Anda di halaman 1dari 13

Rencana dibacakan

Hari/Tanggal : Senin, 19 Juli 2021


Pukul : 08.00 WIB

Laporan Kasus

Kusta Tipe Borderline Tuberculoid


dengan Reaksi Kusta Tipe 1

Pembimbing :
Dr. dr. Ramona Dumasari Lubis, Sp.KK(K), M.Ked(KK),
FINSDV, FAADV

Penyaji :
dr. Boy Ardi Rohanda

DIVISI KUSTA
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS
DEPARTEMEN DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2021
Kusta Tipe Borderline Tuberculoid dengan Reaksi Kusta Tipe 1

Pendahuluan
Kusta merupakan infeksi kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium
leprae (M. leprae) yang biasanya menyerang kulit dan saraf perifer.1,2 M. leprae
awalnya akan menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem
retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan testis.2 Terdapat beberapa faktor risiko
untuk menderita kusta, yaitu tinggal di area endemis, kemiskinan, kerentanan
genetik, paparan lingkungan dan kondisi imunosupresi yang disebabkan oleh
penyakit tertentu.3,4,5
Berdasarkan prevalensi yang terdaftar melalui World Health Organization
(WHO) pada 31 Desember 2015, terdapat sebanyak 176.176 pasien dari 138 negara
yang menjalani pengobatan kusta. Insiden tertinggi dijumpai di India sebanyak
127.326 kasus (60%), Brazil 26.395 kasus (13%) dan Indonesia 17.202 kasus (8%),
diikuti oleh Republik Demokratik Kongo, Ethiopia, Madagaskar, Mozambik,
Nigeria, Tanzania, Bangladesh, Myanmar, Nepal, Sri Lanka dan Filipina.6
Penegakan diagnosis penyakit kusta paling sedikit harus ditemukan satu
tanda-tanda kardinal yaitu adanya bercak kulit yang mati rasa, penebalan saraf tepi
dan ditemukan bakteri tahan asam (BTA).7,8
Berdasarkan Ridley Jopling kusta dibagi atas I (Indeterminate), TT
(Tuberculoid-Tuberculoid), BT (Borderline-Tuberculoid), BB (Borderline-
Borderline), BL (Borderline-Lepromatous) dan LL (Lepromatous Leprosy).
Berdasarkan Klasifikasi WHO, kusta diklasifikasikan menjadi pausibasiler (PB)
dan multibasiler (MB).8,9 Kategori PB terdiri dari pasien kusta tipe TT dan BT.
Kategori MB terdiri dari pasien BB, BL dan LL.3,10
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan yang
sangat kronis. Penyebab pasti terjadinya reaksi masih belum jelas. Reaksi kusta
merupakan reaksi hipersensitivitas, yaitu reaksi tipe 1/reaksi reversal dan reaksi tipe
2/eritema nodosum leprosum (ENL). Reaksi kusta tipe 1 disebabkan oleh
hipersensitivitas seluler, sedangkan reaksi kusta tipe 2 disebabkan oleh
hipersensitivitas humoral. Reaksi kusta dapat terjadi sebelum pengobatan, tetapi
terutama terjadi selama atau setelah pengobatan.8,11,12

1
Laporan Kasus
Seorang laki-laki, usia 16 tahun, pelajar SMA, datang ke Poli Kulit dan
Kelamin RS Pirngadi Medan dengan keluhan utama bercak merah yang mati rasa
di wajah, batang tubuh dan kedua kaki sejak 8 tahun yang lalu. Pertama kali muncul
bercak putih tahun 2013 (kelas 4 SD) di sekitar perut bagian kiri seukuran uang
logam. Empat tahun kemudian, tahun 2017 (kelas 2 SMP) bercak putih di perut
meluas dan sebagian kulit memerah, disertai muncul bercak merah yang baru di
lengan kiri atas seukuran kepalan tangan. Dua tahun kemudian, tahun 2019 (kelas
1 SMA) muncul bercak merah yang baru di paha kiri sebesar uang logam dan
semakin meluas.
Sekitar akhir Februari 2021, pasien mengalami demam dengan suhu 41C,
berobat ke klinik kemudian dilakukan pemeriksaan laboratorium dan didiagnosis
tifoid. Pasien berobat jalan dan diberikan obat yang tidak diingat namanya. Hari
kedua demam muncul bercak merah di lengan bagian bawah kanan dan kiri, kulit
terasa panas. Seminggu kemudian muncul bercak merah yang baru diwajah dan
kaki. Akibat bercak merah semakin banyak pasien berobat ke klinik dan didiagnosis
alergi, diberikan obat minum dan salep yang tidak diingat namanya, obat
dikonsumsi selama 3 hari, namun tetap tidak ada perbaikan. Orang tua pasien
mencoba membeli obat sendiri di apotik yang tidak diketahui apa nama obatnya,
dikonsumsi selama 2 minggu tidak ada perbaikan, sehingga memutuskan berobat
ke rumah sakit. Terdapat riwayat kontak kusta, paman pasien memiliki keluhan
yang sama dan tinggal bersebelahan rumah.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, kesadaran compos
mentis, status gizi baik, berat badan 70 kg, tinggi badan 165 cm, tekanan darah
120/80 mmHg, frekuensi nadi 80 kali/menit, frekuensi pernafasan 20 kali/menit,
suhu tubuh 36,5oC. Pada pemeriksaan dermatologis ditemukan plak eritematosa,
multipel, ukuran lentikular hingga plakat, diskret pada regio fasialis, trunkus,
femoralis dekstra et sinistra dan tibialis dekstra et sinistra (Gambar 1). Pemeriksaan
sensoris dijumpai anestesi pada lesi. Pemeriksaan motorik saraf ulnaris, medianus,
radialis, peronius comunis normal. Tidak ditemukan pembesaran saraf.
Pemeriksaan slit skin smear menunjukan hasil BTA +2. Pada pemeriksaan
laboratorium hemoglobin 13,3g/dL, hematokrit 39,60%, leukosit 4.820/L,

2
trombosit 239.000/L, SGOT 22 U/L, SGPT 20 U/L, gula darah sewaktu 140
mg/dL, ureum 25,40 mg/dL dan kreatinin 0,95 mg/dL.
Kemudian dilakukan punch biopsy untuk melihat gambaran histopatologis.
Pada makroskopis diterima beberapa potong jaringan dari kulit, warna keabuan,
konsistensi kenyal, bentuk tidak rata, ukuran jaringan 0,5 x 0,2 x 0,2 cm. Pada
gambaran mikroskopis didapatkan sediaan jaringan dari kulit dengan pelapis epitel
skuamosa yang mengalami atrofi dan rete ridge memendek. Pada stroma tampak
granuloma yang membentuk struktur bervariasi, tampak sel epiteloid yang
dominan, makrofag dan giant cell. Stroma terdiri dari jaringan ikat fibrokolagen
dengan sebaran sel-sel radang limfosit. Kesimpulan : kusta tipe borderline
tuberculoid (Gambar 2).

A B C

D E

Gambar 1. Kunjungan pertama. Tampak gambaran plak eritematosa, multipel,


ukuran lentikular hingga plakat, diskret pada regio fasialis (A), trunkus (B dan C),
femoralis dekstra et sinistra dan tibialis dekstra et sinistra (D dan E).

3
A B

Gambar 2. A dan B (HE 40x, HE 100x). Pemeriksaan mikroskopis tampak pelapis


epitel skuamosa yang mengalami atrofi dan rete ridge memendek. Pada stroma
tampak granuloma yang membentuk struktur bervariasi, tampak sel epiteloid yang
dominan, makrofag dan giant cell (kotak merah). Stroma terdiri dari jaringan ikat
fibrokolagen dengan sebaran sel-sel radang limfosit (lingkaran hitam).

Pasien didiagnosis banding dengan kusta tipe BT dengan reaksi kusta tipe
1, tinea korporis dan psoriasis vulgaris. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan hasil pemeriksaan penunjang pasien didiagnosis dengan kusta tipe BT dengan
reaksi kusta tipe 1. Pasien diberikan Multi Drug Therapy – Multibacillary (MDT-
MB) selama 12-18 bulan, prednison 40 mg perhari dan dilakukan tappering off
setiap 2 minggu. Pasien diedukasi mengenai perjalanan penyakitnya, cara
penularan, cara konsumsi obat dan dianjurkan untuk kontrol setiap 2 minggu.
Kontrol pertama, 2 minggu setelah kunjungan pertama, pasien masih
mengeluhkan bercak merah yang mati rasa di wajah, batang tubuh dan kedua kaki.
Pada pemeriksaan dermatologis ditemukan plak eritematosa, multipel, ukuran
lentikular hingga plakat, diskret pada regio fasialis, trunkus, femoralis dekstra et
sinistra dan tibialis dekstra et sinistra (Gambar 3). Pasien diberikan MDT-MB dan
prednison 30 mg perhari. Pasien dianjurkan kontrol kembali 2 minggu lagi.
Kontrol kedua, 2 minggu setelah kontrol pertama, pasien masih
mengeluhkan bercak merah yang mati rasa di wajah, batang tubuh dan kedua kaki,
namun sudah sedikit berkurang. Pada pemeriksaan dermatologis ditemukan plak
eritematosa, multipel, ukuran lentikular hingga plakat, diskret pada regio fasialis,
trunkus, femoralis dekstra et sinistra dan tibialis dekstra et sinistra (Gambar 4).
Pasien diberikan MDT-MB dan prednison 20 mg perhari. Pasien dianjurkan kontrol
kembali 2 minggu lagi.

4
A B C

D E

Gambar 3. Kontrol pertama. Tampak gambaran plak eritematosa, multipel, ukuran


lentikular hingga plakat, diskret pada regio fasialis (A), trunkus (B dan C),
femoralis dekstra et sinistra dan tibialis dekstra et sinistra (D dan E).

A B C

D E

Gambar 4. Kontrol kedua. Tampak gambaran plak eritematosa, multipel, ukuran


lentikular hingga plakat, diskret pada regio fasialis (A), trunkus (B dan C),
femoralis dekstra et sinistra dan tibialis dekstra et sinistra (D dan E).

5
Kontrol ketiga, 2 minggu setelah kontrol kedua, pasien masih mengeluhkan
bercak merah yang mati rasa pada daerah punggung sudah mulai berkurang. Pada
pemeriksaan dermatologis ditemukan plak eritematosa, multipel, ukuran lentikular
hingga plakat, diskret pada regio fasialis, trunkus, femoralis dekstra et sinistra dan
tibialis dekstra et sinistra (Gambar 5). Pasien diberikan MDT-MB dan prednison 15
mg perhari. Pasien dianjurkan kontrol kembali 2 minggu lagi.

A B C

D E

Gambar 5. Kontrol ketiga. Tampak gambaran plak eritematosa, multipel, ukuran


lentikular hingga plakat, diskret pada regio fasialis (A), trunkus (B dan C),
femoralis dekstra et sinistra dan tibialis dekstra et sinistra (D dan E).

Kontrol keempat, 2 minggu setelah kontrol ketiga, pasien masih


mengeluhkan bercak merah yang mati rasa pada daerah punggung dan paha sudah
mulai berkurang. Pada pemeriksaan dermatologis ditemukan plak eritematosa,
multipel, ukuran lentikular hingga plakat, diskret pada regio fasialis, trunkus,
femoralis dekstra et sinistra dan tibialis dekstra et sinistra (Gambar 6). Pasien
diberikan MDT-MB dan prednison 10 mg perhari. Pasien dianjurkan kontrol
kembali 2 minggu lagi.

6
A B C

D E

Gambar 6. Kontrol keempat. Tampak gambaran plak eritematosa, multipel, ukuran


lentikular hingga plakat, diskret pada regio fasialis (A), trunkus (B dan C),
femoralis dekstra et sinistra dan tibialis dekstra et sinistra (D dan E).

Prognosis pada pasien ini quo ad vitam bonam, quo ad functionam bonam,
quo ad sanactionam dubia ad bonam.

Diskusi
Seorang laki-laki, usia 16 tahun, pelajar SMA, dating ke Poli Kulit dan
Kelamin RS Pirngadi Medan dengan keluhan bercak merah yang mati rasa di wajah,
batang tubuh dan kedua kaki sejak 8 tahun yang lalu. Pasien memiliki riwayat
kontak dengan pasien kusta yaitu paman pasien memiliki keluhan yang sama dan
tinggal bersebelahan rumah. Kusta yang terjadi dalam keluarga merupakan fakta
yang sudah dapat dipastikan karena penyebaran kusta didominasi melalui droplet
hidung dan kontak erat antar anggota keluarga yang tinggal di lingkungan yang
sama, yang memungkinkan untuk penyebaran kusta, terutama jika salah satu
anggotanya menderita kusta tipe borderline lepromatous (BL) atau tipe
lepromatous leprosy (LL) maupun pada pasien dengan BTA positif. Kusta yang
terjadi dalam keluarga merupakan masalah epidemiologis dan sosial yang serius.

7
Pada anak-anak yang terkena dalam keluarga yang mengalami kusta dapat menjadi
sumber infeksi bagi anak-anak lain di sekolah mereka.13
Pada pemeriksaan dermatologis ditemukan plak eritematosa, multipel,
ukuran lentikular hingga plakat, diskret pada regio fasialis, trunkus, femoralis
dekstra et sinistra dan tibialis dekstra et sinistra. Pemeriksaan sensoris dijumpai
anestesi pada lesi. Pemeriksaan slit skin smear menunjukan hasil BTA +2. Lesi kulit
pada pasien kusta secara umum menunjukan gambaran makula hipopigmentasi atau
eritematosa, papula sewarna kulit atau eritematosa dan dapat juga berupa plak atau
nodul. Pada daerah lesi juga ditemukan hipoestesia ataupun anestesia. Pada
pemeriksaan slit skin smear dapat dijumpai BTA yang positif.13,14,15
Pada pemeriksaan histopatologi dijumpai gambaran berupa sediaan jaringan
dari kulit dengan pelapis epitel skuamosa yang mengalami atrofi dan rete ridge
memendek. Pada stroma tampak granuloma yang membentuk struktur bervariasi,
tampak sel epiteloid yang dominan, makrofag dan giant cell. Stroma terdiri dari
jaringan ikat fibrokolagen dengan sebaran sel-sel radang limfosit. Kesimpulan :
kusta tipe borderline tuberculoid. Lesi borderline tuberculoid menunjukkan
granuloma sel epiteloid dengan beberapa campuran makrofag dan limfosit. Jumlah
sel limfosit sedang dan giant cell yang cukup banyak tersebar di antaranya (Gambar
7).16

Gambar 7. Granuloma pada kusta tipe BT yang khas. Menunjukkan sel-sel


epiteloid (E) dan limfosit (L) yang tersebar. Sebuah giant cells (GC) berkembang
menjadi tipe Langhans (HE 400x).

8
Perbedaan karakteristik histopatologi kusta pada masing-masing tipe kusta
akan diterangkan pada tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik histopatologi pada berbagai tipe kusta16

Pasien didiagnosis banding dengan kusta tipe BT dengan reaksi kusta tipe
1, tinea korporis dan psoriasis vulgaris. Tinea korporis merupakan infeksi jamur
golongan dermatofita yang terdapat di daerah kulit tidak berambut (glabrosa)
kecuali telapak tangan, telapak kaki dan inguinal. Gambaran klinis tinea korporis
berupa lesi anular dan biasanya serpiginosa (ringworm like) dengan skuama pada
seluruh tepi yang eritematosa dan sering didapatkan vesikel. Lesi meluas secara
sentrifugal, pada bagian tengah lesi kadang-kadang dijumpai skuama, tetapi
biasanya juga bersih tanpa lesi (central clearing).17
Sedangkan psoriasis vulgaris merupakan penyakit inflamasi kronik pada
kulit yang dikarakteristikkan dengan inflamasi kulit, hiperplasia epidermis dan
peningkatan risiko artritis yang nyeri dan destruktif serta morbiditas
kardikovaskular dan tantangan psikososial. Lesi klasik psoriasis vulgaris berupa
plak eritematosa berbatas tegas dengan permukaan dengan skuama putih tebal yang
ukurannya bervariasi dan penyebaran simetris terutama di area ekstensor.18

9
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
pasien didiagnosis dengan kusta tipe BT dengan reaksi kusta tipe 1. Reaksi kusta
tipe 1 biasanya terlihat pada pasien dengan respon imunologi yang tidak stabil.19
Reaksi kusta tipe 1 banyak ditemukan pada pasien dengan borderline lepromatous,
borderline borderline dan borderline tuberculoid.8,20 Reaksi kusta tipe 1
mempunyai onset cepat, sering berulang dan dapat merusak saraf.21 Reaksi kusta
tipe 1 meningkatkan respon imunitas cell-mediated terhadap M. lepra dan biasanya
selama atau setelah pengobatan. Namun, reaksi kusta dapat terjadi sebelum
pengobatan. Inflamasi pada jaringan saraf dapat mengakibatkan kerusakan dan
kecacatan. Penyebab pasti terjadinya reaksi masih belum jelas. Diperkirakan
sejumlah faktor pencetus memegang peranan penting.8,15,22
Pasien diberikan MDT-MB selama 12-18 bulan, prednison 40 mg perhari
dan dilakukan tappering off setiap 2 minggu. MDT masih merupakan tatalaksana
standar emas dari kusta dan bertanggung jawab terhadap penurunan prevalensi
kusta. MDT-MB terdiri dari rifampisin 600 mg per bulan, klofazimin 300 mg setiap
awal bulan dan dilanjutkan dengan 50 mg per hari, serta dapsone 100 mg per
hari.3,21 Pengobatan untuk mengatasi reaksi kusta ringan dapat diberikan analgetik
dan sedatif bila perlu. Sedangkan, pada reaksi kusta berat dapat diobati dengan
kortikosteroid oral. Kortikosteroid oral yang diberikan berupa prednisone dengan
dosis awal dapat diberikan 40-60 mg/hari dan kemudian dilakukan tappering off
secara perlahan setiap 2 minggu sesuai dengan respon klinis.8,21

10
Daftar Pustaka

1. Lockwood DNJ. Leprosy. In: Griffiths CEM, Barker J, Bleiker T, Chalmers


R, Creamer D (eds.) Rook’s Textbook of Dermatology. Edisi 9. UK: John
Wiley & Sons; 2016. p. 281-17.
2. Bryceson A, Pfaltzgraff RE. Leprosy. Edisi 3. New York: Churchill
Livingstone; 1990. p. 115-26.
3. Lee DJ, Rea TH, Modlin RL. Leprosy. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest
BA, Paller AS, Leffell DJ, dan Wolff K. (eds.) Fitzpatrick’s Dermatology In
General Medicine. Edisi 8. United States: McGraw-Hill; 2012. p. 2253-62.
4. Bhat RM, Prakash C. Leprosy: An Overview of Pathophysiology. Hindawi
Publishing Corporation. 2012:1-6.
5. Penna GO, Penna ML. Leprosy. In: Kellerman RD, Bope ET (eds). Conn’s
Current Therapy. Philadelphia: Elsevier; 2018. p. 558-63.
6. Fischer M. Leprosy - an overview of clinical features, diagnosis, and
treatment. J Dtsch Dermatol Ges. 2017;15(8):801-27.
7. Widaty S, et al. (eds) Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Spesialis Kulit dan
Kelamin di Indonesia. Jakarta: PERDOSKI; 2017. p. 80-94.
8. Kementrian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit
Kusta. 2014. p. 1-169.
9. Ramaswari NPAY. Masalah reaksi reversal dan eritema nodosum leprosum
pada penyakit kusta. CDK-232. 2105;42(9):654-7.
10. Morato-Conceicao YT, Alves-Junior ER, Arruda TA, Lopes JC, Fontes CJF.
Serum uric acid levels during leprosy reaction episodes. PeerJ. 2016:1-15.
11. Martodiharjo S, Susanto RSD. Reaksi kusta dan penanganannya. In: Sjamsoe-
Daili ES, Menaldi SL, Ismiarto SP, Nilasari H (eds). Kusta. Edisi 2. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 2003. p. 75-82.
12. Spierings E, Boer TD, Zulianello L, Ottenhoff TH. Novel mechanism in the
immunopathogenesis of leprosy nerve damage: The role of Schwann cells, T
cells and mycobacterium leprae. Immnunology and Cell Bilogy. 2000;78:
349-55.
13. Palit A, Ragunatha S, Inamadar AC. History taking and examination. In:
Bhusan K, Hemanta KK (eds). IAL texbook leprosy. Edisi 2. New Delhi:
Indian Association Of Leprologists; 2016. p. 207-35.
14. Nunzi E, Massone C, Noto S. Clinical features. In: Nunzi E dan Massone C
(eds). Leprosy A Practical Guide. Italia: Springer-Verlag; 2012. p. 75-110.
15. James WD, Berger TG, Elston DM, Neuhaus IM. Andrew’s Disease of the
skin. Edisi 12. Philadelpia: Elsevier; 2016. p. 331-42.
16. Porichha D, Natrajan M. Pathological aspects of leprosy. In: Bhusan K,
Hemanta KK (eds). IAL texbook leprosy. Edisi 2. New Delhi: Indian
Association Of Leprologists; 2016. p. 132-51.
17. Siswati AS, Ervianti E. Tinea Korporis dan Tinea Kruris. In: Bramono K,
Suyoso S, Indriatmi W, Ramali LM, Widaty S, Ervianti E (eds).
Dermatomikosis Superfisialis. Edisi 2. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2013.
p. 58-69.

11
18. Gudjonsson JE, Elder JT. Psoriasis. In: Kang S, Amagai M, Bruckner AL,
Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ, Orringer JS, editors. Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine. 9th ed. New York: McGraw Hill
Companies; 2019. p. 457-94.
19. Khardenavis S, Deshpande A. Borderline tuberculoid leprosy with type
1/reversal reaction. BMJ Case Rep. 2014.
20. Pinheiro RO, Salles JS, Sarno EN, Sampaio E. Mycobacterium leprae-host
cell interactions and genetic determinants in leprosy: an overview. Future
Microbiol. 2011;6(2):217-30.
21. Vionni, Arifputra J, Arifputra Y. Reaksi kusta. CKD-242. 2016;43(7):501-4.
22. Kumar KH, Chauhan A. Leprosy reaction: pathogenesis and clinical feature.
In: Bhusan K, Hemanta KK (eds). Indian Association of Leprologists
Textbook of Leprosy. Edisi 2. New Delhi: Indian Association Of
Leprologists; 2016. p. 416-35.

12

Anda mungkin juga menyukai