Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN KASUS

Morbus Hansen

Oleh Nurul Fatimah (H1A 009 032)

Pembimbing : Dr. Yunita Hapsari, Sp.KK

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RUMAH SAKIT UMUM PROPINSI NTB - FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM 2013

Kata Pengantar Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-Nya sehingga laporan kasus yang berjudul Kusta ini dapat terselesaikan. Tugas ini disusun untuk memenuhi syarat dalam rangka mengikuti kepaniteraan klini di bagian SMF/Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Mataram Rumah Sakit Umum Propinsi NTB. Dalam penyusunan laporan kasus ini penulis memperoleh bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak. Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk menyempurnakan tulisan ini.

Mataram, 30 April 2013 Penulis

Daftar Isi Halaman Judul ............................................................................................................... 0 Kata Pengantar ............................................................................................................... 1 Daftar Isi....................................................................................................................... 2 Bab I Pendahuluan................................................................................................ 3 Bab II Laporan Kasus........................................................................................... 5 Bab III Pembahasan.............................................................................................. 8 Ringkasan ............................................................................................................ 16 Daftar Pustaka ..................................................................................................... 17

Laporan Kasus Morbus Hansen Nurul Fatimah Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK UNRAM/RSUP NTB

BAB I PENDAHULUAN Morbus hansen (MH/ kusta/lepra) merupakan penyakit infeksi yang kronik dan penyebabnya adalah mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat, menyerang saraf perifer sebagai afinitas pertama (primer), kulit dan jaringan tubuh lain, kecuali susunan saraf pusat. 1,2,3,4 Menurut World Health Organization (WHO), penyakit kusta diklasifikasikan menjadi dua yaitu tipe PB (pausi basiler) dan tipe MB (multi basiler).1,3 Menurut WHO, diperkirakan jumlah penderita kusta baru di dunia pada tahun 2005 (di luar regional Eropa) adalah sekitar 296.499 orang. Dari jumlah tersebut terbanyak terdapat di regional Asia Tenggara : 201.635 kasus, diikuti regional Afrika : 42.814 kasus, regional Amerika : 47.780 kasus dan sisanya berada pada regional lain di dunia. Sementara di Indonesia ada tahun 2005 tercatat 21.537 penderita kusta terdaftar, jumlah kasus baru sebanyak 19.695 penderita, 8,74 % penderita mengalami cacat tingkat 2 serta 9,09 % di antaranya adalah penderita kusta anak. Menurut data kusta nasional tahun 2000, sebanyak 5 % penderita mengalami reaksi kusta.3 Secara global terdapat 436.246 kasus didunia pada tahun 2008, dengan India dan Brazil sebagai penyumbang tertinggi dengan jumlah penderita masingmasing 83.041 dan 29.761 kasus dan di Indonesia menduduki peringkat tiga dunia sebagai penyumbang penderita baru kusta terbanyak yaitu 19.785 kasus.5

Penyakit kusta dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan dari orang dewasa. Di Indonesia penderita anak-anak < 14 tahun didapatkan 11,39%, tetapi anak dibawah umur 1 tahun jarang sekali. Frekuensi tertinggi terdapat pada kelompok umur antara 25-35 tahun.1 Cara penularan kusta belum diketahui pasti, hanya berdasarkan anggapan klasik yaitu antara kontak langsung antara kulit yang lama. Angapan ke dua adalah melalui inhalasi, sebab M. Leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet.1,6 Kuman kusta dapat ditemukan di kulit, folikel rambut, kelenjar keringat dan air susu ibu, jarang ditemukan ada urin.1 Reaksi kusta merupakan salah satu faktor resiko terjadi kecacatan sehingga diharapkan reaksi kusta yang terjadi pada penderita kusta dapat diketahui sedini mungkin dan penderita secepatnya mendapatkan penanganan serta terhidar dari kecacatan akibat reaksi tersebut.3 Penyakit kusta dapat didiagnosis berdasarkan gambaran klinis,

bakterioskopis, serologis dan histopatologis. Dari ketiganya diagnosis secara klinis yang terpenting dan paling sederhana. Hasil bakterioskopis memerlukan waktu paling sedikit 15-30 menit, sedangkan histopatologik diketahui setelah 3 minggu.1 Melihat tingginya insidensi terjadinya penyakit kusta di masyarakat khususnya di Indonesia, maka penulis merasa perlu untuk membahas penyakit kusta sebagai bahan pembelajaran mengenai pengenalan awal reaksi kusta agar dapat sedini mungkin mencegah terjadinya kecacatan pada pasien penderita penyakit kusta. Tujuan pembuatan laporan kasus ini adalah untuk membahas kasus mengenai kusta yang meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, penegakan diagnosis serta penatalaksanaan dan edukasi pada penderita kusta. 10-14 hari. Tes

tambahan adalah tes lepromin untuk membantu penentuan tipe yang hasilnya akan

BAB II LAPORAN KASUS KASUS Tn M, laki-laki umur 21 tahun bertempat tinggal di praya, datang ke poli kulit dan kelamin tanggal 27 April 2013 dengan keluhan utama bercak merah kehitaman yang mati rasa pada kaki dan tangan. Pasien mengaku bercak pada kulit dan mati rasa sudah dirasakan sejak 3 tahun yang lalu, awalnya bercak kulit agak pucat dan ada yang sewarna dengan kulit dan bercak berubah menjadi kemerahan kurang lebih sejak 1 bulan yang lalu, terasa bengkak dan panas. Pertama kali mati rasa dirasakan pasien pada jari telunjuk tangan kanan, kemudian ke kaki kiri dan kemudian ke tangan dan bercak kulit lainnya, pasien menyangkal adanya gatal dan nyeri pada bercak-bercak dikulit dan mengaku hanya merasa kesemutan. Pasien menyangkal adanya keluhan pada mata seperti penglihatan kabur, ataupun kelemahan pada otot seperti sulit menggenggam. Pasien mengaku tidak memiliki riwayat alergi makan maupun obat serta menyangkal adanya riwayat atopi pada diri pasien atau keluarga. Selama 3 tahun mengalami hal tersebut pasien mengaku tidak pernah berkunjung ke puskesmas atau rumah sakit untuk berobat karena berharap bercak dikulitnya akan sembuh sendiri. Pasien mengaku tidak pernah mengalami hal yang sama sebelumnya, dan menyangkal adanya keluarga atau orang disekitar rumahnya yang mengalami hal yang serupa. Pasien merupakan rujukan dari puskesmas praya. Pada riwayat sosial di satu psukesmas tempat berobat pertama kali, pasien mengaku ada pasien lain yang menderita hal yang sama, tetapi pasien tidak kenal dan tidak pernah berhubungan dengan orang tersebut. Pada pemeriksaan fisik keadaan umum pasien baik, kesadaran (GCS) compos mentis (E4V5M6), dari inspeksi tidak terlihat kelainan ekspresi wajah, tidak terlihat lagoftalmus, tidak terlihat madarosis, tidak terlihat saddle nose, dan tidak terlihat facies leonina. Pemeriksaan saraf tepi : pada N. Facialis tidak ditemukan lagoftalmus atau kehilangan ekspresi wajah; pada N. Trigeminus ditemukan anestesia pada bercak kulit pada wajah, rekleks kornea dan konjungtiva normal

dengan menutup mata spontan; N. Aurikularis magnnus : ditemukan adanya perbesaran saraf; N. Ulnaris tidak ditemukan claw hand pada jari kelingking dan jari manis, serta atrofi dari otot tenar maupun hipotenar anestesi pada jari kelingking dan jari manis tangan kanan dan kiri; N. Medianus tidak ditemukan claw hand pada ibu jari, telunjuk dan jari tengah, anestesi pada ujung anterior ibu jari, tenlunjuk dan jari tengah tangan kanan, smentara tangan kiri tidak anestesi; N. Radialis tidak ditemukan adanya tangan gantung (wrist drop), ditemukan anestesi pada ujung proksimal jari telunjuk tangan sebelah kanan sementara tangan kiri tidak anestesi, mampu mengekstensikan jari-jari dan pergelangan tangan; N. Poplitea lateralis tidak ditemukan kaki gantung (foot drop) dan ditemukan anestesi pada dorsum pedis; N. Tibialis posterior tidak ditemukan adanya claw toes, ditemukan anestesi pada telapak kaki kanan, dan beberapa titik di kaki sebelah kiri. Ditemukan kelainan saraf otonom pada tes Gunawan pada lesi di tangan dan di kaki. Status dermatologis, regio: ekstremitas superior, inferior dextra et sinistra, torakalis posterior, facialis, abdomen bagian lateral. UKK regio ekstremitas

superior dextra et sinistra : terdapat plak eritema multipel dengan bentuk tidak beraturan, ukuran terbebesar berdiameter 10 cm, anestesi (+). Regio thorakalis posterior : terdapat plak eritema multipel yang tertutup skuama halus, anestesi (-). Regio ekstremitas inferior dextra et sinistra: tampak makula eritema multipel, ukuran bervariasi anestesi (+). Regio Facialis : tampak plak eritema multipel, diameter 2 cm, anestesi (+). Adapun diagnosis banding yang di ajukan adalah kusta, psoriasis vulagaris, pitiriasis rosea. Adapun pemeriksaan penunjang yang di ajukan pada kasus ini adalah

Pemeriksaan bakterioskopik (kerokan jaringan kulit pada cuping telinga dan lesi kulit yang anestesia) untuk mengetahui hasil tes BTA serta jumlah indeks bakteri (IB) dan indeks morfologi (IM) pada sediaan dengan hasil pemeriksaan IB cuping telinga +2, IB lesi kulit +3 dan IM 60%. Pemeriksaan penunjang lain adalah pemeriksaan histopatologik yang bertujuan untuk menemukan sel datia langhans serta tuberkel, pemeriksaan serologik yang bertujuan untuk mengecek antibodi

anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD, dan tes lepromin untuk menentukan tipe kusta, tetapi ketiga pemeriksaan terakhir tidak dilakukan, karena untuk mendiagnosis penyakit kusta, diagnosis secara klinis yang terpenting dan paling sederhana adalah bakterioskopik dan tidak memerlukan waktu lama. Diagnosis kerja : Kusta tipe MB dengan Reaksi tipe 1, derajat kecacatan 0 Terapi Dosis perbulan : Rifampicin 600 mg Clofazimine 300 mg (lamprene) Dapson 100 mg Dosis perhari : Dapsone 100 mg Clofazimine 50 mg Keterangan penggunaan obat: Pengobatan penderita kusta tipe MB dewasa dengan 12 blister dalam waktu 12-18 bulan (1 blister untuk 1 bulan). Hari pertama konsumsi dosis bulanan didepan petugas, hari ke 2-28 dilanjutkan dengan dosis harian, lalu kembali kontrol dan kembali mengkonsumsi dosis bulanan sampai 12 bulan. Saran : teratur dalam minum obat, jika obat habis segera datang kontol untuk mendapatkan obat, segera kontrol jika terdapat keluhan tambahan seperti lemah otot, tidak kuat menggenggam, sulit menutup mata, dll. Prognosis : Ad vitam Ad functionam Ad sanationam Ad cosmetic : Bonam : Dubia : Dubia : Dubia

BAB III PEMBAHASAN Diagnosis kusta pada pasien ini dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Identitas pasien seorang laki-laki usia 21 tahun, sesuai dengan literatur yang mengatakan bahwa penyakit kusta dapat menyerang semua umur, tetapi umur pasien tidak masuk dalam umur dengan frekuensi tinggi menderita kusta yaitu 25-35 tahun.1 Sementara dari literatur lain menyatakan bahwa umur dengan frekuensi tertinggi menderita kusta adalah 20-30 tahun dan menurun pada umur diatasnya.5 Jadi dari anamnesis usia pasien 21 tahun sudah termasuk dalam usia yang memiliki frekuensi tinggi menderita kusta. Pasien berjenis kelamin laki-laki sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa jenis kelamin laki-laki memiliki prevalensi lebih tinggi menderita kusta dibanding wanita.5,8 Diagnosis kusta dilakukan dengan mencari kelainan yang berhubungan dengan saraf tepi dan kelainan yang tampak pada kulit. Tanda utama atau cardinal sign penyakit kusta yaitu: 5,6,8,9 a. Lesi (kelainan kulit) yang mati rasa, yaitu kelainan aau lesi kulit hipopigmentasi, erithematous dan anestesi. b. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf yang diakibatkan oleh adanya neuritis perifer, gangguan fungsi sensoris (mati rasa), gangguan fungsi motorik (kelemahan otot atau kelumpuhan) dan gangguan saraf otonom (kulit kering dan retak) c. Adanya bakteri tahan asam (BTA) didalam kerokan kulit (BTA positif) Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta apabila terdapat satu atau lebih tanda cardinal. Dari anamnesis didapatkan keluhan bercak-bercak kulit merah kehitaman yang mati rasa yang di rasakan sudah sejak 3 tahun yang lalu. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kelainan saraf sensoris berupa anestesi/hipoanestesi, dan pada pemeriksaan fisik didapatkan penebalan saraf tepi yaitu N. Aurikularis

magnus serta dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil BTA positif. Dari tanda kardinal pada literatur terdapat tiga tanda yang positif pada pasien ini sehingga dapat di diagnosa sebagai pasien kusta. Agar terapi yang diberikan pada pasien sesuai, maka perlu ditentukan tipe kusta yang diderita sesuai dengan bagan diagnosis sebagai berikut : Bagan diagnosis klinis mennurut WHO :1,3,4 PB Lesi kulit (makula datar, - 1-5 lesi papul nodus) yang meninggi, - Hipopigmentasi/eritema - Distribusi tidak simetris - Hilangnya sensasi yang jelas Kerusakan saraf (menyebabkan hilangnya sensasi/kelemahan otot yang dipersarafi oleh saraf yang terkena) Dari pemeriksaan fisik yang telah dilakukan, terlihat lesi kulit merah kehitaman yang mati rasa yang di rasakan sudah sejak 3 tahun yang lalu dengan predileksi pada regio ektremitas superior dan inferior dextra et sinistra, thorakalis posterior, fasialis dan lateral abdomen. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kelainan saraf berupa kelainan sensoris yaitu anestesi/hipoanestesi mengenai banyak saraf dengan lesi kulit lebih dari lima tempat, sehingga mengarahkan diagnosis pada kusta tipe MB (multibasiler). Dari hasil anamnesis pada pasien, dicurigai pasien telah mengalami reaksi kusta yang terjadi sebelum pengobatan. Reaksi kusta sendiri memiliki definisi berupa gambaran episode akut dari perjalanan kronis penyakit kusta yang Hanya satu cabang saraf MB - > 5 lesi - Distribusi lebih simetris - Hilangnya sensasi kurang jelas Banyak cabang saraf

merupakan reaksi hipersensitifitas terhadap M. leprae yang menyebabkan gangguan dalam keseimbangan sistem imunologi.1,3 Merupakan reaksi imun yang dapat terjadi sebelum, selama atau setelah pengobatan dengan MDT.9

Dua komplikasi kusta adalah teaksi tipe 1 (reaksi reversal) dan Erythema Nodosum Leprosum (ENL). Kerusakan fungsi saraf didefinisikan sebagai penurunan fungsi sensorik dan motorik.9 Reaksi reversal dikenali dengan adanya inflamasi akut pada lesi kulit atau saraf atau keduanya. Rekasi tipe 1 sering mengalami kekambuhan dan dapat menyebabkan kerusakan saraf yang lebih lanjut.9 Dapat terjadi pada penderita kusta tipe TB dan MB, terutama pada fase 6 bulan pertama pengobatan.
3

Dari

anamnesis diketahui bahwa kurang lebih satu bulan yang lalu, pasien mengaku lesi pada kulit berubah warna menjadi lebih merah dan bengkak, hal tersebut dapat di curigai sebagai raksi kusta tipe 1 yang terjadi sebelum masa pengobatan, sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa lesi kulit dapat menjadi inflamasi akut dan edema serta mengalami ulserasi. Edema terjadi pada tangan, kaki dan wajah. 3,9,10.

Sumber : 3, 10 Sementara reaksi tipe 2 (ENL) sering terjadi pada penderita kusta tipe MB dan merupakan respon imun humoral, karena tingginya repon imun humoral penderita.3 Gejala ENL dapat terjadi perubahan nodul kemerahan, neuritis, gangguan fungsi saraf, gangguan konstitusi dan komplikasi pada organ tubuh lainnya.3,9

10

Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk dapat segera mendiangnosa pasien yang mengalami reaksi kusta adalah sebagai berikut : 10 1. 2. 3. Dignosa dini penyakit kusta dan segera melakukan pengobatan dengan MDT Mengidentifikasi pasien dengan resiko tinggi mengalami reaksi kusta. Edukasi pasien yang menderita kusta dan keluarga tentang pentingnya pengobatan yang tratur dan komplit. 4. Edukasi pasien dan keluarga tentang tanda dan gejala reaksi kusta dan neuritis dan memberitahukan pasien segera datang kontrol jika tanda dan gejala tersebut terlihat. 5. Memantau dan melakukan sering melakukan pemeriksaan pada pasien dengan resiko tinggi setiap bulan untuk deteksi awal terjadinya reaksi da kerusakan saraf 6. Pengobatan reaksi kusta yang tepat waktu dan rujukan yang tepat akan membantu dalam pencegahan kecacatan akibat kusta. Kusta disebabkan oleh kuman tahan asam yang bentuknya sangat menyerupai tuberkulosis. Gambaran mikroskopik sebagai tuberkulosis yaitu terdapat sel-sel epiteloid, tuberkel tidak sebanyak seperti tuberkulosis dan sel datia, tetapi tidak pernah terjadi perkejuan, kuman tersebar diseluruh tubuh tetapi yang terpenting ialah di kulit dan di serabut saraf tepi.12

11

Pada pasien ditemukan lesi yang berbentuk punch out yang merupakan lesi dengan hipopigmentasi berbentuk oval dibagian tengah berbatas jelas. Hal tersebut diudga terjadi akibat adanya reaksi inflamasi granulomatosa, sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa inflamasi granulomatosa kronik yaitu suatu inflamasi yang ditandai dengan kumpulan makrofag yang berubah bentuk menjadi nodular kecil. Makrofag yang berubah mempunyai banyak sitoplasma merah jambu dan disebut sel epiteloid. Sel-sel epiteloid dapat bersatu membentuk sel datia berinti banyak. Pada granuloma juga dapat ditemukan limfosit, sel plasma, neutrofil dan nekrosis sentral dan dapat terjadi salah satuya pada penyait kusta.13 Sementara untuk mekanisme pengambilan sampel lesi pada cuping telinga menggunakan skapel steril. Setelah lesi tersebut didesinfeksi kemudian dijepit antara ibu jari dan jari telunjuk agar menjadi iskemik, sehingga kerokan jaringan mengandung sedikit mungkin darah. Irisan yang dibuat harus sampai di dermis, melampaui subepidermal clear zone agar mencapai jaringan yang diharapkan banyak mengandung sel Virchow (sel lepra) yang di dalamnya mengandung basil M.leprae. Kerokan jaringan itu dioleskan di gelas alas, difiksasi di atas api, kemudian diwarnai dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen.14 Pada pengambilan sampel pada pasien, banyak darah yang ikut serta dalam kerokan kulit sehingga akan mempengaruhi pewarnaan dan interpretasi hasil indeks bakteri dan indeks morfologi karena sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa M. leprae tergolong basil tahan asam (BTA), akan tampak merah pada sediaan, spesimen yang diambil tidak boleh terdapat darah karena akan menggangu pewarnaan dan hasil interpretasi.14 Diagnosa banding yang di ajukan pertama pada pasien ini adalah psoriasis vulgaris karena memberikan gambaran effloresensi yang sama yaitu ruam kulit yang eritem dan tertutup skuama. Tetapi biasanya pada pasien dengan psoriasis lesi kulit tertutup oleh skuama tebal dan memiliki gejala klinis gatal dan panas pada lesi. Pada predileksi, lesi upertama pada psoriasis akan muncul pada tempat yang mudah terkena trauma seperti siku, lutut, sakrum, dan genetalia. Dan untuk

12

menyingkirkan psoriasis sebagai diagnosis dapat dilaukan pemeriksaan Karsvlek phenomena, Autpitz sign, dan Kobner phenomena.1,2 Gambar

Diagnosis banding yang selnjutnya pada pasien ini adalah pitiriasis rosea karena memberikan gambaran effloresensi yang sama yaitu ruam kulit yang eritem dan tertutup skuama halus. Tetapi pada pasien ini ruam kulit tidak memberikan gambaran ruam yang searah dengan lipatan tubuh.1,2 Pitiriasis rosea adalah penyakit kulit yang belum diketahui penyebabanya, dimulai dengan lesi inisial yang berbentuk eritema dan skuama halus, kemudian disusul oleh lesi yang lebih kecil pada badan, lengan, paha atas, dan tersusun mengikuti lipatan kulit. Lesi pertama (Herald patch), umunya dibadan, solitar, bentuknya oval dan anular, diameter kira-kira 3 cm, lalu diikuti oleh lei berikutnya yang susunannya sejajar dengan kosta menyerupai pohon cemara terbalik.1 Gambar

Penatalaksanaan pada kusta tipe MB pada pasien ini adalah pemberian dosis bulanan yang terdiri dari rifampisisn 600 mg, clofazimine 300 mg, dapson 100

13

mg, dan dosis harian terdiri dari dapson 100 mg dan clofaziine 50 mg. Dengan atauran pemakaian dosis bulanan di minum pada hari pertama dilanjutkan pada hari ke 28 dan begitu seterusnya selama 12 bulan, serta dosis harian yang diminum selama 12 bulan dengan toleransi 6 bulan.3,4,6,7,8,11 Lampiran gambar Gambar 1, lesi pada ekstremitas superior dektra et snistra

Gambar 2, lesi pada ekstremitas superior dektra et snistra

Gambar 3, lesi pada regio thorakalis posterior

14

Gambar 4, regio Facialis

Gambar 5, pemebsaran nervus aurikularis magnus

15

RINGKASAN Telah dilaporkan sebuah temuan kasus dengan diagnosis Kusta tipe MB berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang di RSUP NTB pada tanggal 27 April 2013 yang dialami oleh seorang pasien laki-laki, Tn M umur 21 tahun bertempat tinggal di praya, pasien dengan keluhan utama bercak merah kehitaman yang mati rasa pada kaki dan tangan. Pasien mengaku bercak pada kulit dan mati rasa sudah dirasakan sejak 3 tahun yang lalu, awalnya bercak kulit agak pucat dan ada yang sewarna dengan kulit dan bercak berubah menjadi kemerahan kurang lebih sejak 1 bulan yang lalu. Pertama kali mati rasa dirasakan pasien pada jari telunjuk tangan, kemudian ke kaki kiri dan kemudian ke tangan dan bercak kulit lainnya, pasien menyangkal adanya gatal dan nyeri pada bercakbercak dikulit dan mengaku hanya merasa kesemutan. Pasien menyangkal adanya keluhan pada mata seperti penglihatan kabur, ataupun kelemahan pada otot seperti sulit menggenggam. Selama 3 tahun mengalami hal tersebut pasien mengaku tidak pernah berkunjung ke puskesmas atau rumah sakit untuk berobat karena berharap bercak dikulitnya akan sembuh sendiri. Pasien merupakan rujukan dari puskesmas praya. Pada riwayat sosial di satu puskesmas tempat berobat pertama kali, pasien mengaku ada pasien lain yang menderita hal yang sama, tetapi pasien tidak kenal dan tidak pernah berhubungan dengan orang tersebut. Dari pemeriksaan fisik, terlihat lesi kulit yang tersebar di regio ektremitas superior dan inferior dextra et sinistra, thorakalis posterior, fasialis dan lateral abdomen, dengan UKK patch eritem dan plak eritem yang tertutup kuama halus. Diagnosa kerja kusta tipe MB yang ditegakkan berdasarkan gambaran klinis melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik, serta hasil pemeriksaan labratorium yang menunjukkan hasil BTA positif dengan indeks bakteri (IB) pada telinga +2 dan IB pada kulit +3, serta indeks mofologi (IM) 60%.Pengobatan yang diberikan pada pasien dibagi dalam dua jenis, dosis bulanan yang terdiri dari Rifampisisn 600 mg, Clofazimine 300 mg dan dapson 100 mg. Dosis harian terdiri dari Dapsone 100 mg dan Ckofazimine 50 mg.

16

DAFTAR PUSTAKA 1. Kosasih A, Wisnu I.M, Sjamsoe-Daili E.S, Menaldi S.L (Editors). Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 6th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2011.73-88 2. Murtiastutik D, Ervianti E, Agusni I, Suyoso S (Editors). Atlas penyakit kulit & kelamin, 2nd ed. Surabaya: FK Unair; 2009.41-56 3. Purwanto. Faktor-Faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap Terjadinya Reaksi Kusta. Semarang; 2008 4. Daili E.S.S, Menaldi S.L, Wisnu I.M. Penyakit Kulit yang Umum di Indonesia; Sebuah Pengantar Bergambar. PT Medical Multimedia Indonesia: Jakata; tt.51-9 5. Rambey M.A. Hubungan Jenis Kelamin Dengan Kejadian Cacat Tingkat 2 pada Penderita Kusta di Kabupaten Lamongan Tahun 2011-2012. Depok; 2012 6. Wolff K, Johnson RA, Suurmond D. Fitzpatricks color atlas & synopsis of clinical dermatology, 5th ed. Austria: McGraw-Hills; 2007. 1786-96 7. Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C (Editors). Rooks Textbook of Dermatology. Blackwell Publishing: Singapore ;2010.1469-18 8. The Internstional Federation of Anti-Leprosy Asscociation (ILEP). How to Diagnose and Treat Leprosy. DS Print & Reesign; London: 2002 9. Kahawita I.P, Wwalker S.L, Lockwood D.N.J. Leprosy Type 1 Reaction and Erythema Nodosum Leprosum. Anais Brasileiros de Dermatologia. 2008. 75-82 10. Directorate General of Health Service.Training Manual for Medical Officers. Nasional Leprosy Eradication Program: New Delhi. 2009 11. Gawkrodger D.J. Dermatology an Ilustrated Colour Text. British Library Cataloguin in Publication : China; 2003.56

17

12. Setyawan S. Himawan S. (editors). Patologi. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Depok;1973 (73) 13. Robins S.L, Cotran R.S, Kumar V. Saputra L (editors). Intisari Patologi. Binarupa Aksara; Jakarta ;2009 (26-7) 14. The Internstional Federation of Anti-Leprosy Asscociation (ILEP). Bagaimana Melakukan Pemeriksaan Skin Smear pada Lepra. DS Print & Reesign; London: 2003

18

Anda mungkin juga menyukai