Anda di halaman 1dari 14

Rencana Baca

Hari / Tanggal : Senin/14 Maret 2022


Pukul : 08.30 WIB

Laporan Kasus

Kusta tipe Borderline Borderline

Pembimbing:
Dr. dr. Ramona Dumasari Lubis, Sp. KK(K), MKed(KK), FINSDV, FAADV

Penyaji:
dr. Riefka Ananda Zulfa

DIVISI KUSTA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2022
KUSTA TIPE BORDERLINE BORDERLINE

PENDAHULUAN
Kusta merupakan penyakit infeksi kronis yang telah diketahui sejak tahun 600 SM.1
Umumnya, kusta ditemukan di negara berkembang dengan keterbatasan pelayanan di
bidang kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial ekonomi.2 Secara global,
prevalensi kusta di awal tahun 2013 adalah 189.018, di mana jumlah kasus baru adalah
232.857. Terdapat 16 negara yang melaporkan lebih dari 1000 kasus baru, antara lain
India, Brazil, Indonesia, Nigeria, Ethiopia, Bangladesh, Republik Demokratik Kongo,
Nepal, Myanmar, Republik Tanzania, Srilanka, Filipina, Sudan Selatan, Madagaskar,
Cina, dan Pantai Gading.2,3
Kusta disebabkan oleh Mycobacterium leprae.1,4,5 M. leprae adalah bakteri
Gram (-) genus Mycobacterium bersifat tahan-asam karena memiliki asam mikolik di
dinding sel M. leprae juga bersifat intraseluler obligat. M. leprae juga dapat
menginfeksi armadilo, monyet mangabey, dan simpanse.4 Pada manusia, M. leprae
bereplikasi selama 12-13 hari di sel schwann, histiosit, sel otot, dan endotel pembuluh
darah pada suhu 30-33ºC.1,6 Penyakit kusta dapat terjadi terkait oleh beberapa faktor,
diantaranya faktor host seperti usia, jenis kelamin, migrasi, imunitas, genetik, faktor
lingkungan dan sosial. Penularan utama adalah rute respiratorius, namun kemungkinan
infeksi melalui mukosa dan kulit yang tidak intak7,8 Namun, penularan kusta hanya
ditemukan di antara manusia dengan manusia.1,6
Patogenesis kusta dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor imunologi host.4
Diagnosis kusta didasarkan pada manifestasi klinis, pemeriksaan bakteriologi, dan
gambaran histopatologi.5 Diagnosis dini berperan penting dalam mencegah kecacatan
dan sekuele pada kusta.14 Manifestasi klinis kusta bervariasi, di mana kusta melibatkan
saraf perifer, kulit, saluran pernafasan atas, mata, otot, tulang, dan testis.1,4 Oleh sebab
itu, tanda-tanda kardinal kusta berperan penting dalam diagnosis kusta. Tanda-tanda
kardinal kusta meliputi makula eritema atau hipopigmentasi yang anastesi, penebalan
saraf perifer dengan gangguan fungsi saraf, serta penemuan basil tahan asam (BTA)
pada pemeriksaan kerokan kulit dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen (slit skin smear). Jika
salah satu tanda kardinal tersebut ditemukan, maka seseorang dapat didiagnosis dengan
kusta.2

Menurut World Health Organization (WHO), kusta diklasifikasikan


berdasarkan jumlah lesi kulit dan keterlibatan cabang saraf. Kusta pausibasiler (PB)
1
ditandai dengan jumlah lesi kulit sampai dengan lima dan / atau keterlibatan satu
cabang saraf dengan gangguan fungsi saraf. Kusta multibasilar (MB) ditandai dengan
jumlah lesi kulit lebih dari lima dan / atau keterlibatan lebih dari satu cabang saraf
dengan gangguan fungsi saraf.2,5 Manifestasi penyakit kusta bergantung kepada respon
imun seluler seseorang. Ridley-Jopling membuat klasifikasi menjadi Tuberculoid
leprosy (TT), Borderline tuberculoid (BT), Mid-borderline (BB), Borderline
lepromatous (BL), Lepromatous leprosy (LL) berdasarkan gambaran klinik,
histopatologik, bakteriologik dan imunologik.9

Pada kusta BB atau mid-borderline yang kadang disebut kusta dimorfosa atau
intermediet, memiliki ciri-ciri bentuk LL dan TT dan mewakili spektrum penyakit yang
berkesinambungan mulai dari hampir tuberkuloid hingga hampir lepromatosa. Ini
adalah bentuk kusta yang tidak stabil dan dapat berkembang secara bertahap menuju
kusta LL dengan mengalami reaksi pembalikan atau diturunkan menjadi kusta TT.
pasien datang dengan manifestasi plak annular asimetris. Lesi klasik penyakit BB
adalah lesi dimorfik, yang memiliki gambaran lesi tuberkuloid dan lepromatosa. Lesi
dimorfik biasanya berbentuk annular dengan batas luar yang tidak berbatas tegas dan
pusat "punched-out" yang berbatas tegas. Pasien dapat juga mengalami hipertrofi saraf
simetris atau asimetris dan neuritis. Indeks bakteri biasanya berkisar antara 3 sampai
dengan 4.10,11
Penatalaksanaan kusta adalah multi-drug therapy (MDT). MDT diberikan
sesuai dengan rekomendasi World Health Organization (WHO). Pada kusta PB,
pemberian MDT berupa rifampisin 600 mg dan dapson 100 mg pada hari 1, dilanjutkan
dengan dapson 100 mg pada hari 2-28 selama 6-9 bulan. Pada kusta MB, pemberian
MDT berupa rifampisin 600 mg, dapson 100 mg, dan klofazimin 300 mg pada hari 1,
dilanjutkan dengan dapson 100 mg dan klofazimin 50 mg pada hari 2-28 selama 12-18
bulan.2,5

Laporan Kasus
Seorang laki-laki, usia 19 tahun, datang ke Poliklinik Dermatologi dan
Venereologi pada tanggal 16 April 2021 di Poliklinik RSUD Pandan, dengan keluhan
utama berupa bercak merah disertai rasa nyeri pada wajah, leher, badan, punggung,
kedua lengan, dan tungkai kaki sejak 3 bulan yang lalu. Awalnya, 4 tahun yang lalu
bercak merah awalnya muncul pada dada dan semakin tahun bercak tersebut semakin

2
meluas ke punggung dan seluruh tubuh. Dikarenakan pada ruam terdapat rasa kebas-
kebas sehingga pasien datang berobat ke puskesmas terdekat namun setelah diberikan
obat-obatan tidak ada perbaikan sama sekali. Sejak 2 bulan ini pasien semakin sering
merasakan nyeri pada badannya disertai timbulnya ruam kemerahan pada telapak kaki
dan tangan sehingga pasien dirujuk ke RSUD Pandan. Tidak terdapat riwayat anggota
keluarga maupun orang di lingkungan pasien yang memiliki keluhan yang sama.
Riwayat kontak dengan penderita kusta tidak ditemukan.

Dari pemeriksaan fisik ditemukan kesadaran kompos mentis, tekanan darah


120/80 mmHg, nadi 80 kali/menit, laju pernafasan 18 kali/menit, dan suhu 36°C, berat
badan 75 kg dan tinggi badan 172 cm. Konjugtiva palpebral normal. Tidak dijumpai
pembesaran kelenjar getah bening pada leher, hepar dan lien. Pada pemeriksaan status
dermatologis didapatkan plak eritema, multipel, numular sampai dengan plakat,
berbatas tegas di regio fasialis, regio brachii anterior dekstra et sinistra, manus dekstra
et sinistra, regio nucha, regio vertebralis, regio tibialis dekstra et sinistra dan plantar
pedis dekstra. Tidak terdapat madarosis. Tidak terdapat infiltrat pada cuping telinga.

Pada pemeriksaan sensibiltas dan saraf tepi dijumpai penebalan n.ulnaris


dekstra yang disertai nyeri. Pemeriksaan fungsi saraf sensorik menunjukkan adanya
hipoestesi terhadap panas, dingin, sentuhan dan rangsangan nyeri pada ruam dan area
distribusi n.ulnaris dan n.medianus dekstra. Pada pemeriksaan fungsi raba dan kekuatan
otot dalam batas normal.
Diagnosis banding pada pasien ini adalah kusta tipe multibasiler, eritema
nodosum dan tinea korporis. Pada pasien dilakukan pemeriksaan kerokan kulit dengan
KOH 10%. Pada pemeriksaan tersebut tidak ditemukan hifa dan spora.
Pada pasien dilakukan pemeriksaan darah lengkap, biopsi kulit serta kerokan
kulit dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen. Pemeriksaan darah lengkap, kadar glukosa
darah, fungsi hati, dan fungsi ginjal dalam batas normal. Pada pemeriksaan kerokan
kulit dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen, ditemukan BTA 3+.

3
Gambar 1. Pada status dermatologi, dijumpai plak eritema, multipel, numular sampai
dengan plakat, berbatas tegas di regio fasialis, regio brachii anterior dekstra et
sinistra, manus dekstra et sinistra, regio nucha, regio vertebralis, regio tibialis dekstra
et sinistra dan plantar pedis dekstra

4
Hasil pemeriksaan biopsi dari sediaan jaringan kulit dengan pelapis epitel
skuamous yang mengalami hiperkeratosis tipe basket wave atrophy dan pemendekan
rete redges, sel epitel skuamous dengan morfologi dalam batas normal. Subepidermis
terdiri dari jaringan fibrous dan kolagen yang menebal, tampak jaringan saraf perifer
yang diinfiltrasi sel radang limfosit, makrophag dan epiteloid, pembuluh darah dilatasi
dan kongesti. Kesimpulan : leprosy borderline borderline.

Gambar 2. Gambaran histopatologis

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium dan histopatologi,


diagnosis kerja pada pasien ini adalah kusta tipe borderline borderline. Pasien diberikan
terapi MDT MB blister I untuk 28 hari, vitamin B kompleks tablet 1x1, dan pelembab
soft u dermÒ dioleskan 2x sehari setelah mandi. Pasien diedukasi mengenai cara
konsumsi obat MDT, dimana rifampisin 600 mg, dapson 100 mg, dan klofazimin 300
mg dikonsumsi pada hari ke-1, kemudian dapson 100 mg dan klofazimin 50 mg
dikonsumsi pada hari 2-28. Pasien dianjurkan untuk konsumsi makanan bergizi,
istirahat yang cukup, konsumsi obat secara teratur dan kontrol setiap bulan. Pasien

5
diedukasi untuk selalu memeriksa dan melindungi mata, tangan dan kaki dari trauma
dengan cara selalu menggunakan alas kaki.
Pada pasien ini kembali kontrol ke puskesmas terdekat pada tanggal 20 Mei
2022 sehingga pasien mengirimkan fotonya melalui whatsapp. Pasien menyatakan
nyeri sudah menghilang. Pada pemeriksaan dermatologis dijumpai bercak merah yang
menebal sudah mulai berkurang dan menghilang pada seluruh tubuh, tidak dijumpai
ruam baru. Terapi MDT-MB pada pasien ini dilanjutkan. Pasien dianjurkan untuk
datang kontrol tiap bulannya. Prognosis pada pasien ini quo ad vitam bonam, quo ad
functionam, quo ad sanactionam dubia ad bonam.

6
Gambar 3. Pada status dermatologi, dijumpai plak, multipel, numular sampai dengan
plakat, berbatas tegas di regio vertebralis dan regio thorakalis.

7
DISKUSI
Seorang laki-laki, usia 19 tahun, datang ke Divisi Kusta - Departemen Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Pandan dan didiagnosis dengan kusta tipe
borderline borderline. Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae.1,4,5 Kusta dapat ditemukan pada laki-laki dan perempuan.
Beberapa negara melaporkan kusta ditemukan lebih banyak pada laki-laki daripada
perempuan.2 Kusta dapat terjadi pada kedua jenis kelamin, tetapi umumnya lebih
sering terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan.2,13 Kusta dapat terjadi pada
semua usia yaitu bayi sampai usia lanjut dan paling sering terjadi sekitar umur 20
hingga 30 tahun yaitu pada usia muda dan produktif oleh karena risiko terpapar dengan
sumber penularan kusta lebih besar.2,14 Manifestasi klinis kusta dapat bervariasi.
Pasien kusta dapat mengeluhkan lesi kulit (bercak putih atau merah), rasa kebas di
tangan dan / atau kaki, kelemahan di tangan dan / atau kaki, nyeri sendi, kongesti
hidung, epistaksis, fotofobia, serta anastesi di telinga dan wajah. Pada kusta juga dapat
ditemukan penebalan saraf tepi, seperti saraf ulnaris, medianus, peroneus communis,
tibialis posterior.10 Kusta Borderline borderline yang juga disebut kusta dimorfosa
atau intermediet, memiliki ciri-ciri bentuk LL dan TT dan mewakili spektrum penyakit
yang berkesinambungan mulai dari hampir seperti tuberkuloid hingga hampir
lepromatosa.11

Pada pemeriksaan status dermatologis didapatkan plak eritema, multipel,


numular sampai dengan plakat, berbatas tegas di regio fasialis, regio bracii anterior
dekstra et sinistra, manus dekstra et sinistra, regio nucha, regio vertebralis, regio
tibialis dekstra et sinistra dan plantar pedis dekstra. Tidak terdapat madarosis. Tidak
terdapat infiltrat pada kedua cuping telinga. Pada pemeriksaan slit skin smear pada
kedua cuping telinga, diperoleh hasil indeks bakteriologis 3+. Pada pemeriksaan
kerokan kulit dengan KOH 10% tidak ditemukan hifa dan spora. Hasil pemeriksaan
laboratorium tidak dijumpai kelainan dari darah lengkap, kadar glukosa darah, fungsi
hati serta fungsi ginjal. Di tahun 1966, klasifikasi dari Ridley & Jopling (Tabel 2)
dibagi menjadi tuberkuloid (TT), borderline-tuberkuloid (BT), borderline-borderline
(BB), borderline-lepromatous (BL), dan lepromatous (LL). Berdasarkan WHO Expert
Committee on Leprosy di tahun 2010, diagnosis kusta ditegakkan jika ditemukan 1
atau lebih dari 3 tanda kardinal, yaitu: (1) lesi kulit hipopigmentasi atau eritematosa
dengan hilangnya atau gangguan sensasi; (2) keterlibatan saraf perifer yang ditandai

8
dengan penebalan saraf dengan gangguan sensoris; (3) positif BTA pada slit skin
smear.10

Tabel 1. Klasifikasi kusta Ridley-Jopling.1,2

Lesi TT BT BB BL LL
Jumlah Satu (1-3) Beberapa (1-10) Beberapa Banyak, asimetris Jumlahnya tidak
(10-30) (10-30) terhitung, simetris
Ukuran Bervariasi, Bervariasi, beberapa Bervariasi Kecil, beberapa Kecil
biasanya besar besar dapat besar
Permukaan Sangat kering, Kering bersisik, Sedikit bersinar Bersinar Bersinar
bersisik tampak terang dan
infiltratif
Sensasi Tidak dijumpai Berkurang secara Cukup berkurang Sedikit berkurang Berkurang secara
nyata minimal, tidak
berpengaruh
Pertumbuhan Tidak dijumpai Berkurang secara Cukup berkurang Sedikit berkurang Tidak
rambut nyata berpengaruh
secara langsung
BTA Tidak dijumpai Tidak dijumpai atau Jumlahnya sedang Jumlahnya Sangat banyak,
hanya sedikit banyak dijumpai globus
Tes Lepromin Positif kuat (+++) Positif lemah Negatif/ Negatif Negatif
(+/++) positif lemah

9
Tabel 2. Perbedaan Kusta PB dan MB1,2

Karakteristik PB MB

Lesi kulit 1 – 5 lesi Jumlah > 5

Keterlibatan saraf perifer Hanya satu saraf > 1 saraf

Slit skin smear BTA Negatif BTA Positif

Unilateral atau bilateral


Distribusi Bilateral, simetris
asmietris

Permukaan bercak Kering, kasar Halus, mengkilap

Batas bercak Tegas Kurang tegas

Mati rasa pada bercak Jelas Biasanya kurang jelas

Deformitas Proses terjadi lebih cepat Terjadi pada tahap lanjut

Madarosis, hidung pelana,


Ciri-ciri khas - leonine fascies/wajah singa,
ginekomastia pada laki-laki

Dalam menegakkan diagnosis kusta, pemeriksaan histopatologis juga turut


berperan. Pada umumnya tidak terdapat kesulitan dalam menyesuaikan tipe kusta
berdasarkan indeks bakteriologi dengan parameter secara imunologi tetapi hasil
pemeriksaan histopatologis dapat menimbulkan keraguan.10 Antara diagnosis secara
klinis dan secara histopatologis, mungkin hasilnya dapat sebagai tipe yang sama atau
tipe yang berbeda.5 Kesesuaian antara gambaran klinis dengan hasil pemeriksaan
histopatologi telah dilaporkan berkisar antara 80-90%. Sehingga perlu diingat bahwa
diagnosis klinis pasien harus berdasarkan oleh kelainan klinis di seluruh tubuhnya.
Berdasarkan klasifikasi WHO maka pasien termasuk dalam tipe multibasiler dan
berdasarkan klasifikasi Ridley-Jopling, gambaran klinis pasien mengarah pada kusta
tipe borderline borderline dengan pemeriksaan histopatologis yang menyimpulkan
kusta tipe borderline boderline.
Pasien didiagnosis banding dengan eritema nodosum dan tinea korporis.
Pada eritema nodusum leprosum (ENL), bentuk lesi kulitnya berupa nodul dan plak
eritematous yang nyeri dengan onset mendadak. Kebanyakan predileksinya terbatas
10
pada tungkai bawah, lutut dan pergelangan kaki, tetapi tanda-tanda kusta lainnya
tidak dijumpai serta lesi lebih dalam dari ENL.18 Tinea korporis adalah infeksi
dermatofita yang paling umum disebabkan oleh Trichophyton rubrum. Tinea korporis
biasanya ditandai dengan plak eritematosa dengan batas tegas dan skuama yang bisa
berbentuk annular dengan bagian tepi lesi lebih aktif (tanda peradangan) tampak lebih
jelas dari pada bagian tengah (central healing). Diagnosis banding ini disingkirkan
dengan tidak adanya riwayat gatal pada lesi dan tidak ditemukannya hifa dan spora
pada pemeriksaan KOH 10%.19
Pasien diberikan terapi MDT MB blister I untuk 28 hari, vitamin B kompleks
tablet 1x1, dan pelembab soft u dermÒ dioleskan 2x sehari setelah mandi. Pasien
diedukasi mengenai cara konsumsi obat MDT. Pemberian terapi kusta dengan regimen
MDT-MB selama 12 bulan efektif dalam mengeradikasi M. leprae pada kebanyakan
pasien kusta.5 Pada kusta MB, pemberian MDT berupa rifampisin 600 mg, dapson 100
mg, dan klofazimin 300 mg pada hari 1, dilanjutkan dengan dapson 100 mg dan
klofazimin 50 mg pada hari 2-28 selama 12-18 bulan.6 Vitamin B1, B6, dan B12 dapat
diberikan sebagai pengobatan adjuvan. Pasien kusta sering mengalami kekeringan
pada kulit akibat kerusakan saraf otonom.15,20 Pada kasus pasien diberikan pelembab
soft u dermÒ.
Prognosis pada pasien ini quo ad vitam bonam, quo ad functionam dubia ad
bonam, dan quo ad sanationam dubia ad bonam. Prognosis pasien kusta pada
umumnya baik, diagnosis dan pengobatan kusta sedini mungkin dapat mencegah
terjadinya kecacatan atau mencegah bertambahnya kecacatan yang sudah ada
sebelumnya, serta memutuskan rantai penularan, walaupun pada beberapa kasus kusta
bisa terjadi relaps namun kasus ini jarang terjadi.1,5 Meskipun beberapa obat anti kusta
menyebabkan efek samping, seperti klofazimin yang menyebabkan hiperpigmentasi
pada kulit atau dapson yang menyebabkan anemia, namun hanyalah bersifat sementara
dan akan menghilang jika pengobatan selesai.1,2

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Scollard DM, Adams LB, Gillis TP, Krahenbuhl JL, Truman RW, Williams DL.
The continuing challenges of leprosy. Clin Microbiol Rev. 2006 Apr. 19(2):338-
81. [QxMD MEDLINE Link]. [Full Text].
2. Kementerian Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan. Pedoman Program Pengendalian Penyakit Kusta.
Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan;
2014.
3. World Health Organization. Global leprosy: update on the 2012 situation. Weekly
Epidemiological Record (WER). 2013; 88 (35): 365-380.
4. Thorat DM, Sharma P. Epidemiology. Dalam: Kar HK, Kumar B, editor. IAL
Textbook of Leprosy. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd.;
2010: 24-31.
5. Lastoria J.C. Leprosy: review of the epidemiological, clinical, and ethiopathogenic
aspects-Part 1. Anais Brasileinos de Dermatologia. 2014; 89(2):205-18
6. Pinheiro R.O., Salles J.de.S., Sarno E.N., Sampaio E. Mycobacterium leprae- host
cell interactions and genetic determinants in leprosy: an overview. Future
Microbiol. 2011 Februari; 6(2): 217-230
7. Rodrigues LC, Lockwood NJ. Leprosy now: epidemiology, progress, challenge,
and research gap. Lancet Infect Dis.2011;(11):464-70.
8. James WD, Berger TG, Elston DM, dan Neuhaus IM. Andrew’s Disease of the
skin. Ed 12. Philadelpia : Elsevier; 2016. p. 331-342.
9. Lasto ́ ria JC, Abreu MA. Leprosy: Review of the epidemiological, clinical, and
etiopathogenic aspects – part 1. An Bras Dermatol 2014; 89: 205–218.
10. Eichelmann K, Gonza ́ lez SE, Salas-Alanis JC, Ocampo-Candiani J. Leprosy. An
update: Definition, pathogenesis, classification, diagnosis and treatment. Actas
Dermosifiliogr 2013; 104: 554–563.
11. Lasto ́ ria JC, Abreu MA. Leprosy: Review of the epidemiological, clinical, and
etiopathogenic aspects – part 2. An Bras Dermatol 2014; 89: 389–401.
12. Walker SL, Lockwood DN. Leprosy. Clin Dermatol. 2007 Mar-Apr. 25(2):165-
72. [QxMD MEDLINE Link].
13. WHO. Guidelines for the Diagnosis, Treatment and Prevention of Leprosy.
WHO.Availableat https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/274127/9789

12
290226383eng.pdf?ua=1#:~:text=For%20rifampicin%2Dresistant%20leprosy%2
C%20the,for%20an%20additional%2018%20months..2018; Accessed: June 4,
2020.
14. Thorat DM, Sharma P. Epidemiology. In:Kar KH, Kumar B, editor. IAL Textbook
of Leprosy. 2nd ed. London: Churchil Livingstone.2017:57-76
15. Bhat RM, Prakash C. Leprosy: An Overview of Pathophysiology. Hindawi
Publishing Corporation. 2012:1-6.
16. Mastrangelo G, Marcer G, Cegolon L. How to prevent immunological reactions in
leprosy patients and interrupt transmission of Mycobacterium leprae to healthy
subjects: Two hypotheses. Medical Hypotheses.2008:551-63
17. Ustianowski AP, Lockwood DN. Leprosy: current diagnostic and treatment
approaches. Curr Opin Infect Dis. 2003 Oct. 16(5):421-7. [QxMD MEDLINE
Link].
18. Cuevas J, Rodríguez-Peralto JL, Carrillo R, Contreras F. Erythema nodosum
leprosum: Reactional leprosy. Semin Cutan Med Surg. 2007;26:126–
30.[PubMed] [Google Scholar]
19. Siswati AS dan Ervianti E. Tinea Korporis dan Tinea Kruris. Dalam: Bramono K,
Suyoso S, Indriatmi W, Ramali LM, Widaty S dan Ervianti E. (eds.)
Dermatomikosis Superfisialis. Edisi 2. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2013. p. 58-
69.
20. de Lima Fonseca A B, do Vale S. The influence of innate and adaptative immune
responses on the differential clinical outcomes of leprosy. Infectious Disease of
Poverty. 2017;6(5):1-8

13

Anda mungkin juga menyukai