Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

Dermatofitosis adalah infeksi jamur superfisial yang disebabkan oleh dermatofit.


Dermatofit merupakan kelompok jamur yang memiliki kemampuan untuk melekat pada
keratin dan menggunakannya sebagai sumber nutrisi yang memungkinkan jamur tersebut
untuk berkoloni pada jaringan yang mengandung keratin, seperti stratum korneum epidermis,
rambut dan kuku. 1
Tinea Cruris adalah dermatofitosis pada sela paha, perineum dan sekitar anus.
Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan penyakit yang
berlangsung seumur hidup. Lesi kulit dapat terbatas pada daerahgenito-krural saja atau
bahkan meluas ke daerah sekitar anus, daerah gluteus dan perut bagian bawah atau bagian
tubuh yang lain. Tinea cruris mempunyai nama lain eczema marginatum, jockey itch,
ringworm of the groin, dhobie itch. 1
Distribusi, spesies penyebab, dan bentuk infeksi yang terjadi bervariasi pada daerah
geografis, lingkungan dan budaya yang berbeda. Dermatofit berkembang pada suhu 25-28 oC
dan timbulnya infeksi pada kulit manusia didukung oleh kondisi yang panas dan lembab.
Karena alasan ini, infeksi jamur superfisial relatif sering pada negara tropis, pada populasi
dengan status sosio ekonomi rendah yang tinggal di lingkungan yang sesak dan higiene yang
rendah. 3
Cara penularan jamur dapat secara langsung maupun tidak langsung. Penularan
langsung dapat secara fomitis, epitel, rambut yang mengandung jamur baik dari manusia,
binatang, atau tanah. Penularan tidak langsung dapat melalui tanaman, kayu yang dihinggapi
jamur, pakaian dan debu. Agen penyebab juga dapat ditularkan melalui kontaminasi dengan
pakaian, handuk atau sprei penderita atau autoinokulasi dari tinea pedis, tinea inguium, dan
tinea manum.2
Dermatofit tersebar di seluruh dunia dan menjadi masalah terutama di Negara
berkembang. Mikosis superfisial mengenai lebih dari 20% hingga 25% populasi sehingga
menjadi bentuk infeksi yang tersering. Tinea cruris, tinea pedis dan tinea korporis merupakan
dermatofitosis yang terbanyak ditemukan. Di Indonesia, dermatofitosis merupakan 52% dari
seluruh dermatomikosis dan tinea kruris merupakan dermatofitosis terbanyak. Infeksi ini bila
tidak diobati atau diobati secara tidak adekuat dapat mengakibatkan penyebaran penyakit

yang luas.3 Angka kekambuhan tinea kruris cukup tinggi meskipun setelah pemberian terapi
topikal dan sistemik, sehingga pencegahan kekambuhan tinea kruris sangat penting.2

BAB II
LAPORAN KASUS
Autoanamnesis dengan pasien dilakukan pada hari Selasa, 21 Januari 2014.
Seorang perempuan (Ny. UA), berusia 43 tahun, pekerjaan IRT dan beralamat di RT
06 No.11 Bayung Lincir datang ke Poli Kulit dan Kelamin RSUD Raden Mattaher Provinsi
Jambi dengan keluhan utama gatal yang disertai bercak kemerahan di daerah lipat paha kiri
dan kanan serta bokong kiri dan kanan sejak 1 minggu yang lalu.
2 bulan yang lalu, pasien mengatakan keluhan kembali muncul dimana pasien
merasa bercak kemerahan di lipat paha kiri dan kanan bagian dalam terasa sangat gatal serta
makin melebar dan panas namun tidak nyeri. Bercak kemerahan juga semakin menyebar ke
daerah bokong kiri dan kanan. Rasa gatal hilang timbul, terutama kambuh atau muncul saat
pasien berkeringat saat berolahraga volli. Pasien juga mengaku kerap memakai celana ketat.
Pasien mengaku dirinya sering menggaruk daerah yang gatal tersebut. Pasien juga mengaku
berbagi handuk sesama anggota keluarga di rumah. Pasien lalu pergi berobat ke bidan karena
pengobatan dengan salep cina tersebut sudah tidak mempan karena rasa gatal masih terasa.
Lalu dengan bidan pasien diberi obat tablet serta salep namun pasien lupa nama obat tersebut.
Setelah menggunakan obat tersebut pasien mengaku bercak kemerahan tersebut tampak
kering dan bersisik.
1 minggu yang lalu pasien merasa rasa gatal timbul kembali dan tidak hilang
bahkan terasa semakin gatal dan panas serta bercak kemerahan yang masih timbul sehingga
pasien memutuskan untuk berobat ke Poli Kulit dan Kelamin RSUD Raden

Mattaher

Provinsi Jambi.
Riwayat pernah mengalami sakit yang sama (+) 1 tahun yang lalu, Di keluarga
pasien tidak ada keluhan yang sama seperti yang dialami pasien.
Pada pemeriksaan fisik status generalis didapatkan keadaan umum tampak sakit
ringan, kesadaran kompos mentis, dari pemeriksaan tanda vital diperoleh; tekanan darah
120/80 mmHg, nadi 79 x/menit, pernapasan 22 x/menit, dan suhu afebris. Pada pemeriksaan
fisik, kepala didapatkan bentuk normocephal, tidak terdapat efloresensi. Pada mata;
konjungtiva kanan dan kiri tidak anemis, sklera kanan dan kiri tidak ikterik, pupil isokor pada
mata kanan dan kiri, dan tidak didapatkan efloresensi pada palpebra. Pada pemeriksaan THT
didapatkan dalam batas normal, tidak didapatkan efloresensi di bibir dan mukosa. Tidak
terdapat pembesaran kelenjar getah bening pada pemeriksaan leher.

Pada pemeriksaan thoraks: inspeksi simetris, tidak ada retraksi interkostal pada kedua
lapang paru, pada palpasi: didapatkan stem fremitus simetris kanan dan kiri, pada perkusi:
didapatkan sonor pada kedua lapang paru, dan pada auskultasi: didapatkan suara napas
vesikuler normal tidak ditemukan ronki dan wheezing pada kedua lapang paru. Sedangkan
pada pemeriksaan jantung; inspeksi: iktus cordis tidak terlihat dan thrill tidak teraba. Pada
auskultasi: bunyi jantung I-II reguler, tidak ditemukan murmur dan gallop. Pada pemeriksaan
abdomen didapatkan inspeksi: datar, pada auskultasi: bising usus (+) normal, pada palpasi:
tidak ditemukan nyeri tekan dan hepar lien tidak teraba, dan pada perkusi: didapatkan
timpani. Pada pemeriksaan ekstremitas superior dan inferior; akral hangat, edema tidak ada,
kekuatan motorik normal. Pemeriksaan genitalia tidak dilakukan secara langsung.
Dari pemeriksaan status dermatologikus, didapatkan pada regio inguinalis dextra et
sinistra dengan efloresensi tampak lesi makula eritematosa, sirkumskripta, dengan tepi aktif
yang terdiri dari papul eritematosa multiple milier polisiklik dengan distribusi regional dan
meninggi serta terdapat central healing yang ditutupi skuama halus berukuran 5x12 cm.
Papul eritematosa

multiple milier
polisiklik dengan
distribusi regional
dan meninggi
makula eritematosa,
sirkumskripta serta
terdapat central healing
yang ditutupi skuama
halus berukuran 5x12
cm

Gambar 2.1 Regio inguinalis dextra et sinistra


Dari pemeriksaan status dermatologikus, didapatkan pada regio glutea dextra et
sinistra dengan efloresensi tampak lesi makula eritematosa, sirkumskripta, dengan tepi aktif
yang terdiri dari papul eritematosa multiple milier polisiklik dengan distribusi regional dan

meninggi serta terdapat erosi (+) , likenifikasi dan central healing yang ditutupi skuama halus
berukuran 7 x 13 cm.

Likhenifik
asi

erosi

Gambar 2.2 Regio Glutea dextra et sinistra


Pemeriksaan penunjang tidak dilakukan pada pasien ini. Diagnosis banding pada
pasien ini adalah Tinea Kruris, Eritrasma, psoariasis dan Kandidosis intertriginosa. Diagnosis
kerja pada kasus pasien ini adalah Tinea Cruris. Terapi diberikan pada pasien ini berupa
terapi nonmedikamentosa dan medikamentosa. Terapi nonmedikamentosa secara umum,
meliputi: Memberikan penjelasan kepada pasien tentang penyakit pasien dan prinsip
penatalaksanaannya, menganjurkan untuk menjaga kebersihan dan kelembaban kulit,
menghindari faktor pencetus seperti stress, aktivitas yang berlebihan serta tidak memakai
celana yang ketat, menghindari kontak dengan orang sekitar seperti tidak menggunakan
pakaian dan handuk secara bersamaan dan tidak menggaruk lesi. Pasien di edukasi untuk
minum obat dan kontrol ke dokter secara teratur sampai tidak timbul keluhan. Terapi
medikamentosa pada kasus ini, yaitu terapi topical : ketokonazole krim 2% oleskan 2x1 per
hari selama 2 - 4 minggu dan terapi sistemik: griseofulvin tablet 2 x 250 mg per hari selama
2 minggu dan CTM diberikan 3 x 1 per hari. Prognosis pada pasien ini quo ad vitam, quo ad
functionam, dan quo ad sanationam adalah bonam. Komplikasi biasanya jarang terjadi,
namun mungkin dapat terjadi komplikasi jika pasien ini sering menggaruk.

BAB III
PEMBAHASAN
Pada kasus Ny. UA (43 tahun) ditegakkan diagnosis berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan dermatologis. Ny. UA mengalami Tinea Cruris yang
merupakan suatu penyakit dermatofitosis pada sela paha, perineum dan sekitar anus.1
Dari anamnesis, pasien mengaku merasa sangat gatal pada saat aktivitas terutama saat
berkeringat setelah berolahraga dan pasien juga mengaku sering memakai celana ketat saat
berolahraga, hal ini sesuai dengan gejala khas dari tinea cruris dimana rasa gatal lebih terasa
saat beraktivitas berlebih seperti saat berkeringat.2 Faktor predisposisi dari pasien ini dapat
disimpulkan akibat keringat setelah berolahraga volli serta penggunaan celana yang ketat
sehingga kelembaban kulit menjadi lebih rentan untuk terinfeksi jamur. Cara penularan jamur
dapat secara langsung maupun tidak langsung. Penularan secara langsung dapat berupa epitel
rambut yang mengandung jamur baik dari manusia, binatang, atau tanah. Penularan tidak
langsung dapat melalui tanaman, kayu yang dihinggapi jamur, pakaian dan debu.1
Berdasarkan anamnesis, pasien yang sering berolahraga di lapangan cenderung lebih rentan
mendapatkan infeksi jamur secara langsung yakni melalui tanah. Kelainan ini dapat bersifat
akut atau menahun, bahkan dapat merupakan penyakit yang berlangsung seumur hidup.1
Berdasarkan anamnesis, pasien mengaku keluhan tersebut telah berulang kali dirasakan
bahkan sudah selama satu tahun terakhir.
Pada pemeriksaan fisik pasien didapatkan pada regio inguinalis dextra et sinistra
berupa lesi makula eritematosa, sirkumskripta, dengan tepi aktif yang terdiri dari papul
eritematosa multiple milier polisiklik dengan distribusi regional dan meninggi serta terdapat
central healing yang ditutupi skuama halus berukuran 5x12 cm. Pada region gluteus dextra et
sinistra terdapat lesi makula eritematosa, sirkumskripta, dengan tepi aktif yang terdiri dari
papul eritematosa multiple milier polisiklik dengan distribusi regional dan meninggi serta
terdapat erosi (+) , likenifikasi dan central healing yang ditutupi skuama halus berukuran 7 x
13 cm. Hal ini sesuai dengan lokasi predileksi dari tinea cruris dimana Lesi kulit dapat
terbatas pada daerah genito-krural saja atau bahkan meluas ke daerah sekitar anus, daerah
gluteus dan perut bagian bawah atau bagian tubuh yang lain. 1,2.
Pada stadium awal, kelainan kulit yang terjadi dapat berupa eritema dengan batas
tegas dan peradangan di tepi lebih nyata daripada di bagian tengah. Efloresensi kemudian
berkembang menjadi macam-macam bentuk yang primer maupun sekunder (polimorfi). 1,5
Hiperpigmentasi atau bercak kehitaman dapat muncul jika penyakit ini sudah kronis atau
6

menahun yang disertai sisik serta erosi yang terjadi biasanya akibat garukan dan hal ini sesuai
seperti yang terjadi pada pasien tersebut.
Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya kelainan di kulit adalah:
a. Faktor virulensi dari dermatofita
Virulensi ini bergantung pada afinitas jamur apakah jamur antropofilik, zoofilik,
geofilik. 6 dari anamnesis pasien cenderung mendapat virulensi dermatofita jamur geofilik.
b. Faktor trauma
Kulit yang utuh tanpa lesi-lesi kecil lebih susah untuk terserang jamur.
c. Faktor suhu dan kelembapan
Kedua faktor ini jelas sangat berpengaruh terhadap infeksi jamur, tampak pada
lokalisasi atau lokal, dimana banyak keringat seperti pada lipat paha, sela-sela jari paling
sering terserang penyakit jamur.4 seperti pada pasien, keluhan gatal yang dirasa saat pasien
berkeringat serta predileksi pasien yang terjadi pada lipat paha bagian dalam kiri dan kanan.
d. Keadaan sosial serta kurangnya kebersihan
Faktor ini memegang peranan penting pada infeksi jamur dimana terlihat insiden
penyakit jamur pada golongan sosial dan ekonomi yang lebih rendah sering ditemukan
daripada golongan ekonomi yang baik.
e. Faktor umur dan jenis kelamin.
Tingkat insiden lebih sering pada orang dewasa terutama pria dibandingkan dengan
wanita.1 namun untuk hal ini bertentangan dengan faktor tersebut karena pasien disini adalah
seorang ibu rumah tangga.
Pemeriksaan fisik status generalis pasien ini tidak ditemukan kelainan. Pemeriksaan
penunjang tidak dilakukan pada pasien ini dikarenakan pasien datang ke poli kulit dan
kelamin sudah menjelang siang dan pemeriksaan penunjamg sudah tidak dapat dilakukan
pada saat itu. Jarak dari rumah pasien ke rumah sakit yang lumayan jauh juga menjadi
penyebab sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan pemeriksaan keesokan harinya.
Kebutuhan untuk dilakukannya pemeriksaan penunjang sangat penting untuk
menyingkirkan diagnosis banding lainnya seperti dapat dilakukan pemeriksaan anjuran
berupa pemeriksaan mikologik dengan sediaan basah atau pemeriksaan kultur dengan
sabouraud agar serta penggunaan lampu wood untuk menyingkirkan eritrasma dimana akan
tampak floresensi merah bata.1 Untuk dapat membedakan diagnosis banding maka akan
dijelaskan ciri khas dari masing-masing penyakit tersebut.

1. Kandidosis intertriginosa
Kandidosis adalah penyakit jamur yang disebabkan oleh spesies Candida biasanya
oleh Candida albicans yang bersifat akut atau subakut dan dapat mengenai mulut, vagina,
kulit, kuku, bronki.Penyakit ini terdapat di seluruh dunia, dapat menyerang semua umur, baik
laki-laki maupun perempuan. Dari anamnesis keluhan dapat berupa rasa gatal yang hebat,
kadang-kadang disertai rasa panas seperti terbakar.1,2 hal ini hampir serupa dengan tinea
cruris, lalu berdasarkan pemeriksaan fisik kandidosis juga terdapat bercak eritem disertai
skuama dan predileksi juga dapat terjadi di lipatan paha namun kandidosis memiliki
gambaran khas konfigurasi hen and chicken serta biasanya basah dan berkrusta. 1,2 Lesi juga
dikelilingi satelit berupa vesikel dan pustul sehingga hal ini yang membedakan dengan tinea
cruris. Pada bentuk yang kronik, kulit sela jari menebal dan berwarna putih sedangkan pada
tinea cruris yang kronik berwarna kehitaman.1,2
2. Erytrasma
Erytrasma adalah penyakit bakteri kronik pada stratum korneum yang disebabkan oleh
Corynebacterium minitussismum. Dari anamnesis pada umumnya tidak terdapat keluhan
subyektif pada pasien , hal ini berbeda dari tinea cruris karena pasien datang akibat keluhan
subyektif berupa rasa gatal yang teramat sangat.1,2 Pada pemeriksaan fisik ditandai lesi berupa
eritema dan skuama halus terutama di daerah ketiak dan lipat paha.1 hal ini hampir serupa
dengan tinea cruris serta Gejala klinis lesi berukuran sebesar milier sampai plakat. Perluasan
lesi terlihat pada pinggir yang eritematosa dan serpiginose. Hal ini berbeda dengan tinea
cruris dimana lesi memiliki susunan berupa polisiklik. Efloresensi yang sama berupa eritema
dan skuama pada seluruh lesi merupakan tanda khas dari eritrasma. Skuama kering yang
halus menutupi lesi dan pada perabaan terasa berlemak sedangkan pada tinea cruris tidak
terdapat hal tersebut.1
3. Psoariasis
Psoariasis merupakan penyakit autoimun yang bersifat residif dan kronik. Dari
anamnesis pasien psoariasis berbeda dengan tinea cruris, karena rasa gatal pada psoariasis
umumnya penderita mengeluh gatal ringan , tidak seperti tinea cruris yang berupa rasa gatal
yang hebat.1,2
Untuk pemeriksaan fisik, predileksi psoariasis juga dapat mengenai daerah lipat paha
bagian dalam. Pada lesi juga hampir sama dengan tinea cruris yaitu berupa bercak eritema
yang disertai skuama, namun yang membedakan dengan tinea cruris yaitu lesi pada psoariasis
lebih merah dan skuama lebih banyak dan lamellar serta psoariasis memiliki gambaran khas

berupa skuama yang kasar, transparan berlapis-lapis dan terdapat fenomena lilin dan Auspitz
yang tidak ditemui pada tinea cruris.1
Pengobatan anti jamur untuk Tinea cruris dapat digolongkan dalam empat golongan
yaitu: golongan azol, golongan alonamin, benzilamin dan golongan lainnya seperti
siklopiros,tolnaftan, haloprogin. Pengobatan tinea cruris tersedia dalam bentuk pemberian
topikal dan sistemik: 4
Obat secara topikal yang digunakan dalam tinea cruris adalah:
1. Golongan Azol
a. Clotrimazole (Lotrimin, Mycelec)
Merupakan obat pilihan pertama yang digunakan dalam pengobatan tinea cruris karena
bersifat broad spektrum antijamur yang mekanismenya menghambat pertumbuhan ragi
dengan mengubah permeabilitas membran sel sehingga sel-sel jamur mati. 7
b. Mikonazole (icatin, Monistat-derm)
Mekanisme kerjanya dengan selaput dinding sel jamur yang rusak akanmenghambat
biosintesis dari ergosterol sehingga permeabilitas membran sel jamur meningkat
menyebabkan sel jamur mati. 4,5
c. Econazole (Spectazole)
Mekanisme kerjanya efektif terhadap infeksi yang berhubungan dengan kulit yaitu
menghambat RNA dan sintesis, metabolisme protein sehingga mengganggu permeabilitas
dinding sel jamur dan menyebabkan sel jamur mati. 8
d. Ketokonazole (Nizoral)
Mekanisme kerja ketokonazole sebagai turunan imidazole yang bersifat broad spektrum akan
menghambat sintesis ergosterol. Pengobatan dengan ketokonazole dapat dilakukan selama 24 minggu.
e. Oxiconazole (Oxistat)
Mekanisme oxiconazole kerja yang bersifat broad spektrum akan menghambat sintesis
ergosterol sehingga komponen sel jamur meningkat menyebabkan sel jamur mati.
Pengobatan dengan oxiconazole dapat dilakukan selama 2-4 minggu. 5
f. Sulkonazole (Exeldetm)
Sulkonazole merupakan obat jamur yang memiliki spektrum luas. Titik tangkapnya yaitu
menghambat sintesis ergosterol yang akan menyebabkan kebocoran komponen sel, sehingga
menyebabkan kematian sel jamur.
2. Golongan alinamin
9

a. Naftifine (Naftin)
Bersifat broad spektrum anti jamur dan merupakan derivat sintetik dari alinamin yang
mekanisme

kerjanya

mengurangi

sintesis

dari

ergosterol

sehingga

menyebabkan

pertumbuhan sel amur terhambat. 8,9


b. Terbinafin (Lamisil)
Merupakan derifat sintetik dari alinamin yang bekerja menghambat skualen epoxide yang
merupakan enzim kunci dari biositesis sterol jamur yang menghasilkan kekurangan ergosterol
yang menyebabkan kematian sel jamur. Secara luas pada penelitian melaporkan keefektifan
penggunaan terbinafin. Terbenafine dapat ditoleransi penggunaanya pada anak-anak dan
digunakan selama 1-4 minggu.
3. Golongan Benzilamin
a. Butenafine (mentax)
Anti jamur yang poten yang berhuungan dengan alinamin. Kerusakan membran sel jamur
menyebabkan sel jamur terhambat pertumbuhannya. Digunakan dalam bentuk cream 1%,
diberikan selama 2-4 minggu. Pada anak tidak dianjurkan. Untuk dewasa dioleskan sebanyak
4kali sehari.10
4.Golongan lainnya
a. Siklopiroks (Loprox)
Memiliki sifat broad spektrum anti fungal. Kerjanya berhubunan dengan sintesi DNA
b. Haloprogin (halotex)
Tersedia dalam bentuk solution atau spray, 1% cream. Digunakan selama 2-4minggu dan
dioleskan sebanyak 3kali sehari.
c. Tolnaftate
Tersedia dalam cream 1%,bedak,solution. Dioleskan 2kali sehari selama 2-4 minggu.7
Pengobatan secara sistemik dapat digunakan untuk untuk lesi yang luas atau gagal
dengan pengobatan topikal, berikut adalah obat sistemik yang digunakan dalam pengobatan
tinea cruris: 10
a. Ketokonazole
Sebagai turunan imidazole, ketokonazole merupakan obat jamur oral yangberspektrum luas.
Kerja obat ini fungistatik. Pemberian 200mg/hari selama 2-4 minggu.
b. Itrakonazole
10

Sebagai turunan triazole, itrakonazole merupakan obat anti jamur oral yang berspektrum luas
yang menghambat pertumbuhan sel jamur dengan menghambat sitokrom P-450 dependent
sintetis dari ergosterol yang merupakan komponen penting pada selaput sel jamur. Pada
penelitian disebutkan bahwa itrakonazole lebih baik daripada griseofulvin dengan hasil
terbaik 2-3 minggu setelah perawatan.5
c. Griseofulvin
Termasuk obat fungistatik, bekerja dengan menghambat mitosis sel jamur dengan mengikat
mikrotubuler dalam sel. Obat ini lebih sedikit tingkat keefektifannya dibanding itrakonazole.
Pemberian dosis pada dewasa 500mg microsize (330-375 mg ultramicrosize) PO selama 24minggu, untuk anak 10-25 mg/kg/hari Po atau 20 mg microsize /kg/hari 5
d. Terbinafine
Pemberian secara oral pada dewasa 250g/hari selama 2 minggu). Pada anak pemberian secara
oral disesuaikan dengan berat badan: 10

12-20kg :62,5mg/hari selama 2 minggu

20-40kg :125mg/ hari selama 2 minggu

>40kg:250mg/ hari selama 2 minggu

Edukasi kepada pasien di rumah :


1. Anjurkan agar menjaga daerah lesi tetap kering
2. Bila gatal, jangan digaruk karena garukan dapat menyebabkan infeksi.
3. Jaga kebersihan kulit dan kaki bila berkeringat keringkan dengan handuk dan
mengganti pakaian yang lembab
4. Gunakan pakaian yang terbuat dari bahan yang dapat menyerap keringat seperti
katun, tidak ketat dan ganti setiap hari.
5. Untuk menghindari penularan penyakit, pakaian dan handuk yang digunakan
penderita harus segera dicuci dan direndam air panas.8
Pada pasien ini diberikan Terapi medikamentosa pada kasus ini, yaitu terapi topical :
ketokonazole krim 2% oleskan 2x1 per hari selama 2 - 4 minggu karena obat tersebut
merupakan obat anti jamur dengan spektrum luas dan merupakan fungistatik yang
menghambat sintesis ergosterol sehingga komponen sel jamur tersebut dapat mati. Terapi
sistemik: griseofulvin tablet 2 x 250 mg per hari selama 2 minggu, di berikan pada pasien ini
karena obat ini bersifat fungistatik sama seperti penjelasan di atas namun obat ini diberikan
secara sistemik karena lesi yang begitu luas dan CTM 3x1 per hari, obat ini merupakan
antihistamin golongan pertama diberikan karena untuk mencegah efek histamine yang
11

dihasilkan sel mast dan diberikan pada pasien ini karena pasien bukan seorang pekerja
sehingga tidak masalah diberikan obat ini yang terdapat efek sedatifnya.1,2
Penyakit Ny. UA prognosis tergantung pada perawatan dan pengobatan. Secara
umum, prognosis kasus Ny.UA ini adalah baik.
Pasien dapat dikatakan sembuh jika dari gejala klinis nya tidak muncul lagi rasa gatal
serta pada pemeriksaan labor tidak ditemukannya lagi jamur pada pemeriksaan KOH 20%.

BAB IV
KESIMPULAN
12

Telah dilaporkan sebuah kasus Tinea Cruris pada seorang wanita usia 43 tahun.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
dermatologis.

PERTANYAAN
13

1. Riwayat 1 tahun yang lalu seharusnya tidak dimasukkan ke dalam keluhan utama,
tapi di riwayat penyakit dahulu ( sudah diperbaiki )
2. Apakah kortikosteroid bisa diberikan pada penderita jamur yang kronis? Tidak.
Karena kortikosteroid dapat meningkatkan efek sistemik sehingga dapat
menyuburkan pertumbuhan dari jamur itu sendiri. Sifat kortikosteroid hanya
bersifat meredakan saja.
3. Psoariasis tipe apa yang cocok pada diagnosa banding tersebut? Psoariasis
Vulgaris
4. Pada pasien kenapa diberi terapi topical dan sistemik? Karena pada jamur efek
terapi dengan topical dan sistemik jauh lebih efektif pada penyembuhan
disamping itu pasien juga mengalami lesi yang luas sehingga diberikan terapi
topical dan sistemik. Terapi topical juga diberikan jika tidak ada perbaikan atau
gagal terapi sebelumnya.
5. Pada regio inguinalis terdapat proses yang meninggi itu apa? Papul yang berada di
tepi lesi.
6. Pada pasien dikatakan terdapat makula dengan skuama ditengahnya, apakah itu
makula atau plak? Makula, karena pada perabaan tidak ada proses peninggian
seperti pada plak. Skuama juga sering ditemui pada proses yang kronis pada
makula.

DAFTAR PUSTAKA

14

1. Prof. Dr. dr. Djuanda, A, Hamzah, dkk, editor. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin.
Edisi Kelima. Jakarta: FKUI. 2010.hal 189-195
2. Siregar. Atlas Berwarna saripati penyakit kulit. Edisi Kedua. Jakarta: EGC; 2004. hal.
129-30.
3. Graham, Robin. Lecture Note Dermatologi. Edisi Kedelapan. Jakarta : EMS. 2007.
Hal. 29-30
4. Prof. Dr. Marwali H. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates; 2000.
5. Tinea

cruris.

Diunduh

dari

Yayasan

Psoriasis

Indonesia

dalam

http://www.tineacruris.or.id/ 2005
6. Goldenstein B. Tinea Cruris. Editors Melfiawaty. Dermatologi Praktis . Jakarta:
Hipokrates.2001.
7. Tinea

cruris.

Diunduh

dari

http://www.news-medical.net/health/what-is-

tineacruris.aspx juli 2013


8. Djuanda, Adi. Dkk. MIMS Indonesia petunjuk konsultasi. Edisi ketujuh. Jakarta.
2008.
9. Brown,

R.

Tinea

cruris.

26

Februari

2014.

Diunduh

dari:

URL:

http://emedicine.medscape.com/article/1132485-overview
10. Nafrialdi, Setiawan A. Farmakologi dan terapi. Edisi kelima. Jakarta:Departemen
Farmakologi dan terapeutik FKUI; 2007.

15

Anda mungkin juga menyukai