Anda di halaman 1dari 22

JOURNAL READING

CHRONIC PAROTITIS WITH MULTIPLE CALCIFICATIONS:


CLINICAL AND SIALENDOSCOPIC FINDINGS

Disusun Oleh:

Hillarine Vallencia G992003070

Vindy Varanica Sri A G992003153

Periode: 18 – 31 Oktober 2021

Pembimbing:

Dr. Risya Cilmiaty, drg., M.Si., Sp.KG

KEPANITERAAN KLINIK ILMU GIGI DAN MULUT

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RS UNS

SURAKARTA

2021
HALAMAN PENGESAHAN

Journal reading ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik Ilmu
Penyakit Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RS UNS
Surakarta. Journal reading dengan judul:

Chronic Parotitis With Multiple Calcifications: Clinical and Sialendoscopic


Findings

Hari, tanggal: Rabu, 20 Oktober 2021

Oleh:

Hillarine Vallencia G992003070

Vindy Varanica Sri A G992003153

Mengetahui dan menyetujui,

Pembimbing Makalah

Dr. Risya Cilmiaty, drg., M.Si., Sp.KG


CHRONIC PAROTITIS WITH MULTIPLE CALCIFICATIONS:
CLINICAL AND SIALENDOSCOPIC FINDINGS

Emmanuel Jauregui, Ruwan Kiringoda, William R. Ryan, David W. Eisele, Jolie


L. Chang

Department of Otolaryngology–Head and Neck Surgery (E.J., W.R.R., J.L.C.), University of


California, San Francisco School of Medicine, San Francisco, California; Department of
Otolaryngology–Head and Neck Surgery (R.K.), Massachusetts Eye and Ear Infirmary, Boston,
Massachusetts; and the Department of Otolaryngology–Head and Neck Surgery (D.W.E.), Johns
Hopkins School of Medicine, Baltimore, Maryland, U.S.A.

ABSTRAK

Tujuan / Hipotesis: Untuk mengkarakterisasi temuan klinis, pencitraan, dan


sialendoskopi pada pasien dengan parotitis kronis disertai kalsifikasi parotis
multipel.

Desain Studi: Tinjauan retrospektif.

Metode: Riwayat klinis, gambaran dan laporan radiografi, tes laboratorium, dan
laporan operasi ditinjau pada pasien dewasa dengan parotitis kronis disertai
kalsifikasi parotis multipel yang menjalani sialendoskopi parotis.

Hasil: Tiga belas dari 133 (10%) pasien yang menjalani sialendoskopi parotis
untuk sialadenitis kronis memiliki lebih dari satu kalsifikasi di wilayah kelenjar
parotis. Tujuh pasien (54%) didiagnosis dengan penyakit yang dimediasi imun
dari parotitis autoimun (antibodi Sjogren positif atau antibodi antinuklear) atau
penyakit human immunodeficiency virus (HIV). Enam pasien (46%) yang tidak
memiliki gangguan yang dimediasi sistem imunitas memiliki sebagian besar
kalsifikasi yang terletak di anterior atau di sepanjang otot masseter. Delapan dari
13 pasien (61%) memiliki setidaknya satu kalkulus yang ditemukan di duktus
parotis pada pemeriksaan sialendoskopi. Empat pasien (38%) memiliki beberapa
kalsifikasi di dalam kelenjar parotis dan semuanya memiliki parotitis autoimun
atau HIV. Tidak satu pun dari kalsifikasi pada parotis proksimal atau pada
posterior masseter yang divisualisasikan pada sialendoskopi.

Kesimpulan: Parotitis kronis dalam hubungannya dengan kalsifikasi parotis


multipel jarang terjadi dan diidentifikasi pada 10% dari studi kohort kami. Kami
membedakan dua klasifikasi kalsifikasi parotis: 1) batu intraduktal yang
menyebabkan obstruksi duktus berulang dan seringkali terletak di dalam duktus
parotis utama di sepanjang atau anterior masseter dan 2) kalsifikasi kelenjar
parotis intraparenkim pungtata yang tidak divisualisasikan pada sialendoskopi dan
dapat mewakili penyebab yang mendasarinya.

Kata Kunci: Sialendoskopi, kelenjar parotis, kalsifikasi, parotitis kronis,


autoimun, sindrom Sjogren.
CHRONIC PAROTITIS WITH MULTIPLE CALCIFICATIONS:
CLINICAL AND SIALENDOSCOPIC FINDINGS

Emmanuel Jauregui, Ruwan Kiringoda, William R. Ryan, David W. Eisele, Jolie


L. Chang

Department of Otolaryngology–Head and Neck Surgery (E.J., W.R.R., J.L.C.), University of


California, San Francisco School of Medicine, San Francisco, California; Department of
Otolaryngology–Head and Neck Surgery (R.K.), Massachusetts Eye and Ear Infirmary, Boston,
Massachusetts; and the Department of Otolaryngology–Head and Neck Surgery (D.W.E.), Johns
Hopkins School of Medicine, Baltimore, Maryland, U.S.A.

PENDAHULUAN

Sialadenitis kelenjar parotis ditandai dengan nyeri periprandial dan


pembengkakan akibat obstruksi sekresi saliva. Penyebab sialadenitis parotis
berulang termasuk sialolitiasis (batu saluran saliva), sumbatan lendir, dan stenosis
saluran, yang disebabkan oleh terapi yodium radioaktif, atau gangguan inflamasi
seperti parotitis autoimun. Pencitraan ultrasound atau computed tomography (CT)
yang dilakukan untuk mengevaluasi sialadenitis rekuren kronis mengungkapkan
dua jenis kalsifikasi kelenjar ludah yang potensial: 1) sialolitiasis, atau kalkuli
intraduktal yang ditemukan di cabang utama atau primer duktus saliva dan 2)
kalsifikasi intraparenkim yang berada di dalam jaringan kelenjar ludah atau
saluran terminal di dalam kelenjar. Kedua jenis kalsifikasi berhubungan dengan
pembengkakan dan nyeri kelenjar ludah, tetapi perbedaan dalam presentasi klinis,
hubungan dengan penyakit sistemik, dan hasil pengobatan dengan prosedur yang
dibantu sialendoskopi belum diketahui secara jelas.

Sialolitiasis parotis seringkali muncul di segmen utama distal dari duktus


Stensen. Sebagian besar kasus sialolitiasis bersifat unilateral (91,8%) dan soliter
(80%). Penatalaksanaan simtomatik sialolitiasis parotis telah berkembang selama
dekade terakhir dengan prosedur teknik invasif minimal dengan sialendoskopi.
Pendekatan dengan bantuan sialendoskopi pada duktus parotis telah meningkatkan
evaluasi duktus salivarius dan meningkatkan ekstraksi batu duktus salivarius,
disertai dengan penurunan morbiditas dan tingkat pelestarian kelenjar parotis.
Kalsifikasi yang terletak di dalam parenkim kelenjar berbentuk bulat dan seragam.
Insiden kalsifikasi parotis intraparenkim tidak diketahui. Sebuah studi
menemukan kalsifikasi parotis insidental pada 4% pasien dengan CT scan kepala
dan leher, tidak satupun dari mereka memiliki gejala sialadenitis yang terkait.
Kalsifikasi parotis intraparenkim paling sering dijelaskan terkait dengan sindrom
Sjogren. Kalsifikasi parotis juga terkait dengan kista parotis limfoepitel,
sarkoidosis, infeksi tuberkulosis, penyakit ginjal kronis, alkoholisme, gangguan
autoimun, tumor parotis, dan malformasi limfatik.

Beberapa kalsifikasi dalam duktus parotis telah ditunjukkan pada 13%


pasien yang dievaluasi terkait kondisi sialolitiasis parotis dengan pemeriksaan
sialendoskopi, serta pada 7% hingga 17% dari seluruh pasien dengan sialolitiasis.
Kalsifikasi intraparenkim parotis bilateral multipel juga dikaitkan dengan sindrom
Sjogren, yang dapat ditegakkan dengan pencitraan diagnostik CT scan. Di luar
sindrom Sjogren, hubungan beberapa kalsifikasi dengan penyakit inflamasi pada
kelenjar ludah lainnya belum ditandai di luar laporan kasus individu. Sebagai
pusat gangguan kelenjar ludah, kami seringkali diminta untuk mengevaluasi
pasien dengan gejala seperti sialadenitis dan kalsifikasi partosis. Kalsifikasi yang
ditemukan di daerah kelenjar parotis seringkali dianggap secara universal
mewakili sialolitiasis intraduktal, jenis kalsifikasi parotis yang paling umum
ditemukan. Studi ini bertujuan untuk mengkarakterisasi pasien dengan kalsifikasi
parotis multipel yang hadir, melalui pemeriksaan sialendoskopi, untuk lebih
memahami proses penyakit pada penyakit terkait kelenjar ludah, batasan terapi
sialendoskopi, dan untuk menginformasikan hasil tatalaksana pasien. Dalam
penelitian ini, kami memeriksa temuan klinis, radiografi, dan hasil pemeriksaan
sialendoskopi untuk lebih menentukan perbedaan antara kalsifikasi saliva
intraduktal dengan intraparenkimal dan membandingkannya secara langsung.
Kami juga memeriksa respons gejala setelah operasi dengan bantuan
sialendoskopi menggunakan Kuesioner Gejala Sialadenitis Obstruktif Kronis
(COSS).

BAHAN DAN METODE

Data Klinis

Data klinis studi didapatkan secara retrospektif dengan meninjau riwayat


klinis, gambar dan laporan radiografi pra operasi, hasil laboratorium, dan laporan
operasi untuk pasien yang mengalami sialadenitis parotis berulang dan menjalani
tindakan sialendoskopi parotis di University of California, San Francisco antara
November 2005 hingga Januari 2015. Persetujuan dari dewan peninjau
kelembagaan dari Pusat Penelitian Manusia di University of California, San
Francisco telah diperoleh sebelum studi dilaksanakan. Studi ini mengumpulkan
data klinis termasuk riwayat klinis, pengukuran dari CT dan pemindaian magnetic
resonance imaging (MRI), laporan operasi, dan hasil pasca operasi. Dilakukan
peninjauan terkait gambaran pra operasi untuk pasien dengan beberapa kalsifikasi,
seperti ukuran dan lokasi kalsifikasi dan adanya dilatasi duktus di kelenjar parotis.
Kalsifikasi diklasifikasikan berdasarkan lokasi menjadi tiga kemungkinan lokasi:
1) anterior otot masseter, 2) sepanjang otot masseter, dan 3) posterior otot
masseter (Gbr. 1). Untuk pasien dengan beberapa kalsifikasi di kelenjar yang
sama, lima lesi terbesar dari masing-masing kelenjar digunakan untuk pengukuran
dalam analisis.

Hasil pascaoperasi dinilai dengan menggunakan COSS yang diberikan


secara retrospektif kepada pasien yang telah menjalani sialendoskopi. Survei
tersebut mencakup 20 pertanyaan yang terkait kualitas hidup pasien sialadenitis.
Skor survei COSS yang berkisar antara 0 dan 10 dianggap mewakili resolusi
gejala penuh, antara 10 dan 25 dianggap resolusi parsial, dan >25 dianggap tidak
memiliki resolusi gejala pascaoperasi. Analisis statistik dilakukan dengan uji t dan
uji v2, dengan nilai P kurang dari 0,05 yang menunjukkan signifikansi statistik.
Gambar 1. Kalsifikasi duktus parotis yang terletak pada muskulus masseter.
Pemeriksaan computed tomography potongan aksial pasien dengan kondisi klinis
tanpa dimediasi imun, dengan kalkuli multipel yang terletak sepanjang duktus
parotis dalam 3 posisi: anterior dari masseter, pada masseter, dan posterior dari
masseter.

Teknik Bedah

Seluruh prosedur sialendoskopi dilakukan di bawah anestesi umum di


ruang operasi. Papila duktus Stensen dari kelenjar yang bergejala diidentifikasi
dan melebar. Selanjutnya, sialendoscope diagnostik semirigid (Marchal Multi-
Purpose 0o sialendoscope dengan selubung operasi 1.1-mm atau sialendoscope
all-in-one 1.1 atau 1.3-mm; Karl Storz, Tuttlingen, Jerman) digunakan untuk
memeriksa duktus Stensen. Saluran utama dan setiap cabang primer dan sekunder
secara sistematis diperiksa untuk patologi. Untuk perawatan dan pembuangan
sialolith, sialendoscope terapeutik (diameter 1,3-mm atau 1,6-mm) digunakan
dengan forsep endoskopik atau keranjang kawat untuk pengambilan, dan/atau
laser garnet aluminium holmiumyttrium untuk fragmentasi batu. Jika duktus
parotis tidak dapat dikanulasi, atau jika batu yang sangat besar tidak dapat
dikeluarkan melalui papila, sialodokotomi transoral dilakukan sejajar dengan
bagian paling distal dari duktus atau parotisotomi transfasial. Untuk stenosis
duktus parotis, duktus diirigasi dengan larutan saline atau Kenalog, dan dilebarkan
dengan sialendoscope. Sebuah stent intraductal dapat ditempatkan pada beberapa
pasien. Pasien diinstruksikan untuk mengikuti perawatan pasca operasi standar
dengan hidrasi, terapi sialogogue, pijat kelenjar, dan pemberian terapi antibiotik.

Gambar 2. Kalsifikasi pungtata intraparenkimal pada kelenjar parotis. (A)


Gambaran CT aksial yang menunjukkan temuan kalsifikasi pungtata yang terletak
pada kelenjar parotis kanan pada pasien dengan sindrom Sjogren (B) Gambaran
CT koronal pada pasien dengan HIV yang menunjukkan gambaran kalsifikasi
pungtata pada kelenjar parotis kiri.

HASIL

Kami mengidentifikasi 13 dari 133 (10%) pasien parotitis kronis dengan


lebih dari satu kalsifikasi di wilayah kelenjar parotis pada pencitraan CT atau MRI
pra operasi. Dari 13 pasien dengan kalsifikasi multipel, tiga (23%) memiliki
parotitis autoimun dari sindrom Sjogren (antibodi Sjogren positif), satu (8%)
menderita lupus eritematosus sistemik (SLE) dan sindrom Sjogren, dan 1 (8%)
memiliki peningkatan antibodi antinuklear (ANA). Dua pasien (15%) terinfeksi
human immunodeficiency virus (HIV)-positif; salah satunya juga memiliki
penyakit ginjal kronis. Enam pasien yang tersisa (46%) tidak memiliki riwayat
atau bukti penyakit yang dimediasi kekebalan atau penyakit menular. Durasi rata-
rata gejala dalam studi kohort ini adalah 9,66 tahun (kisaran, 1 bulan-24 tahun).
Gejala termasuk pembengkakan wajah intermiten, nyeri yang berhubungan
dengan makanan, dan temuan gejala drainase purulen atau rasa busuk dari duktus
parotis. Dari tujuh pasien dengan parotitis yang dimediasi imun, parotitis dari
HIV, atau penyakit autoimun, empat (57%) memiliki kalsifikasi parotis bilateral,
enam (85%) memiliki lebih dari tiga kalsifikasi pada pencitraan pra operasi, dan
empat (57%) memiliki kalsifikasi di kelenjar parotis posterior (didefinisikan
sebagai multipel, berukuran <2mm).

Tabel 1. Tabel Deskriptif Perbedaan Pasien dengan Penyakit Dimediasi Imun dan

dengan Penyakit yang Tidak Dimediasi Imun.

Ukuran kalsifikasi rata-rata adalah 46% lebih kecil pada pasien dengan
penyakit yang dimediasi imun (2,35 mm) dibandingkan pada pasien tanpa
gangguan yang dimediasi imun (5,03 mm) ( P < 0,01) (Gbr. 3). Kalsifikasi yang
terletak anterior atau sepanjang otot masseter pada pasien dengan penyakit yang
dimediasi imun (2,7 mm) adalah 53% lebih kecil dibandingkan pada pasien tanpa
penyakit yang dimediasi imun (5,07 mm; P <0,01). Selain itu, pasien dengan
penyakit yang dimediasi imun sistemik memiliki jumlah kalsifikasi yang lebih
besar (6 standar deviasi) per pasien yang terletak di posterior otot masseter (10,57
± 9,8) dibandingkan dengan jumlah kalsifikasi pada pasien tanpa penyakit yang
dimediasi imun (0,33 ± 0,52; P < .05) (Gbr. 4). Ketujuh pasien dengan penyakit
parotis yang dimediasi imun memiliki kalsifikasi di posterior otot masseter pada
pencitraan CT, dibandingkan dengan hanya satu pasien tanpa penyakit yang
dimediasi imun (P <0,05).
Gambar 3. Rata-rata ukuran kalsifikasi Gambar 4.
berdasarkan lokasi, dibandingkan dengan dimediasi
muskulus masseter. jumlah kals
pada sisi pos
Selama sialendoskopi, delapan dari 13 pasien (61%) memiliki setidaknya
satu sialolith intraductal yang diidentifikasi. Kalkuli duktus parotis dihilangkan
menggunakan laser lithotripsy dengan keranjang pengambilan fragmen (n=1),
pengambilan keranjang endoskopik dibantu sialodochotomy intraoral, atau
parotisotomi transfasial. Untuk semua kasus, sialolith seringkali didapatkan
terletak di anterior atau di sepanjang otot masseter. Sialolith di dalam duktus
parotis utama divisualisasikan pada sialendoskopi pada tiga (42%) pasien dengan
penyakit yang dimediasi imun dan pada lima (83%) pasien tanpa penyakit yang
dimediasi imun. Tidak satu pun dari kalsifikasi parotis pungtata proksimal
posterior ke otot masseter yang divisualisasikan pada sialendoskopi. Tiga pasien
dengan penyakit yang dimediasi imun membutuhkan lebih dari satu prosedur
sialendoskopi untuk sialadenitis berulang (23%). Dua pasien yang tidak memiliki
penyakit yang dimediasi kekebalan (15%) memerlukan beberapa prosedur. Tiga
pasien (23%) yang tidak memiliki temuan adanya batu pada pemeriksaan
sialendoskopi tercatat memiliki stenosis atau striktur sistem duktus parotis; dua
pasien memiliki sindrom Sjogren, satu tanpa penyakit yang dimediasi kekebalan.

Sebuah survei COSS pasca operasi diselesaikan oleh sembilan dari 13


pasien (69%). Lima pasien tanpa penyakit yang dimediasi kekebalan
menyelesaikan survei; semuanya melaporkan resolusi penuh gejala berdasarkan
skor survei COSS mereka (1,7 ± 3,27). Empat pasien dengan HIV atau parotitis
autoimun menyelesaikan survei, dua di antaranya melaporkan resolusi gejala
penuh (skor COSS 7 dan 1,5), satu dengan resolusi parsial (COSS 21,5), dan satu
tanpa perbaikan gejala (COSS 46), dengan skor rata-rata keseluruhan 19 ± 19,8.
Perbedaan skor antara kelompok tidak signifikan (P > 0,05). Dari 120 pasien yang
tersisa dengan kalsifikasi parotis tunggal, dua didiagnosis dengan sindrom
Sjogren; satu memiliki sialolith tunggal yang divisualisasikan dan dihilangkan
dengan sialendoskopi.

DISKUSI

Studi menemukan beberapa kalsifikasi parotis pada 10% pasien yang


datang untuk evaluasi sialadenitis parotis berulang. Sekitar setengah (54%) pasien
dengan kalsifikasi parotis multipel memiliki parotitis autoimun atau penyakit
HIV, dibandingkan dengan 8% dari semua pasien dengan sialadenitis parotis
berulang. Berdasarkan temuan ini, pada pasien dengan kalsifikasi pungtata
multipel bilateral yang terletak di dalam parenkim parotis, pemeriksaan penyakit
yang dimediasi imun dan penyebab parotitis inflamasi harus dipertimbangkan.
Studi menjelaskan dua jenis kalsifikasi parotis yang berbeda terkait dengan
sialadenitis: 1) sialolitiasis atau kalkuli obstruktif yang umumnya soliter, lebih
besar dari 2 mm, dan ditemukan di dalam duktus parotis utama yang terletak di
anterior atau di sepanjang otot masseter; dan 2) kalsifikasi intraparenkim yang
ditandai dengan lesi pungtata berukuran kurang dari 2 mm yang terletak di
posterior masseter, yang dapat dikaitkan dengan gangguan inflamasi saliva dan
gejala sialadenitis kronis.

Dalam penelitian ini, kalsifikasi parotis multipel jarang terjadi, yang


dilaporkan pada 7% hingga 14% kasus sialolitiasis. Sialolith intraduktal multipel
dapat ditemukan pada pemeriksaan sialendoskopi jika fragmen sialolith bersifat
primer atau terdapat nidus sekunder yang berhubungan dengan pembentukan batu
di dalam saluran yang sudah tersumbat. Lokasi dan ukuran kalsifikasi pada
pencitraan pra operasi dapat memberikan informasi prognostik tentang
kemungkinan keberhasilan pengangkatan sialolith pada sialendoskopi. Secara
khusus, penelitian sebelumnya yang menggunakan otot masseter sebagai penanda
pencitraan telah menunjukkan bahwa batu di posterior otot masseter sulit untuk
divisualisasikan dengan sialendoskopi. Dalam kohort ini, sialendoskopi digunakan
untuk menunjukkan bahwa kalsifikasi pungtata intraparenkimal seringkali tidak
didapatkan sebab kalsifikasi tidak dapat terlihat dalam saluran primer atau
sekunder dan kondisi ini berkaitan dengan penyakit parenkim. Hal ini kontras
dengan kesalahpahaman bahwa semua kalsifikasi parotis berkaitan dengan batu
pada duktus.

Penyebab inflamasi dari sialadenitis kronis dapat dipertimbangkan dalam


kasus ini. Kehadiran beberapa kalsifikasi parotis intraparenkimal menunjukkan
potensi proses penyakit inflamasi sistemik. Pasien harus diskrining dan diobati
untuk kemungkinan penyebab autoimun atau infeksi sialadenitis, meskipun
penyebab sialadenitis kronis tidak selalu jelas. Implikasi klinis dari sialadenitis
inflamasi kronis mencakup kebutuhan untuk tindak lanjut jangka panjang karena
risiko degenerasi kelenjar, xerostomia progresif, sialadenitis berulang, dan risiko
limfoma. Kalsifikasi pungtata di dalam kelenjar tidak terlihat pada sialendoskopi,
tetapi pasien mungkin mengalami stenosis duktus atau striktur yang berhubungan
dengan penyakit inflamasi parotis. Survei pasca operasi menunjukkan tingginya
tingkat gejala persisten dan berulang, pemeriksaan sialendoskopi dan terapi pada
kelompok ini. Sialadenitis inflamasi kronis memerlukan studi lebih lanjut untuk
memahami etiologi dan perkembangan degenerasi kelenjar ludah dan hasil klinis
terkait.

Sebanyak 54% dari kohort ini memiliki gangguan yang dimediasi imun,
pengujian untuk parotitis autoimun dan HIV harus dipertimbangkan pada pasien
dengan kalsifikasi parotis pungtata ganda. Penelitian sebelumnya telah
mengaitkan adanya kalsifikasi pungtata pada sindrom Sjogren dengan degenerasi
kelenjar parotis. Kalsifikasi juga terkait dengan limfoma jaringan limfoid terkait
mukosa parotis pada anak dengan HIV. Ini adalah studi pertama yang
menggambarkan hubungan penyakit HIV dengan beberapa kalsifikasi parotis
pungtata orang dewasa. Penting untuk dicatat bahwa kohort ini memiliki tiga
pasien dengan penyakit yang dimediasi imun yang menunjukkan kalsifikasi
pungtata intraparenkimal dan sialolithiasis obstruktif intraduktal, konsisten
dengan deskripsi sebelumnya. Dikombinasikan dengan laporan tersebut, temuan
kami menunjukkan bahwa kondisi inflamasi kelenjar parotis mempengaruhi aliran
saliva dan dalam kasus tertentu berhubungan dengan pembentukan batu
intraduktal. Etiologi pembentukan kalsifikasi baik di saluran saliva dan di dalam
parenkim kelenjar masih belum jelas. Beberapa teori telah mengusulkan
penghancuran inflamasi asinus saliva menyebabkan pengendapan kalsium awal
dan pembentukan mikrolit. Sebagai alternatif, kalkuli secara teoritis dapat
terbentuk di sekitar nidus di dalam duktus saliva. Pasien dengan sindrom Sjogren
mengalami penurunan aliran saliva dan inflamasi kronis akibat infiltrasi limfosit
yang digerakkan oleh autoantibodi ke dalam kelenjar saliva, yang dapat menjadi
predisposisi presipitasi kalsium di dalam kelenjar parotis dan dalam sistem
duktus. Menariknya, bagaimanapun, tingkat kerusakan kelenjar ludah tidak
berkorelasi dengan pembentukan kalsifikasi, dan kalsifikasi tidak universal pada
pasien sindrom Sjogren. Ada kemungkinan bahwa patofisiologi kalsifikasi
intraparenkim pada penyakit sistemik lainnya, seperti SLE dan HIV, dapat
mengikuti jalur yang sama, di mana sebagian pasien mengalami xerostomia
karena peradangan kelenjar langsung atau sebagai efek dari penurunan produksi
dan aliran saliva.

Sebuah paralel yang menarik dalam sistem ginjal ditemukan pada


nefrokalsinosis, yang didiagnosis secara radiografi sebagai kalsifikasi pungtata di
parenkim ginjal dan berhubungan dengan hiperparatiroidisme, kelainan genetik,
dan asidosis tubulus ginjal distal. Nefrokalsinosis berbeda dari nefrolitiasis dan
tidak dapat dihilangkan dengan teknik endourologi standar. Peran deposisi
kalsium yang dimediasi autoimun bukanlah mekanisme yang diusulkan, meskipun
nefrokalsinosis telah dikaitkan dengan sindrom Sjogren. Diagnosis banding dari
kalsifikasi parotis termasuk kalsifikasi yang berhubungan dengan tumor parotis
seperti pleomorphic adenoma, adenoma, adenocarcinoma, salivary duct
carcinoma, mukosa-associated lymphoid tissue lymphoma, mucoepidermoid
carcinoma, pilomatrixoma, dan metastatic thyroid carcinoma. Selain itu, beberapa
kalsifikasi telah terlihat dalam hubungan dengan phlebolith dalam malformasi
vena, hemangioma, dan dengan penyakit menular yang mempengaruhi parotis
seperti tuberkulosis dan gondok. Pasien yang disertai dengan penyakit dimediasi
imunitas cenderung memiliki resolusi yang lebih rendah dibandingkan pasien
tanpa gangguan yang dimediasi imunitas. Hal ini konsisten dengan penelitian
prospektif kami sebelumnya yang menunjukkan besarnya dan tingkat resolusi
gejala yang lebih besar pada pasien yang diobati untuk sialadenitis dengan
sialolithiasis dibandingkan dengan pasien tanpa sialolithiasis. Teknik
sialendoskopi termasuk pelebaran saluran dan irigasi steroid topikal dikaitkan
dengan perbaikan gejala parsial tetapi tidak lengkap pada pasien dengan
sialadenitis inflamasi dengan kalsifikasi intraparenkim pungtata. Studi multi-
institusi lebih lanjut diperlukan untuk memahami pendekatan pengobatan terbaik
untuk pasien dengan sialadenitis parotis inflamasi kronis.

KESIMPULAN

Kehadiran beberapa kalsifikasi parotis pada pasien dengan sialadenitis


kronis jarang terjadi. Batu duktus saliva, yang umumnya soliter dan ditemukan di
dalam duktus parotis utama, harus dibedakan dari kalsifikasi intraparenkim
pungtata yang dapat dikaitkan dengan penyakit inflamasi parotis. Sialendoskopi
menegaskan bahwa kalsifikasi pungtata intraparenkimal tidak berada di dalam
saluran saliva primer atau sekunder dan tidak dapat dihilangkan dengan
sialendoskopi. Untuk pasien dengan suspek sialadenitis kronis inflamasi,
pengujian antibodi sindrom Sjogren, ANA, penanda inflamasi, dan HIV harus
dipertimbangkan. Pasien dengan penyakit parotis yang dimediasi imun
melaporkan tingkat gejala persisten yang lebih tinggi setelah sialendoskopi. Studi
lebih lanjut diperlukan untuk memahami patofisiologi pembentukan deposit
kalsium dan terapi yang paling efektif untuk sialadenitis inflamasi kronis
simtomatik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sigismund PE, Zenk J, Koch M, Schapher M, Rudes M, Iro H. Nearly 3,000


salivary stones: some clinical and epidemiologic aspects. Laryngoscope
2015;125:1879–1882.
2. Lustmann J, Melamed Y. Sialolithiasis: a survey on 245 patients and a review
of the literature. Int J Oral Maxilolfac Surg 1990;10:135–138.
3. Gillespie MB, Koch M, Iro H, Zenk J. Endoscopic-assisted glandpreserving
therapy for chronic sialadenitis: a German and US comparison. Arch
Otolaryngol Head Neck Surg 2011;137:903–908.
4. Koch M, Iro H, Klintworth N, Psychogios G, Zenk J. Results of minimally
invasive gland-preserving treatment in different types of parotis duct stenosis.
Arch Otolaryngol Head Neck Surg 2012;138:804–810.
5. Nahlieli O, London D, Zagury A, Eliav E. Combined approach to impacted
parotis stones. J Oral Maxillofac Surg 2002;60:1418–1423.
6. Ardekian L, Klein HH, Araydy S, Marchal F. The use of sialendoskopi for the
treatment of multiple salivary gland stones. J Oral Maxillofac Surg
2014;72:89–95.
7. Marchal F, Dulguerov P. Sialolithiasis management: the state of the art. Arch
Otolaryngol Head Neck Surg 2003;129:951–956.
8. Aubin-Pouliot A, Delagnes Ea, Chang JL, Ryan WR. Sialendoskopiassisted
surgery and the chronic obstructive sialadenitis symptoms questionnaire: a
prospective study. Laryngoscope 2016;126:1343–1348.
9. Buch K, Nadgir RN, Fujita A, Tannenbaum AD, Ozonoff A, Sakai O. Clinical
associations of incidentally detected parotis gland calcification on CT.
Laryngoscope 2015;125:1360–1365.
10. Izumi M, Kise Y, Murata K, et al. Multiple calcifications within the parotis
gland of patients with Sj€ogren’s syndrome. Oral Sci Int 2013;10:28–32.
11. Konstantinidis I, Paschaloudi S, Triaridis S, Fyrmpas G, Sechlidis S,
Constantinidis J. Bilateral multiple sialolithiasis of the parotis gland in a
patient with Sj€ogren’s syndrome. Acta Otorhinolaryngol Ital 2007;27: 41–44.
12. Mandel L, Surattanont F. Bilateral parotis swelling: a review. Oral Surg Oral
Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 2002;93:221–237.
13. Sun Z, Zhang Z, Fu K, Zhao Y, Liu D, Ma X. Diagnostic accuracy of parotis
CT for identifying Sj€ogren’s syndrome. Eur J Radiol 2012;81:2702–2709.
14. Kiringoda R, Eisele DW, Chang JL. A comparison of parotis imaging
characteristics and sialendoscopic findings in obstructive salivary disorders.
Laryngoscope 2014;124:2696–2701.
15. Aubin-Pouliot A, Delagnes Ea, Eisele DW, Chang JL, Ryan WR. The Chronic
Obstructive Sialadenitis Symptoms Questionnaire to assess sialendoskopi-
assisted surgery. Laryngoscope 2015;126:93–99.
16. Corr P, Vaithilingum M, Thejpal R, Jeena P. Parotis MALT lymphoma in HIV
infected children. J Ultrasound Med 1997;16:615–617.
17. Capaccio P, Monforte Ad, Moroni M, Ottaviani F. Salivary stone lithotripsy in
the HIV patient. Oral Surg Oral Med Oral Path Oral Radiol Endod
2002;93:525–527.
18. Ottaviani F, Galli A, Lucia MB, Ventura G. Bilateral parotis sialolithiasis in a
patient with acquired immunodeficiency syndrome and immunoglobulin G
multiple myeloma. Oral Surg Oral Med Oral Path Oral Radiol Endod
1997;83:552–554.
19. Harrison JD. Causes, natural history, and incidence of salivary stones and
obstructions. Otolaryngol Clin North Am 2009;42:927–947.
20. Madani G, Beale T. Inflammatory conditions of the salivary glands. Semin
Ultrasound CT MR 2006;27:440–451.
21. Hsi RS, Stoller ML. A spectrum: nephrocalcinosis-nephrolithiasis. J Urol
2015;194:1188–1189.
22. Moutsopoulos HM, Cledes J, Skopouli FN, Elisaf M, Youinous P.
Nephrocalcinosis in Sjogren’s syndrome: a late sequela of renal tubular
acidosis. J Intern Med 1991;230:187–191.
23. Coelho LO, Ono SE, de Carvalho Neto A, Kawasaki CS, Saboia LV, Soares
MF. Massive calcification in a pleomorphic adenoma: report of an unusual
presentation. Ear Nose Throat J 2013;92:6–7.
24. Takeshita T, Tanaka H, Harasawa A, Kaminaga T, Imamura T, Furui S. CT
and MR findings of basal cell adenoma of the parotis gland. Radiat Med
2004;22:260–264.
25. Song HU, Kwon KJ, Koh KJ. Adenocarcinoma of the parotis gland with
calcification. Dentomaxillofac Radiol 2003;32:134–136.
26. Weon YC, Park S-W, Kim H-J, et al. Salivary duct carcinomas: clinical and
CT and MR imaging features in 20 patients. Neuroradiology 2012;54: 631–
640.
27. Gong X, Xiong P, Liu S, Xu Q, Chen Y. Ultrasonographic appearances of
mucoepidermoid carcinoma of the salivary glands. Oral Surg Oral Med Oral
Pathol Oral Radiol 2012;114:382–387.
28. Yoshimura Y, Obara S, Mikami T, Matsuda S. Calcifying epithelioma
(pilomatrixoma) of the head and neck: analysis of 37 cases. Br J Oral
Maxillofac Surg 1997;35:429–432.
29. Takashima S, Takayama F, Wang JC, et al. Radiologic assessment of
metastases to the thyroid gland. J Comput Assist Tomogr 2000;24:539– 545.
30. Achache M, Fakhry N, Varoquaux A, et al. Management of vascular
malformations of the parotis area. Eur Ann Otorhinolaryngol Head Neck Dis
2013;130:55–60.
31. Alami B, Lamrani Y, Addou O, et al. Presumptive intramuscular hemangioma
of the masseter muscle. Am J Case Rep 2015;16:16–19.
32. Mandel L. Tuberculous cervical node calcifications mimicking sialolithiasis: a
case report. J Oral Maxillofac Surg 2006;64:1439–1442.

TELAAH KRITIS

1. Deskripsi Umum
a. Desain : Cohort study
b. Level of evidence :4
c. Jurnal : The Laryngoscope
d. Jumlah referensi : 32 sumber
e. Jumlah halaman : 6 halaman
f. Subjek : 13 pasien yang menjalani sialendoskopi parotis
dengan temuan kalsifikasi multipel
g. Judul : Tepat, lugas dan eksplisit
h. Penulis : Penulis dan institusi asal ditulis dengan jelas
i. Abstrak : Singkat, jelas sesuai dengan isi jurnal

2. Analisis VIA
a. Validity :
i. Apakah kriteria inklusi jelas?
Ya, pasien parotitis kronis yang menjalani sialendoskopi parotis untuk
sialadenitis kronis dan memiliki lebih dari satu kalsifikasi di wilayah
kelenjar parotis.

ii. Apakah subyek dan latar penelitian jelas?

Ya, pasien parotitis kronis yang menjalani sialendoskopi parotis pada


University of California, San Francisco antara November 2005 hingga
Januari 2015 untuk sialadenitis kronis dan memiliki lebih dari satu
kalsifikasi di wilayah kelenjar parotis.

iii. Apakah pengukuran paparan dengan metode yang jelas?

Tidak, tidak ada paparan yang diukur pada penelitian ini.

iv. Apakah kriteria yang digunakan untuk pengukuran kondisi objektif?

Tidak, kriteria yang digunakan bersifat subjektif.

v. Apakah faktor yang memengaruhi diidentifikasi?

Ya, faktor yang dapat memengaruhi hasil seperti kondisi klinis penyerta pada
pasien telah diidentifikasi.

vi. Apakah disebutkan strategi untuk mengatasi faktor tersebut?


Ya, dilakukan strategi-strategi seperti penerapan kriteria inklusi, dan analisis
terkait faktor-faktor tersebut.

vii. Apakah hasil diukur dengan metode yang valid?

Hasil diukur berdasarkan temuan klinis, radiologis, dan pada pemeriksan


sialedoskopi pasien. Selain itu, kondisi klinis yang menyertai pasien disertakan.
Penilaian tingkat resolusi penyakit pasien dinilai dengan kuesioner COSS.

viii. Apakah dilakukan metode analisis yang sesuai?

Ya, analisis dilakukan dengan uji t dan uji v2, dengan nilai P kurang dari
0,05 yang menunjukkan signifikansi statistik.

b. Importance:
i. Apakah hasil dari penelitian ini?

Tiga belas pasien yang menjalani sialendoskopi parotis memiliki lebih dari
satu kalsifikasi. Tujuh pasien (54%) didiagnosis dengan penyakit yang
dimediasi imun, enam pasien (46%) yang tidak memiliki gangguan yang
dimediasi sistem imunitas Delapan dari 13 pasien (61%) memiliki
setidaknya satu kalkulus yang ditemukan di duktus parotis pada
pemeriksaan sialendoskopi. Empat pasien (38%) memiliki beberapa
kalsifikasi di dalam kelenjar parotis dan semuanya memiliki parotitis
autoimun atau HIV.

ii. Seberapa akurat hasilnya?

Akurasi dilihat dari p value dimana pada penelitian ini p value yang didapatkan <
0,05 yang mana signifikan secara statistik.’

iii. Apakah anda percaya dengan hasilnya?

Ya, karena ditunjang dengan data dari penelitian lain.

c. Acceptable:
i. Apakah hasilnya dapat diterapkan pada populasi lokal?

Ya, akan tetapi diperlukan penelitian lebih lanjut dikarenakan latar penelitian ini
bertempat di negara Amerika Serikat.

ii. Apakah hasilnya sesuai dengan bukti ilmiah lain?

Ya, hasil penelitian ini sesuai dengan bukti ilmiah lain yang juga disebutkan
dalam penelitian ini.

iii. Bagaimana peran dari hasil penelitian ini dalam praktik sehari-hari?

Semakin meningkatkan kesadaran dan ilmu mengenai parotitis yang umum


didapatkan di masyarakat disekitar kita. Dapat digunakan untuk penerapan
penentuan tatalaksana terutama pada pasien yang disertai dengan penyakit lain,
baik yang dimediasi oleh sistem imun maupun tidak, dan pentingnya melakukan
terapi dini kondisi infeksi untuk mencegah terjadinya perburukan parotitis kronis.

3. Analisis PICO
a. Population :13 pasien parotitis kronis yang menjalani
sialendoskopi parotis dengan temuan kalsifikasi multipel.
b. Intervention :Tidak ada intervensi dalam penelitian ini.
c. Comparison :Tidak ada pembanding dalam penelitian ini.
d. Outcome :Mengkarakterisasi temuan klinis, radiologis, dan
sialedoskopi pada pasien dengan parotitis kronis disertai kalsifikasi parotis
multipel.
4. Tabel Telaah Kritis Studi Kohort

Anda mungkin juga menyukai