Anda di halaman 1dari 75

TUGAS TAKE HOME

EVIDANCE BASE PADA KASUS DENGAN GANGGUAN SISTEM


PERKEMIHAN, IMUNOLOGI, MUSKULOSKELETAL, INTEGUMEN,
PERSYARAFAN DAN PERSEPSI SENSORI

OLEH KELOMPOK 3 :
F.B.NYANGKO PL2321001
AGUSTINA PL2321022
MIRANTI PL2321016
WIDYASTUTI M PL2321014
EKSATIKA PL2321008
RIYANI ADI ARTI PL2321015
SARI ASTUTI PL2321024
LIDUWINA PL2321026
YUNI ANDRIANI PL2321005

PROGRAM STUDI NERS REKOGNISI PEMBELAJARAN LAMPAU


INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN MUHAMMADIYAH
KALIMANTAN BARAT

TAHUN 2024
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat limpahan kasih dan karunia-Nyalah kami dapat menyusun dan
menyelesaikan tugas take home dengan judul evidance base pada kasus dengan
gangguan sistem perkemihan, imunologi, muskuloskeletal, integumen, persyarafan
dan persepsi sensori.

Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah


Keperawatan Anak Sehat dan Sakit. Selain itu, tugas ini diharapkan dapat
memberikan tambahan wawasan dan informasi bagi mahasiswa keperawatan dalam
tentang evidance base pada kasus dengan gangguan sistem perkemihan, imunologi,
muskuloskeletal, integumen, persyarafan dan persepsi sensori secara lebih optimal
dan komprehensif.

Kami selaku penulis tidak lupa untuk mengucapkan terima kasih kepada
Bapak Ns. Jaka Pradika, M. Kep., selaku koordinator mata kuliah Keperawatan
dewasa. Tidak lupa bagi pihak-pihak lain yang telah mendukung dan memberikan
suport dalam penyelesaian makalah ini, kami mengucapkan terima kasih.

Kami menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari
itu kami membutuhkan kritik dan saran yang sifatnya membangun potensi kami,
agar kedepannya bisa mengerjakan makalah dengan lebih baik lagi. Semoga
makalah ini dapat memberi azas manfaat bagi para pembaca, dan bagi kami
khususnya sebagai penulis.

Sintang, Februari 2024

Kelompok 3
Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 21 No.1, Maret 2018, hal 43-50
pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203
DOI: 10.7454/jki.v21i1.542

REGULASI DIRI PADA PENYAKIT KRONIS—SYSTEMIC LUPUS


ERYTHEMATOSUS: KAJIAN LITERATUR

Atikah Fatmawati*

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Majapahit Mojokerto, Jawa Timur, 61364, Indonesia

*E-mail: tikaners87@gmail.com

Abstrak

Penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah salah satu penyakit yang terkait dengan sistem imun. Penyakit SLE
masih tergolong penyakit yang awam di Indonesia. Banyak faktor yang memengaruhi terjadinya kasus SLE di Indonesia,
antara lain belum terpenuhinya kebutuhan pasien dan keluarganya tentang informasi, pendidikan, dan dukungan yang
terkait dengan SLE. Hal ini diperlukan agar pasien mudah dalam penanganan penyakit terkait. Artikel dikumpulkan
melalui database elektronik CINAHL, ScienceDirect, dan Proquest menggunakan kata kunci manajemen diri, sistemik
lupus erythemathosus, kelelahan, dan depresi. Kriteria inklusi adalah penelitian terhadap jurnal yang diterbitkan pada
periode antara tahun 2008-2017. Upaya mengurangi efek negatif penyakit kronis mutlak diperlukan. Salah satunya adalah
penerapan program manajemen diri pada pasien SLE. Telah terbukti bahwa penerapan manajemen diri memiliki efek
dalam mengurangi kelelahan dan depresi, dan meningkatkan keterampilan mengatasi dan efikasi diri. Pengetahuan dan
pemahaman tentang program keperawatan yang relevan dalam pengelolaan penyakit kronis harus dikembangkan dalam
lingkup praktik dan penelitian. Oleh karena itu, partisipasi aktif pasien dan keluarga merupakan komponen penting dalam
keberhasilan program pengobatan.

Kata kunci : depresi, kelelahan, manajemen diri, regulasi diri, dan sistemik lupus erythemathosus

Abstract

Self Regulation in Chronic Illness - Systemic Lupus Erythematosus: Literature Review. Systemic Lupus Erythematosus
(SLE) is one of the diseases that associated with immune system. SLE is still classified as a disease that lay in Indonesia.
Many factors that cause this disease are not detected, one of which has not fulfilled the needs of patients and family of
information, education, and support that is associated with SLE. This is necessary to enable the patient in self-
management related illness. Articles were collected through electronic databases CINAHL, Science Direct, and ProQuest
using keywords self-management, systemic lupus erythematosus, fatigue, and depression. The inclusion criteria were
studies to journals published in the period between the years 2008-2017. Efforts to reduce the negative effects of chronic
disease is absolutely necessary. One is the application of self-management program in patients with SLE. It has been
proven that the application has an effect in reducing fatigue and depression, and increasing coping skills and self-efficacy.
Knowledge and understanding of relevant nursing programs in chronic disease self-management should be developed
within the scope of practice and research. So that the active participation of the patient and family is an important
component in the success of a treatment program.

Keywords : depression, fatigue, self management, self regulation, and systemic lupus erythemathos

Pendahuluan Isenberg, & Newman, 2012). Istilah penyakit


SLE telah diperkenalkan oleh dokter pada abad
Penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE) ke-19 untuk menggambarkan lesi di kulit, dan
adalah penyakit yang ditandai dengan produksi membutuhkan waktu hampir 100 tahun untuk
antibodi yang berlebihan terhadap komponen akhirnya menyadari bahwa penyakit ini bersifat
inti sel, dan menimbulkan berbagai macam ma- sistemik pada beberapa organ yang disebabkan
nifestasi klinis pada organ (Cleanthous, Tyagi, respon autoimun yang menyimpang (Tsokos,
44 Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 21, No. 1, Maret 2018, hal 43-50

2011). Penyebab pasti dari penyakit SLE sam- terlambat diketahui dan diobati dengan benar
pai saat ini masih belum diketahui. Namun karena cukup banyak dokter yang tidak menge-
terdapat beberapa faktor yang diduga menjadi tahui atau kurang waspada tentang gejala pe-
faktor risiko dari penyakit ini, yaitu genetik, nyakit dan dampaknya terhadap kesehatan. Hal
lingkungan, regulasi sistem imun, hormonal, ini disebabkan karena tanda dan gejala yang
dan epigenetic (Bartels, et al., 2013). ditimbulkan oleh penyakit SLE ini masih terlalu
umum dan seringkali merujuk pada penyakit
SLE adalah hasil dari regulasi sistem imun yang lain, misalnya malaria, nyeri sendi, dan lain-
terganggu yang menyebabkan produksi berle- lain.
bihan dari autoantibodi. Pada kondisi normal
tubuh manusia, antibodi diproduksi dan diguna- Odapus harus berhadapan dengan beragai ma-
kan untuk melindungi tubuh dari benda asing cam keterbatasan aktivitas yang disebabkan oleh
(virus, kuman, bakteri, dll). Namun pada kon- kemungkinan munculnya tanda dan gejala pe-
disi SLE, antibodi tersebut kehilangan kemam- nyakit. Hal ini bukan tidak mungkin dapat me-
puan untuk membedakan antara benda asing mengaruhi aktifitas kesehariannya. Faktor yang
dan jaringan tubuh sendiri. Secara khusus, sel B dapat memengaruhi yaitu belum terpenuhinya
dan sel T berkontribusi pada respon imun pe- kebutuhan Odapus dan kelurganya tentang in-
nyakit SLE ini (Smeltzer, Bare, Hinkle, & formasi, pendidikan, dan dukungan yang terkait
Cheever, 2010). dengan SLE. Dengan minimalnya tingkat pe-
ngetahuan pasien dengan SLE, maka dikhawa-
Penyakit SLE masih tergolong penyakit yang tirkan status aktivitas penyakitnya pun akan ber-
awam di Indonesia. Akan tetapi tidak berarti ada pada level yang buruk, akibat ketidaktahu-
bahwa tidak ada orang yang menderita penyakit an tentang perilaku apa saja yang harus diper-
ini. Prevalensi penyakit SLE ini semakin hari hatikan pada penyakit SLE ini. Maka dari itu,
semakin banyak diteliti. Prevalensi berkisar dibutuhkan suatu kajian mengenai peran self
antara 20–150 kasus per 100.000 penduduk, regulation sebagai bagian dari terapi pada SLE
dengan prevalensi yang tertinggi terdapat di yang dapat dilakukan oleh pasien dengan ban-
negara Brazil. Di Amerika Serikat, orang-orang tuan perawat, dalam rangka mengurangi efek
Afrika, Hispanik, atau Asia keturunan cende- negatif yang mungkin muncul dari penyakit
rung memiliki angka prevalensi yang tinggi di- SLE ini.
bandingkan dengan kelompok ras atau etnis
lainnya. Tingkat kelangsungan hidup selama 10 Metode
tahun pada Odapus (Orang dengan Lupus) ber-
kisar pada 70% (Tsokos, 2011). Di Indonesia, Metode penulisan artikel menggunakan pene-
data jumlah Odapus belum diketahui secara lusuran literatur melalui database online yaitu
pasti. Survey yang dilakukan Prof. Handono CINAHL, ScienceDirect, dan Proquest. Lite-
Kalim, dkk. menunjukkan jumlah Odapus ada- ratur dibatasi dari tahun 2008–2017 dengan kata
lah sebesar 0,5% dari total populasi penduduk kunci “manajemen diri”, “sistemik lupus ery-
yang ada di Malang (Kemenkes RI, 2017). themathosus”, “kelelahan”, dan “depresi”. Se-
banyak 15 artikel didapatkan pada kajian lite-
Banyak pasien yang datang ke rumah sakit su- ratur ini.
dah dalam kondisi penyakit SLE yang serius,
ini mungkin dikarenakan terlambatnya pasien Hasil
tersebut mengenali tanda dan gejala. Sehingga
banyak kasus SLE yang tidak terdeteksi keber- Efek yang Mungkin Muncul pada SLE. Ber-
adaannya. Masalah tidak terdeteksinya kasus bagai efek dapat timbul pada pasien dengan
SLE di Indonesia dapat dikarenakan berbagai SLE. Efek tersebut dapat datang dari efek se-
macam hal, antara lain seringnya penyakit ini cara fisik maupun efek secara psikologis. Pada
Fatmawati, et al., Regulasi Diri pada Penyakit Kronis—Systemic Lupus Erythematosus: Kajian Literatur 45

penderita lupus jaringan di dalam tubuh diang- prevalensi kejadian depresi pada perempuan
gap benda asing. Rangsangan dari jaringan ter- yang menderita SLE adalah sebesar 18,75% (15
sebut akan bereaksi dengan sistem imunitas dan dari 80 perempuan yang diteliti) (Sehlo &
akan membentuk antibodi yang berlebihan, di- Bahlas, 2013). Studi lain yang dilakukan di Iran
mana antibodi yang berfungsi sebagai pertahan- tahun 2005 menyebutkan dari 85 pasien SLE
an tubuh terhadap penyakit, masuk ke dalam yang diteliti terdapat 60% yang menderita dep-
tubuh justru akan menyerang sel-sel jaringan resi. Gejala-gejala depresi yang sering muncul
organ tubuh yang sehat dan berbagai jaringan pada responden, antara lain kelemahan dan
organ tubuh seperti jaringan kulit otot tulang, kelelahan (88,2%), kesedihan (77,6%), perasa-
ginjal, sistem saraf, kardiovaskular, paru-paru, an mudah tersinggung (82,3%), sedangkan ge-
dan hati (Tsokos, 2011). jala yang terkadang muncul, antara lain ke-
hilangan berat badan (34,1%), penurunan ener-
Efek psikologis pun muncul pada Odapus, me- gi (28,2%), sampai pada ide untuk bunuh diri
ngingat manifestasi klinisnya yang menyerang (10,5%) (Zakeri, et al., 2012).
berbagai macam organ, diantaranya ginjal, ku-
lit, paru-paru, otak, dan jantung. Salah satu efek SLE berpotensi memiliki banyak tantangan yang
yang sangat terlihat dan menjadi ciri pada Oda- berhubungan dengan cara untuk mengatasi kon-
pus adalah adanya butterfly rush (kemerahan disi kronis dari penyakit ini dan regimen peng-
pada wajah di sekitar pipi) yang dapat menu- obatannya. Dengan demikian, SLE, dapat mem-
runkan kepercayaan diri dan tidak jarang meng- bawa dampak yang cukup signifikan pada kua-
akibatkan depresi. Hal ini dapat memengaruhi litas hidup individu yang mengalaminya (Zakeri,
aktivitas kehidupan sehari-harinya. Dalam ka- et al., 2012). Saat ini yang banyak terjadi adalah
itannya terhadap keterlibatan sistem saraf pusat banyak peneliti klinis dan dokter yang meneliti
pada SLE, banyak yang mengarah ke spektrum tentang SLE menemukan bahwa pasien harus
yang lebih luas dari gejala neurologis, dian- dikaji secara holistik, akan tetapi yang banyak
taranya kejang, stroke, chorea, mielopati, dan terjadi adalah hanya berfokus pada kerusakan
gejala kejiwaan. Adapun gejala kejiwaan yang organ yang terjadi, infeksi, penyakit penyerta,
sering muncul pada pasein SLE adalah kondisi dan efek samping obat. Peneliti juga menemu-
depresi, kecemasan, psikosis, dan kebingungan kan bahwa penting bagi dokter dan tenaga ke-
yang bersifat akut (Nery, et al., 2008). sehatan untuk menyadari dan mengkaji konse-
kuensi fungsional dan sosial pada pasien SLE,
Dalam satu studi yang dilakukan di wilayah dan upaya untuk meningkatkan kualitas hidup-
Saudi Arabia pada 2013 menunjukkan bahwa nya (Griffiths, Mosca, & Gordon, 2005).

Gambar 1. Model Manajemen Diri Pada Penyakit Kronis (Sumber: Udlis, 2011)
46 Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 21, No. 1, Maret 2018, hal 43-50

Pembahasan hatan. Peningkatan kualitas hidup sebagai kon-


sekuensi yang terakhir merupakan efek yang
Self-Management Skills pada SLE. Banyak dapat timbul dengan semakin membaiknya dan
yang beranggapan bahwa penyakit SLE adalah semakin meningkatnya kemampuan pasien da-
penyakit yang bersifat fatal. Anggapan tersebut lam self-management.
terjadi karena adanya ketidaktepatan dalam hal
manajemen penyakit yang dapat datang dari sisi Menurut Bomar (2012), terdapat beberapa ke-
pasien dan bahkan tenaga kesehatan. Aktivitas mampuan dan keterampilan yang harus diinte-
harian pasien dapat terganggu karena efek sam- grasikan dalam self-management pada penyakit
ping yang mungkin muncul dari pengobatan SLE ini, diantaranya komunikasi, koping dan
jangka panjang dan ketidakmampuan pasien stres, aktifitas fisik, pengaturan obat, nutrisi, dan
untuk mengatasinya. Peningkatan kelangsung- perawatan kesehatan alternatif. Komunikasi
an hidup pada Odapus perlu untuk dilakukan, menjadi bagian penting dalam self-management.
karena hal ini dapat menggeser beban pengelo- Tidak hanya antara pasien dan tenaga kese-
laan penyakit dari mengobati berbagai gejala hatan, akan tetapi juga dibutuhkan peran serta
yang muncul ke upaya-upaya pencegahan mun- keluarga. Komunikasi yang melibatkan pihak
culnya gejala tersebut (Drenkard, et al., 2012). keluarga atau mitra yang mendukung akan
membawa manfaat, diantaranya meningkatkan
Integrasi self-management pada perawatan pa- komunikasi pasangan, meningkatkan keteram-
sien dengan SLE mempunyai efek positif, yaitu pilan mengatasi masalah, dan meningkatkan
hasil klinis yang membaik, mengurangi pe- dukungan sosial (Karlson, et al., 2004; Koroma,
ngeluaran dana perawatan kesehatan, dan pe- 2012).
ningkatan kualitas hidup (Udlis, 2011). Hasil
klinis yang membaik dapat menjadi salah satu Dalam Model of Inner Strength yang dikem-
indikator keberhasilan dari suatu program self- bangkan oleh Lundman, et al., (2010), disebut-
management pada penyakit kronis. Konsekuen- kan bahwa inner strength adalah kondisi se-
si lain yaitu berkurangnya pengeluaran pembia- seorang yang memiliki pandangan tentang ke-
yaan kesehatan. Hal ini dapat terjadi karena hidupan dimana perubahan dari berbagai jenis
dengan meningkatnya kemampuan pasien un- adalah bagian alami dari kehidupan. Inner
tuk me-manage kondisi penyakit dan kesehat- strength sendiri terkait erat dengan hubungan,
an, maka akan semakin berkurang juga jumlah baik itu hubungan dengan keluarga, teman, ko-
kunjungan mereka ke pusat pelayanan kese- munitas, alam, dan dimensi spiritual yang dapat

Communication

Alternative health Stress & Coping


care

Physical
Nutrition
activity

Drugs
management

Gambar 2. Keterampilan Manajemen Diri Pada SLE (Sumber: Bomar, 2012)


Fatmawati, et al., Regulasi Diri pada Penyakit Kronis—Systemic Lupus Erythematosus: Kajian Literatur 47

membawa efek pada berbagai macam cara da- kit kardiovaskular. Mendidik pasien dengan
lam menghadapi perubahan yang terjadi di ke- SLE tentang pengaruh lemak dan tujuan me-
hidupan (Viglund, Jonsén, Strandberg, Lundman, ngontrol tekanan darah untuk meminimalkan
& Nygren, 2013). Hal ini mendukung penting- risiko penyakit arteri koroner. Pasien dengan
nya komunikasi dan juga dukungan sosial ter- SLE juga perlu diberikan pendidikan kesehatan
hadap kemampuan pasien dalam melaksanakan terkait nutrisi, diantaranya untuk menambah
self-management pada penyakitnya. konsumsi makanan yang mengandung kalsium
dan vitamin D (Wheeler, 2010; Robinson, Cook,
Koping dan stres mengacu pada kemampuan & Currie, 2011).
pasien untuk mengatasi stressor yang mungkin
datang akibat serangan berulang penyakit, efek Penyakit SLE dapat menyebabkan gejala se-
pengobatan jangka panjang, gejala ketidaknya- rangan yang mendadak, maka dari itu diper-
manan pada tubuh, dan lain-lain. Pasien dengan lukan pengetahuan dan kemampuan pasien da-
penyakit SLE ini akan mengalami berbagai lam pengambilan keputusan yang tepat terkait
perubahan dalam fungsi fisik saat berada pada pemilihan dan penentuan fasilitas pelayanan
kondisi serangan, selain itu perasaan depresi kesehatan yang akan digunakannya. Selain fa-
dan putus asa juga akan muncul akibat ke- silitas pelayanan kesehatan yang bersifat kon-
tidakpastian gejala dan efek pengobatan, serta vensional, perawatan yang bersifat alternative
prognosis yang tidak pasti (Sohng, 2003). Hal dan komplementer juga dibutuhkan untuk me-
ini tentunya membutuhkan suatu intervensi dari ngurangi efek negative dari penyakit. Pilihan
perawat untuk membantu pasien melewati kon- perawatannya dapat berupa obat herbal, aku-
disi stress dengan cara mengembangkan meka- puntur, massage, yoga, dan lain-lain (Bomar,
nisme koping yang efektif. 2012).

Aktivitas fisik juga penting untuk diperhatikan Satu hal penting lain terkait self-management
pada pasien dengan SLE ini, terutama terkait pada pasien SLE, yaitu perencanaan kehamilan.
upaya untuk mengurangi paparan sinar ultra- Perencanaan kehamilan penting untuk diper-
violet yang kemungkinan dapat menimbulkan hatikan oleh wanita dengan SLE. Kesuburan
eksaserbasi. Penggunaan sun screen/sun pro- penderita SLE sama dengan populasi wanita
tection selama aktivitas di luar ruangan serta bukan SLE. Beberapa penelitian mendapatkan
penggunaan baju tertutup dan topi, perlu untuk kekambuhan lupus selama kehamilan namun
disampaikan pada pasien. Selain itu, penjad- umumya ringan, tetapi jika kehamilan terjadi
walan aktivitas fisik yang berada di luar ru- pada saat nefritis masih aktif maka 50–60%
angan perlu untuk dilakukan guna mencegah eksaserbasi, sementara jika nefritis lupus dalam
paparan matahari yang terlalu lama (Wheeler, keadaan remisi 3–6 bulan sebelum konsepsi
2010; Tsokos, 2011; Koroma, 2012; Bartels, et hanya 7–10% yang mengalami kekambuhan.
al., 2013). Kemungkinan untuk mengalami pre-eklampsia
dan eklampsia juga meningkat pada penderita
Pengaturan obat dan nutrisi pada pasien dengan dengan nefritis lupus dengan faktor predisposisi
SLE penting untuk dipahami, baik oleh pasien, yaitu hipertensi dan sindroma anti fosfolipid
keluarga, maupun tenaga kesehatan. Perawat (APS).
perlu menekankan pentingnya kepatuhan ter-
hadap pengobatan dan tindak lanjut untuk de- Jika penderita SLE ingin hamil dianjurkan se-
teksi dan pengendalian penyakit SLE. Instruk- kurang-kurangnya setelah 6 bulan aktivitas pe-
sikan pasien untuk mencari perawatan medis nyakitnya terkendali atau dalam keadaan remisi
jika muncul gejala baru, termasuk demam total. Pada lupus nefritis jangka waktu lebih
(Panjwani, 2009). Menasihati pasien SLE me- lama sampai 12 bulan remisi total. Hal ini dapat
ngenai risiko tinggi terhadap infeksi dan penya- mengurangi kekambuhan lupus selama hamil.
48 Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 21, No. 1, Maret 2018, hal 43-50

Pengaruh kehamilan pada SLE terhadap fetus self-management ini memiliki efek dalam me-
adalah adanya kemungkinan peningkatan risiko ngurangi kondisi fatigue (p= 0,049) dan depresi
terjadi fetal heart block (kongenital) sebesar (0,025), serta meningkatkan kemampuan ko-
2%. Kejadian ini berhubungan dengan adanya ping (0,007) dan self-efficacy (p= 0,001). Pro-
antibodi anti Ro/SSA atau anti La/SSB (Kasjmir, gram ini memiliki potensi untuk menjadi inter-
et al., 2011). vensi keperawatan terbaik di tatanan komunitas
(Sohng, 2003). Dalam studi ini lebih terlihat
Evidence Based Practice. Fenomena penyakit efek self-management terhadap kondisi psycho-
konis akan semakin meningkat jumlahnya dari social daripada efek terhadap kondisi nyeri dan
hari ke hari dan membutuhkan suatu model aktivitas penyakit setelah pemberian intervensi.
perawatan yang tepat (Weinert, Cudney, &
Spring, 2008; Udlis, 2011). Hal inilah yang Dalam program self-management ini, intervensi
menjadi dasar untuk dilaksanakannya program yang dapat diberikan adalah terkait dengan
self-management pada pasien. Terdapat 5 di- psychoeducational. Salah satu penelitian RCT
mensi yang terintegrasi dalam program terse- yang dilakukan di Amerika Serikat menunjuk-
but, yaitu sumber daya, pengetahuan, kepa- kan bahwa psychoeducational tersebut dapat
tuhan terhadap rencana, adanya partisipasi meningkatkan kemampuan komunikasi pasang-
aktif, dan kemampuan pengambilan keputusan an (p= 0,01), self-efficacy (p= 0,004), status
(Udlis, 2011). Self-management ini didukung kesehatan mental (p= 0,03), dan menurunkan
oleh teori model keperawatan, yaitu Watson’s skor fatigue (p= 0,02) dibandingkan dengan ke-
Caring Model, yang memiliki tujuan untuk lompok kontrol (Karlson, et al., 2004).
meningkatkan keseimbangan aspek dalam in-
dividu (body, mind, and spirit) melalui self- Kesimpulan
knowledge, self-reverence, self-healing, dan self-
care (Leong, Wa, Peggy, & Chio, 2013). Fenomena jumlah penyakit kronis yang terus
meningkat membutuhkan suatu penanganan
Salah satu dimensi yang harus terintegrasi khusus. Hal ini dalam upaya untuk mengurangi
dalam self-management ini adalah adanya parti- efek negatif yang mungkin muncul. Salah satu-
sipasi aktif dari pihak yang terkait, diantaranya nya adalah penerapan program self-manage-
adalah pasien, keluarga, dan juga tenaga ke- ment ini pada pasien dengan penyakit kronis,
sehatan. Dalam satu literatur disebutkan bahwa salah satunya adalah penyakit SLE. Telah ter-
faktor yang dapat memengaruhi kesuksesan bukti bahwa program self-management ini me-
penerapan self-management ini adalah karak- miliki efek dalam mengurangi kondisi fatigue
teristik pribadi dari pasien. Perawat harus mam- dan depresi, serta meningkatkan kemampuan
pu mendapatkan data tentang pemahaman pa- koping dan self-efficacy. Oleh karena itu, self-
sien tentang kondisi penyakit, yang hal ini akan management dapat menjadi suatu intervensi
digunakan untuk mengembangkan hubungan terbaik untuk pasien.
terapeutik pasien-perawat, mengidentifikasi dan
menentukan kebutuhan pendidikan, mengadop- Pengetahuan dan pemahaman perawat terkait
si strategi yang tepat, dan menyesuaikan inter- program self-management pada penyakit kronis
vensi pendidikan atau program self-manage- harus terus dikembangkan dalam lingkup pra-
ment (Bagnasco, et al., 2013). ktik dan penelitian. Hal ini didukung oleh jus-
tifikasi bahwa semakin kekinian konsep asuhan
Sampai saat ini telah terdapat beberapa pene- keperawatan akan berubah menjadi patient and
litian yang membahas tentang efek dari self- family center care. Peran serta aktif pasien dan
management pada penyakit SLE. Dalam pene- keluarga merupakan suatu komponen penting
litian yang dilakukan di Rheumatology Hospital dalam kesuksesan suatu program perawatan
–Korea Selatan, menunjukkan bahwa program (JH, AW, TN).
Fatmawati, et al., Regulasi Diri pada Penyakit Kronis—Systemic Lupus Erythematosus: Kajian Literatur 49

Referensi Arthritis and Rheumatism, 50 (6), 1832–


1841. https://doi.org/10.1002/art.20279
Bagnasco, A., Di Giacomo, P., Da Rin Della Mora,
R., Catania, G., Turci, C., Rocco, G., & Kasjmir, Y., Handono, K., Wijaya, L. K., Hamijoyo,
Sasso, L. (2013). Factors influencing self- L., Albar, Z., Kalim, H., … Ongkowijaya.
management in patients with type 2 diabetes: (2011). Rekomendasi Perhimpunan Reuma-
a quantitative systematic review protocol. tologi Indonesia untuk Diagnosis dan
Journal of Advanced Nursing, 187–200. Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik.
https://doi.org/10.1111/jan.12178 Jakarta: Perhimpunan Reumatologi Indonesia.

Bartels, C.M., Diamond, H.S., Muller, D., Farina, Koroma, F. (2012). Systemic lupus erythematosus:
A.G., Goldberg, E., Hildebrand, J., … nurse and patient education. Nursing
Lakdawala, V.S. (2013). Systemic Lupus Standard (Royal College of Nursing), 26(39),
Erythematosus (SLE). Retrieved from http:// 49–58.
www.emedicine.medscape.com
Leong, L.T., Wa, S., Peggy, L., & Chio, H.I. (2013).
Bomar, M.G. (2012). Systemic Lupus Erythema- Understanding Watson's caring model in the
tosus: Self Management Skills in Chronic self-management program for chronic heart
Illness. Retrieved from http://shp.missouri. failure patient. Macau Journal of Nursing, 12
edu/vhct/case2700/self_mgmt.htm (1), 42–48.

Cleanthous, S., Tyagi, M., Isenberg, D.A., & Lundman, B., Aléx, L., Jonsén, E., Norberg, A.,
Newman, S.P. (2012). What do we know Nygren, B., Santamäki Fischer, R., &
about self-reported fatigue in systemic lupus Strandberg, G. (2010). Inner strength--a
erythematosus? Lupus, 21 (5), 465–476. theoretical analysis of salutogenic concepts.
https://doi.org/10.1177/0961203312436863 International Journal of Nursing Studies, 47
(2), 251–260. https://doi.org/10.1016/j.ijnurs
Kemenkes RI. (2017). Situasi Lupus di Indonesia. tu.2009.05.020
Jakarta: Pusdatin–Pusat Data dan Informasi
Kementerian Kesehatan RI. ISSN: 2442- Nery, F.G., Borba, E.F., Viana, V.S.T., Hatch, J.P.,
7659. Soares, J.C., Bonfá, E., & Neto, F.L. (2008).
Prevalence of depressive and anxiety
Drenkard, C., Dunlop-Thomas, C., Easley, K., Bao, disorders in systemic lupus erythematosus
G., Brady, T., & Lim, S. S. (2012). Benefits and their association with anti-ribosomal P
of a self-management program in low- antibodies. Progress in Neuro-Psychophar-
income African-American women with macology & Biological Psychiatry, 32(3),
systemic lupus erythematosus: Results of a 695–700. https://doi.org/10.1016/j.pnpbp.20
pilot test. Lupus, 21 (14), 1586–1593. 07.11.014
https://doi.org/10. 1177/0961203312458842
Panjwani, S. (2009). Early diagnosis and treatment
Griffiths, B., Mosca, M., & Gordon, C. (2005). of discoid lupus erythematosus. Journal of
Assessment of patients with systemic lupus The American Board of Family Medicine,
erythematosus and the use of lupus disease 22(2). https://doi.org/10.3122/jabfm.2009.0
activity indices. Best Practice & Research. 2.080075
Clinical Rheumatology, 19 (5), 685–708.
https://doi.org/10.1016/j.berh.2005.03.010 Robinson, M., Cook, S.S., & Currie, L.M. (2011).
Systemic lupus erythematosus: a genetic
Karlson, E.W., Liang, M.H., Eaton, H., Huang, J., review for advanced practice nurses. Journal
Fitzgerald, L., Rogers, M.P., & Daltroy, L.H. of the American Academy of Nurse
(2004). A randomized clinical trial of a Practitioners, 23 (12), 629–637. https://doi.
psychoeducational intervention to improve org/10.1111/j.1745-7599.2011.00675.x
outcomes in systemic lupus erythematosus.
50 Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 21, No. 1, Maret 2018, hal 43-50

Sehlo, M.G., & Bahlas, S.M. (2013). Perceived Weinert, C., Cudney, S., & Spring, A. (2008).
illness stigma is associated with depression in Evolution of a conceptual model for
female patients with systemic lupus adaptation to chronic illness. Journal of
erythematosus. Journal of Psychosomatic Nursing Scholarship : An Official Publica-
Research, 74 (3), 248–251. https://doi.org/ tion of Sigma Theta Tau International Honor
10.1016/j.jpsychores.2012.09.023 Society of Nursing / Sigma Theta Tau, 40(4),
364–372. https://doi.org/10.1111/j.1547-50
Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, J.L., & Cheever, 69.2008.00241.x
K.H. (2010). Brunner and Suddarth textbook
of medical surgical nursing (12th Ed.). Wheeler, T. (2010). Systemic lupus erythematosis:
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. the basics of nursing care. British Journal of
Nursing (Mark Allen Publishing), 19(4),
Sohng, K. Y. (2003). Effects of a self-management 249–253. Retrieved from http://www.ncbi.
course for patients with systemic lupus nlm.nih.gov/pubmed/20220676
erythematosus. Journal of Advanced Nursing,
42 (5), 479–486. Zakeri, Z., Shakiba, M., Narouie, B., Mladkova, N.,
Ghasemi-Rad, M., & Khosravi, A. (2012).
Tsokos, G.C. (2011). Systemic lupus erythema- Prevalence of depression and depressive
tosus. The New England Journal of Medicine, symptoms in patients with systemic lupus
365 (22), 2110–2121. https://doi.org/10.10 erythematosus: Iranian experience.
56/NEJMra1100359 Rheumatology International, 32 (5), 1179–
1187. https://doi.org/10.1007/s00296-010-17
Udlis, K.A. (2011). Self-management in chronic 91-9
illness: concept and dimensional analysis.
Journal of Nursing and Healthcare of
Chronic Illness, 3 (2), 130–139. https://doi.
org/10.1111/j.1752-9824.2011.01085.x

Viglund, K., Jonsén, E., Strandberg, G., Lundman,


B., & Nygren, B. (2013). Inner strength as a
mediator of the relationship between disease
and self-rated health among old people.
Journal of Advanced Nursing. https://doi.
org/10.1111/jan.12179
Fatmawati, et al., Regulasi Diri pada Penyakit Kronis—Systemic Lupus Erythematosus: Kajian Literatur 51

Kesimpulan kelompok :

1. Berdasarkan hasil penelitian diatas bahwa


Fenomena jumlah penyakit kronis yang
terus meningkat dan membutuhkan suatu
penanganan khusus. Hal ini dalam upaya
untuk mengurangi efek negatif yang
mungkin muncul. program self-manage-
ment pada pasien dengan penyakit kronis,
salah satunya adalah penyakit SLE.

2. Pengetahuan dan pemahaman perawat


terkait program self-management pada
penyakit kronis harus terus dikembangkan
dalam lingkup pra- ktik dan penelitian.
Hal ini didukung oleh jus- tifikasi bahwa
semakin kekinian konsep asuhan
keperawatan akan berubah menjadi
patient and family center care. Peran serta
aktif pasien dan keluarga merupakan suatu
komponen penting dalam kesuksesan
suatu program perawatan (JH, AW, TN).
Compromise Journal : Community Proffesional Service Journal
Vol. 1 No. 4 November 2023
e-ISSN : 3026-5789 dan p-ISSN : 3026-5797, Hal 29-36

Analisis CT Scan Urografi Dengan Klinis Batu Saluran Kemih


Di InstalasiRadiologi Rumah Sakit Bhayangkara Makassar
Surtika Umar 1 , I Putu Eka Juliantara 2 , I Kadek Sukadana 3
1 Akademi Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi Bali, Indonesia
email korespondensi : surtikaumar0415@gmail.com

Abstract: Analysis Of CT Scan Urography With Clinical Urinary Tract Stones in Radiology Installation Of
Bhayangkara Hospital Makassar Background: Urinary tract stones are the growth of hard, stone-like masses in
the human urinary tract.The prevalence of urinary tract stones (BSK) in Indonesia is still not known for certain, but
estimates suggest thatthere are around 170,000 cases of BSK every year. CT Scan is a radiological examination
modality for diagnosing urinary tract stones with a sensitivity level of around 95%-100% and a specificity level of
around 96%-98% for detecting urinary tract stones, so CT Scan is considered the gold standard in diagnosing this
condition. Research Objectives: This study aims to determine the management of CT Scan Urography in clinical
urinary tract stones in the Radiology Installation of Bhayangkara Hospital, Makassar. Method: This research
used descriptive qualitative research with a case study approach, the research subjects consisted of 3
radiographers, 1 radiologist, and 1 sending doctor. Data collection was carried out through severalstages, namely
observation, interviews and documentation. Results: The results of research at the Radiology Installation of
Bhayangkara Hospital, Makassar. The procedurefor CT Scan Urography examinations in clinical urinary tract
stones is that the patient drinks 750 ml of fresh teauntil he feels like he wants to urinate, then the examination is
carried out. The role and effect of giving plain tea can increase HU (Hounsfield Unit) density and also speed up
diuresis, thereby helping to shorten examination time. The excess caffeine content of plain tea can speed up the
process of increasing urine volume, thereby shortening the examination time.

Keywords: CT Scan, Urinary Tract Stones

Abstrak : Analisis CT Scan Urografi Dengan Klinis Batu Saluran Kemih di Instalasi Radiologi Rumah Sakit
Bhayangkara Makassar Batu saluran kemih merupakan pertumbuhan massa keras mirip batu di dalam saluran
kemih manusia. Prevalensi batu saluran kemih (BSK) di Indonesia masih belum dapat diketahui secara pasti, tetapi
perkiraan menyebutkan bahwa terdapat sekitar 170.000 kasus BSK setiap tahun. CT Scan merupakan modalitas
pemeriksaan radiologi untuk diagnosis Batu Saluran dengan tingkat sensitivitas sekitar 95%-100% dantingkat
spesifisitas sekitar 96%-98% untuk mendeteksi batu saluran kemih, sehingga CT Scan dianggap sebagaistandar
emas dalam diagnosis kondisi ini. Tujuan Penelitian : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Tatalaksana CT
Scan Urografi pada klinis batu saluran kemih di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Bhayangkara Makassar Metode
: Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif bersifat deskriptif dengan pendekatan studi kasus, subyek
penelitian terdiri dari 3 Radiografer, 1 radiolog, dan 1 dokter pengirim. Pengumpulan data dilakukan melalui
beberapa tahapan yaitu observasi, wawancara dan dokumentasi. Hasil : Hasil penelitian di Intalasi Radiologi
Rumah Sakit Bhayangkara Makassar Tatalaksana pemeriksaan CT Scan Urografi pada klinis batu saluran kemih
yaitu pasien meminum air teh tawar sebanyak 750 ml sampai merasa sudah ingin buang air kecil kemudian
dilakukan pemeriksaan. Peran dan pengaruh pemberian teh tawar dapat meningkatkan densitas HU (hounsfield
Unit) dan juga mempercepat diuresis sehingga membantu mempersingat waktu pemeriksaan. Kelebihan
kandungan kafein teh tawar dapat mempercepat proses menaikkan volume urine sehingga akan mempersingkat
waktu pemeriksaan.

Kata kunci: CT Scan, Batu Saluran Kemih

PENDAHULUAN
Batu saluran kemih atau lebih dikenal sebagai kalkulus urinarius adalah pertumbuhan
massa keras mirip batu di dalam saluran kemih manusia. Batu-batu ini dapat muncul di tiga
lokasi utama dalam sistem perkemihan yaitu ginjal (disebut batu ginjal), ureter (disebut batu
ureter) dan kandung kemih (disebut batu kandung kemih). Pembentukan batu ini disebut
sebagai urolitiasis, dan dapat menyebabkan gejala seperti nyeri, perdarahan, penyumbatan
saluran kemih, atau infeksi (1). Prevalensi batu saluran kemih (BSK) di Indonesia masih belum
dapat diketahui secara pasti, tetapi perkiraan menyebutkan bahwa terdapat sekitar 170.000

Received September 30, 2023; Revised Oktober 30, 2023; Accpted November 24, 2023
* Surtika Umar, surtikaumar0415@gmail.com
Analisis CT Scan
e-ISSN Urografi Dengan
: 3026-5789 Klinis: 3026-5797,
dan p-ISSN Batu SaluranHal
Kemih
29-36
Di InstalasiRadiologi Rumah Sakit Bhayangkara Makassar

kasus BSK setiap tahun. Angka kejadian BSK cenderung lebih tinggi pada pria, yaitu sekitar
empat kali lipat lebih tinggi di bandingkan pada wanita. Kejadian BSK umumnya terjadi pada
orang dengan rentang usia antara 30 hingga 50 tahun (2). Sebagai contoh penelitian yang
dilakukan oleh Hardjoenodi Makassar pada periode 1977-1979 menemukan 297 kasus BSK(3)
. Sementara itu, Rumah Sakit Bhayangkara Makassar tercatat sekitar 167 kasus BSK per tahun
dengan rata-rata usia pasien antara 30 hingga 60 tahun. Modalitas pemeriksaan radiologi untuk
diagnosis Batu Saluran Kemih yaitu Foto X-ray KUB (Kidney-Ureter-Bladder), Pielografi
Intravena (IVP), Ultrasound (USG), Magnetic Resonance Imaging (MRI), Dual Energy CT
Scan (DECT). Pemeriksaan CT Scan tanpa kontras adalah metode diagnostik dengan tingkat
sensitivitas sekitar 95%-100% dan tingkat spesifisitas sekitar 96%-98% untuk mendeteksi batu
saluran kemih, sehingga CT Scan dianggap sebagai standar emas dalam diagnosis kondisi ini.
Pada hasil CT Scan batu saluran kemih dapat dikenali sebagai area dengan tingkat atenuasi yang
tinggi, biasanya berkisar antara200-1200 Houndsfield Units (HU). Selain itu, CT Scan juga bisa
mengidentifikasi tanda-tanda tambahan seperti penyumbatan atau infeksi pada saluran kemih
yang dapat berhubungan dengan keberadaan batu. Keunggulan CT Scan meliputi kecepatannya,
ketidakperluan penggunaan media kontras, kemampuan sensitifitas yang tinggi dalam
mendeteksi batu denganberbagai ukuran, serta kemampuannya untuk mengidentifikasi kelainan
lain yang tidak terdugadi dalam atau di sekitar kandung kemih, seperti radang usus buntu,
divertikulitis, gangguan pankreas, dan lesi penyakit perut dengan gejala nyeri yang menyerupai
kolik ureter(4).
Air sering digunakan sebagai media kontras negatif yang memiliki kemampuan
menghasilkan gambar yang baik dan mereduksi artefak pada pemeriksaan saluran kemih.
Namun, penggunaan air memerlukan jumlah yang cukup besar untuk mengisi lumen saluran
kemih dan di sisi lain, penggunaan media kontras bositif berbasisi iodine terbilang lebih mahal
dan dapat menjadi masalah bagi pasien yang takut jarum suntik atau memiliki masalah pada
ginjal. Flurosmide merupakan jenis diuretik yang digunakan untuk meningkatkan volume urine,
tetapi karena berbahan kimia penggunaan flurosemide bisa memberikan beban tambahan
terhadap ginjal dan potensial menganggu fungsi ginjal atau hati. Oleh karena risiko dan potensi
masalah ini, flurosemide belum umum diguanakn di rumah sakit. Selain itu, karena
penggunaanya harus sesuai dengan resep dokter(5)
Teh tawar adalah bahan alami yang megandung kafein dan memiliki kemampuan untuk
meningkatkan aliran darah ke ginjal. Efek dari hal ini adalah menghambat proses penyerapan
natrium (Na), kalsium (Ca), dan megnesium (Mg) oleh ginjal, yang kemudian merangsang
ginjal untuk meningkatkan volume urine. Selain itu, rangsangan pada otot detrusor dalam

30 Compromise Journal - Volume 1, No. 4, November 2023


Analisis CT Scan
e-ISSN Urografi Dengan
: 3026-5789 Klinis: 3026-5797,
dan p-ISSN Batu SaluranHal
Kemih
29-36
Di InstalasiRadiologi Rumah Sakit Bhayangkara Makassar

kandung kemih juga dapat mengakibatkan peningkatan volume urine. Penelitian ini telah secara
positif menunjukkan bahwa kafein efektif dalam meningkatkan efek diuretik, bahkan lebih baik
daripada penggunaan obat-obatan berbahan kimia(5).

METODE
Jenis penelitian yang dilakukan oleh penulis dalam penulisan skripsi ini adalah
penelitian kualitatif deskriptif dengan pendekatan studi kasus. Pengambilan data dilakukan
pada bulan agustus 2023- september 2023. Menggunakan pesawat CT Scan Toswhiba 80
Slice. Sampel pasien yang digunakan pada kajian ini adalah pasien dengan klinis Batu Saluran
Kemih.
Penelitian ini dilakukan dengan cara observasi, wawancara dengan 3 (tiga) radiografer
sebagai pelaksanaan pemeriksaan CTScan Urografi dengan kasus batu saluran kemih, 1 (satu)
radiolog sebagai pembaca hasil, 1 (satu) dokter pengirim dan 3 (tiga ) orang pasien dengan
diagnosa batu saluran kemih dan dokumentasi di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Bhayangkara
Makassar.

HASIL
Prosedur pemeriksaan CT Scan Urografi dengan klinis batu saluran kemih di instalasi
radiologi Rumah Sakit Bhayangkara Makassar. Penelitian ini mengguanakan pasien laki-laki
usia 33 tahun dengan diagnosa Batu Ureter adalah sebagai berikut :
a. Persiapan Pasien
Pasien dari poli klinik urologi datang ke instalasi radiologi dengan membawa surat
pengantar,kemudian pasien diberi teh tawar 750 ml yang sudah disediakan untuk diminum
dan melepas benda berbahan logam yang berada di areaperut yang dapat menimbulkan
artefak, kemudian petugas menjelaskan secara singkat mengenai apa saja yang harus diikuti
pasien selama pemeriksaan berlangsung.
b. Persiapan Alat dan Bahan
Pemeriksaan CT Scan Urografi dengan klinis batu saluran kemih di instalasi radiologi
Rumah Sakit Bhayangkara Makassar persiapan alat dan bahan yaitu : pesawatCT Scan
Toshiba 80 slice, control consul, printer, baju ganti, selimut, bantal dan teh tawar sebanyak
750 ml.
c. Posisi Pasien
Posisi pasien pemeriksaan CT Scan Urografi dengan klinis batu saluran kemih yaitu supine
diatas meja pemeriksaan dengan posisi feet first dan kedua tangan berada di atas kepala ,
MSP (Mid Sagittal Plane) pasien terletak pada pertengahan lampu horizontal dari gantry.
Setelah pasien selesai diposisika kemudian pasien dipasang strap holder agar pasien tetap
aman dan tidak terjatuh dari meja pemeriksaan, pasien juga diberi selimut agar tidak
Analisis CT Scan
e-ISSN Urografi Dengan
: 3026-5789 Klinis: 3026-5797,
dan p-ISSN Batu SaluranHal
Kemih
29-36
Di InstalasiRadiologi Rumah Sakit Bhayangkara Makassar

kedinginan selama proses scanning berlangsung.


d. Recon
Recon yang dilakukan dari batas atas processus xypoideus sampai dengan batas bawah
sympisis pubis, slice thickness kemudian dilakukan rekonstruksi dengan mengubah slice
thickness menjadi 3 mm.
e. Parameter Scanning
Untuk pemeriksaan CT Scan Urografi batu saluran kemih di Instalasi radiologi Rumah
Sakit Bhayangkara Makassar menggunakan protokol Abdomen Supine yaitu dilakukan
Scanning topogram.
Tabel 1 Scan Parameter CT Scan Urografi
Parameter Topogram
kV 120
mAs 40
Range Processus xypoideus-symphysis pubis
FOV 470 mm
Gantry tilt 0°
WW/WL 300/40
Slice thickness 3mm
Scan time 8.2 S

f. Scanogram atau Topogram


Membuat scanogram di awal scanning yang berfungsi untuk mengatur luas obyek yang
akan diperiksa mulai dari processus xiphoideus sampai dengan symphisis pubis.

Gambar 1 Scannogram CT Scan Urografi


Hasil citra radiograf pada pemeriksaan CT Scan Urografi dengan klinis batu saluran kemih
TN.AA, di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Bhayangkara Makassar seperti di bawah ini :

32 Compromise Journal - Volume 1, No. 4, November 2023


Analisis CT Scan
e-ISSN Urografi Dengan
: 3026-5789 Klinis: 3026-5797,
dan p-ISSN Batu SaluranHal
Kemih
29-36
Di InstalasiRadiologi Rumah Sakit Bhayangkara Makassar

Gambar 2 Hasil Citra CT Scan Urografi

PEMBAHASAN
Prosedur pemeriksaan CT Scan Urografi dengan klinis batu saluran kemih di instalasi
radiologi Rumah Sakit Bhayangkara Makassar.
Menurut responden pasien dari poli klinik urologi datang ke instalasi radiologi dengan
membawa surat pengantar, kemudian pasien diberi teh tawar 750 ml yang sudah disediakan
untuk diminum sebelum dilakukan pemeriksaan kurang lebih 15-10 menit selanjutnya pasien
di arahkan masuk ke ruang CT Scan untuk dilakukan tindakan pemeriksaan dan sebelum itu
petugas menginstruksikan untuk melepas benda berbahan logam yang berada di area perut yang
dapat menimbulkan artefak, kemudian petugas menjelaskan secara singkat mengenai apa saja
yang harus diikuti pasien selama pemeriksaan berlangsung.
Menurut hendika (2021) Persiapan CT Scan Urografi untuk pasien yang kooperatif,
persiapan sebelum menjalani CT Scan urografi cukup mengganti pakaian dan melepas semua
benda atau aksesoris yang mungkin dapat menyebabkan artefak pada gambar. Selain itu, pasien
juga diberikan air minum sebelum menjalani pemeriksaan (24).
Petugas memposisikan pasien supine diatas meja pemeriksaan dengan posisi feet first
dan kedua tangan berada di atas kepala, MSP (Mid Sagittal Plane) pasien terletak pada
pertengahan lampu horizontal dari gantry. Setelah pasien selesai diposisika kemudian pasien
dipasang strap holder agar pasien tetap aman dan tidak terjatuh dari meja pemeriksaan, pasien
juga diberiselimut agar tidak kedinginan selama proses scanning berlangsung.
Menurut oktarina (2021) pasien berbaring di atas meja pemeriksaan dengan posisi feet
first dan kedua lengan diletakkan di atas kepala, kedua kaki pasein lurus kebawah dan Mid
Sagittal Plane (MSP) tubuh pasien ditempatkan di tengah-tengah meja pemeriksaan. Pasien
diberikan selimut dan bantal untuk kenyamanan, serta diberikan body strap agar pasien tetap
stabil dan tidak bergerak, sehingga menghindari risiko terjatuh. Posisikan pasien usahakan
daerah perut tercover kedalam lapangan penyinaran, mengatur posisi agar MSP tubuh sejajar
dengan lampu indicator longitudinal, Mid Coronal Plane (MCP) sejajar dengan lampu indicator
horizontal selanjutnya pasien diberi penjelasan untuk inspirasi penuh, keluarkan dan tahan
Analisis CT Scan
e-ISSN Urografi Dengan
: 3026-5789 Klinis: 3026-5797,
dan p-ISSN Batu SaluranHal
Kemih
29-36
Di InstalasiRadiologi Rumah Sakit Bhayangkara Makassar

napas. Batas atas yaitu xiphoid Procesus dan batas bawah adalah symphysis pubis (25).
Peran dan pengaruh pemberian teh tawar terhadap peningkatan jumlah urine yang di
hasilkan saat CT Scan urografi dengan klinis batu saluran kemih
Teh tawar berperan dan berpengaruh terhadap mempercepat proses diuresi karena bahan
yang terkandung di dalam teh tawar adalah kafein sehingga akan sangat membantu dalam
meminim waktu persiapan pemeriksaan.
Menurut yudha (2020) mengonsumsi teh tawar perperan dalam glomerulus (Unit
penyaringan utama) peningkatan aliran darah ke ginjal menyebabkan kondisi yang disebut
hipermia, yang pada gilirannya menghambat proses penyerapan air di ginjal dan mengakibatkan
peningkatan produksi urine. Pemberian Teh tawar memiliki dampak dalam mempercepat
frekuensi buang air kecil pada pasien karena Teh tawar mengandung kafein, yang mampu
mempercepat proses diuresis (5).
Kelebihan dan Kekurangan Meminum Teh Tawar
Kelebihan dari memenimu teh tawar yaitu mempercepat diuretik karena teh tawar
mengandung kafein yang akan memberikan efek stimulasi jangka pendek pada saat setelah
diminum, sehingga mempercepat pasien merasa buang air kecil. Kekurangannya yaitu rasa dari
teh tawar yang pahit dan diminum dengan jumlah yang banyak sehingga membuat sedikit tidak
nyaman bagi pasien.
Menurut teori yudha (2020). Tubuh menyerap lebih banyak air daripada yang
diekskresikan melalui urine, dan minum Teh tawar dapat merangsang ginjal untuk
memproduksi urine lebih banyak dan lebih cepat. Untuk mendeteksi batu saluran kemih, tidak
selalu diperlukan penggunaan media kontras. Oleh karena itu, untuk mempermudah evaluasi
kelainan pada saluran kemih, peningkatan jumlah urine diperlukan agar gambaran menjadi
lebih jelas (5).

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis mengenai prosedur pemeriksaan dengan klinis batu saluran
kemih di instalasi radiologi Rumah Sakit Bhayangkara Makassar dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut :
A. Tatalaksana CT Scan Urografi dengan klinis batu saluran kemih di instalasi radiologi
Rumah Sakit Bhayangkara Makassar yaitu pasien meminum teh tawar sebanyak 750 ml
dan saat setelah pasien merasa sudah ingin buang air kecil lalu pasien tahan kencing
kemudian dilakukan pemeriksaan
B. Peran dan pengaruh pemberian teh tawar terhadap peningkatan jumlah urine yang
dihasilkan saat CT Scan Urografi dengan klinis batu saluran kemih di instalasi radiologi

34 Compromise Journal - Volume 1, No. 4, November 2023


Analisis CT Scan
e-ISSN Urografi Dengan
: 3026-5789 Klinis: 3026-5797,
dan p-ISSN Batu SaluranHal
Kemih
29-36
Di InstalasiRadiologi Rumah Sakit Bhayangkara Makassar

Rumah Sakit Bhayangkara Makassar pemberian teh tawar sebagai media kontras negatif
pada CT Scan Urografi Non Kontras akan mendapatkan pencitraan yang baik karena teh
tawar dapat meningkatkan densitas HU (hounsfield Unit) dan juga kandungan kafein pada
teh tawar yaitu berpengaruh dalam mempercepat diuresis sehingga membantu
mempersingat waktu pemeriksaan.
C. Kelebihan dan kekurangan meminum teh tawar pada CT Scan Urografi dengan klinis batu
saluran kemih di instalasi radiologi Rumah Sakit Bhayangkara yaitu kelebihannya
kandungan kafein teh tawar dapat mempercepat proses menaikkan volume urine sehingga
akan mempersingkat waktu pemeriksaan dan kekurangannya adalah pasien sulit
mendapatkan teh tawar di rumah sakit.

SARAN
Untuk peneliti selanjutnya sebaiknya dibuatkan penelitian lanjutan dengan study
eksperimental untuk mengevaluasi penggunaan jumlah teh tawar yang optimal.

UCAPAN TERIMAKASIH
Berisikan u c a p a n terimakasih kepada dosen pembimbing atas arahan serta bimbingan
selama penulis melakukan penelitian ini.

DAFTAR REFERENSI
Irianto K. Anatomi dan Fisiologi. ALFABETA,cv; 2017.
Ekatrina Wijayanti M, Adi Mulyanto V, Panti Rapih Yogyakarta S. Faktor-Faktor yang
Berhubungan dengan Kejadian Urolithiasis di Ruang Rawat Inap dan Poli Spesialis
Rumah Sakit di Semarang. Vol. 1, Health Research Journal of Indonesia (HRJI). 2023.
Sulaksono T, Syahrir S, Palinrungi MA. Profile of urinary tract stone in Makassar, Indonesia.
Int J Res Med Sci. 2019 Nov 27;7(12):4758.
Veranita. Modalitas Pemeriksaan Radiologi untuk Diagnosis Batu Saluran Kemih. 2023;
Yudha S, Hadisaputro S, Ardiyanto J, Indrati R, Mulyantoro DK, Masrochah S. BENEFITS OF
STEEPING BLACK TEA AS A NEGATIVE CONTRAST MEDIUM ON CT
UROGRAPHY EXAMINATION MANFAAT SEDUHAN TEH HITAM SEBAGAI
MEDIA KONTRAS NEGATIF PADA PEMERIKSAAN CT UROGRAFI. J Appl Heal
Manag Technol. 2020;2(2):70–7.
Ljungberg A, Segelsjö M, Dahlman P, Helenius M, Magnusson M, Magnusson A. Comparison
of quality of urinary bladder filling in CT urography with different doses of furosemide
in the work-up of patients with macroscopic hematuria. Radiography. 2021 Feb
1;27(1):136–41.
Woodfield CA, Tung GA, Grand DJ, Pezzullo JA, Machan JT, Renzulli JF. Diffusion-weighted
MRI of peripheral zone prostate cancer: Comparison of tumor apparent diffusion
coefficient with Gleason score and percentage of tumor on core biopsy. Vol. 36,
International Braz J Urol. 2010. p. 504.
Pranoto YE, Susanto E, Wibowo AS, Semarang PK. TEKNIK TRACKING URETER MSCT
UROGRAFI POLOS PADA PASIEN DENGAN KADAR UREUM DAN
Analisis CT Scan
e-ISSN Urografi Dengan
: 3026-5789 Klinis: 3026-5797,
dan p-ISSN Batu SaluranHal
Kemih
29-36
Di InstalasiRadiologi Rumah Sakit Bhayangkara Makassar

KREATININ TINGGI DI INSTALASI RADIOLOGI RS ISLAM JAKARTA


CEMPAKA PUTIH.
dr Meldawati P, Biomed M. PRAKTIKUM FISIOLOGI SISTEM URINARIA.
Dafriani PDN. BUKU AJAR ANATOMI & FISIOLOGI UNTUK MAHASISWA
KESEHATAN. 2019.
Fisiologi A, Manusia T, Sartiya D, Politeknik R, Kementerian K, Kendari K. Education of
Cadres and Coastal Communities View project Home Based Exercise on Tuberculosis
pulmonary View project [Internet]. Available from:
https://www.researchgate.net/publication/367963953
Ked S, Bagian Anatomi Mb. DIKTAT URINARY TRACT. 2017.
Purnama Sari R. Angka Kejadian Infeksi Saluran Kemih (ISK) dan Faktor Resiko Yang
Mempengaruhi Pada Karyawan Wanita di Universitas Lampung. Vol. 7, Universitas
Lampung Majority |. 2018.
SYAFADA, FENTY. POLA KUMAN DAN SENTIVITAS ANTIMIKROBA PADA
INFEKSI SALURAN KEMIH. 2013;
Anggraeny SF, Soebhali B, Sulistiawati S, Nasution PDS, Sawitri E. Gambaran Status
Konsumsi Air Minum Pada Pasien Batu Saluran Kemih. J Sains dan Kesehat. 2021 Feb
28;3(1):58–62.
Hadibrata E, Kedokteran F, Lampung U, Ir Sumantri Brojonegoro No J, Meneng G, Rajabasa
K, et al. FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TERJADINYA
BATU GINJAL [Internet]. Available from:
http://jurnal.globalhealthsciencegroup.com/index.php/JPPP
Oleh D, Ivanali K. MODUL FISIOLOGI SISTEM UROPOETIK. 2019.
Angella S, Nurhabibah NS, Awal Bros Pekanbaru Stik. CT SCAN UROGRAPHIC
EXAMINATION PROCEDURE WITH CLINICAL URINARY TRACT STONES IN
RADIOLOGICAL INSTALLATION OF AWAL BROS PANAM HOSPITAL
PROSEDUR PEMERIKSAAN CT SCAN UROGRAFI DENGAN KLINIS BATU
SALURAN KEMIH DI INSTALASI RADIOLOGI RUMAH SAKIT AWAL BROS
PANAM. Vol. 2, Journal of STIKes Awal Bros Pekanbaru 2021.
Wahyuni S, Amalia L. Perkembangan Dan Prinsip Kerja Computed Tomography (CT Scan).
Galen J Kedokt dan Kesehat Mhs Malikussaleh. 2022 Aug 10;1(2):88.
Listiyani IL, Nismayanti A, Maskur M, Kasman K, Ulum MS, Rahman AR. Analisis Noise
Level Hasil Citra CT-Scan Pada Phantom Kepala Dengan Variasi Tegangan Tabung
Dan Ketebalan Irisan. Gravitasi. 2021 Jul 1;20(1):5–9.
Dabukke H. PENGARUH PERUBAHAN TEGANGAN TERHADAP KONTRAS
RESOLUSI PADA CT SCAN. 2017;1.
Bontrager KL, Lampignano JP, Kendrick LE. TEXTBOOK OF RADIOGRAPHIC
POSITIONING AND RELATED ANATOMY. 2018.
Hamimi A, El Azab M. MSCT renal stone protocol; Dose penalty and influence on management
decision of patients: Is it really worth the radiation dose? Egypt J Radiol Nucl Med.
2016 Mar 1;47(1):319–24.
P.P HS, Istiqomah AN, M.N IM. KAJIAN LITERATUR PERBANDINGAN PEMERIKSAAN
KLINIS UROLITHIASIS DENGAN BNO-IVP DAN CT- UROGRAPHY. 2020;
Damayanti O, Firdaus MR. Penatalaksanaan Pemeriksaan CT Scan Urologi Non Kontras
dengan Klinis Nephrolithiasis di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Advent Bandung.

30 Compromise Journal - Volume 1, No. 4, November 2023


Analisis CT Scan
e-ISSN Urografi Dengan
: 3026-5789 Klinis: 3026-5797,
dan p-ISSN Batu SaluranHal
Kemih
29-36
Di InstalasiRadiologi Rumah Sakit Bhayangkara Makassar

KESIMPULAN

Batu saluran kemih atau lebih dikenal sebagai kalkulus urinarius adalah pertumbuhan
massa keras mirip batu di dalam saluran kemih manusia. Batu-batu ini dapat muncul di tiga
lokasi utama dalam sistem perkemihan yaitu ginjal, ureter dan kandung kemih. Pembentukan
batu ini disebut sebagai urolitiasis.

Pemeriksaan CT Scan tanpa kontras adalah metode diagnostik dengan tingkat sensitivitas
yang tinggi untuk mendeteksi batu saluran kemih, sehingga CT Scan dianggap sebagai standar
emas dalam diagnosis kondisi ini. Dalam pemeriksaan CT Scan Air digunakan sebagai media
kontras negatif, penggunaan media kontras bositif berbasis iodin dan penggunaan diuretik
furosemid yang memiliki kemampuan menghasilkan gambar yang baik. Namun, hal di atas
selain memiliki kelebihan juga memiliki kekuranagan yang berdampak buruk pada fungsi
ginjal sendri.
Dari hasil riset yang dilakukan, Teh tawar berperan dan berpengaruh terhadap
mempercepat proses diuresi karena bahan yang terkandung di dalam teh tawar adalah kafein.
Penelitian ini telah secara positif menunjukkan bahwa kafein efektif dalam meningkatkan efek
diuretik, bahkan lebih baik dari pada penggunaan obat-obatan berbahan kimia.
Peran dan pengaruh pemberian teh tawar terhadap peningkatan jumlah urine
yang dihasilkan saat CT Scan Urografi dengan klinis batu saluran kemih sebagai media
kontras negatif akan mendapatkan pencitraan yang baik karena teh tawar dapat meningkatkan
densitas HU (hounsfield Unit) dan juga kandungan kafein pada teh tawar yaitu berpengaruh
dalam mempercepat diuresis sehingga membantu mempersingat waktu pemeriksaan

31 Compromise Journal - Volume 1, No. 4, November 2023


Analisis CT Scan Urografi Dengan Klinis Batu Saluran Kemih
Di InstalasiRadiologi Rumah Sakit Bhayangkara Makassar

36 Compromise Journal - Volume 1, No. 4, November 2023


JIKSH: Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada
https://akper-sandikarsa.e-journal.id/JIKSH Volume 10|
Nomor 1| Juni | 2021
e-ISSN: 2654-4563 dan p-ISSN: 2354-6093
DOI:https://doi.org/10.35816/jiskh.v10i1.492

Karakteristik Pasien Otitis Media Akut


Tan’im Arief1, Nia Triswanti2, Fatah Satya Wibawa3, Galang Aprianda Rulianta Adha4
1234
Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung

Article Info Abstraks

Article History: Latar Belakang: Acute Otitis Media (OMA) merupakan penyakit
Received:20-02-2021 radang telinga tengah yang dialami kurang dari 3 minggu. Tujuan
Reviewed:20-03-2021 Mengetahui karakteristik pasien otitis media akut. Metode:
Penelitian ini menggunakan deskriptif kuantitatif, populasinya
Revised:06-04-2021
adalah pasien yang tercatat di rekam medis. Teknik pengambilan
Accepted:22-05-2021 sampel menggunakan rumus Slovin. Hasil Penelitian: Dari 40
Published:30-06-2021 sampel yang diteliti didapatkan frekuensi dari 40 sampel yang
diteliti didapatkan bahwa usia terbanyak adalah rentang usia 21-
40 tahun dan 41-60 tahun sebanyak 13 orang (32,5%). Untuk jenis
kelamin terbanyak, 22 orang adalah laki-laki (55%). Untuk
distribusi frekuensi nyeri yang paling banyak terjadi adalah nyeri
ringan sebanyak 20 orang (50%). Keluhan utama yang dialami
Keywords:
pasien otitis media akut adalah penurunan pendengaran yang
Rentang Usia
diperoleh sebanyak 26 orang (65%). Kesimpulan: Dari penelitian
Jenis Kelamin
ini ditemukan kasus otitis media akut terbanyak pada rentang usia
Skala Nyeri
dewasa. Untuk jenis kelamin, paling banyak ditemukan pada jenis
Otitis media
kelamin laki-laki. Untuk skala nyeri otitis media akut, skala nyeri
paling banyak berdasarkan skala nyeri ditemukan paling banyak
pada nyeri ringan.
Abstract. Background: Acute Otitis Media (AOM) is an
inflammatory disease of the middle ear that has been experienced
for less than 3 weeks. Objective To find out the characteristics of
acute media otitis patients. Methods: This study uses descriptive
quantitative, the population is a patient recorded in the medical
records. Sampling technique using Slovin formula. Research
results: Of the 40 samples studied obtained frequency of the 40
samples studied, it was found that the most age was the age range
21-40 years and 41-60 years as many as 13 people (32.5%). For
the most gender, 22 people were male (55%). For the distribution
of the frequency of pain, the most common was mild pain as many
as 20 people (50%). The main complaint experienced by patients
with acute otitis media was decreased hearing which was obtained
by 26 people (65%) Conclusion: From this study, cases of acute
otitis media were found for the most age range in the adult age
range. For sex, it was mostly found in the male gender. For the
acute otitis
media pain scale, the most based on the pain scale was found
mostly in mild pain.

Corresponding author : Galang Aprianda Rulianta Adha


Email : galaprianda@gmail.com

About CrossMark

7
Tan’im Arief, dkk. Karakteristik Pasien Otitis Media Akut
JIKSH: Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada
Volume 10 Nomor 1 Juni 2021

Pendahuluan
Otitis Media Akut (OMA) merupakan peradangan pada telinga bagian tengah yang terjadi
secara cepat dan singkat dalam waktu kurang dari 3 minggu disertai dengan gejala lokal seperti
demam, nyeri, pendengaran berkurang, dan keluarnya cairan (Tesfa et.al, 2020). Otitis Media
Akut disebabkan oleh bakteri dan virus yang paling sering ditemukan pada penderita OMA yaitu
bakteri Streptococcus pneumaniae, diikuti oleh virus Haemophilus influenza (Buku Ajar Penyakit
THT, 2015). Apabila penderita OMA kurang mendapatkan penanganan yang adekuat maka akan
mengalami komplikasi lanjutan yaitu Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) yaitu peradangan
pada mukosa telinga tengah yang disertai keluarnya cairan melalui perforasi membran timpani
selama lebih dari 2 bulan (Buku Ajar THT-KL, 2012).
Meskipun secara teoritis dinyatakan demikian, pendataan tentang kasus OMA
berdasarkan tingkat usia menunjukkan hasil yang bervariasi pada berbagai negara. Kaneshiro
menyatakan bahwa OMA merupakan penyakit yang umum terjadi pada bayi, balita, dan anak-
anak, sedangkan kasus OMA pada orang dewasa juga pernah dilaporkan terjadi, namun dengan
frekuensi yang tidak setinggi pada anak-anak (Kaneshiro, 2010). Makin sering seseorang
terserang ISPA, maka makin besar kemungkinan terjadinya OMA. Pada bayi dan anak terjadinya
OMA diperolehh karena morfologi tuba eustachius yang pendek, lebar, dan letaknya agak
horizontal, sistem imunitas tubuh masih dalam perkembangan serta adenoid pada anak relatif lebih
besar dibanding orang dewasa dan sering terinfeksi sehingga infeksi bakteri maupun virus dapat
menyebar ke telinga bagian tengah (Ghanie A, 2010).
Melihat peningkatan kasus Otitis Media Akut di berbagai negara termasuk di Indonesia
yang menyerang populasi paling banyak adalah anak-anak, serta gejala dini yang seringkali
dikenali dan menyebabkan penderita kebanyakan datang dengan keluhan mengganggu. Tujuan
penelitian mengetahui tentang karakteristik pasien penderita otitis media akut yang dirawat atau
berkunjung di Rumah Sakit Pertamina Bintang Amin Bandar Lampung.

Metode
Jenis penelitian ini adalah penelitian konsekutif deskriptif. Pengumpulan data
dilaksanakan pada bulan Agustus tahun 2020. Tempat pengambilan sampel dilakukan di ruang
rekam medik. Populasi penelitian ini adalah seluruh pasien di Poli THT yang mengalami Otitis
Media Akut yaitu 63 pasien. Cara pengambilan sampel dalam peneltian ini adalah konsekutif
sampling dengann teknik penentuan sampel berdasarkan menentukan pengambilan populasi dari
peneliti menggunakan rumus slovin. n = N / (1 + (N x e²)). n = 63 / (1+(63 x 0,052)). n = 40
Sampel yang didapatkan yaitu berjumlah 40 pasien yang terdiagnosa mengalami Otitis Media
Akut. Mengenai pengambilan sampel tersebut kemudian peneliti membaginya kedalam dua
kriteria sampel yaitu inklusi (data yang dibutuhkan) dan eksklusi (data yang tidak lengkap).
Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subyek penelitian dari suatu populasi target yang
terjangkau dan akan diteliti. Kriteria dalam penelitian yaitu data rekam medis lengkap dan data
rekam medis diambil pada periode 2017-2019 Kriteria eksklusi dan eksklusi dalam penelitian ini
adalah data rekam medis rusak/tidak terbaca dan data rekam medis tidak lengkap. Variabel
dependen dalam penelitian ini, yaitu karakteristik. Variabel independen dalam penelitian ini, yaitu
otitis media akut.
Teknik pengumpulan data pada usia, jenis kelamin, tingkatan nyeri dan keluhan utama
adalah menggunakan data sekunder dengan cara observasi rekam medik kemudian

8
Tan’im Arief, dkk. Karakteristik Pasien Otitis Media Akut
JIKSH: Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada
Volume 10 Nomor 1 Juni 2021

didokumentasikan kedalam lembar observasi secara langsung oleh peneliti kemudian data
langsung dikumpulkan hari itu. Prosedur pengolahan data yang sudah dikumpulkan yang akan

9
Tan’im Arief, dkk. Karakteristik Pasien Otitis Media Akut
JIKSH: Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada
Volume 10 Nomor 1 Juni 2021

di lakukan dalam penelitian ini ialah editing, koding, tabulasi, entry, cleaning. Analisis data
dilakukan menggunakan program SPSS versi 22.0 dengan melakukan beberapa analisis data
univariat dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif, yaitu persentase dan frekuensi pada
variabel tergantung yaitu otitis media akut dan variabel bebas yaitu karakteristik.

Hasil Dan Pembahasan


Tabel 1.
Distribusi Frekuensi Usia
Rentang Usia Frekuensi Persentase (%)
1-20 Tahun 12 30
21-40 tahun 13 32,5
41-60 tahun 13 32,5
61-80 Tahun 2 5
Total 40 100
Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%)
Laki-Laki 22 55
Perempuan 18 45
Total 40 100
Skala Nyeri Frekuensi Persentase (%)
Tanpa Nyeri 6 15
Ringan 20 50
Sedang 11 27,5
Berat 3 7,5
Tak Tertahan 0 0
Total 40 100
Keluhan Utama Frekuensi Persentase (%)
Demam 23 57,5
Berdengung 24 60
Keluar Cairan 22 55
Pendengaran Menurun 26 65
Pusing 7 17,5
Pusing 11 27,5
Sumber: data primer 2020

10
Tan’im Arief, dkk. Karakteristik Pasien Otitis Media Akut
JIKSH: Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada
Volume 10 Nomor 1 Juni 2021

Berdasarkan tabel, kelompok umur penderita otitis media akut yang tertinggi adalah pada
rentang usia yaitu 21-40 tahun dan 41-60 tahun yaitu sama-sama sebanyak 13 orang (32,5%).
Kemudian diikuti kelompok umur 1-20 tahun sebanyak 12 orang (30%). Sedangkan kelompok
umur penderita otitis media akut yang terendah adalah pada rentang usia 61-80 tahun yaitu
sebanyak 2 orang (5%).
Jumlah penderita otitis media akut di Rumah Sakit Pertamina Bintang Amin Kota Bandar
Lampung lebih banyak ditemukan pada laki-laki yaitu sebanyak 22 orang (55%). Sedangkan
pasien perempuan didapatkan sebanyak 18 orang (45%). Skala nyeri yang paling sering dari pasien
otitis media akut yaitu pada nyeri ringan yaitu sebanyak 20 orang (50%), kemudian diikuti nyeri
sedang yaitu sebanyak 11 orang (27,5%) dan tanpa nyeri yaitu sebanyak
6 orang (15%). Sedangkan didapatkan skala nyeri yang paling rendah yaitu nyeri berat didapatkan
sebanyak 3 orang (7,5%) dan tidak ditemukannya nyeri tak tertahan yaitu 0 pasien (0%). Keluhan
utama yang paling banyak dialami dari pasien otitis media akut yaitu pendengaran menurun
didapatkan sebanyak 26 orang (65%), kemudian diikuti berdengung yaitu sebanyak 24 orang
(60%), kemudian demam sebanyak 23 orang (57,5%), kemudian keluar cairan sebanyak 22 orang
(55%), dan hidung tersumbat sebanyak 11 orang (27,5%). Sedangkan keluhan utama yang paling
sedikit dialami yaitu pusing sebanyak 7 orang (17,5%).
Menurut hasil penelitian (Amelia, 2020) menyatakan bahwa bakteri penyebab otitis media
supuratif kronik (OMSK) terbanyak adalah Pseudomonas sp dan Staphylococcus. Otitis media
akut paling sering terjadi pada kelompok toddlers, anak dengan jenis kelamin laki-laki, anak
dengan pekerjaan orang tua ibu rumah tangga (Kardinan & Dani, 2014). Menurut (Putra &
Saputra, 2013) bahwa keluhan terbanyak yang dialami oleh penderita otitis media supuratif kronis
adalah telinga berair (otorhea) kemudian diikuti oleh gangguan pendengaran. (Praptika &
Sudipta, 2020) berpendapat bahwa karakteristik utama dari pasien OMA pada kelompok umur 0-
11 tahun, berjenis kelamin perempuan, pada fase hiperemi dan mengenai telinga kanan unilateral.
Simpulan Dan Saran
Bahwa semakin tinggi tingkat pengetahuan yang baik maka akan membentuk perilaku
yang baik pula. Perlu dilakukan penelitian lebih luas cakupan faktor yang mempengaruhi otitis
media akut dapat menjadi suatu pertimbangan untuk perencanaan program. Pemerintah harus
memberikan informasi mengenai deteksi dini, khususnya otitis media akut kepada masyarakat
secara luas untuk peningkatan pelayanan mutu pelayanan kesehatan seperti melakukan tindakan
preventif dan kuratif untuk menangani otitis media akut di masyarakat.

Daftar Rujukan
Amelia, M. (2020). Identifikasi Mikroorganisme Penyebab Otitis Media Supuratif Kronik Dan
Kepekaannya Terhadap Antibiotik. JIKSH: Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada, 9(1 SE-
Articles). https://doi.org/10.35816/jiskh.v11i1.351
Evan, R. M. (2010). Pathophysiology of Pain and Pain Assesment. American Medical
Association, 1-12.
Ghanie, A. (2010). Penatalaksanaan Otitis Media Akut Pada Anak.
Glasper, E. A., McEwing, G., & Richardson, J. (Eds.). (2011). Emergencies in children's and
young people's nursing. OUP Oxford.

11
Tan’im Arief, dkk. Karakteristik Pasien Otitis Media Akut
JIKSH: Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada
Volume 10 Nomor 1 Juni 2021

Ilmyasri, S. A. (2020). Diagnosis and Management of Acute Otitis Media. Jurnal Penelitian
Perawat Profesional, 2(4), 473-482.
Irawati, L. (2012). Fisika Medik Proses Pendengaran. Majalah Kedokteran Andalas, 36(2),
Kardinan, S. S. B., & Dani, S. S. (2014). Karakteristik Pasien Rawat Inap Otitis Media Akut Di
Rumah Sakit Immanuel Bandung Periode Januari-Desember 2013. Skripsi, Fakultas
Kedokteran, Universitas Kristen Maranatha.
Korompis, A. M., Tumbel, R. E. C., & Mengko, S. K. (2018). Kesehatan Telinga di Sekolah
Dasar Negeri 11 Manado. e-CliniC, 6(1). 155-162.
Lestari, N. E., & Herliana, I. (2020). Implementasi Pendidikan Seksual Sejak Dini Melalui Audio
Visual. Jurnal Pengabdian Masyarakat Indonesia Maju, 1(01), 29-33.
Mahardika, I. W. P., Sudipta, I. M., & Sutanegara, S. W. D. Karakteristik Pasien Otitis Media
Akut Di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar Periode Januari–Desember Tahun
2014.
Nazarudin, N. Otitis Media Akut Dengan Komplikasi Mastoiditis Akut Dan Labirintitis Akut Pada
Dewasa (Acute Otitis Media with Complications of Acute Mastoiditis And Acute
Labyrinthitis In Adult).
Putra, A. A. B. R. D. A., & Saputra, K. A. D. (2013). Karakteristik Pasien Otitis Media Supuratif
Kronis Di Poliklinik Tht Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Periode Januari – Juni 2013.
E-Jurnal Medika Udayana; Vol 5, No 12 (2016): E-Jurnal Medika Udayana.
https://ocs.unud.ac.id/index.php/eum/article/view/26635
Perry, P., & Potter Patricia, A. (2010). Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, Dan Praktik.
Jakarta: EGC.
Praptika, N. L. P., & Sudipta, I. M. Karakteristik Kasus Otitis Media Akut Di Rsud Wangaya
Denpasar Periode November 2015-November 2016. E-Jurnal Medika Udayana, 9(8), 47-
52.
Rosyidah, N. (2018). Uji Diagnostik Otoendoskop Dibandingkan dengan Otoskop Langsung
dalam Mendiagnosis Kelainan Telinga Pada Usia 60 tahun Keatas di Panti Berdikari BSD
dan Panti Werdha Melania Rempoa. 2018 (Bachelor's thesis, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta-FK).
Simbolon, A. Y. P. A. (2019). Prevalensi Otitis Media Akut di Provinsi Sumatera Utara.
Soepardi, E. A., Iskandar, N., Bashiruddin, J., & Restuti, R. D. (2017). Buku ajar ilmu kesehatan
telinga hidung tenggorok kepala & leher. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 221.
Tesfa, T., Mitiku, H., Sisay, M., Weldegebreal, F., Ataro, Z., Motbaynor, B., ... & Teklemariam,
Z. (2020). Bacterial otitis media in sub-Saharan Africa: a systematic review and meta-
analysis. BMC Infectious Diseases, 20(1), 1-12.
Utomo, B. S., & Siregar, F. F. (2018). Profil Klinis Otitis Media Akut di Rumah Sakit Umum
Universitas Kristen Indonesia. Majalah Kedokteran, 34(1), 41-43

12
JOURNAL OF NURSING PRACTICE AND EDUCATION Ciptaan disebarluaskan di bawah
VOL. 02 NO. 02 JUNE 2022 Lisensi Creative Commons Atribusi-
DOI : 10.34305/jnpe.v2i2.460 Non Komersial-Berbagi Serupa 4.0
Internasional

PENGARUH TERAPI KOGNITIF UNTUK MENURUNKAN KECEMASAN


TERHADAP ORANG DENGAN HIV-AIDS (ODHA)
DI KOTA GORONTALO

Mutia Agustiani Moonti

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kuningan

mutiaamooti@gmail.com

Abstrak
Terapi Kognitif ini dikembangkan pada pasien yang kecemasan, depresi, skizofrenia.
Hal ini menyatakan bahwa Terapi Kognitif dapat difokuskan pada distorsi pola pikir yang bisa
menyebabkan gangguan mental dan perasaan yang tidak nyaman. Tujuan Penelitian ini
Adakah Pengaruh Terapi Kognitif Untuk Menurunkan Kecemasan Terhadap ODHA di Kota
Gorontalo. Jenis Penelitian adalah Pra-Experimental dengan pendekatan Pre Dan Post One
Group Design dengan satu macam perlakuan tanpa kelompok pembanding (Kontrol). Jumlah
populasi dalam penelitian sebanyak 49 responden dan teknik pengambilan sampel dengan
Metode Survey. Analisis data yang digunakan adalah Analisis Univariat (Karakteristik
Responden) dan Analisis Bivariat (Paired T-Test). Hasil penelitian didapatkan digunakan
untuk Dinas Kesehatan Kota Gorontalo khususnya pada P2M dalam memonitoring aktivitas
ODHA dengan pemberian Terapi Kognitif dalam rangka menurunkan diskriminasi dan
kecemasan yang dialami oleh ODHA dan hasil penelitian ini juga bisa digunakan kepada
KPA (Komisi Penanggulangan HIV-AIDS) Kota Gorontalo agar bisa memberikan konseling
pada ODHA terkait psikologi yang dapat meningkatkan percaya diri dan menurunkan harga
diri yang dialami oleh ODHA.

Kata Kunci : Terapi Kognitif, Kecemasan, ODHA

Pendahuluan keluarga biasanya menimbulkan masalah


Banyak anggapan masyarakat psikologi yang rumit bagi penderita AIDS,
bahwa HIV-AIDS termasuk penyakit yang beban psikososial yang dapat menimbulkan
dapat menular hanya dengan bersentuhan rasa cemas, depresi, kurang percaya diri,
saja. Stigma dalam masyarakat dan putus asa dan ingin bunuh diri (Desmawati,

E-ISSN 2775-0663| 90
JOURNAL OF NURSING PRACTICE AND EDUCATION Ciptaan disebarluaskan di bawah
VOL. 02 NO. 02 JUNE 2022 Lisensi Creative Commons Atribusi-
DOI : 10.34305/jnpe.v2i2.460 Non Komersial-Berbagi Serupa 4.0
Internasional

2013). ODHA sangat beragam reaksinya di Kota Gorontalo Menurut Dinas


diantaranya menyangkal terkena HIV-AIDS, Kesehatan Kota Gorontalo Tahun 2016
takut, cemas, depresi bahkan ada yang menunjukkan bahwa tahun 2014 HIV
berpikir untuk bunuh diri ODHA berjumlah 22 orang, AIDS berjumlah 42
memperlihatkan adanya gangguan orang, tahun 2015 berjumlah 30 orang HIV,
psikologis berupa cemas, stres dan depresi AIDS berjumlah 63 orang, tahun 2016 HIV
yang ditunjukkan dengan perasaan sedih, berjumlah 42 orang, sedangkan yang sudah
putus asa, pesimis, merasa diri gagal, tidak menderita AIDS berjumlah 72 orang.
puas dalam hidup, merasa lebih buruk Studi pendahuluan yang dilakukan
dibandingkan dengan orang lain, penilaian berupa wawancara Komunitas ODHA di
rendah terhadap tubuhnya dan merasa tidak Kota Gorontalo bahwa muncul gangguan
berdaya (Albery, 2011) psikologis seperti cemas, depresi, frustasi
Prevalensi ODHA di Indonesia yang dan marah. Rasa cemas akan kematian yang
tersebar pada 33 provinsi yang terdiri dari kapan saja datang menjemput membuat
300 se-Indonesia pada tahun 2013 ODHA merasa stress dan depresi, hal ini
berjumlah 638.643, tahun 2014 berjumlah dirasakan oleh beberapa ODHA. Perasaan
686.319 dan tahun 2015 berjumlah 735.256 tertekan yang berasal dari dalam diri
(Kementerian Kesehatan, 2015). Data kasus ODHA sendiri dan diperburuk dengan
HIV-AIDS di Provinsi Gorontalo selama 3 stigmatisasi dan perlakuan diskriminasi
tahun terakhir menurut Dinas Kesehatan terhadap ODHA tersebut akan
Provinsi Gorontalo Tahun 2016 memunculkan rasa cemas dalam diri
menunjukkan tahun 2014 berjumlah 75 ODHA. Cemas akan masa depannya, cemas
orang penderita HIV, AIDS berjumlah 125 akan penerimaan keluarga, teman-teman
orang, tahun 2015 berjumlah 82 orang dan lingkungannya, cemas akan kondisi
penderita HIV, AIDS berjumlah 133 orang, fisiknya dan kecemasan yang kemungkinan
sedangkan tahun 2016 berjumlah 101 orang akan muncul (Nengsih, 2020).
penderita HIV, AIDS berjumlah 160 orang. Metode
Kebanyakan penularan penyakit HIV-AIDS Desain penelitian ini adalah Pra-
karena hubungan seksual dan yang lebih Experimental dengan pendekatan pre dan
banyak terkena HIV-AIDS adalah laki-laki. post one group design dengan satu macam
Untuk data ODHA selama 3 tahun terakhir perlakuan tanpa kelompok pembanding

E-ISSN 2775-0663| 91
JOURNAL OF NURSING PRACTICE AND EDUCATION Ciptaan disebarluaskan di bawah
VOL. 02 NO. 02 JUNE 2022 Lisensi Creative Commons Atribusi-
DOI : 10.34305/jnpe.v2i2.460 Non Komersial-Berbagi Serupa 4.0
Internasional

(Kontrol). Uji statistik yang dilakukan oleh Komisi Penanggulangan HIV-AIDS) Kota
peneliti adalah Frekuensi atau persen untuk Gorontalo dan sampel yang digunakan pada
karakteristik responden dan menggunakan penelitian ini dengan menggunakan metode
Paired T-Test. survey.
Populasi penelitian ini berjumlah 49
ODHA yang ikut pendampingan di KPA
Hasil
Tabel 3.1 Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Responden dan
Tingkat Kecemasan Pada ODHA Di Kota Gorontalo
Kelompok Intervensi (n=49)
Variabel Mean±SD F (%)
(Min-Max)
Usia 1. 17 - 25 Tahun 13 (26,5)
2. 26 -35 Tahun 21 (43)
3. 36 – 45 Tahun 12 (24,4)
4. 46 – 55 Tahun 3 (6,1)
5. 56 – 65 Tahun 0 (0)
Tingkat 1. SD 7 (14,3)
Pendidikan 2. SMP 14 (28,6)
3. SMA 19 (38,8)
4. PT 9 (18,3)
Jenis Kelamin 1. Laki-laki 43 (88)
2. Perempuan 6 (12)
Stadium HIV- 1. Stadium 1 9 (18,3)
AIDS 2. Stadium 2 29 (59,2)
3. Stadium 3 7 (14,3)
4. Stadium 4 4 (8,2)
Tingkat 25,2857±5,83095
Kecemasan (15 - 38 )
Pre-Test
Tingkat 17,8163 ± 5,08951
Kecemasan (7 – 27)
Post-Test

Tabel 3.1 menunjukkan bahwa orang (38,8%). Sedangkan hasil


kelompok umur menurut pembagian pengukuran pre test rata-rata Terapi
Depkes (2009) yang paling banyak Kognitif pada ODHA untuk kelompok
responden berumur 26 - 35 tahun adalah 21 intervensi 25,2857, dengan standar deviasi
orang (43%) dengan berjenis kelamin laki- 5,83095. Nilai terendah 15 dan tertinggi 38.
laki berjumlah 43 orang (88%) dan untuk pengukuran Post Test untuk
berpendidikan yaitu SMA berjumlah 19 kelompok intervensi 17,8163, dengan

E-ISSN 2775-0663| 92
JOURNAL OF NURSING PRACTICE AND EDUCATION Ciptaan disebarluaskan di bawah
VOL. 02 NO. 02 JUNE 2022 Lisensi Creative Commons Atribusi-
DOI : 10.34305/jnpe.v2i2.460 Non Komersial-Berbagi Serupa 4.0
Internasional

standar deviasi 5,08951. Nilai terendah 7 dan nilai tertinggi 27.

Tabel 3.2 Hasil Analisa Bivariat Pengaruh Terapi Kognitif Terhadap Tingkat
Kecemasan Pada ODHA Di Kota Gorontalo
Variabel Sig,
Sebelum dan sesudah terapi kognitif 0,000

Hasil analisa bivariat dari pengaruh adalah pada rentang umur 26-35 tahun, hal
Terapi Kognitif terhadap tingkat kecemasan ini disebabkan oleh perjalanan alamiah
pada ODHA di Kota Gorontalo infeksi HIV yang mengambil rentang waktu
menunjukkan bahwa diperoleh nilai 5-10 tahun dari awal masa inkubasi
signifikansi sebesar 0,000. Nilai sehingga menimbulkan gejala klinis.
signifikansi ini jauh lebih kecil dari nilai Dari responden penelitian yang
alpha yang digunakan yakni 5% (0,05) memiliki pendidikan tertinggi adalah SMA
sehingga Ho ditolak. Dengan demikian berjumlah 19 orang (38,8%) hal ini
pada tingkat kepercayaan 95% dapat menunjukkan bahwa tingkat pendidikan
disimpulkan bahwa terdapat perbedaan rendah mempunyai resiko lebih besar
yang signifikan tingkat kecemasan sebelum terhadap kejadian HIV-AIDS dan
dan sesudah Terapi Kognitif pada ODHA. disampaikan oleh Nyumirah (2012)
Pembahasan menyatakan bahwa terdapat hubungan
Variabel usia menunjukkan bahwa antara pendidikan dengan tingkat
rentang usia yang paling tertinggi adalah pengetahuan pada ODHA mengenai HIV-
umur 26 sampai 35 tahun (21 orang, 43%). AIDS dengan hasil tersebut
Hasil yang diperoleh pada penelitian ini menggambarkan semakin tinggi tingkat
sesuai dengan hasil penelitian oleh Arora et pendidikan seseorang semakin baik tingkat
al (2008) dalam Desmawati, (2013) bahwa pengetahuannya, responden yang
sebaran umur yang menderita infeksi HIV mempunyai tingkat pendidikan cenderung
yang terdeteksi pertama kali adalah di mempunyai pengetahuan yang baik.
rentang usia 26 – 35 tahun. Hal yang sama Seseorang yang berpendidikan rendah
juga dikemukakan oleh Marum, et al dalam pastilah berpengetahuan rendah pula karena
Pardita, (2014) mendapatkan hasil bahwa peningkatan pengetahuan seseorang tidak
puncak dari insiden HIV di negara Kenya mutlak didapatkan dari pendidikan formal

E-ISSN 2775-0663| 93
JOURNAL OF NURSING PRACTICE AND EDUCATION Ciptaan disebarluaskan di bawah
VOL. 02 NO. 02 JUNE 2022 Lisensi Creative Commons Atribusi-
DOI : 10.34305/jnpe.v2i2.460 Non Komersial-Berbagi Serupa 4.0
Internasional

tetapi juga didapatkan dari sumber kecemasan dari ODHA tidak lepas dari
informasi lain. beberapa tahapan-tahapan yang saling
Dilihat dari jenis kelamin pada berhubungan sehingga ODHA selama
responden penelitian yang terbesar adalah mengikuti proses Terapi Kognitif
berjenis kelamin laki-laki berjumlah 43 merasakan langsung manfaat dari setiap
orang (88%), Hal ini disampaikan oleh sesi yang diberikan. Saat pelaksanaan
Nyumirah (2012) tingginya prevalensi Terapi Kognitif ODHA nampak kooperatif
kasus HIV-AIDS pada laki-laki lebih tinggi dengan peneliti dalam menjawab apa yang
dikarenakan perilaku seksual berisiko yang ditanyakan dan mengikuti apa yang
lebih rentan dilakukan oleh laki-laki disarankan terkait dengan proses terapi. Hal
dibandingkan perempuan. Pada penelitian ini ditunjang dari pendapat Menurut
ini yang paling banyak menderita stadium 2 UNAIDS, (2002) dalam Nyumirah (2012)
berjumlah 29 orang (59,2%), Bila bahwa stigma berhubungan dengan
dibandingkan dengan kumulatif kasus kekuasaan dan dominasi masyarakat yang
ODHA baru secara nasional dalam 10 tahun puncaknya stigma akan menciptakan dan
terakhir (Kementerian Kesehatan, 2015) didukung oleh ketidaksetaraan sosial.
yang rata- rata proporsinya sebesar 27,67 Stigma yang terjadi pada ODHA tentunya
pertahun maka peningkatan proporsi dalam terjadi penurunan derajat status yang
penelitian ini hamper mendekati angka ini rendah.
yang berarti peningkatan angka kasus orang Hasil analisa bivariat menunjukkan
yang baru teridentifikasi positif HIV-AIDS bahwa hasil analisis pengaruh Terapi
cukup tinggi. Ketika kondisi fisik ODHA Kognitif terhadap penurunan kecemasan
menurun maka akan berpengaruh pada pada responden diperoleh bahwa nilai
suasana hati dan aktivitas lain yang akan signifikansi sebesar 0,000. Nilai
terganggu, hal tersebut terkait dengan state signifikansi ini jauh lebih kecil dari nilai
anxiety cenderung tidak stabil. alpha yang digunakan yakni 5% (0,05)
Untuk hasil pengukuran pre test sehingga Ho ditolak. Dengan demikian
rata-rata Terapi Kognitif pada ODHA untuk pada tingkat kepercayaan 95% dapat
kelompok intervensi dalam mengikuti disimpulkan bahwa terdapat perbedaan
Terapi Kognitif dengan kesungguhan, yang signifikan tingkat kecemasan sebelum
kooperatif. Adanya penurunan tingkat dan sesudah Terapi Kognitif pada ODHA.

E-ISSN 2775-0663| 94
JOURNAL OF NURSING PRACTICE AND EDUCATION Ciptaan disebarluaskan di bawah
VOL. 02 NO. 02 JUNE 2022 Lisensi Creative Commons Atribusi-
DOI : 10.34305/jnpe.v2i2.460 Non Komersial-Berbagi Serupa 4.0
Internasional

Menurut Beck and Butler, (1995) dalam menarik diri dari pergaulan sosialnya.
Irawaty (2011) yang menyatakan bahwa ODHA merasa bahwa tidak berguna lagi,
terapi kognitif pada ODHA dibantu untuk tidak mau bergaul dengan orang lain. Pada
mengadaptasikan pemikiran atau keyakinan keadaan ini dapat membuat seseorang
sehingga akan berpengaruh positif terhadap menjadi lemah pada tubuh dan pikiran,
motivasi dan perilakunya, hal demikian masing-masing orang memiliki reaksi yang
membedakan kondisi kecemasan pada berbeda sesuai dengan mekanisme koping
ODHA yang mendapatkan terapi kognitif ODHA. Hal tersebut didukung oleh
dan yang tidak mendapatkan Terapi Smeltzer, (2004) dalam Irawaty (2011)
Kognitif. bahwa koping negatif dengan penyangkalan
Pada proses Terapi Kognitif (Sesi meliputi penerimaan atau menghargai
satu sampai tiga) ditemukan pikiran keseriusan dari suatu penyakit. Biasanya
Overgeneralization atau pemikiran yang ODHA menyalahkan dirinya sendiri (self-
menganggap bahwa segala sesuatu yang blem), dengan koping ini berupa
dilakukan tidak akan berhasil baik. ODHA keputusasaan, merasa bersalah, merasa
sangat berat menerima kenyataan bahwa pasrah terhadap hal yang menimpanya
dirinya terkena HIV-AIDS sehingga tanpa ada usaha dan motivasi untuk sembuh
berespon menjadi putus asa, menarik diri dari sakitnya.
dan kesedihan mendalam. Hal ini didukung Selain itu yang ditemukan pada
oleh Astutin dan Wheller, (2000) dalam penelitian ini distorsi pikiran adalah
Irawaty (2011) bahwa kecemasan sebagai Emotional Reasoning atau menyimpulkan
salah satu reaksi normal atas kehilangan, sesuatu berdasarkan pada kondisi
cemas biasanya sebagai respon dari emosional yang sedang dialami ODHA
kehilangan sesuatu atau seseorang. mengalami bentuk beban yang dialami
Adapun temuan lain yang diantaranya dikucilkan oleh keluarganya,
didapatkan pada penelitian ini terjadi PHK, tidak mendapatkan asuransi
Disqualifying the Positive mengacu pada kesehatan sampai menjadi bahan
adanya pandangan negatif terhadap diri, pemberitaan di media massa, hal ini terjadi
lingkungan dan masa depan yang dapat karena penyakit HIV-AIDS bersifat organik
ditemukan pada ODHA yang akan merasa maupun beban psikologi dan sosial yang
bersalah, harga diri rendah, tidak berharga, bisa menyebabkan cemas sampai depresi.

E-ISSN 2775-0663| 95
JOURNAL OF NURSING PRACTICE AND EDUCATION Ciptaan disebarluaskan di bawah
VOL. 02 NO. 02 JUNE 2022 Lisensi Creative Commons Atribusi-
DOI : 10.34305/jnpe.v2i2.460 Non Komersial-Berbagi Serupa 4.0
Internasional

Menurut Townsend, (1998) dalam Pada penelitian ini ODHA


Nyumirah (2012) bahwa harga diri rendah mengalami harga diri rendah karena merasa
menjadi evaluasi diri dan perasaan tentang dirinya tidak berharga akibat stigma dan
diri atau kemampuan diri yang negatif yang diskriminasi yang dilakukan oleh
dapat secara langsung atau tidak langsung. masyarakat sekitarnya. ODHA merasa tidak
Gangguan harga diri rendah menjadi percaya diri ketika bersama-sama dengan
sebagai perasaan yang negatif terhadap diri masyarakat sehingga cenderung lebih
sendiri, termasuk hilangnya percaya diri banyak diam dan menyendiri. Pergaulannya
dan harga diri serta merasa gagal untuk hanya dengan orang-orang tertentu yang
mencapai suatu tujuan. dikenal dengan baik dengan ODHA. Akibat
ODHA yang selama ini sering dari harga diri rendah kemudian ODHA
merasakan kecemasan dari berbagai gejala akan menarik diri dari lingkungannya dan
yang timbul tetapi sejak diberikan Terapi hana mau bergaul dengan kelompok
Kognitif ODHA mulai memperoleh dukungan sebaya atau sesama ODHA.
manfaat langsung seperti responden ODHA tetap melakukan aktivitasnya
menjadi tidak malu untuk bergaul dengan sehari-hari namun tidak lebih banyak
warga lain, menurunnya kesedihan yang berinteraksi dengan masyarakat.
dialami oleh responden dan hal-hal negatif Selain itu faktor keaktifan pada
perlahan-lahan mengalami penurunan ODHA dalam melaksanakan prosedur
termasuk keluhan fisik yang dialami oleh Terapi Kognitif sangat berkaitan terhadap
responden. Menurut Nyumirah (2012) kondisi kecemasan ODHA, semakin rajin
bahwa Perbedaan dengan penelitian atau aktif ODHA dalam melaksanakan
sebelumnya bahwa ODHA merasa malu anjuran atau saran selama mengikuti terapi
dan tidak mau bersosialisasi dengan maka akan semakin menurunkan tingkat
masyarakat lain. Hal ini merupakan hal kecemasan yang dialaminya dan begitu juga
yang wajar terjadi pada ODHA yang sebaliknya (Rosyikhoh, 2013). Pada pikiran
dimiliki penyakit dengan stigma dan otomatis negatif berkembang dalam diri
diskriminasi, ketakutan akan kematian dan ODHA terjadi 3 kemungkinan yang muncul
keluarga yang tinggal membuat koping diri dalam pikiran ODHA yaitu pandangan
ODHA yang tidak baik dengan menarik diri tentang diri sendiri : merasa tidak berharga,
dari pergaulan masyarakat. sudah rusak, kehadirannya tidak dianggap

E-ISSN 2775-0663| 96
JOURNAL OF NURSING PRACTICE AND EDUCATION Ciptaan disebarluaskan di bawah
VOL. 02 NO. 02 JUNE 2022 Lisensi Creative Commons Atribusi-
DOI : 10.34305/jnpe.v2i2.460 Non Komersial-Berbagi Serupa 4.0
Internasional

lagi. Pandangan negatif tentang dunia dan perilaku pasien Beberapa teknik yang
lingkungannya : memandang bahwa dunia digunakan dalam proses terapi kognitif
dan sekitarnya sebagai kelompok yang dilakukan dalam upaya untuk memodifikasi
tidak peka, menghukum dan menyudutkan cara berfikir pasien yang salah yang dapat
keberadaan ODHA. Pandangan negatif berpengaruh dalam perilaku maladaptif.
tentang masa depan : ODHA menganggap Menurut Rupke, (2006) dalam Pardita,
masa depan sebagai sesuatu yang sia-sia (2014) bahwa alam pikiran diikuti oleh
dan tidak memberikan sedikitpun harapan. perasaan sehingga belajar untuk mengganti
Setelah sesi 1 sampai 3 selesai maka pola pikir negatif ke pola pikir yang positif
sesi 4 membahas tentang support sistem dan reaksi emosional tidak menyenangkan
dan mengevaluasi terapi di sesi 3. Untuk yang dialami oleh suatu individu dapat
sesi 4 (Support System) dari keluarga, digunakan sebagai tanda bahwa apa yang
teman sebaya dan orang lain, Support dipikirkan mengenai dirinya sendiri
System sangat diperlukan untuk bisa mungkin tidak rasional selanjutnya pikiran
melatih ODHA agar bisa melakukan yang objektif dan rasional terhadap
aktivitasnya sehari-hari. Setelah dilakukan peristiwa yang dialami.
Terapi Kognitif maka keluarga sangat Kesimpulan
diperlukan dalam bersikap empati karena Pada karakteristik responden yang
sikap empati dari keluarga menjadi paling tertinggi adalah rentang usia 26
penyemangat. ODHA mengharapkan sampai 35 tahun, tingkat pendidikan SMA,
kesabaran dalam merawat dan penuh kasih jenis kelamin laki-laki, dan stadium HIV-
sayang sehingga menimbulkan semangat AIDS adalah stadium 2. Ada pengaruh
hidup dan kesembuhan bagi ODHA. Terapi Kognitif untuk menurunkan
ODHA merasakan akan hadirnya keluarga kecemasan terhadap ODHA (Orang Dengan
sebagai tempat yang paling nyaman dan HIV-AIDS) Di Kota Gorontalo
aman untuk hidup sehingga merasa betah Saran
dan nyaman. Diharapkan kepada Kepala Dinas
Menurut Townsend, (2003) dalam Kesehatan Kota Gorontalo dan Komisi
Setyabudi, (2012) dalam Terapi Kognitif Penanggulangan AIDS (KPA) dapat
menggunakan berbagai bentuk atau teknik melakukan asuhan keperawatan pada
untuk merubah cara berfikir, perasaan dan ODHA di komunitas terkait dalam rangka

E-ISSN 2775-0663| 97
JOURNAL OF NURSING PRACTICE AND EDUCATION Ciptaan disebarluaskan di bawah
VOL. 02 NO. 02 JUNE 2022 Lisensi Creative Commons Atribusi-
DOI : 10.34305/jnpe.v2i2.460 Non Komersial-Berbagi Serupa 4.0
Internasional

menurunkan gangguan psikologi kecemasan dan meningkatkan percaya diri


khususnya kecemasan dengan pemberian pada ODHA. Diharapkan pada peneliti
terapi kognitif. Penelitian ini menjadi selanjutnya yang ingin melanjutkan
acuan sebagai pemberian intervensi penelitian ini kiranya dapat meneliti
keperawatan berdasarkan Evidence Based tentang pengaruh terapi kognitif terhadap
Nursing Practice dalam melakukan terapi tingkat depresi pada ODHA sehingga
kognitif pada ODHA. Dianjurkan untuk penelitian tersebut menjadi Evidence
bisa memberikan dukungan terhadap Based Nursing Practice sebagai
ODHA agar tidak menimbulkan psikoterapi.
Daftar Pustaka Isolasi Sosial di RSJ Dr. Amino
Gondohutomo Semarang. Jurnal
Keperawatan Universitas Indonesia
Albery, I. dan M. M. (2011). Psikologi
(Online).
Kesehatan.
Pardita, D. P. Y. (2014). Analisis Dampak
Desmawati. (2013). Sistem Hematologi dan
Sosial, Ekonomi, Dan Psikologis
Imunologi.
Penderita Hiv Aids Di Kota Denpasar.
Jurnal Keperawatan Universitas
Irawaty, D. & S. (2011). Terapi Perilaku
Airlangga (Online).
Kognitif Religius terhadap Pasien Hiv-
Aids Universitas Gajah Mada. Jurnal
Rosyikhoh, L. (2013). Hubungan Tingkat
Keperawatan Universitas Gajah Mada
Kecemasan Terhadap Koping Siswa
(Online).
SMUN 16 Dalam Menghadapi Ujian
Nasional. Jurnal Keperawatan
Kementerian Kesehatan, R. (2015).
Universitas Indonesia (Online).
Kesehatan Dalam Kerangka SDGs
http://digilib.uinsby.ac.id/10839/5/bab
(Sustainable Development Goals).
2.pdf.
Pusat2.Litbang.depkes.go.id.
Setyabudi, I. (2012). Pengembangan
Nengsih, A. (2020). Origami Sebagai
Metode Efektivitas Dzikir Untuk
Tindakan Adjuvant Atraumatic Care
Menurunkan Stres Dan Afek Negatif
Terhadap Tingkat Kecemasan Anak
Pada Penderita Stadium Aids. Artikel
Yang Menjalani Hospitalisasi Di Rsud
Psikologis Universitas Esa Unggul
45 Kuningan. Journal of Nursing
Jakarta (Online).
Practice and Education Vol. 1 No. 1
http://download.portalgaruda.org/articl
(2020).
e.php?article.
https://doi.org/https://doi.org/10.34305
/jnpe.v1i1.194

Nyumirah, S. (2012). Pengaruh Terapi


Perilaku Kognitif Terhadap
Kemampuan Interaksisosial Klien

E-ISSN 2775-0663| 98
JOURNAL OF NURSING PRACTICE AND EDUCATION Ciptaan disebarluaskan di bawah
VOL. 02 NO. 02 JUNE 2022 Lisensi Creative Commons Atribusi-
DOI : 10.34305/jnpe.v2i2.460 Non Komersial-Berbagi Serupa 4.0
Internasional

Kesimpulan kelompok :
1. Berdasarkan hasil penelitian
diatas Ada pengaruh Terapi
Kognitif untuk menurunkan
kecemasan terhadap ODHA
(Orang DenganHIV-AIDS) Di
Kota Gorontalo
2. Terapi kognitif pada penderita
ODHA terbukti mampu
menurunkan kecemasan para
penderita.

E-ISSN 2775-0663| 99
Jurnal Riset Komputer (JURIKOM), Volume : 3, Nomor: 1, Februari 2016 ISSN : 2407-389X

SISTEM PAKAR DIAGNOSA PENYAKIT MININGITIS DENGAN


MENGGUNAKAN METODE DEMPSTER SHAFER

Muhammad Syukron Hasibuan

Mahasiswa Program Studi Teknik Informatika STMIK Budi Darma Medan


Jl. Sisingamangaraja No. 338 Sp. Limun Medan
http : // www.stmik-budidarma.ac.id // Email: arachisyu@gmail.com

ABSTRAK
Seiring perkembangan teknologi, dikembangkan pula suatu sistem teknologi yang mampu mengadopsi
proses dan cara berpikir manusia yaitu sistem pakar yang mengandung pengetahuan tertentu sehingga setiap
orang dapat menggunakan untuk memecahkan masalah yang bersifat spesifik, dalam hal ini adalah
permasalahan kesehatan mengenai penyakit miningitis. Ketika terjadi masalah kesehatan khususnya penyakit
miningitis lebih tepatnya orang akan datang ke dokter atau ahli untuk berkonsultasi. Namun terdapat kelemahan
jika mempercayakan kepada dokter ahli seperti terbatasnya jam praktek dan kejadian banyak pasien yang
memaksa harus melakukan antrian serta memerlukan biaya yang lumayan besar. Dalam hal ini, kita selaku
orang yang menggunakan jasa lebih membutuhkan seorang pakar yang bisa memudahkan dalam mendiagnosa
penyakit miningitis sebagai pencegahan awal. Dengan demikian sebagai alternatif pemecahan masalah yaitu
dengan membuat aplikasi sistem pakar dengan metode Dempster Shafer yang dapat
mengindentifikasi/mendiagnosa penyakit miningitis berdasarkan gejala yang ada. Yang ditampilkan dalam
bentuk website menggunakan pemrograman PHP dengan database MySQL, sehingga konsultasi akan lebih
mudah, hemat biaya serta dapat digunakan kapan dan dimana saja.

Kata kunci : Sistem Pakar, Penyakit Miningitis, Dempster Shafer.

1. Latar Belakang Masalah dengan database MySQL, sehingga konsultasi akan


1.1 Latar Belakang Masalah lebih mudah, hemat biaya serta dapat digunakan
Seiring perkembangan teknologi, dikembangkan kapan dan dimana saja.
pula suatu sistem teknologi yang mampu mengadopsi Ada berbagai macam penalaran dengan
proses dan cara berpikir manusia yaitu sistem pakar model yang lengkap dan sangat konsisten, tetapi pada
yang mengandung pengetahuan tertentu sehingga kenyataannya banyak permasalahan yang tidak dapat
setiap orang dapat menggunakan untuk memecahkan terselesaikan secara lengkap dan konsisten.
masalah yang bersifat spesifik, dalam hal ini adalah Ketidakkonsistenan tersebut adalah akibat adanya
permasalahan kesehatan mengenai penyakit penambahan fakta baru. Penalaran yang seperti itu
meningitis atau biasanya diiringi dengan sakit di disebut dengan penalaran non monotonis. Untuk
kepala atau radang selaput otak. Ketika terjadi mengatasi ketidakkonsistenan tersebut maka dapat
masalah kesehatan khususnya radang selaput otak menggunakan penalaran dengan teori Dempster
atau sakit kepala lebih tepatnya orang akan datang ke Shafer.
dokter untuk berkonsultasi. Namun terdapat kendala Meningitis disebabkan oleh bakteri Neisseria
jika mempercayakan kepada dokter ahli seperti meningitides (dikenal sebagai "meningitis
terbatasnya jam praktek dan kejadian banyak pasien meningokokus") dapat dibedakan dari meningitis
yang memaksa harus melakukan antrian. dengan penyebab lain dengan ruam petekie cepat
Sistem pakar dapat diartikan sebagai sistem menyebar yang biasa mendahului gejala lain. Ruam
yang mengadopsi pengetahuan manusia ke komputer, terdiri dari banyak kecil, bintik-bintik ungu atau
agar komputer dapat menyelesaikan masalah seperti merah tidak teratur ("petechiae") pada batang,
yang biasa dilakukan oleh pakar, sehingga sistem ekstremitas bawah, membrane mukosa, conjuctiva,
pakar dapat menjadi asisten dari seorang pakar. dan (kadang-kadang) telapak tangan atau telapak
Aplikasi yang dapat membantu mendiagnosa suatu kaki. Ruam ini biasanya non-blanching: kemerahan
penyakit berbasis pengetahuan biasa disebut tidak hilang jika ditekan dengan jari atau gelas kaca.
kecerdasan buatan (Artificial Intelligence). Meskipun ruam ini tidak selalu hadir dalam
Dalam hal ini, kita selaku orang yang meningitis meningokokus, relatif spesifik untuk
menggunakan jasa lebih membutuhkan seorang pakar penyakit ini, tetapi, bagaimanapun, kadang-kadang
yang bisa memudahkan dalam mendiagnosa penyakit terjadi pada meningitis akibat bakteri lain. Petunjuk
miningitis sebagai pencegahan awal. Dengan lain mengenai sifat penyebab meningitis mungkin
demikian sebagai alternatif pemecahan masalah yaitu tanda-tanda kulit penyakit tangan, kaki dan mulut dan
dengan membuat aplikasi sistem pakar dengan genital herpes, yang keduanya terkait dengan
metode Dempster Shafer yang dapat berbagai bentuk meningitis virus.
mengindentifikasi/mendiagnosa penyakit miningitis Metode yang digunakan pada pembuatan
berdasarkan gejala yang ada. Yang ditampilkan dalam aplikasi ini menggunakan metode Dempster Shafer,
bentuk website menggunakan pemrograman PHP hasil uji coba sistem pada sistem pakar sebelumnya

Sistem Pakar Diagnosa Penyakit Miningitis Dengan Menggunakan Metode Dempster Shafer.
Oleh : Muhammad Syukron Hasibuan 36
Jurnal Riset Komputer (JURIKOM), Volume : 3, Nomor: 1, Februari 2016 ISSN : 2407-389X

yang berkaitan tentang kesehatan menunjukkan Menurut Kusrini (2008), Komponen sistem
bahwa sistem ini mampu melakukan diagnosa pakar terdiri dari :
penyakit berdasarkan gejala-gejala yang diderita 1. Knowledge Base (Basis Pengetahuan).
pasien meskipun gejala-gejala tersebut mengandung Knowledge Base (Basis pengetahuan) merupakan
ketidakpastian, dengan cara menanyakan gejala- inti dari program sistem pakar karena basis
gejala yang dirasakan penderita. Hasil diagnosa pengetahuan itu merupakan presentasi
disertai dengan nilai Dempster Shafer menunjukkan pengetahuan atau knowledge representation basis
tingkat kebenaran yang besar berdasarkan hasil pengetahuan adalah sebuah basis data yang
diagnosa. Namun penelusuran forward chaining akan menyimpan aturan-aturan tentang suatu domain
tetap diimplementasikan dalam inference engine. knowledge/pengetahuan tertentu. Basis
Penulusuran dilakukan untuk menentukan jenis pengetahuan ini terdiri dari kumpulan objek
penyakit yang diderita pasien. beserta aturan dan atributnya (sifat atau cirinya),
tentu saja di dalam domain tertentu.Ada 2 bentuk
1.2 PerumusanMasalah pendekatan basis pengetahuan yang sangat umum
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, digunakan yaitu :
maka dirumuskan masalah-masalah sebagai berikut : a. Rule-Based Reasoning (Penalaran berBasis
1. Bagaimana mengimplementasikan sistem Aturan)
pakardalam mendiagnosa penyakit miningitis ? Pada penalaran berbasis aturan, pengetahuan
2. Bagaimana penerapan metode DempsterShafer direpresentasi-kan dengan menggunakan
dapat membantu dalam mendiagnosa penyakit aturan berbentuk IF-THEN. Bentuk ini
meningitis sesuai dengan gejala-gejala yang digunakan jika kita memiliki sejumlah
diderita ? pengetahuan pakar pada suatu permasalahan
3. Bagaimana membangun sebuah system pakar tertentu, dan pakar dapat menyelesaikan
mendiagnosa penyakit meningitis dengan berbasis masalah tersebut secara berurutan. Bentuk ini
web ? juga digunakan jika dibutuhkan penjelasan
tentang jejak (langkah-langkah) pencapaian
1.3 Batasan Masalah solusi.
Agar penulisan ini lebih terarah dan tujuan b. Case-Based Reasoning (Penalaran berBasis
yang diharapkan dapat tercapai, maka penulis Kasus).
menetapkan batasan-batasan terhadap masalah yang Basis pengetahuan akan berisi solusi-solusi
akan diteliti. Dalam melakukan penelitian ini penulis yang telah di-capai sebelumnya, kemudian
memberikan batasan-batasan sebagai berikut: akan diturunkan suatu solusi untuk keadaan
1. Penelitian ini dilakukan dengan hanya menemui yang terjadi sekarang (fakta yang ada). Bentuk
beberapa dokter atau pakar di bidang penyakit ini digunakan jika pemakai (user)
selaput otak. menginginkan untuk tahu lebih banyak lagi
2. Sistem Pakar ini hanya menggunakan perhitungan pada kasus-kasus yang hampir sama (mirip).
yang berlaku pada metode Dempster Shafer. Bentuk ini juga digunakan jika kita telah
memiliki sejumlah situasi atau kasus tertentu
3. Sistem Pakar ini hanya membahas mendiagnosa
penyakit miningitis. dalam basis pengetahuan.
2. Working Memory (Basis Data atau Memori
2. Landasan Teori Kerja).
2.1 Pengertian Sistem Pakar Working memory adalah bagian yang
Secara umum sistem pakar (expert system) mengandung semua fakta-fakta baik fakta awal
adalah sistem yang berusaha mengadopsi pada saatsistem beroperasi maupun fakta-fakta
pengetahuan manusia ke komputer, agar komputer pada saat pengambilan kesimpulan sedang
dapat menyelesaikan masalah seperti yang biasa dilaksanakan selama sistem pakar beroperasi,
dilakukan oleh para ahli (Muhammad Arhami, 2006). basis data berada di dalam memori kerja.
Sistem pakar yang baik dirancang agar dapat 3. Inference Engine (Mesin/Motor Inferensi).
menyelesaikan masalah tertentu dengan meniru kerja Inference Engine adalah bagian yang
dari para ahli. menyediakan mekanisme fungsi berfikir dan pola-
Istilah sistem pakar berasal dari knowlegde- pola penalaran sistem yang digunakan oleh
based expert system. Istilah ini muncul karena untuk seorang pakar.
memecahkan masalah, sistem pakar menggunakan a. Mekanisme ini akan menganalisa masalah
pengetahuan seorang pakar yang dimasukkan tertentu dan selanjutnya akan mencari
kedalam komputer. Seseorang yang bukan pakar jawaban atau kesimpulan yang terbaik.
menggunakan sistem pakar untuk meningkat b. Mesin ini akan dimulai pelacakannya dengan
kemampuan pemecahan masalah, sedangkan seorang mencocokan kaidah-kaidah dalam basis
pakar menggunakan sistem pakar untuk knowledge pengetahuan dengan fakta-fakta yang ada
assistant. dalam basis data.

2.2 Komponen Sistem Pakar 2.3 Teori Dempster Shafer


Ada berbagai macam penalaran dengan
model yang lengkap dan sangat konsisten, tetapi pada
Sistem Pakar Diagnosa Penyakit Miningitis Dengan Menggunakan Metode Dempster Shafer.
Oleh : Muhammad Syukron Hasibuan 37
Jurnal Riset Komputer (JURIKOM), Volume : 3, Nomor: 1, Februari 2016 ISSN : 2407-389X

kenyataannya banyak permasalahan yang tidak dapat permasalahan ini, pemecahan masalah tersebut dapat
terselesaikan secara lengkap dan konsisten. dilakukan dengan mengembangkan sistem yang dapat
Ketidakkonsistenan yang tersebut adalah akibat berperan sebagai seorang dokter penyakit (ahli),
adanya penambahan fakta baru. Penalaran yang khususnya miningitis. Dengan kata lain terjadi
seperti itu disebut dengan penalaran nonmonotonis. pemindahan atau proses pengolahan yang
Untuk mengatasi ketidakkonsistenan tersebut maka membangun dan mengoperasikan basis pengetahuan
dapat menggunakan penalaran dengan teori dari seorang pakar ke sebuah sistem komputer. Fakta-
Dempster-Shafer. (Aprilia Sulistyohati at all, 2008) fakta dari seorang pakar atau dokter miningitis
Secara umum Teori Dempster-Shafer disimpan dalam suatu basis pengetahuan. Dengan
ditulisdalamsuatu interval: bantuan mesin inferensi dan memori kerja, maka
[Belief,Plausibility] proses penarikan kesimpulan dalam menentukan
Belief (Bel) adalah ukuran kekuatan evidence (gejala) penyakit miningitis serta memberikan saran
dalam mendukung suatu himpunan bagian. Jika pencegahan untuk tindakan selanjutnya dapat
bernilai 0 maka mengindikasikan bahwa tidak ada dilakukan.
evidence, dan jika bernilai 1 menunjukan adanya
kepastian.(Aprilia Sulistyohati at all, 2008) 3.2 Analisa penerapan Metode Dempster Shafer
Plausibility (Pl) dinotasikan sebagai: Teori Dempster Shafer adalah suatu teori
Pl(s)= 1 – Bel(¬s) matematika untuk pembuktian berdasarkan belief
Plausibility juga bernilai 0 sampai 1. Jika kita yakin functionsandplausible reasoning (fungsi kepercayaan
akan –s, maka dapat dikatakan bahwa Bel(¬s)=1, dan dan pemikiran yang masuk akal), yang digunakan
Pl(¬s)=0. Plausability akan mengurangi tingkat untuk mengkombinasikan potongan informasi yang
kepercayaan dari evidence. Pada teori Dempster- terpisah (bukti) untuk mengkalkulasi kemungkinan
Shafer kita mengenal adanya frame of discernment dari suatu peristiwa.
yang dinotasikan dengan θ dan massfunction yang Dik : θ={P1,P2,P3,P4 }
dinotasikan dengan m. Frame ini merupakan semesta Dengan :
pembicaraan dari sekumpulan hipotesis. Tujuannya P1 = Kriptokokus
adalah mengaitkan ukuran kepercayaan elemen- P2 = Bacterial
elemen θ. Tidak semua evidence secara langsung P3 = Viral
mendukung tiap-tiap elemen. Untuk itu perlu adanya P4 = Jamur
probabilitas fungsi densitas (m). Nilai m tidak hanya
mendefinisikan elemen-elemen θ saja, namun juga Rule-Based Penyakit Miningitis :
semua subsetnya. Sehingga jika θ berisi n elemen, IFPusing AND Mata Panas AND Benjolan Di Leher
maka subset θ adalah 2n . Jumlah semua m dalam AND Badan Berbintik PutihTHEN Kriptokokus.
subset θ sama dengan 1. Apabila tidak ada informasi IFBenjolan Di Kepala AND Mata Merah AND
apapun untuk memilih hipotesis, maka nilai : m{θ} = Pendengaran Terganggu AND Badan PanasTHEN
1,0 . Bacterial.
Apabila diketahui X adalah subset dari θ, IF Benjolan Di Kepala AND Lidah Berwarna
dengan m1 sebagai fungsi densitasnya, dan Y juga Keputihan AND Tenggorokan Kering THEN Viral.
merupakan subset dari θ dengan m2 sebagai fungsi IFMigren AND Pandangan Kabur AND Pendengaran
densitasnya, maka dapat dibentuk fungsi kombinasi Terganggu AND Bengkak Pada Leher AND Pundak
m1 dan m2 sebagai m3, dengan rumus seperti pada Berbintik Merah AND Kudis Pada Tubuh THEN
persamaan 2 berikut : Jamur.

m3 (z) =  x y= z
m1 ( X ).m2 (Y )
m ( X ).m (Y )
Jika kemudian diketahui bahwa benjolan di
kepala merupakan gejala dari P2 (Bacterial) dan
1−
 x y= 1 2 P3(Viral) dengan m= 0,7 , maka :
M{P2, P3}= 0,7 m{θ}= 1-0,7 = 0,3
Dimana : m3(Z) = mass function dari Misalkan User melakukan konsultasi dengan
evidence (Z) gejala benjolan di kepala, mata merah dan badan
m1 (X) = mass function dari panas. Maka untuk memperoleh nilai keyakinan
evidence (X) dengan metode Dempster Shafer dari gejala benjolan
m2 (Y) = mass function dari di kepala dan mata merah diatas, dihitung :
evidence (Y) gejala 1 = benjolan di kepala
Zm1(X).m2(Y) = ada hasil irisan m1 {P2,P3} = 0.7
dari m1 dan m2 m1 { θ } = 1 - 0.12 = 0.88
Ø Zm1(X).m2(Y) = tidak ada hasil irisan (irisan gejala 2 = mata merah
kosong (Ø)) m2 {P2} = 0.7
m2 { θ } = 1 - 0.7 = 0.3
3. Analisa Dan Pembahasan gejala 3 = badan panas
3.1 Analisa Masalah m3 {P2} = 0.1
Masalah diagnosis penyakit miningitis dapat m3 { θ } = 1 - 0.1 = 0.9
dimasukkan ke dalam salah satu cabang ilmu Andaikan diketahui benjolan di kepala = (X)
Artfiicial intelligent yaitu sistem pakar. Pada adalah subset dari θ, dengan m1 sebagai fungsi
Sistem Pakar Diagnosa Penyakit Miningitis Dengan Menggunakan Metode Dempster Shafer.

38
Oleh : Muhammad Syukron Hasibuan x y= z
m1 ( X ).m2 (Y )
m (z) =
1− 
3
x y=
m1( X ).m2 (Y )
Jurnal Riset Komputer (JURIKOM), Volume : 3, Nomor: 1, Februari 2016 ISSN : 2407-389X

densitasnya, dan gejala 2 = (Y) juga merupakan


subset dari θ dengan m2 sebagai fungsi densitasnya. Ket :
Maka dapat membentuk fungsi kombinasi m2 sebagai m1, m2, m3 = densitas gejala
m3 dengan persamaan berikut : X,Y,Z = Himpunan Miningitis
Hasil perhitungan diilustrasikan dalam tabel 1

Tabel 1. Aturan Kombinasi untuk m3


{P2} 0.7 θ (0.3)
{P2,P3} (0.12) {P2} 0.084 {P2,P3} (0.036)
θ (0.88) {P2} 0.616 θ (0.264)

{P2} 0.1 θ (0.9)


{P2} (0.084) {P2} (0.0084) {P2} (0.0756)
{P2} (0.616) {P2} (0.0616) {P2} (0.5544)
{P2,P3} (0.036) {P2} (0.0036) {P2,P3} (0.0324)
θ (0.264) {P2} (0.0264) θ (0.2376)

Keterangan : 6. Baris keenam, ketujuh, kedelapan dan kesembilan


1. Kolom pertama dan kedua pada baris kedua dan pada kolom ketiga, keempat, kelima dan keenam
ketiga berisikan semua himpunan bagian pada merupakan irisan himpunan dari kombinasi gejala
gejala pertama (benjolan di kepala) dengan m1 pertama dan gejala kedua dengan gejala ketiga.
sebagai fungsi densitas. Maka dapat disimpulkan nilai kepastian
2. Baris pertama berisikan semua himpunan bagian kombinasi Dempster Shafer adalah :
pada gejala kedua (mata merah) dengan m2 User mengalami penyakit miningitis dengan nilai
sebagai fungsi densitas. kepercayaan sebesar :
3. Baris kedua dan ketiga pada kolom ketiga, 0.0084 /(1-0.2376)* 100 % = 1.10 %
keempat, kelima dan keenam merupakan irisan
dari kedua himpunan. 3.3 Flowchart
4. Kolom pertama dan kedua pada baris keenam, Berikut ini merupakan flowchart dari
ketujuh, kedelapan, dan kesembilan berisikan langkah-langkah penyelesaian metode dempster-
semua himpunan hasil kombinasi pada gejala shafer di dalam Sistem Pakar Mendiagnosa Penyakit
pertama dan gejala kedua. Pedofilia Dengan Menggunakan Metode Dempster
5. Baris kelima berisikan semua himpunan bagian Shafer.
pada gejala ketiga (badan panas) dengan m3
sebagai fungsi densitas.

m3 (z) =
x y= z m1 ( X ).m2 (Y )
1−  x y= 1 2

Gambar 1 : Flowchart langkah-langkahpenyelesaian Depster-Shafer

Sistem Pakar Diagnosa Penyakit Miningitis Dengan Menggunakan Metode Dempster Shafer.
Oleh : Muhammad Syukron Hasibuan 39
Jurnal Riset Komputer (JURIKOM), Volume : 3, Nomor: 1, Februari 2016 ISSN : 2407-389X

4. Algoritma dan Implementasi pilihan tambah admin dan keluar. Pilihan menu basis
Algoritma adalah susunan yang logis dan aturan berisi menu untuk login.
sistematis untuk memecahkan suatu masalah atau
untuk mencapai tujuan tertentu dalam dunia
komputer, Algoritma sangat berperan penting dalam
pembangunan suatu software Sistem pakar analisis
penyakit miningitis menggunakan metode Dempster
Shafer.

4.1 Algoritma Metode Dempster Shafer


Algoritma ini menjelaskan alur kerja sistem
pada penerapan metode Dempster Shafer di dalam
sistem yang dibangun.
Input : Miningitis Kriptokokus = Pusing, Mata Gambar 2 : Form Menu Utama
Panas, Benjolan Di Leher, Badan Berbintik
Putih. Form ini digunakan untuk masuk ke Form
Miningitis Bacterial = Benjolan Di basis aturan. Sebelum masuk ke Form basis aturan
Kepala, Mata Merah, Pendengaran user akan diminta untuk memasukkan username dan
Terganggu, Badan Panas. password, yang kemudian akan dicocokan dengan
Miningitis Viral = Benjolan Di Kepala, basis data. Apabila tidak ada yang cocok atau belum
Lidah Berwarna Keputihan, Tenggorokan pernah melakukan register maka pengguna diminta
Kering. untuk melakukan register. Apabila cocok maka user
Miningitis Jamur = Migren, Pandangan akan masuk ke Form basis aturan.
Kabur, Pendengaran Terganggu, Bengkak
Pada Leher, Pundak Berbintik Merah,
Kudis Pada Tubuh.
Output : Hasil nilai kepercayaan
Proses :
IFPusing AND Mata Panas AND Benjolan Di Leher
AND BadanBerbintikPutihTHENKriptokokus.
IFBenjolan Di Kepala AND Mata Merah AND
PendengaranTerganggu AND BadanPanasTHEN
Bacterial.
IFBenjolan Di Kepala AND Lidah Berwarna
Keputihan AND Tenggorokan Kering THEN Viral.
IFMigren AND Pandangan Kabur AND Pendengaran
Terganggu AND Bengkak Pada Leher AND Pundak Gambar 3 :Form Register
Berbintik Merah AND Kudis Pada Tubuh
THENJamur. Form penelusuran digunakan untuk
Jlhrule=20 menelusuri pertanyaan-pertanyaan yang dijawab oleh
Md=Round((d/Jlhrule).5) pengguna yang kemudian akan diolah oleh mesin
Mdo=1-Md inferensi untuk , yang dialami oleh user atau
Mm=Round((m/Jlhrule).5) pengguna. Setelah selesai mencentang semua
Mmo=1-Mm pertanyaan dari sistem maka pengguna harus
K=1-(Md*Mmo) menekan tombol “Diagnosa” untuk mengetahui
Beld=(Md*Mmo)/K penyakit miningitis apa dan sarannya.
Belm=(Mmd*Mm)/K
Bel=Beld+Belm
Persentase=Bel*100
Tampilkan Hasil Nilai Kepercayaan

4.2 Implementasi
Untuk memudahkan pengoperasian sistem
ini, maka rancangan antar muka dibagi atas beberapa
jenis, yang disesuaikan dengan fungsinya masing-
masing yaitu:

Form menu utama merupakan Formtampilan


utama dari program. Dalam Form ini juga berisi dari
beberapa pilihan menu seperti file, basis aturan, Gambar 4 : FormPenelusuran
penelusuran, danbantuan. Pilihan menu file berisi Formini berfungsi untuk menampilkan hasil
diagnosis dan solusi dari semua pertanyaan yang telah
Sistem Pakar Diagnosa Penyakit Miningitis Dengan Menggunakan Metode Dempster Shafer.
Oleh : Muhammad Syukron Hasibuan 40
Jurnal Riset Komputer (JURIKOM), Volume : 3, Nomor: 1, Februari 2016 ISSN : 2407-389X

di centang sebelumnya. Tampilan dari Form hasil 2. Kusrini (2007).”Question Quantification to


diagnosis. Obtain User Certainty Factor in Expert System
Application for Disease Diagnosis”. Proceedings
of the International Conference on Electrical
Engineering and Informatics. Institut Teknologi
Bandung, Indonesia.
3. Romeo Mark A. Mateo and Jaewan Lee (2008).
“Healthcare Expert System based on Group
Cooperation Model”. International Journal of
Software Engineering and Its Application Vol. 2,
No. 1.
4. Sultan Zafar (2009). “Multiple Simultaneous
Threat Detection in UNIX Environment”.
IJCSNS International Journal of Computer
Science and Network Security, VOL.9 No.2.
Gambar 5 : Form Hasil Diagnosis 5. Siswanto (2010). “Kecerdasan Tiruan”. Edisi 2.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
5. Kesimpulan dan saran 6. Bellis Mary, (2010). “Developing The Level of
5.1 Kesimpulan C-Reactive Protein (hs-CRP) in Preeclamptic
Berdasarkan penelitian dan pembahasan Pregnancy ”. JST Kesehatan, Oktober 2010,
yang dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan Vol.1 No.3.
sebagai berikut : 7. Salama A. Mostafa, Mohd Sharifuddin Ahmad,
1. Aplikasi sistem pakar yang dirancang dapat Mazin Abed Mohammed and Omar Ibrahim
mendiagnosa penyakit miningitis dari pertanyaan- Obaid (2012). “Implementing an Expert
pertanyaan berdasarkan gejala yang dijawab oleh Diagnostic Assistance System for Car Failure
user. and Malfunction”. IJCSI International Journal of
2. Metode Dempster Shafer bisa digunakan untuk Computer Science Issues, Vol. 9, Issue 2, No 2.
melakukan diagnosa untuk mengetahui penyakit 8. Rikhiana Dyah Esthi dan Fadlil Abdul (2013).
miningitis. “Implementasi Sistem Pakar Untuk
3. Metode Dempster Shafer menggunakan tingkat Mendiagnosa Penyakit Dalam Pada Manusia
kepercayaan dalam mengambil keputusan hasil Menggunakan Metode Dempster Shafer”.
diagnosa. Volume 1 No 1.

5.2 Saran-saran
Sebagai akhir dari penelitian ini, saya ingin
menyampaikan beberapa saran yang mungkin dapat
bermanfaat bagi semua orang yang menggunakan
sistem ini.
1. Bila ada penambahan gejala atau penyakit
dikemudian hari, diharapkan sistem ini dapat
dikembangkan dengan menambah jumlah rule
yang akan digunakan sehingga hasil diagnosa bisa
lebih baik lagi.
2. Rancangan sistem pakar untuk mendiagnosa
penyakit miningitis, penulis rasakan masih jauh
dari kesempurnaan, untuk itu pernulis
mengharapkan ada pihak atau peneliti lain yang
mau mengembangkan dan melanjutkan penelitian
ini
3. Sebaiknya metode Dempster Shafer ini
dibandingkan dengan metode-metode statistik lain
untuk mengetahui tingkat kebenaran yang lebih
tinggi.

Daftar Pustaka

1. Turban, Efraim., Aronson, Jay E., dan Liang,


Ting-Peng. 2005. “Decision Support System and
Intelligent Systems (Sistem Pendukung
Keputusan dan Sistem Cerdas)”. Terjemahan
Siska Primanningrum. Jilid 2. Edisi 7.
Yogyakarta : Andi.

Sistem Pakar Diagnosa Penyakit Miningitis Dengan Menggunakan Metode Dempster Shafer.
Oleh : Muhammad Syukron Hasibuan 41
Jurnal Riset Komputer (JURIKOM), Volume : 3, Nomor: 1, Februari 2016 ISSN : 2407-389X

1. Sumber
http://ejurnal.stmik-
budidarma.ac.id/index.php/jurikom/articl
e/view/48/27
2. Judul Jurnal
Sistem Pakar Diagnosa Penyakit
Meningitis dengan Metode Dempster
Shafer
3. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian dan pembahasan
yang dilakukan, maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut :
a. Aplikasi sistem pakar yang
dirancang dapat mendiagnosa
penyakit miningitis dari pertanyaan-
pertanyaan berdasarkan gejala yang
dijawab oleh user.
b. Metode Dempster Shafer bisa
digunakan untuk melakukan
diagnosa untuk mengetahui penyakit
miningitis.
c. Metode Dempster Shafer
menggunakan tingkat kepercayaan
dalam mengambil keputusan hasil
diagnosa.

Sistem Pakar Diagnosa Penyakit Miningitis Dengan Menggunakan Metode Dempster Shafer.
Oleh : Muhammad Syukron Hasibuan 42
Evidence Based Practice
Konsep Evidence Based Practice
Evidence-based practice ialah suatu strategi dalam memperoleh pengetahuan dan keterampilan untuk
dapat meningkatkan tingkah laku yang positif dengan menggabungkan bukti penelitian terbaik
sehingga evidence-based practice dapat diterapkan ke dalam praktik keperawatan dan membuat suatu
keputusan perawatan kesehatan yang lebih baik
Evidence-based practice ialah kerangka kerja untuk menguji, mengevaluasi dan menerapkan temuan
penelitian dengan tujuan meningkatkan pelayanan keperawatan yang akan diberikan kepada pasien
Tujuan Evidence Based Practiced
1. Memberikan data pada perawat praktisi berdasarkan bukti ilmiah agar dapat memberikan
perawatan secara efektif dengan menggunakan hasil penelitian yang terbaik
2. Menyelesaikan masalah yang ada pada pemberian pelayanan kepada pasien
3. Mencapai kesempurnaan dalam pemberian asuhan keperawatan, jaminan standar kualitas dan
memicu inovasi
4. Mencapai suatu peningkatan pada perawatan pasien, konsistensi perawatan pasien, hasil
perawatan pasien dan pengendalian biaya
5. Penerapan evidence-based practice sangat penting bagi perawat dalam berkomunikasi secara
efektif dengan pasien dan tim kesehatan dalam pengambilan keputusan dan rencana perawatan
yang akan diberikan
Penatalaksanaan Evidence-based Practice
1. Menumbuhkan semangat penyelidikan;
2. Menanyakan pertanyaan klinik dengan menggunakan format PICO/PICOT;
3. Mencari dan mengumpulkan bukti-bukti (artikel penelitian) yang paling relevan dengan
PICO/PICOT;
4. Melakukan penilaian kritis terhadap bukti-bukti (artikel penelitian)
5. mengintegrasikan bukti-bukti (artikel penelitian) terbaik dengan salah satu ahli di klinik serta
memperhatikan keinginan dan manfaatnya bagi pasien dalam membuat keputusan atau
perubahan;
6. Mengevaluasi outcome dari perubahan yang telah diputuskan berdasarkan bukti-bukti
7. Menyebarluaskan hasil dari evidence-based practice
Pertanyaan Klinis Menggunakan PICO/PICOT Format
P : Populasi pasien atau disease of interest
I : Intervensi atau Issues of Interest
C : Compare/Intervensi pembanding/ kelompok pembanding
O : Outcomes/hasil-hasil yang diharapkan
T : Time frame (batas waktu
Jenis-jenis Pertanyaan Klinis
1. Intervention question : Meneliti mengenai keefektifan dari suatu treatment/intervensi
2. Diagnostic question : Meneliti mengenai manfaat, keakuratan, seleksi, atau interpretasidari
suatu alat/instrumen
3. Prognostic question : Meneliti mengenai keadaan pasien terkait kondisi tertentu atau
mengidentifikasi faktor-faktor yang mungkin mengubah prognosis pasien
4. Etiology question : Meneliti mengenai hubungan sebab akibat dan sesuatu yang mungkin
merugikan
5. Meaning question : Meneliti mengenai makna dari sesuatu hasil
Mengintegrasikan Bukti-Bukti
Clinical expertise (CE),
Ini merupakan bagian yang paling penting dalam proses EBP decision making.
Contoh: saat follow up untuk evaluasi hasil, CE mencatat bahwa saat treatment kasus acute
otitis media first-line antibiotik tidak effective. Artikel terbaru menyatakan Antibiotik A
mempunyai manfaat yang lebih baik dari pada Antibiotik B sebagai second-line antibiotik pada
anak-anak.
Pasien
Jika kualitas evidence bagus dan intervensi sangat memberikan manfaat, akan tetapi jika hasil
diskusi dengan pasien menghasilkan suatu alasan yang membuat pasien menolak treatment,
maka intervensi tersebut tidak bisa diaplikasikan
Mengevaluasi Out Come
Langkah ini penting, untuk menilai dan mendokumentasikan dampak dari perubahan pelayanan
berdasarkan EBP dalam kualitas pelayanan kesehatan/ manfaatnya bagi pasien.
1. Menilai apakah perubahan yang terjadi saat mengimplementasikan hasil EBP di klinik sesuai
dengan apa yang tertulis dalam artikel.
2. Jika hasil tidak sesuai dengan artikel-artikel yang ada
3. Apakah treatment dilaksanakan sesuai dengan SOP di artikel; apakah pasien kita mirip dengan
sample penelitian dalam artikel tersebut
Menyebarluaskan Hasil Dari EBP
Dessiminasi, dilakukan untuk meng-share hasil EBP sehingga perawat dan tenaga kesehatan
yang lain mau melakukan perubahan bersama dan atau menerima perubahan tersebut untuk
memberikan pelayanan perawatan yang lebih baik.
Bentuk-bentuk dessiminasi:
1. Melalui oral presentasi
2. Melalui panel presentasi
3. Melalui roundtable presentasi
4. Melalui poster presentasi
5. Melalui small-group presentasi
6. Melalui podcast/vodcast presentasi
7. Melalui community meetings
8. Melalui hospital/organization-based & professional committee meetings.
9. Melalui journal clubs
10. Melalui publishing
Persyaratan Dalam Penerapan EBP
Tingkatan Hirarki dari penerapan EBP Tingkatan hirarki digunakan untuk mengukur kekuatan
suatu evidence dari rentang tingkatan rendah menuju ke tingkatan tinggi :
1. Laporan fenomena atau kejadian yang temuai sehari – hari
2. Studi kasus
3. Studi lapangan atau laporan deskriptif
4. Studi percobaan tanpa penggunaan teknik pengambilan sampel secara acak (random)
5. Studi percobaan yang menggunakan setidaknya ada satu kelompok pembanding dan
menggunakan sampel secara acak
6. Systemic reviews untuk kelompok bijak bestari atau meta analisa yaitu pengkajian berbagai
penelitian yang ada dengan tingkat kepercayaan yang tinggi
Model Implmentasi Evidenc Evidence Based Practice
1. Model Settler
Merupakan seperangkat perlengkapan atau media penelitian untuk meningkatkan penerapan
Evidence Based. 5 langkah dalam Model settler :
1) Fase 1 : Persiapan.
2) Fase 2 : Validasi.
3) Fase 3 : Perbandingan evaluasi dan pengambilan keputusan.
4) Fase 4 : Translasi dan aplikasi.
Fase 5 : Evaluasi
Model Implmentasi Evidenc Evidence Based Practice
1. Model IOWA Model of Evidence Evidence Based Practice Practice to Promote Promote
Quality Quality Care
Model IOWA diawali dari pemicu atau masalah. Pemicu / masalah ini sebagai focus masalah.
Jika masalah mengenai prioritas dari suatu organisasi tim segera dibentuk. Tim terdiri dari
stakeholders, klinisian, staf perawat dan tenaga kesehatan lain yang dirasakan penting untuk
diliatkan dalam EBP.
2. Model konseptual Rosswurm dan Larrabee
Model ini disebut juga dengan model Evidence Based Practice Change yang terdiri dari 6
langkah yaitu :
1) Tahap 1 : mengkaji kebutuhan untuk perubahan praktis
2) Tahap 2 : tentukkan evidence terbaik
3) Tahap 3 : kritikal analisis evidence
4) Tahap 4 : design perubahan dalam praktek
5) Tahap 5 : implementasi dan evaluasi perubahan
Tahap 6 : integrasikan dan maintain perubahan dalam praktek
Pelaksanaan Evidence Based Practice Pada Luka Bakar
Kulit merupakan salah satu organ tubuh yang rentan terjadi kerusakan, salah satunya akibat
suhu tinggi dapat menyebabkan luka bakar. Penyembuhan luka bakar sangat tergantung dengan
manajemen luka yang baik. Terdapat banyak bahan obat-obatan yang dapat mempercepat
kesembuhan luka bakar, antara lain adalah madu.
Madu berperan sebagai antibakteri dan saat ini sudah dimanfaatkan dalam tatalaksana luka
bakar. Madu memiliki beberapa sumber nutrisi yang kaya akan asam amino, karbohidrat,
protein, vitamin dan mineral yang berperan dalam mempercepat penyembuhan kulit.
Di dalam madu juga terdapat senyawa organik seperti polypenol dan glykosida yang bersifat
sebagai antiviral dan antibakteri yang dapat menekan infeksi yang merupakan salah satu
penghambat penyembuhan luka bakar
Madu terbukti dapat menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli, Listeria
monocytogenes, dan Staphylococcus aureus. Nutrisi yang baik, kandungan kandungan antiviral
da antiviral dan antibakteri antibakteri iniliah yang iniliah yang membuat membuat madu efektif
sebagai tatalaksana masalah kulit, terutama luka bakar.
Pelaksanaan Evidence Based Practice Pada Luka Bakar
Patofisiologi
• Kerusakan kulit akibat luka bakar menyebabkan kehilangan cairan terjadi akibat penguapan
yang berlebihan di derajat 1
• Penumpukan cairan pada bula di luka bakar derajat 2
• Pengeluaran cairan dari keropeng luka bakar derajat 3
• Bila luas luka bakar kurang dari 20%, biasanya masih terkompensasi oleh keseimbangan cairan
tubuh namun jika lebih dari 20% resiko syok hipovolemik akan muncul dengan tanda-tanda
seperti gelisah, pucat, dingin, nadi lemah dan cepat, serta penurunan tekanan darah dan produksi
urin.
• Kulit manusia dapat mentoleransi suhu 44 C (111 F) relatif selama 6 jam sebelum mengalami
cedera termal.
• Pelaksanaan Evidence Based Practice Pada Luka Bakar
Fase Luka Bakar
1. Fase akut/syok/awal.
2. Fase subaut/flow/hipermetabolik,
3. Fase lanjut

4. Madu terbukti dapat menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli, Listeria


monocytogenes, dan Staphylococcus aureus. Nutrisi yang baik, kandungan kandungan antiviral
da antiviral dan antibakteri antibakteri iniliah yang iniliah yang membuat membuat madu efektif
sebagai tatalaksana masalah kulit, terutama luka bakar.
Pelaksanaan Evidence Based Practice Pada Luka Bakar
Patofisiologi
• Kerusakan kulit akibat luka bakar menyebabkan kehilangan cairan terjadi akibat penguapan
yang berlebihan di derajat 1
• Penumpukan cairan pada bula di luka bakar derajat 2
• Pengeluaran cairan dari keropeng luka bakar derajat 3
• Bila luas luka bakar kurang dari 20%, biasanya masih terkompensasi oleh keseimbangan cairan
tubuh namun jika lebih dari 20% resiko syok hipovolemik akan muncul dengan tanda-tanda
seperti gelisah, pucat, dingin, nadi lemah dan cepat, serta penurunan tekanan darah dan produksi
urin.
• Kulit manusia dapat mentoleransi suhu 44 C (111 F) relatif selama 6 jam sebelum mengalami
cedera termal.
Pelaksanaan Evidence Based Practice Pada Luka Bakar
Fase Luka Bakar
1. Fase akut/syok/awal.
2. Fase subaut/flow/hipermetabolik,
3. Fase lanjut
KESIMPULAN: Kulit merupakan salah satu organ tubuh yang rentan terjadi kerusakan, salah
satunya akibat suhu tinggi dapat menyebabkan luka bakar. Penyembuhan luka bakar sangat
tergantung dengan manajemen luka yang baik. Madu berperan sebagai antibakteri dan saat ini
sudah dimanfaatkan dalam tatalaksana luka bakar. Madu memiliki beberapa sumber nutrisi yang kaya
akan asam amino, karbohidrat, protein, vitamin dan mineral yang berperan dalam mempercepat
penyembuhan kulit.
Di dalam madu juga terdapat senyawa organik seperti polypenol dan glykosida yang bersifat
sebagai antiviral dan antibakteri yang dapat menekan infeksi yang merupakan salah satu
penghambat penyembuhan luka bakar
PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN DAN GENETIK TERHADAP
KEJADIAN KATARAK PADA KELOMPOK USIA PRODUKTIF

Abstrak
Katarak merupakan penyakit mata yang signifikan dan sering terjadi pada
kelompok usia produktif. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi hubungan
antara faktor lingkungan dan genetik dengan risiko pengembangan katarak pada
kelompok usia produktif. Faktor lingkungan seperti paparan sinar ultraviolet (UV),
asap rokok, dan polusi udara telah terbukti berperan penting dalam perkembangan
katarak. Selain itu, polimorfisme genetik dalam gen yang mengode enzim
antioksidan, seperti SOD dan GPX, juga dapat mempengaruhi risiko katarak.
Interaksi antara faktor lingkungan dan genetik memainkan peran penting dalam
menentukan risiko katarak pada individu dalam kelompok usia produktif.
Pemahaman yang lebih baik tentang interaksi ini dapat membantu dalam
pengembangan strategi pencegahan yang lebih efektif dan personalisasi dalam
mengurangi beban katarak pada populasi usia produktif.

Kata Kunci : Katarak, Faktor Lingkungan, Faktor Genetik, Kelompok Usia


Produktif.

Abstract
Cataract is a significant eye disease that often occurs in the productive age group.
This study aims to explore the relationship between environmental and genetic
factors with the risk of developing cataracts in the productive age group.
Environmental factors such as exposure to ultraviolet (UV) radiation, cigarette
smoke, and air pollution have been shown to play a crucial role in the development
of cataracts. Additionally, genetic polymorphisms in genes encoding antioxidant
enzymes, such as SOD and GPX, can also influence the risk of cataracts. The
interaction between environmental and genetic factors plays an important role in
determining the risk of cataracts in individuals in the productive age group. A better
understanding of this interaction can help develop more effective and personalized
prevention strategies to reduce the burden of cataracts in the productive age
population.

Keywords: Cataract, Environmental Factors, Genetic Factors, Productive Age


Group.

PENDAHULUAN
Katarak merupakan salah satu masalah kesehatan mata yang signifikan di
seluruh dunia, terutama di kalangan kelompok usia produktif. Kondisi ini terjadi
ketika lensa mata, bagian yang biasanya jernih, menjadi keruh, menyebabkan
gangguan penglihatan yang serius. Dampaknya tidak hanya berpengaruh terhadap
kualitas hidup individu, tetapi juga memiliki implikasi sosio-ekonomi yang
substansial, terutama dalam hal produktivitas kerja dan biaya perawatan kesehatan.
Dalam upaya untuk memahami penyebab dan faktor risiko katarak pada kelompok
usia produktif, penting untuk mengkaji peran yang dimainkan oleh faktor
lingkungan dan genetik.
Faktor lingkungan telah lama diketahui berperan dalam perkembangan
katarak. Paparan terhadap sinar ultraviolet (UV) dari matahari, polusi udara,
konsumsi rokok, dan paparan radiasi merupakan beberapa contoh faktor lingkungan
yang dapat meningkatkan risiko terjadinya katarak. Studi epidemiologi
menunjukkan bahwa individu yang tinggal di daerah dengan paparan UV yang
tinggi memiliki risiko lebih tinggi untuk mengembangkan katarak dibandingkan
dengan mereka yang tinggal di daerah dengan paparan UV yang rendah. Begitu
juga, paparan asap rokok dan polusi udara telah terkait dengan peningkatan risiko
katarak pada kelompok usia produktif.
Selain faktor lingkungan, faktor genetik juga memiliki peran yang signifikan
dalam predisposisi terhadap katarak. Penelitian genetik telah mengidentifikasi
sejumlah polimorfisme genetik yang terkait dengan peningkatan risiko katarak.
Misalnya, variasi genetik dalam gen yang terlibat dalam metabolisme antioksidan,
seperti gen untuk enzim superoksida dismutase (SOD) dan glutathione peroxidase
(GPX), telah dikaitkan dengan risiko katarak yang lebih tinggi. Selain itu, faktor
genetik juga dapat mempengaruhi respons individu terhadap paparan lingkungan
tertentu, seperti sinar UV atau polutan, yang pada gilirannya dapat memengaruhi
risiko katarak.
Oleh karena itu, penelitian yang menginvestigasi hubungan antara faktor
lingkungan dan genetik dengan kejadian katarak pada kelompok usia produktif
sangat penting untuk menyediakan wawasan yang lebih baik tentang mekanisme
penyakit ini dan potensi strategi pencegahan yang tepat. Dengan memahami
kontribusi relatif dari faktor lingkungan dan genetik, diharapkan dapat
dikembangkan intervensi yang lebih efektif dalam mengurangi beban katarak pada
populasi usia produktif, serta membuka jalan menuju perawatan personalisasi yang
lebih baik dalam manajemen katarak.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi literatur untuk
mengumpulkan dan menganalisis informasi terkait pengaruh faktor lingkungan dan
genetik terhadap kejadian katarak pada kelompok usia produktif. Pendekatan
kualitatif dipilih untuk memungkinkan eksplorasi yang mendalam dan pemahaman
yang komprehensif tentang hubungan kompleks antara faktor lingkungan, faktor
genetik, dan risiko katarak. Studi literatur dilakukan dengan melakukan pencarian
yang sistematis dan komprehensif melalui basis data ilmiah, jurnal, buku, dan
sumber informasi lainnya yang relevan.
Proses studi literatur dimulai dengan merumuskan kriteria inklusi yang jelas,
termasuk jenis publikasi (misalnya, artikel penelitian, tinjauan sistematis), rentang
tahun publikasi, dan bahasa. Selanjutnya, pencarian dilakukan menggunakan kata
kunci yang sesuai, seperti "katarak", "faktor lingkungan", "faktor genetik", dan
"kelompok usia produktif". Artikel yang memenuhi kriteria inklusi kemudian
dipilih untuk disertakan dalam analisis. Data yang diekstrak dari studi literatur
mencakup informasi tentang jenis faktor lingkungan yang dikaji (seperti paparan
sinar UV, asap rokok, dan polusi udara), penemuan terkait hubungan antara faktor
lingkungan dan risiko katarak, serta temuan terkait peran faktor genetik dalam
kaitannya dengan katarak. Analisis dilakukan dengan merangkum dan mensintesis
temuan-temuan tersebut, mengidentifikasi pola-pola, kesimpulan umum, dan
kesenjangan pengetahuan yang relevan. Melalui pendekatan kualitatif dan studi
literatur ini, diharapkan dapat diperoleh pemahaman yang lebih dalam tentang
kompleksitas interaksi antara faktor lingkungan dan genetik dalam mempengaruhi
risiko katarak pada kelompok usia produktif.

PEMBAHASAN
1. Katarak
Katarak adalah kondisi medis pada mata yang ditandai oleh kekeruhan
atau perubahan warna pada lensa mata yang seharusnya bening. Lensa mata yang
sehat seharusnya transparan, memungkinkan cahaya untuk masuk dan
menciptakan gambar yang jelas di retina. Namun, ketika lensa mata menjadi
keruh, penglihatan menjadi buram atau kabur, mirip seperti melihat melalui
jendela yang berembun. Katarak dapat berkembang secara bertahap dan
umumnya terjadi karena proses penuaan alami, meskipun beberapa faktor lain
juga dapat berkontribusi pada perkembangannya.
Penyebab utama katarak adalah penuaan, di mana protein-protein di dalam
lensa mata mulai mengalami perubahan struktural seiring berjalannya waktu.
Faktor risiko lain yang dapat mempercepat perkembangan katarak meliputi
paparan sinar ultraviolet (UV) dari matahari, merokok, penyakit seperti diabetes,
cedera mata, dan penggunaan obat-obatan tertentu seperti kortikosteroid dalam
jangka panjang. Katarak dapat terjadi pada satu atau kedua mata dan dapat
berkembang dengan tingkat keparahan yang bervariasi, mulai dari gangguan
ringan dalam penglihatan hingga kehilangan penglihatan yang signifikan jika
tidak diobati.
Gejala katarak meliputi penglihatan kabur, sensitivitas terhadap cahaya,
penglihatan ganda, perubahan dalam persepsi warna, dan sulit melihat di malam
hari. Diagnosis katarak biasanya dilakukan oleh dokter mata melalui
pemeriksaan mata yang menyeluruh, termasuk pemeriksaan penglihatan, tes
cahaya, dan pemeriksaan fundus mata. Pengobatan katarak umumnya
melibatkan pembedahan pengangkatan lensa mata yang keruh dan penggantian
dengan lensa buatan atau lensa intraokular. Pembedahan katarak adalah prosedur
yang umum dan relatif aman, dan dapat mengembalikan penglihatan yang jernih
dan tajam pada kebanyakan orang yang menjalani operasi.

2. Usia Produktif
Usia produktif merujuk pada rentang waktu di mana seseorang berada
dalam tahap hidup yang secara sosial dan ekonomi dianggap sebagai masa
dimana individu memiliki kemampuan untuk berkontribusi secara signifikan
dalam kegiatan produktif, baik dalam hal pekerjaan maupun tanggung jawab
sosial. Rentang usia ini biasanya mencakup periode dari akhir masa remaja atau
awal dewasa hingga sekitar usia 60-65 tahun, meskipun batas-batasnya dapat
bervariasi tergantung pada konteks budaya, ekonomi, dan sosial masyarakat
setempat.
Di sebagian besar masyarakat, usia produktif sering kali dihubungkan
dengan masa ketika seseorang telah menyelesaikan pendidikan formalnya dan
memasuki dunia kerja atau memulai bisnis sendiri. Ini adalah masa di mana
individu mengembangkan keterampilan, pengetahuan, dan pengalaman yang
diperlukan untuk berkontribusi dalam lapangan pekerjaan yang dipilihnya.
Selama usia produktif, seseorang juga sering kali memiliki tanggung jawab
untuk memberikan kontribusi ekonomi bagi diri sendiri, keluarga, dan
masyarakatnya, serta mempersiapkan masa depan finansialnya.
Selain itu, usia produktif juga sering dianggap sebagai periode di mana
seseorang memiliki kesehatan dan energi yang cukup untuk menjalankan
berbagai aktivitas fisik dan intelektual dengan produktif. Hal ini memungkinkan
individu untuk mencapai potensi maksimalnya dalam berbagai aspek kehidupan,
baik itu dalam karir, hubungan sosial, maupun pengembangan diri. Selama usia
produktif, seseorang juga dapat memiliki tanggung jawab yang meningkat
terhadap keluarga, seperti merawat anak-anak atau orang tua, serta terlibat dalam
kegiatan sosial atau komunitas yang lebih luas.
Dengan demikian, usia produktif merupakan periode penting dalam
kehidupan seseorang di mana individu memiliki potensi besar untuk mencapai
kesuksesan pribadi, profesional, dan sosial. Ini adalah masa di mana seseorang
aktif berpartisipasi dalam dunia sekitarnya, mengembangkan hubungan,
menciptakan dampak positif, dan memberikan kontribusi yang berarti bagi diri
sendiri dan masyarakat secara luas.

3. Hubungan Sinar UV dengan Kejadian Katarak


Penelitian ilmiah telah menunjukkan adanya hubungan yang signifikan
antara paparan sinar ultraviolet (UV) dari matahari dan kejadian katarak pada
kelompok usia produktif. Paparan UV yang berlebihan dapat menyebabkan
kerusakan pada lensa mata seiring waktu, meningkatkan risiko terjadinya
katarak pada individu dalam rentang usia ini. Meskipun lensa mata secara alami
memiliki kemampuan untuk menyerap sebagian besar sinar UV, paparan
berkepanjangan dan berulang dapat melebihi kemampuan perlindungan alami
tersebut, mengakibatkan terjadinya perubahan struktural pada lensa.
Paparan sinar UVB, khususnya, telah terbukti menjadi faktor risiko utama
dalam pengembangan katarak, terutama pada kelompok usia produktif yang
sering kali aktif di luar ruangan dan terpapar langsung oleh sinar matahari. Sinar
UVB memiliki energi yang cukup tinggi untuk menembus lensa mata dan
merusak protein-protein di dalamnya, menghasilkan agregat yang menyebabkan
kekeruhan dan pembentukan katarak. Selain itu, paparan sinar UVA juga dapat
berkontribusi terhadap perkembangan katarak, meskipun dalam tingkat yang
lebih rendah dibandingkan dengan sinar UVB.
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa individu yang tinggal di daerah
dengan intensitas sinar UV yang tinggi memiliki risiko yang lebih tinggi untuk
mengembangkan katarak dibandingkan dengan mereka yang tinggal di daerah
dengan paparan UV yang rendah. Faktor-faktor lain seperti jenis kulit, aktivitas
luar ruangan, dan kebiasaan penggunaan kacamata hitam juga dapat
mempengaruhi seberapa besar individu terpapar oleh sinar UV dan oleh karena
itu, risiko mereka terkena katarak.
Dalam konteks usia produktif, di mana individu sering terlibat dalam
aktivitas luar ruangan dan berinteraksi langsung dengan paparan sinar matahari,
pemahaman akan hubungan antara paparan sinar UV dan katarak menjadi sangat
penting. Langkah-langkah pencegahan yang tepat, seperti penggunaan kacamata
hitam yang memberikan perlindungan UV, penggunaan topi atau payung untuk
melindungi mata dari sinar langsung, dan mengurangi paparan sinar matahari
pada jam-jam terpanas, dapat membantu mengurangi risiko pengembangan
katarak pada kelompok usia produktif.

4. Dampak Paparan Asap Rokok


Paparan asap rokok memiliki dampak yang signifikan terhadap risiko
pengembangan katarak pada individu dalam kelompok usia produktif. Asap
rokok mengandung sejumlah zat kimia berbahaya, termasuk nikotin, tar, dan
berbagai senyawa toksik lainnya yang dapat merusak jaringan mata. Dalam
jangka panjang, paparan asap rokok dapat meningkatkan risiko katarak dengan
beberapa mekanisme yang terlibat.
Salah satu cara asap rokok berkontribusi terhadap katarak adalah melalui
kerusakan oksidatif. Senyawa-senyawa kimia dalam asap rokok dapat
menyebabkan stres oksidatif dalam mata dengan meningkatkan produksi radikal
bebas. Radikal bebas ini kemudian merusak struktur molekuler lensa mata,
termasuk protein-protein di dalamnya, yang pada akhirnya dapat menyebabkan
pembentukan katarak. Selain itu, paparan asap rokok juga dapat mengganggu
keseimbangan antioksidan dalam mata, mengurangi kemampuan tubuh untuk
melawan kerusakan oleh radikal bebas.
Selain kerusakan oksidatif, asap rokok juga dapat meningkatkan risiko
katarak melalui pengaruh terhadap aliran darah dan sirkulasi di dalam mata. Zat-
zat kimia dalam asap rokok dapat menyebabkan penyempitan pembuluh darah
dan menurunkan aliran darah ke mata. Akibatnya, pasokan nutrisi dan oksigen
ke lensa mata dapat terganggu, meningkatkan risiko kerusakan dan pembentukan
katarak.
Studi epidemiologi telah menunjukkan bahwa individu yang merokok atau
secara teratur terpapar asap rokok pasif memiliki risiko katarak yang lebih tinggi
dibandingkan dengan mereka yang tidak merokok atau terpapar asap rokok.
Dampak paparan asap rokok terhadap katarak ini tidak hanya berlaku untuk
individu pada usia lanjut, tetapi juga pada kelompok usia produktif. Oleh karena
itu, pengurangan paparan asap rokok, baik secara aktif maupun pasif, dapat
menjadi langkah penting dalam mencegah pengembangan katarak pada
kelompok usia produktif dan meningkatkan kesehatan mata secara keseluruhan.

5. Resiko Katarak
Penelitian menunjukkan adanya korelasi antara tingkat polusi udara dan
risiko pengembangan katarak pada individu dalam kelompok usia produktif.
Daerah dengan tingkat polusi udara tinggi cenderung memiliki risiko yang lebih
tinggi terkait dengan katarak dibandingkan daerah dengan tingkat polusi udara
rendah. Polusi udara terdiri dari berbagai zat kimia dan partikel yang dapat
berdampak negatif pada kesehatan mata. Paparan jangka panjang terhadap polusi
udara telah terkait dengan kerusakan mata, termasuk pengembangan katarak.
Partikel-partikel kecil dalam polusi udara, seperti debu, asap kendaraan
bermotor, dan polutan lainnya, dapat menembus mata dan menyebabkan stres
oksidatif pada lensa. Stres oksidatif ini dapat merusak struktur lensa dan memicu
pembentukan katarak. Selain itu, zat kimia berbahaya seperti sulfur dioksida dan
nitrogen dioksida yang terdapat dalam udara dapat bereaksi dengan komponen-
komponen mata, menghasilkan senyawa yang merusak dan meningkatkan risiko
katarak.
Studi epidemiologi telah menunjukkan bahwa individu yang tinggal di
daerah perkotaan atau industri dengan polusi udara tinggi memiliki
kecenderungan yang lebih tinggi untuk mengembangkan katarak dibandingkan
dengan mereka yang tinggal di daerah pedesaan atau dengan polusi udara
rendah. Faktor-faktor ini menunjukkan pentingnya mempertimbangkan
pengaruh lingkungan, seperti polusi udara, dalam evaluasi risiko katarak pada
populasi usia produktif. Upaya untuk mengurangi polusi udara dapat menjadi
strategi preventif yang efektif untuk mengurangi beban kesehatan mata,
termasuk katarak, pada kelompok usia produktif.

6. Korelasi Polimorfisme Genetik


Studi tentang korelasi antara polimorfisme genetik dalam gen yang
mengkode enzim antioksidan seperti superoksida dismutase (SOD) dan
glutathione peroxidase (GPX) dengan risiko katarak pada kelompok usia
produktif telah menarik perhatian para peneliti. Enzim-enzim ini memiliki peran
penting dalam pertahanan seluler terhadap stres oksidatif, sebuah proses di mana
reaksi berlebihan radikal bebas dapat menyebabkan kerusakan pada sel-sel
tubuh, termasuk sel-sel lensa mata.
Polimorfisme genetik, atau variasi dalam urutan DNA, dalam gen yang
mengkode SOD dan GPX telah diidentifikasi sebagai faktor yang mungkin
memengaruhi kemampuan tubuh untuk melindungi lensa mata dari kerusakan
akibat stres oksidatif. Beberapa penelitian telah menemukan hubungan antara
polimorfisme genetik tertentu dalam gen SOD dan GPX dengan peningkatan
risiko katarak pada kelompok usia produktif. Misalnya, varian tertentu dalam
gen SOD2, yang mengkode enzim SOD, telah dikaitkan dengan risiko yang lebih
tinggi untuk mengembangkan katarak.
Selain itu, penelitian juga menunjukkan bahwa faktor genetik dapat
berinteraksi dengan faktor lingkungan, seperti paparan sinar UV atau polutan,
dalam mempengaruhi risiko katarak. Individu dengan polimorfisme genetik
yang membuat mereka rentan terhadap stres oksidatif mungkin lebih rentan
terhadap efek negatif dari faktor lingkungan yang merusak. Sebaliknya, individu
dengan polimorfisme genetik yang meningkatkan aktivitas enzim antioksidan
mungkin memiliki perlindungan tambahan terhadap risiko katarak yang
disebabkan oleh faktor lingkungan.
Meskipun bukti-bukti ini menunjukkan adanya korelasi antara
polimorfisme genetik dalam gen yang mengkode enzim antioksidan dengan
risiko katarak pada kelompok usia produktif, studi lebih lanjut diperlukan untuk
memahami mekanisme yang lebih dalam dan implikasi klinisnya.
Pengidentifikasian polimorfisme genetik yang berkaitan dengan risiko katarak
dapat memiliki implikasi penting dalam pengembangan strategi pencegahan dan
pengobatan yang terarah secara personal untuk mengurangi beban katarak pada
populasi usia produktif.

7. Interaksi Faktor Lingkungan dan Faktor Genetik


Interaksi antara faktor lingkungan, seperti paparan sinar ultraviolet (UV),
asap rokok, atau polusi udara, dengan faktor genetik dapat memainkan peran
penting dalam mempengaruhi risiko pengembangan katarak pada individu dalam
kelompok usia produktif. Faktor lingkungan seperti paparan sinar UV telah lama
diidentifikasi sebagai penyebab utama katarak. Sinar UV dapat menyebabkan
stres oksidatif pada lensa mata, yang memicu kerusakan jaringan dan
pembentukan katarak. Namun, respon seseorang terhadap paparan sinar UV bisa
bervariasi berdasarkan faktor genetik. Beberapa studi telah menemukan bahwa
individu dengan polimorfisme genetik tertentu dalam gen yang mengode enzim
antioksidan, seperti superoksida dismutase (SOD) dan glutathione peroxidase
(GPX), mungkin memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengembangkan
katarak akibat paparan sinar UV.
Paparan asap rokok juga merupakan faktor lingkungan yang berkontribusi
pada pengembangan katarak. Asap rokok mengandung berbagai zat kimia
berbahaya yang dapat merusak lensa mata dan memicu proses degeneratif yang
mempercepat pembentukan katarak. Interaksi antara paparan asap rokok dan
faktor genetik juga telah diteliti. Studi menunjukkan bahwa individu dengan
polimorfisme genetik yang mempengaruhi kemampuan tubuh untuk
menghilangkan radikal bebas dan mengatasi stres oksidatif mungkin memiliki
risiko yang lebih tinggi untuk mengembangkan katarak sebagai respons terhadap
paparan asap rokok dibandingkan individu dengan genetika yang lebih kuat
dalam hal perlindungan antioksidan.
Polusi udara, termasuk partikel dan polutan kimia, juga dapat berinteraksi
dengan faktor genetik dalam mempengaruhi risiko katarak. Polusi udara dapat
meningkatkan stres oksidatif pada mata, yang memicu proses peradangan dan
kerusakan sel-sel lensa. Faktor genetik yang memengaruhi kemampuan tubuh
untuk menanggapi stres oksidatif dan peradangan dapat memodulasi respons
individu terhadap paparan polusi udara dan akhirnya mempengaruhi risiko
katarak.
Secara keseluruhan, interaksi antara faktor lingkungan dan genetik
memiliki dampak yang kompleks terhadap risiko katarak pada individu dalam
kelompok usia produktif. Memahami interaksi ini adalah penting untuk
mengembangkan strategi pencegahan dan pengelolaan yang tepat dalam upaya
mengurangi beban katarak pada populasi usia produktif.

KESIMPULAN
Dari judul "Pengaruh Faktor Lingkungan dan Genetik terhadap Kejadian
Katarak pada Kelompok Usia Produktif", dapat disimpulkan bahwa katarak
merupakan masalah kesehatan mata yang kompleks, dipengaruhi oleh sejumlah
faktor lingkungan dan genetik. Faktor lingkungan seperti paparan sinar ultraviolet
(UV), asap rokok, dan polusi udara telah terbukti berperan penting dalam
perkembangan katarak pada individu dalam kelompok usia produktif. Sinar UV dari
matahari, misalnya, dapat menyebabkan stres oksidatif pada lensa mata, sementara
asap rokok mengandung zat kimia berbahaya yang dapat merusak jaringan mata.
Polusi udara juga dapat meningkatkan risiko katarak melalui paparan partikel dan
polutan kimia yang merusak lensa mata.
Di sisi lain, faktor genetik juga memiliki kontribusi signifikan dalam
penentuan risiko katarak pada individu. Polimorfisme genetik dalam gen yang
mengode enzim antioksidan, seperti SOD dan GPX, dapat memengaruhi respons
individu terhadap stres oksidatif dan peradangan yang berperan dalam
perkembangan katarak. Interaksi kompleks antara faktor lingkungan dan genetik
juga dapat memodulasi risiko katarak pada individu dalam kelompok usia
produktif. Individu dengan polimorfisme genetik tertentu mungkin memiliki risiko
yang lebih tinggi untuk mengembangkan katarak sebagai respons terhadap paparan
faktor lingkungan tertentu seperti sinar UV, asap rokok, atau polusi udara.
Dalam konteks ini, pemahaman yang lebih baik tentang interaksi antara faktor
lingkungan dan genetik dapat membantu dalam pengembangan strategi pencegahan
yang lebih efektif dan personalisasi dalam mengurangi beban katarak pada populasi
usia produktif. Upaya untuk mengurangi paparan faktor lingkungan berbahaya
seperti sinar UV dan asap rokok, serta pengelolaan polusi udara, dapat menjadi
langkah-langkah penting untuk mengurangi risiko katarak pada individu dalam
kelompok usia produktif. Selain itu, penelitian lebih lanjut mengenai genetika
katarak dan interaksi dengan lingkungan dapat membantu dalam pengembangan
terapi yang lebih tepat sasaran dan pencegahan yang lebih efektif untuk kondisi ini.

DAFTAR PUSTAKA
Abdu, S., Saranga, J. L., Sulu, V., & Wahyuni, R. (2021). Dampak Penggunaan
Gadget Terhadap Penurunan Ketajaman Penglihatan. Jurnal Keperawatan
Florence Nightingale, 4(1), 24-30.
Bachtiar, A. (2022). Faktor Yang Berberhubungan Dengan Kejadian Katarak Pada
Rumah Sakit Universitas Hasanuddin (Doctoral Dissertation, Universitas
Hasanuddin).
Damayanti, A. E., & Christina, Y. (2023). Hubungan Umur Dan Jenis Kelamin
Dengan Angka Kejadian Katarak Senilis Di Rs Camatha Sahidya. Zona
Kedokteran: Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Batam, 13(2),
408-415.
Handayani, N., Trifena, P., & Vierlia, W. V. (2020). Hubungan Kadar Hba1c Dengan
Reactive Oxygen Species Dalam Serum Darah Dan Gradasi Katarak Pada
Pasien Katarak Dengan Diabetes Melitus. Majalah Kesehatan Fkub, 7(2), 73-
83.
Nuryati, E., & Epid, M. (2022). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Derajat
Kesehatan Masyarakat. Ilmu Kesehatan Masyarakat, 75.
Sudrajat, A., Munawir, A., & Supangat, S. (2021). Pengaruh Faktor Risiko
Terjadinya Katarak Terhadap Katarak Senil Pada Petani Di Wilayah Kerja
Puskesmas Tempurejo Kabupaten Jember. Multidisciplinary Journal, 4(2),
39-46.
Wijayanti, M. D. (2023). Belajar Genetika Dan Penyakit Tidak Menular. Cv Pajang
Putra Wijaya.
JURNAL FUSION
Vol 3 No 06, Juni 2023
E-ISSN: 2775-6440 | P-ISSN: 2808-7208
Jurnal Homepage https://fusion.rifainstitute.com

EFEKTIVITAS ROM PASIF TERHADAP TONUS OTOT PASIEN POST


OPERSI FRAKTUR EKTERMITAS: EVIDENCE BASED CASE REPORT
(EBCR)

Nur Saily Rohmah, Dyah Rivani


Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Email: nursaily064@gmail.com1, drivani@yahoo.co.id2

Abstract
Fractures or broken bones are incidents of trauma to the bones with various
causes. This condition results in damage to the bone and surrounding tissue,
complications can occur in the limb bones if there is a lack of mobilization.
Actions that can be taken to prevent more severe complications are by doing ROM
motion exercises to check the strength of muscle tone. to determine the
effectiveness of passive ROM on muscle tone in post extremity fracture patients.
This type of research is a case study research. The focus in this study was the
application of passive ROM training on muscle tone in extremity fracture patients.
Results: there is a change in muscle tone in patients with post-extremity fracture
after passive ROM. there are changes in muscle tone in patients with post-fracture
extremities after passive ROM. Passive ROM can provide benefits to increase
muscle strength in post-fracture patients in the extremities.
Keywords: passive range of motion, muscle tone, fracture

Abstrak
Kejadian fraktur atau patah tulang merupakan insiden trauma pada tulang dengan
berbagai macam penyebabnya. Kondisi ini mengakibatkan rusaknya tulang dan
jaringan di sekitarnya, pada tulang ekstermitas dapat terjadi komplikasi apabila
kurangnya mobilisasi. Tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah adanya
komplikasi lebih parah yaitu dengan melakukan Latihan gerak ROM untuk
mengecek kekuatan tonus otot. untuk mengetahui efektifitas ROM pasif pada
tonus otot pasien post fraktur ektermitas. jenis penelitian ini merupakan penelitian
studi kasus. Fokus dalam penelitian ini adalah penerapan pelatihan ROM pasif
pada tonus otot pasien fraktur ekstermitas. terdapat perubahan tonus otot pada
pasien post fraktur ekstermitas setelah dilakukan ROM pasif. ROM pasif dapat
memberikan manfaat untuk meningkatkan kekuatan otot pada pasien post fraktur
bagian ektermitas.
Kata kunci: ROM pasif, tonus otot, fraktur

Diserahkan: 10-05-2023; Diterima: 05-06-2023; Diterbitkan: 20-06-2023

Copyright holder: Nur Saily Rohmah, Dyah Rivani (2023)


DOI : https://doi.org/10.54543/fusion.v3i05.328
Published by : Rifa Institute
Nur Saily Rohmah, Dyah Rivani

PENDAHULUAN
Fraktur merupakan rusaknya kontiunitas tulang karena adanya tekanan yang kuat
sehingga tulang tidak mampu menahan, penyebabnya adalah trauma langsung ataupun
tidak langsung. Kondisi ini juga bia mengakibatkan perdarahan serta komplikasi lainnya
apabila tidak segera ditangani ataupun salah dalam pemberian penatalaksanaan (Andri et
al., 2020). Fraktur di Indonesia menjadi penyebab kematian terbesar ketiga di bawah
penyakit jantung koroner dan tuberculosis. Kasus fraktur yang disebabkan oleh cedera
antara lain karena terjatuh, kecelakaan lalulintas dan trauma benda tajam atau tumpul.
Kecenderungan prevalensi cedera menunjukkan kenaikan dari 7,5 % pada tahun 2017
menjadi 8,2% padatahun 2018 (Kemenkes RI., 2018).
Beberapa fraktur dapat terjadi karena adanya trauma/benturan ada pula yang
terjadi karena proses penyakit yang menyebabkan fraktur secara patologis. Pembagian
frakur dibedakan menjadi dua yaitu fraktur terbuka dan tertutup. Perbedaan antara kedua
fraktur ini adalah apabila terjadi fraktur terbuka terdapat kerusakan jaringan kulit
sedangkan fraktur tertutup dapat ditandai dengan kulit masih utuh dan tidak terlihatnya
komplikasi perdarahan luar (Andri et al., 2020). Dampak dari fraktur sendiri sangat
beraneka ragam mulai dari perubahan bagian tubuh yang mengalami cidera dapat
mengakibatkan cemas, perdarahan pada luka baik dalam maupun luar, syok, gangguan
integritas kulit sampai dengan resiko infeksi (Nopianti et al., 2019).
Penatalaksanaan yang diberikan tergantung dengan jenis fraktur yang dialami,
mulai dari pembedahan ORIF maupun OREF. Setelah dilakukannya Tindakan
pembedahan pasien akan mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari dan
dapat dilatih dengan perlahan menggunakan mobilisasi dini.
ROM / range of motion merupakan Latihan pergerakan pada sendi yang dapat
mengetahui kekuatan tonus otot pada pasien pasca operasi fraktur. ROM dapat
berpengaruh pada kekuatan otot sebagai Latihan terapi gerak sendi (Budi et al., 2023).
Menurut penelitian (Jamaludin et al., 2020) didapatkan adanya pengaruh peningkatan
pada kekuatan tonus otot pada pasien post operasi fraktur setelah dilakukan latihan ROM
secara rutin selama 3 hari.
Pasien Nn. D berusia 20 tahun, di rawat di bangsal Raudhah RSU PKU
Muhammadiyah Yogyakarta dengan diagnosa medis close fracture tibial plateau dextra.
Pasien dilakukan operasi ORIF pada tanggal 8 April 2023. Pasien mengatakan akan selalu
mengikuti instruksi pengobatan dari tenaga medis guna mempercepat kesembuhan fraktur
yang dialaminya. Keluarga pasien mengatakan selalu memberikan dukungan penuh dan
mendoakan pasien agar segera sembuh. Setelah dilakukan Latihan ROM pada pasien
didapatkan hasil perubahan tonus otot membaik dari skor 2 menjadi skor 4.

METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini merupakan penelitian studi kasus. Fokus dalam penelitian ini
adalah penerapan pelatihan ROM pasif pada tonus otot pasien fraktur ekstermitas bawah.
Penerapan intervensi dilakukan selama 3 hari pada tanggal 8-10 April 2023 setiap hari 1x
dengan durasi waktu 10-15 menit. Studi kasus ini dilakukan oleh mahasiswa praktikan

Jurnal Fusion, Vol. 3, No. 06, Juni 2023 632


Efektivitas Rom Pasif Terhadap Tonus Otot Pasien Post Opersi Fraktur Ektermitas:
Evidence Based Case Report (Ebcr)

profesi ners menggunakan acuan evidence based jurnal yang diseleksi sesuai dengan
kriteria inklusi, sehingga didapatkan jurnal akhir hasil skrining pada skema Gambar 1
berikut.

Gambar 1. Diagram alur pemilihan literature


Berikut telaah kritis dari artikel yang terpilih mencakup validity, importance, dan
applicability:
Artikel Desain Level of Validity Importance Applicability
Penelitan Evidence
Penulis: Penelitian ini III Metode yang Hasil penelitian Berdasarkan hasil
Dzunizar menggunakan digunakan adalah didapatkan tonus penelitian pada
Djamaludin, desain demonstrasi otot pada hari jurnal yang penulis
Dewi demonstrasi dengan pendekatan pertama dari gunakan didapatkan
Kusumaningsih, dengan studi kasus pada 3 ketiga pasien kesamaan yang
Heru Prasetyo pendekatan partisipan post dengan nilai rata- dapat diterapkan di
studi kasus. operasi fraktur rata 2 lebih rendah klinis yaitu dengan
Judul: ektermitas. dibanding dengan ROM pasif untuk
Efektifitas hari ketiga dengan menguji kekuatan
ROM Pasif Penerapan ini hasil tonus otot 4. tonus otot.
Terhadap Tonus dilakukan selama 3 Hal ini
Otot Pasien hari berturut-turut menunjukkan
Post-Operasi bahwa pasien

633 Jurnal Fusion, Vol. 3, No. 06, Juni 2023


Nur Saily Rohmah, Dyah Rivani

Fraktur diilakukan selama mengalami


Ekstremitas Di 10-15 menit. perbaikan
Kecamatan dituangkankan
Bekri Lampung hasil dalam tabel
Tengah Setelah dilakukan tonus otot.
ROM pasif tonus
otot pada hari
pertama Ny. S
menunjukkan skor
2, hari kedua
menunjukkan skor
3, dan hari ketiga 4.

Setelah dilakukan
ROM pasif tonus
otot pada Tn. U hari
pertama
menunjukkan skor
2, hari kedua 3 dan
hari ketiga 3.

Setelah dilakukan
ROM pasif tonus
otot pada Ny. M
pada hari pertama
menunjukkan hasil
skor 2, hari kedua 3
dan hari terakhir 4.

HASIL
Berdasarkan hasil analisa artikel yang digunakan sebagai sampel didapatkan hasil
yang mendukung pada pemberian pelatihan ROM pasif untuk meningkatkan kekuatan
tonus otot pasien post fraktur ekstermitas. Penelitian Jamaludin et al (2020) melakukan
penelitian pada 3 partisipan post fraktur dengan masalah kelemahan tonus otot. Kemudian
setiap partisipan dilakukan pelatihan kekuatan tonus otot dengan ROM pasif selama 3
hari berturut-turut. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan sebelum dilakukan
ROM pasif rata-rata skor 2 dan didapatkan peningkatan skor setelah dilakukan terapi
ROM pasif.
Setelah dilakukan latihan range of motion (ROM) dalam mencegah gangguan
mobilitas fisik masalah dapat teratasi yang ditunjukan dengan peningkatan mobilitas
fisik pada ekstremitas, peningkatan kekuatan otot yang signifikan, ruang gerak
sendi (ROM) meningkat, mampu menunjukkan penggunaan alat bantu pada pasien
post operasi fraktur. (Fitamania et al., 2022).

PEMBAHASAN

Jurnal Fusion, Vol. 3, No. 06, Juni 2023 634


Efektivitas Rom Pasif Terhadap Tonus Otot Pasien Post Opersi Fraktur Ektermitas:
Evidence Based Case Report (Ebcr)

Sering kali pasien post operasi fraktur melakukan mobilisasi dini untuk
menghindari kekakuan otot. Hal ini akan berdampak pada kesehatan tulang. Penelitian
Jamaludin et al (2020) Dalam kondisi pasien post operasi fraktur di esktermitas, yakni
pasien tak mampu secara maksimal dalam melakukan aktifitas. Terdapat terbatasnya
dalam melakukan pergerakan, tonus otot yang bisa dipertahankan melalui pemakaian otot
yang terus berlangsung yaitu salah satunya dengan gerak perpindahan sendi dengan
latihan rentang gerak sendi atau range of motion.
Peningkatan kekuatan pada tonus otot pasien post operasi fraktur ektermitas dapat
dilakukan dengan cara non farmakologi yaitu ROM/ range of motion. Tindakan ini bisa
dibagi menjadi 2 yaitu secara aktif dan pasif. Jamaludin et al (2020) menjelaskan cara
melakukan ROM pasif dengan cara dibagian lengan atau pundak dimulai dengan
mengarahkan tangan keatas dan mengarahkan kebawah lalu selanjutnya dilakukan
mengarah ke samping kanan dan kiri lalu kembali kea rah bawah lagi. Jika dibagian lutut,
dilakukan dengan cara mengarahkan kaki keatas ditekuk selanjutnya diarahkan kebawah
lagi. Lalu mengarahkan kaki ke samping kanan dan kiri lalu kembali kebawah kembali.
Latihan ROM yang dilakukan secara terus menerus dan terprogram bisa memberikan
hasil yang optimal. Hal ini disebabkan karena semakin sering sendi digerakkan akan
meningkatkan kekuatan otot dan akan meningkatkan progres respon saraf kearah yang
lebih baik (Agustina et a., 2021).
Berdasarkan penelitian oleh Aji et al (2023) penerapan teknik ROM untuk
meningkatkan kekuatan otot pada pasien post fraktur dapat diterapkan perawat rumah
sakit sebagai salah satu intervensi pada pasien post operasi fraktur.
Berdasarkan asuhan keperawatan yang telah diberikan oleh Nn. D maka penulis
akan membahas asuhan keperawatan yang telah diberikan berupa latihan ROM pasif
terhadap tonus otot yang dilakukan pada tanggal 8-10 April 2023 sebanyak 1 kali dalam
sehari di RSU Muhammadiyah Yogyakarta. Alat ukur dalam studi ini menggunakan skala
ukur tonus otot MMT (manual muscle testing) dari skala 0-5. Menurut penelitian Taufik
et al (2022) kekuatan tonus otot merupakan tolak ukur untuk melakukan aktivitas
manusia.
Pada tanggal 8-10 pertama pasien diajari Gerakan ROM pasif dengan fleksi ekstensi, Hal
ini dilakukan dengan hitungan 1-8 dan diulang sebanyak 2 kali. Dilakukan perlahan dan hati-hati
sehingga tidak mengganggu kenyamanan pada pasien. Dalam memberikan pelatihan pada pasien
penulis tetap memperhatikan ekspresi pada pasien dan memberikan peluang bertanya pada pasien
apabila ada pertanyaan maupun adanya rasa nyeri yang mengganggu kenyamanan.
Awal mula sebelum dilakukan Latihan ROM pasif didapatkan skor otot tonus 2, pada hari
pertama skor masih sama yaitu 2. Pada hari berikutnya, skor menjadi 3 dan di hari terakhir
tonus otot pada pasien menjadi skor 4.
Pada kasus yang ditemukan diatas menunjukkan bahwa secara teori dan
implementasi pada saat dilakukan Latihan ROM pasif terdapat perubahan skor tonus otot
pada pasien post operasi fraktur. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Latihan ROM pasif
mempengaruhi tonus otot pada pasien post operasi fraktur ekstermitas.

635 Jurnal Fusion, Vol. 3, No. 06, Juni 2023


Nur Saily Rohmah, Dyah Rivani

Case report ini memberikan pengetahuan dan pemahaman bahwa secara praktek
dan teori mengenai efektivitas ROM pasif terhadap kekuatan tonus otot pasien post
operasi fraktur ektermitas. Case report ini juga digunakan sebagai acuan kepada perawat
praktisi klinik bahwa ROM ini bisa digunakan sebagai teknik nonfarmakologi dalam
meningkatkan kekuatan tonus otot pada pasien post operasi fraktur ekstermitas.

KESIMPULAN
Penerapan ROM pasif berpengaruh terhadap kekuatan tonus otot pada pasien post operasi
fraktur ektermitas.

Jurnal Fusion, Vol. 3, No. 06, Juni 2023 636


Efektivitas Rom Pasif Terhadap Tonus Otot Pasien Post Opersi Fraktur Ektermitas:
Evidence Based Case Report (Ebcr)

BIBLIOGRAFI

Agustina, D., Wibowo, T. H., & Yudhono, D. T. (2021, November). Pengaruh Range of
Motion (ROM) terhadap Kekuatan Otot pada Pasien Post Operasi Open Reduction
Internal Fixation (ORIF) di RSUD Ajibarang. In Seminar Nasional Penelitian dan
Pengabdian Kepada Masyarakat (pp. 1298-1304).
Aji, K. B., Inayati, A., & Sari, S. A. (2023). Penerapan Teknik Rom (Range Of Motion)
Untuk Meningkatkan Kekuatan Otot Pada Pasien Post Op. Fraktur. Jurnal Cendikia
Muda, 3(1), 138-143.
Andri, J., Febriawati, H., Padila, P., Harsismanto, J., & Susmita, R. (2020). Nyeri pada
Pasien Post Op Fraktur Ekstremitas Bawah dengan Pelaksanaan Mobilisasi dan
Ambulasi Dini. Journal of Telenursing (JOTING), 2(1), 61-70.
Budi, A. W. S., Nurchayati, N., Puspitowarno, P., & Cahyawati, F. E. (2023). Application
of Squishy Intervention With Combination Active ROM To Increase Muscle
Strength Hands On Stroke Patient. Jurnal Ilmiah Kedokteran dan Kesehatan, 2(2),
170-177.
Fitamania, J., Astuti, D., & Puspasari, F. D. (2022). Literature Review Efektifitas Latihan
Range Ofmotion (Rom) Terhadap Gangguan Mobilitas Fisik Pada Pasien Post
Operasi Fraktur Ekstremitas Bawah. Journal of Nursing and Health, 7(2,
September), 159-168.
Jamaludin, D. J., Kusumaningsih, D. K., & Prasetyo, H. P. (2022). Efektifitas Rom Pasif
terhadap Tonus Otot Pasien Post-Operasi Fraktur Ekstremitas di Kecamatan Bekri
Lampung Tengah. Jurnal Kreativitas Pengabdian Kepada Masyarakat
(PKM), 5(10), 3627-3639.
Nopianti, W., Setyorini, D., & Pebrianti, S. (2019). Gambaran Implementasi Perawat
Dalam Melakukan Mobilisasi Dini Pada Pasien Post Operasi Orif Fraktur
Ekstremitas Bawah Di Ruang Orthopedi Rsud Dr. Slamet Garut. Malahayati
Nursing Journal, 1(2), 196-204.
Rino, M., & Al Fajri, J. (2021). Pendidikan kesehatan latihan range of motion aktif dan
pasif. Jurnal Abdimas Kesehatan (JAK), 3(3), 255-259.
Taufik, T., Said, D. E., & Zakiah, R. (2022). Pemberian rom aktif terhadap tingkat
kemampuan ADL dasar pada pasien post fraktur ekstremitas bawah dengan
tindakan orif di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda
Aceh. Journal Keperawatan, 1(1), 1-10.
Wantoro, G., Muniroh, M., & Kusuma, H. (2020). Analisis Faktor-Faktor yang
mempengaruhi Ambulasi Dini Post ORIF pada Pasien Fraktur Femur Study
Retrospektif. Jurnal Akademika Baiturrahim Jambi, 9(2), 283-292.

637 Jurnal Fusion, Vol. 3, No. 06, Juni 2023


Nur Saily Rohmah, Dyah Rivani

First publication right:


Jurnal Syntax Fusion: Jurnal Nasional Indonesia
This article is licensed under:

Jurnal Fusion, Vol. 3, No. 06, Juni 2023 638


Kesimpulan kelompok :

Fraktur merupakan rusaknya kontiunitas tulang karena adanya tekanan yang kuat
sehingga tulang tidak mampu menahan, penyebabnya adalah trauma langsung ataupun tidak
langsung. Kondisi ini juga bia mengakibatkan perdarahan serta komplikasi lainnya apabila
tidak segera ditangani ataupun salah dalam pemberian penatalaksanaan (Andri et al., 2020).
Kondisi ini mengakibatkan rusaknya tulang dan jaringan di sekitarnya, pada tulang
ekstermitas dapat terjadi komplikasi apabila kurangnya mobilisasi. Tindakan yang dapat
dilakukan untuk mencegah adanya komplikasi lebih parah yaitu dengan melakukan Latihan
gerak ROM untuk mengecek kekuatan tonus otot. untuk mengetahui efektifitas ROM pasif
pada tonus otot pasien post fraktur ektermitas. jenis penelitian ini merupakan penelitian studi
kasus. Fokus dalam penelitian ini adalah penerapan pelatihan ROM pasif pada tonus otot
pasien fraktur ekstermitas. terdapat perubahan tonus otot pada pasien post fraktur ekstermitas
setelah dilakukan ROM pasif. ROM pasif dapat memberikan manfaat untuk meningkatkan
kekuatan otot pada pasien post fraktur bagian ektermitas.
Fraktur di Indonesia menjadi penyebab kematian terbesar ketiga di bawah penyakit
jantung koroner dan tuberculosis.
46
E-ISSN : 2715-616X

Evidence Based Nursing : Pengaruh Foot Massage Terhadap Kelelahan


Pasien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis

Bangkit Bayu Pamunkas1, Wachidah Yuniartika2


1,2
Program Studi Profesi Ners/Fakultas Ilmu Kesehatan,Universitas Muhammadiyah Surakarta
*Email: bangkitbayupamungkas07@gmail.com, wachidah.yuniar@gmail.com

Abstrak
Keywords : Latar Belakang: Gagal ginjal kronis membutuhkan pengobatan yang bisa
Gagal ginjal; mengambil alih fungsi ginjalnya, salah satunya yaitu hemodialisa.
Fatigue; Hemodialisa merupakan terapi pengganti ginjal yang bertujuan untuk
Hemodialisis; mengatasi penurunan fungsi ginjal dengan menggunakan membran dialisis
Foot Massage. dengan teknologi dialisis atau filtrasi, sehingga mengatur cairan yang
disebabkan oleh penurunan laju filtrasi glomerulus. Pasien gagal ginjal yang
menjalani hemodialisa akan mengalami kelelahan karena harus rutin
menjalani terapi hemodialisa. Kelelahan dapat diatasi dengan terapi non
farmakologi seperti melakukan foot massage atau pijat kaki.
Tujuan: Penelitian ini adalah untuk mengetahui Pengaruh Foot Massage
Terhadap Kelelahan Pasien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani
Hemodialisis.
Metode: Metode yang digunakan pada penelitian ini yaitu pre-post design
Hasil: Berdasarkan hasil penelitian terdapat perubahan skor VASFF yang
signifikan pada kedua pasien. Sebelum dilakukan foot massage skor VASFF
pada sampel termasuk dalam kategori kelelahan berat. Namun setelah
dilakukan foot massage 2 kali dalam 1 minggu selama 20 menit skor VASFF
pada sampel termasuk kategori kelelahan ringan.
Kesimpulan: Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diulas, maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa Tindakan foot massage atau pijat kaki yang
dilakukan selama dua pertemuan sangat berpengaruh untuk menurunkan
rasa kelelahan pada pasien yang menjalani hemodialisa di PMI Kota
Surakarta.

1. PENDAHULUAN non-sekolah (0,4%), wiraswasta, petani /


Berdasarkan hasil Riskesdas nelayan / pekerja (0,3%). Indeks
(Riset Kesehatan Dasar) prevalensi kepemilikan menengah terendah serta
penyakit ginjal kronis sebanyak 3,8% terendah adalah 0,3%. Sedangkan
dengan prevalensi terendah sebesar 1,8% provinsi dengan angka kejadian tertinggi
dan tertinggi 6,4%. Hasil dari Riskesdas adalah Sulawesi Tengah (Sulteng)
tahun 2013 juga membuktikan bahwa sebesar 0,5%, disusul Aceh, Gorontalo
jumlah meningkat sesuai dengan dan Sulawesi Utara sebesar 0,4%
bertambahnya umur. Prevalensi pada (Riskesdas, 2018). Gagal ginjal kronis
laki-laki (0,3%) lebih tinggi daripada membutuhkan pengobatan yang bisa
perempuan (0,2%), dan jumlah lebih mengambil alih fungsi ginjalnya, salah
tinggi di masyarakat pedesaan (0,3%), satunya yaitu hemodialisa. Hemodialisa

Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Universitas Muhammadiyah Surakarta (SEMNASKEP) 2022 no 1


47
E-ISSN : 2715-616X

merupakan terapi pengganti ginjal yang 2. METODE


bertujuan untuk mengatasi penurunan Penelitian ini dilakukan di PMI
fungsi ginjal dengan menggunakan Surakarta dengan subyek 2 pasien. Pada
membran dialisis dengan teknologi penerapan EBN ini peneliti mencari
dialisis atau filtrasi, sehingga mengatur artikel sebagai dasar dalam penerapan
cairan yang disebabkan oleh penurunan EBN. Database yang digunakan untuk
laju filtrasi glomerulus (Muzaenah & mencari artikel yaitu Pubmed dan Google
Makiyah, 2018). Pasien gagal ginjal yang Schoolar. Pencarian literatur ini
menjalani hemodialisa akan mengalami menggunakan kata kunci “foot massage”
kelelahan karena harus rutin menjalani or “foot reflexiology”, “fatigue” dan
terapi hemodialisa (Muzaenah & “hemodialysis”. Kriteria inklusi dalam
Makiyah, 2018). Kelelahan atau fatigue penelitian ini antara lain 1) Artikel
merupakan salah satu akibat penyakit berbahasa inggris dan indonesia 2) Tahun
kronis yang menurunkan produktivitas terbit artikel 5 tahun terakhir (2017-
dan pada akhirnya akan menurunkan 2022) 3) Artikel sesuai dengan topik
kualitas hidup (Nugraha & Ramdhanie, penelitian 4) Tersedia dalam full text.
2018). Kelelahan dapat diatasi dengan Kriteria ekslusi dalam penelitian ini
terapi non farmakologi seperti melakukan antara lain 1) Artikel berupa systematic
foot massage atau pijat kaki (Çeçen & review 2) Artikel tidak fokus membahas
Lafcı, 2021). Pada pasien gagal ginjal foot massage. Setelah dilakukan
yang menjalani hemodialisa terapi pijat pemilahan diperoleh tiga artikel yang
kaki ini sangat efektif untuk mengatasi memenuhi kriteria inklusi. Metode yang
kelelahan karena ketika dilakukan pijat digunakan pada penelitian ini yaitu pre-
kaki, pasien akan merasa nyaman dan post design. Jumlah partisipan dalam
rileks (Sharifi et al., 2018). Setelah penerapan EBN ini berjumlah 2 pasien
dilakukan screening dengan kuesioner dengan kriteria inklusi 1) pasien
Visual Analog Scale for Fatigue mengalami kelelahan 2) pasien
(VASFF), terdapat 8 pasien yang menyetujui informed consent dan kriteria
menunjukkan kelelahan sedang sampai eksklusi 1) pasien yang mengalami
berat atau skor diatas 5 dari total 43 kelumpuhan 2) terdapat luka di kaki.
pasien. Berdasarkan latar belakang Prosedur Evidence Based Nursing (EBN)
tersebut penting untuk menerapkan EBN dimulai dengan menyiapkan pasien
berupa Foot Massage untuk mengurangi terlebih dahulu, dilanjutkan dengan
kelelahan pada pasien gagal ginjal yang menyiapkan peralatan seperti handuk dan
menjalani hemodialisis. minyak kelapa. Kemudian dilanjutkan
dengan tahap kerja dengan cara massage

Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Universitas Muhammadiyah Surakarta (SEMNASKEP) 2022 no 1


48
E-ISSN : 2715-616X

kaki bagian depan meliputi lutut, sebelum dilakukan intervensi adalah


pergelangan kaki, dan ibu jari kaki. skor 6 (Kelelahan Berat). Ny. N juga
Kemudian dilanjutkan memijat kaki mengatakan tubuhnya terutama
bagian telapak kaki, dan dilanjutkan bagian kakinya lebih enak saat
dengan evaluasi. Waktu yang digunakan digerakan dan kakinya tidak terasa
untuk foot massage kepada setiap pasien sakit daripada sebelum dilakukan
ini adalah 20 menit . foot massage.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.2. Pembahasan
Hasil dan pembahasan akan dibahas
pada bab dibawah ini. Pada pasien gagal ginjal yang
menjalani hemodialisa terapi pijat
3.1. Hasil
kaki ini sangat efektif untuk
Berdasarkan hasil penelitian mengatasi kelelahan karena ketika
terdapat perubahan skor VASFF dilakukan pijat kaki, pasien akan
yang signifikan pada kedua pasien. merasa nyaman dan rileks (Sharifi et
Sebelum dilakukan foot massage al., 2018). Tekanan jari-jari tangan,
skor VASFF pada Ny. E adalah 8 terutama ibu jari pada area kaki
yang termasuk dalam kategori berhubungan dengan semua bagian
kelelahan berat. Namun setelah tubuh, dan tekanan tersebut dapat
dilakukan foot massage 2 kali dalam mempengaruhi respon fisiologis
1 minggu selama 20 menit skor tubuh (Fajrianti, 2019). Selain itu
VASFF pada Ny. E berkurang endorfin akan menekan sekresi
menjadi 3 yaitu kategori kelelahan kortisol, sehingga selain rileks
ringan. Ny. E mengatakan tubuhnya secara fisik pasien juga akan
lebih segar terutama bagian kaki dan merasakan rileks secara psikologis.
tidak terasa berat daripada sebelum Peningkatkan endorfin dapat
dilakukan foot massage. Ny. E juga melebarkan pembuluh darah
mengatakan setelah dilakukan foot (Machado et al., 2021). Kondisi ini
massage atau pijat kaki, dirinya akan memperbaiki sirkulasi darah
merasa stresnya berkurang daripada dan getah bening yang dapat
saat sebelum dilakukan foot meningkatkan suplai oksigen dan
massage. energi dalam tubuh serta dapat
Setelah dilakukan tindakan mempercepat proses pembuangan
foot massage atau pijat kaki selama sisa metabolisme dalam tubuh
dua kali pertemuan, skor kelelahan sehingga gejala kelelahan yang
Ny. N berkurang menjadi 2 dirasakan pasien akan menurun
(Kelelahan Ringan) dari yang (Nugraha & Ramdhanie, 2018).
Hal tersebut dibuktikan dengan hasil
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Universitas Muhammadiyah Surakarta (SEMNASKEP) 2022 no 1
49
E-ISSN : 2715-616X

penelitian yang menunjukkanbahwa kelelahan dan terjadi peningkatan

terdapat penurunan skala VASFF aktivitas fisik.


pada kedua pasien setelah dilakukan 4. KESIMPULAN
foot massage secara 2 kalidalam 1
Berdasarkan hasil dan
minggu selama 20 menit. Tindakan
pembahasan yang telah diulas, maka
foot massage atau pijat kaki yang
dapat ditarik kesimpulan bahwa
telah dilakukan kepada Ny. E dan
Tindakan foot massage atau pijat kaki
Ny. N terbukti secaraefektif dapat
yang dilakukan selama dua pertemuan
menurunkan kelelahan pasien saat
sangat berpengaruh untuk menurunkan
menjalani terapi hemodialisa di PMI
rasa kelelahan pada pasien yang
Kota Surakarta. Selain itu, pasien
menjalani hemodialisa di PMI Kota
juga merasakan perasaan stresnya
Surakarta.
hilang setelah dilakukan tindakan
REFERENSI
foot massage atau pijat kaki. Hal ini
Çeçen, S., & Lafcı, D. (2021). The effect of
sejalan dengan penelitian yang
hand and foot massage on fatigue in
dilakukan oleh (Çeçen & Lafcı,
hemodialysis patients: A randomized
2021) yang mengatakan bahwa pijat
controlled trial. Complementary
kaki pada pasien hemodialisa
Therapies in Clinical Practice,
memiliki pengaruh terhadap
43(March).
kelelahan, stres dan depresi. Pada
https://doi.org/10.1016/j.ctcp.2021.10
penelitian ini menyatakan bahwa
1344
skor kelelahan rata-rata menurun
Fajrianti, R. A. (2019). Studi Kasus
secara signifikan setelah pasien
Menurunkan Fatigue Dengan Pursed
yang menjalani hemodialisa
Lips Breathing Exercise Pada Pasien
dilakukan pijat kaki atau foot
Hemodialisa. 5(mild), 1–7.
massage. Penelitian yang dilakukan
Machado, M. O., Kang, N. Y. C., Tai, F.,
oleh (Shady & Ali, 2019) juga
Sambhi, R. D. S., Berk, M., Carvalho,
mengatakan bahwa pasien yang
A. F., Chada, L. P., Merola, J. F.,
menjalani hemodialisis yang
Piguet, V., & Alavi, A. (2021).
mengalami kelelahan setelah
Measuring fatigue: a meta-review.
menjalani foot massage atau pijat
International Journal of Dermatology,
kaki selama 40 menit setelah sesi
60(9), 1053–1069.
hemodialisis pada semua titik
https://doi.org/10.1111/ijd.15341
refleks pada kedua kaki, 3 kali
seminggu dan selama 3 minggu Muzaenah, T., & Makiyah, S. N. N. (2018).

berturut-turut dengan total 9 sesi Pentingnya Aspek Spiritual Pada Pasien

pijat mengalami penurunan yang Gagal Ginjal Kronik DenganHemodialisa:


signifikan pada tingkat intensitas a Literature Review. Herb-Medicine

Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Universitas Muhammadiyah Surakarta (SEMNASKEP) 2022 no 1


50
E-ISSN : 2715-616X

Undergoing Hemodialysis.
Journal, 1(2).
International Journal of Nursing, 6
https://doi.org/10.30595/hmj.v1i2.30
(1),151–170.
04
https://doi.org/10.15640/ijn.v6n1a17
Nugraha, B. A., & Ramdhanie, G. G. (2018).
Sharifi, S., Navidian, A., Jahantigh, M., &
Kelelahan pada Pasien dengan
Shamsoddini Lori, A. (2018).
Penyakit Kronis. Prosiding Seminar
Investigating the Impact of Foot
Bakti Tunas Husada, 1(April), 7–13.
Reflexology on Severity of Fatigue in
Riskesdas, K. (2018). Hasil Utama Riset
Patients Undergoing Hemodialysis: A
Kesehatan Dasar. Kementrian
Clinical Trial Study. Medical -
Kesehatan Republik Indonesia.
Surgical Nursing Journal, In Press(In
Shady, R. H. A., & Ali, H. M. A.
Press),1–5.
(2019).Effect of Reflexology Foot
https://doi.org/10.5812/msnj.81634
Message onFatigue level for Patients

Kesimpulan : prevalensi kejadian GGK pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan.
Tindakan foot massage pada penderita GGK efektif dalam penurunan tingkat kelelahan.

Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Universitas Muhammadiyah Surakarta (SEMNASKEP) 2022 no 1

Anda mungkin juga menyukai