Anda di halaman 1dari 23

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

LAPORAN KASUS

Disusun oleh:

dr. Fitria Eka Rianti

dr. Nada Nazihah

dr. Ravi Sanjani

dr. Sari Rahma Yenti

Pendamping:

dr. Popy Novianti

UPT PUSKESMAS TANJUNG BATU


KABUPATEN KARIMUN
2022
BAB I

LATAR BELAKANG

Kulit berfungsi untuk melindungi tubuh. Fungsi ini akan terganggu jika terjadi infeksi

jamur pada kulit. Jamur sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia, mikrofungi ini

dapat hidup diudara, tanah, air, pakaian bahkan ditubuh manusia sendiri. Penyakit infeksi jamur

di kulit mempunyai prevalensi tinggi di Indonesia, karena beriklim tropis dan kelembabannya

tinggi. Salah satu jenis mikrofungi yang menginfeksi kulit adalah golongan dermatofita.1

Dermatofita merupakan golongan jamur yang mempunyai sifat mencernakan keratin

misalnya stratum korneum pada kulit (epidermis), rambut, kuku dan menyebabkan

dermatofitosis. Dermatofita terbagi dalam tiga genus yaiu Trichophyton, Mycrosporum dan

Epidermophyton.1 Penamaan dermatofitosis disebutkan berdasarkan letak anatomisnya, yaitu

tinea kapitis (pada kulit dan rambut kepala), tinea barbae (pada dagu dan jenggot), tinea kruris

(pada daerah genitokrural, sekitar anus dan bokong dan perut bagian bawah), tinea pedis et

manum (pada kaki dan tangan), tinea unguinum (pada kuku jari dan tangan), dan tinea korporis

(pada kulit glabrosa bagian lain yang belum disebutkan).1

Tinea pedis merupakan dermatofitosis yang paling banyak dijumpai. Penyakit ini biasanya

muncul sebagai infeksi jamur pada sela-sela jari kaki dan telapak kaki. Tinea pedis merupakan

dermatofitosis yang paling sering terjadi pada orang dewasa dan sering ditemukan pada orang

yang dalam kehidupan sehari-hari memakai sepatu tertutup, kaos kaki yang lama, disertai

perawatan kaki yang buruk pada pekerja dengan kaki yang selalu atau sering basah, sehingga

memberikan kesempatan untuk pertumbuhan jamur. Demikian juga pemakaian sepatu yang

terkontaminasi, sepatu sempit dan kaos kaki yang tidak menyerap keringat akan menyebabkan

maserasi sehingga menyebabkan terjadinya infeksi.

1
Penelitian World Health Organization (WHO) terhadap isidensi infeksi dermatofit

menyatakan 20% orang dari seluruh dunia mengalami infeksi kutaneus dengan diikuti infeksi

tinea korporis, pedis, kruris dan onychomycosis. Berdasarkan WHO tahun 2013 prevalensi

penyakit kulit di dunia dimana Tinea Pedis termasuk didalamnya menunjukkan angka 20-25%. 2

Prevalensi Tinea Pedis di Asia mencapai 35,6%.3 Berdasarkan data laporan di seluruh rumah

sakit tahun 2011 di Indonesia menunjukkan angka 122,076 kasus baru untuk penyakit Tinea

pedis termasuk didalamnya.4

Tinea pedis lebih sering terjadi pada usia dewasa daripada anak remaja terutama pada laki-

laki, jarang pada perempuan dan anak-anak. Kemungkinan infeksi berkaitan dengan paparan

ulangan dermatofita sehingga orang yang menggunakan fasilitas mandi umum seperti pancuran,

kolam renang, kamar mandi lebih cenderung terinfeksi.

Penegakan diagnosis dermatofitosis berdasarkan pada anamnesis, gambaran klinis dan

pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan secara mikroskopis dengan KOH, pemeriksaan

fluoresensi dengan lampu Wood dan kultur jamur. Berikut dilaporkan tinea pedis pada seorang

pelajar. Kasus ini dilaporkan untuk meningkatkan pengetahuan kita tentang infeksi dermatofitosis

terutama tinea pedis dan terapinya terkait dengan interaksi obat pada penderita penyakit tersebut.

2
BAB II

STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. ASN
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 21 tahun
Tanggal Lahir : 25-09-2001
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Jl. Parit Tegak
Status Perkawinan : Belum Kawin
Status Jaminan Sosial : Umum
Tanggal Pemeriksaan : 12 Desember 2022

B. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Gatal di kedua telapak kaki sejak 1 minggu yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poli umum puskesmas dengan keluhan adanya rasa gatal pada kedua
kaki disertai rasa nyeri bila tergesek, keluhan dirasakan sejak 2 minggu yang lalu, muncul
tiba-tiba pada kaki kanan terlebih dahulu terutama pada bagian sela-sela jari kaki.
Keluhan muncul pada kaki kiri setelah 1 minggu kemudian. Pasien mengaku 3 hari
terakhi mulai disertai lecet dan darah pada telapak kaki. Pasien mengaku telah berobat ke
klinik terdekat, mendapat obat salep dan minum, pasien merasa belum sembuh total tetapi
sudah ada perbaikan seperti keluhan pada bagian diantara ruas-ruas jari kaki. Pasien
memiliki kebiasaan sering membiarkan kaki dalam keadaan lembab dan sering memakai
sepatu dalam jangka waktu lama.

3
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat IMS (-), Keluhan yang sama (-)
Hipertensi (-) DM (-) Penyakit keganasan lainnya (-) riwayat alergi (-)
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga dengan riwayat keluhan yang sama
Riwayat Sosial
Pasien seorang pelajar. Pasien tidak merokok dan mengkonsumsi alcohol.
Pasien sering menggunakan sepatu sempit dan lembab dalam waktu lama.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Status Pasien

 Keadaan umum : Tampak sakit sedang

 Tekanan darah : 130/80 mmHg

 Frekuensi nadi : 80 x/menit

 Frekuensi napas : 20x/menit

 Suhu : 37,3 C

 SpO2 : 99%
Status Generalis
 Kepala : Normocephal
 Mata : Udem palpebra(-) konjungtiva anemis (-/-) sklera ikterik (-/-)
 Leher : pembesaran KGB (-)
 Thoraks : Dinding thorax simetris, jejas (-), kelainan bentuk (-),
Cor
 Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
 Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
 Perkusi : Batas jantung kanan : linea sternalis dextra
 Batas jantung kiri: 2 jari medial LMC sinistra SIC V
 Auskultasi : Suara jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)

Pulmo

4
 Inspeksi : Bentuk dada simetris, retraksi dinding dada (-)
 Palpasi : Vocal fremitus tidak meningkat
 Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
 Auskultasi : Vesikuler +/+ Rhonki -/- Wheezing -/-
Abdomen :
 Inspeksi : Perut tampak datar
 uskultasi : Bising usus (+) tidak meningkat
 Palpasi : Distended (-), supel (+), nyeri tekan pada
regio suprapubis (-) , Hepar dan lien tidak teraba
 Perkusi : timpani (+)
 Nyeri ketok Costo Vertebra : -
 Mc burney sign : -.
Ekstremitas :
 Akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-)
 Kekuatan otot : Ekstremitas atas 5/5, ekstremitas bawah 5/5
Status Lokalis
 Lokasi : Plantar pedis dextra et sinistra

Efloresensi:
Inspeksi : Pada plantar pedis tampak bercak eritema, bentuk tidak teratur,
dengan tepi berbatas tegas, disertai adanya erosi dan skuama halus di bagian
tepi. Pada interdigitalis terlihat fisura sisik halus dan tipis berwarna putih
Palpasi : Teraba kasar dan berbatas tegas.

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Pemeriksaan Laboratorium (12 Desember 2022)

Tidak dilakukan
 Pemeriksaan penunjang anjuran:
Pemeriksaan lampu wood
Kerokan kulit dengan KOH 10%
Biakan agar Saboroud

5
E. DIAGNOSIS
Tinea pedis tipe mocassion foot
a. Diagnosis banding: Dermatitis Kontak Alergika
F. PENATALAKSANAAN
 Wound toilet
 Ketoconazole 200 mg 1x1 selama 7 hari
 CTM 4 mg tab 3x1
 Ketoconazole zalf No 1
KIE
Salah satu pencegahan terhadap reinfeksi tinea pedis yaitu menjaga kaki tetap dalam
keadaan kering dan bersih, menghindari lingkungan yang lembab, menghindari
pemakaian sepatu yang terlalu lama, tidak berjalan dengan kaki telanjang di tempat-
tempat umum seperti kolam renang serta menghindari hindari kontak dengan

pasien yang sama.

A. Prognosis
Quo ad Vitam : Bonam
Quo ad Functionam : Bonam
Quo ad Sanactionam : Bonam

6
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI

Tinea pedis merupakan infeksi pada kaki yang disebabkan oleh jamur dermatofita yang terbagi

dalam 3 jenis yaitu Trichophyton sp, Microsporum sp, dan Epidermophyton sp.2 Tinea pedis juga

disebut sebagai athlete’s foot, yakni salah satu infeksi jamur superfisial pada kulit kaki yang

sering terjadi pada kulit bagian sela-sela jari kaki, telapak kaki dan bagian lateral kaki.2

ETIOLOGI

Terdapat tiga genus penyebab dermatofitosis, yaitu Trichophyton, Microsporum, dan

Epidermophyton, yang dikelompokkan dalam kelas Deuteromycetes . Dari ketiga genus

tersebut telah ditemukan 41 spesies, terdiri dari 17 spesies Microsporum, 22 spesies

Trichophyton, 2 spesies Epidermophyton. Dari 41 spesies yang telah dikenal, 17 spesies

diisolasi dari infeksi jamur pada manusia, 5 spesies Microsporum menginfeksi kulit dan rambut,

11 spesies Trichophyton meninfeksi kulit, rambut dan kuku, 1 spesies Epidermophyton

menginfeksi hanya pada kulit dan jarang pada kuku.6

Spesies terbanyak yang menjadi penyebab dermatofitosis di Indonesia adalah:

Trichophyton rubrum (T. rubrum) , berdasarkan penelitian di RS Dr. Cipto Mangun Kusumo

Jakarta tahun 1980 . Pada penelitian yang dilakukan di Surabaya pada 2006–2007 ditemukan

spesies terbanyak yang berhasil dikultur adalah M. audiouinii (14,6%), T. rubrum (12,2%), T.

mentagrophytes (7,3%).6

PATOGENESIS

Dermatofita mengandung beberapa enzim seperti keratinolitik protease dan lipase yang

7
berguna untuk mencerna keratin sebagai sumber nutrien. Degradasi keratin oleh dermatofita akan

menimbulkan reaksi inflamasi oleh tubuh pejamu. Proses masuknya dermatofita hingga

menimbulkan infeksi pada kulit melalui tiga langkah, yaitu: perlekatan, penetrasi, serta

pembentukan respon pejamu.6 Perlekatan dermatofita pada jaringan keratin dimulai dari

perlekatan arthrokonidia yang merupakan spora aseksual dari dermatofita pada keratin dengan

dibantu oleh adhesin. Hal ini menyebabkan perubahan ekspresi genetik dan diikuti dengan

pembelahan spora untuk bersiap memasuki fase penetrasi.6,7

Spora harus tumbuh dan menembus masuk stratum korneum dengan kecepatan melebihi

proses deskuamasi. Proses penetrasi menghasilkan sekresi proteinase, lipase dan enzim

musinolitik, yang menjadi nutrisi bagi jamur. Diperlukan waktu 4–6 jam untuk germinasi dan

penetrasi ke stratum korneum setelah spora melekat pada keratin. 6.,7,8

Respons imun pejamu terdiri dari dua mekanisme, yaitu imunititas non spesifik, dan imunitas

spesifik. Permukaan epitel keratinosit, zat anti mikroba seperti defensin, cathelicidins, protein S100, asam lemak

yang bersifat fungistatik dari sebum, dan flora normal merupakan lini pertama pertahanan tubuh terhadap infeksi

ddermatofita. Keratinosit menghasilkan berbagai reseptor seperti C-type lectin receptor dan beberapa Toll-like

receptor (TLR) seperti TLR1, TLR2, TLR4, TLR5 dan TLR6. Perlekatan dermatofita pada reseptor-reseptor ini

akan mengirimkan sinyal untuk menghasilkan sitokin pro inflamasi, dan agregasi makrofag. Sebagian dermatofita

akan melekat pada sel dendritik yang berperan sebagai antigen presenting cell (APC) yang berperan dalam

proliferasi sel T sebagai imunitas selular. 7

FAKTOR RESIKO

Beberapa faktor risiko penyebab tinea pedis adalah pemakaian sepatu tertutup untuk waktu

yang lama, bertambahnya kelembaban karena keringat, pecahnya kulit karena trauma mekanis,

dan paparan terhadap jamur di gedung olah raga atau kolam renang dikarenakan berjalan tanpa

8
menggunakan alas kaki. Selain itu pemakaian kaus kaki dengan bahan yang tidak dapat

menyerap keringat dapat menambah kelembaban di sekitar kaki yang cenderung mendukung

jamur dapat tumbuh subur.1,2

Kondisi sosial ekonomi serta kurangnya kebersihan pribadi juga memegang peranan

penting pada infeksi jamur. Insidensi penyakit jamur pada sosial ekonomi lebih rendah lebih

sering terjadi daripada sosial ekonomi yang lebih baik, hal ini terkait dengan status gizi yang

mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang terhadap penyakit. 1 Kebersihan pribadi (mencuci

kaki setiap hari, menjaga kaki selalu kering) yang kurang diperhatikan turut mendukung

tumbuhnya jamur. Adanya penyakit lain yang diderita juga berperan dalam meningkatkan risiko

mengalami infeksi jamur. Salah satunya adalah riwayat menderita diabetes mellitus, penderita

HIV, dan orang dengan daya imun yang rendah.1

GAMBARAN KLINIK

Gambaran klinis dari tinea pedis dapat dibedakan berdasarkan tipe:7

Interdigitalis

Di antara jari IV dan jari V terlihat fisura yang dilingkari sisik halus dan tipis, dapat meluas

ke bawah jari (subdigital) dan telapak kaki. Sering terjadi maserasi pada sela jari terutama sisi

lateral berupa kulit putih dan rapuh, berfisura dan sering disertai bau. Bila kulit yang mati

dibersihkan, akan terlihat kulit baru yang pada umumnya telah diserang jamur. Bentuk klinis ini

dapat berlangsung bertahun-tahun dengan menimbulkan sedikit keluhan atau tanpa keluhan.7,9

9
Gambar 3.1 Tinea pedis tipe interdigitalis.

Moccasin foot

Tipe hiperkeratotik yang menahun. Pada seluruh kaki, dari telapak, tepi sampai punggung

kaki terlihat kulit menebal dan bersisik, eritema biasanya ringan dan terutama terlihat pada

bagian tepi lesi. Di bagian tepi lesi dapat pula dilihat papul dan kadang-kadang vesikel. Sering

terdapat di daerah tumit, telapak kaki, dan kaki bagian lateral, dan biasanya bilateral.7

Gambar 3.2. Tinea pedis tipe moccasin foot

Vesikulo bulosa

Pada bentuk subakut terlihat vesikel, vesiko-pustul dan kadang-kadang bula. Kelainan ini

mula-mula terdapat di pada daerah sela jari, kemudian meluas ke punggung kaki atau telapak

kaki, dan jarang pada tumit. Lesi-lesi ini mungkin berasal dari perluasan lesi daerah interdigital.

10
Isi vesikel berupa cairan jernih yang kental. Setelah pecah, vesikel tersebut meninggalkan sisik

berbentuk lingkaran yang disebut kolaret.7, 9

Gambar 3.3 Tinea pedis tipe vesikulo bulosa.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pemeriksaan kerokan kulit dengan larutan KOH 10% merupakan pemeriksaan penunjang

yang utama pada tinea pedis. Larutan KOH 10% berfungsi melisiskan keratin sehingga yang

terlihat di bawah mikroskop adalah hifa dan spora dermatofita. Pemeriksaan dengan mikroskop

dilakukan dengan pembesaran 10-40x. 7,8

11
Gambar 3.4 Pemeriksaan KOH 10%

Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menentukan jenis dermatofita

penyebab tinea pedis. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada

media buatan. Yang dianggap paling baik pada waktu ini adalah medium agar dextrosa

Sabouraud. Pada agar Sabouraud dapat ditambahkan antibiotik saja (kloramfenikol) atau

ditambah pula klorheksimit. Kedua zat tersebut diperlukan untuk menghindarkan

kontaminasi bakterial maupun jamur kontaminan.9

Gambar 3.5 Kultur pada Sabouroud agar

DIAGNOSIS BANDING

1. Kandidiasis Interdigitalis

Merupakan infeksi jamur non dermatofita yaitu Candida albicans pada kulit kaki, dengan

predileksi yang hampir sama dengan tinea pedis tipe interdigitalis, Pada kandidiasis

interdigitalis sama-sama terdapat gambaran maserasi namun yang membedakan dengan

tinea pedis tipe interdigitalis adalah maserasi tersebut lebih basah (madidans).8

2. Dermatitis Dishidrosis

Terdapat 3 tipe dermatitis dishidrosis yang memiliki manifestasi klinis mirip dengan tinea

pedis, yaitu tipe pomfoliks, vesikulo bulosa, dan hiperkeratotik. Pomfoliks dan vesikulo

bulosa memiliki bentuk yang mirip dengan tinea pedis tipe sub akut, yaitu berupa vesikel

12
dan bula pada jari-jari dan telapak kaki. Adapun dermatitis dishidrotik tipe hiperkeratotik

memiliki manifestasi klinis yang menyerupai tinea pedis tipe moccasin foot berupa

hiperkeratosis pada jari-jari dan telapak kaki.1, 8

3. Dermatitis Kontak Alergi

Dermatitis dengan gejala gatal disertai eritema, vesikel, skuamasi pada jari-jari, dan telapak

kaki. Diakibatkan oleh kontak dengan zat yang menyebabkan alergi. Harus terdapat

riwayat kontak dengan zat yang bersifat alergen seperti sepatu dan kaus kaki.8, 9

DIAGNOSIS

Tinea pedis biasanya dapat didiagnosis dengan anamnesis dan inspeksi dari kulit. Pada

anamnesis keluhan yang biasanya timbul adalah lesi yang terasa gatal, terutama pada keadaan

berkeringat. Lokasi lesi juga dapat menjadi petunjuk dalam anamnesis, seperti lesi yang terasa

gatal pada sela jari kaki 4-5 yang merupakan gejala khas dari tinea pedis interdigitalis. Selain itu

gejala lain yang biasanya dikeluhkan oleh pasien dapat berupa kulit telapak kaki yang gatal dan

terasa menebal, yang mana ini merupakan gejala yang khas dari tinea pedis tipe moccasin foot.

Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai adanya maserasi pada sela jari 4-5 untuk tinea pedis tipe

interdigitalis, vesikel dan bula pada tinea pedis tipe vesiko-bulosa, dan likenifikasi pada tinea

pedis tipe moccasin foot.1,7,8

Untuk menunjang diagnosis tinea pedis dapat dilakukan pemeriksaam KOH 10% dari

kerokan kulit dan diperiksa menggunakan mikroskop. Tes ini dapat membantu menyingkirkan

kemungkinan penyebab yang lain, kandidiasis dan dermatitis dishidrosis.11 Untuk menentukan

jenis dermatofita yang menyebabkan infeksi dapat dilakukan kultur dengan medium Sabouroud

agar.7,9

13
PENATALAKSANAAN

Secara umum penatalaksanaan Tinea pedis didasarkan atas klasifikasi dan tipenya.7,10

Tabel 1. Klasifikasi jenis Tinea pedis dan pengobatannya


Tipe Organisme Gejala Klinis Pengobatan

Penyebab

Moccasin Trichophyton Hiperkeratosis Antifungal

rubrum yang difus, eritema topikal disertai

dan retakan pada dengan zat


Epidermophyton
permukaan telapak keratolitik dapat
floccosum
kaki; pada juga
Scytalidium
umumnya sifatnya ditambahkan
hyalinum
kronik dan sulit dengan
S. dimidiatum
disembuhkan; antifungal oral

berhubungan

dengan defisiensi

Cell Mediated

Immunity (CMI)

Interdigital T. Tipe yang paling Antifungal

mentagrophytes sering; eritema, topikal, dapat

krusta dan maserasi ditambahkan


(var. interdigitale)
yang terjadi pada antifungal oral
T. rubrum
sela-sela jari kaki,
E. floccosum

S. hyalinum

14
S. dimidiatum

Candida spp.

Vesikobulosa T. Vesikel dan bula Kompres

mentagrophytes pada pertengahan terbuka,

kaki; berhubungan Antifungal


(var.
dengan reaksi topikal biasanya
mentagrophytes)
dermatofit cukup pada fase

akut, namun

apabila dalam

keadaan berat

maka indikasi

pemberian

kortikosteroid

oral

1. Antifungal Topikal

Obat topikal digunakan untuk mengobati penyakit jamur yang terlokalisir. Efek

samping dari obat-obatan ini sangat minimal, biasanya terjadi dermatitis kontak alergi,

yang biasanya terbuat dari alkohol atau komponen yang lain.7, 10

a.     Imidazol Topikal. Efektif untuk semua jenis Tinea pedis.7

15
 Klotrimazol 1 %. Antifungal yang berspektrum luas  dengan menghambat

pertumbuhan bentuk yeast jamur. Obat dioleskan dua kali sehari dan diberikan

sampai waktu 2-4 minggu. Efek samping obat ini dapat terjadi rasa terbakar, eritema,

edema dan gatal.7

 Ketokonazol 2 % krim merupakan antifungal berspektrum luas golongan Imidazol;

menghambat sintesis ergosterol, menyebabkan komponen sel yang mengecil hingga

menyebabkan kematian sel jamur. Obat diberikan selama 2-4 minggu.7

 Mikonazol krim, bekerja merusak membran sel jamur dengan menghambat

biosintesis ergosterol sehingga permeabilitas sel meningkat yang menyebabkan

keluarnya zat nutrisi jamur hingga berakibat pada kematian sel jamur. Lotion 2 %

bekerja pada daerah-daerah intertriginosa. Pengobatan umumnya dalam jangka

waktu 2-6 minggu.7,10

b.   Alilamin Topikal. Efektif terhadap berbagai jenis jamur. Obat ini juga berguna pada

Tinea pedis yang sifatnya berulang (seperi hiperkeratotik kronik).11

 Terbinafine (Lamisil®), menurunkan sintesis ergosterol, yang mengakibatkan

kematian sel jamur. Jangka waktu pengobatan 1 sampai 4 minggu. Berdasarkan

penelitian yang dilakukan bahwa terbinafine 1% memiliki keefektifan yang sama

dengan terbinafine 10% dalam mengobati tine pedis namun dalam dosis yang lebih

kecil dan lebih aman.11

c.   Antijamur Topikal Lainnya.

 Asam benzoat dan asam salisilat. Kombinasi asam benzoat dan asam salisilat dalam

perbandingan 2 : 1 (biasanya 6 % dan 3 %) ini dikenal sebagai salep Whitfield.

Asam benzoat memberikan efek fungistatik sedangkan asam salisilat memberikan

16
efek keratolitik. Asam benzoat hanya bersifat fungistatik maka penyembuhan baru

tercapai setelah lapisan tanduk yang menderita infeksi terkelupas seluruhnya. Dapat

terjadi iritasi ringan pada tempat pemakaian, juga ada keluhan yang kurang

menyenangkan dari para pemakainya karena salep ini berlemak.11

 Asam Undesilenat. Dosis dari asam ini hanya menimbulkan efek fungistatik tetapi

dalam dosis tinggi dan pemakaian yang lama dapat memberikan efek fungisidal.

Obat  ini tersedia dalam bentuk salep campuran  yang mengandung 5 % undesilenat

dan 20% seng undesilenat.11

2. Antifungal Oral

Pemberian antifungal oral dilakukan setelah pengobatan topikal gagal dilakukan. Secara

umum, dermatofitosis pada umumnya dapat diatasi dengan pemberian beberapa obat antifungal

di bawah ini antara lain 12

1. Griseofulvin merupakan obat yang bersifat fungistatik. Griseofulvin dalam bentuk partikel

utuh dapat diberikan dengan dosis 0,5 – 1 g untuk orang dewasa dan 0,25 - 0,5 g untuk

anak-anak sehari atau 10-25 mg/kg BB. Lama pengobatan bergantung pada lokasi

penyakit, penyebab penyakit, dan imunitas penderita. Setelah sembuh klinis dilanjutkan 2

minggu agar tidak residif. Dosis harian yang dianjurkan dibagi menjadi 4 kali sehari. Di

dalam klinik cara pemberian dengan dosis tunggal harian memberi hasil yang cukup baik

pada sebagian besar penderita. Griseofulvin diteruskan selama 2 minggu setelah

penyembuhan klinis. Efek samping dari griseofulvin jarang dijumpai, yang merupakan

keluhan utama ialah sefalgia yang didapati pada 15 % penderita. Efek samping yang lain

dapat berupa gangguan traktus digestivus yaitu nausea, vomitus dan diare. Obat tersebut

juga dapat bersifat fotosensitif dan dapat mengganggu fungsi hepar.12

17
2. Ketokonazol. Obat per oral, yang juga efektif untuk dermatofitosis yaitu ketokonazol yang

bersifat fungistatik. Kasus-kasus yang resisten terhadap griseofulvin dapat diberikan obat

tersebut sebanyak 200 mg per hari selama 10 hari – 2 minggu pada pagi hari setelah

makan. Ketokonazol merupakan kontraindikasi untuk penderita kelainan hepar.12

3. Itrakonazol. Merupakan suatu antifungal yangdapat digunakan sebagai pengganti

ketokonazol yang bersifat hepatotoksik terutama bila diberikan lebih dari sepuluh hari.

Itrakonazol berfungsi dalam menghambat pertumbuhan jamur dengan mengahambat

sitokorm P-45 yang dibutuhkan dalam sintesis ergosterol yang merupakan komponen

penting dalam sela membran jamur. Pemberian obat tersebut untuk penyakit kulit dan

selaput lendir oleh penyakit jamur biasanya cukup 2 x 100-200 mg sehari dalam selaput

kapsul selama 3 hari. Interaksi dengan obat lain seperti antasida (dapat memperlambat

reabsorpsi di usus), amilodipin, nifedipin (dapat menimbulkan terjadinya edema),

sulfonilurea (dapat meningkatkan resiko hipoglikemia). Itrakonazol diindikasikan pada

Tinea pedis tipe moccasin.12

PROGNOSIS

Pengobatan yang diterapkan dalam beberapa minggu pada kaki biasanya dapat

18
menyembuhkan tinea pedis pada penderita dengan gejala yang baru. Infeksi Tinea pedis

kronis atau berulang juga bisa disembuhkan dengan cara ini, tetapi mungkin memerlukan

perubahan signifikan dalam perawatan kaki dan beberapa minggu pengobatan. Kasus yang

lebih parah mungkin memerlukan obat oral. Bahkan setelah pengobatan berhasil, penderita

tetap berisiko terhadap infeksi ulang jika mereka tidak mengikuti pedoman pencegahan.13

Sebagian besar kasus tinea pedis sembuh dalam waktu dua minggu. Kasus yang lebih

parah dapat mencapai waktu satu bulan atau bahkan lebih lama dengan asumsi

penyebabnya adalah infeksi jamur. Bila diobati dengan benar, penyakit akan sembuh dan

tidak kambuh, kecuali bila terpajan ulang dengan jamur penyebab. Tinea pedis menjadi

kronik dan rekuren bila sumber penularan terus menerus ada. 13

BAB III
PEMBAHASAN

Dari anamnesis didapatkan keluhan adanya rasa gatal pada kedua kaki disertai rasa nyeri

19
bila tergesek, keluhan dirasakan sejak 2 minggu yang lalu, muncul tiba-tiba pada kaki kanan

terlebih dahulu terutama pada bagian sela-sela jari kaki. Keluhan muncul pada kaki kiri setelah 1

minggu kemudian. Pasien mengaku telah berobat 2 minggu yang lalu ke klinik terdekat,

mendapat obat salep dan minum, pasien merasa belum sembuh total tetapi sudah ada perbaikan

seperti keluhan pada bagian diantara ruas-ruas jari kaki. Pasien memiliki kebiasaan sering

membiarkan kaki dalam keadaan lembab dan sering memakai sepatu dalam jangka waktu lama.

Pada pemeriksaan status generalis dalam batas normal. Pada pemeriksaan status

dermatologis di plantar pedis terdapat bercak eritema, bentuk tidak teratur, dengan tepi berbatas

tegas, disertai adanya erosi dan skuama halus di bagian tepi. Pada interdigitalis terlihat fisura

sisik halus dan tipis berwarna putih.

Hal ini sesuai teori untuk klinis dari tinea pedis. Bentuk Moccasion foot adalah yang Tinea

pedis tipe moccasin atau Squamous-Hyperkeratotic Type umumnya bersifat hiperkeratosis yang

bersisik dan biasanya asimetris yang disebut foci. Seluruh kaki, dari telapak, tepi sampai

punggung kaki terlihat kulit menebal dan bersisik; eritema biasanya ringan dan terutama terlihat

pada bagian tepi lesi. Di bagian tepi lesi dapat pula dilihat papul dan kadang-kadang vesikel.1

Pada pasien ini penatalaksanaan yang dilakukan adalah dengan memberikan obat secara

topikal dan sistemik. Tetapi yang paling utama adalah memberikan edukasi kepada pasien.

Untuk pengobatan topikal dan sitemik dapat diberikan Antihistamin : CTM 4 mg 3x1 tab untuk

mengurangi rasa gatal, Ketoconazol 200mg 1x1 tab sebagai fungistatik, dan Miconazol cream

2% 3 x oles. Hal ini sesuai dengan bentuk tatalaksana anjuran pada pasien tinea pedis yakni

kombinasi terapi antifungal topical, zat keratolitik dan antifungal oral.7,10

Prognosis dari tinea pedis yang diderita pasien pada umumnya baik bila diobati dengan

benar dan juga menghindari faktor pencetus dan predisposisi, demikian juga sebaliknya. Selain

20
itu, perlu dilakukan pencegahan, karena walaupun dengan pengobatan yang baik, tetapi bila

tidak dilakukan pencegahan maka pasien dapat terkena reinfeksi.13

DAFTAR PUSTAKA

1. Rihatmadja R. Anatomi dan faal kulit. In: Menaldi SL, Bramono K, Indriatmi W, editors.
Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi Ketujuh. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2017:3-7

21
2. Chu DH. Development and structure of the skin. In : Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine. 9th ed. New York: McGraw-Hill; 2019
3. Kalangi SJR. Histofisiologi kulit. JBM. 2013;5(3): 12-20
4. Plendorf S, Liviaratos M, Dada N. Pigmentation disorders : diagnosis and management.
American Family Physician. 2017;96(12):797-804
5. Bramono K, Budimulja U. Nondermatofitosis. In: Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. 7th
ed. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2017:103-105.
6. Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K. Tinea (Pityriasis)
Versicolor. In: Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 9th ed. McGraw- Hill
Education; 2019:2307-2310.
7. Banerjee S. Clinical profile of pityriasis versicolor in a referral hospital of West Bengal.
J Pakistan Assoc Dermatologists. 2016;21(4):248-252.
8. Angel et al. Hyperchromic and erythematous pityriasis : casereport and review of the
literature. J Dermatol Res Ther. 2019;5(73)
9. PERDOSKI. Panduan praktik klinis bagi dokter kulit dan kelamin di Indonesia. Jakarta:
2017.
10. Soepardiman L. Kelainan pigmen. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editor. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketujuh. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2017:342-51.
11. Ahronowitz I and Lesli K. Yeast infection. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt
SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam: Fitzpatrick’s Dematology in
general medicine. 9th ed. New York: Mc Graw-Hill; 2019:h.2307
12. Darmawan, Hari & Rusmawardiana. Sumber dan Cara Penularan Mucobacterium Leprae.
Tarumanegara Medical Journal. 2020;2(2), 390-401.
13. Basitoh FA, Dimawan Agus RS. Morbus Hansen pada Geriatri. Bagian Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin RSUD Harjono S. Ponorogo. Publikasi Ilmiah UMS. 2021

22

Anda mungkin juga menyukai