Anda di halaman 1dari 23

1

BAB I
PENDAHULUAN

Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat


tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku, yang
disebabkan golongan jamur dermatofita. Jamur ini dapat menginvasi seluruh
lapisan stratum korneum dan menghasilkan gejala melalui aktivasi respons imun
pejamu. Golongan jamur ini mempunyai sifat mencernakan keratin (keratofilik).
Dermatofita trmasuk kelas Fungi imperfecti, yang terbagi dalam 3 genus, yaitu
Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton. Selain sifat keratofilik,
dermatofita memiliki sifat faali, taksonomis, antigenik, kebutuhan zat makanan
untuk pertumbuhan dan penyebab penyakit.1,2
Dermatofitosis mempunyai prevalensi yang cukup tinggi di Indonesia,
karena Indonesia memiliki iklim tropis dan kelembaban yang tinggi. Penyakit
dermatofitosis ini tersebar di seluruh dunia dan menyerang semua umur, terutama
dewasa.1,3
Gambaran klinis pada dermatofitosis bergantung pada spesies penyebab,
ukuran inokulum jamur, bagian tubuh yang terkena, dan sistem imun pejamu.
Berikut ini adalah klasifikasi dermatofitosis berdasarkan lokasi:
1. Tinea kapitis adalah dermatofitosis pada kulit dan rambut kepala
2. Tinea barbe adalah dermatofitosis pada dagu dan jengot
3. Tinea kruris adalah dermatofitosis pada daerah genitokrural, sekitar anus,
bokong, dan kadang-kadang sampai perut bagian bawah
4. Tinea pedis et manus adalah dermatofitosis pada kaki dan tangan
5. Tinea unguium adalah dermatofitosis pada kuku jari tangan dan kaki
6. Tinea korporis adalah dermatofitosis pada bagian lain yang tidak termasuk
bentuk 5 tinea di atas.1
2

Selain 6 bentuk tinea masih dikenal istilah yang mempunyai arti khusus,
yaitu:
1. Tinea imbrikata adalah dermatofitosis dengan susunan skuama yang
konsentris dan disebabkan Trichophyton concentricum
2. Tinea favosa atau favus adalah dermatofitosis yang terutama disebabkan
Trichopyton schoenleini; secara klinis antara lain berbentuk skutula dan
berbau seperti tikus (mousy odor)
3. Tinea fasialis, tinea aksilaris, yang juga menunjukan daerah kelainan
4. Tinea sirsinata, arkuata yang merupakan penamaan deskriptif morfologis
Keempat istilah tersebut dapat dianggap sebagai sinonim tinea korporis.1,2
Tinea pedis adalah dermatofitosis pada kaki, terutama pada sela-sela jari
dan telapak kaki. Tinea pedis yang tersering dilihat adalah bentuk interdigitalis.
Diantara jari IV dan V terlihat fisura yang dilingkari sisik halus dan tipis.
Kelainan ini dapat meluas ke bawah jari (subdigital) dan juga ke sela jari yang
lain. Oleh karena daerah ini lembab, maka sering dilihat maserasi. Aspek klinis
maserasi berupa kulit putih dan rapuh. Bila bagian kulit yang mati ini dibersihkan,
maka akan terlihat kulit baru, yang pada umumnya juga telah diserang oleh jamur.
Bentuk klinis ini dpat berlangsung bertahun-tahun dengan menimbulkan sedikit
keluhan atau tanpa keluhan sama sekali. Pada suatu ketika kelainan ini dapat
disertai infeksi sekunder oleh bakteri sehingga terjadi selulitis, limfangitis,
limfadenitis, dan dapat pula terjadi erisipelas, yang disertai gejala-gejala umum.2
Bentuk lain ialah yang disebut moccasin foot. Pada seluruh kaki, dari
telapak, tepi sampai punggung kaki terlihat kulit menebal dan bersisik; eritema
biasanya ringan dan terutama terlihat pada bagian tepi lesi. Di bagian tepi lesi
dapat pula dilihat papul dan kadang-kadang vesikel.3
Pada bentuk subakut terlihat vesikel, vesiko-pustul dan kadang-kadang
bula. Kelainan ini dapat mulai pada daerah sela jari, kemudian meluas ke
punggung kaki atau telapak kaki. Isi vesikel berupa cairan jernih yang kental.
Setalah pecah, vesikel tersebut meninggalkan sisik yang berbentuk lingkaran yang
disebut koleret. Infeksi sekunder dapat terjadi juga pada bentuk ini.3,4
3

Jamur terdapat pada bagian atap vesikel. Untuk menemukannya, sebaiknya


diambil atap vesikel atau bula untuk diperiksa secara sediaan langsung atau untuk
dibiak.3,4
Tinea pedis banyak terlihat pada orang yang dalam kehidupan sehari-hari
banyak bersepatu tertutup disertai perawatan kaki yang buruk atau sering basah.
Penderita biasanya orang dewasa.4
4

BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas
Nama : Ny. I
Umur : 28 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Kaliancar
Pendidikan Terakhir : SMP (Sekolah Menengah Pertama )
Agama : Islam
Pekerjaan : Karyawan
Suku : Jawa
Tanggal pemeriksaan : 23 November 2017

2.2 Anamnesis
Anamnesis terhadap pasien dilakukan pada hari Kamis, tanggal 23
November 2017 pukul 10.45 WIB di Poliklinik Kulit dan Kelamin RS Dr
Adhyatma Semarang.
A. Keluhan Utama
Gatal
B. Riwayat penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan gatal pada kaki kiri bagian sela-sela jari
dan telapak kaki. Keluhan dirasakan pasien sejak 3 hari yang lalu.
Awalnya pasien mengeluh timbul bintil dan bercak kemerahan di sela-sela
jari kaki kiri. Bintil tersebut berisi nanah dan pecah sejak 2 hari yang lalu
kemudian menyebar ke sela jari lainnya. Gatal dirasakan terus menerus
sejak timbul bintil tersebut. Keluhan tersebut tidak disertai demam. Pasien
belum berobat ke dokter sebelumnya
5

C. Riwayat Penyakit Dahulu


- Pasien pernah mengalami keluhan gatal sebelumnya sekitar 1 bulan
yang lalu dan keluhan membaik setelah pasien memberikan salep
kalmicetin dari puskesmas.
- Riwayat alergi obat disangkal
- Riwayat keluhan penyakit kulit disangkal
- Riwayat alergi jika terkena deterjen diakui pasien.
D. Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat keluhan yang sama di keluarga disangkal
- Riwayat gula disangkal
- Riwayat bersin-bersin di keluaga disangkal
- Rriwayat asma disangkal
- Riwayat alergi makanan di keluarga juga disangkal pasien.
E. Riwayat Kebiasaan
Pasien mandi 2 kali dalam sehari, memakai sabun batangan yang
dipakai bersama sekeluarga, memakai handuk sendiri, air di rumah
menggunakan air sumur. Pasien menjaga kebersihan pakaian yang
dipakainya dan sehari mengganti pakaian 2 kali Pasien memakai sepatu
tertutup saat bekerja.
F. Riwayat Pengobatan
Pasien pernah berobat ke puskesmas sekitar 1 bulan yang lalu
dengan keluhan gatal dan keluhan membaik saat mendapatkan salep
kalmicetin.
6

2.3 Pemeriksaan Fisik


Status Generalis
Keadaan umum : tampak sakit ringan
Kesadaran : composmentis
1. Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 140/80 mmHg
Nadi : 90 x/menit, regular
Respirasi : 26 x/menit, regular
Suhu : afebris
Berat badan : 50 Kg
2. Kepala :
Rambut : hitam, distribusi merata, tidak ada kelainan kulit kepala
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : deviasi septum (-/-), secret (-/-)
Telinga : normotia, tidak ada kelainan kulit
Mulut : tidak kering, lidah tidak kotor
Leher : tidak teraba pembesaran KGB
3. Thoraks
Inspeksi : Tidak ada kelainan kulit, bentuk normal
Palpasi : Tidak dilakukan
Perkusi : Tidak dilakukan
Auskultasi: Tidak dilakukan
4. Abdomen
Inspeksi : Tidak ada kelainan, bentuk datar
Auskultasi: Tidak dilakukan
Perkusi : Tidak dilakukan
Palpasi : Tidak dilakukan
5. Ekstremitas
Akral hangat, CRT < 2 detik, terdapat kelainan kulit pada ekstremitas
inferior
7

A. Status Dermatologikus
Distribusi : Regional
Ad regio : Telapak kaki dan sela jari kaki kiri
Lesi : Pustul yang telah pecah bentuk tidak beraturan, berbatas
tidak tegas, basah
Efloresensi : Pustul, erosi dan makula eritema

Gambar 1. Pustul dan erosi

Gambar 2. Eritema di sela jari


8

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang pada pasien ini.

2.5 Resume
Seorang perempuan berusia 28 tahun datang ke Poliklinik Kulit dan
Kelamin RS Dr. Adhyatma Semarang pada hari kamis tanggal 23 November
2017 pukul 10.45 WIB dengan keluhan kulit gatal dan ada pustul serta erosi.
Pada anamnesis keluhan gatal pada kaki kiri bagian sela-sela jari dan
telapak kaki. Keluhan dirasakan pasien sejak 3 hari yang lalu. Awalnya
timbul pustul dan makula eritema di sela-sela jari kaki kiri. Pustul pecah sejak
2 hari yang lalu kemudian menyebar ke sela jari lainnya. Gatal dirasakan
terus menerus sejak timbul bintil tersebut. Keluhan tersebut tidak disertai
demam. Pasien belum berobat ke dokter sebelumnya
Pasien pernah mengalami keluhan gatal sebelumnya sekitar 1 bulan
yang lalu dan keluhan membaik setelah pasien memberikan salep kalmicetin
dari puskesmas. Pasien menyangkal ada yang menderita keluhan yang serupa
di keluarganya. Riwayat penyakit kulit dan alergi dalam keluarga juga
disangkal. Pasien mempunyai kebiasaan mandi 2 kali sehari dan menjaga
kebersihan pakaian yang dipakainya dan sehari mengganti pakaian 2 kali.
Pasien memakai sepatu tertutup saat bekerja.
Pada pemeriksaan fisik, status generalis dalam batas normal. Pada
status dermatologi, didapatkan distribusi: regional; ad regio: telapak kaki dan
sela jari kaki kiri; lesi: pustul yang telah pecah bentuk tidak beraturan,
berbatas tidak tegas, basah; efloresensi: pustul, erosi dan makula eritema.

2.6 Diagnosis Banding


1. Tinea pedis interdigitalis dengan infeksi sekunder
2. Dermatitis kontak alergi
3. Kandidosis intertriginosa

2.7 Diagnosis Kerja


Tinea Pedis Interdigitalis dengan infeksi sekunder
9

2.8 Usulan Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan mikologi kerokan kulit pada bagian lesi di telapak kaki
kiri dengan ditambah larutan KOH 20%.
2.9 Penatalaksanaan
Non Medikamentosa:
- Memberikan penjelaskan pada pasien tentang penyakit yang diderita dan
cara pengobatannya.
- Menerangkan pentingnya menjaga kebersihan diri dan lingkungan tempat
tinggal.
- Menyarankan bila terasa gatal, sebaiknya jangan menggaruk terlalu keras
karena dapat menyebabkan luka dan infeksi sekunder.
- Pemakaian obat yang diberikan harus diberikan rutin agar mencapai
penyembuhan yang maksimal.
Medikamentosa:
- Sistemik (Oral):
Ketokonazole 200mg diminum 2x sehari, pada pagi hari setalah makan
selama 10 hari
Cetirizine 10mg diminum 1x sehari selama 7 hari atau jika gatal
Cephadroxil 500 mg diminum 2x sehari.
- Topikal :
Anti jamur golongan azol, misalnya ketokonazol 2% krim dioleskan 2x
sehari sehabis mandi tiap pagi dan sore hari pada sela jari yang gatal
selama 1 minggu.

2.10 PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad fungsionam : ad bonam
Quo sd sanationam : ad bonam
Qua ad komsetikum : dubia ad bonam
10

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Tinea Pedis


A. Definisi
Tinea pedis merupakan infeksi dermatofita pada kaki terutama mengenai
sela jari dan telapak kaki. Keadaan lembab dan hangat pada sela jari kaki dan
telapak kaki karena bersepatu dan berkaos kaki disertai daerah tropis yang
lembab mengakibatkan pertumbuhan jamur makin subur. Efek ini lebih nyata
pada sela jari kaki keempat dan kelima, dan lokasi ini paling sering terkena.
Kenyataaannya, tinea pedis jarang ditemukan pada populasi yang tidak
menggunakan sepatu. Sinonim dari tinea pedis adalah foot ringworm, athlete
foot, foot mycosis. Tinea pedis atau sering disebut athelete foot karena untuk
menunjukan bentuk jari kaki yang seperti terbelah.1,5,6

B. Epidemiologi
Tinea pedis terdapat di seluruh dunia sebagai dermatofitosis yang paling
sering terjadi. Meningkatnya insidensi tinea pedis mulai pada akhir abad ke-
19. Tingkat prevalensi tinea pedis secara nyata diketahui karena pasien tidak
mencari nasihat medis kecuali kualitas hidup mereka dipengaruhi, karena ini
bukan penyakit yang mengancam jiwa. Diperkirakan 10% dari jumlah
penduduk di banyak negara menderita penyakit ini. Frekuensi tinea pedis di
Eropa dan Amerika Utara berkisar 15-30% dan pada beberapa masyarakat
tertentu lebih tinggi, misalnya buruh tambang (sampai 70%) dan atlit. Tinea
pedis lazim ditemukan pada daerah beriklim tropis dan sedang.7
Prevalensi dari tinea pedis sekitar 10%, terutama disebabkan oleh
penggunaan alas kaki modern, meskipun perjalanan keliling dunia juga
merupakan faktor. Kejadiaan tinea pedis lebih tinggi diantara komuniti yang
menggunakan tempat-tempat umum seperti kamar mandi, shower atau kolam
renang. Kejadian infeksi ini sering terjadi pada iklim hangat lembab dimana
dapat meningkatkan pertumbuhan jamur, tetapi jarang ditemukan di daerah
yang tidak menggunakan alas kaki.6,7
11

Tinea pedis lebih sering terjadi pada usia dewasa daripada anak remaja
terutama pada laki-laki dan jarang pada perempuan dan anak-anak.
Kemungkinan infeksi berkaitan dengan paparan ulangan dermatofita sehingga
orang yang menggunakan fasilitas mandi umum seperti pancuran, kolam
renang, kamar mandi lebih cenderung terinfeksi.7

C. Etiologi
Jamur penyebab tinea pedis yang paling umum ialah Trichophyton rubrum
(paling sering), T. interdigitale, T. tonsurans (sering pada anak) dan
Epidermophyton floccosum. T. rubrum lazimnya menyebabkan lesi yang
hiperkeratotik, kering menyerupai bentuk sepatu sandal (mocassin like) pada
kaki; T. mentagrophyte seringkali menimbulkan lesi yang vesikular dan lebih
meradang sedangkan E. floccosum bisa menyebabkan salah satu diantara dua
pola lesi diatas.6
Pada Trichophyton secara mikroskopik ditemukan hifa bersepta/bersekat,
hifa spiral, ditemukan makrokonidia berbentuk gada berdinding tipis terdiri
dari 6-12 sel yang ditemukan makrokonidia seperti tetes air. Secara
makroskopik ditemukan koloni yang kasar berserbuk/ radier pada bagian
tengah menonjol.3,4

D. Patogenesis
Patogenesis dermatofita memiliki beberapa tahapan:
1. Proses adherence/ pengikatan. Fungi mempunyai hambatan dalam proses
infeksinya, salah satunya adalah harus resisten terhadap sinar UV, variasi
suhu dan kelembaban, persaingan dengan flora normal, sphingosines yang
diproduksi oleh keratinosit. Asam lemak yang diproduksi oleh glandula
sebasea bersifat fungistatik (menghambat pertumbuhan jamur).5,7
2. Setelah adherence fungi memasuki proses penetrasi spora akan tumbuh
dan menembus stratum korneum dengan kecepatan lebih cepat daripada
proses proses deskuamasi epidermis. Proses penetrasi ini dilakukan
melalui sekresi proteinase, lipase, dan enzim musinolitik, yang juga
memberikan nutrisi. Trauma dan maserasi juga membantu terjadinya
12

penetrasi. Mekanisme pertahanan baru muncul setelah lapisan epidermis


yang lebih dalam telah dicapai, termasuk kompetisi dengan zat besi oleh
transferin tidak tersaturasi dan juga penghambatan pertumbuhan jamur
oleh progesteron.6
3. Development a host respons/respon host. Proses inflamasi yang terjadi
sangat bergantung dari sistem imun host dan juga oleh jenis organisme.
Beberapa fungi dapat menghasilkan faktor kemotaktik dengan berat
molekul rendah seperti yang dihasilkan bakteri. Antibodi tidak terlihat
pada infeksi dermatofita, tetapi hanya menggunakan jalur reaksi
hipersensitivitas tipe IV. Infeksi yang sangat ringan sering hanya
menimbulkan inflamasi yang ringan juga. Pertama muncul berupa eritema
dan scale/skuama yang menandakan terjadinya peningkatan pergantian
keratinosit (keratinocyte turnover). Antigen dermatofit diproses oleh sel
langerhans epidermis dan dipresentasikan di nodus limpa lokal menuju
limfosit T. Kemudian limfosit T mengalami proliferasi dan bermigrasi ke
lokasi untuk membunuh jamur dan pada waktu ini lesi menjadi mendadak
inflamasi. Oleh sebab ini barier epidermal menjadi permeable terhadap
transferin dan migrasi sel.7
Keadaan basah dan hangat dalam sepatu memainkan peran penting dalam
pertumbuhan jamur. Selain itu hiperhidrosis, akrosianosis dan maserasi
sela jari merupakan faktor predisposisi timbulnya infeksi jamur pada kulit.
Sekitar 60-80% dari seluruh penderita dengan gangguan sirkulasi (arteri
dan vena) kronik akibat onikomikosis dan/atau tinea pedis.6
13

E. Gambaran Klinis
Gambaran klinis dari tinea pedis dapat dibedakan berdasarkan tipe:
1) Interdigitalis
Bentuk ini adalah yang tersering terjadi pada pasien tinea pedis. Di
antara jari IV dan V terlihat fisura yang dilingkari sisik halus dan tipis.
Kelainan ini dapat meluas ke bawah jari (subdigital) dan juga ke sela jari
yang lain. Kelainan kulit berupa kelompok vesikel, dan terjadi maserasi
berupa kulit putih dan rapuh. Bila bagian kulit yang mati ini dibersihkan,
maka akan terlihat kulit baru, yang pada umumnya juga telah diserang
oleh jamur. Jika perspirasi berlebihan (memakai sepatu karet/boot, mobil
yang terlalu panas) maka inflamasi akut akan terjadi sehingga pasien
terasa sangat gatal. Bentuk klinis ini dapat berlangsung bertahun-tahun
dengan menimbulkan sedikit keluhan sama sekali. Kelainan ini dapat
disertai infeksi sekunder oleh bakteri sehingga terjadi selulitis, limfangitis
dan limfadenitis.5

Gambar 3. Tinea pedis tipe interdigiti5

2) Moccasin foot (plantar)


Tinea pedis tipe moccasin atau Squamous-Hyperkeratotic Type
umumnya bersifat hiperkeratosis yang bersisik dan biasanya asimetris
yang disebut foci. Seluruh kaki, dari telapak, tepi sampai punggung kaki
terlihat kulit menebal dan bersisik; eritema biasanya ringan dan terutama
terlihat pada bagian tepi lesi. Di bagian tepi lesi dapat pula dilihat papul
14

dan kadang-kadang vesikel. Tipe ini adalah bentuk kronik tinea yang
biasanya resisten terhadap pengobatan.5,6

Gambar 4. Tine Pedis pada Telapak Kaki 6,7

3) Lesi Vesikobulosa
Bentuk ini adalah subakut yang terlihat vesikel, vesiko-pustul dan
kadang-kadang bula yang terisi cairan jernih. Kelainan ini dapat mulai
pada daerah sela jari, kemudian meluas ke punggung kaki atau telapak
kaki. Setelah pecah, vesikel tersebut meninggalkan sisik yang berbentuk
lingkaran yang disebut koleret. Keadaan tersebut menimbulkan gatal yang
sangat hebat. Infeksi sekunder dapat terjadi juga pada bentuk selulitis,
limfangitis dan kadang-kadang menyerupai erisipelas. Jamur juga didapati
pada atap vesikel.5

Gambar 5. Tinea pedis vesikubulosa 7


15

4) Tipe Ulseratif
Tipe ini merupakan penyebaran dari tipe interdigiti yang meluas ke
dermis akibat maserasi dan infeksi sekunder (bakteri); ulkus dan erosi
pada sela-sela jari; dapat dilihat pada pasien yang imunokompromais dan
pasien diabetes.5,7

5,6
Gambar 6. Tinea pedis tipe ulseratif

F. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Kalium Hidroksida (KOH) pada kerokan sisik kulit akan
terlihat hifa bersepta. Pemeriksaan ini sangat menunjang diagnosis
dermatofitosis. KOH digunakan untuk mengencerkan jaringan epitel
sehingga hifa akan jelas kelihatan di bawah mikroskop. Kulit dari bagian
tepi kelainan sampai dengan bagian sedikit di luar kelainan sisik kulit
dikerok dengan pisau tumpul steril dan diletakkan di atas gelas kaca,
kemudian ditambah 1-2 tetes larutan KOH dan ditunggu selama 15-20
menit untuk melarutkan jaringan, setelah itu dilakukan pemanasan. Tinea
pedis tipe vesikobulosa, kerokan diambil pada atap bula untuk mendeteksi
hifa.7,8

Gambar 7. KOH: Tampak hifa dan spora (mikrokonidia)


16

2) Kultur jamur dapat dilakukan untuk menyokong pemeriksaan dan


menentukan spesis jamur. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanam
bahan klinis pada media buatan, yang dianggap paling baik adalah
medium agar dekstrosa Sabouraud. Media agar ini ditambahkan dengan
antibiotik (kloramfenikol atau sikloheksimid).9

Gambar 8. Trichophyton rubrum; koloni Downy

3) Pemeriksaan histopatologi, karakteristik dari tinea pedis atau tinea manum


adalah adanya akantosis, hiperkeratosis dan celah (infiltrasi perivaskuler
superfisialis kronik pada dermis).7,8
4) Pemeriksaan lampu Wood pada tinea pedis tidak terlalu bermakna karena
banyak dermatofita tidak menunjukkan fluoresensi kecuali pada tinea
kapitis yang disebabkan oleh Microsporum sp. Pemeriksaan ini dilakukan
sebelum kulit di daerah tersebut dikerok untuk mengetahui lebih jelas
daerah yang terinfeksi.7
G. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gejala klinis khas.
Pemeriksaaan laboratorium berupa:
a) Pemeriksaan langsung dengan KOH 10-20% ditemukan hifa yaitu
double conture (dua garis lurus sejajar dan transparan), dikotomi
(bercabang dua) dan bersepta. Selain itu di dapatkan artrokonidia yaitu
deretan spora di ujung hifa. Hasil KOH (-) tidak menyingkirkan
diagnosis bila klinis menyokong.5,6
b) Kultur ditemukan dermatofit.5
17

H. Diagnosis Banding
1. Dermatitis Kontak Alergika
Dermatitis kontak merupakan bagian dari eksim atau eksema, di mana
kulit bisa menjadi memerah, kering dan pecah-pecah. Penyebab dermatitis
kontak alergik (DKA) adalah alergen, paling sering berupa bahan kimia
sederhana dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da, yang juga disebut
hapten, bersifat lipofilik, sangat reaktif, dan dapat menembus stratum
korneum. Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen,
derajat pajanan, dan luasnya penetrasi di kulit, lama pajanan, suhu dan
kelembaban lingkungan, vehikulum, dan pH.5
Faktor individu juga ikut berperan, misalnya keadaan kulit pada lokasi
kontak (utuh, terluka, kering, tebal epidermis bergantung pada lokasinya) dan
status imunologik (sedang sakit, atau terpajan matahari). Pada dermatitis
kontak, gejala umum pada kulit penderita adalah ruam kemerahan,
peradangan, gatal yang kadang-kadang terasa parah, kering, bersisik,
menebal, pecah-pecah, dan nyeri.5,8
Tinea pedis harus dibedakan dengan dermatitis, yang biasanya
batasnya tidak jelas, bagian tepi tidak lebih aktif daripada bagian tengah.
Adanya vesikel-vesikel steril pada jari-jari kaki dan tangan (pomfoliks) dapat
merupakan reaksi id, yaitu akibat setempat hasil reaksi hipersensitivitas
terhadap antigen yang berada di lokasi lain. Efek samping obat tipikal juga
dapat memberi gambaran serupa yang menyerupai eksim atau dermatitis.
Pada hiperhidrosis terlihat kulit mengelupas atau maserasi.5,7
Predileksinya pada bagian yang kontak dengan dengan sepatu, kaos
kaki, bedak kaki dan sebagainya. Adanya riwayat pengunaan sepatu baru.
Tidak ditemukan jamur pada kultur tetapi hanya tanda-tanda peradangan.
Dermatitis kontak akan memberikan tes tempel positif, sedangkan pada tinea
pedis hasilnya negative.8
18

2. Kandidosis
Kandidosis adalah penyakit jamur, yang disebabkan oleh Candida
spp misalnya spesies C.albicans. Infeksi dapat mengenai kulit, kuku,
membran mukosa, traktus respiratorius, juga menyebabkan kelainan
sistemik. Jamur candida hidup sebagai saprofit, terutama terdapat di
traktus gastrointestinal, selain itu di vagina, uretra, kulit, dan dibawah
kuku. Patogenesis infeksi candida dapat terjadi apabila ada faktor
presdiposisi baik endogen maupun eksogen seperti perubahan fisiologi
usia, faktor mekanik kelembaban maserasi, faktor nutrisi avitaminosis,
penyakit endokrin, ataupun iatrogenik.1,2
Gejala klinis kandidosis intertriginosa adalah lesi di daerah lipatan
ketiak, genitokrural, intergluteal, lipat payudara, interdigita;, umbilikus,
serta lipatan kulit dinding perut berupa bercak yang berbatas tegas,
bersisik, basah, dan eritematosa. Lesi tersebut dikelilingi satelit berupa
vesikel-vesikel dan pustul-pustul kecil atau bula yang bila pecah
menimbulkan erosif, dengan pinggir yang kasar dan berkembang seperti
lesi primer.2,3
Tinea Pedis murni agak sulit dibedakan dengan kandidosis ini.
Pemeriksaan sediaan langsung dengan larutan KOH dan pembiakan dapat
membantu. Infeksi sekunder dengan spesies Candida atau bakteri lain
sering menyertai tinea pedis.8
I. Penatalaksanaan
1. Antifungal Topikal
Obat topikal digunakan untuk mengobati penyakit jamur yang terlokalisir.
Efek samping dari obat-obatan ini sangat minimal, biasanya terjadi
dermatitis kontak alergi, yang biasanya terbuat dari alkohol atau
komponen yang lain.9
a. Imidazol Topikal. Efektif untuk semua jenis tinea pedis tetapi lebih
cocok pada pengobatan tinea pedis interdigitalis karena efektif pada
dermatofit dan kandida.
1) Klotrimazole 1 %. Antifungal yang berspektrum luas dengan
menghambat pertumbuhan bentuk yeast jamur. Obat dioleskan dua
19

kali sehari dan diberikan sampai waktu 2-4 minggu. Efek samping
obat ini dapat terjadi rasa terbakar, eritema, edema dan gatal.9
2) Ketokonazole 2 % krim merupakan antifungal berspektrum luas
golongan Imidazol; menghambat sintesis ergosterol, menyebabkan
komponen sel yang mengecil hingga menyebabkan kematian sel
jamur. Obat diberikan selama 2-4 minggu.10
3) Mikonazol krim, bekerja merusak membran sel jamur dengan
menghambat biosintesis ergosterol sehingga permeabilitas sel
meningkat yang menyebabkan keluarnya zat nutrisi jamur hingga
berakibat pada kematian sel jamur. Lotion 2 % bekerja pada
daerah-daerah intertriginosa. Pengobatan umumnya dalam jangka
waktu 2-6 minggu.9
b. Tolnaftat 1% merupakan suatu tiokarbamat yang efektif untuk
sebagian besar dermatofitosis tapi tidak efektif terhadap kandida.
Digunakan secara lokal 2-3 kali sehari. Rasa gatal akan hilang dalam
24-72 jam. Lesi interdigital oleh jamur yang rentan dapat sembuh
antara 7-21 hari. Pada lesi dengan hiperkeratosis, tolnaftat sebaiknya
diberikan bergantian dengan salep asam salisilat 10 %.8,9
c. Piridones Topikal merupakan antifungal yang bersifat spektrum luas
dengan antidermatofit, antibakteri dan antijamur sehingga dapat
digunakan dalam berbagai jenis jamur.9,10
Sikolopiroksolamin. Pengunaan kliniknya untuk dermatofitosis,
kandidiasis dan tinea versikolor. Sikolopiroksolamin tersedia dalam
bentuk krim 1 % yang dioleskan pada lesi 2 kali sehari. Reaksi iritatif
dapat terjadi walaupun jarang terjadi.9,10
d. Alilamin Topikal. Efektif terhadap berbagai jenis jamur. Obat ini juga
berguna pada tinea pedis yang sifatnya berulang (seperi hiperkeratotik
kronik).
Terbinafine (Lamisil®), menurunkan sintesis ergosterol, yang
mengakibatkan kematian sel jamur. Jangka waktu pengobatan 1
sampai 4 minggu. Berdasarkan penelitian yang dilakukan bahwa
terbinafine 1% memiliki keefektifan yang sama dengan terbinafine
20

10% dalam mengobati tine pedis namun dalam dosis yang lebih kecil
dan lebih aman.9,10
e. Anti jamur Topikal Lainnya.
1) Asam benzoat dan asam salisilat. Kombinasi asam benzoat dan
asam salisilat dalam perbandingan 2 : 1 (biasanya 6 % dan 3 %) ini
dikenal sebagai salep Whitfield. Asam benzoat memberikan efek
fungistatik sedangkan asam salisilat memberikan efek keratolitik.
Asam benzoat hanya bersifat fungistatik maka penyembuhan baru
tercapai setelah lapisan tanduk yang menderita infeksi terkelupas
seluruhnya. Dapat terjadi iritasi ringan pada tempat pemakaian,
juga ada keluhan yang kurang menyenangkan dari para
pemakainya karena salep ini berlemak.10
2) Asam Undesilenat. Dosis dari asam ini hanya menimbulkan efek
fungistatik tetapi dalam dosis tinggi dan pemakaian yang lama
dapat memberikan efek fungisidal. Obat ini tersedia dalam bentuk
salep campuran yang mengangung 5 % undesilenat dan 20% seng
undesilenat.9,10
3) Haloprogin. Haloprogin merupakan suatu antijamur sintetik,
berbentuk kristal kekuningan, sukar larut dalam air tetapi larut
dalam alkohol. Haloprogin tersedia dalam bentuk krim dan larutan
dengan kadar 1 % .9
2. Antifungal Sistemik
Pemberian antifungal oral dilakukan setelah pengobatan topikal
gagal dilakukan. Secara umum, dermatofitosis pada umumnya dapat
diatasi dengan pemberian beberapa obat antifungal di bawah ini antara
lain:9
a. Griseofulvin merupakan obat yang bersifat fungistatik. Griseofulvin
dalam bentuk partikel utuh dapat diberikan dengan dosis 0,5 – 1 g
untuk orang dewasa dan 0,25 - 0,5 g untuk anak-anak sehari atau 10-25
mg/kg BB. Lama pengobatan bergantung pada lokasi penyakit,
penyebab penyakit, dan imunitas penderita. Setelah sembuh klinis
dilanjutkan 2 minggu agar tidak residif. Dosis harian yang dianjurkan
21

dibagi menjadi 4 kali sehari. Di dalam klinik cara pemberian dengan


dosis tunggal harian memberi hasil yang cukup baik pada sebagian
besar penderita. Griseofulvin diteruskan selama 2 minggu setelah
penyembuhan klinis. Efek samping dari griseofulvin jarang dijumpai,
yang merupakan keluhan utama ialah sefalgia yang didapati pada 15 %
penderita. Efek samping yang lain dapat berupa gangguan traktus
digestivus yaitu nausea, vomitus dan diare. Obat tersebut juga dapat
bersifat fotosensitif dan dapat mengganggu fungsi hepar.9,10
b. Ketokonazole.
Obat per oral, yang juga efektif untuk dermatofitosis yaitu
ketokonazole yang bersifat fungistatik. Kasus-kasusyang resisten
terhadap griseofulvin dapat diberikan obat tersebut sebanyak 200 mg
per hari selama 10 hari – 2 minggu pada pagi hari setelah makan.
Ketokonazole merupakan kontraindikasi untuk penderita kelainan
hepar.10
c. Itrakonazole.
Itrakonazole merupakan suatu antifungal yang dapat digunakan
sebagai pengganti ketokonazole yang bersifat hepatotoksik terutama
bila diberikan lebih dari sepuluh hari. Itrakonazole berfungsi dalam
menghambat pertumbuhan jamur dengan mengahambat sitokorm P-45
yang dibutuhkan dalam sintesis ergosterol yang merupakan komponen
penting dalam sela membran jamur. Pemberian obat tersebut untuk
penyakit kulit dan selaput lendir oleh penyakit jamur biasanya cukup 2
x 100-200 mg sehari dalam selaput kapsul selama 3 hari. Interaksi
dengan obat lain seperti antasida (dapat memperlambat reabsorpsi di
usus), amilodipin, nifedipin (dapat menimbulkan terjadinya edema),
sulfonilurea (dapat meningkatkan resiko hipoglikemia). Itrakonazole
diindikasikan pada tinea pedis tipe moccasion.10
d. Terbinafin.
Terbinafin berfungsi sebagai fungisidal juga dapat diberikan
sebagai pengganti griseofulvin selama 2-3 minggu, dosisnya 62,5 mg –
250 mg sehari bergantung berat badan. Mekanisme sebagai antifungal
22

yaitu menghambat epoksidase sehingga sintesis ergosterol menurun.


Efek samping terbinafin ditemukan pada kira-kira 10 % penderita,
yang tersering gangguan gastrointestinal di antaranya nausea, vomitus,
nyeri lambung, diare dan konstipasi yang umumnya ringan. Efek
samping lainnyadapat berupa gangguan pengecapan dengan
presentasinya yang kecil. Rasa pengecapan hilang sebagian atau
seluruhnya setelah beberapa minggu makan obat dan bersifat
sementara. Sefalgia ringan dapat pula terjadi. Gangguan fungsi hepar
dilaporkan pada 3,3 % - 7 % kasus. Terbinafin baik digunakan pada
pasien tinea pedis tipe moccasion yang sifatnya kronik. Pada suatu
penelitian ternyata ditemukan bahwa pengobatan tinea pedis dengan
terbinafine lebih efektif dibandingkan dengan pengobatan
griseofulvin.9

J. Pencegahan
Salah satu pencegahan terhadap reinfeksi tinea pedis yaitu menjaga kaki
tetap dalam keadaan kering dan bersih, menghindari lingkungan yang lembab,
menghindari pemakaian sepatu yang terlalu lama, tidak berjalan dengan kaki
telanjang di tempat-tempat umum seperti kolam renang serta menghindari
hindari kontak dengan pasien yang sama. Penularan jamur ini biasanya
asimptomatik, sehingga umumnya tidak terlihat. Eradikasi jamur merupakan
suatu hal yang sulit dan membutuhkan proses yang panjang. Setelah mandi
sebaiknya kaki dicuci dengan benzoil peroksidase.10

K. Prognosis
Tinea pedis pada umumnya memiliki prognosis yang baik. Beberapa
minggu setelah pengobatan dapat menyembuhkan tinea pedis, baik akut
maupun kronik. Kasus yang lebih berat dapat diobati dengan pengobatan oral.
Walaupun dengan pengobatan yang baik, tetapi bila tidak dilakukan
pencegahan maka pasien dapat terkena reinfeksi.10
23

DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda, Adhi. et al. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin: edisi kelima. Hal:
109-116 Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2015
2. Gerd P, Thomas J. Dermatophyte. Terdapat dalam Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine 6thed [ebook]. New York: McGraw-
Hill: 2003. p 205
3. Wolf K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI. Fitzpatrick’s dermatology in
general medicine. 6th ed. New york: McGraw-Hill; 2003. P 24
4. William. D. James, Berger. G. Timothy, Elston . M. Dirk, Andrew’s
Diseases of the Skin: Clinical Dermatology 10th Edition. Published by
Saunders, Elsevier 2006: 303-305
5. Unandar, B. Mikosis. In. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. 2007.
Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 5th ed. Jakarta: Balai penerbitan FKUI.
6. Hapcioglu, B., Yegenoglu Y., Disci R. 2006. Epidemiology of superficial
mycosis (tinea pedis, onychomycosis) in elementary school children in
Istanbul, Turkey. Coll Antropol; 30: 119-24.
7. Kumar V, Tilak R, Prakash P, Nigam C, Gupta R. In Tinea pedis: An
Update. Asian Journal of Medical Sciences 2 (2011)
8. Cheung, H.C. 2012. Management of tinea pedis in a private clinic Hong
Kong J. Dermatol. Venereol;20, 21-22
9. Wahab, M. A., Rokeya Begum., Biswas Shaheen Hassan. 2010. Tinea
pedis: a clinical dilemma in Bangladeshi population. Journal of Pakistan
Association of Dermatologists; 20: 23-7.
10. Gawkrodger J. David, Dermatology An Illustrated Colour Text 4th
Edition. Published by Elsevier 2008: 56-57

Anda mungkin juga menyukai