Anda di halaman 1dari 63

Case Report Session

PERDARAHAN POST PARTUM

Oleh:

Tania Ratna Putri 1840312424


Ririn Lausarina 1840312420

Preseptor:
dr. Syamel Muhammad, Sp.OG (K)

BAGIAN OBSTETRI & GINEKOLOGI RSUP DR. M. DJAMIL PADANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyebab klasik kematian ibu adalah infeksi, preeklampsia dan
perdarahan. Perdarahan post partum adalah perdarahan masif yang berasal dari
tempat implantasi plasenta, robekan pada jalan lahir dan jaringan sekitarnya dan
merupakan salah satu penyebab kematian ibu disamping perdarahan karena hamil
ektopik dan abortus. Perdarahan post partum bila tidak mendapat penanganan
yang semestinya akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas ibu.1
Perdarahan post partum merupakan penyebab kematian maternal
terbanyak. Insiden perdarahan postpartum pada negara maju sekitar 5% dari
persalinan, sedangkan pada negara berkembang bisa mencapai 28% dari
persalinan dan menjadi masalah utama dalam kematian ibu. Penyebabnya 90%
adalah atonia uteri, 7% robekan jalan lahir, sisanya dikarenakan retensio plasenta
dan gangguan pembekuan darah.2
Angka kematian maternal merupakan indikator yang mencerminkan status
kesehatan ibu, terutama risiko kematian bagi ibu pada waktu hamil dan persalinan.
Setiap tahun diperkirakan 529.000 wanita didunia meninggal sebagai akibat
komplikasi yang timbul dari kehamilan dan persalinan. Sehingga diperkirakan
angka kematian maternal di seluruh dunia sebesar 400 per 100.000 kelahiran
hidup. 3
Definisi perdarahan post partum saat ini belum dapat ditentukan secara
pasti. Perdarahan post partum didefinisikan sebagai perdarahan lebih dari 500
mL setelah persalinan pervaginam atau lebih dari 1.000 mL setelah persalinan
abdominal. Perdarahan dalam jumlah ini dalam waktu kurang dari 24 jam
disebut sebagai perdarahan post partum primer, dan apabila perdarahan ini terjadi
lebih dari 24 jam disebut sebagai perdarahan post partum sekunder.4,5,6
Penanganan perdarahan post partum harus dilakukan dalam 2 komponen,
yaitu resusitasi dan penanganan perdarahan obstetri serta kemungkinan syok
hipovolemik dan identifikasi dan penanganan penyebab terjadinya perdarahan
post partum.6,7
1.2 Batasan Masalah

Batasan penulisan ini membahas mengenai pengertian, epidemiologi,


klasifikasi, patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, serta tatalaksana perdarahan
post-partum.

1.3 Tujuan Penulisan

Menambah pengetahuan mengenai pengertian, epidemiologi, klasifikasi,


patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, serta tatalaksana perdarahan post-
partum.

1.4 Metode Penulisan

Penulisan presentasi kasus ini menggunakan metode tinjauan kepustakaan


yang merujuk pada berbagai literatur dan laporan kasus dari RSUP DR M Djamil
Padang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Perdarahan post partum atau perdarahan pasca persalinan atau post
partum haemorrhage (PPH) adalah perdarahan atau hilangnya darah 500 cc atau
lebih yang terjadi setelah anak lahir. Perdarahan dapat terjadi sebelum, selama,
atau sesudah lahirnya plasenta. Definisi lain menyebutkan perdarahan pasca
persalinan adalah perdarahan 500 cc atau lebih yang terjadi setelah plasenta
lahir. Menurut waktu terjadinya dibagi atas dua bagian:4,8
a. Perdarahan post partum primer (early postpartum hemorrhage) yang terjadi
dalam 24 jam setelah anak lahir.
b. Perdarahan post partum sekunder (late postpartum hemorrhage) yang
terjadi antara 24 jam sampai 6 minggu post partum (masa nifas).

2.2. Epidemiologi Perdarahan Postpartum


Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun
2012, angka kematian ibu di Indonesia masih tinggi sebesar 359 per 100.000
kelahiran hidup Angka ini sedikit menurun dibandingkan dengan SDKI tahun
1991, yaitu sebesar 390 per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini sedikit menurun
meskipun tidak terlalu signifikan. Target global MDGs (Millenium Development
Goals) ke-5 adalah menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) menjadi 102 per
100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015. Penyebab terbesar kematian Ibu selama
tahun 2010-2013 masih tetap sama yaitu perdarahan.9

Gambar 1. Penyebab Kematian Ibu Tahun 2010-20139


2.3. Etiologi
Banyak faktor potensial yang dapat menyebabkan perdarahan
postpartum, faktor-faktor yang menyebabkan perdarahan postpartum adalah 4T
(Tonus, Tissue, Trauma, dan Trombin) dimana tonus paling banyak disebabkan
oleh atonia uteri, sedangkan tissue disebabkan oleh retensio plasenta, serta sisa
plasenta; trauma disebabkan salah satunya oleh perlukaan jalan lahir, serta
trombin biasanya akibat kelainan pembekuan darah.4,7

Tabel 1. Etiologi Perdarahan Post Partum10

2.4. Faktor Resiko


Riwayat perdarahan postpartum pada persalinan sebelumnya merupakan
faktor resiko paling besar untuk terjadinya perdarahan postpartum sehingga
segala upaya harus dilakukan untuk menentukan keparahan dan penyebabnya.
Beberapa faktor lain yang perlu kita ketahui karena dapat
menyebabkan terjadinya hemorraghe postpartum:10,11,12,13
1. Faktor Resiko Antenatal
a. Umur
Meningkatnya usia ibu merupakan faktor independen terjadinya PPH.
Jumlah perdarahan pada usia tua lebih besar pada persalinan sesar
dibanding persalinan pervaginam.
b. BMI
Perempuan obesitas akan memiliki komplikasi intrapartum dan post
partum lebih besar. BMI lebih dari 30 dikaitkan dengan perdarahan
yang lebih banyak.
c. Paritas
Paritas sering dikaitkan dengan resiko perdarahan postpartum. Namun
hingga sekarang, berbagai laporan studi tidak bisa membuktikan bahwa
multiparitas berhubungan dengan PPH. Studi yang melaporkan
hubungan tersebut juga gagal untuk mengendalikan faktor pengganggu
lain seperti usia ibu.
d. Penyakit Medis
Beberapa penyakit yang diderita ibu selama kehamilan berhubungan
erat dengan PPH. Diantaranya adalah DM tipe II, penyakit jaringan
konektif, penyakit darah seperti Von Willebrand dan Hemofilia.
e. Kehamilan Post-term
Penelitian menunjukkan hubungan antara kehamilan post-term dengan
terjadinya PPH.
f. Janin Besar
Ibu yang mengandung janin lebih dari 4kg memiliki kemungkinan besar
untuk mengalami PPH. Hal ini diperkuat oleh beberapa penelitian di
mancanegara.
g. Kehamilan Kembar
Secara konsisten penelitian menunjukkan bahwa ibu yang hamil
kembar memiliki 3-4x kemungkinan untuk mengalami PPH.
h. Fibroid
Fibroid membuat ibu mempunyai resiko mengalami PPH. Namun
demikian resiko terjadinya PPH lebih tinggi pada persalinan sesar
dibandingkan persalinan pervaginam.
2. Faktor Resiko Intrapartum
a. Induksi Persalinan
Metaanalisis menunjukkan bahwa induksi persalinan berkaitan dengan
perdarahan post-partum. Resiko terjadinya perdarahan adalah 1,5
hingga 1,7 kali dibandingkan tanpa induksi. Induksi yang telah diteliti
meningkatkan perdarahan post-partum adalah induksi yang
menggunakan medikamentosa. Sejauh ini data yang akurat tentang
resiko berbagai jenis metode induksi belum lengkap sehingga tidak
dapat disimpulkan secara definitif.
b. Durasi Persalinan
Lama kala I lebih dari 20 jam pada nulipara atau 14 jam pada multipara
memiliki 1-1,6 kali resiko perdarahan disbanding lama persalinan yang
lebih singkat. Kala II memiliki resiko 2,5 kali lebih besar bila
berlangsung lebih dari 3 jam. Dengan demikian persalinan dengan kala
II lama perlu diantisipasi lebih awal akan terjadinya PPH. Pada
umur kehamilan berapapun, perdarahan semakin meningkat bila durasi
kala III meningkat dengan puncaknya 40 menit. Resiko relatifnya
berkisar antara 2,1 hingga 6,2 dan semakin tinggi bila kala III
berlangsung semakin lama. Titik potong PPH terjadi pada lama kala
tiga lebih dari 18 menit.
c. Analgesia
Studi retrospektif menunjukkan bahwa penggunaan anestesi epidural
berkaitan dengan perdarahan intrapartum, sedangkan perdarahan post
partum meningkat resikonya menjadi 1,6 kali. Namun demikian bila
diperlukan operasi sesar maka analgesia regional menimbulkan
perdarahan lebih kecil dibandingkan anesthesia umum.
d. Metode Persalinan
Penelitian menunjukkan ada perbedaan resiko perdarahan pada
persalinan pervaginam operatif dan juga persalinan sesar. Kesimpulan
tentang ini belum definitif mengingat berbagai faktor perlu
diperhitungkan untuk menilai hubungan ini.
e. Episiotomi
Episiotomi jelas menimbulkan perdarahan lebih banyak dibanding
ruptur spontan. Namun selain itu ternyata episiotomi juga meningkatkan
resiko PPH 2-4,6 kali. Pada uji klinik terkendali terakhir ditunjukkan
juga bahwa episiotomi yang dilakukan pada saat kepala sudah
crowning tidak memberikan perbedaan signifikan terhadap terjadinya
PPH.
f. Korioamnionitis
Meningkatkan resiko PPH 1,3 kali bila persalinan pervaginam dan
hingga 2,7 kali bila persalinan sesar.

2.5. Diagnosis
Beberapa gejala yang bisa menunjukkan perdarahan postpartum:5
1. Perdarahan yang tidak dapat dikontrol
2. Penurunan tekanan darah
3. Peningkatan detak jantung
4. Penurunan hitung sel darah merah ( hematokrit)
5. Pembengkakan dan nyeri pada jaringan daerah vagina dan perineum.
Perdarahan hanyalah gejala, penyebabnya haruslah diketahui dan
ditatalaksana sesuai penyebabnya. Perdarahan postpartum dapat berupa
perdarahan yang hebat dan menakutkan sehingga dalam waktu singkat ibu dapat
jatuh kedalam keadaan syok. Atau dapat berupa perdarahan yang merembes
perlahan-lahan tapi terjadi terus menerus sehingga akhirnya menjadi banyak dan
menyebabkan ibu lemas ataupun jatuh kedalam syok.11
Pada perdarahan melebihi 20% volume total, timbul gejala penurunan
tekanan darah, nadi dan napas cepat, pucat, extremitas dingin, sampai terjadi
syok.5,11

Volum Kehilangan Tekanan Darah


Gejala dan Tanda Derajat Syok
Darah Sistolik
500-1.000 mL Palpitasi, Takikardi,
Normal Terkompensasi
(10-15%) Pusing
1000-1500 mL Penurunan ringan (80- Lemah,Takikardi,
Ringan
(15-25%) 100 mm Hg) Berkeringat
1500-2000 mL Penurunan scdang (70- Gelisah, Pucat,
Sedang
(25-35%) 80 mm Hg) Oligouria
2000-3000 mL Penurunan tajam Pingsan, Hipoksia,
Berat
(35-50%) (50-70 mm Hg) Anuria

Tabel 2. Penilaian Klinik untuk Menentukan Derajat Syok11

Pada perdarahan sebelum plasenta lahir biasanya disebabkan retensio


plasenta atau laserasi jalan lahir, bila karena retensio plasenta maka
perdarahan akan berhenti setelah plasenta lahir. Pada perdarahan yang terjadi
setelah plasenta lahir perlu dibedakan sebabnya antara atonia uteri, sisa plasenta,
atau trauma jalan lahir. Pada pemeriksaan obstetrik kontraksi uterus akan
lembek dan membesar jika ada atonia uteri. Bila kontraksi uterus baik
dilakukan eksplorasi untuk mengetahui adanya sisa plasenta atau laserasi jalan
lahir. Berikut langkah-langkah sistematik untuk mendiagnosa perdarahan
postpartum:11,14
1. Palpasi uterus: bagaimana kontraksi uterus dan tinggi fundus uteri
2. Memeriksa plasenta dan ketuban : apakah lengkap atau tidak
3. Lakukan ekplorasi kavum uteri untuk mencari:
a. Sisa plasenta dan ketuban
b. Robekan Rahim
c. Plasenta seksenturiata adalah plasenta yang mempunyai satu kotiledon
tambahan yang timbul jauh dari struktur plasenta utama.
4. Inspekulo: untuk melihat robekan pada serviks, vagina, dan varises pecah.
5. Pemeriksaan laboratorium: peningkatan degradasi, kadar produk
fibrin/produk split fibrin (FDP/FSP), penurunan kadar fibrinogen
(PT/APTT)
6. Ultrasonografi : menentukan adanya jaringan plasenta yang tertahan.
Gejala dan Tanda Penyulit Diagnosis Kerja
Uterus tidak berkontraksi dan lembek Syok, Atonia Uteri
Perdarahan segera setelah anak lahir Bekuan darah pada serviks atau
posisi telentang akan menghambat
aliran darah keluar
Darah segar mengalir segera setelah bayi Pucat, Lemah, Menggigil Robekan Jalan
lahir Lahir
Uterus berkontraksi dan keras Plasenta lengkap
Plasenta belum lahir setelah 30 menit Tali pusat putus akibat traksi Retensio Plasenta
Perdarahan segera berlebihan
Uterus berkontraksi dan keras Inversio uteri akibat tarikan
Perdarahan lanjutan
Plasenta atau sebagian selaput tidak lengkap Uterus berkontraksi tetapi tinggi Retensi Sisa
Perdarahan Segera fundus tidak berkurang Plasenta
Uterus tidak teraba Neurogenik syok Inversio Uteri
Lumen vagina terisi massa Pucat dan limbung
Tampak tali pusat (plasenta belum lahir)
Sub involusi uterus Anemia Demam Endometritis atau
Nyeri tekan perut bawah dan pada uterus sisa fragmen
Perdarahan sekunder plasenta

Tabel 3. Gejala klinis perdarahan8


2.6. Atonia Uteri
2.6.1. Definisi
Atonia uteri adalah uterus yang tidak berkontraksi setelah janin dan
plasenta lahir, dalam 15 detik setelah dilakukan pemijatan atau rangsangan taktil
fundus uteri. Perangsangan taktil fundus uteri dilakukan dengan cara
menggerakkan tangan memutar pada fundus uteri sehingga diharapkan uterus
berkontraksi dan terjadi kompresi pada pembuluh darah di tempat bekas
perlekatan plasenta (yang sebelumnya menyuplai darah ke dalam plasenta)
sehingga perdarahan berhenti. Selain itu, kontraksi uterus tersebut dapat
merangsang pengeluaran sisa plasenta secara alami.15
2.6.2. Etiologi11,15
Seorang ibu dapat meninggal karena perdarahan pasca persalinan dalam
waktu kurang dari 1 jam. Atonia uteri menjadi penyebab lebih dari 90%
perdarahan pasca persalinan yang terjadi dalam 24 jam setelah kelahiran bayi.
Beberapa faktor predisposisi yang terkait dengan perdarahan pasca
persalinan yang disebabkan oleh atonia uteri adalah:
a) Overdistention uterus seperti: gemeli, makrosomia, polihidramnion
Peregangan uterus yang berlebihan karena sebab-sebab tersebut akan
mengakibatkan uterus tidak mampu berkontraksi segera setelah plasenta lahir.
b) Umur yang terlalu muda atau terlalu tua
c) Multiparitas tinggi
Kehamilan seorang ibu yang berulang kali, maka uterus juga akan berulang
kali teregang. Hal ini akan menurunkan kemampuan berkontraksi dari uterus
segera setelah plasenta lahir.
d) Kala I atau II yang memanjang
Pada partus lama uterus dalam kondisi yang sangat lelah, sehingga otot-otot
rahim tidak mampu melakukan kontraksi segera setelah plasenta lahir.
e) Kehamilan dengan mioma uterus
Mioma yang paling sering menjadi penyebab perdarahan post partum adalah
mioma intra mular, dimana mioma berada di dalam miometrium sehingga
akan menghalangi uterus berkontraksi.
f) Persalinan buatan (SC, Forcep dan vakum ekstraksi)
Persalinan buatan mengakibatkan otot uterus dipaksa untuk segera
mengeluarkan buah kehamilan dengan segera sehingga pada pasca salin
menjadi lelah dan lemah untuk berkontraksi.
g) Persalinan lewat waktu
Peregangan yang berlebihan pada otot uterus karena besarnya kehamilan,
ataupun juga terlalu lama menahan beban janin di dalamnya menjadikan otot
uterus lelah dan lemah untuk berkontraksi.
h) Infeksi intrapartum
Korioamnionitis adalah infeksi dari korion saat intrapartum yang potensial
akan menjalar pada otot uterus sehingga menjadi infeksi dan menyebabkan
gangguan untuk melakukan kontraksi.
i) Persalinan cepat (partus presipitatus)
Persalinan cepat mengakibatkan otot uterus dipaksa untuk segera
mengeluarkan buah kehamilan dengan segera sehingga pada pasca salin
menjadi lelah dan lemah untuk berkontraksi.
j) Kelainan plasenta
Plasenta akreta, plasenta previa dan plasenta lepas prematur mengakibatkan
gangguan uterus untuk berkontraksi. Adanya benda asing menghalangi
kontraksi yang baik untuk mencegah terjadinya perdarahan.
k) Anastesi atau analgesik yang kuat
Obat anastesi atau analgesi dapat menyebabkan otot uterus dalam kondisi
relaksasi yang berlebihan, sehingga saat dibutuhkan untuk berkontraksi
menjadi tertunda atau terganggu. Demikian juga dengan magnesium sulfat
yang digunakan untuk mengendalikan kejang pada preeklamsi/eklamsi yang
berfungsi sebagai sedativa atau penenang.
l) Persalinan yang diinduksi atau dipercepat dengan oksitosin (augmentasi)
Obat-obatan uterotonika yang digunakan untuk memaksa uterus berkontraksi
saat proses persalinan mengakibatkan otot uterus menjadi lelah.
m) Penyakit sekunder maternal
Anemia, endometritis, kematian janin dan koagulasi intravaskulere diseminata
merupakan penyebab gangguan pembekuan darah yang mengakibatkan tonus
uterus terhambat untuk berkontraksi.
Atonia uteri juga dapat terjadi karena salah dalam penanganan kala III
persalinan, dengan cara memijat uterus dan mendorongnya ke bawah dalam usaha
melahirkan plasenta, sedang sebenarnya belum terlepas dari uterus.
2.6.3. Patofisiologi
Pada awal persalinan, estrogen akan meningkat dalam darah. Hal ini
menyebabkan uterus menjadi lebih mudah terangsang, dan pembentukan
prostaglandin lebih banyak lagi, yang kemudian menyebabkan kontraksi uterus.
Jumlah reseptor oksitosin lebih banyak lagi, yang kemudian menyebabkan
kontraksi uterus. Jumlah reseptor oksitosin di miometrium dan desidua
(endometrium kehamilan) meningkat lebih dari 100 kali selama kehamilan dan
mencapai puncaknya selama awal persalinan. Estrogen meningkatkan jumlah
reseptor oksitosin, dan peregangan uterus pada akhir kehamilan juga dapat
meningkatkan pembentukan uterus berespon terhadap konsentrasi oksitosin
plasma yang normal. Begitu persalinan dimulai, kontraksi uterus menyebabkan
dilatasi serviks, dilatasi ini selanjutnya menimbulkan sinyal pada saraf aferen
yang dipancarkan ke nukleus supraoptik dan paraventrikel meningkatkan sekresi
oksitosin. Kadar oksitosin plasma meningkat dan lebih banyak oksitosin tersedia
untuk bekerja pada uterus. Dengan demikian, terjadi umpan balik positif yang
membantu persalinan dan berakhir setelah hasil konsepsi dikeluarkan. Oksitosin
meningkatkan kontraksi uterus dengan dua cara: 1) bekerja langsung pada sel otot
polos uterus untuk membuatnya berkontraksi, dan 2) merangsang pembentukan
prostaglandin di desidua.15
Dalam persalinan, pembuluh darah yang ada di uterus melebar untuk
meningkatkan sirkulasi ke sana. Setelah persalinan, kontraksi uterus merupakan
mekanisme utama untuk mengontrol perdarahan setelah melahirkan.15
Gambar 2. Kontraksi miometrium uteri menutup pembuluh setelah persalinan

Adanya peregangan yang berlebihan atau berkurangnya kerja reseptor


oksitosin di miometrium pasca persalinan menyebabkan kontraksi uterus menurun
atau disebut hipotonia uteri, yang jika tidak tertangani akan jatuh menjadi atonia
uteri. Atonia uteri terjadi karena kegagalan mekanisme ini. Perdarahan postpartum
secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi serabut-serabut miometrium yang
mengelilingi pembuluh darah yang memvaskularisasi daerah implantasi plasenta.
Atonia uteri terjadi apabila serabut-serabut miometrium tersebut tidak
berkontraksi.15
2.6.4. Manifestasi klinis11,15,16
1. Perdarahan pervaginam
Perdarahan yang sangat banyak dan darah tidak merembes. Peristiwa
sering terjadi pada kondisi ini adalah darah keluar disertai gumpalan
disebabkan tromboplastin sudah tidak mampu lagi sebagai anti pembeku
darah.
2. Konsistensi rahim lunak
Gejala ini merupakan gejala terpenting/khas atonia dan yang membedakan
atonia dengan penyebab perdarahan yang lainnya.
3. Fundus uteri naik
4. Terdapat tanda-tanda syok
a. nadi cepat dan lemah (110 kali/ menit atau lebih)
b. tekanan darah sangat rendah : tekanan sistolik < 90 mmHg
c. pucat
d. keringat/ kulit terasa dingin dan lembap
e. pernafasan cepat frekuensi30 kali/ menit atau lebih
f. gelisah, bingung atau kehilangan kesadaran
g. urine yang sedikit ( < 30 cc/ jam)
2.6.5. Penatalaksanaan Atonia Uteri
Banyaknya darah yang keluar mempengaruhi keadaan pasien. Pasien bisa
masih dalam keadaan sadar, sedikit anemis, atau sampai menjadi syok
hipovolemik berat. Perdarahan yang lebih dari 1000 cc atau 1500 cc (20-25%
volume darah) akan menimbulkan gangguan vaskular hingga terjadi syok
hemoragik sehingga transfusi darah diperlukan segera. Tindakan pertama yang
dilakukan tergantung pada keadaan klinisnya.17

Tabel 4. Klasifikasi Derajat Perdarahan17


a) Penanganan Umum18
1. Mintalah Bantuan. Segera mobilisasi tenaga yang ada dan siapkan fasilitas
tindakan gawat darurat.
2. Lakukan pemeriksaan cepat keadaan umum ibu termasuk tanda vital
(TNSP).
3. Jika dicurigai adanya syok segera lakukan tindakan. Jika tanda -tanda syok
tidak terlihat, ingatlah saat melakukan evaluasi lanjut karena status ibu
tersebut dapat memburuk dengan cepat.
4. Jika terjadi syok, segera mulai penanganan syok. Oksigenasi dan
pemberian cairan cepat, Pemeriksaan golongan darah dan crossmatch
perlu dilakukan untuk persiapan transfusi darah.
5. Pastikan bahwa kontraksi uterus baik:
6. Lakukan pijatan uterus untuk mengeluarkan bekuan darah. Bekuan darah
yang terperangkap di uterus akan menghalangi kontraksi uterus yang
efektif. berikan 10 unit oksitosin IM
7. Lakukan kateterisasi, dan pantau cairan keluar-masuk.
8. Periksa kelengkapan plasenta Periksa kemungkinan robekan serviks,
vagina, dan perineum.
9. Jika perdarahan terus berlangsung, lakukan uji beku darah.

10. Setelah perdarahan teratasi (24 jam setelah perdarahan berhenti), periksa
kadar Hemoglobin:
a. Jika Hb kurang dari 7 g/dl atau hematokrit kurang dari 20%( anemia
berat):berilah sulfas ferrosus 600 mg atau ferous fumarat 120 mg
ditambah asam folat 400 mcg per oral sekali sehari selama 6 bulan;
b. Jika Hb 7-11 g/dl: beri sulfas ferrosus 600 mg atau ferous fumarat 60
mg ditambah asam folat 400 mcg per oral sekali sehari selama 6
bulan;
b) Penanganan Khusus18
1. Kenali dan tegakkan diagnosis kerja atonia uteri.
2. Teruskan pemijatan uterus. Masase uterus akan menstimulasi kontraksi
uterus untuk menghentikan perdarahan.
3. Oksitosin dapat diberikan bersamaan atau berurutan
4. Jika uterus berkontraksi. Evaluasi, jika uterus berkontraksi tapi perdarahan
uterus berlangsung, periksa apakah perineum / vagina dan serviks
mengalami laserasi dan jahit atau rujuk segera.
5.
Jika uterus tidak berkontraksi maka: Bersihkan bekuan darah atau selaput
ketuban dari vagina & ostium serviks. Pastikan bahwa kandung kemih
telah kosong
Masase fundus uteri segera setelah
plasenta lahir (maksimal 15 detik)

Ya
Uterus kontraksi ? Evaluasi rutin

Tidak

 Evaluasi/bersihkan bekuan darah/selaput ketuban


 Kompresi bimanual interna (KBI) : maksimal 5 menit

Ya  Pertahankan KBI selama 1-2 menit


Uterus kontraksi ?  Keluarkan tangan secara hati-hati
 Lakukan pengawasan kala IV
Tidak

 Ajarkan keluarga melakukan KBI


 Keluarkan tangan secara hati-hati
 Suntikkan Methylergometrin 0,2 mg IM
 Pasang IVFD RL + 20 IU oxytocin,
guyur
 Lakukan kembali KBI

Ya
Uterus kontraksi ? Pengawasan kala IV

Tidak

 Rujuk, siapkan laparatomi


 Lanjutkan pemberian infus + 20 IU oksitosin minimal 500 cc/jam hingga mencapai tempat
rujukan
 Selama perjalanan dapat dilakukan kompresi aorta abdominalis atau KBI

 Ligasi arteriuterina dan atau hipogastrika


 B-Lynch method

tetap
Perdarahan ? Histerektomi

berhenti

Pertahankan Uterus
c) Kompresi Bimanual Uterus Atonia18

Gambar 7. Kompresi Bimanual Interna dan Eksterna

Peralatan : sarung tangan steril; dalam keadaan sangat gawat; lakukan dengan
tangan telanjang yang telah dicuci.
Teknik:
1. Basuh genetalia eksterna dengan larutan disinfektan; dalam kedaruratan
tidak diperlukan
2. Eksplorasi dengan tangan kiri
3. Sisipkan tinju kedalam forniks anterior vagina
4. Tangan kanan (luar) menekan dinding abdomen diatas fundus uteri dan
menangkap uterus dari belakang atas
5. Tangan dalam menekan uterus keatas terhadap tangan luar
6. Bila uterus refrakter oksitosin, dan perdarahan tidak berhenti setelah
kompresi bimanual, maka histerektomi tetap merupakan tindakan terakhir.
d) Penggunaan Balon Kateter dan Kondom Kateter18
Pada kondisi di mana rujukan tidak memungkinkan dan semua upaya
menghentikan perdarahan tidak berhasil maka alternativ yang mungkin dapat
dilakukan adalah pemasangan balon kateter dengan menggunakan Sengstaken-
Blakemore tube, Rusch hidrostatik balloon kateter (Folley catheter) atau SOS
Bakri tamponade balloon catheter. Cara penggunaannya adalah dengan
menginsersikan balon pada uterus kemudian dikembangkan dengan menggunakan
cairan saline sebanyak 500 ml lalu dapat dipasang tampon kasa pada vagina untuk
menjaga balon tetap berada dalam uterus serta untuk mengevaluasi perdarahan,
dan dilepas 24-48 jam kemudian.
Gambar 8. Bakri ballon, Rusch hidrostatik balloon kateter (Folley catheter), dan
Sengstaken-Blakemore tube

Pada tahun 2003 Sayeba Akhter dkk mengajukan alternatif baru dengan
pemasangan kondom yang diikatkan pada kateter. Dari penelitiannya disebutkan
angka keberhasilannya 100% ( 23 berhasil dari 23 PPH ), kondom dilepas 24 – 48
jam kemudian dan tidak didapatkan komplikasi yang berat. Indikasi pemasangan
kondom sebagai tampon tersebut adalah untuk PPH dengan penyebab Atonia
Uteri. Cara ini kemudian disebut dengan Metode Sayeba. Metode ini digunakan
sebagai alternatif penanganan HPP terutama sambil menunggu perbaikan keadaan
umum, atau rujukan.
Cara pemasangan tampon kondom menurut Metode Sayeba adalah secara
aseptik kondom yang telah diikatkan pada kateter dimasukkan kedalam cavum
uteri. Kondom diisi dengan cairan garam fisiologis sebanyak 250-500 cc sesuai
kebutuhan. Dilakukan observasi perdarahan dan pengisian kondom dihentikan
ketika perdarahan sudah berkurang. Untuk menjaga kondom agar tetap di cavum
uteri, dipasang tampon kasa gulung di vagina. Bila perdarahan berlanjut tampon
kassa akan basah dan darah keluar dari introitus vagina. Kontraktilitas uterus
dijaga dengan pemberian drip oksitosin paling tidak sampai dengan 6 jam
kemudian. Diberikan antibiotika tripel, Amoksisilin, Metronidazol dan
Gentamisin. Kondom kateter dilepas 24 – 48 jam kemudian, pada kasus dengan
perdarahan berat kondom dapat dipertahankan lebih lama.
Gambar 9. Kondom Kateter

e) Operatif19
1. Ligasi Arteri Uterina
Beberapa penelitian tentang ligasi arteri uterina menghasilkan angka
keberhasilan 80-90%. Pada teknik ini dilakukan ligasi arteri uterina yang berjalan
disamping uterus setinggi batas atas segmen bawah rahim. Jika dilakukan SC,
ligasi dilakukan 2-3 cm dibawah irisan segmen bawah rahim. Untuk melakukan
ini diperlukan jarum atraumatik yang besar dan benang absorbable yang sesuai.
Arteri dan vena uterina diligasi dengan melewatkan jarum 2-3 cm medial vasa
uterina, masuk ke miometrium keluar di bagian avaskular ligamentum latum
lateral vasa uterina. Saat melakukan ligasi hindari rusaknya vasa uterina dan ligasi
harus mengenai cabang asenden arteri miometrium, untuk itu penting untuk
menyertakan 2-3 cm miometrium. Jahitan kedua dapat dilakukan jika langkah
diatas tidak efektif dan jika terjadi perdarahan pada segmen bawah rahim. Dengan
menyisihkan vesika urinaria, ligasi kedua dilakukan bilateral pada vasa uterina
bagian bawah, 3-4 cm dibawah ligasi vasa uterina atas. Ligasi ini harus mengenai
sebagian besar cabang arteri uterina pada segmen bawah rahim dan cabang arteri
uterina yang menuju ke servik, jika perdarahan masih terus berlangsung perlu
dilakukan bilateral atau unilateral ligasi vasa ovarian.
Gambar 10. Tempat Ligasi A. Uterina

2. Ligasi arteri Iliaka Interna


Identiffikasi bifurkasiol arteri iliaka, tempat ureter menyilang, untuk
melakukannya harus dilakukan insisi 5-8 cm pada peritoneum lateral paralel
dengan garis ureter. Setelah peritoneum dibuka, ureter ditarik ke medial kemudian
dilakukan ligasi arteri 2,5 cm distal bifurkasio iliaka interna dan eksterna. Klem
dilewatkan dibelakang arteri, dan dengan menggunakan benang non absobable
dilakukan dua ligasi bebas berjarak 1,5-2 cm. Hindari trauma pada vena iliaka
interna. Identifikasi denyut arteri iliaka eksterna dan femoralis harus dilakukan
sebelum dan sesudah ligasi.
Risiko ligasi arteri iliaka adalah trauma vena iliaka yang dapat
menyebabkan perdarahan. Dalam melakukan tindakan ini dokter harus
mempertimbangkan waktu dan kondisi pasien.

Gambar 11. Tempat Ligasi A. Iliaka Interna


3. Teknik B-Lynch
Teknik B-Lynch dikenal juga dengan “brace suture”, ditemukan oleh
Christopher B Lynch 1997, sebagai tindakan operatif alternative untuk mengatasi
perdarahan pospartum akibat atonia uteri.

Gambar 12.Teknik B-Lynch pada penanganan Atonia Uteri

4. Histerektomi
Histerektomi peripartum merupakan tindakan yang sering dilakukan jika
terjadi perdarahan pospartum masif yang membutuhkan tindakan operatif.
Insidensi mencapai 7-13 per 10.000 kelahiran, dan lebih banyak terjadi pada
persalinan abdominal dibandingkan vagina.

2.7. Retensio Plasenta


2.7.1. Definisi
Biasanya setelah janin lahir, beberapa menit kemudian mulailah proses
pelepasan plasenta disertai sedikit perdarahan (kira-kira 100 – 200 cc). Bila
plasenta sudah lepas dan turun ke bagian bawah rahim, maka uterus akan
berkontraksi (his pengeluaran plasenta) untuk mengeluarkan plasenta.20
Kadang-kadang, plasenta tidak segera terlepas. Suatu pertanyaan yang
belum mendapat jawaban yang pasti adalah berapa lama waktu berlalu pada
keadaan tanpa perdarahan sebelum plasenta harus dikeluarkan secara manual.
Bidang obstetri secara tradisional membuat batas-batas durasi kala tiga secara
agak ketat sebagai upaya untuk mendefinisikan retensio plasenta (abnormally
retained placenta) sehingga perdarahan akibat terlalu lambatnya pemisahan
plasenta dapat dikurangi. Combs dan Laros (1991) meneliti 12.275 persalinan
pervaginam tunggal dan melaporkan median durasi kala tiga adalah 6 menit, dan
3,3 persen berlangsung lebih dari 30 menit.6 Jadi istilah retensio plasenta
dipergunakan jika plasenta belum lahir ½ jam sesudah anak lahir. 20-26
2.7.2. Insidensi
Retensio plasenta adalah penyebab signifikan dari kematian maternal dan
angka kesakitan di seluruh negara berkembang. Kasus ini merupakan penyulit
pada 2 % dari semua kelahiran hidup dengan angka kematian hampir mencapai
10% di daerah pedesaan. Menurut studi lain, insidensi dari retensio plasenta
berkisar antara 1-2 % dari kelahiran hidup. Pada studi tersebut retensio plasenta
lebih sering muncul pada pasien yang lebih muda dengan multiparitas.27-28
Diperkirakan insidensi dari perlengketan abnormalitas sekitar 1 dari 2000
hingga 1 dari 7000 persalinan. Plasenta akreta meliputi 80% dari keseluruhan
perlengketan abnormal, plasenta inkreta 15 %, dan plasenta perkreta 5 %. Angka
ini meningkat tajam dalam dua dekade terakhir, sejalan dengan angka seksio
cesarean.29
2.7.3. Plasentasi
Pada hari keempat setelah fertilisasi hasil konsepsi mencapai stadium
blastula disebut blastokista (blastocyst), suatu bentuk yang dibagian luarnya
adalah trofoblas dan di bagian dalamnya disebut massa inner cell. Massa inner
cell ini berkembang menjadi janin dan trofoblas akan berkembang menjadi
plasenta. Nidasi (implantasi) diatur oleh suatu proses yang kompleks antara
trofoblas dan endometrium. Di satu sisi trofoblas mempunyai kemampuan invasif
yang kuat, disisi lain endometrium mengontrol invasi trofoblas dengan
menyekresikan faktor aktif lokal yaitu cytokines dan protease.23
Setelah implantasi, sel-sel trofoblas dapat berdiferensiasi menjadi 2 jenis
yakni:23,30
1. Ekstravili - sel sitotrofoblas berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel
invasif yang menginvasi (trofoblas interstitial) desidua maternal dan arteri
spiralis (trofoblas endovaskuler) miometrium.
2. Vili - sel sitotrofoblas berproliferasi dan bergabung membentuk sel
sinsisiotrofoblas multinukleus yang membentuk permukaan luar vili plasenta
janin.
Invasi trofoblas diatur oleh pengaturan kadar hCG. Sinsisiotrofoblas
menghasilkan hCG yang akan mengubah sitotrofoblas menyekresikan hormon
yang noninvasif. Trofoblas yang semakin dekat dengan endometrium
menghasilkan kadar hCG yang semakin rendah, dan membuat trofoblas
berdiferensiasi dalam sel jangkar yang menghasilkan protein perekat plasenta
yaitu trophouteronectin.23
Endometrium atau sel desidua dimana terjadi nidasi menjadi pucat dan
besar disebut reaksi desidua. Sebagian lapisan desidua mengalami fagositosis oleh
sel trofoblas. Reaksi desidua ini agaknya merupakan proses untuk menghambat
invasi, tetapi berfungsi sebagai pasokan makanan. Namun, ada juga sel-sel
desidua yang tidak dapat dihancurkan oleh trofoblas dan sel ini akhirnya
membentuk lapisan fibrinoid yang disebut lapisan Nitabuch. Ketika proses
melahirkan, plasenta terlepas dari endometrium pada lapisan Nitabuch ini.23

Gambar 13. Anatomi uterus dan plasentasi

Setelah nidasi embrio ke dalam endometrium, plasentasi dimulai dan


berlangsung sampai 12-18 minggu setelah fertilisasi. Plasentasi adalah proses
pembentukan struktur dan jenis plasenta. Dalam 2 minggu pertama perkembangan
hasil konsepsi, trofoblas invasif telah melakukan penetrasi ke arteri spiralis pada
lapisan basal endometrium. Pada usia kehamilan 8 minggu (6 minggu setelah
nidasi) telah terjadi invasi terhadap 40-60 arteri spiralis di daerah desidua basalis
yang menjadi tempat implantasi plasenta. Lalu terbentuklah sinus intertrofoblastik
yaitu ruangan yang berisi darah maternal dari pembuluh darah yang dihancurkan.
Pertumbuhan ini berjalan terus, sehingga timbul ruangan-ruangan interviler di
mana vili korialis seolah-olah terapung-apung di antara ruangan tersebut. Vili
korialis ini akan bertumbuh menjadi suatu massa jaringan yaitu plasenta.23
Plasenta berbentuk bundar atau oval; ukuran diameter 15-20 cm, tebal 2-3
cm, berat 500-600 gram. Biasanya plasenta atau uri akan berbentuk lengkap pada
kehamilan kira-kira 16 minggu; dimana ruang amnion telah mengisi seluruh
rongga rahim. Letak plasenta yang normal umumnya pada corpus uteri bagian
depan atau belakang agak kearah fundus uteri.2 Plasenta normal menanamkan diri
sampai ke batas atas lapisan otot rahim.31
Plasenta terdiri atas tiga bagian yaitu :20,32
1) Bagian janin (fetal portion). Bagian janin terdiri dari korion frondosum dan
vili. Vili dari uri yang matang terdiri atas :
- Vili korialis
- Ruang-ruang interviler. Darah ibu yang berada dalam ruang interviler
berasal dari arteri spiralis yang berada di desidua basalis. Pada sistole,
darah dipompa dengan tekanan 70-80 mmHg kedalam ruang interviler
sampai lempeng korionik (chorionic plate) pangkal dari kotiledon-
kotiledon. Darah tersebut membanjiri vili korialis dan kembali perlahan ke
vena di desidua dengan tekanan 8 mmHg.
- Pada bagian permukaan janin uri diliputi oleh amnion yang licin, dibawah
lapisan amnion ini berjalan cabang-cabang pembuluh darah tali pusat. Tali
pusat akan berinsersi pada uri bagian permukaan janin.
2) Bagian maternal (maternal portion). Terdiri atas desidua kompakta yang
terbentuk dari beberapa lobus dan kotiledon (15-20 buah). Desidua basalis
pada uri yang matang disebut lempeng korionik (basal) dimana sirkulasi utero-
plasental berjalan keruang-ruang intervili melalui tali pusat.
3) Tali pusat merentang dari pusat janin ke uri bagian permukaan janin.
Panjangnya rata-rata 50-55 cm, sebesar jari (diameter 1- 2.5 cm), strukturnya
terdiri atas 2 arteri umbilikalis dan 1 vena umbilikalis serta jelly wharton.
Gambar 14. Struktur plasenta30

Supaya janin dapat tumbuh dengan sempurna, dibutuhkan penyaluran


darah dari ibu ke janin dan pembuangan limbah metabolisme ke sirkulasi ibu.
Berikut merupakan fungsi plasenta, yaitu :20,30
a. Nutrisasi, yakni alat pemberi makanan pada janin yang berasal dari sekitar
100-150 arteri spiralis maternal yang berlokasi pada lempeng basal.
b. Respirasi, yakni alat penyalur zat asam dan pembuangan CO2
c. Ekskresi, yakni alat pengeluaran sampah metabolisme
d. Produksi, yakni alat yang menghasilkan hormon
e. Imunisasi, yakni alat penyalur antibodi ke janin
f. Pertahanan (sawar), penyaring obat dan kuman yang bisa melewati
plasenta
2.7.4. Mekanisme Kala III
Kala III persalinan dimulai setelah lahirnya bayi dan berakhir dengan
lahirnya plasenta dan selaput ketuban.17 Lama kala tiga pada persalinan normal
ditentukan oleh lamanya fase kontraksi.1 Segera setelah bayi lahir, tinggi fundus
uteri dan konsistensinya hendaknya dipastikan. Selama uterus tetap kencang dan
tidak ada perdarahan yang luar biasa, menunggu dengan waspada sampai plasenta
terlepas biasa dilakukan. Jangan lakukan masase; tangan hanya diletakkan di atas
fundus untuk memastikan bahwa organ tersebut tidak menjadi atonik dan terisi
darah dan menggelembung di belakang plasenta yang sudah terlepas.25,33
Kala tiga yang normal dapat dibagi ke dalam 4 fase, yaitu :32,34,35
1. Fase laten, ditandai oleh menebalnya dinding uterus yang bebas dari plasenta,
namun dinding uterus tempat plasenta melekat masih tipis.
2. Fase kontraksi, ditandai oleh menebalnya dinding uterus tempat plasenta
melekat (dari ketebalan kurang dari 1 cm menjadi > 2 cm).
3. Fase pelepasan plasenta, fase dimana plasenta menyempurnakan
pemisahannya dari dinding uterus dan lepas.
4. Fase pengeluaran, dimana plasenta bergerak meluncur ke arah vagina.
Normalnya, pada saat bayi selesai dilahirkan, rongga uterus berupa suatu
massa otot yang hampir padat, dengan tebal beberapa sentimeter di atas segmen
bawah yang lebih tipis. Fundus uteri sekarang terletak di bawah batas ketinggian
umbilikus. Penyusutan ukuran uterus yang mendadak ini selalu disertai dengan
pengurangan bidang tempat implantasi plasenta. Agar plasenta dapat
mengakomodasikan diri terhadap permukaan yang mengecil ini, organ ini
memperbesar ketebalannya, tetapi karena elastisitas plasenta terbatas, plasenta
terpaksa menekuk. Tegangan yang dihasilkannya menyebabkan lapisan desidua
yang paling lemah- lapisan spongiosa, atau desidua spongiosa- mengalah, dan
pemisahan terjadi di tempat ini.23,33
Pemisahan plasenta amat dipermudah oleh sifat struktur desidua spongiosa
yang longgar. Ketika pemisahan berlangsung, terbentuk hematoma di antara
plasenta yang sedang terpisah dan desidua yang tersisa (hematoma
retroplasenta).20,23,33
Jika plasenta tidak lahir spontan, maka teknik Brandt-Andrews dilakukan.
33,36

1. Setelah bayi lahir, klem tali pusat mendekati vulva. Palpasi uterus dengan
hati-hati tanpa di masase untuk menilai kontraksi uterus.
2. Setelah muncul tanda pelepasan plasenta, pegang klem dekat vulva dengan
satu tangan, dan jari tangan lainnya pada abdomen, dan tekan antara
fundus dan simfisis untuk mengangkat uterus. Jika plasenta telah terlepas,
tali pusat akan meluncur ke arah vagina.
Berikut adalah tanda-tanda pelepasan dari plasenta : 33,26,36
a. Uterus menjadi globular, dan biasanya lebih kencang. Tanda ini terlihat
paling awal.
b. Sering ada pancaran darah mendadak.
c. Tali pusat keluar lebih panjang dari vagina ± 3 cm, yang menunjukkan
bahwa plasenta telah turun.
Tanda-tanda ini kadang-kadang terlihat dalam waktu satu menit setelah
bayi lahir dan biasanya dalam 5 menit.6
3. Setelah fundus terangkat, lakukan traksi lembut pada tali pusat, dan
lahirkan plasenta dari vagina.

Gambar15. Teknik Brandt-Andrews36


Manuver ini diulangi beberapa kali sampai plasenta mencapai introitus.
Saat plasenta melewati introitus, penekanan pada uterus dihentikan. Plasenta
kemudian secara perlahan dikeluarkan dari introitus. Tindakan hati-hati
diperlukan untuk mencegah membran supaya tidak terputus dan tertinggal. Jika
membran mulai robek, pegang robekan dengan klem dan tarik perlahan.
Permukaan maternal plasenta harus diperiksa secara hati-hati untuk memastikan
bahwa tidak ada fragmen plasenta tertinggal di uterus.23,33
Setelah lahirnya plasenta, hal ini umum dilakukan (walaupun tidak
diaplikasikan pada seluruh kasus) untuk memberikan oksitosin. Sebelumnya,
diberikan 5-10 IU IV setelah 5 menit untuk mengurangi perdarahan. Kini, lebih
sering diberikan 20 IU oksitosin dalam 1000 cc larutan IV 125-250 cc perjam.36
2.7.5. Etiologi
Etiologi retensio plasenta tidak diketahui dengan pasti sebelum tindakan.
Beberapa penyebab retensio plasenta adalah :20,24,25
1. Fungsional
a. His kurang kuat (penyebab terpenting). Plasenta sudah lepas tetapi belum
keluar karena atonia uteri dan akan menyebabkan perdarahan yang
banyak. Atau karena adanya lingkaran konstriksi pada bagian bawah
rahim (ostium uteri) akibat kesalahan penanganan kala III, yang akan
menghalangi plasenta keluar (plasenta inkarserata).
b. Plasenta sukar terlepas karena tempatnya (insersi di sudut tuba), bentuknya
(plasenta membranasea, plasenta anularis); dan ukurannya (plasenta yang
sangat kecil). Plasenta yang sukar lepas karena penyebab ini disebut
plasenta adhesiva.Plasenta adhesiva ialah jika terjadi implantasi yang kuat
dari jonjot korion plasenta sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme
perpisahan fisiologis.
2. Patologi-anatomi
Plasenta belum terlepas dari dinding rahim karena melekat dan tumbuh
lebih dalam. Menurut tingkat perlekatannya dibagi menjadi:
a. Plasenta akreta: vili korialis berimplantasi menembus desidua basalis dan
Nitabuch layer. Pada jenis ini plasenta melekat langsung pada
miometrium.
b. Plasenta inkreta: vili korialis sampai menembus miometrium, tapi tidak
menembus serosa uterus.
c. Plasenta perkreta: vili korialis sampai menembus serosa atau perimetrium.
Plasenta akreta ada yang kompleta, yaitu jika seluruh permukaannya
melekat dengan erat pada dinding rahim. Plasenta akreta yang parsialis, yaitu jika
hanya beberapa bagian dari permukaannya lebih erat berhubungan dengan dinding
rahim. Plasenta akreta yang kompleta, inkreta, dan perkreta jarang terjadi.
Gambar 16. Jenis-jenis perlengketan plasenta30
2.7.6. Faktor predisposisi
Perlengketan plasenta yang abnormal terjadi apabila pembentukan desidua
terganggu. Keadaan-keadaan tersebut mencakup implantasi di segmen bawah
rahim (plasenta previa), di atas jaringan parut SC atau insisi uterus lainnya; atau
setelah kuretase uterus dan multiparitas, kelahiran preterm, serta induksi
persalinan.8,9,5 Dalam ulasannya terhadap 622 kasus yang dikumpulkan antara
tahun 1945 dan 1969, Fox (1972) mencatat karakteristik berikut :33,37,38
1. Plasenta previa diidentifikasi pada sepertiga kehamilan yang terkena
2. Seperempat pasien pernah menjalani seksio sesarea
3. Hampir seperempat pernah menjalani kuretase
4. Seperempatnya adalah gravida 6 atau lebih
2.7.7. Patogenesis
Penyebab pasti tertundanya pelepasan setelah waktu 30 menit tidak selalu
jelas, tetapi tampaknya cukup sering disebabkan oleh kontraksi uterus yang tidak
adekuat.6,12 Penyebab dari disfungsi kontraksi ini belum diketahui pasti. Kecuali
pada fibroid uterus, dimana sumber distensi uterus tidak dapat dihilangkan dengan
kontraksi uterus, maka kontraksi uterus yang tidak adekuat muncul. Namun,
uterus tidak harus mengalami distensi selama kala III hingga menyebabkan
kontraksi yang tidak adekuat. Distensi sebelum kelahiran bayi, seperti pada
kehamilan ganda dan polihidramnion, juga mempengaruhi kemampuan rahim
untuk berkontraksi secara efisien setelah kelahiran bayi, dan dengan demikian
keduanya menjadi faktor risiko lain untuk perdarahan postpartum karena atonia.19
Walaupun sangat jarang, plasenta dapat melekat erat ke tempat implantasi,
baik karena penetrasi berlebihan dari trofoblas maupun desidua basalis yang
sedikit (tipis) atau tidak ada sama sekali dan kelainan perkembangan lapisan
fibrinoid (lapisan Nitabuch) secara parsial atau total, sehingga tidak terdapat garis
pemisah fisiologis melalui lapisan spongiosa desidua. Akibatnya, satu atau lebih
kotiledon melekat erat ke desidua basalis yang cacat atau bahkan ke miometrium.
Kasus perlengketan plasenta ini dapat dilihat pada trimester pertama, yang
mengindikasikan bahwa proses patologinya mungkin muncul pada saat implantasi
dan bukan setelah masa gestasional.33
Pengalaman klinis juga menunjukkan bahwa kita tidak dapat
mengasumsikan bahwa perdarahan postpartum lebih umum terjadi pada
implantasi segmen bawah rahim, murni terjadi karena otot segmen bawah rahim
tidak memadai untuk berkontraksi. Dalam kasus plasenta previa dan plasenta
akreta, segmen bawah rahim terlihat lebih tipis dari lapisan normal. Peneliti
berhipotesis bahwa sifat kontraktil otot segmen bawah rahim, yang sudah lebih
kecil dari segmen atas, selanjutnya diturunkan oleh kehadiran plasenta. Ini berarti
bahwa implantasi sendiri memiliki efek buruk pada miometrium segmen bawah.
Selain itu, ada bukti yang bersifat anekdot yang menunjukkan bahwa invasi
trofoblas lebih cenderung pada daerah jaringan desidua yang sedikit (tipis),
termasuk implantasi pada bekas luka dan kehamilan ektopik. Peneliti berhipotesis
bahwa trofoblas akan lebih mudah menginvasi ke segmen bawah rahim dengan
lapisan desidua yang abnormal, dan meningkatkan kemungkinan plasenta akreta
untuk berkembang.19
Patofisiologi retensio plasenta ini juga bisa berarti plasenta telah terpisah
akan tetapi masih tertinggal akibat ketegangan tali plasenta atau leher rahim yang
tertutup.12 Faktor ini dapat muncul akibat kesalahan penanganan kala III
persalinan dan manipulasi yang berlebihan.14 Pemijatan dan penekanan secara
terus-menerus terhadap uterus yang sudah berkontraksi dapat mengganggu
mekanisme fisiologis pelepasan plasenta sehingga pemisahan plasenta tidak
sempurna dan pengeluaran darah meningkat.33
2.7.8. Diagnosis
a) Gejala Klinis
Dari anamnesis, meliputi pertanyaan tentang periode prenatal, meminta
informasi mengenai episode perdarahan postpartum sebelumnya, paritas, serta
riwayat multipel fetus dan polihidramnion. Serta riwayat pospartum sekarang
dimana plasenta tidak lepas secara spontan atau timbul perdarahan aktif setelah
bayi dilahirkan.34

Gejala Akreta parsial Inkarserata Akreta


Konsistensi uterus Kenyal Keras Cukup
Tinggi fundus Sepusat 2 jari bawah pusat Sepusat

Bentuk uterus Diskoid Agak globuler Diskoid


Perdarahan Sedang- banyak Sedang Sedikit/ tidak ada
Tali pusat Terjulur sebagian Terjulur Tidak terjulur
Ostium uteri Terbuka Konstriksi Terbuka
Pelepasan plasenta Lepas sebagian Sudah lepas Melekat seluruhnya
Syok Sering Jarang Jarang sekali, kecuali
akibat inversio oleh
tarikan kuat pada tali
pusat

Tabel 6. Identifikasi jenis retensio plasenta dan gambaran klinisnya22

b) Pemeriksaan pervaginam
Pada pemeriksaan pervaginam, plasenta tidak ditemukan di dalam kanalis
servikalis tetapi secara parsial atau lengkap menempel di dalam uterus.4 Pada
pemeriksaan plasenta yang lahir menunjukkan bahwa ada bagian tidak ada atau
tertinggal, dan pada eksplorasi secara manual terdapat kesulitan dalam pelepasan
plasenta atau ditemukan sisa plasenta.36
c) Pemeriksaan Penunjang38
1. Pemeriksaan darah untuk menilai peningkatan alfa fetoprotein.
Peningkatan alfa fetoprotein berhubungan dengan plasenta akreta
2. USG
Diagnosis plasenta akreta melalui pemeriksaan USG menjadi lebih
mudah bila implantasi plasenta berada di SBU bagian depan. Lapisan
miometrium dibagian basal plasenta terlihat menipis atau menghilang.
Pada plasenta perkreta vena-vena subplasenta terlihat berada di bagian
dinding kandung kemih.
3. MRI
Yang lebih baru adalah pemakaian magnetic resonance imaging (MRI)
untuk mendiagnosis plasenta akreta (Maldjian dkk., 1990). Diagnosis
lebih mudah ditegakkan jika tidak ada pendataran antara plasenta atau
bagian sisa plasenta dengan miometrium pada perdarahan postpartum.
4. Histologi
Menurut Bernischke dan Kaufmann (2000), diagnosis histologis
plasenta akreta tidak dapat ditegakkan hanya dari plasenta saja
melainkan dibutuhkan keseluruhan uterus atau kuretase miometrium.
Pada pemeriksaan histologi ini tempat implantasi plasenta selalu
menunjukkan desidua dan lapisan Nitabuch yang menghilang.
2.7.9. Tatalaksana
Pada retensio plasenta, sepanjang plasenta belum terlepas, maka tidak
akan menimbulkan perdarahan.9 Bila terjadi banyak perdarahan atau bila pada
persalinan-persalinan yang lalu ada riwayat perdarahan postpartum, maka tak
boleh menunggu, sebaiknya plasenta langsung dikeluarkan dengan tangan. Juga
kalau perdarahan sudah lebih dari 500 cc atau satu nierbekken, sebaiknya plasenta
langsung dikeluarkan secara manual dan diberikan uterus tonika, meskipun kala
III belum lewat setengah jam.9,2 Plasenta mungkin pula tidak keluar karena
kandung kemih atau rektum penuh, karena itu keduanya harus dikosongkan.20
Tindakan yang dapat dikerjakan pada retensio plasenta adalah : 20,24,25
a) Coba 1 - 2 kali dengan perasat Crede
Perasat Crede’ bermaksud melahirkan plasenta yang belum terlepas
dengan ekspresi. Syaratnya yaitu uterus berkontraksi baik dan vesika urinaria
kosong. Pelaksanaan :
1. Fundus uterus dipegang oleh tangan kanan sedemikian rupa, sehingga ibu jari
terletak pada permukaan depan uterus sedangkan jari lainnya pada fundus dan
permukaan belakang. Bila ibu gemuk hal ini tidak dapat dilaksanakan dan
sebaiknya langsung dikeluarkan secara manual. Setelah uterus dengan
rangsangan tangan berkontraksi baik, maka uterus ditekan ke arah jalan lahir.
Gerakan jari-jari seperti memeras jeruk. Perasat Crede’ tidak boleh dilakukan
pada uterus yang tidak dilakukan pada uterus yang tidak berkontraksi karena
dapat menimbulkan inversio uteri.
2. Perasat Crede’ dapat dicoba sebelum meningkat pada pelepasan plasenta
manual.

b) Keluarkan plasenta dengan tangan (manual plasenta)


Manual plasenta adalah tindakan invasif dan, kadang memerlukan
anestesia. Manula plasenta harus dilakukan sesuai indikasi dan oleh operator
berpengalaman. Indikasi manual plasenta meliputi: retensio plasenta dan
perdarahan banyak pada kala III yang tidak dapat dihentikan dengan uterotonika
dan masase, suspek ruptur uterus, dan retensi sisa plasenta.

Gambar 17. Manual plasenta


Pelaksanaan :
1. Sebaiknya pelepasan plasenta secara manual dilakukan dalam narkosis,
karena relaksasi otot memudahkan pelaksanaannya. Sebaiknya juga dipasang
infus garam fisiologik sebelum tindakan dilakukan. Setelah memakai sarung
tangan dan disinfeksi tangan dan vulva, termasuk daerah sekitarnya, maka
labia dibeberkan dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan dimasukkan
secara obstetrik ke dalam vagina.
2. Tangan kiri sekarang menahan fundus untuk mencegah kolpaporeksis.
Tangan kanan dengan gerakan memutar-mutar menuju ostium uteri dan terus
ke lokasi plasenta; tangan dalam ini menyusuri tali pusat agar tidak terjadi
false route.
3. Supaya tali pusat mudah teraba, dapat diregangkan oleh asisten. Setelah
tangan dalam sampai ke plasenta maka tangan tersebut pergi ke pinggir
plasenta dan mencari bagian plasenta yang sudah lepas untuk menentukan
bidang pelepasan yang tepat. Kemudian dengan sisi tangan sebelah
kelingking plasenta dilepaskan pada bidang antara bagian plasenta yang
sudah terlepas dan dinding rahim dengan gerakan yang sejajar dengan
dinding rahim. Setelah seluruh plasenta terlepas, plasenta dipegang dan
dengan perlahan-lahan ditarik ke luar.
4. Periksa cavum uterus untuk memastikan bahwa seluruh plasenta telah
dikeluarkan.
5. Lakukan masase untuk memastikan kontraksi tonik uterus.
6. Setelah plasenta dilahirkan dan diperiksa bahwa plasenta lengkap, sementara
kontraksi uterus belum baik segera dilakukan kompresi bimanual uterus dan
disuntikkan ergometrin 0,2 mg IM atau IV sampai kontraksi uterus baik. Pada
retensio plasenta, risiko atonia uteri tinggi oleh karena itu harus segera
dilakukan tindakan pencegahan perdarahan postpartum. Apabila kontraksi
uterus tetap buruk setelah 15 detik, dilanjutkan dengan tindakan sesuai
prosedur tindakan pada atonia uteri.22
7. Kesulitan yang mungkin dijumpai pada manual plasenta ialah adanya
lingkaran konstriksi, yang hanya dapat dilalui dengan dilatasi oleh tangan
dalam secara perlahan-lahan dan dalam narkosis yang dalam. Lokasi plasenta
pada dinding depan rahim juga sedikit lebih sukar dilepaskan daripada lokasi
pada dinding belakang.
c) Kuretase
Seringkali pelepasan sebagian plasenta dapat dilakukan dengan manual
plasenta dan kuretase digunakan untuk mengeluarkan sebanyak mungkin jaringan
yang tersisa. Kuretase mungkin diperlukan jika perdarahan berlanjut atau
pengeluaran manual tidak lengkap.
d) Tindakan bedah
Jika faktor risiko dan gambaran prenatal sangat mendukung diagnosis
perlengketan plasenta, Cesarean hysterectomy umumnya di rencanakan, terutama
pada pasien yang tidak berharap untuk mempertahankan kehamilan. Jika plasenta
akreta ditemukan setelah melahirkan bayi, plasenta sesegera mungkin dikeluarkan
untuk mengosongkan cavum uteri. Walaupun dalam banyak kasus pengeluaran
plasenta akan menimbulkan perdarahan massif yang akan berakhir dengan
histerktomi. Pada kasus plasenta akreta kompleta, tindakan terbaik ialah
histerektomi. Jika perlengketan tidak terdiagnosis sebelum melahirkan dan
perdarahan postpartum terjadi saat manual plasenta, beberapa tindakan dapat
menjadi pilihan, tergantung keinginan pasien dan keadaan cerviks. Jika tidak ada
kemungkinan untuk meneruskan persalinan atau hemodinamik tidak stabil,
histerektomi harus dilakukan. Disisi lain, beberapa usaha dapat dilakukan untuk
mempertahankan uterus dengan tindakan bedah (ligasi arteri hipogastrika) atau
secara radiologik (teknik embolisasi dari arteri uterina). Kayem menjelaskan
dalam sebuah kasus terjadi resorpsi spontan dari plasenta setelah 6 bulan
embolisasi arteri uterina.19

Gambar 18. Ligasi arteri hipogastrika19

Dalam kasus plasenta perkreta, darah akan terus mengalir melalui daerah
invasi ketika sebagian plasenta dilepaskan karena tidak adanya ligasi fisiologis
miometrium yang biasanya akan membendung aliran darah. Jika kasus ini
ditemukan saat operasi caesar maka hemostasis dapat dicapai melalui jahitan pada
miometrium, atau melalui ligasi arteri uterina maupun arteri iliaka interna.
Namun, histerektomi pun biasanya diperlukan.27
e) Bila perdarahan banyak berikan transfusi darah
f) Terapi konservatif
Terapi konservatif diberikan tergantung pada penemuan plasenta akreta,
terdapat 2 tipe terapi konservatif :19
1. Ketika terdiagnosis selama kala III persalinan, pengeluaran plasenta tidak
disarankan; terapi konservatif ialah dengan meninggalkan plasenta, sebagian
atau keseluruhan, dalam uterus ketika hemodinamik pasien dianggap stabil
dan tidak ada risiko septik.
2. Ketika plasenta akreta disuspek sebelum melahirkan (berdasarkan riwayat
dan USG dan atau MRI), kasus dibahas dalam pertemuan obstetrik harian dan
terapi konservatif disarankan kepada pasien. Pada kasus ini tindakan meliputi
beberapa tahap. Letak plasenta dipastikan dengan USG. Seksio sesarean di
rencanakan, dengan insisi abdominal pada midline infraumbilikus, dan insisi
vertikal pada uterus sepanjang insersi plasenta. Setelah pengeluaran janin,
plasenta dilahirkan secara hati-hati, dengan injeksi 5 IU oksitosin dan traksi
tali pusat. Jika gagal, plasenta dipertimbangkan sebagai “akreta”. Tali pusat
dipotong pada insersinya dan plasenta dibiarkan dalam cavum uteri; insisi
uterus di tutup. Terapi antibiotik profilaksis (amoksisilin dan asam
clavulanik) diberikan selama 10 hari.
Jika diagnosis dari plasenta perkreta dapat ditegakkan sebelum plasenta
dikeluarkan (dapat dilakukan dengan USG antenatal) maka pasien dapat
diterapi konservatif. Bayi dilahirkan secara normal lalu plasenta dibiarkan in
situ jika tidak ada perdarahan. Kadar β-HCG diperiksa dan manual plasenta
serta kuterase dilakukan ketika tidak terdeteksi. Metotreksat dapat digunakan
pada situasi ini. Dalam penelitian lain mengemukakan bahwa penggunaan
metotreksat menyebabkan pengeluaran spontan plasenta setelah 4 minggu.19
g) Berikan juga obat-obatan seperti uterotonika dan antibiotika

Jenis dan Cara Oksitosin Ergometrin Misoprostol


Dosis dan cara IV : 20 IU dalam 1 L larutan IM atau IV (lambat) : Oral atau rektal 400
pemberian garam fisiologis dengan 0,2 mg μg dapat diulang
tetesan cepat sampai 1200 μg
IM : 10 IU

Dosis lanjutan IV : 20 IU dalam 1 L larutan Ulangi 0,2 mg IM 400 μg 2-4 jam


garam fisiologis dengan 40 setelah 15 menit setelah dosis awal
tetes/menit
Dosis maksimal Tidak lebih dari 3 L larutan Total 1 mg atau 5 dosis Total 1200 μg atau 3
perhari dengan oksitosin dosis
kontraindikasi Pemberian IV secara cepat Preeklampsia, vitium Nyeri kontraksi, asma
atau bolus cordis, hipertensi

Tabel 7. Jenis uterotonika dan cara pemberiannya39


Retensio plasenta

Penanganan umum :
 Infus transfusi darah
 Pertimbangkan untuk rujuk
RSU C

Perdarahan banyak Perdarahan sedikit


300 – 400 cc - Anemia dan syok
- Perlengketan plasenta

Plasenta manual
- Indikasi
 Perdarahan 400 cc
 Pascaoperasi vaginal
 Pascanarkose
 Habitual HPP
- Teknik
 Telusuri tali pusat
 Dengan ulner tangan
 Masase intrauterin
 Uterotonika IM-IV

Plasenta rest : Plasenta melekat :


Berhasil baik : - Kuretase tumpul  Akreta
Observasi : - Utero-vaginal tampon  Inkreta
- Keadaan umum - Masase  Perkreta
- Perdarahan  Adesiva
- Obat profilaksis :
 Vitamin
 Fe preprat
 Antibiotika Perdarahan terus : Histerektomi
 Uterotonika - Tampon bedah Pertimbangan :
- Atonia uteri - Keadaan umum
- Umur penderita
- Paritas penderita
Ligasi arteri hipogastrika

Gambar 19. Penatalaksanaan retensio plasenta26


2.8. Robekan Jalan Lahir
2.8.1 Robekan Perineum
Tempat yang paling sering mengalami robekan akibat persalinan adalah
perineum. Robekan perineum terjadi hampir pada semua persalinan pertama dan
tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan perineum umunya terjadi
di garis tengah dan bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut
arkus pubis lebih kecil daripada biasa, kepala janin melewati panggul dengan
ukuran yang lebih besar.40
Menurut Sarwono, 2006, Robekan perineum dibedakan menjadi beberapa
tingkat (grade)yaitu40
1. Robekan perineum tingkat 1
Apabila hanya kulit perineum dan mukosa vagina yang robek dan biasanya
tidak memerlukan penjahitan.
2. Robekan perineum tingkat 2
Pada robekan tingkat 2 ada robekan yang lebih mendalam dan luas ke vagina
dan perineum dengan melukai fasia serta otot-otot diafragma urogenitalis. Pada
robekan ini, setelah diberi anastesi local otot-otot diafragma urogenitalis
dihubungkan di garis tengah dengan jahitan dan kemudian luka pada vagina
dan kulit perineum ditutup dengan mengikutsertakan jaringan-jaringan di
bawahnya.
3. Robekan perineum tingkat 3
Pada robekan tingkat 3 atau robekan total muskulus sfingter ani eksternum
ikut terputus dan kadang-kadang dinding depan rectum ikut robek pula.
Menjahit robekan tingkat 3 harus dilakukan dengan teliti, mula-mula dinding
depan rectum yang robek dijahit , kemudian fasia-prasektal ditutup dan
muskulus sfingter ani eksternum yang robek dijahit. Selanjutnya dilakukan
penutupan robekan dengan mengikutsertakan jaringan-jaringan di bawahnya.
Perlukaan perineum umumnya terjadi unilateral, namun dapat juga
bilateral. Perlukaan pada diafragma urogenitalis dan muskulus levator ani yang
terjadi pada waktu persalinan normal atau persalinan dengan alat dapat terjadi
tanpa luka pada kulit perineum atau pada vagina, sehingga tidak kelihatan dari
luar. Perlukaan demikian dapat melemahkan dasar panggul sehingga mudah
terjadi prolapsus genitalia.
Umumnya perlukaan perineum terjadi pada tempat dimana muka janin
menghadap. Robekan perineum dapat mengakibatkan pula robekan jaringan
pararektal sehingga rectum terlepas dari jaringan sekitarnya. Diagnose rupture
perineum ditegakkan dengan pemeriksaan langsung. Pada tempat terjadinya
robekan akan timbul perdarahan yang bersiafat arterial.40
2.8.2 Robekan Serviks
Persalinan selalu mengakibatkan robekan serviks sehinggga serviks
seorang multipara berbeda daripada yang belum pernah melahirkan per vaginam.
Robekan serviks yang luas menimbulkan perdarahan dan dapat menjalar ke
segmen bawah uterus. Apabila terjadi perdarahan yang tidak berhenti meskipun
plasenta sudah lahir lengkap dan uterus berkontraksi baik, perlu dipikirkan
perlukaan jalan lahir, khusunya robekan serviks uteri. Dalam keadaan ini serviks
harus diperiksa dengan spekulum. Apabila ada robekan, serviks perlu ditarik
keluar dengan beberapa cunam ovum supaya batas antara robekan dapat dilihat
dengan baik. Jahitan pertama dilakukan pada ujung atas luka baru kemudian
diadakan jahitan terus ke bawah.40
Bibir serviks uteri merupakan jaringan yang mudah mengalami perlukaan
pada waktu persalinan. Karena perlukaan itu porsio vaginalis uteri pada seorang
multipara terbagi dalam bibir depan dan belakang. Robekan serviks bisa
menimbulkan perdarahan banyak khususnya bila jauh ke lateral sebab ditempat itu
terdapat ramus desendens dari arteri uterine. Robekan ini dapat terjadi pada
persalinan normal tetapi yang paling sering ialah akibat tindakan- tindakan pada
persalinan buatan dengan pembukaan yang belum lengkap. Selain itu, penyebab
lain robekan serviks adalah partus preipitatus. Pada partus ini kontraksi uterus
kuat dan sering sehingga janin didorong keluar kadang-kadang sebelum
pembukaan lengkap. 40
Diagnosis perlukaan serviks dapat diketahui dengan pemeriksaan
speculum. Bibir serviks dijepit dengan cunam atraumatik, kemudian diperiksa
secara cermat. Bila ditemukan robekan serviks yang memanjang maka luka dijahit
dari ujung yang paling atas terus ke bawah. Pada robekan serviks yang berbentuk
melingkar diperiksa dahulu apakah sebagian besar dari serviks sudah lepas atau
tidak. Jika belum lepas bagian yang belum lepas itu dipotong dari serviks, jika
yang lepas hanya sebagian kecil saja maka itu dijahit lagi pada serviks. Perlukaan
dirawat untuk menghentikan perdarahan. 40
2.8.3 Robekan Vulva dan Vagina
Robekan pada dinding depan vagina sering kali terjadi di sekitar orifisium
uretra eksternum dan klitoris. Robekan pada klitoris dapat menimbulkan
perdarahan banyak. Kadang-kadang perdarahan tersebut tidak dapat diatasi hanya
dengan penjahitan, tetapi diperlukan penjepitan dengan cunam selama beberapa
hari. Robekan pada vagina dapat bersifat luka tersendiri, atau merupakan lanjutan
robekan perineum. Robekan vagina sepertiga bagian atas umumnya merupakan
lanjutan robekan serviks uteri. Pada umunya robekan vagina terjadi karena
regangan jalan lahir yang berlebihan dan tiba-tiba ketika janin dilahirkan. Bila
terjadi robekan pada dinding vagina akan timbul perdarahan segera setelah janin
lahir. Diagnose ditegakkan dengan mengadakan pemeriksaan langsung dengan
menggunakan speculum. 40
2.8.4 Ruptur Uteri40
Kejadian ini merupakan salah satu malapetaka terbesar dalam ilmu
kebidanan. Kematian anak mendekati 100% dan kematian ibu sekitar 30%. Secara
teori robekan rahim dapat dibagi sebagai berikut:
a. Spontan
- Karena dinding rahim lemah seperti pada luka seksio sesarea, luka
enukleasi mioma, dan hipoplasia uteri. Mungkin juga karena kuretase,
pelepasan plasenta secara manual dan sepsis pascapersalinan atau pasca
abortus
- Dinding rahim baik tetapi robekan terjadi karena bagian depan tidak
maju,misalnya pada panggul sempit atau kelainan letak.
- campuran
b. Violent (rudapaksa): karena trauma (kecelakaan) dan pertolongan versi dan
ekstrasi (ekspresi Kristeller)
Secara praktis pembagian robekan rahim adalah sebagai berikut:
1) Robekan spontan pada rahim yang utuh
Terjadi lebih sering pada multipara terutama pada grandemultipara
daripada primipara. Hal ini disebabkan oleh dinding rahim pada multipara sudah
lemah. Ruptur juga lebih sering terjadi pada orang yang berumur. Penyebab yang
penting adalah panggul sempit, letak lintang hidrosefalus, tumor yang
menghalangi jalan lahir dan presentasi atau dahi. Rupture yang spontan biasanya
terjadi pada kala pengeluaran tetapi ada kalanya sudah terjadi pada kehamilan.
Jika rupture terjadi pada kehamilan biasanya terjadi pada korpus uteri sedangkan
jika dalam persalinan terjadi pada segmen bawah rahim.
Ruptur uteri ada 2 macam yaitu rupture uteri complete (jika semua lapisan
dinding rahim sobek) dan rupture uteri incomplete (jika perimetrium masih utuh).
Sebelum terjadinya rupture biasanya ada tanda-tanda pendahuluan yang terkenal
dengan istilah gejala-gejala ancaman robekan rahim yaitu:
- Lingkaran retraksi patologis/ lingkaran Bndle yang tinggi mendekati pusat dan
naik terus
- Kontraksi rahim kuat dan terus menerus
- Penderita gelisah, nyeri di perut bagian bawah juga diluar HIS
- Pada palpasi segmen bawah rahim terasa nyeri (di atas simfisis)
- Ligamentum rotundum tegang juga diluar HIS
- Bunyi jantung anak biasanya tidak ada atau tidak baik karena anak mengalami
asfiksia yang disebabkan kontraksi dan retraksi rahim yang berlebihan.
- Air kencing mengandung darah karena kandung kencing teregang atau tertekan

Jika keadaan ini berlanjut terjadilah ruptur uteri. Gejala-gejala rupture uteri
adalah:
- Sewaktu kontraksi yang kuat pasien tiba-tiba merasa nyeri yang menyayat
dibagian bawah
- Segmen bawah rahim nyeri sekali pada saat dilakukan palpasi
- HIS berhenti/ hilang
- Ada perdarahan pervaginam walaupun biasanya tidak banyak
- Bagian-bagian anak mudah diraba jika anak masuk ke dalam rongga perut
- Kadang-kadang disamping anak teraba tumor yaitu rahim yang telah mengecil
- Pada pemeriksaan dalam ternyata bagian depan mudah ditolak ke atas bahkan
terkadang tidak teraba lagi karena masuk ke rongga perut
- Bunyi jantung anak tidak ada/tidak didengar
- Biasanya pasien jatuh dalam syok
- Jika sudah lama terjadi seluruh perut nyeri dan kembung
- Adanya kencing berdarah
- Adapun diagnose banding dari rupture uteri adalah solusio plasenta dan
kehamilan abdominal
2) Robekan violent
Dapat terjadi karena kecelakaan akan tetapi lebih sering disebabkan versi
dan ekstrasi. Kadang-kadang disebabkan oleh dekapitasi versi secara baxton
hicks, ektrasi bokong atau forcep yang sulit. Oleh karena itu sebaiknya setiap
versi dan ekstrasi dan operasi kebidanan lainnya yang sulit dilakukan eksplorasi
kavum uteri.
3) Robekan bekas luka seksio
Rupture uteri karena bekas seksio makin sering terjadi dengan
meningkatnya tindakan SC. Rupture uteri semacam ini lebih sering terjadi pada
luka bekas SC yang klasik dibandingkan dengan luka SC profunda.
Rupture uteri ini sering sukar didiagnosis. Tidak ada gejala-gejala yang
khas, mungkin hanya perdarahan yang lebih dari perdarahan pembukaan atau ada
perasaan nyeri pada daerah bekas luka.

2.9. Inversio Uteri


2.9.1. Defenisi41
Inversio uteri adalah keadaan dimana fundus uteri terbalik sebagian atau
seluruhnya masuk ke dalam kavum uteri. dapat keluar melalui kanalis servikalis
sehingga menonjol ke dalam vagina.
Pada inversio uteri, dimana uterus terputar balik dengan fundus uteri
terdapat dalam vagina dengan selaput lendirnya sebelah luar, keadaan ini disebut
inversio uteri completa.
Gambar 20. Tingkatan Inversio Uteri

Kalau hanya fundus menekuk ke dalam dan tidak keluar ostium uteri,
disebut inversio uteri incompleta. Kalau uterus yang berputar balik itu keluar dari
vulva, disebut inversio prolaps.
2.9.2. Epidemiologi
Inversio uteri adalah suatu kejadian emergency obstetrik yang sangat
jarang terjadi. Insiden dalam terjadinya inversio uteri adalah sebanyak 1 : 20.000
persalinan. Jika ianya tejadi haruslah di tangani dengan cepat karena dapat
menyebabkan terjadinya kematian akibat pendarahan yang banyak.42,43 Walaupun
kejadian inversio uteri sangat jarang, tetapi merupakan komplikasi persalinan
yang serius. Hal ini terjadi karena inversio uteri dapat mengancam kehidupan
dengan adanya perdarahan sampai syok, sepsis, bahkan kematian. Dilaporkan
90% kematian terjadi dalam 2 jam post partum akibat perdarahan atau syok.41
2.9.3. Etiologi
Etiologi inversio uteri terbanyak adalah kombinasi antara implantasi
plasenta di fundus yang abnormal dan atoni uterus. Faktor-faktor predisposisinya
adalah: plasenta akreta, tali pusat pendek, implantasi plasenta di fundus,
penekanan pada fundus sewaktu melahirkan plasenta, tarikan berlebihan pada tali
pusat, gangguan kontraksi uterus, kelainan kongenital uterus. Banyak klasifikasi
inversio uteri yang dikemukakan penulis, akan tetapi umumnya klasifikasi
berdasarkan waktu kejadian dan derajat kelainannya.
Berdasarkan waktu kejadian :42
1. Inversio akut, terjadi segera setelah persalinan.
2. Inversio subakut, terbentuknya cincin kontriksi pada servik.
3. Inversio kronik, lebih dari 4 minggu pasca persalinan.
Berdasarkan Penyebab :41
1. Inversio Uteri Non Obstetri
Biasanya disebabkan oleh mioma uteri submukosum atau neoplasma yang
lain
2. Inversio Uteri Obstetri
Merupakan inversio uteri tersering yang terjadi setelah persalinan.
3. Spontan : grande multipara, atoni uteri, kelemahan alat kandungan,
tekanan intra abdominal yang tinggi (mengejan dan batuk).
4. Tindakan : cara Crade yang berlebihan, tarikan tali pusat, manual plasenta
yang dipaksakan, perlekatan plasenta pada dinding rahim.
Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya inversio uteri :44
1. Tonus otot rahim yang lemah, yaitu uterus yang lembek, lemah, tipis
dindingnya.

2. Tekanan atau tarikan pada fundus (tekanan intraabdominal, tekanan


dengan tangan, tarikan tali pusat yang berlebihan)

Gambar 21. Penarikan tali pusat berlebihan menyebabkan inversio uteri


Gambar 22. Inversio Uteri total

2.9.4. Klasifikasi
Berdasarkan derajat kelainan :41

Derajat Keterangan
Pertama - Inversio uteri hanya sampai ostium uteri internum.
- Masih teraba sedikit fundus uteri atau terdapat lekukan.
Kedua - Seluruh endometrium terbalik tetapi tidak sampai di luar perineum
- Sewaktu palpasi tinggi fundus uteri sudah tidak dapat di raba/
hilang
Ketiga - Seluruh dinding endometrium terbalik sampai tampak di luar
perineum.
- Fundus uteri sama sekali tidak dapat di raba.
Keempat - Vagina juga ikut keluar bersama inversio uteri yaitu keluar
bersama melalui vulva.

2.9.5. Patofisiologi
Mekanisme patofisiologis yang mendasari inversio uteri yang sebenarnya
masih belum diketahui. Secara klinis, faktor utama yang mempengaruhi untuk
inversi uteri adalah plasenta yang berimplantasi di fundus, lemah dan lunaknya
endometrium di lokasi implantasi plasenta, serta dilatasi serviks segera post
partum. Dalam beberapa kasus, terdapatnya tali pusat yang pendek dan tarikan tali
pusat yang berlebihan juga berkontribusi untuk inversi uteri.43
Inversio uteri adalah keadaan dimana fundus uteri terbalik sebagian atau
seluruhnya masuk.Ini adalah merupakan komplikasi kala III persalinan yang
sangat ekstrem. Inversio uteri terjadi dalam beberapa tingkatan, mulai dari bentuk
ekstrem berupa terbaliknya terus sehingga bagian dalam fundus uteri keluar
melalui servik dan berada diluar seluruhnya ke dalam kavum uteri.44
Untuk menghasilkan suatu inversi, uterus harus melanjutkan kontraksi
pada waktu yang tepat untuk memaksa fundus sebelumnya terbalik atau massa
fundus plasenta, terbalik ke arah segmen bawah uterus. Jika serviks berdilatasi
kekuatan kontraksi cukup dan cukup kuat, dinding endometrium melalui itu,
menghasilkan inversi lengkap.Jika situasi kurang ekstrem dari dinding itu, fundus
sendiri terjebak dalam rongga rahim, menghasilkan inversi parsial.43,44
Dalam inversi lengkap pada fundus melalui serviks, jaringan serviks
berfungsi sebagai band konstriksi dan edema cepat bentuk. Massa kemudian
tumbuh semakin prolaps dan akhirnya menghalangi aliran vena dan arteri,
menyebabkan terjadinya edema. Jadi, penanganan inversi uteri menjadi lebih sulit.
Dalam kasus-kasus kronis atau yang lambat ditangani, bisa menyebabkan nekrosis
jaringan.44
Oleh karena servik mendapatkan pasokan darah yang sangat banyak, maka
inversio uteri yang total dapat menyebabkan renjatan vasovagal dan memicu
terjadinya perdarahan pasca persalinan yang masif akibat atonia uteri yang
menyertainya. Inversio Uteri dapat terjadi pada kasus pertolongan persalinan kala
III aktif khususnya bila dilakukan tarikan talipusat terkendali pada saat masih
belum ada kontraksi uterus dan keadaan ini termasuk klasifikasi tindakan
iatrogenik.43,44
2.9.6. Diagnosis Dan Gejala Klinis 43
Inversio uteri sering kali tidak menampakkan gejala yang khas, sehingga
diagnosis sering tidak dapat ditegakkan pada saat dini.Syok merupakan gejala
yang sering menyertai suatu inversio uteri.
Syok atau gejala-gejala syok terjadi tidak sesuai dengan jumlah
perdarahan yang terjadi, oleh karena itu sangat bijaksana bila syok yang terjadi
setelah persalinan tidak disertai dengan perdarahan yang berarti untuk
memperkirakan suatu inversio uteri. Syok dapat disebabkan karena nyeri
hebat,akibat ligamentum yang terjepit di dalam cincin serviks dan rangsangan
serta tarikan pada peritoneum atau akibat syok kardiovaskuler.
Perdarahan tidak begitu jelas, kadang-kadang sedikit, tetapi dapat pula
terjadi perdarahan yang hebat, menyusul inversio uteri prolaps dimana bila
plasenta lepas atau telah lepas perdarahan tidak berhenti karena tidak ada
kontraksi uterus.Perdarahan tersebut dapat memperberat keadaan syok yang telah
ada sebelumnya bahkan dapat menimbulkan kematian. Dilaporkan 90% kematian
terjadi dalam dua jam postpartum akibat perdarahan atau syok.
Pada pemeriksaan palpasi, didapatkan cekungan pada bagian fundus uteri,
bahkan kadang-kadang fundus uteri tidak dijumpai dimana seharusnya fundus
uteri dijumpai pada pemeriksaan tersebut.Pada pemeriksaan dalam teraba tumor
lunak di dalam atau di luar serviks atau di dalam rongga vagina, pada keadaan
yang berat (komplit).tampak tumor berwarna merah keabuan yang kadang-kadang
plasenta masih melekat dengan ostium tuba dan endometrium berwarna merah
muda dan kasar serta berdarah.
Tetapi hal ini dibedakan dengan tumor / mioma uteri submukosa yang
terlahir, pada mioma uteri.fundus uteri masih dapat diraba dan berada pada
tempatnya serta jarang sekali mioma submukosa ditemukan pada kehamilan dan
persalinan yang cukup bulan atau hampir cukup bulan. Pada kasus inversio uteri
yang kronis akan didapatkan gangren dan strangulasi jaringan inversio oleh cincin
serviks.

2.9.7. Diagnosis43
Untuk menegakkan diagnosis inversio uteri dilakukan palpasi abdomen
dan pemeriksaan dalam.
1. Dijumpai pada kala III atau post partum dengan gejala nyeri yang hebat,
perdarahan yang banyak sampai syok. Apalagi bila plasenta masih melekat
dan sebagian sudah ada yang terlepas dan dapat terjadi strangulasi dan
nekrosis.
2. Pemeriksaan dalam :
- Bila masih inkomplit maka pada daerah simfisis uterus teraba fundus uteri
cekung ke dalam.
- Bila komplit, fundus uteri tidak dapat diraba, di atas simfisis uterus teraba
kosong dan dalam vagina teraba tumor lunak.
- Kavum uteri sudah tidak ada (terbalik).
2.9.8. Penatalaksanaan43
Tindakan yang dapat dilakukan sebagi berikut:
1. Memanggil bantuan anestesi dan memasang infus untuk cairan/darah
penganti dan pemberian obat.
2. Beberapa memberikan tokolitik/MgSO4 untuk melemaskan uterus
yang terbalik sebelum dilakukan reposisi manual yaitu-mendorong
endometrium ke atas masuk ke dalam vagina dan terus melewati serviks
sampai tangan masuk ke dalam uterus pada posisi normal. Hai itu dapat
dilakukan sewaktu plasenta sudah terlepas atau tidak.

Gambar 22. Reposisi Inversio Uteri


( a ) Inversio uteri total ( b ) Reposisi uterus melalui servik. ( c ) Restitusi uterus

3. Di dalam uterus plasenta dilepaskan secara manual dan bila berhasil


dikeluarkan dari rahim dan sambil memberikan uterotonika lewat infus atau
i.m tangan tetap diperthankan agar konfigurasi uterus kembali normal dan
tangan operator baru dilepaskan.
4. Pemberian antibiotika dan tranfusi darah sesuai dengan
keperluannya.
5. Intervensi bedah dilakukan bila karena jepitan serviks yang keras
menyebabkan maneuver di atas tidak bias dikerjakan, maka dilakukan
laparotomi untuk reposisi dan kalau terpaksa dilakukan histerektomi bila
uterus sudah mengalami infeksi dan nekrosis
Dalam memimpin persalinan harus dijaga kemungkinan terjadinya
inversio uteri.Tarikan pada tali pusat sebelum plasenta benar-benar lepas
sebaiknya tidak dilakukan apabila dicoba melakukan perasat Crede harus
diindahkan sepenuhnya syarat-syaratnya. Pendorongan rahim juga tidak
dibenarkan.42,45
Apabila terjadi inversio uteri dengan gejala-gejala syok, yang pertama
dilakukan adalah memperbaiki keadaan umumnya, dengan memberikan oksigen,
infus intravena cairan elektrolit dan transfusi darah.Segera sesudah itu dilakukan
reposisi dengan anestesi umum. Caranya yaitu dengan memasukkan satu tangan
seluruhnya ke dalam vagina sedangkan jari-jari tangan dimasukkan ke dalam
kavum uteri melalui serviks uteri, telapak tangan menekan korpus perlahan-lahan
tetapi terus menerus ke arah atas agak ke depan sampai korpus uteri melewati
serviks dan inversio ditiadakan. Kemudian dilakukan tamponade vagina.41,42,45
2.9.9. Komplikasi
a. Keratinisasi mukosa vagina dan portio uteri
b. Dekubitis
c. Hipertropi serviks uteri dan elongasioa
d. Gangguan miksi dan stress inkontenensia
e. Infeksi saluran kencing
f. Infertilitas
g. Gangguan partus
h. Hemoroid
i. Inkarserasi usus.
2.10. Gangguan Pembekuan Darah
Kausal perdarahan post partum karena gangguan pembekuan darah baru
dicurigai bila penyebab yang lain dapat disingkirkan apalagi disertai ada riwayat
pernah mengalami hal yang sama pada persalinan sebelumnya. Akan ada tendensi
mudah terjadi perdarahan setiap dilakukan penjahitan dan perdarahn akan
merembes atau timbul hematoma pada bekas jahitan, suntikan, perdarahan dari
gusi, rongga hidung dan lain-lain.
Gejala-gejala kelainan pembekuan darah berupa penyakit keturunan
ataupun didapat, di antaranya:
a. Hipofibrinogenemia, kelainan pembuluh darah yang disebabkan karena
defisiensi fibrinogen dapat dijumpai pada: solusio plasenta, kematian
hasil konsepsi yang tertahan lama dalam uterus, embolismus air
ketuban, sepsis, dan eklampsia.5
b. Trombositopeni, kurangnya jumlah trombosit pada darah atau
trombositopenia merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya PPH, 3%
dari kasus PPH karena trombositopenia disebabkan oleh Idiopathic
thrombocytopenic purpura (ITP). ITP merupakan suatu keadaan perdarahan
berupa petekie atau ekimosis di kulit/selaput lendir dan berbagai
jaringan dengan penurunan jumlah trombosit karena sebab yang tidak
diketahui, lebih sering terjadi pada wanita. ITP merupakan penyulit yang
jarang dijumpai dalam kehamilan. Diagnosis dapat dibuat apabila ada
purpura pada kulit, uji tourniquet positif, jumlah trombosit kurang dari
100.000 per milimeter kubik, ada perpanjangan masa perdarahan,
retraksi beku, dan konsumsi protrombin, dan jumlah megakariosit
dalam sumsum tulang lebih banyak.5
c. ITP adalah salah satu gangguan perdarahan di dapat yang paling umum
terjadi. ITP adalah sindrom yang di dalamnya terdapat penurunan jumlah
trombosit yang bersirkulasi dalam keadaan sum- sum normal. Penyebab
sebenarnya tidak diketahui, meskipun diduga disebabkan oleh agen virus
yang merusak trombosit. Pada umumnya gangguan ini didahului oleh
penyakit dengan demam ringan 1-6 minggu sebelum timbul gejala.
Gangguan ini dapat digolongkan menjadi 3 jenis, yaitu akut, kronik dan
kambuhan. Pada anak-anak mula-mula terdapat gejala diantaranya
demam, perdarahan, petekie, purpura dengan trombositopenia dan
anemia.46
d. Sindrom HELLP
Merupakan kumpulan tanda dan gejala : H untuk Hemolysis, EL untuk
Elevated Liver Enzymes, dan LP untuk Low Platelets. Patogenesis
sindrom HELLP belum jelas. Sampai sekarang tidak ditemukan faktor
pencetusnya, kelihatannya merupakan akhir dari kelainan yang
menyebabkan kerusakan endotel mikrovaskuler dan aktivasi trombosit
intravaskuler, akibatnya terjadi agregasi trombosit dari selanjutnya
kerusakan endotel. Peningkatan kadar enzim hati diperkirakan sekunder
dari obstruksi aliran darah hati oleh deposit fibrin pada sinusoid.
Trombositopeni dikaitkan dengan peningkatan pemakaian dan atau

destruksi trombosit.47
Kriteria diagnosis sindrom HELLP terdiri: Hemolisis, kelainan apus
darah tepi, total bilirubin >1,2mg/dl, laktat dehidrogenase (LDH)
>600U/L. Peningkatan fungsi hati, serum aspartat aminotransferase
(AST) >70U/L, laktat dehidrogenase (LDH) >600 U/L. Jumlah trombosit
<100.000/mm3.48
e. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)
Adalah suatu keadaan dimana bekuan-bekuan darah kecil tersebar di
seluruh aliran darah, menyebabkan penyumbatan pada pembuluh darah
kecil dan berkurangnya faktor pembekuan yang diperlukan untuk
mengendalikan perdarahan. Orang-orang yang memiliki resiko paling
49
tinggi untuk menderita DIC:
- Wanita yang telah menjalani pembedahan kandungan atau persalinan
disertai komplikasi, dimana jaringan rahim masuk ke dalam aliran
darah.
- Penderita infeksi berat, dimana bakteri melepaskan endotoksin (suatu zat
yang menyebabkan terjadinya aktivasi pembekuan).
- Penderita leukemia tertentu atau penderita kanker lambung, pankreas
maupun prostat.
DIC biasanya muncul tiba-tiba dan bisa bersifat sangat berat. Jika
keadaan ini terjadi setelah pembedahan atau persalinan, maka
permukaan sayatan atau jaringan yang robek bisa mengalami perdarahan
hebat dan tidak terkendali. Perdarahan bisa menetap di daerah tempat
penyuntikan atau tusukan. Perdarahan masif bisa terjadi di dalam otak,
saluran pencernaan, kulit, otot dan rongga tubuh. Bekuan darah di dalam
pembuluh darah yang kecil bisa merusak ginjal (kadang sifatnya
menetap) sehingga tidak terbentuk air kemih.49

f. Dilutional coagulopathy bisa terjadi pada transfusi darah lebih dari 8 unit
karena darah donor biasanya tidak fresh sehingga komponen fibrin dan
trombosit sudah rusak.25
Jika tes koagulasi darah menunjukkan hasil abnormal dari onset
terjadinya perdarahan post partum, perlu dipertimbangkan penyebab yang
mendasari terjadinya perdarahan post partum, seperti solutio plasenta, sindroma
HELLP, fatty liver pada kehamilan, IUFD, emboli air ketuban dan septikemia.
Ambil langkah spesifik untuk menangani penyebab yang mendasari dan kelainan
hemostatik. 47
Penanganan DIC identik dengan pasien yang mengalami koagulopati
dilusional. Restorasi dan penanganan volume sirkulasi dan penggantian
produk darah bersifal sangat esensial. Perlu saran dan ahli hematologi pada kasus
transfusi masif dan koagulopati.47
Konsentrat trombosit yang diturunkan dari darah donor digunakan
pada pasien dengan trombositopenia kecuali bila terdapat penghancuran
trombosit dengan cepat. Satu unit trombosit biasanya menaikkan trombosit

sebesar 5.000 - 10.000/mm3. Dosis biasa sebesar kemasan 10 unit diberikan


bila gejala-gejala perdarahan telah jelas atau bila hitung trombosit di bawah

20.000/mm3, transfusi trombosit diindakasikan bila hitung trombosit 10.000-

50.000/mm3, jika direncanakan suatu tindakan operasi, perdarahan aktif atau


diperkirakan diperlukan suatu transfusi yang masif. Transfusi ulang mungkin
dibutuhkan karena masa paruh trombosit hanya 3-4 hari.25,48
Plasma segar yang dibekukan adalah sumber fektor-faktor pembekuan
V, VII, IX, X dan fibrinogen yang paling baik. Pemberian plasma segar tidak
diperlukan adanya kesesuaian donor, tetapi antibodi dalam plasma dapat
bereaksi dengan sel-sel penerima. Bila ditemukan koagulopati. dan belum
terdapat pemeriksaan laboratorium, plasma segar yang dibekukan harus dipakai
secara empiris25
Kriopresipitat, suatu sumber faktor-faktor pembekuan VIII, XII dan
fibrinogen, dipakai dalam penanganan hemofilia A, hipofibrinogenemia dan
penyakit von Willebrand. Kuantitas faktor-fektor ini tidak dapat diprediksi
untuk terjadinya suatu pembekuan, serta bervariasi menurut keadaan klinis.25
BAB III

LAPORAN KASUS

Seorang wanita 33 tahun datang ke KB IGD RSUP Dr. M. Djamil Padang


pada tanggal 7 April 2019 pukul 09.00 wib diantar ambulance RS swasta dengan
identitas pasien:
Nama : Ny. D
Umur : 33 tahun
Alamat : Pasar raya, Padang
MR : 01.04.55.47
Tanggal masuk : 7 April 2019
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Ibu rumah tangga

ANAMNESIS
Keluhan Utama:
Seorang wanita 33 tahun datang ke KB IGD RSUP Dr. M. Djamil Padang
pada tanggal 7 April 2019 pukul 09.00 WIB diantar ambulance RS swasta dengan
keluhan keluar darah dari kemaluan setelah melahirkan sejak ± 1 jam SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang:


 Sebelumnya pasien melahirkan di rumah bidan pukul 08.00 WIB. Lahir bayi
perempuan , Plasenta tidak lahir dan darah keluar dari kemaluan, kemudian
keluarga menelpon ambulance salah satu rs swasta untuk meminta
pertolongan, selanjutnya pasien dirujuk ke RSUP M Djamil dengan terpasang
infus oleh petugas ambulance.
 Keluar darah yang banyak dari kemaluan (+) warna merah kehitaman,
membasahi 1 helai seprai.
 Nyeri ari-ari (+)
 Ini adalah persalinan pasien yang ke 5
 Selama kehamilan, pasien tidak pernah kontrol ke tenaga kesehatan.
 RHM dan RHT : mual (-), muntah (-), perdarahan (-)
Riwayat penyakit dahulu:
 Tidak ada riwayat penyakit jantung, paru, hati, ginjal, DM, hipertensi dan
riwayat alergi obat
 Tidak ada riwayat kakak anak dijemput sebelumnya

Riwayat penyakit keluarga:


 Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit keturunan, menular dan
kejiwaan

Riwayat pernikahan: 1x tahun 2010


Kehamilan/abortus/persalinan: 5/0/5
 2011, perempuan, ditolong dukun, hidup
 2013, perempuan, ditolong dukun, hidup
 2015, laki-laki, 3600 gram, cukup bulan, ditolong bidan, hidup
 2018, perermpuan, ditolong dukun, hidup
 2019, perempuan, sekarang.

Riwayat kontrasepsi : (-)


Riwayat Imunisasi : (-)
Riwayat pendidikan : SMP
Riwayat pekerjaan : Ibu rumah tangga
Riwayat kebiasaan : merokok (-), alkohol (-), obat-obatan (-)

Pemeriksaan fisik :

KU Kes TD ND NF T SO2

Sedang CMC 70/40 99 26 36,8 97%

O2 4l
Kanul
nasal
TB : 152 cm
BB : 68 kg BB sebelum Hamil : 54 kg
LILA : 26 cm BMI : 23,22 normoweight

Kulit : teraba hangat, turgor baik


KGB : tidak teraba pembesaran KGB
Kepala : normocephal
Rambut : rambut hitam dan tidak mudah rontok
Mata : Konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik
Telinga : tidak ada kelainan
Hidung : tidak ada kelainan
Tenggorokan : tidak ada kelainan
Gigi & Mulut : karies dentis (-)
Leher : pembesaran kelenjar tiroid (-), JVP 5 – 2 cmH2O
Toraks :
Cor : batas jantung dbn, gallop (-), murmur (-)
Pulmo : rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : Status obstetrikus
Punggung : tidak ada kelainan
Genitalia : Status obstetrikus
Anus : tidak dilakukan
Ekstremitas : refleks fisiologis (+/+) normal, refleks patologis (-/-), akral dingin

Status Obstetrikus
Abdomen : Fundus uteri teraba setinggi umbilikus
Genitalia : V/U tenang, uretra terpasang kateter urin: 100 cc sewaktu,
warna kuning pekat
PPV (+) , merembes, berwarna merah kehitaman
Tampak tali pusat menjulur keluar melalui introitus vagina.
Laserasi perineum (-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium

Hasil Rujukan

Hemoglobin 2,6 gr/dl 9,5-15,0

Leukosit 12,320 /mm3 5.9–16.9

Hematokrit 11 % 28.0–40.0

Trombosit 299.000/mm3 146–429

APTT 30,7 detik 29,2 – 39,4 det

PT 10,3 detik 10,0 – 13,6 det

DIAGNOSIS
Post syok hipovolemik teratasi ec Early HPP e.c retensio plasenta pada
P5A0H5 post partus pervaginam diluar + anemia berat

TATALAKSANA
Kontrol KU, VS, PPV
Informed consent
O2 kanul nasal 4liter/menit
IVFD RL + oksitosin 20 iu  28 tpm
IVFD HES  16 tpm
Crossmatch PRC 6 unit
Inj Ceftriaxone 2gr
Konsul anestesi, lapor OK

P/ Manual plasenta
Follow up
Pukul 9.30 WIB
Placenta lahir spontan, lengkap 1 buah ukuran 16 x 15 x 3 cm, berat 450 gram,
PJTP 50 cm, insersi parasentralis.
Kontraksi uterus baik
Dilakukan inspekulo --> Porsio dan vagina intak, laserasi (-), perdarahan (-)

Diagnosa:
Post syok hipovolemik teratasi pada P5A0H5 post partus pervaginam diluar +
anemia berat

Tatalaksana:
Kontrol KU, VS, Kontraksi uterus, PPV
IVFD RL + (Oxytocyn 10 IU + Methilergometrin 0,2mg)  28 gtt/i
Misoprostol 400 µg /rectal/8jam
Inj. Ceftriaxon 2x1g i.v
Tranfusi 2 kolf PRC
Cek lab darah post tindakan

Rencana:
Transfusi PRC sampai hb > 10 gr
BAB IV
DISKUSI

Seorang wanita 33 tahun datang ke KB IGD RSUP Dr. M. Djamil Padang


pada tanggal 7 April 2019 pukul 09.00 WIB diantar ambulance RS swasta dengan
keluhan keluar darah dari kemaluan setelah melahirkan sejak ± 1 jam SMRS.
Pasien datang dengan keluhan keluar darah dari kemaluan setelah
melahirkan sejak ± 1 jam sebelum masuk ke rumah sakit. Sebelumnya pasien
melahirkan anak kelima di rumah bidan. Lahir bayi perempuan dengan BB
3300gr, PB 50 cm, langsung menangis di bidan dengan plasenta tertahan di
kavum uteri, kontraksi lemah, pada pasien telah dilakukan manajemen tali pusat
terkendali selama ± 30 menit tapi plasenta belum keluar. Darah banyak keluar dari
kemaluan, kemudian keluarga menelpon ambulance salah satu rs swasta untuk
meminta pertolongan, selanjutnya pasien dirujuk ke RSUP M Djamil dengan
terpasang infus oleh petugas ambulance.
Berdasarkan anamnesis hal ini sesuai dengan pengertian perdarahan post
partum. Perdarahan post partum adalah perdarahan atau hilangnya darah 500cc
atau lebih yang terjadi setelah anak lahir dan didukung dengan definisi retensio
plasenta yaitu plasenta tertinggal di kavum uteri setelah dilakukan manajemen tali
pusat terkendali.20,26
Dari pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak anemis, fundus uteri
teraba setinggi umbilikus, ditemukan adanya perdarahan pervaginam, merembes
dan berwarna merah kehitaman. Tampak tali pusat menjulur keluar melalui
introitus vagina. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan kesan anemia berat
(Hb = 2.6 gr/dL). Hal ini menandakan sudah terjadi syok hipovolemik pada pasien
dan mengeluarkan darah banyak sehingga tampak anemis.
Pada pasien ini diberikan O2 nasal kanul 4L/ menit, IVFD Ringer Laktat
dengan oksitosin 20 IU untuk merangsang kontraksi pada pasien dalam
pengeluaran plasenta. Pasien juga diberikan IVFD HES untuk mengatasi syok
hipovolemik yang terjadi pada pasien tersebut. Anemia berat yang terjadi pada
pasien mengindikasikan untuk dilakukan transfuse darah sehingga harus
dilakukan crossmatch PRC 6 unit terlebih dahulu. Pemberian injeksi ceftriaxone
untuk mencegah terjadinya infeksi pada pasien tersebut. Pasien dilakukan manual
plasenta, plasenta lahir dengan lengkap, ukuran 16x15x3 cm, berat ± 450 gram,
panjang tali pusat 50cm, kontraksi uterus baik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Hanifa W. Ilmu Bedah Kebidanan Edisi Keempat Cetakan Ketiga. Jakarta:


Yayasan Bina Pustaka sarwono Prawirohardjo; 2013.
2. Parisei, Maryam, Shailendra, Archana, Dutta, Ruma, Broadbent, J A Mark.
2008. Obstetrics and gynecology. Ed 2. Elsevier.
3. Gondo, Harry Kurniawan.Penanganan Perdarahan Post Partum, Lecturer
4. Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya.2010
5. Shane, B. Mencegah Pcrdarahan Pasca Persalinan: Menangani Persalinan
Kala Tiga. Outlook, [online]. 2002. Juni. [cited 2012 Januari 28]. Volume
19, Hal. 1-9. Available from: URL: http://www.path.org.
6. Hanifa Wiknjosastro. Gangguan dalam kala III persalinan. Dalam :
Abdul, Trijatmo, eds. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo; 1999. Hal. 653.
7. Joko, ed. Dasar-dasar obstetri dan ginekologi Jakarta: Hipokrates; 2001.
8. Mike, ed. Buku panduan high risks obstetrics: firedrills and
workshop. Jakarta: the Royal College of Obstetricians and Gynaecologists;
2001.
9. Badriyah. Pengaruh faktor resiko terhadap perdarahan ibu post partum di
RS Syarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan. Jurnal penelitian kesehatan
suara forikes. [online]. 2011. Januari. [cited 2012 Januari 30]. Volume 11.
Hal. 31. Available from. URL: http://www. google.com
10. Angka Kematian Ibu. 2012. Available in URL: www.menegpp.go.id
11. Emilia, O. Etiologi dan Faktor Resiko PPH. [online] 2011. [cited 2012
Maret15]. Available from :
https://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:ri08
yAqykogJ:obginugm.com/index.php
12. Smith, J. R., Brerman, B. G., Postpartum Hemorrhage, [online]. 2004.
[cited 2012 Januari 30]. Available from: URL: http://www.emedicine.com
13. Alan, Lauren, eds. Postpartum hemorrhage. United States of America:
McGraw Hill Company; 2007.
14. Errol, ed. Obstetrics and gynecology at a glance. Oxford: Blackwell; 2001.
15. Geoffrey, ed. Obstetrics by ten teachers. London: Oxford University
Press; 1995.
16. Cunningham FG etc, editor. Williams Obstetrics 20th edition. Connecticut:
Applenton Lange. 1998.
17. Febrianto H.N. Perdarahan Pasca Persalinan. Fakultas Kedokteran.
Universitas Sriwijaya. 2007.
18. Anderson J, Etches DJ. Prevention and Management of Postpartum
Hemorrage. Am Fam physician. 2007. 558: 75 – 82.
19. Pelatihan Pelayanan Obstetri Emergensi Dasar. Atonia Uteri. Bagian
Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Makassar.2008
20. C. V-Lynch, L. G. Keith,A. B. Lalonde, and M. Karoshi, Eds. A Textbook of
Postpartum Hemorrhage. A Comprehensive Guide to Evaluation,
Management and Surgical Intervention. Sapiens Publishing. 2006.
21. Mochtar R. Sinopsis Obstetri Jilid I Edisi 2. Jakarta: EGC; 1998.
22. Sastrawinata S, Martaadisoebrata D, Wirakusumah FF. Obstetri Patologi
Ilmu Kesehatan Reproduksi Edisi 2. Jakarta: EGC; 2004.
23. Rohani, Sasmita R, Marisah. Asuhan Kebidanan Pada Masa Persalinan.
Jakarta: Salemba Medika; 2011.
24. Prawirohardjo S. Ilmu Kebidanan Edisi Keempat Cetakan Ketiga. Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka sarwono Prawirohardjo; 2010.
25. Heller L. Gawat Darurat Ginekologi dan Obstetri (Emergencies in
Gynecology and Obstetrics). Jakarta: EGC; 1997.
26. Hanifa W. Ilmu Bedah Kebidanan Edisi Pertama Cetakan Ketujuh. Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka sarwono Prawirohardjo; 2007.
27. Jevuska. Patofisiologi Retensio Plasenta. 2013 Diakses pada tanggal 18 Juni
2019 dari http://www.jevuska.com/2011/09/10/patofisiologi-retensio-
plasenta
28. Weeks AD. The Retained Placenta. USA: National Center for
Biotechnology Information, U.S. National Library of Medicine from
African Health Sciences Makerere Medical School; 2001. Diakses pada
tanggal 18 Juni 2019 dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2704447/

29. Memon SR, Talpur NN, Korejo RK. Rawal Medical Journal Volume 36
Number 4 : Outcome of Patients Presenting With Retained Placenta.
Pakistan: Departemen of Obstetrics and Ginecology; 2011. Diakses pada
tanggal 18 Juni 2019 dari www.scopemed.org/fulltextpdf.php?mno=12733
30. DeCherney AH, Nathan L. Curren. Obstetric & Gynecologic Diagnosis &
Treatment, Ninth Edition: Postpartum Hemorrhage & Abnormal
Puerperium: Retained Placenta Tissue. California: The McGraw-Hill
Companies, Inc; 2003. 28:323-327.
31. Hill M. Placental Development. UNSW Embryology; 2013. Diakses pada
tanggal 18 Juni 2019 dari
http://php.med.unsw.edu.au/embryology/index.php?title=Placenta_Develop
ment
32. Sastrawinata S, Martaadisoebrata D, Wirakusumah FF. Obstetri Patologi
Ilmu Kesehatan Reproduksi Edisi 2. Jakarta: EGC; 2004.
33. Anonim. Perdarahan Post Partum Akibat Plasenta Rest. 2012. Diakses
pada tanggal 18 Juni 2019 dari
http://www.scribd.com/doc/135982233/Plasenta-Rest-Edit
34. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap III LG, Hauth JC,
Wenstrom KD. Obstetri Williams Volume 1 Edisi 21. Jakarta: EGC; 2005.
35. Prabowo E. Retensio Plasenta. Jakarta:
http://samoke2012.files.wordpress.com/2012/10/retensio-plasenta.pdf
36. Weeks AD. The Retained Placenta. USA: National Center for
Biotechnology Information, U.S. National Library of Medicine from
African Health Sciences Makerere Medical School; 2001. Diakses pada
tanggal 18 Juni 2019 dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2704447/
37. Pernoll ML. Benson & Pernonoll’s Handbook of Obstetrics & Gynecology
Tenth Edition. New York: McGraw-Hill; 2001. 6:173-177; 11:341-342.
38. Memon SR, Talpur NN, Korejo RK. Rawal Medical Journal Volume 36
Number 4 : Outcome of Patients Presenting With Retained Placenta.
Pakistan: Departemen of Obstetrics and Ginecology; 2011. Diakses pada
tanggal 18 Juni 2019 dari www.scopemed.org/fulltextpdf.php?mno=12733
39. Committee Opinion. Placenta Accreta. Washington DC: American
Congress of Obstetricians and Gynecologists; 2012. Diakses pada tanggal
18 Juni 2019 dari
http://www.acog.org/Resources%20And%20Publications/Committee%20O
pinions/Committee%20on%20Obstetric%20Practice/Placenta%20Accreta.a
spx
40. Anonim. Buku Acuan Pelayanan Obstetri Emergensi Dasar: Retensio
Plasenta. Bab 4-10.
41. Sarwono 2006
42. KA. Rana, P.S. Patel. Complete uterine inversion. American Institute of
Ultrasound in Medicine .J Ultrasound Med 2009; 28:1719–1722
43. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, et all. Obstetrical Hemorrhage.
Dalam: Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, et all. Williams Obstetrics.
Edisi ke-23. New York. McGraw Hill,2010; 757 – 801
44. MK Karkata. Pendarahan Pasca Persalinan. Dalam: Prawihardjo S. Ilmu
Kebidanan. Edisi ke-4. Jakarta. PT Bima Pustaka,2010; 522 – 29
45. JP O’Grady, ME Rivlin. Uterine Inversion, Malposition of the Uterus.
Dalam :Obstetric Syndromes and Conditions. New York, NY: Parthenon;
2006
46. RS Gibbi, BY Karlan, AF Harney et all. Post Partum Hemorrhage. Dalam :
RS Gibbi, BY Karlan, AF Harney et all. Danforth's Obstetrics and
Gynecology. Edisi ke-10. New York. Lippincott Williams & Wilkins, 2008
47. Hanretty, ed. Obstetrics illustrated. London: Churchill; 2003.
48. ITP.Available from: URL: http://www.forbetterhealth.wordpress.com
49. John R. Sindrom HELLP. Cermin dunia kedokteran. [online]. 2006.
[cited 2012 Februari 20]: Volume 151. Hal. 24. Available from: URL:
http://www. google com
50. DIC.Available from: URL: http://www.medicastore.com
51. Clark SL, Koonings PP, Phelan JP: Placenta previa/accreta and prior
caesarean section. Obstet Gynecol 66: 89, 1995.
52. Placenta Previa. Available from:
www.medbroadcast.com/condition/getcondition/Placentaprevia

Anda mungkin juga menyukai