Anda di halaman 1dari 4

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit autoimun dengan
spektrum penyakit yang sangat bervariasi dan melibatkan berbagai
organ. Penyakit ini merupakan sindrom klinis yang didasari disregulasi
sistem imun dan ditandai oleh pembentukan autoantibodi antinukleus
(ANA), terutama antidoublestranded DNA (antidsDNA) yang
selanjutnya akan membentuk kompleks imun dan terjadi inflamasi serta
kerusakan jaringan.1-4
Penyakit LES dapat terjadi pada masa anak dan dewasa, tetapi
20% kasus didiagnosis pada masa anak. Awitan LES yang timbul pada
masa anak memperlihatkan manifestasi dan prognosis yang lebih buruk
dibandingkan jika LES baru terjadi pada usia dewasa.4,5 Insidensi LES
pada anak mencapai 10–20 kasus per 100.000 anak dan umumnya lebih
sering ditemukan pada anak perempuan di atas usia 10 tahun. 5,6
Prevalensi LES bervariasi tergantung pada wilayah demografi dan etnis,
pada anak perempuan dari etnis Asia berkisar 31,14 per 100.000 anak.4
Perjalanan penyakit LES bersifat episodik yang ditandai oleh
fase remisi dan flare. Pada penyakit ini tidak ditemukan tampilan klinis
atau nilai laboratorium yang secara tunggal dapat merepresentasikan
derajat aktivitas penyakit pada suatu waktu. Penentuan aktivitas LES
melalui pemantauan jangka panjang memiliki peran sangat penting
dalam menentukan jenis dan dosis obat serta mencegah timbulnya
penyulit.6 Mengingat LES memerlukan pengobatan jangka panjang
maka dibutuhkan perangkat yang dapat mengevaluasi penyakit LES. 1,4
Terdapat berbagai sistem skor yang dapat digunakan untuk menilai
aktivitas LES, antara lain: the systemic lupus activity measure (SLAM),
systemic lupus erythematosus disease activity index (SLEDAI), the
commit
European consensus lupus to user
activity measurement (ECLAM) dan the
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

British iLESs lupus assessment group (BILAG).3 Secara keseluruhan


semua jenis sistem skor ini akurat dan reliable, serta dapat digunakan
untuk anak dan dewasa. Sistem skor yang praktis dan banyak digunakan
dalam aplikasi klinis sampai saat ini adalah SLEDAI. 3
Vitamin D adalah hormon steroid yang memiliki peran dalam
metabolisme kalsium dan homeostasis tulang. 7 Vitamin D memiliki
dua bentuk fisiologis, yaitu vitamin D2 (ergokalsiferol) dan vitamin
D3 (kolekalsiferol). Pada ginjal, 25(OH)D lebih lanjut dimetabolisme
menjadi 1,25-dihidroksivitamin D, yang bekerja dengan cara berikatan
dengan reseptor vitamin D (VDR) yang terletak pada nukleus sel
target.
Reseptor vitamin D terdistribusi secara luas di seluruh tubuh,
terutama pada kulit dan sistem imun.7 VDR diekspresikan oleh sel-sel
imun, termasuk antigen-presenting cell, natural killer cell, serta
limfosit B dan T memunculkan konsep adanya peran vitamin D dalam
regulasi respon imun.8 Banyak penelitian yang menyatakan bahwa
1,25-dihidroksivitamin D berperan dalam pengendalian respon imun,
terutama dalam regulasi sel T.9
Pasien LES cenderung mengalami defisiensi vitamin D karena
beberapa faktor seperti penghindaran dari sinar matahari akibat
fotosensitivitas, penggunaan tabir surya, insufisiensi ginjal kronik,
penggunaan obat-obatan seperti glukokortikoid dan antimalaria yang
dapat meningkatkan pembersihan vitamin D. Frekuensi defisiensi
vitamin D pada pasien LES sangat bervariasi di berbagai belahan
dunia. Dari 81 pasien yang diteliti di RS Cipto Mangunkusumo
Jakarta, 33 pasien mengalami insufisiensi vitamin D dan 27 pasien
mengalami defisiensi vitamin D.9-12
Terdapat banyak bukti yang menunjukkan bahwa vitamin D
berdampak dalam mengurangi proses yang terjadi dalam peradangan
tersebut dengan meningkatkan regulasi mediator-mediator
antiinflamasi. Vitamin D commit to userpenurunan regulasi respon imun
menginduksi
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Th1 dan proliferasi dari sel B yang teraktivasi serta meningkatkan


regulasi Treg. Sejalan dengan hal ini, beberapa penelitian terbaru
mengidentifikasi kemungkinan hubungan antara kadar vitamin D yang
rendah dengan aktivitas penyakit pada LES. Studi lain tidak
menemukan hubungan yang signifikan antara kadar vitamin D dan
sitokin, adanya sindrom anti-fosfolipid, SLEDAI atau SLICC, antibodi
anti-dsDNA, C3 dan C4. Penulis lain melaporkan tidak adanya
hubungan yang signifikan antara kadar 25 (OH) D dan aktivitas
penyakit berdasarkan skor SLEDAI. Belum terdapat penelitian yang
menghubungkan kadar vitamin D dan aktivitas penyakit pada anak di
Indonesia.15-18
American College of Rheumatology merekomendasikan asupan
harian 800–1000 IU per hari vitamin D pada pasien pada saat
dimulainya glukokortikoid. Penelitian di Australia pada pasien dewasa,
menyatakan terapi vitamin D pada LES merekomendasikan
pengobatan defisiensi vitamin D dengan 3000– 5000 IU per hari
selama 6-12 minggu diikuti dengan pemeliharaan dosis 1000-2000 IU
per hari. Pada penelitian di Indonesia hanya terdapat penelitian dengan
subjek penderita LES dewasa yang diberikan terapi vitamin D 2000
IU/hari.18-20
B. Rumusan Masalah
Adakah hubungan pemberian terapi Vitamin D terhadap penurunan
aktivitas penyakit LES anak di RSUD Dr. Moewardi Surakarta?
C. Tujuan penelitian
1. Tujuan umum
Menganalisis hubungan pemberian terapi vitamin D terhadap
penurunan aktivitas penyakit LES.
2. Tujuan khusus
a. Menganalisis aktivitas penyakit LES sebelum dan sesudah
pemberian vitamin D.
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

b. Menganalisis profil vitamin D pada penderita LES sebelum dan


sesudah pemberian vitamin D.
D. Manfaat penelitian
1. Manfaat bidang akademik untuk Ilmu Kesehatan Anak khususnya
bagian Alergi-Imunologi dan Endokrinolog
a. Menghubungkan teori yang sudah ada sebelumnya
b. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk aplikasi
klinis protokol pemberian vitamin D pada penderita LES
c. Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan penelitian
lebih lanjut oleh peneliti lain
2. Manfaat bidang pelayanan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengurangi angka keparahan
penyakit LES dan mencegah komplikasi sehingga perlu mendapat
perawatan inap jangka panjang yang mungkin terjadi.
3. Manfaat bidang kedokteran keluarga
Dengan pemberian vitamin D sehingga aktivitas anak tidak terganggu.
Dengan demikian, efek jangka panjang yang tidak baik dapat dihindari
dan kualitas hidup pasien diharapkan tetap optimal.

commit to user

Anda mungkin juga menyukai