Anda di halaman 1dari 9

TRAUMA KIMIA

Diagnosis
Diagnosis pada trauma mata dapat ditegakkan melalui gejala klinis, anamnesis dan
pemeriksaan fisik dan penunjang. Namun hal ini tidaklah mutlak dilakukan dikarenakan
trauma kimia pada mata merupakan kasus gawat darurat sehingga hanya diperlukan
anamnesa singkat.1
Gejala Klinis
Terdapat gejala klinis utama yang muncul pada trauma kimia yaitu, epifora,
blefarospasme, dan nyeri berat. Trauma akibat bahan yang bersifat asam biasanya dapat
segera terjadi penurunan penglihatan akibat nekrosis superfisial kornea. Sedangkan pada
trauma basa, kehilangan penglihatan sering bermanifestasi beberapa hari sesudah kejadian.
Namun sebenarnya kerusakan yang terjadi pada trauma basa lebih berat dibanding trauma
asam.1
Anamnesis
Pada anamnesis sering sekali pasien menceritakan telah tersiram cairan atau
tersemprot gas pada mata atau partikel-partikelnya masuk ke dalam mata. Perlu diketahui apa
persisnya zat kimia dan bagaimana terjadinya trauma tersebut (misalnya tersiram sekali atau
akibat ledakan dengan kecepatan tinggi) serta kapan terjadinya trauma tersebut.1
Perlu diketahui apakah terjadi penurunan visus setelah cedera atau saat cedera terjadi.
Onset dari penurunan visus apakah terjadi secara progresif atau terjadi secara tiba tiba. Nyeri,
lakrimasi, dan pandangan kabur merupakan gambaran umum trauma. Dan harus dicurigai
adanya benda asing intraokular apabila terdapat riwayat salah satunya apabila trauma terjadi
akibat ledakan.1
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan yang seksama sebaiknya ditunda sampai mata yang terkena zat kimia
sudah terigasi dengan air dan pH permukaan bola mata sudah netral. Obat anestesi topikal
atau lokal sangat membantu agar pasien tenang, lebih nyaman dan kooperatif sebelum
dilakukan pemeriksaan.
Setelah dilakukan irigasi, lakukan pemeriksaan visus apabila terdapat keluhan daya
pandang berkurang dengan dilanjutkan dengan pemeriksaan eksternal dengan melakukan
inspeksi serta palpasi.
Kelopak Mata :
 Trauma alkali akan membentuk jaringan parut pada kelopak.
 Margo palpebra rusak sehingga mengakibatkan gangguan ada break up time air
mata.
 Lapisan air pada depan kornea atau tear film menjadi tidak normal.
 Terjadinya pembentukan jaringan parut pada kelenjar asesori air mata yang
mengakibatkan mata menjadi kering.2
Konjungtiva :
 Terjadi kerusakan pada sel goblet.
 Sekresi musin konjungtiva bulbi berkurang daya basahnya pada setiap kedipan
kelopak. Dapat terjadi simblefaron pada konjungtiva bulbi yang akan menarik
bola mata sehingga pergerakan mata menjadi terbatas.
 Akibat terjadinya simblefaron penyebaran air mata menjadi tidak merata.
 Terjadi pelepasan kronik daripada epitel kornea.
 Terjadi keratinisasi (pertandukan) epitel kornea akibat berkurangnya mucin.
Lensa :
Lensa keruh diakibatkan kerusakan kapsul lensa

Pemeriksaan Penunjang
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan slit lamp, ophthalmoscope,
dan tonometri untuk memeriksa kejernihan dan keutuhan kornea, derajat iskemik limbus,
tekanan intra okular, konjungtivalisasi pada kornea, neovaskularisasi, peradangan kronik dan
defek epitel yang menetap dan berulang.1
Pemeriksaan penunjang dalam kasus trauma kimia mata adalah pemeriksaan pH bola
mata secara berkala dengan kertas lakmus. Irigasi pada mata harus dilakukan sampai tercapai
pH normal. Pemeriksaan bagian anterior mata dengan lup atau slit lamp bertujuan untuk
mengetahui lokasi luka. Pemeriksaan oftalmoskopi direk dan indirek juga dapat dilakukan.
Selain itu dapat pula dilakukan pemeriksaan tonometri untuk mengetahui tekanan
intraokular.1

Tata Laksana
Tata Laksana Emergensi
Semua luka bakar akibat bahan kimia diterapi sebagai kedaruratan mata. Pembilasan
dengan air kran harus segera dilakukan di lokasi cidera sebelum pasien dikirim. Semua benda
asing yang tampak jelas juga harus diirigasi.3 Tujuan utama dari terapi adalah menekan
inflamasi, nyeri, dan risiko inflamasi.
Tatalaksana emergensi yang diberikan yaitu:4
1. Irigasi mata, sebaiknya menggunakan larutan Salin atau Ringer laktat selama
minimal 30 menit. Jika hanya tersedia air non steril, maka air tersebut dapat
digunakan. Larutan asam tidak boleh digunakan untuk menetralisasi trauma basa.
Spekulum kelopak mata dan anestetik topikal dapat digunakan sebelum dilakukan
irigasi. Tarik kelopak mata bawah dan eversi kelopak mata atas untuk dapat
mengirigasi forniks.
2. Lima sampai sepuluh menit setelah irigasi dihentikan, ukurlah pH dengan
menggunakan kertas lakmus. Irigasi diteruskan hingga mencapai pH netral
(pH=7.0)
3. Jika pH masih tetap tinggi, konjungtiva forniks diswab dengan menggunakan
moistened cotton-tipped applicator atau glass rod. Penggunaan Desmarres eyelid
retractor dapat membantu dalam pembersihan partikel dari forniks dalam.

Selanjutnya, tatalaksana untuk trauma kimia derajat ringan hingga sedang meliputi: 4
1. Forniks diswab dengan menggunakan moistened cotton-tipped applicator atau
glass rod untuk membersihkan partikel, konjungtiva dan kornea yang nekrosis
yang mungkin masih mengandung bahan kimia. Partikel kalsium hidroksida lebih
mudah dibersihkan dengan menambahkan EDTA (asam Etilen Diamin Tetra
Asetat).
2. Siklopegik (Scopolamin 0,25%; Atropin 1%) dapat diberikan untuk mencegah
spasme siliar dan memiliki efek menstabilisasi permeabilitas pembuluh darah dan
mengurangi inflamasi.
3. Antibiotik topikal spektrum luas sebagai profilaksis untuk infeksi (tobramisin,
gentamisin, ciprofloxacin, norfloxacin, basitrasin, eritromisin).
4. Analgetik oral, seperti asetaminofen dapat diberikan untuk mengatasi nyeri.
5. Jika terjadi peningkatan tekanan intraokular > 30 mmHg dapat diberikan
Acetazolamid (4x250 mg atau 2x500 mg ,oral), betablocker (Timolol 0,5% atau
Levobunolol 0,5%).
6. Dapat diberikan air mata artifisial (jika tidak dilakukan pressure patch).

Tatalaksana untuk trauma kimia derajat berat setelah dilakukan irigasi, meliputi: 4
1. Rujuk ke rumah sakist untuk dilakukan monitor secara intensif mengenai tekanan
intraokular dan penyembuhan kornea.
2. Debridement jaringan nekrotik yang mengandung bahan asing.
3. Sikloplegik (Scopolamin 0,25%; Atropin 1%) diberikan 3-4 kali sehari.
4. Antibiotik topikal (Trimetoprim/polymixin-Polytrim 4 kali sehari; eritromisin 2-4
kali sehari).
5. Steroid topikal ( Prednisolon acetate 1%; dexametasone 0,1% 4-9 kali per hari).
Steroid dapat mengurangi inflamasi dan infiltrasi netrofil yang menghambat
reepitelisasi. Hanya boleh digunakan selama 7-10 hari pertama karena jika lebih
lama dapat menghambat sintesis kolagen dan migrasi fibroblas sehingga proses
penyembuhan terhambat, selain itu juga meningkatkan risiko untuk terjadinya lisis
kornea (keratolisis). Dapat diganti dengan non-steroid anti inflammatory agent.
6. Medikasi antiglaukoma jika terjadi peningkatan tekanan intraokular. Peningkatan
TIO bisa terjadi sebagai komplikasi lanjut akibat blokade jaringan trabekulum
oleh debris inflamasi.
7. Diberikan pressure patch setelah diberikan tetes atau salep mata.
8. Dapat diberikan air mata artifisial.

Medikamentosa5
 Steroid bertujuan untuk mengurangi inflamasi dan infiltrasi neutofil. Namun
pemberian steroid dapat menghambat penyembuhan stroma dengan menurunkan
sintesis kolagen dan menghambat migrasi fibroblas. Untuk itu steroid hanya diberikan
secara inisial dan di tappering off setelah 7-10 hari. Dexametason 0,1% ED dan
Prednisolon 0,1% ED diberikan setiap 2 jam. Bila diperlukan dapat diberikan
Prednisolon IV 50-200 mg.
 Sikloplegik untuk mengistirahatkan iris, mencegah iritis dan sinekia posterior.
Atropin 1% ED atau Scopolamin 0,25% diberikan 2 kali sehari.
 Asam askorbat mengembalikan keadaan jaringan scorbutik dan meningkatkan
penyembuhan luka dengan membantu pembentukan kolagen matur oleh fibroblas
kornea. Natrium askorbat 10% topikal diberikan setiap 2 jam. Untuk dosis sitemik
dapat diberikan sampai dosis 2 gr.
 Beta bloker/karbonik anhidrase inhibitor untuk menurunkan tekanan intra okular
dan mengurangi resiko terjadinya glaukoma sekunder. Diberikan secara oral
asetazolamid (diamox) 500 mg.
 Antibiotik profilaksis untuk mencegah infeksi oleh kuman oportunis. Tetrasiklin
efektif untuk menghambat kolagenase, menghambat aktifitas netrofil dan mengurangi
pembentukan ulkus. Dapat diberikan bersamaan antara topikal dan sistemik
(doksisiklin 100 mg).
 Asam hyaluronik untuk membantu proses re-epitelisasi kornea dan menstabilkan
barier fisiologis.
 Asam Sitrat menghambat aktivitas netrofil dan mengurangi respon inflamasi.
Natrium sitrat 10% topikal diberikan setiap 2 jam selama 10 hari. Tujuannya
untuk mengeliminasi fagosit fase kedua yang terjadi 7 hari setelah trauma.

Pembedahan3
Pembedahan Segera yang sifatnya segera dibutuhkan untuk revaskularisasi limbus,
mengembalikan populasi sel limbus dan mengembalikan kedudukan forniks. Prosedur berikut
dapat digunakan untuk pembedahan:
 Pengembangan kapsul Tenon dan penjahitan limbus bertujuan untuk
mengembalikan vaskularisasi limbus juga mencegah perkembangan ulkus
kornea.
 Transplantasi stem sel limbus dari mata pasien yang lain (autograft) atau dari donor
(allograft) bertujuan untuk mengembalikan epitel kornea menjadi normal.
 Graft membran amnion untuk membantu epitelisasi dan menekan fibrosis
Pembedahan Lanjut pada tahap lanjut dapat menggunakan metode berikut:
 Pemisahan bagian-bagian yang menyatu pada kasus conjungtival bands dan
simblefaron.
 Pemasangan graft membran mukosa atau konjungtiva.
 Koreksi apabila terdapat deformitas pada kelopak mata.
 Keratoplasti dapat ditunda sampai 6 bulan. Makin lama makin baik, hal ini untuk
memaksimalkan resolusi dari proses inflamasi.
 Keratoprosthesis bisa dilakukan pada kerusakan mata yang sangat berat dikarenakan
hasil dari graft konvensional sangat buruk.

Komplikasi
Komplikasi jangka panjang luka bakar kimia adalah glaucoma, pembentukan
jaringan parut kornes, simblefaron, entropion dan keratitis sika.3

Prognosis
Kompetensi pembuluh darah sclera dan konjungtiva terbukti memiliki nilai
prognostik. Semakin banyak jaringan epitel perilimbus serta pembuluh darah sclera dan
konjungtiva yang rusak mengindikasikan prognosis yang semakin buruk. (Vougan) Bentuk
paling berat pada trauma kimia ditunjukkan dengan gambaran “cooked fish eye” dimana
prognosisnya adalah yang paling buruk, dapat terjadi kebutaan.5
Luka Bakar Termal

Panas
Reflek penutupan kelopak mata yang cepat, Bell fenomena, dan gerakan refleks
menjauh dari sumber panas langsung biasanya menghalangi kerusakan pada bola mata dari
api. Luka bakar akibat berkontak lama dengan logam cair lebih cenderung menyebabkan
cedera kornea yang mengakibatkan terbentuknya jaringan parut permanen. Panas adalah
sebab utama yang menginduksi peradangan dan ekspresi protease stroma dan dapat
menyebabkan kolagen mencair jika parah. Tujuan utama terapi untuk luka bakar yang
disebabkan oleh panas adalah sebagai berikut:
 Mengurangi ketidaknyamanan.
 Cegah peradangan sekunder pada kornea, ulserasi, dan perforasi akibat
infeksi atau dari paparan yang disebabkan oleh kerusakan kelopak mata
 Minimalkan jaringan parut kelopak mata dan kerusakan yang terjadi
Agen cycloplegic dapat membantu meringankan ketidaknyamanan dari spasme
siliaris sekunder atau iridocyclitis. Antibiotik profilaksis (topikal dan / atau sistemik) dapat
membantu mencegah infeksi kelopak mata yang terbakar dan / atau mengurangi
kemungkinan penularan ulserasi kornea. Debridemen terbatas pada jaringan yang rusak dan
jaringan granulasi, dilakukan dengan cangkok kulit full-thickness dan tarsorrhaphy,
membantu meminimalisir jaringan parut pada kelopak mata dan ektropion. Jaringan okular
yang terbakar dapat dilindungi sementara dengan menutup mata dengan lubrikan dan
selembar bungkus plastik yang steril. Kortikosteroid topikal membantu menekan segala yang
terkait iridocyclitis, tetapi mereka juga dapat menghambat penyembuhan luka kornea dan
harus digunakan dengan hati-hati dan, biasanya digunakan untuk jangka pendek.
Alat pengeriting rambut merupakan penyebab umum luka bakar pada kornea. Luka
bakar ini biasanya terbatas pada epitel dan umumnya hanya memerlukan terapi antibiotik dan
sikloplegik dengan periode yang singkat.
Cidera listrik pada mata dapat menyebabkan erosi epitel kornea.6

Dingin
Edema stroma kornea transien yang disebabkan oleh dingin telah dilaporkan dalam
berbagai kasus, termasuk individu dengan penyakit Raynaud dan pasien dengan disfungsi
saraf kranial V (trigeminal). Penelitian menunjukkan bahwa denervasi sensorik mata
mempengaruhi pengaturan suhu okular dan mengubah karakteristik morfologis dan fungsi sel
kornea, termasuk endotelium.6

Radiasi Ultraviolet
Sinar ultraviolet merupakan sinar gelombang pendek yang tidak terlihat mempunyai
panjang gelombang antara 350-295 nM.7 Penyebab paling umum dari cidera UV mata adalah
paparan sinar matahari yang tidak terlindungi, saat bekerja las dan paparan luar ruangan yang
lama terhadap pantulan sinar matahari. Epitel kornea sangat rentan terhadap cidera akibat
radiasi ultraviolet (UV). Awalnya, pasien tidak menunjukkan gejala; sensasi tidak biasa pada
tubuh yang menyakitkan dan fotofobia biasanya dimulai beberapa jam setelah terpapar,
ketika sel-sel epitel yang terluka ditumpahkan. Keluhan muncul 4-10 jam pasca trauma.
Pasien dapat mengeluhkan mata yang sangat sakit, seperti kelilipan atau kemasukan pasir,
fotofobia, blefarospasme dan konjungtiva kemotik. Kondisi ini umumnya dapat teratasi
secara spontan, dan epitel sembuh dalam 24 jam.6,7
Radiasi ultraviolet dengan dosis sedang sering menyebabkan keratitis superfisialis
yang nyeri. Nyeri sering timbul 6-12 jam setelah pajanan. Keratitis jenis ini dapat timbul
setelah terpajan bunga api las tanpa pelindung, korsleting pada kabel tegangan tinggi atau
terpajan pantulan cahaya dari salju tanpa kacamata pelindung (snow blindness). Perlindungan
yang tepat dengan kacamata anti-UV, dapat mencegah cedera tersebut.3,6
Kornea menunjukkan adanya infiltrat pada permukaannya, kadang disertai dengan
kornea yang keruh dan uji fluoresein positif. Keratitis terutama terdapat pada fisura palpebra.
Pupil terlihat miosis. Tajam penglihatan akan terganggu. Keratitis dapat sembuh tanpa cacat,
bila radiasi berjalan lama maka kerusakan dapat permanen sehingga memberikan kekeruhan
pada kornea. Keratitis akibat efek kumulatif sinar ultraviolet dapat memberikan gambaran
keratitis yang berat.7
Pengobatan terdiri dari balut tekan untuk meminimalkan ketidaknyamanan dari
gerakan kelopak mata, salep antibiotik topikal, dan cycloplegia (jika terdapat iritis). Jika
ketidak nyamanannya parah, pasien mungkin memerlukan analgesik oral.3,6

Sinar Inframerah
Pajanan sinar iframerah jarang menimbulkan reaksi pada mata. (Katarak
Glassblower jarang ditemukan saat ini, tetapi dahulu sering pada pekerja yang diminta
mengawasi perubahan warna pada kaca yang lumer di dalam tungku tanpa filter yang sesuai).
Energi radiasi dari menatap matahari atau gerhana matahari tanpa filter dapat menimbulkan
luka bakar serius pada makula sehingga dapat terjadi gangguan penglihatan permanen.3
Pajanan sinar inframerah dapat terjadi pada saat menatap gerhana matahari dan saat
bekerja di pemanggangan. Kerusakan dapat terjadi akibat terkonsentrasinya sinar inframerah
yang terlihat. Kaca yang mencair seperti di tempat pemanggangan kaca akan mengeluarkan
sinar inframerah. Bila seseorang berada pada jarak 1 kaki selama 1 menit di depan kaca yang
mencair dan pupilnya lebar atau midriasis maka suhu lensa naik sebanyak 9 derajat Celcius.
Iris yang mengabsorbsi sinar infra merah akan panas sehingga berakibat tidak baik pada
kapsul lensa di dekatnya. Absorbs sinar inframerah oleh lensa akan mengakibatkan katarak
dan eksfoliasi kapsul lensa.7
Akibat pajanan sinar ini, katarak mudah terjadi pada pekerja industry gelas dan
pemanggangan logam. Sinar infra merah akan mengakibatkan keratitis superfisial, katarak
kortikal anterior posterior dan koagulasi pada koroid.7
Bergantung pada beratnya lesi, akan terdapat skotoma sementara ataupun permanen.
Tidak ada pengobatan terhadap akibat buruk yang telah terjadi kecuali mencegah terkenanya
sinar inframerah pada mata.7
Steroid sistemik dan lokal diberikan untuk mencegah terbentuknya jaringan parut
pada macula atau untuk mengurangi gejala radang yang timbul.7
Radiasi Ionisasi

Sinar ionisasi dibedakan dalam bentuk: 7


- Sinar alfa yang dapat diabaikan
- Sinar beta yang dapat menembus 1 cm jaringan
- Sinar gama
- Sinar X
Paparan radiasi ionisasi dapat dikaitkan dengan ledakan nuklir, sinar-x, dan
radioisotop. Jumlah paparan sebanding dengan jumlah energi, jenis sinar yang dipancarkan,
dan jarak pasien dengan sumber pengion. Penghancuran jaringan mungkin merupakan akibat
dari pembunuhan sel secara langsung; perubahan DNA sel yang menghasilkan mutasi yang
mematikan atau lainnya; atau kerusakan radiasi pada pembuluh darah, dengan nekrosis
iskemik sekunder. Panjang gelombang yang lebih panjang tidak menembus terlalu dalam,
menyebabkan lebih kuatnya reaksi pada lapisan superfisial. Panjang gelombang yang pendek
menembus ke jaringan yang lebih dalam dan mungkin tidak menyebabkan kerusakan luas
pada jaringan superfisial.6
Sebagian besar kasus pajanan mata terhadap radiasi ionisasi melibatkan
konjungtiva, kornea, dan mungkin kelenjar lakrimalis. Edema konjungtiva terjadi akut, sering
diikuti oleh jaringan parut, penyusutan, kehilangan produksi air mata, dan perubahan pada
pembuluh darah konjungtiva dengan telangiektasis. Nekrosis pada konjungtiva dan sklera
yang mendasari dapat terjadi jika bahan radioaktif (atau zat radiomimetik seperti mitomycin
C) tertanam di konjungtiva. Erosi epitel kornea pungtata terlihat akut. Ledakan yang
melibatkan radiasi ionisasi dapat menyebabkan perforasi jaringan mata dengan segera
nekrosis radiasi.6
Sinar X dapat merusak retina dengan gambaran seperti kerusakan yang diakibatkan
diabetes mellitus berupa dilatasi kapiler, perdarahan, mikroaneurisma mata dan eksudat. Luka
bakar akibat sinar X juga dapat merusak kornea yang permanen sukar diobati. Biasanya
tampak seperti keratitis dengan iridosiklitis ringan. Pada keadaan berat akan mengakibatkan
parut konjungtiva atrofi sel goblet yang akan mengganggu fungsi air mata. Pengobatan dapat
diberikan dengan antibiotika topikal 3 kali sehari dan sikloplegik 1 kali sehari. Bila terjadi
simblefaron pada konjungtiva dilakukan tindakan pembedahan.7
Tatalaksana pada kejadian akut seperti pengangkatan semua benda asing.
Penyembuhan luka yang buruk merupakan ciri cedera akibat radiasi ionisasi. Komplikasi
yang terlambat terkait dengan kurangnya air mata, hilangnya sensasi kornea, hilangnya epitel
kornea dan kegagalan untuk sembuh, keratitis mikroba sekunder, vaskularisasi, dan keratitis.
Tergantung pada tingkat keparahan cidera, air mata buatan, a bandage soft contact lens,
perlekatan jaringan, atau tarsorrhaphy mungkin diperlukan untuk menstabilkan permukaan
mata. Jika terdapat kerusakan epitel berulang terlepas dari langkah-langkah ini, parut
konjungtiva yang signifikan biasanya menghalangi penggunaan flap konjungtiva. Jika mata
sebelah belum terluka, kontralateral penutup konjungtiva autologous dapat bermanfaat. Atau,
transplantasi membrane amnion, limbal transplantasi sel induk, atau cangkok selaput lendir
dapat digunakan. Prognosis untuk penetrasi keratoplasti dalam situasi ini buruk karena
permukaan okular yang sangat terganggu.7
Daftar Pustaka
1. Dua, H. S., King, A.J., Joseph, A.New classification for ocular surface burns.
British Journal of Ophthalmology. 2001; 85: 1379-1383.
2. Trief Danielle,MD, Chodosh James MD, Colby Kathryn MD, Chemical (Alkali
and Acid) Injury of the Conjunctiva and Cornea. Diunduh pada tanggal 13
Februari 2019
http://eyewiki.aao.org/Chemical_(Alkali_and_Acid)_Injury_of_the_Conjunctiva_
and_Cornea#Alkali
3. Vaughan DG, Taylor A, and Paul RE. Oftalmologi Umum.Widya medika. Jakarta.
2000.
4. Drake B, Paterson R, Tabin G, Butler F, Cushing T. Treatment of Eye Injuries and
Illnesses in the Wilderness.2012. Denver Health Medical Center.
Denver,wilderness and environmental medicine 23, 325–336.
5. American College of Emergency Phycisians. Management of Ocular Complaints.
Diunduh tanggal 13 Februari 2019.http://www.acep.org/content.aspx?id=26712
6. American Academy of Ophthalmology. Chemical Burn. Diunduh tanggal 13
Februari 2019. http://www.aao.org/theeyeshaveit/trauma/chemical-burn.cfm
7. Ilyas S, Yulianti SR. Ilmu penyakit mata, edisi 5. Jakarta: Badan Penerbit FKUI;
2015. p. 294-6.

Anda mungkin juga menyukai