Anda di halaman 1dari 20

JOURNAL READING

Dry Eye Disease: Emerging Approaches


to Disease Analysis and Therapy
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan
Bagian Ilmu Penyakit Mata

Pembimbing:
Awan Buana, dr., Sp.M

Disusun oleh:

Dian Rahmawati 4151181437


Karina Fauziah 4151181441
Trianda Kanserina 4151181494
Naufal Azhari Haryono 4151181514

BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA


RS DUSTIRA/FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
CIMAHI
2020
Dry Eye Disease: Emerging Approaches to Disease Analysis and Therapy
Penyakit Mata Kering: Pendekatan yang Muncul untuk Analisis dan
Terapi Penyakit

Abstrak: Penyakit mata kering (DED) adalah salah satu kelainan okular paling
umum yang menyerang puluhan juta orang di seluruh dunia; Namun, kondisi tersebut
masih belum sepenuhnya dipahami dan diobati. Penemuan yang bernilai telah muncul
dari pendekatan multidisiplin, termasuk analisis imunometabolik, analisis
microbiome, dan bioteknologi. Selain itu, kami telah melihat perkembangan baru
dalam pendekatan penilaian klinis dan strategi pengobatan di masa lalu. Di sini, kami
meninjau perbatasan yang muncul dalam patobiologi dan manajemen klinis DED.
Kata kunci: penyakit mata kering; imunometabolisme; mikrobiota; omics; eye-on-a-
chip; tanda-tanda klinis; Perawatan DED
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan
Prevalensi mata kering tetap tinggi dikarenakan pengobatan yang tidak
sepenuhnya dipahami dan diobati dengan tepat. Penyebab mata kering ini bersifat
multifactorial, menurut TFOS DEWS II mata kering disebabkan karena terjadinya
evaporasi berlebihan dan defisiensi fungsi air mata. Gejala yang sering dialami
ialah mata kering, berpasir, fotosensitif yang berlebihan. Gejala-gejala tersebut
akan menurunkan kualitas hidup seseorang sehingga diperlukan pendekatan
secara interdisipliner (biokimia, teknik, imunometabolik, dan mikrobiologi).
Pendekatan ini untuk mengembangkan penegakan diagnosis dan menetapkan
strategi penanganan yang tepat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Disregulasi Metabolik Terkait DED


2.1.1 Patogenesis DED
Secara imunologi, pathogenesis mata kering adalah sebagai berikut :
1. Peningkatan stess oksidatif akan merusak sel piala selubung myelin sel saraf,
merusak lapisan lipid air mata, dan merusak sel goblet.
2. Terjadi ketidak stabilan lipid air mata dan disregulasi inflamasi
3. Keadaan tersebut akan meningkatkan osmolaritas air mata dan terjadinya
inflamasi.
4. Inflamasi juga terjadi akibat adanya perubahan mikrobiota normal.
5. Perubahan mikrobiota normal membuat regulasi sel T menurun dan
meningkatkan produksi sitokin inflamasi.

Gambar 1. Patogenesis terjadinya DED. Keterangan : red: dry eye disease,


FoxO3: Forkhead box O3, lnsod: lipopolysaccharide, manese superoksida dismutase,
NLRP3: NLR family pyrin-domain-3, ROS: reactive oxygen species, Sirt1: sirtuin 1,
Metabolisme oksida dan perubahan mikrobiota normal menyebabkan penyakit
mata kering (DED) dengan menimbulkan peradangan pada permukaan okular.
Spesies oksigen reaktif (ROS) secara langsung atau tidak langsung mengaktifkan
NLRP3 inflamasi dengan meningkatnya ketidakstabilan dan osmolarity. Perubahan
profil metabolisme dari permukaan okular yang mengubah keseimbangan antara pro
dan anti-inflamasi dengan sistem kekebalan terhadap jalur pro inflamasi .
2.1.2 Imunometabolik DED
1. Sel Tho/ sel T naive CD4 akan teraktivasi dan berproliferasi disebabkan ada nya
stress dan factor lainnya (multifactorial).

2. Sel T CD28 akan berdiferensiasi menjadi T helper 17 (berperan dalam proses


inflamasi) dan regulasi sel T( mengontrol sel Th 17)

3. Sel Th 17 akan menghasilkan IL-17 yang nantinya akan menempel di reseptor IL-
17 di sel keratinosit ( induced kerusakan barrier cornea dan konjungtiva ) sehingga
terjadi kerusakan sel goblet, lapisan lipid airmata, dan selubung myelin sel saraf.

4. Kerusakan keratinosit => terbentuk immature dendritic cell yang nantinya


menghasilkan IL-6 , antimicrobial peptide dan IL-8, dan CCL20.
5. IL-6 ini akan menekan regulasi sel T sehingga tidak ada yang mengontrol Th17
antimicrobial peptide dan IL-8 => menyerang netrofil ( neutrofil ini biasanya
menyerang penyebab kerusakan dan inflamasi sel keratinosit)
CCL20 akan merangksang pembentukan immature dendritic cell => kejadian ini
menjadi terus berputar yang jika tak di obati akan terjadi kerusakan yang lebih
dalam.
Gambar 2. Kebutuhan metabolik T helper 17 dan reaksi regulasi sel T

Sel T helper 17 bergantung pada metabolisme glikolitik aerobik. Inducers


metabolisme oksidatif lemak menghambat generasi sel T helper 17. Sebaliknya,
generasi regulasi sel T ditingkatkan dengan obat yang meningkatkan metabolisme
oksida lipid dan ditekan oleh inhibitor transportasi lipid seperti etomoxir.Derivat
kolesterol diperlukan untuk differensiasi sel T helper 17 dan blokade biosintesis
kolesterol, misalnya, dengan ketoconazole, menekan generasi sel T helper 17 tetapi
tidak menekan regulasi sel T.
2.1.3 DED - Perubahan Terkait Mikrobiota Normal
Pokok pertama yang penting dalam mempelajari peradangan mukosa adalah
analisis dari mikrobiota.Tubuh manusia memiliki mikrobiota yang sangat beragam,
yang terdiri dari setidaknya 1.000 spesies. 10=100 triliun sel mikroba terdapat di kulit
dan mukosa dari mata, hidung, mulut, dan reproduksi. Mikroba tersebut hidup
seimbang dengan kekebalan tubuh inangnya. Pemantauan langsung antara jumlah
mikroba dan sel imun di mukosa merupakan penentu utama respon inflamasi terhadap
penyakit. Th-17 dan T-reg dipengaruhi oleh mikroba manusia (Gambar 1-3). Selain
itu, mikroba juga merupakan kontribusi utama dalam metabolisme mukosa. Bakteri
menghasilkan berbagai metabolit dan berpartisipasi dalam memetabolisme obat di
mukosa, sehingga akan mempengaruhi proses farmakoterapi dan imunometabolik.
Ada beberapa penyakit idiopatik yang melibatkan permukaan mata seperti
konjungtivitis folikular, pterigium, dan penyakit Thygeson’s. Disregulasi inflamasi
adalah elemen dasar dari semua penyakit, dan masuk akal untuk berasumsi bahwa
mikroba berkontribusi dalam hal tersebut. Perubahan pada mikroba di mukosa
mengubah imunitas mukosa terhdadap gangguan di lingkungan, sehingga memicu
respon imun. Paiva at al melaporkan terjadi penurunan unit Toxonomi di tinja tikus
yang mendapatkan antibiotik (AB) dan terkeda DS setelah 10 hari, dengan penurunan
Bacteroidetes dan Firmicutes phyla dan peningkatan Proteobacteria setelah DS.
Selain itu mereka juga melaporkan bahwa terjadi penurunan yang signifikan dari
Blautia, Alistipes, Lactobacillus, Allobaculum, Bacteroides, Desulfovibrio,
Intestinimonas, dan Clostridium dibandingkan dengan peningkatan yang signifikan
dari Enterobacter, Parasutterella, Escherichia/Shigella, Pseudomonas, dan
Staphylococcus. Bahkan tikus yg mendapatkan AB + DS menunjukan peningkatan
kehilangan sel globule (GC), infiltrasi sel CD4 + T di epitel konjungtiva, dan
gangguan barrier kornea terhadap tikus yang hanya diberikan DS.

Gambar 3. Mikroba dan Th17 autoimun.


2.2 Teknik Pengukuran dan Model Penyakit yang Timbul
2.2.1 Pendekatan Klinis
Meskipun prevalensi DED tinggi, namun tidak ada pemeriksaan gold standar
untuk mendiagnosis DED. Pemeriksaan klinis rutin berkorelasi buruk terhadap gejala
pasien dan objek yang diamati terlalu bias. Terdapat beberapa penilaian untuk
mengevaluasi kualitas dan kuantitas dari permukaan okular dan fungsi air mata;
Namun, serangkaian asesmen yang secara spesifitas dan sensitivitas mampu
mendiagnosis DED masih belum diketahui. Pada bagian ini, peneliti memfokuskan
penilaian terhadap volume dan osmolaritas air mata, dimana pada DED penyebab dari
stres oksidatif pada permukaan okular sudah dibahas sebelumnya. Selain itu, teknik
yang baru-baru ini dikembangkan untuk penilaian DED juga akan dibahas.
TM dinilai secara konvensional dengan menggunakan pewarnaan fluorescein,
dengan Keratograph 4 dapat mengukur TBUT non-invasif. Berdasarkan interval
value dan 95% confidence interval, berbandingan antara saat kunjungan dan setelah
kunjungan pada keratografi TBUT dan fluorescein, pada TBUT secara signifikan
tidak jauh berbeda. TMH diukur dari gambar keratograf OCULUS generasi keempat
berkorelasi secara signifikan dan didapatkan hasil positif dengan TBUT dan tes
Schirmer. Baru-baru ini, terdapat studi sistem optical coherence tomography (OCT)
yang berbeda untuk mengukur TMH, dan Raj et al melaporkan bahwa tidak terdapat
hubungan yang signifikan terhadap area TM yang diukur dengan Fourier domain
OCT (FD-OCT), TBUT, dan Schirmer test. Selain itu, Fukuda et al melaporkan
terdapat korelasi signifikan antara volume TM atas, volume TM bawah, dan TMH
bawah pada tes Schimer, tetapi tidak dengan TBUT. Studi lain mengungkapkan
terdapat korelasi yang signifikan antara TMH yang diukur dengan keratografi dan
FD-OCT, meskipun keratografi cenderung melihatkan hasil yang lebih rendah pada
TMH atas. Penilaian hiperosmolaritas adalah tujuan dari beberapa teknik pengukuran
lainnya. Secara tradisional, osmolaritas cairan air mata diukur denagn titik beku
depresi dan tekanan uap; namun, teknik ini tidak terlihat dan terbatas oleh reflek air
mata selama pengambilan sampel. Rocha et al. membandingkan akurasi dan presisi
dari Wescor 5520 Vapor Pressure Osmometer, Sistem Osmolaritas TearLab, dan i-
Pen untuk mengevaluasi osmolaritas air mata, mengungkapkan bahwa kedua
perangkat sebelumnya berkorelasi secara signifikan satu sama lain, akurat dan tepat,
sedangkan hasil dari perangkat ketiga di atas tidak berkorelasi secara signifikan
dengan perangkat lain, dan kurang akurat. Studi lain membandingkan ketepatan dan
ketepatan TearLab Osmometer menggunakan metode depresi titik beku,
menyimpulkan bahwa hasilnya akurat dan tepat dalam menilai osmolaritas, bahkan
untuk solusi hyperosmotik. Badugua et al. memperkenalkan teknik baru untuk
menentukan konsentrasi ion individu dalam air mata menggunakan silikon hidrogel,
mengklaim bahwa cara ini dapat mengukur enam spesies ionik dominan dalam air
mata.
Baru-baru ini, interval berkedip maksimum (MBI), waktu dimana mata bisa tetap
terbuka tanpa berkedip, telah diukur sebagai indikator ketidakstabilan air mata. Para
penulis melaporkan secara signifikan MBI lebih pendek pada kelompok DED
dibandingkan dengan kelompok non-DED, serta korelasi positif antara MBI dan
TBUT dan korelasi negatif antara MBI dan pewarnaan fluorescein kornea. Mereka
mengamati sensitivitas 82,5% dan spesifisitas 51,0% untuk mendiagnosis DED
dengan MBI; namun, penilaian lebih lanjut diperlukan untuk mengkonfirmasi hasil
ini. Interval antar-kedip (IBI) adalah cara serupa untuk menilai tingkat seringnya
pasien berkedip dan dianggap kurang terkait dengan kornea dan faktor konjungtiva
dari MBI. Hasil daru studi IBI masih superfisial, oleh karena itu belum ada
kesimpulan yang dibuat.
Seperti yang telah disebutkan pada bagian 2.1, stres oksidatif terkait DED dapat
menyebabkan ketidakstabilan lipid air mata; dengan begitu, karakteristik dari kelenjar
Meibom dapat digunakan untuk diagnosis DED. Keratografi dan Sistem OCT
memanfaatkan radiasi infra merah untuk menilai hilangnya kelenjar Meibom. Dengan
menggunakan OCT, Palamar at al melaporkan hilangnya kelenjar Meibom yang
signifikan di kelopak mata bawah individu dengan rosacea okular dibandingkan
dengan kontrol yang sehat. Finis et al melakukan Meibografi Keratograph 5M dan
melaporkan bahwa derajat atrofi kelenjar Meibom di kelopak mata bawah dan atas
(Meiboscore) berkorelasi secara signifikan dan berbanding terbalik dengan TBUT,
dan berkorelasi positif dengan usia. Confocal pencitraan mikroskopis dari lubang
kelenjar Meibomian membantu menilai ketebalan lapisan lipid, dengan menggunakan
Tearscope dan evaluator kelenjar Korb, sehingga berfungsi sebagai alternatif untuk
mengevaluasi fungsi kelenjar Meibom.
MMP-9 adalah target terukur lain untuk mendiagnosis DED. InflammaDry
adalah kunci dari alat immunoassay MMP-9 untuk secara kualitatif menilai level
MMP-9 dalam air mata. Satu studi melaporkan Inflamadry memiliki 85% sensitivitas
dan 94% spesifisitas untuk mendiagnosis DED. Akhirnya, Conjungtival-Impression
Cytology (CIC) pada sel epitel konjungtiva memfasilitasi transkriptome analisis
menggunakan Eyeprim, perangkat CIC baru yang dirancang untuk mengurangi
ketidaknyamanan pasien dan penggunaan anestesi. Namun keberhasilan perangkat ini
masih belum diketahui sepenuhnya. DryEyeRhythm adalah aplikasi smartphone yang
dapat mengumpulkan data individu di dunia nyata dengan skala yang besar dan dapat
menyatakan faktor risiko termasuk jenis kelamin perempuan, penyakit kolagen,
demam, depresi, penggunaan lensa kontak, waktu dalam melihat layar, dan merokok,
yang semuanya berkontribusi pada gejala tipe DED berat. Internet of Medical Things
(IoMT) seperti smartphone dapat diimplementasikan untuk pemantauan medis dan
pendekatan dalam jarak jauh.
2.2.2 Profil Molekuler dan Pendekatan Omics
Pendekatan Omics (genomik, transkriptomik, dan proteomik) telah meningkatkan
pemahaman tentang patogenesis molekuler penyakit mata dengan menyediakan
pendekatan non invasif, mudah diakses, dan individual untuk mengidentifikasi
penanda penyakit untuk diagnosis dan perawatan. Analisis lipidomik telah
memberikan informasi berharga mengenai pengembangan DED. Profil lipid yang
berubah pada permukaan okular berhubungan dengan tanda-tanda klinis dan gejala
DED. Lam SM et al. [82] mengamati bahwa kadar kolesteriil sulfat (CSs) yang
dinormalisasi, glukosilceramid (GluCers), NeuAc 2-3Gal 1-4Glc -Cers (GM3s), lyso-
phosphatidylcholines (LPCs), dan ester lilin molekul rendah (WEs) berkorelasi positif
dengan volume air mata, dan bahwa konsentrasi absolut dari molekul-molekul ini
berkurang dengan penurunan sekresi air mata, sementara konsentrasi total lipid air
mata dan fraksi molar asam fosfatidat (PA) dan fosfatidilgliserol (PG) berkorelasi
negatif dengan volume air mata. WE yang mengandung FA jenuh, PA, dan
fosfatidilgliserol berkurang secara signifikan berbeda dengan peningkatan levelnya
menurut tes Schirmer. Ini mungkin terjadi karena munculnya lipid yang disebutkan
sebelumnya dari kelenjar lakrimal. perbedaan signifikan dalam lipid meibum yang
diperoleh dari mata DED dan mata yang sehat; Namun, jumlah triasilgliserol tak
jenuh, beberapa fosfatidilkolin, glukosikeramid, dan spesies sphingolipid meningkat
pada pasien DED. 12 minggu pemanasan kelopak mata menghasilkan perubahan
dramatis dalam komposisi lipid air mata daripada jumlah lipid air mata.
Kelas lisofosfolipid (mis., Lyso plasmalogen hosphatidylethanolamines, LPCs,
dan lysophosphatidylinositols) berkurang setelah perawatan, sedangkan rekan diacyl
masing-masing meningkat. Selain itu, FAs tak jenuh ganda (PUFA) yang
mengandung diacylglycerol berkurang setelah perawatan. Lebih jauh lagi,
pengurangan lipid tersebut dan peningkatan hidroksi-O-asil-!-FA (lipid amfifilik)
berkorelasi dengan penurunan tingkat penguapan kornea dan sklera.
Analisis protein cairan air mata adalah pendekatan pribadi yang semakin banyak
digunakan untuk mendiagnosis dan mengobati DED. Meskipun strip Schirmer adalah
instrumen paling umum untuk pengumpulan air mata dan ekstraksi protein , strip
Schirmer dapat menyebabkan kehilangan sampel. Metode unit-dibantu filter tunggal
telah diperkenalkan untuk mengurangi kehilangan sampel dan meningkatkan jumlah
protein yang diidentifikasi dari air mata. Analisis metabolomik global dan bertarget
yang dilakukan pada sel epitel konjungtiva manusia yang diinkubasi dalam media
bebas serum pada 280 mOsm (kontrol), 380 mOsm, dan 480 mOsm selama 24 jam
menunjukkan bahwa karnitin adalah agen anti-inflamasi atau anti-apoptosis yang
disukai. sementara gliserofosfokolin, dianggap sebagai osmoprotektan, adalah
osmolit endogen yang disukai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan
protein keratin dan vimentin seperti filamen menengah menunjukkan bahwa
remodeling sitoskeleton diaktifkan di bawah tekanan hyperosmotic.
Analisis proteinom telah diterapkan untuk mempelajari DED yang terkait dengan
penyakit sistemik termasuk penyakit mata tiroid, SS, dan penyakit graft-versus-host.
Penyakit mata tiroid (atau oftalmopati terkait tiroid) adalah manifestasi
ekstrathyroidal yang paling umum dari penyakit Grave. DED hasil dari oftalmopati
terkait tiroid (TAO) karena keterlibatan kelenjar lakrimal, retraksi kelopak mata,
gangguan fenomena Bell, berkurangnya kedipan, dan proptosis. menganalisis
proteome cairan air mata pasien TAO melalui spektrometri massa. Penelitian ini
menunjukkan bahwa pasien dengan TAO menunjukkan peningkatan protein inflamasi
(yaitu, POTE anggota keluarga ankyrin-domain 1) dan pengurangan protein protektif
dan anti-inflamasi (yaitu, protein lakrimal prolin yang kaya 1 (PROL1), kaya protein
protein 4 (PRP4), dan annexin A1) dan panel protein yang berbeda secara signifikan
(PRP4, PROL1, dan UDP-glukosa-dehidrogenase) pada individu dengan TAO dan
mereka yang dengan kontrol DED dan / atau sehat. Oleh karena itu, spektrum protein
peradangan dan pelindung mungkin menjadi indikator yang berguna untuk aktivitas
DED pada pasien dengan TAO.
SS adalah gangguan autoimun yang sebagian besar menargetkan kelenjar
eksokrin, terutama kelenjar ludah dan lakrimal .perbandingkan proteome air mata
pasien dengan SS, mereka yang dengan DED, dan peserta yang sehat. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa DED pada pasien SS dikaitkan dengan profil proteomik yang
berubah dengan ekspresi protein yang tidak teratur yang terlibat dalam peradangan,
apoptosis, imunitas, dan stres oksidatif. Karakterisasi protein ini akan menghasilkan
penanda diagnostik potensial dan target terapi.
2.2.3 Pendekatan Bioteknologi
Meningkatnya biaya penelitian untuk mengembangkan obat baru dan perbedaan
nyata dalam efek obat antara manusia dan spesies lain telah menghasilkan teknik
yang muncul untuk memodelkan fisiologi manusia dalam studi praklinis. Teknologi
organ-on-a-chip memperkenalkan teknik tiga dimensi (3D) untuk meniru kondisi in
vivo dengan menggunakan mikrofluida dan bioteknologi. Mata-on-a-chip manusia
yang berkedip adalah contoh teknologi ini untuk oftalmologi. Dalam model ini, sca
old 3D shell digunakan untuk menghasilkan kelengkungan yang mirip dengan kornea,
diikuti dengan menghamili keratosit manusia primer dan menjepit di antara saluran
mikrofluida dan ruang melingkar. Sel-sel epitel kemudian ditempatkan pada
permukaan scafold dengan metode kode warna, dengan fluoresensi hijau di tengah
dan fluoresensi merah di pinggiran dari permukaan scafold. Kelopak mata yang
dicetak 3D, yang menyerupai kedipan normal, digerakkan secara elektromekanis,
sehingga memungkinkan rekapitulasi penyebaran film air mata dan hidrasi
permukaan okular.
Organoid kornea, kornea minatory yang diproduksi oleh rekayasa jaringan,
meniru kondisi in vivo untuk memungkinkan studi pengembangan organ, perjalanan,
dan pengobatan penyakit. Sel punca pluripoten merupakan sumber alternatif
dibandingkan dengan sel punca embrionik untuk pembentukan organoid.
Microcornea atau organoid kornea diproduksi pada tahap akhir pembentukan
organoid retina dan dapat digunakan untuk skrining obat, pemodelan penyakit (mis.,
DED), dan penggantian jaringan. Mengingat bahwa perubahan imunometabolik
memainkan peran utama dalam patogenesis DED, akan sangat membantu untuk
memasukkan faktor imun dan elemen metabolik dalam model rekayasa.
Terdapat pengembangan model eye on chip dan model ini mencakup permukaan
kornea yang berkedip dan dapat digunakan untuk menginduksi fenotip DED (Lihat
Gambar 4). menilai ekspresi IL-8, TNF-, IL-1, dan MMP-9 dalam model mereka
setelah menginduksi DED dan memantau respons sitokin-sitokin ini terhadap
pengobatan DED dengan memberikan pelumas. J. Clin. Med. 2019, 7, x UNTUK
ULASAN PEER 11 dari 20. Dan baru-baru ini mengembangkan model eye-on-a-chip
yang dapat meniru patogenesis DED. Model ini mencakup permukaan kornea yang
berkedip dan dapat digunakan untuk menginduksi fenotip DED (lihat Gambar 4).
Gambar 4. Model rekayasa penyakit mata kering penguapan. (a) Penguapan
menyebabkan pemecahan lapisan air mata dan meningkatkan osmolaritas air mata
yang bersama-sama menyebabkan hilangnya homeostasis. (B) Penyerapan air mata
ke strip Schirmer dalam model mata yang sehat dan kering. Penyerapan air mata
divisualisasikan dengan mengoleskan tinta biru di dalam strip. (c) Osmolaritas air
mata dalam model DED (segitiga tertutup) dan normal (lingkaran tertutup). Data
klinis manusia osmolaritas berasal dari subjek normal (lingkaran terbuka) dan subjek
DED (segitiga terbuka). (D) Keratograf menunjukkan cincin konsentris diproyeksikan
pada permukaan mata manusia (atas) dan permukaan mata direkayasa (bawah). (e)
Gambar representatif dari pola cincin yang diproyeksikan pada permukaan okular
yang direkayasa dari kelompok sehat (baris atas) dan DED (baris bawah) yang
ditangkap pada t = 0 s (kolom kiri) dan t = 10 s (kolom kanan). (f) Pemetaan spasial
waktu pemecahan film air mata dalam model normal (atas) dan DED (bawah). Warna
berbeda dalam peta panas melingkar yang representatif menunjukkan waktu
penghancuran sobek yang berbeda. (g) Pewarnaan fluorescein pada model mata dan
subjek manusia. (h) Konsentrasi mediator inflamasi (IL-8, TNF-α, IL-1β, dan MMP-
9) dalam kelompok normal (lingkaran) dan DED (segitiga) diplot terhadap durasi
kultur. Gambar yang diambil.
2.3 Strategi Perawatan Mata Kering
Perawatan mata kering tergantung pada tingkat keparahannya dan kondisi yang
mendasarinya. Jika terdapat penyakit sistemik, maka kondisi ini harus dikendalikan.
Perbaikan dari kualitas dan kuantitas air mata dengan air mata buatan, obat anti
inflamasi, makanan dan gaya hidup serta perawata kelopak mata terkait dengan
penyakit yang diderita adalah strategi tatalaksana utama. Membran kecil seperti
cakram yang disebut nanowafer mengandung obat yang dapat diaplikasikan pada
mata untuk pelepasan obat berkelanjutan, alih-alih penetesan obat berulang kali.
Pelepasan dexamethasone berkelanjutan oleh nanowafer menunjukkan efek yang
sama (baik oral maupun topikal) dengan betamethasone yang diberikan dua kali
sehari dan mengembalikan kelembutan permukaan mata dan fungsi pembatas
(barrier) epitel kornea sembari mengurangi tingkat inflamasi sitokin. Penelitian lain
mengungkapkan bahwa nanowafer yang mengandung dexamethasone menurunkan
inflamasi sitokin, terutama pada tingkat inflamasi lanjut. Selain itu, percobaan klinis
menunjukkan bahwa perawatan dengan fluorometholone 0,1% menjaga keutuhan
kornea di bawah tekanan lingkungan. Obat imunomodulator memodifikasi fungsi
sistem imun untuk mengontrol penyakit autoimun. Rapamycin (sirolimus), sebuah
obat imunomodulator, mengurangi inflamasi pada DED. Pengobatan pada tikus
diabetic non-obesitas (NOD) dengan rapamycin dua kali sehari selama 12 minggu
mengurangi infiltrasi limfosit menjadi lisat kelenjar lakrimal. Selain itu, sekresi air
mata meningkat seiring dengan pemberian rapamycin topikal walaupun densitas GC
tidak berubah, dan menurunkan tingkat cathepsin S pada kelenjar lakrimal dan air
mata tikus.
FA esensial memodulasi fungsi sistem imun dengan mengubahnya menjadi
sitokin pro-inflamasi dan anti-inflamasi; penelitian pendahulu menunjukkan bahwa
ω3 FA berubah menjadi sitokin anti-inflamasi sementara ω6 FA berubah menjadi
sitokin pro-inflamasi. Studi menunjukkan bahwa konsumsi ω3 FA selama 90 hari
menurunkan osmolalitas air mata, OSDI, kemerahan mata. Dan menjaga permukaan
mata, sehingga meningkatkan stabilitas film air mata dan bahwa efek ini meningkat
dengan penggunaan bentuk fosfolipid ω3 (minyak krill) dibandingkan dengan bentuk
triasilgliserida (minyak ikan). Ovariektomi menurunkan produksi lakrimal menurut
hasil uji Schirmer; namun, penambahan n-3 PUFA, asam dokosaheksanoat (DHA),
asam eikosapentanoat (EPA), dan asam lipoat mengembalikan sebagian produksi
lakrimal sementara fosfatase alkali (ALP) mengembalikan secara keseluruhan.
Tingkat SOD dan aconitase tidak diubah oleh ovariektomi atau pemberian FA,
meskipun penambahan ALP meningkatkan aktivitas glutation peroksidase (GPx).
Selain itu, ovariektomi menurunkan tingkat nitrit dan nitrat oksida pada permukaan
mata, yang tidak dikembalikan oleh FA di konjungtiva namun oleh ALP di kornea.
Lebih jauh lagi, DHA, EPA, dan ALP mengembalikan tingkat nitrit dan nitrat oksida
pada kelenjar lakrimal, dan EPA serta DHA juga meningkatkan level MDA pada
kelenjar lakrimal. DHA, EPA, dan ALP berfungsi dengan menghindari kehilangan
mikrovili, mencegah ketidakteraturan sambungan seluler (cellular-junction), dan
mencegah deskuamasi seluler yang terinduksi ovariektomi. Penelitian lain
menunjukkan bahwa penambahan omega-3 FA esensial secara oral untuk DED
simtomatik pada pengguna komputer meningkatkan TBUT dan hasil uji Schirmer
sembari mengubah sitology GC dan sel epitel. Pemberian omega-3 FA 0,2% topikal
yang dicampur dengan asam hyaluronat menurunkan keparahan ketidakteraturan
kornea, yang meningkat secara signifikan seiring hasil penggunaan asam hyaluronat
sendiri atau dicampur dengan omega-3 FA 0,02%. Selain itu, menambahkan minyak
mineral pada tetes mata secara signifikan meningkatkan ketebalan lapisan lemak pada
permukaan mata pasien dengan disfungsi kelenjar Meibomian (MGD) dan menjaga
film air mata menguap.
Penghangatan kelopak mata mencairkan sekresi kelenjar Meibomian dan
memfasilitasi pelepasannya ke film air mata. Kompres masker mata dan kantong
mata adalah alat yang digunakan untuk menghangatkan kelopak mata. Temperatur
luar dan dalam kelopak mata meningkat signifikan setelah menggunakan kompres
kantong mata, dan meskipun tidak terdapat peningkatan signifikan pada tingkat
lapisan lemak dan TBUT non-invasif dengan kompres masker mata, terdapat
kemajuan dalam perawatan tersebut. Mayoritas subjek penelitian lebih memilih
kompres kantong mata dibandingkan kompres masker mata.
Pada sebuah survei yang membandingkan efek antara TNF–stimulated
gene/protein-6 (TSG-6), prednisolone topikal, dan cyclosporine (CsA) topikal untuk
mengurangi perubahan berkaitan dengan DED pada tikus NOD, ketiganya
meningkatkan produksi air mata dan jumlah GC konjungtiva. Selain itu, 1% tetes
prednisolone tidak mengurangi noda epitel kornea, sementara TSG-6 dan CsA
(0,05%) dapat mengurangi. Lebih lanjut, pemberian topikal TSG-6, Restasis (CsA),
dan Pred Forte (prednisolone asetat, 1%) secara signifikan menurunkan tingkat Tnfa
dan Ifng pada permukaan mata dan kelenjar intraorbital, dan Pred Forte juga
meningkatkan apoptosis sel epitel serta menurunkan ketebalan kornea. Pada tikus
model, diclofenac, obat non-steroid anti-inflamasi, mencegah perubahan DED tanpa
menunrunkan volume cairan air mata dan menurunkan kerusakan sel dan apoptosis
yang diinduksi oleh hiperosmolaritas.
CsA adalah obat anti-inflamasi yang digunakan untuk mengobati DED. Karena
beberapa efek buruk yang terkait dengan administrasi sistem CsA, tetes topikal
adalah rute pilihan untuk perawatan permukaan mata; Namun, merumuskan sistem
pengiriman yang aman untuk obat hidrofobik ini menantang. Merek CsA topikal yang
tersedia sering dikaitkan dengan efek samping, termasuk pembakaran mata, sensasi
benda asing, dan epifora [123]. Namun, pengobatan 6- dan 12 minggu dengan CsA
topikal 0,05% emulsi mata dua kali sehari meningkatkan kepadatan konjungtiva dari
GC dan mengubah faktor pertumbuhan β2-positif GC, menunjukkan bahwa
perawatan ini meningkatkan produksi faktor imunoregulasi TGF-β2 dengan
meningkatkan konjungtiva GCs [124]. Studi lain menunjukkan bahwa suplemen
vitamin B12 mengembalikan volume air mata dan TBUT dalam model murine DED,
dengan pengobatan 1 bulan dengan B12 dan asam hyaluronic 0,15% mengurangi
stres oksidatif dan OSDI.
Stres oksidatif terlibat dalam patogenesis DED. Sebuah studi sebelumnya menilai
efek anti-oksidatif dari SkQ1, antioksidan sintetik, pada pencegahan DED yang
diinduksi anestesi umum, menunjukkan bahwa premedikasi dengan SkQ1 yang
ditanamkan (7,5 μM) menunjukkan efek pencegahan terhadap perubahan kornea
patologis setelah pemulihan dan tanda-tanda klinis yang sepenuhnya dinetralkan dari
DED pada hari pertama periode pasca-anestesi. Pengobatan setelah anestesi adalah 1
minggu, dengan temuan ini menunjukkan bahwa SkQ1 melindungi epitel kornea
daripada berpartisipasi dalam penyembuhan luka kornea. Selain itu, administrasi
SkQ1 meningkatkan aktivitas GPx dan glutathione reductase, percepatan normalisasi
SOD dan kadar oksidan lainnya dalam cairan air mata, peningkatan sekresi IL-10,
percepatan pemulihan level IL-4, dan penekanan sekresi TNFα dan IL-6. Selain itu,
konsentrasi MDA berkurang secara signifikan pada hewan yang diprededikasi dengan
SkQ1 sebelum anestesi relatif terhadap hewan kontrol, mendukung efek anti-
oksidatifnya.
Singkatnya, sebagian besar strategi perawatan yang tersedia difokuskan pada
peningkatan kelembaban permukaan mata dan mengurangi osmolaritas dan
peradangannya. Obat-obatan dan suplemen masa depan meningkatkan kondisi
oksidatif dan regulasi metabolisme pada permukaan okular. Strategi ini harus
dipertimbangkan dalam studi masa depan dan uji klinis. Misalnya, jalur pensinyalan
TLR adalah salah satu jalur yang diduga menghubungkan stres oksidatif dan
peradangan dan merupakan target dari beberapa suplemen yang diusulkan dalam
studi terbaru yang dapat dinilai dalam studi pengembangan pengobatan DED di masa
depan.
BAB III
KESIMPULAN

DED merupakan tantangan klinis yang cukup signifikan. Laporan sebelumnya


mengungkapkan perbedaan antara tanda mata kering dan gejala, menunjukkan
perlunya penanda penyakit baru dengan nilai prediksi yang lebih tinggi. Identifikasi
penanda semacam itu membutuhkan penggunaan teknik pengukuran baru. Dalam
pembahasan ini, difokuskan mengenai kemajuan terbaru dalam kimia analitik,
mikrobiologi, dan bioteknologi dan penerapannya dalam mendiagnosis dan perawatan
DED. Secara khusus, difokuskan mengenai jalur imunometabolik yang baru
diidentifikasi dan faktor-faktor terkait mikrobiota yang terlibat dalam patogenesis
DED.
Biomarker baru yang ditemukan menawarkan harapan untuk peningkatan dalam
diagnosis dan prediksi penyakit. Namun, studi lebih lanjut diperlukan untuk
menentukan biomarker yang paling prediktif mengenai tingkat keparahan penyakit.
DAFTAR PUSTAKA

1. Craig, J.P.; Nichols, K.K.; Akpek, E.K.; Caffery, B.; Dua, H.S.; Joo, C.-K.; Liu,
Z.; Nelson, J.D.; Nichols, J.J.; Tsubota, K.; et al. TFOS DEWS II Definition and
Classification Report. Ocul. Surf. 2017, 15, 276–283. [CrossRef] [PubMed]
2. Le, Q.; Zhou, X.; Ge, L.; Wu, L.; Hong, J.; Xu, J. Impact of Dry Eye Syndrome
on Vision-Related Quality of Life in a Non-Clinic-Based General Population.
BMC Ophthalmol. 2012, 12, 22. [CrossRef] [PubMed]
3. Inomata, T.; Shiang, T.; Iwagami, M.; Sakemi, F.; Fujimoto, K.; Okumura, Y.;
Ohno, M.; Murakami, A. Changes in Distribution of Dry Eye Disease by the New
2016 Diagnostic Criteria from the Asia Dry Eye Society. Sci. Rep. 2018, 8, 1918.
[CrossRef] [PubMed]
4. 4. Stapleton, F.; Alves, M.; Bunya, V.Y.; Jalbert, I.; Lekhanont, K.; Malet, F.; Na,
K.-S.; Schaumberg, D.; Uchino, M.; Vehof, J.; et al. TFOS DEWS II
Epidemiology Report. Ocul. Surf. 2017, 15, 334–365. [CrossRef] [PubMed]
5. Paulsen, A.J.; Cruickshanks, K.J.; Fischer, M.E.; Huang, G.-H.; Klein, B.E.K.;
Klein, R.; Dalton, D.S. Dry Eye in the Beaver Dam Offspring Study: Prevalence,
Risk Factors, and Health-Related Quality of Life. Am. J. Ophthalmol. 2014, 157,
799–806. [CrossRef] [PubMed]
6. Pflugfelder, S.C.; Stern, M.E. Mucosal environmental sensors in the pathogenesis
of dry eye. Expert Rev. Clin. Immunol. 2014, 10, 1137–1140. [CrossRef]
[PubMed]
7. Nelson, J.D.; Craig, J.P.; Akpek, E.K.; Azar, D.T.; Belmonte, C.; Bron,
A.J.;Clayton, J.A.; Dogru, M.; Dua, H.S.; Foulks, G.N. TFOS DEWS II
Introduction. Ocul. Surf. 2017, 15, 269–275. [CrossRef] [PubMed]
8. Hotamisligil, G.S. Foundations of Immunometabolism and Implications for
Metabolic Health and Disease.

Anda mungkin juga menyukai