan dermatitis seboroik
a. Pengertian : Bergantinya periode remisi dengan periode
kambuhnya penyakit yang ditandai dengan kemunculan kembali
gejala klinis dermatitis seboroik.40
b. Cara ukur : Wawancara dan observasi
c. Alat ukur : Data rekam medis pasien dan lembar
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 22
observasi
d. Hasil ukur : Jarang = ≤ 3 kali dalam setahun
Kadang-kadang = 4 - 5 kali dalam setahun
Sering = ≥ 6 kali dalam setahun
e. Skala ukur : Ordinal
3. Kualitas hidup
a. Pengertian : Respon emosi dari penderita terhadap
aktivitas sosial, emosional, pekerjaan dan hubungan antar
keluarga, rasa senang atau bahagia, kesesuaian harapan dengan
kenyataan yang terjadi, kepuasan dalam melakukan fungsi fisik,
sosial dan emosional serta kemampuan dalam bersosialisasi
dengan orang lain.41
b. Cara ukur : Mengisi kuesioner
c. Alat ukur : Dermatology Life Quality Index (DLQI)
d. Hasil ukur :
1. 0-1 = tidak berpengaruh terhadap kehidupan
pasien
2. 2-5 = sedikit berpengaruh terhadap
kehidupan pasien
3. 5-10 = berpengaruh sedang terhadap
kehidupan pasien
4. 11-20 = sangat berpengaruh terhadap
kehidupan pasien
5. 21-30 = amat sangat berpengaruh terhadap
kehidupan pasien
e. Skala ukur : Ordinal

4.5 Instrumen penelitian


Penelitian ini menggunakan data rekam medis pasien dermatitis seboroik
di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Dr. M. Djamil Padang sebagai survei awal.
Dalam penelitian ini responden diberikan kuesioner data identitas pribadi dan
surat persetujuan dari pasien untuk menjadi responden.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 23


Instrumen penelitian yang juga digunakan dalam penelitian ini adalah
kuesioner yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya yaitu Dermatology Life
Quality Index (DLQI). Kuesioner ini digunakan untuk mengetahui kualitas hidup
penderita, dimana pada kuesioner ini terdapat 10 butir pertanyaan.

4.6 Cara pengumpulan data


Pengumpulan data dilakukan dengan pengambilan data sekunder dan
data primer. Alur penelitian yang dilakukan dalam pengumpulan data pada
penelitian ini sebagai berikut :
1. Pengambilan data sekunder
Sebelum melakukan penelitian, peneliti membuat surat izin
untuk pengambilan data awal dari Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas. Surat izin tersebut akan diberikan kepada Direktur RSUP Dr.
M. Djamil Padang. Data sekunder diambil dari rekam medis pasien
RSUP Dr. M. Djamil Padang. Data yang diperlukan adalah data
semua pasien dermatitis seboroik yang memenuhi kriteria inklusi,
yaitu nama, usia, jenis kelamin, alamat dan nomor telepon.
2. Peneliti menghubungi pasien dan mengunjungi rumah pasien. Jika,
pasien tidak bisa dikunjungi ke rumah, maka peneliti dan pasien akan
mengatur jadwal pertemuannya.
3. Peneliti menjelaskan maksud dan tujuan penelitian.
4. Peneliti meminta persetujuan pasien untuk menjadi responden.
5. Peneliti memberikan kuesioner DLQI kepada responden dan meminta
responden untuk mengisi kuesioner tersebut
6. Peneliti mengolah dan menganalisis data yang diperoleh.

4.7 Cara pengolahan data dan analisis data


4.7.1 Pengolahan data
Langkah-langkah pengolahan data yang dilakukan adalah :
a. Editing (Pengecekan data)
Pemeriksaan data yang telah dikumpulkan dari responden,
kelengkapan jawaban, relevansi dengan pertanyaan agar kualitas
data yang terkumpul terjaga.
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 24
b. Coding (Pengkodean data)
Pemberian kode terhadap masing-masing jawaban pertanyaan
untuk memudahkan peneliti dalam pengolahan data selanjutnya.
c. Entry (Memasukkan data)
Memasukkan data ke dalam program Statistical Program for
Social Science (SPSS) untuk dianalisis.
d. Cleaning (Pembersihan data)
Pemeriksaan kembali data yang sudah diinput untuk memastikan
tidak adanya kesalahan data yang dimasukkan agar nilai yang ada
sesuai dengan pengumpulan data.
4.7.2 Analisis data
a. Analisis Univariat
Analisis ini bertujuan untuk melihat distribusi dan frekuensi
variabel independen yaitu kekambuhan dermatitis seboroik dan
variabel dependen yaitu kualitas hidup pasien dermatitis seboroik.
b. Analisis Bivariat
Analisis ini dilakukan untuk mencari hubungan antara dua
variabel, dalam penelitian ini peneliti mencari hubungan antara
variabel independen yaitu kekambuhan dermatitis seboroik dengan
variabel dependen yaitu kualitas hidup pasien dermatitis seboroik di
Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Dr. M. Djamil Padang. Uji
statistik yang digunakan adalah uji Chi Square dengan derajat
kepercayaan 95%. Bila p-value ≤ 0,05 maka hasil perhitungan secara
statistik menunjukkan adanya hubungan bermakna antara variabel
independen dengan variabel dependen.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 25


BAB 5
HASIL PENELITIAN

5.1 Karakteristik Responden


Penelitian telah dilaksanakan pada pasien dermatitis seboroik di Poliklinik
Kulit dan Kelamin RSUP Dr. M. Djamil Padang periode 2015 – 2017. Penelitian
dilakukan dengan melihat data sekunder di rekam medis dan mendatangi rumah
pasien satu per satu. Populasi pada penelitian ini berjumlah 66 orang. Penelitian
dilakukan dengan 31 orang sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

Tabel 5.1 Distribusi Dermatitis Seboroik Berdasarkan Usia di Poliklinik Kulit dan
Kelamin RSUP Dr. M. Djamil Padang

Usia f %
18-27 tahun 1 3,2
28-37 tahun 0 0,0
38-47 tahun 2 6,5
48-57 tahun 3 9,7
58-67 tahun 5 16,1
68-77 tahun 14 45,2
78-87 tahun 6 19,4
Total 31 100,0

Berdasarkan Tabel 5.1 didapatkan bahwa distribusi dermatitis seboroik di


Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Dr. M. Djamil Padang terbanyak pada usia
68-77 tahun yaitu sebanyak 14 orang (45,2%).

Tabel 5.2 Distribusi Dermatitis Seboroik Berdasarkan Jenis Kelamin di Poliklinik


Kulit dan Kelamin RSUP Dr. M. Djamil Padang

Jenis Kelamin f %
Laki-laki 18 58,1
Perempuan 13 41,9
Total 31 100,0

Pada tabel 5.2 dapat disimpulkan bahwa distribusi dermatitis seboroik di


Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Dr. M. Djamil Padang paling banyak pada
laki-laki yaitu sebanyak 18 orang (58,1%).

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 26


Tabel 5.3 Distribusi Dermatitis Seboroik Berdasarkan Lokasi Lesi di Poliklinik
Kulit dan Kelamin RSUP Dr. M. Djamil Padang

Lokasi Lesi f %
Kulit kepala 14 45,2
Wajah 5 16,1
Badan 5 16,1
Tangan 2 6,5
Kaki 5 16,1
Total 31 100,0

Berdasarkan tabel 5.3 memperlihatkan kulit kepala merupakan lokasi lesi


terbanyak dermatitis seboroik pada pasien di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP
Dr. M. Djamil Padang. Sejumlah 14 orang (45,2%) mengalami lesi dermatitis
seboroik di kulit kepala.

5.2 Gambaran Kekambuhan Dermatitis Seboroik


Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan, didapatkan informasi
mengenai gambaran kekambuhan dermatitis seboroik sebagai berikut :
Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Kekambuhan Dermatitis Seboroik di Poliklinik
Kulit dan Kelamin RSUP Dr. M. Djamil Padang

Frekuensi Kekambuhan f %
Jarang 11 35,5
Kadang-kadang 8 25,8
Sering 12 38,7
Total 31 100,0

Berdasarkan Tabel 5.4 didapatkan bahwa sampel dalam penelitian ini sering
mengalami kekambuhan dermatitis seboroik. Sejumlah 12 orang sampel (38,7%)
mengalami kekambuhan yang dikategorikan sering.

5.3 Kualitas Hidup pada Pasien Dermatitis Seboroik


Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan, didapatkan informasi
mengenai kualitas hidup pada pasien dermatitis seboroik sebagai berikut :

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 27


Tabel 5.5 Distribusi Kualitas Hidup Pasien Dermatitis Seboroik di Poliklinik
Kulit dan Kelamin RSUP Dr. M. Djamil Padang

Kualitas Hidup f %
Tidak berpengaruh 2 6,5
Sedikit berpengaruh 13 41,9
Berpengaruh sedang 8 25,8
Sangat berpengaruh 6 19,4
Amat sangat berpengaruh 2 6,5
Total 31 100,0

Penilaian kualitas hidup pasien dermatitis seboroik di Poliklinik Kulit dan


Kelamin RSUP Dr.M.Djamil Padang berdasarkan tabel 5.5 didapatkan hampir
semua pasien merasakan dermatitis seboroik mempengaruhi kualitas hidupnya.
Paling banyak pasien merasakan bahwa dermatitis seboroik sedikit mempengaruhi
kualitas hidupnya yaitu sejumlah 13 orang (41,9%).

5.4 Hubungan Frekuensi Kekambuhan Dermatitis Seboroik dengan


Kualitas Hidup Pasien
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, didapatkan data sebagai
berikut :
Tabel 5.6 Hubungan Frekuensi Kekambuhan Dermatitis Seboroik dengan
Kualitas Hidup Pasien di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Dr. M. Djamil
Padang

Kualitas Hidup
Frekuensi
p
Kekambuh Total
Tidak Sedikit Berpengaruh Sangat Amat Sangat value
an
Dermatitis Berpengaruh Berpengaruh Sedang Berpengaruh Berpengaruh
Seboroik
f % f % f % f % f % f %
Jarang
0 0,0 9 81,8 2 18,2 0 0,0 0 0,0 11 100,0
Kadang-
1 12,5 2 25,0 3 37,5 2 25,0 0 0,0 8 100,0 0,031
kadang
1 8,3 2 16,7 3 25,0 4 33,3 2 16,7 12 100,0
Sering
Total 2 6,5 13 41,9 8 25,8 6 19,4 2 6,5 31 100,0

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 28


Hubungan antara frekuensi kekambuhan dermatitis seboroik dengan
kualitas hidup pasien didapatkan melalui analisis menggunakan komputerisasi
SPSS dengan teknik analisis Kruskal-Wallis Test dengan taraf signifikasi
(α)<0.05.
Berdasarkan tabel 5.6 didapatkan bahwa pada frekuensi kekambuhan
dermatitis seboroik yang jarang paling banyak memberikan sedikit pengaruh
dalam kualitas kehidupan yaitu sebanyak 9 orang (81,8%). Kemudian,
kekambuhan dermatitis seboroik yang dikategorikan kadang-kadang, paling
banyak memberikan pengaruh sedang terhadap kehidupan yaitu sejumlah 3 orang
(37,5%). Frekuensi kekambuhan dermatitis seboroik yang sering, didapatkan
paling banyak sampel merasakan sangat berpengaruh terhadap kehidupannya
yaitu sebanyak 4 orang (33,3%).
Tabel di atas juga memperlihatkan bahwa sampel dalam penelitian ini
paling banyak mengalami dermatitis seboroik dengan frekuensi kekambuhan yang
sering dan dapat memberikan sedikit pengaruh dalam kehidupannya. Kesimpulan
yang dapat ditarik dari tabel di atas adalah adanya hubungan yang bermakna
antara frekuensi kekambuhan dengan kualitas hidup pasien di Poliklinik Kulit dan
Kelamin RSUP Dr. M. Djamil Padang. Hal ini dikarenakan nilai p-value yang
didapatkan setelah dilakukan uji analasis Kruskal-Wallis Test adalah ≤0,05 yaitu
0,031.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 29


BAB 6
PEMBAHASAN

6.1 Karakteristik Responden


Distribusi dermatitis seboroik berdasarkan usia pasien di Poliklinik Kulit
dan Kelamin RSUP Dr. M. Djamil Padang berdasarkan penelitian ini, didapatkan
rentang usia 68 – 77 tahun merupakan usia terbanyak yang mengalami dermatitis
seboroik yaitu sejumlah 14 orang (45,2%). Hasil penelitian ini didukung oleh
penelitian yang dilakukan di RSUD Abdul Moeloek Provinsi Lampung pada
tahun 2013, dimana angka kejadian dermatitis seboroik tertinggi berada pada
kelompok usia 63 – 72 tahun yaitu sebesar 31,3%.15 Penelitian tersebut sesuai
dengan teori yang menyatakan bahwa dermatitis seboroik mengalami insiden
puncak kedua pada dekade ke-4 sampai ke-7 kehidupan.9
Dermatitis seboroik mengalami peningkatan insidensi seiring dengan
pertambahan usia karena terjadi beberapa perubahan fisiopatologis. Salah satunya
akan terjadi penurunan jumlah lipid di stratum korneum dan penipisan epidermis
serta dermis. Hal ini dapat mengakibatkan kerentanan yang lebih tinggi terhadap
rangsangan eksternal pada kelompok usia lanjut.19 Daya tahan tubuh yang
semakin menurun dapat mengakibatkan orang dengan lanjut usia menjadi rentan
terhadap berbagai macam penyakit, seperti dermatitis seboroik.42
Distribusi dermatitis seboroik berdasarkan jenis kelamin di Poliklinik Kulit
dan Kelamin RSUP Dr. M. Djamil Padang paling banyak adalah laki-laki, yaitu
sejumlah 18 orang (58,1%). Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang
dilakukan The Rotterdam Study pada tahun 2015 yang menunjukkan bahwa
proporsi kejadian dermatitis seboroik pada laki-laki dibandingkan perempuan
adalah 1,4 : 1. Penelitian lain yang dilakukan di Poliklinik RSUP Prof. Dr. R. D.
Kandou periode Januari – Desember 2013 menunjukkan bahwa 67% kasus
dermatitis seboroik terjadi pada laki-laki.42
Jenis kelamin merupakan salah satu faktor risiko terjadinya dermatitis
seboroik. Laki-laki mengalami peningkatan insiden dua kali lebih besar
dibandingkan perempuan, dikaitkan dengan stimulasi hormon androgen. Produksi
hormon androgen lebih tinggi pada laki-laki, sehingga produksi sebum lebih

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 30


banyak pada laki-laki akibat dari peningkatan aktivitas kelenjar sebasea.19,28,42
Peningkatan sebum dapat menginduksi proliferasi Malassezia dan memicu
terjadinya dermatitis seboroik.19
Responden laki-laki dalam penelitian ini juga banyak yang berasal dari
kelompok usia lanjut. Kejadian dermatitis seboroik juga dapat dihubungkan
dengan terjadinya kehilangan rambut karena proses penuaan.43 Rambut berfungsi
sebagai pelindung dari paparan sinar matahari langsung terhadap kulit kepala.44
Sesuai dengan kepustakaan yang menyatakan bahwa peningkatan insidensi
dermatitis seboroik berhubungan dengan faktor iklim yang panas dan paparan
radiasi ultraviolet, maka peningkatan insidensi dapat disebabkan karena terjadinya
penipisan rambut dan laki-laki yang lebih sering berkegiatan di luar rumah
sehingga terpapar sinar matahari secara langsung dengan frekuensi lebih tinggi
dibandingkan perempuan.11
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, lokasi lesi dermatitis
seboroik paling banyak terjadi pada kulit kepala yaitu 45,2%. Hasil penelitian ini
didukung oleh penelitian di Turki yang menunjukkan bahwa 94,1% dermatitis
seboroik terjadi pada kulit kepala.28 Hal ini berhubungan dengan jumlah produksi
sebum yang menjadi salah satu faktor terjadinya dermatitis seboroik. Peningkatan
produksi sebum terjadi pada daerah-daerah dengan kelenjar sebasea yang banyak
diantaranya adalah kulit kepala, wajah dan leher.2 Sesuai dengan kepustakaan
yang menyatakan bahwa paparan sinar matahari juga dapat berperan sebagai
faktor pencetus terjadinya dermatitis seboroik, maka daerah-daerah terbuka seperti
kulit kepala, wajah dan leher lebih sering menjadi lokasi lesi dermatitis seboroik.11

6.2 Gambaran Kekambuhan Dermatitis Seboroik


Penelitian ini mendapatkan bahwa pasien paling banyak mengalami
dermatitis seboroik dengan frekuensi kekambuhan yang sering yaitu sebanyak
38,7% dari total 31 orang pasien. Penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Hidayani pada tahun 2016 bahwa dalam penelitian itu
didapatkan pasien paling banyak mengalami kekambuhan dermatitis seboroik
yang sering yaitu sebanyak 59,4%.6
Hal ini sesuai dengan kepustakaan yang mengatakan bahwa dermatitis
seboroik merupakan dermatitis yang sering kambuh, ditandai dengan bercak
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 31
eritematosa dengan lesi superfisial.16 Penelitian yang dilakukan oleh Dessionati C
et al pada tahun 2013 juga menyebutkan bahwa dermatitis seboroik merupakan
penyakit kulit yang bersifat kronik residif, penyakit ini dapat menetap selama
bertahun-tahun dan mudah kambuh.27
Kekambuhan dermatitis seboroik yang sering terjadi disebabkan oleh
banyaknya faktor pemicu kekambuhan tersebut. Stress emosional, depresi,
kelelahan, paparan berlebihan terhadap pendingin ruangan dan cuaca yang panas
dapat memicu kekambuhan dermatitis seboroik. Infeksi sistemik dan penggunaan
obat-obatan menjadi penyebab kekambuhan tersering pada pasien dengan usia
lanjut.45 Faktor predisposisi genetik juga berperan dalam timbulnya dermatitis
seboroik.46

6.3 Kualitas Hidup pada Pasien Dermatitis Seboroik


Berdasarkan penelitian ini, didapatkan hampir semua pasien dermatitis
seboroik merasakan bahwa dermatitis seboroik mempengaruhi kualitas hidupnya.
Terdapat 41,9% pasien merasakan bahwa dermatitis seboroik sedikit
mempengaruhi kehidupannya. Hal ini sesuai dengan kepustakaan yang
menyatakan bahwa sebagaimana penyakit dermatosis inflamasi lainnya, dermatitis
seboroik juga dilaporkan berhubungan dengan penurunan kualitas hidup.16
Dermatitis seboroik dapat mempengaruhi psikologi dan kualitas kehidupan
orang-orang yang menderita dermatitis seboroik dengan kekambuhan kronis.
Penyakit kulit kronis memiliki dampak fisik dan emosional pada kualitas hidup
seseorang, meliputi rasa tidak nyaman, stigmatisasi, kehilangan rasa percaya diri
dan keterbatasan dalam aktivitas sosial.11
Rasa gatal dan rasa tidak nyaman merupakan hal yang sangat mengganggu
bagi pasien dan seringkali ini merupakan alasan utama yang menyebabkan pasien
datang untuk berobat. Gambaran klinis yang tampak dari luar juga dapat
memberikan efek psikososial yang signifikan. Gangguan fisik, psikis, kehidupan
sosial dan aktivitas sehari-hari dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien.12
Dermatitis seboroik mengalami insiden puncak pada dekade keempat
sampai ketujuh kehidupan sehingga pasien dermatitis seboroik didominasi oleh
lanjut usia. Kualitas hidup semakin menurun dengan meningkatnya umur karena
risiko menderita penyakit dan timbulnya stress semakin besar. Menurunnya
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 32
kondisi kesehatan dapat mengakibatkan keterbatasan aktivitas sehingga
menimbulkan keluhan kualitas hidup yang menurun.47

6.4 Hubungan Frekuensi Kekambuhan Dermatitis Seboroik dengan


Kualitas Hidup Pasien
Penelitian ini mendapatkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna
antara frekuensi kekambuhan dermatitis seboroik dengan kualitas hidup pada
pasien di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Dr. M. Djamil Padang. Hal ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Araya di Thailand yang
menunjukkan bahwa rata-rata pasien mengalami kekambuhan sebanyak 8 kali
setiap tahunnya dan terdapat sebanyak 3,6% dari jumlah responden yang
merasakan pengaruh amat sangat besar terhadap kehidupannya.11
Dermatitis seboroik merupakan penyakit kulit yang bersifat kronik residif.
Penyakit tersebut dapat bertahan selama bertahun-tahun dan mudah mengalami
kekambuhan.27 Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Bozok School
of Medicine Department of Dermatology yang menyatakan bahwa dermatitis
seboroik adalah suatu penyakit yang umum terjadi dan merupakan penyakit
berulang dengan perkembangan kronis yang mempengaruhi area seboroik seperti
kulit daerah dada, wajah dan kulit kepala.48
Kekambuhan dermatitis seboroik dapat terjadi dengan mudah karena
banyak faktor yang dapat memicunya antara lain stress emosional, depresi,
kelelahan, paparan berlebihan terhadap pendingin ruangan ataupun kondisi yang
terlalu panas, infeksi sistemik dan penggunaan obat-obatan tertentu.45 Hal ini
didukung oleh penelitian yang dilakukan Peyri J et al, menunjukkan bahwa 76,4%
responden dalam penelitiannya mengalami kekambuhan dikarenakan stress atau
depresi, sebanyak 44,3% mengalami kekambuhan karena perubahan cuaca,
pengaruh paparan pendingin ruangan sebanyak 17,7% dan terpapar sinar matahari
sebanyak 13,7%. Faktor pencetus kekambuhan yang paling sering terjadi pada
usia >60 tahun adalah penyakit infeksi dan penggunaan obat-obatan (12,5% dan
7,1%).49
Kekambuhan dermatitis seboroik dapat mempengaruhi kualitas hidup
pasien. Kekambuhan tersebut ditandai adanya periode eksaserbasi dengan interval
yang bervariasi.45 Kekambuhan yang sering terjadi membuat pasien merasakan
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 33
gejala dermatitis seboroik dan dampak yang ditimbulkan secara berulang sehingga
dapat menurunkan kualitas hidup pasien tersebut.12
Penurunan kualitas hidup dapat terjadi karena pasien seringkali mengalami
gejala dermatitis seboroik di lokasi yang tampak dari luar sehingga dapat
memberikan efek negatif terhadap kehidupannya.1 Penelitian Fadila menunjukkan
wajah merupakan lokasi lesi dermatitis seboroik tersering yaitu sebanyak 32,5%.15
Hal tersebut juga mendukung penelitian yang dilakukan saat ini, wajah merupakan
lokasi lesi terbanyak setelah kulit kepala. Gambaran klinis yang tampak dari luar
dapat memicu munculnya perasaan cemas, depresi, marah, malu dan tidak percaya
diri sehingga membuat pasien mengisolasi diri dari masyarakat. Hal tersebut
memberikan dampak psikososial yang signifikan.12
Rasa gatal dan rasa tidak nyaman yang dirasakan merupakan hal yang
sangat mengganggu bagi pasien dan seringkali ini merupakan alasan utama yang
menyebabkan pasien datang untuk berobat.12 Dalam penelitian ini, kulit kepala
merupakan lokasi lesi tersering yaitu sebanyak 45,2%. Hasil penelitian ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan di Turki, penelitian tersebut menunjukkan
hampir semua pasien mengalami dermatitis seboroik pada kulit kepala yaitu
sebanyak 94,1%.28
Dermatitis seboroik pada kulit kepala mengakibatkan kulit kepala tampak
berminyak, nyeri, gatal, kemerahan dan gejala lainnya. Hal ini dapat
menimbulkan pandangan yang buruk dari orang lain terhadap penyakit kulit yang
diderita baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga memberikan
dampak negatif terhadap aktivitas sosial penderita. Pasien dermatitis seboroik
dalam menghadapi situasi tersebut juga dapat meningkatkan depresi pada dirinya
sehingga memperberat gejala dan semakin mempengaruhi kualitas hidup pasien
tersebut.12
Gangguan fisik, psikis, kehidupan sosial dan aktivitas sehari-hari pasien
akan memberikan efek negatif terhadap kualitas hidup pasien meskipun dermatitis
seboroik bukanlah penyakit yang mengancam nyawa.18 Gejala klinis dan efek
yang ditimbulkan tidak hanya sekali dirasakan oleh pasien penyakit kronis seperti
halnya dermatitis seboroik ini. Dermatitis seboroik yang kronis dan mudah
kambuh mengharuskan pasien menanggung beban penyakit tersebut selama

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 34


bertahun-tahun bahkan seumur hidupnya.12 Sehingga dalam penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa semakin sering frekuensi kekambuhan dermatitis seboroik,
maka semakin menurun kualitas hidup yang dirasakan oleh pasien dermatitis
seboroik.

6.5 Keterbatasan Penelitian


Keterbatasan dalam penelitian ini adalah terdapatnya kemungkinan bias
dalam pengisian kuesioner dikarenakan kelompok umur dominan sebagai sampel
penelitian adalah usia lanjut sehingga ada kemungkinan bahwa sampel mengalami
kesulitan dalam memahami pertanyaan pada kuesioner DLQI.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 35


BAB 7
PENUTUP

7.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang hubungan frekuensi kekambuhan
dermatitis seboroik dengan kualitas hidup pada pasien di Poliklinik Kulit dan
Kelamin RSUP Dr. M. Djamil Padang, maka dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut :
1. Frekuensi kekambuhan dermatitis seboroik tertinggi pada responden
adalah kategori sering. Dermatitis seboroik paling sering terjadi pada
kelompok usia 68 – 77 tahun dan lebih banyak terjadi pada laki-laki.
Kulit kepala merupakan lokasi lesi tersering pada dermatitis seboroik.
2. Hampir semua responden merasakan dermatitis seboroik memberikan
pengaruh terhadap kualitas hidupnya, dengan kategori tertinggi adalah
sedikit mempengaruhi kualitas hidup pasien.
3. Terdapat hubungan yang bermakna antara frekuensi kekambuhan
dermatitis seboroik dengan kualitas hidup pada pasien di Poliklinik
Kulit dan Kelamin RSUP Dr. M. Djamil Padang.

7.2 Saran
1. Diharapkan penelitian selanjutnya dapat menggunakan jumlah sampel
yang lebih banyak agar didapatkan data yang lebih akurat.
2. Diharapkan dapat dilakukan penelitian tentang hubungan frekuensi
kekambuhan dermatitis seboroik dengan kualitas hidup pasien pada
populasi kelompok usia dewasa (18 – 60 tahun) agar meminimalisir
bias dalam pengisian kuesioner DLQI.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 36


DAFTAR PUSTAKA

1. Szepietowski JC, Reich A, Szepietowska EW, Baran E. Quality of life in


patients suffering from seborrheic dermatitis: Influence of age, gender and
education level. Journal compilation Blackwell Publishing Ltd. 2008; 52:
357-63.
2. Plewig G, Jansen T. Seborrheic Dermatitis. In: Wolff K, Goldsmith LA,
Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine. Edisi ke-7. New York: McGraw Hill;
2008. p. 219-25.
3. Jacoeb TNA. Dermatitis Seboroik. In: SW-Menaldi SL, Bramono K,
Indriatmi W. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-7. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2016. p. 232-3.
4. Clark GW, Pope SM, Jaboori KA. Diagnosis and treatment of seborrheic
dermatitis. American Family Physician. 2015; 91(3): 185-90.
5. Astindari, Sawitri, Sandhika W. Perbedaan dermatitis seboroik dan
psoriasis vulgaris berdasarkan manifestasi klinis dan histopatologi.
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin. 2014; 26(1): 72-78.
6. Hidayani RD. Hubungan tingkat stres psikososial dengan kekambuhan
dermatitis seboroik pada pasien di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP
DR. M. Djamil Padang (Skripsi). Padang: Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas; 2016.
7. Rekam Medik RSUP Dr. M. Djamil Padang. Januari 2014-September
2017.
8. Borda LJ, Wikramanayake TC. Seborrheic dermatitis and dandruff: a
comprehensive review. J Clin Investig Dermatol. 2015; 3(2): 1-22.
9. Terroe RO, Kapantow MG, Kandou RT. Profil dermatitis seboroik di
Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Prof. DR. R. D. Kandou Manado
Periode Januari-Desember 2012. Jurnal e-Clinic (eCl). 2015; 3(1): 237-42.
10. Gayatri L, Barakbah J. Dermatitis seboroik pada HIV/AIDS. Berkala Ilmu
Kesehatan Kulit & Kelamin. 2011; 23(3): 229-33.
11. Araya M, Kulthanan K, Jiamton S. Clinical characteristics and quality of
life of seborrheic dermatitis patients in a tropical country. Indian Journal
of Dermatology. 2015; 60(5): 519.
12. Rahmatina. Uji Validitas dan Realiabilitas Dermatology Life Quality
Index (DLQI) Berbahasa Indonesia pada Pasien Poliklinik Ilmu Kesehatan
Kulit dan Kelamin Rumah Sakit DR. Cipto Mangunkusumo (Tesis).
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2013.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 37


13. Imamoglu B, Hayta SB, Guner R, Akyol M, Ozcelik S. Metabolic
syndrome may be an important comorbidity in patients with seborrheic
dermatitis. Arch Med Sci Atheroscler. 2016; 1: e158-e161.
14. Wangsarahardja K, Dharmawan OV, Kasim E. Hubungan antara status
kesehatan mulut dan kualitas hidup pada lanjut usia. Universa Medicina.
2007; 26: 186-94.
15. MN Fadila, HT Sibero, A Wahyuni, MS Hamzah. Correlation between
dermatitis seborrhea with quality of life in patients at Abdul Moeloek
Hospital Lampung. Medical Journal of Lampung University. 2014; 3(6):
118-25.
16. Wakelin S. Seborrheic dermatitis. In:Griffths C, Barker J, Chalmers R,
Creamer D, editors. Rook’s Textbook of Dermatology. Edisi ke-9. New
York: John Wiley & Sons; 2016. p. 40.1-40.6.
17. Moodley N, Hoosen K, Dlova NC. Quality of life in patients with
seborrheic dermatitis in KwaZulu-Natal, South Africa. S Afr Med J. 2016;
106(5): 428.
18. Szepietowski J, Reich A. Quality of life in patients with seborrheic
dermatitis. Expert Rev. Dermatol. 2008; 3(1): 43-7.
19. Sanders MGH, Pardo LM, Franco OH, Ginger RS, Nijsten T. Prevalence
and determinants of seborrheic dermatitis in a middle aged and elderly
population: the rotterdam study. Br J Dermatol. 2017.
20. Valdes-Roriguez R, Stull C, Yosipovitch G. Chronic pruritus in the
elderly: Pathophysiology, diagnosis and management. Drugs Aging. 2015;
32(3): 201-15.
21. Honnavar P, Prasad GS, Ghosh A, Dogra S, Handa S, Rudramurthy SM.
Malassezia arunalokei sp. nov., a novel yeast species isolated from
seborrheic dermatitis patients and healthy individuals from India. J Clin
Microbiol. 2016; 54: 1826-34.
22. Harada K, Saito M, Sugita T, Tsuboi R. Malassezia species and their
associated skin diseases. Journal of Dermatology. 2015; 42: 250-7.
23. Sampaio A, Vargas T, Nunes A, Mameri A, Silva M, Carneiro. Seborrheic
dermatitis. Continued Medical Education. 2011; 86(6): 1061-74.
24. Dawson TL. Malassezia globosa and restricta: Breakthrough
understanding of the etiology and treatment of dandruff and seborrheic
dermatitis through whole-genome analysis. Journal of Investigative
Dermatology Symposium Proceedings. 2007; 12: 15-19.
25. Velegraki A, Cafarchia C, Gaitanis G, Iatta R, Boekhout T. Malassezia
infections in humans and animals: Pathophysiology, detection, and
treatment. PloS Pathog. 2015; 11(1): e1004523.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 38


26. Schwartz RA, Janusz CA, Janniger CK. Seborrheic dermatitis: an
overview. American Family Physician. 2006; 74(1): 125-30.
27. Dessinioti C, Katsambas A. Seborrheic dermatitis: Etiology, risk factors,
and treatments: Facts and controversies. Clinics in Dermatology. 2013; 31:
343-51.
28. BAS Y, Seckin HY, Kalkan G, Takci Z, Citil R, Onder Y, et al.
Prevalence and related factors of psoriasis and seborrheic dermatitis: a
community based study. Turk J Med Sci. 2016; 46: 303-9.
29. Cheong WK, Yeung CK, Torsekar RG, Suh DH, Ungpakorn R, Widaty S,
et al. Treatment of seborrheic dermatitis in Asia: a consensus guide. Skin
Appendage Disord. 2015; 1: 187-96.
30. Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Dr. M. Djamil Padang. Dermatitis
Seboroik. Januari 2014 - Desember 2016.
31. Rosso JQD. Adult seborrheic dermatitis: a status report on practical topical
management. Clinical_Aesthetic Dermatology. 2011; 4(6): 32-8.
32. Forrestel AK, Kovarik CL, Mosam A, Gupta D, Maurer TA, Micheletti
RG. Diffuse HIV-associated seborrheic dermatitis-a case series. Int J STD
AIDS. 2016; 0(0): 1-4.
33. Dall’Oglio F, Lacarrubba F, Verzi AE, Micali G. Noncorticosteroid
combination shampoo versus 1% ketoconazole shampoo for the
management of mild-to-moderate seborrheic dermatitis of the scalp:
results from a randomized, investigator-single-blind trial using clinical and
trichoscopic evaluation. Skin Appendage Disord. 2015; 1: 126-30.
34. Gibran MA. Hubungan derajat keparahan psoriasis vulgaris dengan
kualitas hidup penderita di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP DR. M.
Djamil Padang Tahun 2014 (Skripsi). Padang: Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas; 2016.
35. Both H, Essink-Bot M, Busschbach J, Nijsten T. Critical review of generic
and dermatology-specific health-related quality of life instruments. J
Invest Dermatol. 2007;127: 2726-40.
36. Tiedra Ad, Mercadal J, Badia X, Mascaro J, Lozano R. A method to select
an instrument for measurement of HR-QOL for cross-cultural adaptation
applied to dermatology. Pharmacoeconomics. 1998; 14(4): 405-22.
37. Morgan M, McCreedy R, Simpson J, Hay R. Dermatology quality of life
scales-a measure of the impact of skin diseases. Methods Developing the
dermatology quality of life scales. Br J Dermatol. 1997; 136: 202-6.
38. Sampogna F, Linder D, Piaserico S, Altomare G, Bortune M, Calzavara-
pinton P, et al. Quality of life assessment of patients with scalp dermatitis

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 39


using the italian version of the scalpdex. Acta Derm Venerol. 2014; 94:
411-4.
39. Wolff K, Johnson RA. Fitzpatrick’s color atlas & synopsis of clinical
dermatology. Edisi ke-6. New York: McGraw Hill; 2009. p. 48-52.
40. Arfan A, Mahode AA, Intansari DM, Dorothy, Velyani DP et al. Kamus
kedokteran dorland. Edisi ke- 31. Jakarta: EGC; 2012.
41. Silitonga R. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup
penderita penyakit parkinson di Poliklinik Saraf RS DR Kariadi (Tesis).
Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro; 2007.
42. Malak S, Kandou RT, Pandaleke TA. Profil dermatitis seboroik di
Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado
periode Januari-Desember 2015. Jurnal e-Clinic (eCl). 2016; 4(1): 201-6.
43. Hordinsky M, Sawaya M, Roberts JL. Hair loss and hirsutism in the
elderly. Geriatric Dermatology, Part II. 2002; 18(1): 121-32.
44. Ebling FJ. Hair. The Journal of Investigative Dermatology. 1976; 67(1):
98-105.
45. Goldenberg G. Optimizing treatment approaches in seborrheic dermatitis.
The Journal of Clinical_Aesthetic Dermatology. 2013; 6(2): 44-9.
46. Faergemann J. Management of seborrheic dermatitis and pityriasis
versicolor. Am J Clin Dermatol. 2000; 1(2): 75-80.
47. Pradono J, Hapsari D, Sari P. Kualitas hidup penduduk Indonesia menurut
International Classification of Functioning, Disability and Health (ICF)
dan faktor-faktor yang mempengaruhinya (Analisis lanjut data
RISKESDAS 2007). 2009. Bul. Penelit. Kesehat., Supplement: 1-10.
48. Gul AI, Karaaslan O, Colgecen E. Personality traits and common
psychiatric conditions in patients with seborrheic dermatitis. Arch Clin
Psychiatry. 2017; 44(1): 6-9.
49. Peyri J, Lleonart M. The Spanish Group of the SEBDERM Study. Clinical
and therapeutic profile and quality of life of patients with seborrheic
dermatitis. Actas Dermosifiliogr. 2007; 98: 476–82.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 40

Anda mungkin juga menyukai