TINEA KRURIS
Disusun Oleh:
dr. Olivia Oktaviani Prastiwi
Pembimbing:
dr. Trah Lusianingtyas
IDENTITAS PASIEN
Nama : An. DHM
Umur : 16 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. Kayu Putih VI, Kel. Kayu Putih
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
Tanggal Datang : 28 Agustus 2018
ANAMNESIS
Seorang pasien laki-laki berusia 16 tahun datang ke Poli PKPR Puskesmas Kecamatan Pulo
Gadung pada tanggal 28 Agustus 2018 dengan:
Keluhan Utama : Bercak merah yang sudah mulai menggelap dan gatal pada area
selangkangan kiri dan kanan sejak 2 minggu
Keluhan tambahan : Tidak ada
Riwayat Pengobatan
Pasien belum pernah berobat untuk masalah penyakit kulit yang dideritanya
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis cooperative
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Frekuensi nadi : 72 x/menit
Frekuensi nafas : 18 x/menit
Suhu : 36.3 0C
Berat Badan : 87.7 kg
Tinggi Badan : 173 cm
IMT : 29
Pemeriksaan Fisik
Kepala
Mata : konjungtiva palpebral anemis tidak ada, sklera ikterik tidak ada
Hidung : tidak ada kelainan
Telinga : tidak ada kelainan
Mulut : tidak ada kelainan
Tenggorokan : tidak ada kelainan
Leher : Tekanan Vena Jugularis (5-2) cmH2O, tidak ada pembesaran KGB
Dada : Simetris, retraksi tidak ada
Jantung : BJI-II murni regular, Murmur tidak ada, Gallop tidak ada
Paru-paru : Suara Nafas Vesikuler (+/+), wheezing tidak ada, ronkhi tidak ada
Abdomen : Soepel, Cembung, BU+N, Nyeri Tekan tidak ada
Ekstremitas superior : edem (-/-), crt <2”
Ekstremitas inferior : edem (-/-), crt<2”
Status Dermatologis
Distribusi : Lokalisata
Ad Regio : Regio Inguinalis Dextra dan Sinistra
Sifat Lesi : Batas tegas, multiple, discrete, kering, ireguler, nummular, lentikuler,
tepi lebih aktif berupa papul eritem.
Efloresensi : Skuama, Erosi, Papul eritem, macula eritem, macula hiperpigmentasi.
(Pasien menolak untuk difoto diarea selangkangannya)
RESUME
Seorang laki-laki 16 tahun datang ke Poli PKPR Puskesmas Kecamatan Pulo Gadung
dengan keluhan timbul bercak merah yan sudah mulai menggelap pada area selangakangan kiri
dan kanan sejak 2 minggu. Pasien tidak tahu penyebab dari bercak merah tersebut. Awal bercak
merah tidak seluas saat ini. Keluhan gatal muncul apabila terkena keringat namun tidak perih
ataupun panas. Keluhan gatal tidak lebih sering muncul pada malam hari. Lesi tidak basah.
Karena terlalu gatal, pasien suka menggaruk area selangkangannya.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan status generalis dalam batas normal. Pada status
dermatologis, distribusi lokalisata di regio inguinalis dextra dan sinistra, batas tegas, multiple,
discrete, kering, ireguler, nummular, lentikuler, tepi lebih aktif berupa papul eritem. Terdapat
skuama, erosi, papul eritem, macula eritem, macula hiperpigmentasi.
DIAGNOSIS BANDING
Tinea Kruris
Candidiasis
Eritrasma
DIAGNOSIS KERJA
Tinea Kruris
PENATALAKSANAAN
Umum
Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit ini adalah penyakit yang disebabkan oleh
jamur
Menyarankan pasien untuk tidak menggunakan handuk orang lain
Memberi tahu pasien untuk menggunakan obat secara teratut dan tidak mengehntikan
pengobatan tanpa seiizin dokter
Memberi tahu pasien untuk menggunakan pakaian yang mudah menyerap keringat
Khusus
Sistemik :
Tablet Ketokonazole 1x200mg/hari selama 10 hari
Tablet CTM 1x4 mg/hari selama 6 hari
Cream Mikonazole 2% dioleskan diarea selangkangan secara tipis
PROGNOSIS
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
PENDAHULUAN
Dermatofitosis adalah sekelompok penyakit jamur kulit superfisial yang menyerang
jaringan dengan zat tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku, yang
disebabkan oleh jamur golongan dermatofita. Infeksi dermatofitosis dikenal dengan nama tinea
dan dibagi berdasarkan lokasi.1 Tinea kruris adalah salah satu dermatofitosis yang ditemukan
pada pangkal paha, genital, pubis, serta perineum dan kulit perianal.2 Penyakit ini juga dikenal
sebagai jock itch, crotch itch, dhobie itch, eczema marginatum, dan ringworm of the groin.3
Tinea kruris adalah jenis kedua dari dermatofitosis yang paling umum di seluruh dunia,
namun lebih sering terjadi pada zona tropis, seperti Indonesia.2,4,5 Penyakit ini merupakan salah
satu bentuk klinis tersering di Indonesia dan ditemui terutama pada musim panas dengan
tingkat kelembaban tinggi.3 Menurut penelitian Budimuldja tahun 1997, tinea kruris
menduduki peringkat kedua tersering dari seluruh penyakit jamur kulit di Departemen
Dermatologi dan Venereologi Universitas Indonesia.6
Tinea kruris dapat bersifat akut ataupun kronis, dan dapat diderita seumur hidup.1 Tinea
kruris lebih sering diderita oleh orang dewasa dibanding anak dan menyerang laki-laki tiga kali
lebih sering dibanding wanita, salah satu alasannya karena skrotum menciptakan kondisi yang
hangat dan lembab. Penularan tinea kruris dapat melalui kontak langsung, baik dengan manusia
maupun binatang, dan dari serpihan jamur pada pakaian, handuk, dan lain-lain.2,4,5 Faktor
predisposisi lain yang mempengaruhi terjadinya tinea kruris, antara lain obesitas dan derajat
perspirasi yang berlebih.5
Berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia 2012, kompetensi dokter umum
dalam menangani tinea kruris adalah 4A, yang artinya lulusan dokter mampu membuat
diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan secara mandiri dan tuntas.7 Referat ini akan
membahas mengenai etiopatogenesis, gambaran klinis, pemeriksaan penunjang, diagnosis
banding, diagnosis, serta penatalaksanaan mengenai tinea kruris.
ETIOPATOGENESIS
Tinea kruris disebabkan oleh infeksi jamur golongan dermatofita. Dermatofita adalah
golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis. Menurut Budimulja tahun 2010,
dermatofita termasuk kelas Fungi imperfecti, yang terbagi dalam tiga genus, yaitu
Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton, mempunyai sifat mencerna keratin.1
Penyebab tersering tinea kruris adalah Epidermophyton floccosum, diikuti Tricophyton rubrum
dan Tricophyton mentagrophytes.2,4
Infeksi dermatofita melalui tiga proses, yaitu perlekatan ke keratinosit, penetrasi
melewati dan di antara sel, dan perkembangan respon pejamu.5 Pertama adalah berhasil
melekatnya artrokonidia, spora aseksual yang dibentuk dari hasil fragmentasi hifa, ke
permukaan jaringan berkeratin setelah melewati beberapa pertahanan pejamu, antara lain asam
lemak yang dihasilkan oleh kelenjar sebasea yang bersifat fungistatik dan kompetisi dengan
flora normal.2 Dalam beberapa jam, secara in vitro 2 jam setelah terjadinya kontak,
pertumbuhan dan invasi spora mulai berlangsung.2,4
Proses kedua adalah invasi spora ke lapisan yang lebih dalam. Tahap ini dibantu oleh
sekresi proteinase, lipase dan enzim musinolitik, yang menjadi nutrisi bagi jamur. Trauma dan
maserasi juga membantu penetrasi jamur ke keratinosit. Selain itu, manans, suatu zat yang
terkandung dalam dinding sel dermatofita ini, dapat menghalangi proliferasi dari keratinosit
dan respon imunitas seluler yang memperlambat penyembuhan epidermis.2,8
Proses ketiga adalah perkembangan respon pejamu. Derajat inflamasi di pengaruhi oleh
status imun penderita dan organisme yang terlibat. Reaksi hipersensitivitas tipe IV, atau
Delayed Type Hipersensitivity (DHT) memegang peranan yang sangat penting dalam melawan
dermatofita. Respon inflamasi dari reaksi hipersensitivitas ini berkaitan dengan penyembuhan
pasien. Respon imunitas seluler yang rusak akan mengakibatkan proses penyakit yang kronis
dan berulang. Pengaruh adanya atopi dan kadar IgE yang tinggi juga diduga berpengaruh
terhadap kronisitas.2,3
Terdapat hipotesis menyatakan bahwa antigen dermatofita diproses oleh sel Langerhans
epidermis dan dipresentasikan dalam limfosit T di nodus limfe. Sel Langerhans bekerja sebagai
Antigen Presenting Cell (APC) yang mampu melakukan fungsi fagosit, memproduksi IL-1,
mengekspresikan antigen, reseptor Fe dan reseptor C3. Sel Langerhans berkumpul di dalam
kulit membawa antigen ke dalam pembuluh getah bening dan mempertemukannya dengan
limfosit yang spesifik. Selain oleh sel Langerhans, peran serupa dilakukan pula oleh sel endotel
pembuluh darah, fibroblast, dan keratinosit. Limfosit T yang telah aktif ini kemudian
menginfiltrasi tempat infeksi dan melepaskan limfokin. Limfokin inilah yang mengaktifkan
makrofag sehingga mampu membunuh jamur patogen.5,9
Faktor host yang berperan pada dermatofitosis yaitu genetik, jenis kelamin, usia,
obesitas, penggunaan kortikosteroid dan obat-obat imunosupresif. Kulit di lipat paha yang
basah dan tertutup menyebabkan terjadinya peningkatan suhu dan kelembaban kulit sehingga
memudahkan infeksi. Penjalaran infeksi dari bagian tubuh lain juga dapat menyebabkan
terjadinya tinea kruris, misalnya tinea pedis pada daerah kaki. Faktor lingkungan, berupa
higiene sanitasi dan lokasi geografis beriklim tropis, merupakan faktor predisposisi terjadinya
penyakit jamur.2,4
GAMBARAN KLINIS
Efloresensi terdiri atas macam-macam bentuk (polimorfik), baik primer maupun
sekunder.1 Tinea kruris mempunyai lesi yang khas berupa plak eritematosa berbatas tegas
meluas dari lipat paha hingga ke paha bagian dalam dan seringkali bilateral (Gambar 1).
Skrotum biasanya jarang terlibat.3 Lesi disertai skuama selapis dengan tepi yang meninggi.2
Gambar 1. Plak eritematosa dan skuama pada regio inguinal yang meluas ke regio pubis 2
Apapun penyebab tinea kruris, keluhan gatal merupakan salah satu gejala umum yang
menonjol. Nyeri juga sering dirasakan pada daerah yang terjadi maserasi dan infeksi
sekunder.2,5 Peradangan di bagian tepi lesi lebih terlihat dengan bagian tengah tampak seperti
menyembuh (central clearing). Pada tepi lesi dapat disertai vesikel, pustul, dan papul,
terkadang terlihat erosi disertai keluarnya serum akibat garukan. Pada lesi kronis dapat
ditemukan adanya likenifikasi disertai skuama dan hiperpigmentasi (Gambar 2).1,3,10
Gambar 2. Gambaran klinis tinea kruris disertai hiperpigmentasi12
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Untuk menegakkan diagnosis tinea kruris dibutuhkan uji diagnostik untuk mengisolasi
dan mengidentifikasi jamur. Gambaran klinis tinea kruris berupa kelainan kulit yang berbatas
tegas disertai peradangan dengan bagian tepi lebih nyata daripada bagian tengah.
1. Pemeriksaan elemen jamur
Spesimen kerokan kulit diambil dari daerah pinggir lesi yang meninggi atau aktif.
Hasil pemeriksaan mikroskopik secara langsung dengan KOH 10-20% didapatkan
hifa (dua garis lurus sejajar transparan, bercabang dua/dikotom dan bersepta) dengan
atau tanpa artrospora (deretan spora di ujung hifa) yang khas pada infeksi dermatofita
(Gambar 3). Pemeriksaan mikroskopik langsung untuk mengidentifikasi struktur
jamur merupakan teknik yang cepat, sederhana, terjangkau, dan telah digunakan
secara luas sebagai teknik skrining awal. Teknik ini hanya memiliki sensitivitas
hingga 40% dan spesifisitas hingga 70%. Hasil negatif palsu dapat terjadi hingga pada
l5% kasus, bahkan bila secara klinis sangat khas untuk dermatofitosis.9,12
Gambar 3. Gambaran hifa (tanda panah biru) disertai spora (tanda panah merah) 3
2. Pemeriksaan kultur
Kultur jamur merupakan metode diagnostik yang lebih spesifik namun membutuhkan
waktu yang lebih lama dan memiliki sensitivitas yang rendah, harga yang lebih mahal
Pemeriksaan kultur tidak rutin dilakukan pada diagnosis dermatofitosis. Biasanya
digunakan hanya pada kasus yang berat dan tidak berespon pada pengobatan sistemik.
Kultur dilakukan untuk mengetahui golongan ataupun spesies dari jamur penyebab
tinea kruris. Kultur perlu dilakukan untuk menentukan spesiesnya karena semua
spesies dermatofita tampak identik pada sediaan langsung. Media biakan yang
digunakan adalah agar dekstrosa Sabourraud yang ditambah antibiotik, contohnya
kloramfenikol, dan sikloheksimid untuk menekan pertumbuhan jamur kontaminan/
saprofit (contohnya jamur non-Candida albicans, Cryptococcus, Prototheca sp.,
P.werneckii, Scytalidium sp., Ochroconis gallopava), disimpan pada suhu kamar 25-
30oC selama tujuh hari, maksimal selama empat pekan dan dibuang jika tidak ada
pertumbuhan.9,12
Tabel 1. Morfologi dan gambaran mikroskopis jamur penyebab tersering tinea kruris 2
Morfologi Koloni Gambaran Keterangan
Mikroskopis
T. rubrum
Beberapa mikrokonidia berbentuk air mata,
makrokonidia jarang berbentuk pensil.
E. floccosum
1. Budimulja U. Mikosis. Dalam Djuanda A, Hamzah M, dan Aisah, S, eds. Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin. Edisi ke-6. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2010. Hal. 89-
100
2. Schieke SM, Garg A. Fungal disease: superficial fungal infection. In: Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolf K, eds. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine. 8th Ed: Volume 2. New York: McGraw-Hill; 2012. p.2277-97
3. James WD, Berger TG, Elston DM, eds. Andrews’ Disease of the Skin, Clinical Dermatology.
11th Ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011.
4. Sobera JO, Elewski BE. Infections, investations, and bites: fungal disease. In: Bolognia, Jean
L, Jorizzo JL, Rapini RP. eds. Dermatology. 2nd Ed: Volume 1. Philadelphia: Churchill
Livingstone Elsevier. p.1135-62
5. Hay JR, Ashbee HR. Mycology: superficial mycoses. Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths
C, eds. In: Rook’s Textbook of Dermatology. 8th Ed: Volume 2. Australia: Blackwell
Publishing. p 36.20-34
6. Budimuldja U. Mycotic diseases in Indonesia, with emphasis on skin fungal infection. Kor J
Med Mycol, 4(1); 1999. Hal. 1-5
7. Konsil Kedokteran Indonesia. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Edisi Ke-2. Jakarta:
Konsil Kedokteran Indonesia; 2012.
8. Kurniati CRSP. Etiopatogenesis dermatofitosis. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin,
20(3):2008, Hal 243-50
9. Mulyaningsih S. Tingkat kekambuhan tinea kruris dengan pengobatan krim ketokonasol 2%
sesuai lesi klinis dibandingkan dengan sampai 3 cm di luar batas lesi klinis (Laporan
Penelitian). Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro; 2004
10.Wolff K, Johnson RA. Fungal infection of the skin and hair. In: Fitzpatrick’s Color Atlas and
Synopsis of Clinical Dermatology. 6th Ed. New York: McGraw Hill; 2009.
11.Siswati AS, Ervianti E. Tinea korporis dan tinea kruris. Dalam. Bramono, Kusmarinah, dkk.
(Editor). Dermatomikosis Superfisialis. Edisi ke-2. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2013. Hal. 58-74
12.Yosella T. Diagnosis and treatment of tinea cruris. J MAJORITY, 4(2): 2015. Hal. 122-28
13.Kelly BP, Superficial fungal infections. Pediatrics in Review, 33(4): 2012. p.22-37