Anda di halaman 1dari 10

Rencana Baca

Hari/Tanggal :
Pukul :

Laporan Kasus

REAKSI KUSTA TIPE 2 PADA


RELEASE FROM TREATMENT KUSTA MULTIBASILER

Pembimbing : Dr. dr. Ramona Dumasari Lubis, Sp.KK(K), M.Ked(KK), FINSDV


Penyaji : dr. Sweet Caroline Marpaung

DIVISI KUSTA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2021
REAKSI KUSTA TIPE 2 PADA PENDERITA KUSTA
RELEASE FROM TREATMENT KUSTA MULTIBASILER

PENDAHULUAN
Kusta merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae, yang
menyerang saraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya kecuali susunan saraf pusat. Penyakit
ini dapat menimbulkan hilangnya sensasi, kelemahan otot dan paralisis.1,2 Mycobacterium
leprae pertama-tama menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikulo
endotelial, mata, otot, tulang dan testis.1,3 Tidak ada penyakit infeksi lain selain penyakit kusta
yang dapat menandingi keanekaragaman gambaran klinik baik dari lesi kulit maupun lesi saraf
sehingga penyakit kusta disebut “The Greatest Imitator”.4
Kasus kusta di dunia menunjukkan prevalensi sebesar 2,9 per 10.000 populasi, dimana
di Indonesia pada tahun 2015 adalah sebesar 0,79 per 10.000 populasi. Berdasarkan laporan
WHO pada tahun 2016, kasus baru kusta terus ditemukan, dengan Indonesia berada di urutan
ketiga setelah India dan Brazil.5
Diagnosis penyakit kusta ditegakkan berdasarkan penemuan dari tanda-tanda kardinal
yaitu adanya bercak kulit yang mati rasa, penebalan saraf tepi serta ditemukannya kuman tahan
asam (BTA positif) pada kerokan kulit. Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling
sedikit harus ditemukan satu tanda kardinal diatas. Bila kuman belum ditemukan atau tidak
tersedia sarana pemeriksaan apusan kulit, maka kita hanya dapat mengatakan tersangka kusta
dan pasien perlu diamati dan diperiksa ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta dapat
ditegakkan atau disingkirkan.3,6
Berdasarkan Klasifikasi WHO, kusta diklasifikasikan menjadi pausibasiler (PB) dan
multibasiler (MB).6,7 Sedangkan berdasarkan Ridley Jopling kusta dibagi atas I
(Indeterminate), TT (Tuberculoid-Tuberculoid), BT (Borderline-Tuberculoid), BB
(Borderline-Borderline), BL (Borderline-Lepromatous) dan LL (Lepromatous Leprosy).
Kategori PB terdiri dari pasien kusta tipe I, TT dan sebagian BT. Kategori MB sama-sama
heterogen dan terdiri dari pasien BT, BB, BL dan LL.8,9
Reaksi kusta merupakan episode inflamasi akut yang menyebabkan eksaserbasi respon
imun pejamu, yang dapat terjadi selama perjalanan penyakit.10 Reaksi kusta dapat terjadi
sebelum pengobatan, tetapi terutama terjadi selama atau setelah pengobatan.6,10 Dua reaksi
utama yang terjadi pada penderita kusta, yaitu reaksi tipe 1 atau reaksi reversal dan reaksi tipe
2 atau eritema nodosum leprosum (ENL).5,6 Penyebab terjadinya reaksi masih belum jelas.6
Sekitar 30-50% pasien kusta pernah mengalami terjadinya reaksi kusta.10,11
1
LAPORAN KASUS
Seorang laki-laki, usia 29 tahun, wiraswasta, dikonsulkan ke Departemen Kulit dan Kelamin
RS USU dengan keluhan utama benjolan kemerahan pada kedua lengan dan tungkai yang
disertai rasa nyeri sejak 2 minggu ini. Awalnya muncul benjolan kecil kemerahan dan nyeri di
lengan yang lama kelamaan semakin bertambah banyak dan disertai demam dan pegal-pegal.
Dua tahun lalu pasien sudah pernah didiagnosa kusta dan telah mendapatkan regimen terapi
MDT-MB dan telah dinyatakan release from treatment (RFT) sejak setahun lalu. Namun,
karena benjolan merah mulai semakin banyak pasien berobat ke klinik dan didiagnosis alergi.
Kemudian diberikan obat minum dan salep yang tidak diingat namanya, obat dikonsumsi
selama 3 hari tetap tidak ada perbaikan, sehingga pasien memutuskan berobat ke rumah sakit.
Riwayat kontak dengan pasien kusta disangkal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, kesadaran kompos mentis,
tekanan darah 120/80 mmHg, frekuensi nadi 80 kali/menit, frekuensi pernafasan 18 kali/menit,
suhu tubuh 36,8oC, dan status gizi sedang (berat badan 48 kg dan tinggi badan 165 cm). Pada
pemeriksaan dermatologis ditemukan nodul eritematosa multipel pada regio antebrachii
dekstra et sinistra dan regio cruris bilateral (Gambar. 1). Pemeriksaan sensoris dijumpai nyeri
pada lesi. Pemeriksaan motorik saraf ulnaris, medianus, radialis, peronius comunis normal.
Tidak ditemukan pembesaran saraf. Pemeriksaan slit skin smear menunjukan hasil negatif.

A B C D

Gambar 1. A-D. Tampak gambaran nodul eritematosa multipel pada regio antebrachii dekstra
et sinistra dan regio cruris bilateral.

Pasien didiagnosis banding dengan reaksi kusta tipe 2 pada RFT kusta multibasiler,
eritema nodosum, dan vaskulitis noduler. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan hasil
pemeriksaan penunjang pasien didiagnosis dengan reaksi kusta tipe 2 pada RFT kusta
multibasiler. Pasien diberikan prednison 40 mg perhari dan dilakukan tappering off setiap 2

2
minggu. Pasien juga diedukasi mengenai perjalanan penyakitnya, cara penularan, cara
konsumsi obat dan pasien dianjurkan kontrol setiap 2 minggu.
Kontrol ulang pertama, 2 minggu setelah kunjungan pertama, benjolan kemerahan pada
kedua lengan dan tungkai yang disertai rasa nyeri mulai berkurang. Pada pemeriksaan
dermatologis ditemukan nodul eritematosa multipel pada regio antebrachii dekstra et sinistra
dan regio cruris bilateral (Gambar. 2). Pasien diberikan prednison 30 mg perhari dan dilakukan
tappering off setiap 2 minggu. Pasien juga diedukasi mengenai perjalanan penyakitnya, cara
penularan, cara konsumsi obat dan pasien dianjurkan kontrol setiap 2 minggu.

A B C

Gambar 2. A-C. Tampak gambaran nodul eritematosa multipel pada regio antebrachii dekstra
et sinistra dan regio cruris bilateral.

Prognosis pada pasien ini quo ad vitam bonam, quo ad functionam bonam, quo ad
sanactionam dubia ad bonam.

DISKUSI
Diagnosis pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
dermatologis serta pemeriksaan penunjang.
Seorang laki-laki, usia 29 tahun, datang dengan keluhan utama benjolan kemerahan
pada kedua lengan dan tungkai yang disertai rasa nyeri sejak 2 minggu ini. Dua tahun lalu
pasien sudah pernah didiagnosa kusta dan telah mendapatkan regimen terapi MDT-MB dan
telah dinyatakan RFT sejak setahun lalu. Pada pemeriksaan dermatologis ditemukan nodul
eritematosa multipel pada regio antebrachii dekstra et sinistra dan regio cruris bilateral.
Pemeriksaan sensoris dijumpai nyeri pada lesi. Pemeriksaan motorik saraf ulnaris, medianus,
radialis, peronius comunis normal. Tidak ditemukan pembesaran saraf. Pemeriksaan slit skin
smear menunjukan hasil negatif.

3
Keadaan reaksi kusta adalah proses inflamasi yang khas, destruktif jaringan, yang
terjadi akibat proses imunologis. Reaksi kusta dapat meningkatkan morbiditas penyakit oleh
karena itu dibutuhkan pengalaman untuk perawatan pasien yang optimal. Pada saat terjadinya
reaksi akan tampak gambaran klinis yang khas. Keadaan reaksi kusta sering diabaikan karena
dianggap sebagai komplikasi pengobatan.8
Gambaran klinis yang biasanya tampak pada reaksi kusta berupa adanya
pembengkakan, kemerahan dan teraba lunak pada lesi kulit. Bengkak, nyeri, dan teraba lunak
pada saraf dan sering disertai hilangnya fungsi saraf juga dapat dijumpai pada reaksi kusta.2
Reaksi tipe 2 sering timbul dengan gejala menjadi lebih eritema, mengkilap, sebagian kecil
berupa nodul atau plakat, dengan ukuran bermacam-macam, namun pada umumnya kecil
dengan predileksi di tangan dan tungkai. Selain itu, dapat disertai nyeri, pustul, dan ulserasi
disertai gejala konstitusi dari ringan sampai berat.6,12,13
Pasien didiagnosis banding dengan reaksi kusta tipe 2 pada RFT kusta multibasiler,
eritema nodosum, dan vaskulitis noduler. Salah satu diagnosis banding dari pasien ini adalah
eritema nodosum. Eritema nodosum adalah prototipe septum panikulitis. Gambaran eritema
nodosum berupa nodul dan plak eritematosa yang lunak dan simetris terutama dijumpai pada
bagian anterior ekstremitas bawah (Gambar. 3). Onset akut dan tidak ada ulserasi atau jaringan
parut. Eritema nodosum biasanya disertai dengan demam, kelelahan, artralgia, artritis dan sakit
kepala. Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita.14

Gambar 3. Eritema nodosum. Nodul eritematosa dengan lokasi utama pada bagian anterior
ekstremitas bawah.

4
Kemudian, vaskulitis noduler juga dipikirkan sebagai salah satu diagnosis banding.
Vaskulitis nodular juga merupakan diagnosis yang sering dijumpai dari panikulitis dengan
vaskulitis. Gambaran klinis vaskulitis nodular berupa nodul subkutan eritematosa dan plak di
tungkai bawah, umum pada betis, tetapi dapat juga dijumpai pada kali bagian tungkai
anterolateral, kaki dan. Gambaran dapat dijumpai pada tangan dan wajah, namun jarang.
Vaskulitis nodular berhubungan dengan insufisiensi vena dan lebih sering pada wanita paruh
baya. Seringkali, timbul ulserasi dan jaringan parut.14
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan hasil pemeriksaan penunjang pasien
didiagnosis dengan reaksi kusta tipe 2 pada RFT kusta multibasiler. Kusta merupakan penyakit
infeksi kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae, umumnya menyerang kulit dan
saraf. Kusta diklasifikasikan menjadi pausibasilar (PB) dan multibasilar (MB). Penderita kusta
yang telah menyelesaikan pengobatan (12 dosis dalam 12-18 bulan pada kasus MB dan 6 dosis
dalam 6-9 bulan pada kasus PB) disebut release from treatment (RFT).15 Pasien ini sudah
didiagnosis kusta sejak 2 tahun dan telah menyelesaikan pengobatan sebanyak 12 dosis selama
1 tahun, sehingga saat ini pasien didiagnosis RFT pada kusta tipe MB.
Reaksi kusta atau reaksi lepra adalah suatu episode dalam perjalanan kronis penyakit
kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan atau reaksi antigen-antibodi dengan akibat
merugikan penderita, terutama jika mengenai saraf tepi karena menyebabkan gangguan fungsi
(cacat).12 Terdapat dua jenis reaksi kusta yaitu reaksi tipe 1 (reversal) dan reaksi tipe 2 (eritema
nodosum leprosum/ENL) (Tabel. 2). Reaksi kusta dapat terjadi sebelum pengobatan tetapi
terutama terjadi selama atau sesudah pengobatan.6,16
Reaksi kusta tipe 2 merupakan reaksi humoral berupa reaksi antigen (M. leprae) dan
antibodi pasien yang akan mengaktifkan sistem komplemen sehingga terbentuk kompleks
imun. Karena beredar dalam sirkulasi darah komples imun tersebut dapat mengendap ke
berbagai organ, terutama pada lokasi dimana M. leprae berada dalam konsentrasi tinggi: seperti
pada kulit (ENL), saraf (neuritis), limfonodus (limfadenitis), tulang (artritis), ginjal (nefritis),
dan testis (orkitis).1,6,12,17
Sebagian besar pasien dengan reaksi tipe 2 mengalami beberapa episode dalam
beberapa tahun, baik sebagai episode akut yang multipel maupun ENL kronis.17 ENL dapat
terjadi sebelum, selama, atau sesudah kemoterapi.8
Kejadian ENL paling banyak terjadi pada 1 tahun setelah pengobatan tetapi dapat juga
timbul pada pasien kusta yang belum mendapat pengobatan Multi Drug Therapy (MDT). ENL
diduga merupakan manifestasi pengendapan kompleks antigen antibodi pada pembuluh
darah.8,17 Reaksi kusta tipe 2 termasuk reaksi hipersensitivitas tipe III (Gambar. 4).18
5
Gambar 2. Aspek imunologi reaksi kusta.18

Pasien diberikan prednison 40 mg perhari dan dilakukan tappering off setiap 2 minggu.
Berdasarkan Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta, pada pasien dengan
reaksi ringan dapat diberikan analgetik atau antipiretik. Sedangkan, pada pasien dengan reaksi
berat dapat diberikan obat anti reaksi seperti prednison ataupun klofazimin.6
Prendison diberikan dosis tunggal setiap hari setelah makan dimulai dengan dosis
40mg/hari selama 2 minggu yang kemudian diturunkan secara bertahap (Tabel. 1). Setiap 2
minggu pasien harus diperiksa ulang untuk melihat keadaan klinis dan memeriksa fungsi saraf.
Bila kondisi membaik, dosis pemeberian diturunkan sesuai (Tabel. 1). Bila menetap, dosis
prednison dilanjutkan selama 1 minggu dan bila memburuk, dosis prednison dinaikan 1 tingkat
diatasnya.6
Tabel 1. Skema pemberian prednison6
Skema dosis pemberian prednison
2 minggu pertama 40 mg/hari (1x8 tab) pagi hari sesudah makan
2 minggu kedua 30 mg/hari (1x6 tab) pagi hari sesudah makan
2 minggu ketiga 20 mg/hari (1x4 tab) pagi hari sesudah makan
2 minggu keempat 15 mg/hari (1x3 tab) pagi hari sesudah makan
2 minggu kelima 10 mg/hari (1x2 tab) pagi hari sesudah makan
2 minggu keenam 5 mg/hari (1x1 tab) pagi hari sesudah makan

6
Klofazimin lepas dapat diberikan pada penderita ENL berat, berulang (setelah ≥ 2
episode), sehingga terdapat ketergantungan terhadap steroid (steroid dependent). Klofazimin
diberikan dalam dosis tunggal pada pagi hari setelah makan, kecuali jika dalam keadaan
terpaksa dapat diberikan secara dosis terbagi, misalnya 3 x 1 tablet/hari atau 2 x 1 tablet/hari
(Tabel. 2).6
Tabel 2. Skema pemberian klofazimin6
Skema dosis pemberian klofazimin
300 mg/hari atau 3 x 100 mg selama 2 bulan
200 mg/hari atau 2 x 100 mg selama 2 bulan
100 mg/hari selama 2 bulan

7
DAFTAR PUSTAKA

1. Bryceson A, dan Pfaltzgraff RE. Leprosy. Edisi 3. New York: Churchill Livingstone;
1990. p. 115-26.
2. Lockwood DNJ. Leprosy. In: Griffiths CEM, Barker J, Bleiker T, Chalmers R, dan
Creamer D. (eds.) Rook’s Textbook of Dermatology. Edisi 9. UK: John Wiley & Sons;
2016. p. 28.1-28.17.
3. Widaty S, dkk. (eds.) Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin
di Indonesia. Jakarta: PERDOSKI; 2017. p. 80-94.
4. Wisnu IM, Sjamsoe-Daili E, dan Menaldi SL. Kusta. In: Menaldi SLSW, Bramono K,
dan Indriatmi W. (eds.) Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 7. Jakarta: Badan
Penerbit FK UI; 2016. p. 87-102.
5. World Health Organization. Global Leprosy Update, 2015: Time for Action,
Accountability and Inclusion. Weekly Epidemiological Record. 2016;35(2):405-420.
6. Kementrian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan. Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta. 2014. p.1-169.
7. Ramaswari NPAY. Masalah reaksi reversal dan eritema nodosum leprosum pada
penyakit kusta. CDK-232. 2105;42(9):654-657.
8. Lee DJ, Rea TH, dan Modlin RL. Leprosy. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA,
Paller AS, Leffell DJ, dan Wolff K. (eds.) Fitzpatrick’s Dermatology In General
Medicine. Edisi 8. United States: McGraw-Hill; 2012. p. 2253-2262.
9. Massone C dan Brunasso AMG. Classification. Dalam : Nunzi E dan Massone C (eds.).
Leprosy A Practical Guide. Italia : Springer-Verlag; 2012. P.43-50.
10. Morato-Conceicao YT, Alves-Junior ER, Arruda TA, Lopes JC, dan Fontes CJF. Serum
uric acid levels during leprosy reaction episodes. PeerJ. 2016:1-15.
11. Scollard DM, Martelli CMT, Stefani MMA, Maroja MF, Villahermosa L, Pardillo F,
Tamang KB. Risk factors for leprosy reactions in three endemic countries. American
Journal of Tropical Medicine and Hygiene. 2014;92(1):108-114
12. Pinheiro RO, Salles JS, Sarno EN, dan Sampaio E. Mycobacterium leprae-host cell
interactions and genetic determinants in leprosy: an overview. Future Microbiol.
2011;6(2):217-230.
13. Vionni, Arifputra J, dan Arifputra Y. Reaksi kusta. CKD-242. 2016;43(7):501-504.
14. Lake EP, Worobec SM dan Aronson IK. Panniculitis. Dalam: Kang S, Amagai M,
Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ, Orringer JS. (eds.) Fitzpatrick’s

8
Dermatology in General Medicine. Edisi 9. New York: McGraw Hill Companies; 2019.
p.1251-1294.
15. Calistania C dan Adjie HK. Reaksi reversal pada release from treatment mobus Hansen
multibasiler. CKD-254. 2017;44(7):493-495.
16. James WD, Berger TG, Elston DM, dan Neuhaus IM. Andrew’s Disease of the skin. Edisi
12. Philadelpia : Elsevier; 2016. p. 331-342.
17. Kumar KH,Chauhan A. Leprosy reaction: pathogenesis and clinical feature. In: Bhusan
K,Hemanta KK (eds). Indian Association of Leprologists Textbook of Leprosy. Edisi 2.
New Delhi : Indian Association Of Leprologists; 2016. P. 416-35
18. Fonseca AB, Simon MdV, Cazzaniga RA, Moura TR, Almeida RP, Duthie MS, dkk. The
influence of innate and adaptive immune responses on the differential clinical outcomes
of leprosy. Infectious Diseases of Poverty. 2017;6(8):1-8.

Anda mungkin juga menyukai