LAPORAN KASUS
Disusun oleh:
Pendamping:
LATAR BELAKANG
Kulit berfungsi untuk melindungi tubuh. Fungsi ini akan terganggu jika terjadi infeksi
jamur pada kulit. Jamur sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia, mikrofungi ini
dapat hidup diudara, tanah, air, pakaian bahkan ditubuh manusia sendiri. Penyakit infeksi jamur
di kulit mempunyai prevalensi tinggi di Indonesia, karena beriklim tropis dan kelembabannya
tinggi. Salah satu jenis mikrofungi yang menginfeksi kulit adalah golongan dermatofita.1
misalnya stratum korneum pada kulit (epidermis), rambut, kuku dan menyebabkan
dermatofitosis. Dermatofita terbagi dalam tiga genus yaiu Trichophyton, Mycrosporum dan
tinea kapitis (pada kulit dan rambut kepala), tinea barbae (pada dagu dan jenggot), tinea kruris
(pada daerah genitokrural, sekitar anus dan bokong dan perut bagian bawah), tinea pedis et
manum (pada kaki dan tangan), tinea unguinum (pada kuku jari dan tangan), dan tinea korporis
Tinea pedis merupakan dermatofitosis yang paling banyak dijumpai. Penyakit ini biasanya
muncul sebagai infeksi jamur pada sela-sela jari kaki dan telapak kaki. Tinea pedis merupakan
dermatofitosis yang paling sering terjadi pada orang dewasa dan sering ditemukan pada orang
yang dalam kehidupan sehari-hari memakai sepatu tertutup, kaos kaki yang lama, disertai
perawatan kaki yang buruk pada pekerja dengan kaki yang selalu atau sering basah, sehingga
memberikan kesempatan untuk pertumbuhan jamur. Demikian juga pemakaian sepatu yang
terkontaminasi, sepatu sempit dan kaos kaki yang tidak menyerap keringat akan menyebabkan
1
Penelitian World Health Organization (WHO) terhadap isidensi infeksi dermatofit
menyatakan 20% orang dari seluruh dunia mengalami infeksi kutaneus dengan diikuti infeksi
tinea korporis, pedis, kruris dan onychomycosis. Berdasarkan WHO tahun 2013 prevalensi
penyakit kulit di dunia dimana Tinea Pedis termasuk didalamnya menunjukkan angka 20-25%. 2
Prevalensi Tinea Pedis di Asia mencapai 35,6%.3 Berdasarkan data laporan di seluruh rumah
sakit tahun 2011 di Indonesia menunjukkan angka 122,076 kasus baru untuk penyakit Tinea
Tinea pedis lebih sering terjadi pada usia dewasa daripada anak remaja terutama pada laki-
laki, jarang pada perempuan dan anak-anak. Kemungkinan infeksi berkaitan dengan paparan
ulangan dermatofita sehingga orang yang menggunakan fasilitas mandi umum seperti pancuran,
fluoresensi dengan lampu Wood dan kultur jamur. Berikut dilaporkan tinea pedis pada seorang
pelajar. Kasus ini dilaporkan untuk meningkatkan pengetahuan kita tentang infeksi dermatofitosis
terutama tinea pedis dan terapinya terkait dengan interaksi obat pada penderita penyakit tersebut.
2
BAB II
STATUS PASIEN
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. ASN
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 21 tahun
Tanggal Lahir : 25-09-2001
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Jl. Parit Tegak
Status Perkawinan : Belum Kawin
Status Jaminan Sosial : Umum
Tanggal Pemeriksaan : 12 Desember 2022
B. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Gatal di kedua telapak kaki sejak 1 minggu yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poli umum puskesmas dengan keluhan adanya rasa gatal pada kedua
kaki disertai rasa nyeri bila tergesek, keluhan dirasakan sejak 2 minggu yang lalu, muncul
tiba-tiba pada kaki kanan terlebih dahulu terutama pada bagian sela-sela jari kaki.
Keluhan muncul pada kaki kiri setelah 1 minggu kemudian. Pasien mengaku 3 hari
terakhi mulai disertai lecet dan darah pada telapak kaki. Pasien mengaku telah berobat ke
klinik terdekat, mendapat obat salep dan minum, pasien merasa belum sembuh total tetapi
sudah ada perbaikan seperti keluhan pada bagian diantara ruas-ruas jari kaki. Pasien
memiliki kebiasaan sering membiarkan kaki dalam keadaan lembab dan sering memakai
sepatu dalam jangka waktu lama.
3
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat IMS (-), Keluhan yang sama (-)
Hipertensi (-) DM (-) Penyakit keganasan lainnya (-) riwayat alergi (-)
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga dengan riwayat keluhan yang sama
Riwayat Sosial
Pasien seorang pelajar. Pasien tidak merokok dan mengkonsumsi alcohol.
Pasien sering menggunakan sepatu sempit dan lembab dalam waktu lama.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Status Pasien
Suhu : 37,3 C
SpO2 : 99%
Status Generalis
Kepala : Normocephal
Mata : Udem palpebra(-) konjungtiva anemis (-/-) sklera ikterik (-/-)
Leher : pembesaran KGB (-)
Thoraks : Dinding thorax simetris, jejas (-), kelainan bentuk (-),
Cor
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung kanan : linea sternalis dextra
Batas jantung kiri: 2 jari medial LMC sinistra SIC V
Auskultasi : Suara jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo
4
Inspeksi : Bentuk dada simetris, retraksi dinding dada (-)
Palpasi : Vocal fremitus tidak meningkat
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler +/+ Rhonki -/- Wheezing -/-
Abdomen :
Inspeksi : Perut tampak datar
uskultasi : Bising usus (+) tidak meningkat
Palpasi : Distended (-), supel (+), nyeri tekan pada
regio suprapubis (-) , Hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani (+)
Nyeri ketok Costo Vertebra : -
Mc burney sign : -.
Ekstremitas :
Akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-)
Kekuatan otot : Ekstremitas atas 5/5, ekstremitas bawah 5/5
Status Lokalis
Lokasi : Plantar pedis dextra et sinistra
Efloresensi:
Inspeksi : Pada plantar pedis tampak bercak eritema, bentuk tidak teratur,
dengan tepi berbatas tegas, disertai adanya erosi dan skuama halus di bagian
tepi. Pada interdigitalis terlihat fisura sisik halus dan tipis berwarna putih
Palpasi : Teraba kasar dan berbatas tegas.
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium (12 Desember 2022)
Tidak dilakukan
Pemeriksaan penunjang anjuran:
Pemeriksaan lampu wood
Kerokan kulit dengan KOH 10%
Biakan agar Saboroud
5
E. DIAGNOSIS
Tinea pedis tipe mocassion foot
a. Diagnosis banding: Dermatitis Kontak Alergika
F. PENATALAKSANAAN
Wound toilet
Ketoconazole 200 mg 1x1 selama 7 hari
CTM 4 mg tab 3x1
Ketoconazole zalf No 1
KIE
Salah satu pencegahan terhadap reinfeksi tinea pedis yaitu menjaga kaki tetap dalam
keadaan kering dan bersih, menghindari lingkungan yang lembab, menghindari
pemakaian sepatu yang terlalu lama, tidak berjalan dengan kaki telanjang di tempat-
tempat umum seperti kolam renang serta menghindari hindari kontak dengan
A. Prognosis
Quo ad Vitam : Bonam
Quo ad Functionam : Bonam
Quo ad Sanactionam : Bonam
6
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Tinea pedis merupakan infeksi pada kaki yang disebabkan oleh jamur dermatofita yang terbagi
dalam 3 jenis yaitu Trichophyton sp, Microsporum sp, dan Epidermophyton sp.2 Tinea pedis juga
disebut sebagai athlete’s foot, yakni salah satu infeksi jamur superfisial pada kulit kaki yang
sering terjadi pada kulit bagian sela-sela jari kaki, telapak kaki dan bagian lateral kaki.2
ETIOLOGI
diisolasi dari infeksi jamur pada manusia, 5 spesies Microsporum menginfeksi kulit dan rambut,
Trichophyton rubrum (T. rubrum) , berdasarkan penelitian di RS Dr. Cipto Mangun Kusumo
Jakarta tahun 1980 . Pada penelitian yang dilakukan di Surabaya pada 2006–2007 ditemukan
spesies terbanyak yang berhasil dikultur adalah M. audiouinii (14,6%), T. rubrum (12,2%), T.
mentagrophytes (7,3%).6
PATOGENESIS
Dermatofita mengandung beberapa enzim seperti keratinolitik protease dan lipase yang
7
berguna untuk mencerna keratin sebagai sumber nutrien. Degradasi keratin oleh dermatofita akan
menimbulkan reaksi inflamasi oleh tubuh pejamu. Proses masuknya dermatofita hingga
menimbulkan infeksi pada kulit melalui tiga langkah, yaitu: perlekatan, penetrasi, serta
pembentukan respon pejamu.6 Perlekatan dermatofita pada jaringan keratin dimulai dari
perlekatan arthrokonidia yang merupakan spora aseksual dari dermatofita pada keratin dengan
dibantu oleh adhesin. Hal ini menyebabkan perubahan ekspresi genetik dan diikuti dengan
Spora harus tumbuh dan menembus masuk stratum korneum dengan kecepatan melebihi
proses deskuamasi. Proses penetrasi menghasilkan sekresi proteinase, lipase dan enzim
musinolitik, yang menjadi nutrisi bagi jamur. Diperlukan waktu 4–6 jam untuk germinasi dan
Respons imun pejamu terdiri dari dua mekanisme, yaitu imunititas non spesifik, dan imunitas
spesifik. Permukaan epitel keratinosit, zat anti mikroba seperti defensin, cathelicidins, protein S100, asam lemak
yang bersifat fungistatik dari sebum, dan flora normal merupakan lini pertama pertahanan tubuh terhadap infeksi
ddermatofita. Keratinosit menghasilkan berbagai reseptor seperti C-type lectin receptor dan beberapa Toll-like
receptor (TLR) seperti TLR1, TLR2, TLR4, TLR5 dan TLR6. Perlekatan dermatofita pada reseptor-reseptor ini
akan mengirimkan sinyal untuk menghasilkan sitokin pro inflamasi, dan agregasi makrofag. Sebagian dermatofita
akan melekat pada sel dendritik yang berperan sebagai antigen presenting cell (APC) yang berperan dalam
FAKTOR RESIKO
Beberapa faktor risiko penyebab tinea pedis adalah pemakaian sepatu tertutup untuk waktu
yang lama, bertambahnya kelembaban karena keringat, pecahnya kulit karena trauma mekanis,
dan paparan terhadap jamur di gedung olah raga atau kolam renang dikarenakan berjalan tanpa
8
menggunakan alas kaki. Selain itu pemakaian kaus kaki dengan bahan yang tidak dapat
menyerap keringat dapat menambah kelembaban di sekitar kaki yang cenderung mendukung
Kondisi sosial ekonomi serta kurangnya kebersihan pribadi juga memegang peranan
penting pada infeksi jamur. Insidensi penyakit jamur pada sosial ekonomi lebih rendah lebih
sering terjadi daripada sosial ekonomi yang lebih baik, hal ini terkait dengan status gizi yang
mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang terhadap penyakit. 1 Kebersihan pribadi (mencuci
kaki setiap hari, menjaga kaki selalu kering) yang kurang diperhatikan turut mendukung
tumbuhnya jamur. Adanya penyakit lain yang diderita juga berperan dalam meningkatkan risiko
mengalami infeksi jamur. Salah satunya adalah riwayat menderita diabetes mellitus, penderita
GAMBARAN KLINIK
Interdigitalis
Di antara jari IV dan jari V terlihat fisura yang dilingkari sisik halus dan tipis, dapat meluas
ke bawah jari (subdigital) dan telapak kaki. Sering terjadi maserasi pada sela jari terutama sisi
lateral berupa kulit putih dan rapuh, berfisura dan sering disertai bau. Bila kulit yang mati
dibersihkan, akan terlihat kulit baru yang pada umumnya telah diserang jamur. Bentuk klinis ini
dapat berlangsung bertahun-tahun dengan menimbulkan sedikit keluhan atau tanpa keluhan.7,9
9
Gambar 3.1 Tinea pedis tipe interdigitalis.
Moccasin foot
Tipe hiperkeratotik yang menahun. Pada seluruh kaki, dari telapak, tepi sampai punggung
kaki terlihat kulit menebal dan bersisik, eritema biasanya ringan dan terutama terlihat pada
bagian tepi lesi. Di bagian tepi lesi dapat pula dilihat papul dan kadang-kadang vesikel. Sering
terdapat di daerah tumit, telapak kaki, dan kaki bagian lateral, dan biasanya bilateral.7
Vesikulo bulosa
Pada bentuk subakut terlihat vesikel, vesiko-pustul dan kadang-kadang bula. Kelainan ini
mula-mula terdapat di pada daerah sela jari, kemudian meluas ke punggung kaki atau telapak
kaki, dan jarang pada tumit. Lesi-lesi ini mungkin berasal dari perluasan lesi daerah interdigital.
10
Isi vesikel berupa cairan jernih yang kental. Setelah pecah, vesikel tersebut meninggalkan sisik
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan kerokan kulit dengan larutan KOH 10% merupakan pemeriksaan penunjang
yang utama pada tinea pedis. Larutan KOH 10% berfungsi melisiskan keratin sehingga yang
terlihat di bawah mikroskop adalah hifa dan spora dermatofita. Pemeriksaan dengan mikroskop
11
Gambar 3.4 Pemeriksaan KOH 10%
penyebab tinea pedis. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada
media buatan. Yang dianggap paling baik pada waktu ini adalah medium agar dextrosa
Sabouraud. Pada agar Sabouraud dapat ditambahkan antibiotik saja (kloramfenikol) atau
DIAGNOSIS BANDING
1. Kandidiasis Interdigitalis
Merupakan infeksi jamur non dermatofita yaitu Candida albicans pada kulit kaki, dengan
predileksi yang hampir sama dengan tinea pedis tipe interdigitalis, Pada kandidiasis
tinea pedis tipe interdigitalis adalah maserasi tersebut lebih basah (madidans).8
2. Dermatitis Dishidrosis
Terdapat 3 tipe dermatitis dishidrosis yang memiliki manifestasi klinis mirip dengan tinea
pedis, yaitu tipe pomfoliks, vesikulo bulosa, dan hiperkeratotik. Pomfoliks dan vesikulo
bulosa memiliki bentuk yang mirip dengan tinea pedis tipe sub akut, yaitu berupa vesikel
12
dan bula pada jari-jari dan telapak kaki. Adapun dermatitis dishidrotik tipe hiperkeratotik
memiliki manifestasi klinis yang menyerupai tinea pedis tipe moccasin foot berupa
Dermatitis dengan gejala gatal disertai eritema, vesikel, skuamasi pada jari-jari, dan telapak
kaki. Diakibatkan oleh kontak dengan zat yang menyebabkan alergi. Harus terdapat
riwayat kontak dengan zat yang bersifat alergen seperti sepatu dan kaus kaki.8, 9
DIAGNOSIS
Tinea pedis biasanya dapat didiagnosis dengan anamnesis dan inspeksi dari kulit. Pada
anamnesis keluhan yang biasanya timbul adalah lesi yang terasa gatal, terutama pada keadaan
berkeringat. Lokasi lesi juga dapat menjadi petunjuk dalam anamnesis, seperti lesi yang terasa
gatal pada sela jari kaki 4-5 yang merupakan gejala khas dari tinea pedis interdigitalis. Selain itu
gejala lain yang biasanya dikeluhkan oleh pasien dapat berupa kulit telapak kaki yang gatal dan
terasa menebal, yang mana ini merupakan gejala yang khas dari tinea pedis tipe moccasin foot.
Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai adanya maserasi pada sela jari 4-5 untuk tinea pedis tipe
interdigitalis, vesikel dan bula pada tinea pedis tipe vesiko-bulosa, dan likenifikasi pada tinea
Untuk menunjang diagnosis tinea pedis dapat dilakukan pemeriksaam KOH 10% dari
kerokan kulit dan diperiksa menggunakan mikroskop. Tes ini dapat membantu menyingkirkan
kemungkinan penyebab yang lain, kandidiasis dan dermatitis dishidrosis.11 Untuk menentukan
jenis dermatofita yang menyebabkan infeksi dapat dilakukan kultur dengan medium Sabouroud
agar.7,9
13
PENATALAKSANAAN
Secara umum penatalaksanaan Tinea pedis didasarkan atas klasifikasi dan tipenya.7,10
Penyebab
berhubungan
dengan defisiensi
Cell Mediated
Immunity (CMI)
S. hyalinum
14
S. dimidiatum
Candida spp.
akut, namun
apabila dalam
keadaan berat
maka indikasi
pemberian
kortikosteroid
oral
1. Antifungal Topikal
Obat topikal digunakan untuk mengobati penyakit jamur yang terlokalisir. Efek
samping dari obat-obatan ini sangat minimal, biasanya terjadi dermatitis kontak alergi,
15
Klotrimazol 1 %. Antifungal yang berspektrum luas dengan menghambat
pertumbuhan bentuk yeast jamur. Obat dioleskan dua kali sehari dan diberikan
sampai waktu 2-4 minggu. Efek samping obat ini dapat terjadi rasa terbakar, eritema,
keluarnya zat nutrisi jamur hingga berakibat pada kematian sel jamur. Lotion 2 %
b. Alilamin Topikal. Efektif terhadap berbagai jenis jamur. Obat ini juga berguna pada
dengan terbinafine 10% dalam mengobati tine pedis namun dalam dosis yang lebih
Asam benzoat dan asam salisilat. Kombinasi asam benzoat dan asam salisilat dalam
16
efek keratolitik. Asam benzoat hanya bersifat fungistatik maka penyembuhan baru
tercapai setelah lapisan tanduk yang menderita infeksi terkelupas seluruhnya. Dapat
terjadi iritasi ringan pada tempat pemakaian, juga ada keluhan yang kurang
Asam Undesilenat. Dosis dari asam ini hanya menimbulkan efek fungistatik tetapi
dalam dosis tinggi dan pemakaian yang lama dapat memberikan efek fungisidal.
Obat ini tersedia dalam bentuk salep campuran yang mengandung 5 % undesilenat
2. Antifungal Oral
Pemberian antifungal oral dilakukan setelah pengobatan topikal gagal dilakukan. Secara
umum, dermatofitosis pada umumnya dapat diatasi dengan pemberian beberapa obat antifungal
1. Griseofulvin merupakan obat yang bersifat fungistatik. Griseofulvin dalam bentuk partikel
utuh dapat diberikan dengan dosis 0,5 – 1 g untuk orang dewasa dan 0,25 - 0,5 g untuk
anak-anak sehari atau 10-25 mg/kg BB. Lama pengobatan bergantung pada lokasi
penyakit, penyebab penyakit, dan imunitas penderita. Setelah sembuh klinis dilanjutkan 2
minggu agar tidak residif. Dosis harian yang dianjurkan dibagi menjadi 4 kali sehari. Di
dalam klinik cara pemberian dengan dosis tunggal harian memberi hasil yang cukup baik
penyembuhan klinis. Efek samping dari griseofulvin jarang dijumpai, yang merupakan
keluhan utama ialah sefalgia yang didapati pada 15 % penderita. Efek samping yang lain
dapat berupa gangguan traktus digestivus yaitu nausea, vomitus dan diare. Obat tersebut
17
2. Ketokonazol. Obat per oral, yang juga efektif untuk dermatofitosis yaitu ketokonazol yang
bersifat fungistatik. Kasus-kasus yang resisten terhadap griseofulvin dapat diberikan obat
tersebut sebanyak 200 mg per hari selama 10 hari – 2 minggu pada pagi hari setelah
ketokonazol yang bersifat hepatotoksik terutama bila diberikan lebih dari sepuluh hari.
sitokorm P-45 yang dibutuhkan dalam sintesis ergosterol yang merupakan komponen
penting dalam sela membran jamur. Pemberian obat tersebut untuk penyakit kulit dan
selaput lendir oleh penyakit jamur biasanya cukup 2 x 100-200 mg sehari dalam selaput
kapsul selama 3 hari. Interaksi dengan obat lain seperti antasida (dapat memperlambat
PROGNOSIS
Pengobatan yang diterapkan dalam beberapa minggu pada kaki biasanya dapat
18
menyembuhkan tinea pedis pada penderita dengan gejala yang baru. Infeksi Tinea pedis
kronis atau berulang juga bisa disembuhkan dengan cara ini, tetapi mungkin memerlukan
perubahan signifikan dalam perawatan kaki dan beberapa minggu pengobatan. Kasus yang
lebih parah mungkin memerlukan obat oral. Bahkan setelah pengobatan berhasil, penderita
tetap berisiko terhadap infeksi ulang jika mereka tidak mengikuti pedoman pencegahan.13
Sebagian besar kasus tinea pedis sembuh dalam waktu dua minggu. Kasus yang lebih
parah dapat mencapai waktu satu bulan atau bahkan lebih lama dengan asumsi
penyebabnya adalah infeksi jamur. Bila diobati dengan benar, penyakit akan sembuh dan
tidak kambuh, kecuali bila terpajan ulang dengan jamur penyebab. Tinea pedis menjadi
BAB III
PEMBAHASAN
Dari anamnesis didapatkan keluhan adanya rasa gatal pada kedua kaki disertai rasa nyeri
19
bila tergesek, keluhan dirasakan sejak 2 minggu yang lalu, muncul tiba-tiba pada kaki kanan
terlebih dahulu terutama pada bagian sela-sela jari kaki. Keluhan muncul pada kaki kiri setelah 1
minggu kemudian. Pasien mengaku telah berobat 2 minggu yang lalu ke klinik terdekat,
mendapat obat salep dan minum, pasien merasa belum sembuh total tetapi sudah ada perbaikan
seperti keluhan pada bagian diantara ruas-ruas jari kaki. Pasien memiliki kebiasaan sering
membiarkan kaki dalam keadaan lembab dan sering memakai sepatu dalam jangka waktu lama.
Pada pemeriksaan status generalis dalam batas normal. Pada pemeriksaan status
dermatologis di plantar pedis terdapat bercak eritema, bentuk tidak teratur, dengan tepi berbatas
tegas, disertai adanya erosi dan skuama halus di bagian tepi. Pada interdigitalis terlihat fisura
Hal ini sesuai teori untuk klinis dari tinea pedis. Bentuk Moccasion foot adalah yang Tinea
pedis tipe moccasin atau Squamous-Hyperkeratotic Type umumnya bersifat hiperkeratosis yang
bersisik dan biasanya asimetris yang disebut foci. Seluruh kaki, dari telapak, tepi sampai
punggung kaki terlihat kulit menebal dan bersisik; eritema biasanya ringan dan terutama terlihat
pada bagian tepi lesi. Di bagian tepi lesi dapat pula dilihat papul dan kadang-kadang vesikel.1
Pada pasien ini penatalaksanaan yang dilakukan adalah dengan memberikan obat secara
topikal dan sistemik. Tetapi yang paling utama adalah memberikan edukasi kepada pasien.
Untuk pengobatan topikal dan sitemik dapat diberikan Antihistamin : CTM 4 mg 3x1 tab untuk
mengurangi rasa gatal, Ketoconazol 200mg 1x1 tab sebagai fungistatik, dan Miconazol cream
2% 3 x oles. Hal ini sesuai dengan bentuk tatalaksana anjuran pada pasien tinea pedis yakni
Prognosis dari tinea pedis yang diderita pasien pada umumnya baik bila diobati dengan
benar dan juga menghindari faktor pencetus dan predisposisi, demikian juga sebaliknya. Selain
20
itu, perlu dilakukan pencegahan, karena walaupun dengan pengobatan yang baik, tetapi bila
DAFTAR PUSTAKA
1. Rihatmadja R. Anatomi dan faal kulit. In: Menaldi SL, Bramono K, Indriatmi W, editors.
Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi Ketujuh. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2017:3-7
21
2. Chu DH. Development and structure of the skin. In : Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine. 9th ed. New York: McGraw-Hill; 2019
3. Kalangi SJR. Histofisiologi kulit. JBM. 2013;5(3): 12-20
4. Plendorf S, Liviaratos M, Dada N. Pigmentation disorders : diagnosis and management.
American Family Physician. 2017;96(12):797-804
5. Bramono K, Budimulja U. Nondermatofitosis. In: Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. 7th
ed. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2017:103-105.
6. Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K. Tinea (Pityriasis)
Versicolor. In: Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 9th ed. McGraw- Hill
Education; 2019:2307-2310.
7. Banerjee S. Clinical profile of pityriasis versicolor in a referral hospital of West Bengal.
J Pakistan Assoc Dermatologists. 2016;21(4):248-252.
8. Angel et al. Hyperchromic and erythematous pityriasis : casereport and review of the
literature. J Dermatol Res Ther. 2019;5(73)
9. PERDOSKI. Panduan praktik klinis bagi dokter kulit dan kelamin di Indonesia. Jakarta:
2017.
10. Soepardiman L. Kelainan pigmen. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editor. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketujuh. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2017:342-51.
11. Ahronowitz I and Lesli K. Yeast infection. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt
SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam: Fitzpatrick’s Dematology in
general medicine. 9th ed. New York: Mc Graw-Hill; 2019:h.2307
12. Darmawan, Hari & Rusmawardiana. Sumber dan Cara Penularan Mucobacterium Leprae.
Tarumanegara Medical Journal. 2020;2(2), 390-401.
13. Basitoh FA, Dimawan Agus RS. Morbus Hansen pada Geriatri. Bagian Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin RSUD Harjono S. Ponorogo. Publikasi Ilmiah UMS. 2021
22