Anda di halaman 1dari 13

RESPONSI

PITIRIASIS VERSICOLOR

Oleh:
Sofia Latifah
G992102113

Pembimbing:
Dr. dr. Nugrohoaji D, M.Kes. Sp.KK(K)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS
SURAKARTA
2022
LEMBAR PENGESAHAN RESPONSI

Kasus responsi yang berjudul:


PITIRIASIS VERSICOLOR

Sofia Latifah
G992102113

Periode 19 September – 17 Oktober 2022

Telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing


dari Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
RS UNS - Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Surakarta, September 2022

Residen Pembimbing Chief Residen

dr. Elok Nurfaiqoh dr. Adelia Wuri Pramudita

Dokter Penanggung Jawab Harian, Staff Pembimbing,

dr. Imroatul Ulya, Sp.DV Dr. dr. Nugrohoaji D, M.Kes. Sp.KK(K)

2
PITIRIASIS VERSICOLOR : SATU LAPORAN KASUS
Sofia Latifah, Nugrohoaji Dharmawan
Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret/RS UNS Surakarta

PENDAHULUAN
Pitiriasis versikolor (PV) atau disebut juga dengan tinea versikolor merupakan
penyakit infeksi jamur yang tidak berbahaya pada permukaan kulit. 1,2 Penyakit ini
disebabkan oleh infeksi jamur spesies Malassezia (M. spp). Genus jamur ini adalah
jenis jamur lipofilik yang secara normal berkoloni dalam bentuk ragi saprofit pada
permukaan kulit manusia. Namun, apabila permukaan kulit tersebut lembab dan tidak
terjaga kebersihannya, ragi jamur Malassezia akan berubah menjadi bentuk hifa
(miselia) dan dapat menyebabkan kelainan kulit PV. Faktor predisposisi dari PV
adalah kulit lembab dan berminyak, malnutrisi, paparan sinar matahari, dan
peningkatan kadar kortisol plasma.1,3,4
Pitiriasis versikolor (PV) lebih sering terjadi pada negara-negara dengan iklim
tropis dan sub-tropis. Insidensi PV pada negara dengan iklim sub-tropis lebih tinggi
pada musim panas dan musim gugur.1,5 Hal ini dapat terjadi karena cuaca yang panas
dan lembab pada iklim tersebut.6 Laki-laki dan perempuan memiliki peluang yang
sama untuk terkena PV. Berdasarkan usia, PV relatif lebih banyak terjadi pada usia
remaja dan dewasa dibanding anak-anak. Hal ini dapat disebabkan oleh produksi
sebum oleh glandula sebasea yang lebih tinggi setelah masa pubertas. 5,7 Epidemiologi
PV di Indonesia masih belum diketahui secara pasti akibat banyaknya penderita yang
tidak berobat ke pelayanan kesehatan.8 Penelitian prevalensi PV di RSUP Sanglah
Denpasar pada Januari – Desember 2017 menunjukkan kasus PV terbanyak menyerang
pada usia 11-20 tahun (38.8%) dan jenis kelamin laki-laki lebih banyak daripada
perempuan (61.1:38.9). Pada penelitian ini dijelaskan bahwa alasan yang mendasari
laki-laki lebih banyak terkena PV adalah karena laki-laki cenderung memiliki aktivitas
di luar rumah yang lebih sering sehingga kemungkinan untuk terpapar suhu panas dan
berkeringat juga lebih tinggi.9
Manifestasi klinis dari kelainan kulit PV ditandai dengan makula berbatas
tegas, bisa berupa hipopigmentasi, hiperpigmentasi, atau eritematosa. Warna lesi yang
dapat beragam ini yang mendasari penamaan “versikolor”. Biasanya lesi juga disertai
skuama halus (pitiriasiformis) dan dapat disertai rasa gatal ketika berkeringat

3
meskipun pada umumnya kasus PV tidak disertai gejala subjektif. 4,6–8 Lesi PV
utamanya dapat menyerang wajah, leher, punggung, ekstremitas bagian proksimal dan
lipatan tubuh.4,8,9
Diagnosis banding dari PV antara lain pitiriasis alba dan vitiligo. 4 Diagnosis
PV dapat ditegakkan melalui pemeriksaan penunjang KOH 10-20% dan dapat
dilengkapi oleh pemeriksaan wood’s lamp.9 Pemeriksaan KOH 10-20% kasus positif
PV akan menunjukkan hifa pendek dengan jumlah yang banyak beserta spora
berkelompok (spaghetti and meatballs appearance).7,10 Pada pemeriksaan wood’s
lamp, lesi yang disinari oleh Wood’s Light (WL) akan menimbulkan fluoresensi
kuning keemasan.1,10
Tatalaksana medikamentosa pada PV adalah dengan memberikan antijamur
topikal sebagai lini pertama. Antijamur topikal yang dapat digunakan antara lain
sampo ketokonazol 2%, sampo selenium sulfida 2,5%, dan sampo zinc pyrthione 1%.
Khusus pada wajah dan area genital, antijamur yang digunakan dapat berupa krim
mikonazol. Apabila lesi PV luas atau tidak bereaksi oleh antijamur topikal, maka dapat
diberikan antijamur sistemik.1,10,11
Tatalaksana non-medikamentosa pada PV bertujuan untuk menghindari faktor
predisposisi, antara lain menjaga kulit tetap kering, menggunakan pakaian yang
menyerap keringat, dan menghindari penggunakan handuk atau pakaian bersama
dengan orang lain.10 Berdasarkan uraian diatas, tulisan ini disusun untuk melaporkan
satu kasus pitiriasis versikolor agar klinisi dapat mendiagnosis dan melakukan
tatalaksana secara tepat.
KASUS
Seorang pria, Tn. L, 22 tahun datang ke Poli Kulit dan Kelamin Rumah Sakit
Pandan Arang Boyolali pada tanggal 23 September 2022 dengan keluhan muncul
bercak-bercak putih disertai gatal pada punggung dan tangan. Keluhan dirasakan
sejak sekitar 1 tahun yang lalu. Keluhan bercak putih pertama kali muncul di lengan
kiri kemudian lama-lama menyebar. Keluhan gatal dirasakan hilang timbul dan
mengganggu aktivitas. Keluhan gatal dirasakan memburuk terutama setelah pasien
berolahraga dan berkeringat di cuaca panas. Keluhan gatal paling dirasakan di
punggung pasien. Pasien sudah memberikan obat dengan mengoleskan krim

4
Kalpanax® 5g (miconazole nitrate 2%) pada area yang gatal dua kali sehari, pagi dan
malam hari, selama 1 bulan. Keluhan gatal berkurang, tetapi tidak hilang sepenuhnya.
Pasien belum pernah mengalami keluhan serupa. Pasien tidak memiliki
riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, maupun alergi obat/makanan. Keluarga
pasien juga tidak pernah mengalami keluhan serupa. Pasien rutin berolahraga setiap
3x/minggu. Pasien mengaku mandi sehari satu sampai dua kali, namun tidak segera
berganti pakaian setelah selesai bekerja. Pasien bekerja sebagai karyawan pabrik dan
sering berkeringat ketika sedang bekerja di dalam ruangan.
Hasil pemeriksaan fisik pada pasien didapatkan keadaan umum tampak sakit
ringan, kesadaran kompos mentis, GCS E4V5M6, berat badan 44 kg, tinggi badan
158 cm, indeks massa tubuh 17.6 kg/m2, dengan kesan gizi kurang. Pemeriksaan
tanda vital menunjukkan tekanan darah 100/70 mmHg, nadi 88 x/menit, respirasi 20
x/menit, suhu 36.0°C, dan VAS skor 1. Pemeriksaan status dermatologis didapatkan
pada regio trunkus posterior dan ekstremitas superior bilateral tampak makula
hipopigmentasi multipel diskrit sebagian berkonfluens dengan batas tegas disertai
skuama halus, finger nail sign (+) (Gambar 1).

A B

Gambar 1. (A-B) Pada regio trunkus posterior dan ekstremitas superior bilateral
tampak makula hipopigmentasi multipel diskrit sebagian berkonfluens dengan
batas tegas disertai skuama halus.

5
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien didiagnosis banding
dengan pitiriasis versikolor, pitiriasis alba, dan vitiligo. Pemeriksaan penunjang yang
dilakukan pada pasien adalah pemeriksaan KOH 10% dengan pewarnaan parker dari
sampel kerokan kulit paha bagian depan untuk kemudian diperiksa di bawah mikroskop.
Pada perbesaran 40x tidak ditemukan adanya hifa pendek dengan spora bulat yang
membentuk gambaran khas spaghetti and meatball (-) (Gambar 2). Pemeriksaan wood
lamp pada pasien ini tidak dilakukan karena keterbatasan peralatan di RSUD Pandan
Arang Boyolali.

Gambar 2. Tidak tampak kumpulan hifa pendek dan spora.


Gambaran spaghetti and meatball (-)

Pasien diberikan edukasi mengenai etiologi, faktor predisposisi, perjalanan


penyakit, tata laksana, dan prognosis dari pitiriasis versikolor, serta pentingnya
kepatuhan dalam terapi. Pasien juga diedukasi mengenai pemulihan kulit seperti
semula (repigmentasi) membutuhkan waktu yang lama. Pasien juga diedukasi untuk
mengurangi risiko transmisi diantaranya dengan menghindari pemakaian handuk atau
pakaian bersamaan. Pasien juga diedukasi untuk mengidentifikasi dan menghindari
faktor predisposisi pitiriasis versikolor seperti dengan mandi teratur, segera mengganti
pakaian jika berkeringat setelah bekerja, tidak menggunakan pakaian atau handuk
lembab, serta menjaga konsumsi makanan bergizi dan gaya hidup sehat untuk
meningkatkan imunitas. Terapi yang diberikan pada pasien yaitu sampo ketokonazol
2% dioleskan pada daerah yang terinfeksi/seluruh badan, 5 menit sebelum mandi,
sekali/hari selama 3 hari berturut-turut serta tablet ketokonazol 200 mg yang diminum
satu kali sehari satu tablet selama 10 hari setelah makan.

6
DISKUSI
Pitiriasis Versikolor (PV) merupakan kelainan kulit akibat infeksi kronis pada
stratum korneum yang disebabkan oleh spesies jamur Malassezia (M. spp). Genus
Malassezia memiliki 15 spesies yang bersifat lipofilik, namun spesies yang dominan
menjadi etiologi pada PV adalah M. globosa, M. sympodialis, dan M. furfur.5,6 Spesies
jamur ini merupakan flora normal lipofilik pada permukaan kulit yang biasanya hidup
dalam bentuk ragi di area dengan kelenjar keringat yang banyak. Apabila tubuh suatu
individu mengalami kondisi predisposisi dari penyakit ini seperti kulit yang berkeringat
dan lembab, hiperhidrosis, cushing syndrome, cuaca panas, penggunaan kortikosteroid
sistemik dan imunosupresi, maka Malassezia dapat berkembang biak serta berubah dari
bentuk ragi menjadi miselia yang bersifat parasit. Bentuk parasit inilah yang akhirnya
dapat menimbulkan kelainan kulit PV.1,3,5,7,9
Meningkatnya pertumbuhan Malassezia seiring dengan meningkatnya aktivitas
kelenjar keringat atau sebasea disebabkan karena pada kelenjar sebasea terdapat nutrisi
yang dibutuhkan oleh Malassezia untuk melakukan metabolisme, yaitu sebum. Sebum
merupakan zat kaya lipid yang berfungsi untuk melembabkan kulit. Sifat Malassezia
yang lipofilik menjadikan keberadaan sebum sebagai lingkungan yang optimal bagi
jamur untuk berkembang biak di kulit. Hal ini pula yang mendasari mengapa prevalensi
PV lebih banyak terjadi pada usia pubertas hingga dewasa. Pada usia pubertas hingga
dewasa, jumlah kelenjar sebasea sudah mencapai titik maksimal sehingga produksi
sebum pada rentang usia tersebut juga sudah maksimal.12 Kasus pada pasien ini dari
hasil anamnesis terdapat beberapa faktor predisposisi yang dapat memfasilitasi
pertumbuhan jamur Malassezia seperti cuaca yang panas, kulit pasien yang berkeringat
akibat rutinitas bekerja di ruangan yang panas, serta kulit yang lembab akibat kebiasaan
pasien yang tidak segera ganti baju dan mandi setelah bekerja. Usia pasien juga
merupakan usia pubertas hingga dewasa, yaitu 22 tahun.
Manifestasi klinis dari kelainan kulit PV ditandai dengan makula berbatas
tegas, bisa berupa hipopigmentasi, hiperpigmentasi, atau eritematosa, yang tersebar
diskrit atau berkonfluens, terdiri dari berbagai ukuran, serta disertai skuama halus
(pitiriasiformis). Manifestasi klinis PV umumnya hanya berupa keluhan kosmetik dan
tidak disertai gejala subjektif. Tetapi dalam beberapa kasus dapat disertai rasa gatal

7
ketika berkeringat.4,6–8 Lesi PV utamanya dapat menyerang wajah, kulit kepala, leher,
perut, punggung, ekstremitas bagian proksimal, genitalia, dan lipatan tubuh. 4,8,9 Kasus
pada pasien ini pada regio trunkus posterior dan ekstremitas superior bilateral pasien
tampak makula hipopigmentasi multipel diskrit sebagian berkonfluens dengan skuama
halus. Lokasi lesi pada pasien ini sesuai dengan predileksi dari PV. Kemudian ketika
diperiksa terdapat finger nail sign (+) yang merupakan tanda khas dari PVC.
Lesi hipopigmentasi pada PV diduga terjadi akibat zat yang dihasilkan oleh
Malassezia seperti asam dikarboksil, produk lipoperoksidase, asam azeleat, dan derivat
dari triptofan berupa pitiriasitrin dan pitirialakton. Zat-zat ini menghambat aktivitas dari
enzim tirosinase sehingga proses melanogenesis menjadi terganggu. Selain itu, zat-zat
ini juga bersifat sitotoksik pada melanosit. Pemeriksaan ultraviolet lesi hipopigmentasi
PV dapat ditemukan kerusakan pada mitokondria, vakuola sitoplasmik, dan sitoskeleton
serta terdapat penurunan jumlah dan ukuran melanosom pada stratum spinosum kulit.5,13
Skuama halus pada lesi PV dapat disebabkan oleh respon inflamasi yang
disebabkan infeksi Malassezia melalui enzim lipase dan fosfolipase yang menangkap
asam lemak bebas seperti asam oleat dan asam arakidonat. Asam oleat memiliki sifat
iritan dan menyebabkan deskuamasi pada keratinosit sedangkan asam arakidonat
menghasilkan eikosanoid pro-inflamasi yang dapat merusak stratum korneum. Stratum
korneum yang mengalami kerusakan dapat tertarik oleh pertumbuhan jamur sehingga
membentuk skuama halus.13
Kasus pada pasien ini diagnosis banding yang mungkin terjadi pada pasien
adalah pitiriasis alba dan vitiligo. Pitiriasis alba merupakan kelainan kulit jinak yang
cenderung terjadi pada anak-anak dan remaja. Nama pitiriasis alba sesuai dengan
penampakannya, yaitu lesi skuama halus (pitiriasiformis) dan hipopigmentasi (alba).
Pitiriasis alba lebih banyak muncul pada area wajah (terutama pipi), lengan, tubuh
bagian atas, serta lebih tampak pada orang berkulit gelap. Etiologi dari kelainan kulit ini
masih belum diketahui secara pasti. Namun, diduga penyebabnya adalah riwayat atopi
dan seringkali merupakan manifestasi kecil dari dermatitis atopi. 14 Vitiligo merupakan
kelainan kulit dimana tidak berfungsinya sel-sel penghasil pigmen di epidermis. Hal ini
yang mendasari ujud kelainan kulit pada penyakit ini seperti makula depigmentasi,
berbatas tegas, lesi berbentuk bulat, berukuran beberapa milimeter hingga sentimeter,

8
dan membesar secara sentrifugal. Etiologi dari vitiligo masih belum diketahui secara
pasti, namun diduga penyakit ini berkaitan dengan gangguan autoimun.15
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis
banding dan menegakkan diagnosis PV adalah pemeriksaan wood’s lamp dan
pemeriksaan kerokan kulit dengan KOH 10-20%.9 Pada pemeriksaan wood’s lamp, lesi
PV yang disinari oleh Wood’s Light (WL) akan menimbulkan fluoresensi kuning
keemasan.1,10 Hal ini akan berbeda dengan lesi pitiriasis alba dan vitiligo. Pemeriksaan
wood’s lamp, lesi pitiriasis alba tidak akan menimbulkan fluoresensi dan lesi vitiligo
akan menimbulkan fluoresensi biru terang.14 Pemeriksaan KOH 10-20% lesi PV akan
ditemukan ciri khas berupa hifa pendek dengan jumlah yang banyak beserta spora
berkelompok (spaghetti and meatballs appearance). 7,10 Pemeriksaan KOH 10-20% pada
lesi pitiriasis alba dan vitiligo akan menunjukkan hasil yang berbeda dengan tidak
ditemukannya elemen jamur pada preparat kerokan kulit. 14,15 Kasus pada pasien ini
dilakukan pemeriksaan kerokan kulit dengan KOH 10-20% dan tidak ditemukan
penampakan spaghetti and meatballs (-). Hal ini dapat disebabkan oleh riwayat
pengobatan pasien yang menggunakan krim Kalpanax® 5g (miconazole nitrate 2%)
selama 1 bulan sehingga menyebabkan beberapa hifa dan spora Malassezia sudah lisis.
Obat topikal mikonazol merupakan salah satu tatalaksana medikamentosa lini pertama
pada kasus PV.11 Kemudian pemeriksaan wood lamp tidak dilakukan pada pasien ini
dikarenakan keterbatasan sarana di RSUD Pandan Arang Boyolali.
Pada pasien ini didiagnosis pitiriasis versicolor karena berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik didapatkan keluhan pasien sesuai dengan tanda klinis dari PV,
yaitu seperti terdapat makula hipopigmentasi multipel diskrit sebagian berkonfluens
dengan skuama halus dan finger nail sign (+). Kemudian lokasi lesi pada pasien ini
sesuai dengan predileksi dari PV. Meskipun pada pemeriksaan KOH 10% tidak
didapatkan spora maupun hifa, akan tetapi hal tersebut dapat terjadi karena pasien sudah
menjalani pengobatan sebelumnya sehingga spora dan hifanya sudah lisis.
Tatalaksana dari pitiriasis versikolor telah diatur dalam panduan praktik klinis
yang disusun oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia
(PERDOSKI). Adapun dalam panduan tersebut, tatalaksana dari PV dapat berupa
medikamentosa dan non-medikamentosa.10

1. Medikamentosa

9
Terapi medikamentosa pada kasus pitiriasis versikolor dapat berupa obat
topikal atau oral (sistemik) dengan menyesuaikan kondisi pasien. Terapi topikal
dipilih sebagai lini pertama tatalaksana PV, sedangkan terapi sistemik dipilih jika lesi
luas, sulit disembuhkan dengan obat topikal, atau rekuren. Berikut berbagai pilihan
obat topikal dan sistemik yang direkomendasikan oleh PERDOSKI:
a. Topikal
i. Sampo ketokonazol 2% dioleskan pada daerah yang terinfeksi/seluruh badan,
5 menit sebelum mandi, sekali/hari selama 3 hari berturut-turut
ii. Sampo selenium sulfida 2,5% sekali/hari 15-20 menit selama 3 hari dan
diulangi seminggu kemudian. Terapi rumatan sekali setiap 3 bulan
iii. Sampo zinc pyrithione 1% dioleskan di seluruh daerah yang
terinfeksi/seluruh badan, 7-10 menit sebelum mandi, sekali/hari atau 3-4 kali
seminggu
iv. Khusus untuk daerah wajah dan genital digunakan vehikulum solutio atau
golongan azol topikal (krim mikonazol 2 kali/hari)
v. Krim terbinafin 1% dioleskan pada daerah yang terinfeksi, 2 kali/hari selama
7 hari
vi. Krim derivat azole seperti mikonazol, klotrimazol, isokonazol, dan ekonazol
untuk lesi terbatas
b. Sistemik
i. Itrakonazol 200 mg/hari selama 7 hari atau 100 mg/hari selama 2 minggu
ii. Flukonazol 400 mg dosis tunggal atau 300 mg/minggu selama 2-3 minggu
iii. Alternatif: dapat diberikan terapi sistemik ketokonazol 200 mg/hari selama 10
hari. Penting diperhatikan jika terjadi resiko gangguan fungsi hepar, maka
pemakaian ketokonazol tablet tidak dianjurkan.

2. Non-medikamentosa
Terapi non-medikamentosa dapat berupa pencegahan agar tidak terjadi
komplikasi dan penyebaran infeksi. Beberapa edukasi yang dapat diberikan
diantaranya:
a. Kepatuhan pada pengobatan infeksi jamur yang lama
b. Menjaga agar kulit tidak lembab
c. Mengurangi aktivitas berlebih agar tidak terlalu berkeringat

10
d. Rutin mandi dan berganti pakaian
e. Tidak menggunakan handuk atau pakaian bersamaan
f. Menggunakan pakaian yang menyerap keringat dan tidak ketat
g. Rutin mengganti handuk dan sprei

Pasien pada kasus diberikan tatalaksana medikamentosa yaitu sampo


ketokonazol 2% dioleskan pada daerah yang terinfeksi/seluruh badan, 5 menit sebelum
mandi, sekali/hari selama 3 hari berturut-turut serta tablet ketokonazol 200 mg yang
diminum satu kali sehari satu tablet selama 10 hari setelah makan. Tatalaksana
medikamentosa pada pasien sudah sesuai dengan panduan praktik klinis PERDOSKI.
Sediaan cream ketokonazol diberikan secara topikal karena area lesi yang cukup luas
di daerah punggung dan lengan. Sediaan obat tablet ketokonazol 200 mg diberikan
karena lesi yang luas serta riwayat lesi yang sulit disembuhkan menggunakan krim
mikonazol. Untuk mendukung proses penyembuhan, pasien juga diberikan tatalaksana
non-medikamentosa berupa edukasi untuk segera berganti pakaian dan mandi setelah
bekerja untuk menghindarkan pasien dari kondisi kulit yang berkeringat dan lembab.

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Gupta AK, Lyons DCA. Pityriasis versicolor: An update on pharmacological


treatment options. Expert Opin Pharmacother. 2014;15(12):1707–13.
2. Clebak KT, Malone MA. Skin Infections. Prim Care - Clin Off Pract [Internet].
2018;45(3):433–54. Available from: https://doi.org/10.1016/j.pop.2018.05.004
3. Suropati BM, Koendhori EB, Sawitri S, Ervianti E. Retrospective Study of Self
Esteem in Patients with Pityriasis Versicolor. Berk Ilmu Kesehat Kulit dan
Kelamin. 2020;32(2):93.
4. Menaldi SL, Bramono K, Indriatmi W. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. 7th ed.
Vol. 7. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2016.
5. Santana JO, Azevedo FLA de, Filho PCC. Pityriasis versicolor: clinical-
epidemiological characterization of patients in the urban area of Buerarema-BA ,
Brazil. An Bras Dermatol. 2013;88(2):216–21.
6. Snekavalli R, Madhu R, Ramesh A, Janaki C, Dhanalakshmi UR. Clinico
epidemiological and mycological study of pityriasis versicolor PITYRIASIS
VERSICOLOR. Int J Res Med Sci [Internet]. 2018 May 25;6(6):1963. Available
from: http://www.msjonline.org/index.php/ijrms/article/view/5019
7. Kambil SM. A Clinical and Epidemiological Study of Pityriasis Versicolor. Int J
Sci Study. 2017;5(9):155–9.
8. Soleha TU. Pitiriasis Versicolor Ditinjau Dari Aspek Klinis Dan Mikrobiologis
Pityriasis Versicolor , The Clinical And Microbiological Aspect. JK Unila.
2016;1(2):432–5.
9. Chandra K, Ratih NLP, Karna V, Wiraguna AAGP, Denpasar S. Pravelensi Dan
Karakteristik Pityriasis Versicolor Di RSUP Sanglah Denpasar Periode Januari
2017. Med udayana. 2019;8(12):1–8.
10. PERDOSKI. Panduan Praktik Klinis Dermatologi Dan Venereologi Bagi Dokter
Spesialis Dermatologi Dan Venereologi Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter
Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI); 2017.
11. Gupta AK, Foley KA. Antifungal treatment for pityriasis versicolor. J Fungi.
2015;1(1):13–29.
12. Mustika A, Kusuma M, Nasution LH. The correlation between sebum levels and
pityriasis versicolor. Bali Med J. 2021;10(3):1015.
13. Camargo-Sánchez KA, Toledo-Bahena M, Mena-Cedillos C, Ramirez-Cortes E,
Toussaint-Caire S, Valencia-Herrera A, et al. Pityriasis Versicolor in Children and
Adolescents: an Update. Curr Fungal Infect Rep. 2019;13(4):157–68.
14. Givler DN, Basit H, Amy G. Pityriasis Alba. In StatPearls Publishing; 2022.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK431061/?report=classic
15. Ahmed jan N, Masood S. Vitiligo. In StatPearls Publishing;

Anda mungkin juga menyukai