Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PEDAHULUAN

Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya
stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku, yang disebabkan golongan jamur
dermatofita. Golongan jamur ini mempunyai sifat mencernakan keratin (keratofilik).
Dermatofita trmasuk kelas Fungi imperfecti, yang terbagi dalam 3 genus, yaitu Microsporum,
Trichophyton, dan Epidermophyton. Dermatofitosis mempunyai prevalensi yang cukup tinggi
di Indonesia, karena Indonesia memiliki iklim tropis dan kelembaban yang tinggi. Penyakit
dermatofitosis ini tersebar di seluruh dunia dan menyerang semua umur, terutama dewasa. 1,2
Nama penyakit akibat jamut dermatofit ini sesuai dengan lokasi yang diserang oleh
jamur tersebut. Berikut ini adalah klasifikasi dermatofitosis berdasarkan lokasi:
- Tinea kapitis : dermatofitosis pada kulit dan rambut kepala
- Tinea barbe : dermatofitosis pada dagu dan jenggot
- Tinea kruris : dermatofitosis pada daerah genitokrural, sekitar anus, bokong,
dan kadang-kadang sampai perut bagian bawah
- Tinea pedis et manum : dermatofitosis pada kaki dan tangan
- Tinea unguium : dermatofitosis pada kuku jari tangan dan kaki
- Tinea korporis : dermatofitosis pada bagian lain yang tidak termasuk bentuk 5
tinea di atas.

Tinea pedis adalah dermatofitosis pada kaki, terutama pada sela-sela jari dan telapak
kaki. Tinea pedis yang tersering dilihat adalah bentuk interdigitalis. Diantara jari IV dan V
terlihat fisura yang dilingkari sisik halus dan tipis. Kelainan ini dapat meluas ke bawah jari
(subdigital) dan juga ke sela jari yang lain. Oleh karena daerah ini lembab, maka sering
dilihat maserasi. Aspek klinis maserasi berupa kulit putih dan rapuh. Bila bagian kulit yang
mati ini dibersihkan, maka akan terlihat kulit baru, yang pada umumnya juga telah diserang
oleh jamur. Bentuk klinis ini dpat berlangsung bertahun-tahun dengan menimbulkan sedikit
keluhan atau tanpa keluhan sama sekali. Pada suatu ketika kelainan ini dapat disertai infeksi
sekunder oleh bakteri sehingga terjadi selulitis, limfangitis, limfadenitis, dan dapat pula
terjadi erisipelas, yang disertai gejala-gejala umum.2,3

1
BAB II
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. S
Umur : 54 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Berbak
Pekerjaan : Petani
Suku bangsa : Jawa
Agama : Islam
Status : Menikah

II. ANAMNESIS
Autoanamnesis tanggal 10 Juli 2017

Keluhan utama: bercak kemerahan di sela jari kaki kiri sejak 2 minggu yg lalu,
keluhan disertai rasa gatal.
Keluhan Tambahan: penebalan pada punggung kaki kanan dan kiri berwarna
kehitaman dan bersisik sejak 1 bulan yang lalu.

Riwayat perjalanan penyakit :


1 bulan sebelum datang ke rumah sakit pasien mengeluhkan rasa gatal di
punggung kaki pasien, lama kelamaan kulit di punggung kaki mulai menebal dan
bersisik. Rasa gatal semakin hebat dan psien sering menggaruk nya hingga berdarah.
1 minggu setelahnya pasien berobat ke puskesmas namus keluhan tidak berkurang.
2 minggu kemudian, timbul bercak kemerahan kira-kira sebesar biji jagung pada
telapak kaki kanan dan sela jari ke 3,4,5. Bercak kemerahan ini terasa gatal, semakin
lama semakin meluas dan berwarna kemerahan. Bercak kemerahan ini menjadi agak
semakin tebal dan meluas setelah beberapa hari dan terasa semakin gatal dan agak
lembek terutama bila basah karena keringat. Pasien mengaku sering menggaruk
bercak tersebut karena gatal. Lalu timbul di punggung kaki kanan-kiri. Pasien sudah
pernah berobat ke puskesmas namun keluhan tidak berkurang.

2
Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat diabetes melitus, HIV, penggunaan obat kemoterapi dan kortikosteroid
oral jangka lama serta alergi obat disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga


- Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga disangkal.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Kompos mentis
Berat Badan/Tinggi Badan : 55 Kg/153 cm
Status Gizi : Baik
Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 120/80mmHg
Nadi : 64x/menit
Pernapasan : 20x/menit
Suhu : 36,5C
Kepala : Normocephali
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
THT : Faring hiperemis -/-, tonsil T1-T1
Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid maupun kelenjar getah bening
Jantung : Suara jantung S1-S2 reguler, murmur -/-, gallop -/-
Paru : Suara nafas vesikuler, ronki -/-, wheezing -/-
Abdomen : Cembung, dinding perut supel, bising usus (+) normal,
nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), hepatosplenomegali (-)
Ekstremitas: Akral hangat, edema tungkai (-), capillary refill < 2 detik

3
Status Dermatologikus

Gambar 1. Lokasi: Dorsal pedis dextra et sinistra


Pedis dekstra :Terdapat liken, hiperpigmentasi, 2 buah, berukuran 3x4
cmdan 10x7 cm, irregular,sirkumskrip, distribusi regional ,
permukaan ditutupi oleh skuama sedang selapis
Pedis Sinistra : Terdapat liken, hiperpigmentasi, multiple, nummular
plakat, irregular,sirkumskrip, distribusi regional ,
permukaan ditutupi oleh skuama sedang selapis

Gambar 2. Lokasi: Regio plantar digitalis III-V pedis dextra, plantar pedis dextra
plak eritema , soliter, berukuran 3 cm x 4 cm irregular, sirkumkrip,
distribusi regional , permukaan ditutupi skuama sedang selapis.

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Kerokan Kulit KOH 10%
Bahan dan alat yang dibutuhkan
1. Scalpel untuk melakukan kerokan kulit
2. Gelas obyek dan penutup
3. Reagen KOH
4. Lampu Busen
5. Aseton

4
Prosedur

1. .Di daerah kulit yang telah dipilih di bersihkan dengan aceton (alkohol kurang
baik hasilnya) untuk menhilangkan bahan salep. Setelah itu dilan1utkan dengan
pengambilan bahan kerokan dari daerah tersebut.
2. Kerokan kulit ditampung langsung keatas gelas obyek dan dikumpulkan di bagian
tengah tipis-tipis.
3. Teteskan KOH keatasnya kerokan yang telah dipersiapkan.
4. Tutup gelas obyek dengan gelas penutup.
5. Panaskan slide tersebut dan hindari pemanasan yang berlebihan yaitu 1angan
sampai menguap, karena dapat menimbulkan artefak
6. Periksa dibawah mikroskop, dimulai dengan pembesaan 100 kali sampai 400 kali.

Interpretasi hasi pemeriksaan:

Hypha dermatophytes

Bentuknya seperti benang pan1ang lurus atau berlekuk yang seringkali bercabang-
cabang. Diameternya uniform! warna terang dengan tepi agak gelap

Hypha dan budding spores Candida

Disebut 1uga pseudo-hypha yang seringkali sukar di bedakan dengan hypha dari
dermatohytes. Bentuknya seperti benang yang pan1ang. ,urus atau bengkok. Bentukan
sel bulat atau oval dan budding

Hypha dan spora T. Versicolor

Bentuknya berupa benang-benang pendek-pendek dan pan1ang disertai dengan spora


yang berkelompok dengan ukuran yang sama. Kombinasi ini seringkali di sebut
spagetti dan meatball

V. DIAGNOSIS KERJA
Liken Simplek Kronis
Tinea pedis tipe interdigitalis pedis sinistra

5
VI. DIAGNOSIS BANDING
Tinea pedis
Liken Simplek Kronikus
Kandidosis interdigitalis
Dermatitis kontak
Psoriasis

VII. ANJURAN PEMERIKSAAN


1. Pembiakan jamur dengan menggunakan medium agar Sabouraud dextrose.
2. Tes PAS (Periodic Acid-Schiff)
3.
Lampu wood

VIII. PENATALAKSANAAN
1. Terapi Liken Simplek Kronis
Non medikamentosa
- Menghindari garukan pada daerah yang gatal
- Menghindari stress psikologis
- Menjaga kebersihan kulit dan kelembaban kulit
Medikamentosa
- Antihistamin : cetirizine tab 10 mg 2 x 1 tab
- Emollient : carmed cream, dioleskan setiap habis mandi
- Kortikosteroid topikal : clobetasol proprionate 0,05% ointment dioleskan
sesuai FTU 2 x perhari

2. Terapi Tinea pedis Interdigitalis pedis sinistra


Non Medikamentosa
Menyarankan kepada pasien untuk mengkonsumsi obat secara teratur dan
tidak menghentikan pengobatan tanpa seizin dokter.
Pencucian kaki setiap hari diikuti dengan pengeringan yang baik terutama di
daerah sela jari kaki.
Menjaga kebersihan dan menjaga kelembapan daerah-daerah lipatan kulit,
tangan dan kaki

6
Menganjurkan pada pasien untuk menghindari pemakaian sandal/sepatu yang
tertutup dan memakai kaos kaki yang menyerap keringat dan sering mengganti
kaos kaki.
Medikamentosa
- Sistemik
Cetirizine 1 x 10 mg, bila gatal
- Topikal
Mikonazol cream 2% 2x/hari selama 4 minggu

IX. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Tinea pedis atau sering disebut athelete foot adalah infeksi oleh jamur dermatofitosis
pada kaki, terutama pada sela-sela jari dan telapak kaki. Tinea pedis adalah dermatofitosis
yang biasa terjadi. Prevalensi dari tinea pedis sekitar 10%, terutama disebabkan oleh
penggunaan alas kaki modern tertutup, meskipun perjalanan jauh juga merupakan faktor
predisposisi. Kejadiaan tinea pedis lebih tinggi diantara komuniti yang menggunakan tempat-
tempat umum seperti kamar mandi, shower atau kolam renang. Kejadian infeksi ini sering
terjadi pada iklim hangat lembab dimana dapat meningkatkan pertumbuhan jamur.1,2

B. Epidemiologi
Hampir semua orang dalam populasi umumnya terkena jamur yang menyebabkan
Tinea pedis. Sistem kekebalan tubuh masing-masing orang menentukan apakah hasil infeksi
dari eksposur tersebut. Sebagai orang usia dewasa, retak kecil berkembang di kulit kaki,
meningkatkan kerentanan terhadap infeksi tinea. Prevalensi Tinea pedis sekitar 10%,
terutama disebabkan oleh oklusif alas kaki.3
Indonesia termasuk wilayah yang baik untuk pertumbuhan jamur, sehingga dapat
ditemukan hampir di semua tempat. Menurut Adiguna MS, insidensi penyakit jamur yang
terjadi di berbagai rumah sakit pendidikan di Indonesia bervariasi antara 2,93%-27,6%.
Meskipun angka ini tidak menggambarkan populasi umum.
Dermatomikosis atau mikosis superfisialis cukup banyak diderita penduduk negara
tropis. Di Indonesia angka yang tepat, berapa sesungguhnya insiden dermatomikosis belum
ada. Di Denpasar, golongan penyakit ini menempati urutan kedua setelah dermatitis. Angka
insiden tersebut diperkirakan kurang lebih sama dengan di kota-kota besar Indonesia lainnya.
Di daerah pedalaman angka ini mungkin akan meningkat dengan variasi penyakit yang
berbeda.Sebuah penelitian retrospektif yang dilakukan pada penderita dermatomikosis yang
dirawat di IRNA Penyakit Kulit Dan Kelamin RSU Dr. Soetomo Surabaya dalam kurun
waktu antara 2 Januari 1998 sampai dengan 31 Desember 2002. Dari pengamatan selama 5
tahun didapatkan 19 penderita dermatomikosis. Kasus terbanyak terjadi pada usia antara 15-
24 tahun (26,3%), penderita wanita hampir sebanding dengan laki-laki(10:9).
Dermatomikosis terbanyak ialah Tinea kapitis, Aktinomisetoma, Tinea kruris et korporis,
Kandidiasis oral, dan Kandidiasis vulvovaginalis.1,3

8
C. Etiologi dan Patogenesis
Tinea pedis disebabkan oleh Trichophyton rubrum (umumnya), Trichophyton
mentagrophytes, Epidermophyton floccosum. Telah diketahui bahwa 9% dari kasus tinea
pedis diakibatkan oleh agen infeksi selain dermatofit. Individu dengan imun yang rendah
mudah terkena infeksi, HIV/AIDS, transplantasi organ, kemoterapi,dan steroid diakui dapat
menurunkan resistensi pasien terhadap infeksi dermatofitosis. Faktor seperti umur, obesitas
dan diabetes melitus juga mempunyai dampak negatif terhadap kesehatan pasien secara
keseluruhan dan dapat menurunkan imunitas dan meningkatkan terjadinya tinea pedis.
Dengan menggunakan enzim keratinase, jamur ini menginvasi keratin superfisialis dari kulit
dan infeksi akan terbatas pada lapisan kulit ini. Dinding dermatofit memiliki mannans, yang
akan menghambat respon imun tubuh. Trichophyton rubrum umumnya memiliki mannans
yang akan menghambat proliferasi keratinosit, mengakibatkan berkurangnya kecepatan
pergantian kulit dan berujung pada infeksi kronis. Suhu dan faktor serum seperti beta
globulin dan ferritin nampaknya memiliki efek menghambat dermatofit ; akan tetapi
patofisiologinya tidak begitu dimengerti. Sebum juga berperan sebagai penghambat, sehingga
menjelaskan kenapa infeksi dermatofit sering pada daerah kaki yang tidak memiliki kelenjar
sebum.2,3
Patogenesis dermatofita memiliki 3 step: 4,5
1. Adherence/pengikatan. Fungi selalu mempunyai hambatan dalam proses infeksinya,
fungi harus resisten terhadap sinar UV, tahan terhadap berbagai temperatur dan
kelembaban, kompetisi dengan flora normal kulit, spingosine yang di hasilkan oleh
keratinosit. Asam lemak yg diproduksi oleh glandula sebasea bersifat fungistatik
(menghambat pertumbuhan jamur). Mulainya diproduksi asam lemak pada anak anak
post-pubertas mungkin menerangkan menurunnya kejadian Tinea kapitis secara
drastis.
2. Penetrasi setelah fase adherence, spora akan tumbuh dan memasuki stratum korneum
dengan kecepatan yang lebih cepat dari waktu deskuamasi epidermis. Penetrasi juga
di dukung dengan keluarnya enzim proteinase, lipase dan musinolitik yang juga
membantu dalam pembuatan nutrisi fungi. Trauma dan maserasi merupakan faktor
penting dalam memudahkan penetrasi fungi terutama pada kasus Tinea pedis. Fungal
mannans yang ada di dinding sel dermatofita juga dapat menurunkan poliferasi sel
keratinosit. Pertahanan terbaru pada lapisan epidermis yang lebih dapat tercapai

9
diantaranya berkompetisi dengan besi dan juga penghambatan pertumbuhan jamur
oleh progesteron.
3. Development a host response/respon host. Proses inflamasi yang terjadi sangat
tergantung dari sistem imun host dan juga oleh jenis organisme. Beberapa fungi dapat
menghasilkan faktor kemotaktik dengan berat melekul rendah seperti yang dihasilkan
bakteri. Antibodi tidak terlihat pada infeksi dermatofita, tetapi hanya menggunakan
jalur reaksi hipersensitivitas tipe IV. Infeksi yang sangat ringan sering hanya
menimbulkan inflamasi yang ringan juga, pertama muncul berupa eritema dan scale /
skuama yang menandakan terjadinya peningkatan pergantian keratinosit(keratinocyte
turnover). Antigen dermatofit diproses oleh sel langerhans epidermis dan
dipresentasikan di nodus limpa lokal menuju ke limfosit T. Kemudian limfosit T
mengalami poliferasi dan bermigrasi ke lokasi untuk membunuh jamur dan pada
waktu ini lesi menjadi mendadak inflamasi. Oleh sebab ini barier epidermal menjadi
permeable terhadap transferin dan migrasi sel.

Gambar 1. Epidermomikosis dan trikhomikosis. Epidermomikosis (A), dermatofit (titik dan


garis merah) memasuki stratum korneum dengan merusak lapisan tanduk dan juga
menyebabkan respons radang (titik hitam sebagai sel-sel radang) yang berbentuk eritema,
papula, dan vasikulasi. Sedangkan pada trikhomikosis pada batang rambut (B), ditunjukkan
titik merah, menyebabkan rambut rusak dan patah, jika infeksi berlanjut sampai ke folikel
rambut, akan memberikan respons radang yang lebih dalam, ditunjukkan titik hitam, yang
mengakibatkan reaksi radang berupa nodul, pustulasi folikel,dan pembentukan abses.6

10
D. Gejala klinis
Ada 4 jenis tinea pedis interdigitalis, moccasin, tipe akut ulserasi dan tipe
vesikobulosa semua dengan karakteristik kulit masing-masing.
1. Interdigitalis 1,4
- Terdapat fisura yang dilingkari sisik halus dan tipis.
- Dapat meluas ke bawah jari (subdigital) dan ke sela jari yang lain.
- Sering terlihat maserasi. Aspek klinis berupa kulit putih dan rapuh. Dapat disertai
infeksi sekunder oleh bakteri sehingga terjadi selulitis, limfangitis, limfadenitis, dan
dapat pula terjadi erisipelas.

Gambar 2. Tinea pedis pada bagian bawah jari kaki 1

2. Moccasin foot 1,3


- Pada seluruh kaki, dari telapak kaki, tepi sampai punggung kaki, terlihat kulit
menebal dan bersisikhalus dan seperti bedak
- Eritema biasanya ringan dan terlihat pada bagian tepi lesi
- Tepi lesi dapat dilihat papul dan kadang-kadang vesikel

Gambar 3. Tinea pedis.Terdapat distribusi tipe moccasin. Bentuk arciform dari sisik yang
merupakan karakteristik 2

11
3. Vesikobulosa 2,5
- Diakibatkan karena T.mentagrophytes
- Diameter vesikel lebih besar dari 3mm
- Jarang pada anak-anak, tapi etiologi yang sering terjadi pada anak-anak adalah
T.rubrum
- Vesikel pustul atau bula pada kulit tipis ditelapak kaki dan area periplantar

Gambar 4. Tinea pedis tipe bulosa. Vesikel pecah, bula, eritema, dan erosi pada bagian
belakang dari ibu jari kaki 2

4. Tipe akut ulserasi 2,5


- Mempengaruhi telapak kaki dan terkait dengan maserasi dan kerusakan kulit
- Ko infeksi bakterial biasanya dari garam negatif kombinasi dengan
T.mentagrophytes menghasilkan vesikel pustul dan ulkus bernanah yang besar pada
permukaan plantar

Gambar 5. Tinea pedis tipe Ulseratif

12
E. Diagnosis banding
Diagnosis banding klinis dari erupsi kutaneus kaki seperti kontak dermatitis,
psoriasis, dihydrosis, eczema, dermatitis atopik, keratoderma, liken planus dan beberapa
infeki bakteri seperti C.minutissimum, streptococcal cellulitis dan lain-lain yang umumnya
susah dibedakan dengan tinea pedis.3, 5
Diagnosis banding dari tinea pedis dapat di bedakan menjadi
1. Interdigitalis
Diagnosis banding berupa psoriasis, soft corns, koinfeksi bakteri, kandidiasis,
eritrasma2

Gambar 6. Kandidiasis interdigitalis, disertai maserasi dan erosi eritematosa interdigital.2

2. Tipe Moccasin
Diagnosis banding berupa psoriasis, keratoderma congenital atau yang didapat pada
telapak tangan dan kaki, dyshidrosis.2

3. Vesikobulosa
Diagnosis banding berupa pustular psoriasis, palmoplantar pustulosis, pioderma
bakteri.2

4. Skabies Pada Kaki


Gejala gatal pada badan, sela jari tangan, lipat paha, dan lipatan siku yang disebabkan
oleh tungau (kutu) skabies.

13
F. Diagnosis
Diagnosis dari tinea pedis biasanya dilakukan berdasarkan klinis dan pemeriksaan
dari daerah yang terinfeksi. Diagnosis yang digunakan biasanya dengan cara kulit dikerok
untuk preparat KOH, biopsi kulit, atau kultur dari daerah yang terinfeksi.3,6
1. KOH
Hasil preparat KOH biasanya positif di beberapa kasus dengan maserasi pada kulit.
Pada pemeriksaan mikroskop KOH dapat ditemukan hifa bersepta atau bercabang,
arthrospora, atau dalam beberapa kasus, sel budding memperlihatkan bukti infeksi
jamur. 3

Gambar 7. Hifa sejati pada tinea pedis 2

2. Kultur
Kultur dari tinea pedis yang dicurigai dilakukan SDA (sabourauds dextrose agar),
pH asam media ini menghambat banyak spesies bakteri dan dapat dibuat lebih selektif
dengan penambahan suplemen kloramfenikol. Dermatophyte test medium (DTM)
digunakan untuk isolasi selektif dan mengenali jamur dermatofitosis adalah pilihan
lain diagnostik yang bergantung pada indikasi perubahan warna dari oranye ke merah
untuk menandakan kehadiran dermatofit.3

3. Tes PAS
PAS (Periodic Acid-Schiff) menunjukkan dinding polisakarida dari organisme jamur
yang terkait dengan kondisi ini dan merupakan salah satu teknik yang paling banyak
digunakan untuk mendeteksi karbohidrat protein terikat (glikoprotein). Tidak seperti
kultur pada SDA atau DTM, hasil PAS dapat selesai sekitar 15 menit. PAS juga telah
menjadi tes diagnostik yang paling dapat diandalkan untuk tinea pedis, dengan
keberhasilan 98,8% dengan biaya paling efektif. 6

14
Gambar 8. Histopatologi dari Tinea pedis; hifa pada lapisan superfisial dari epidermis

G. Penatalaksanaan
1. Topikal
Topikal antifungal seperti Clotrinazole, miconazole, sulconazole, oxiconazole,
ciclopirox, econazole, ketoconazole, naftifine, terbinafine, flutnmazol, bifonazole, dan
butenafine tetapi clotrhnazole, miconazole membutuhkan waktu 4 minggu dibandingkan
jika menggunakan terbinafine yang membutuhkan waktu 1-2 minggu. Kalau terjadi
maserasi diantara jari, pisahkan jari dengan busa atau gunakan kapas pada malam hari.
Aluminium kloride 10% atau aluminium asetat juga dapat berguna. Topikal yang berguna
untuk organisme gram-negatif adalah salep antibiotik seperti gentamicin untuk lesi
interdigitalis. Keratolitik agen mengandung asam salisilat, resorcinol, asam laktat dan
urea berguna di beberapa kasus walaupun dapat mengakibatkan maserasi.2,3
Efek samping dari obat-obatan ini sangat minimal, biasanya terjadi dermatitis
kontak alergi, yang biasanya terbuat dari alkohol atau komponen yang lain.
a. Imidazol Topikal. Efektif untuk semua jenis Tinea pedis tetapi lebih cocok pada
pengobatan Tinea pedis interdigitalis karena efektif pada dermatofit dan kandida.3,
Klotrimazole 1 %. Antifungal yang berspektrum luas dengan menghambat
pertumbuhan bentuk yeast jamur. Obat dioleskan dua kali sehari dan diberikan
sampai waktu 2-4 minggu. Efek samping obat ini dapat terjadi rasa terbakar,
eritema, edema dan gatal.
Ketokonazole 2 % krim merupakan antifungal berspektrum luas golongan
Imidazol; menghambat sintesis ergosterol, menyebabkan komponen sel yang
mengecil hingga menyebabkan kematian sel jamur. Obat diberikan selama 2-4
minggu.

15
Mikonazol krim, bekerja merusak membran sel jamur dengan menghambat
biosintesis ergosterol sehingga permeabilitas sel meningkat yang menyebabkan
keluarnya zat nutrisi jamur hingga berakibat pada kematian sel jamur. Lotion 2 %
bekerja pada daerah-daerah intertriginosa. Pengobatan umumnya dalam jangka
waktu 2-6 minggu.
b. Tolnaftat 1% merupakan suatu tiokarbamat yang efektif untuk sebagian besar
dermatofitosis tapi tidak efektif terhadap kandida. Digunakan secara lokal 2-3 kali
sehari. Rasa gatal akan hilang dalam 24-72 jam. Lesi interdigital oleh jamur yang
rentan dapat sembuh antara 7-21 hari. Pada lesi dengan hiperkeratosis, tolnaftat
sebaiknya diberikan bergantian dengan salep asam salisilat 10 %.
c. Piridones Topikal merupakan antifungal yang bersifat spektrum luas dengan
antidermatofit, antibakteri dan antijamur sehingga dapat digunakan dalam berbagai
jenis jamur.
Sikolopiroksolamin. Pengunaan kliniknya untuk dermatofitosis, kandidiasis dan
tinea versikolor. Sikolopiroksolamin tersedia dalam bentuk krim 1 % yang
dioleskan pada lesi 2 kali sehari. Reaksi iritatif dapat terjadi walaupun jarang
terjadi.
d. Alilamin Topikal. Efektif terhadap berbagai jenis jamur. Obat ini juga berguna pada
Tinea pedis yang sifatnya berulang (seperi hiperkeratotik kronik).
Terbinafine (Lamisil), menurunkan sintesis ergosterol, yang mengakibatkan
kematian sel jamur. Jangka waktu pengobatan 1 sampai 4 minggu. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan bahwa terbinafine 1% memiliki keefektifan yang sama
dengan terbinafine 10% dalam mengobati tine pedis namun dalam dosis yang
lebih kecil dan lebih aman.
e. Antijamur Topikal Lainnya.
Asam benzoat dan asam salisilat. Kombinasi asam benzoat dan asam salisilat
dalam perbandingan 2 : 1 (biasanya 6 % dan 3 %) ini dikenal sebagai salep
Whitfield. Asam benzoat memberikan efek fungistatik sedangkan asam salisilat
memberikan efek keratolitik. Asam benzoat hanya bersifat fungistatik maka
penyembuhan baru tercapai setelah lapisan tanduk yang menderita infeksi
terkelupas seluruhnya. Dapat terjadi iritasi ringan pada tempat pemakaian, juga
ada keluhan yang kurang menyenangkan dari para pemakainya karena salep ini
berlemak.

16
Asam Undesilenat. Dosis dari asam ini hanya menimbulkan efek fungistatik tetapi
dalam dosis tinggi dan pemakaian yang lama dapat memberikan efek fungisidal.
Obat ini tersedia dalam bentuk salep campuran yang mengandung 5 %
undesilenat dan 20% seng undesilenat.
Haloprogin. Haloprogin merupakan suatu antijamur sintetik, berbentuk kristal
kekuningan, sukar larut dalam air tetapi larut dalam alkohol. Haloprogin tersedia
dalam bentuk krim dan larutan dengan kadar 1 %.

2. Sistemik2,3
- Griseofulvin 500-1000 mg/hari. Buat anak-anak 10- 20 mg/kg/hari.
Griseofulvin merupakan obat yang bersifat fungistatik. Griseofulvin dalam
bentuk partikel utuh dapat diberikan dengan dosis 0,5 1 g untuk orang dewasa
dan 0,25 - 0,5 g untuk anak-anak sehari atau 10-25 mg/kg BB. Lama pengobatan
bergantung pada lokasi penyakit, penyebab penyakit, dan imunitas penderita.
Setelah sembuh klinis dilanjutkan 2 minggu agar tidak residif. Dosis harian yang
dianjurkan dibagi menjadi 4 kali sehari. Di dalam klinik cara pemberian dengan
dosis tunggal harian memberi hasil yang cukup baik pada sebagian besar
penderita. Griseofulvin diteruskan selama 2 minggu setelah penyembuhan klinis.
Efek samping dari griseofulvin jarang dijumpai, yang merupakan keluhan utama
ialah sefalgia yang didapati pada 15 % penderita. Efek samping yang lain dapat
berupa gangguan traktus digestivus yaitu nausea, vomitus dan diare. Obat tersebut
juga dapat bersifat fotosensitif dan dapat mengganggu fungsi hepar.

- Terbinafine 250 mg/hari untuk 1-2 minggu


Terbinafin berfungsi sebagai fungisidal juga dapat diberikan sebagai
pengganti griseofulvin selama 2-3 minggu, dosisnya 62,5 mg 250 mg sehari
bergantung berat badan. Mekanisme sebagai antifungal yaitu menghambat
epoksidase sehingga sintesis ergosterol menurun. Efek samping terbinafin
ditemukan pada kira-kira 10 % penderita, yang tersering gangguan gastrointestinal
di antaranya nausea, vomitus, nyeri lambung, diare dan konstipasi yang umumnya
ringan. Efek samping lainnya dapat berupa gangguan pengecapan dengan
presentasinya yang kecil. Rasa pengecapan hilang sebagian atau seluruhnya
setelah beberapa minggu makan obat dan bersifat sementara. Sefalgia ringan dapat

17
pula terjadi. Gangguan fungsi hepar dilaporkan pada 3,3 % - 7 % kasus.
Terbinafin baik digunakan pada pasien Tinea pedis tipe moccasion yang sifatnya
kronik. Pada suatu penelitian ternyata ditemukan bahwa pengobatan Tinea pedis
dengan terbinafine lebih efektif dibandingkan dengan pengobatan griseofulvin.

- Itraconazole 200 mg 2 kali sehari untuk 1 minggu. Untuk kasus ringan diberikan
100 mg 2 kali sehari. Anak : 2-5mg/kgbb/hari
Itrakonazole merupakan suatu antifungal yangdapat digunakan sebagai
pengganti ketokonazole yang bersifat hepatotoksik terutama bila diberikan lebih
dari sepuluh hari. Itrakonazole berfungsi dalam menghambat pertumbuhan jamur
dengan mengahambat sitokorm P-45 yang dibutuhkan dalam sintesis ergosterol
yang merupakan komponen penting dalam sela membran jamur. Pemberian obat
tersebut untuk penyakit kulit dan selaput lendir oleh penyakit jamur biasanya
cukup 2 x 100-200 mg sehari dalam selaput kapsul selama 3 hari. Interaksi dengan
obat lain seperti antasida (dapat memperlambat reabsorpsi di usus), amilodipin,
nifedipin (dapat menimbulkan terjadinya edema), sulfonilurea (dapat
meningkatkan resiko hipoglikemia). Itrakonazole diindikasikan pada Tinea pedis
tipe moccasion.

- Ketokonazole 100 mg/ hari.Anak 3 - 5 mg/ kgBB/hari


Ketokonazole. Obat per oral, yang juga efektif untuk dermatofitosis yaitu
ketokonazole yang bersifat fungistatik. Kasus-kasus yang resisten terhadap
griseofulvin dapat diberikan obat tersebut sebanyak 200 mg per hari selama 10
hari 2 minggu pada pagi hari setelah makan. Ketokonazole merupakan
kontraindikasi untuk penderita kelainan hepar.

18
Tabel 1. Klasifikasi jenis Tinea pedis dan pengobatannya
Tipe Organisme Gejala Klinis Pengobatan
Penyebab
Moccasin Trichophyton Hiperkeratosis yang Antifungal topikal

rubrum difus, eritema dan disertai dengan obat-


retakan pada obatan keratolitik
Epidermophyton
permukaan telapak asam salisilat, urea
floccosum
kaki; pada umumnya dan asam laktat
Scytalidium sifatnya kronik dan untuk mengurangi
hyalinum sulit disembuhkan; hiperkeratosis; dapat
S. dimidiatum berhubungan dengan juga ditambahkan
defisiensi Cell dengan obat-obatan
Mediated Immunity oral
(CMI)
Interdigital T. mentagrophytes Tipe yang paling Obat-obatan topikal;
sering; eritema, bisa juga
(var. interdigitale)
krusta dan maserasi menggunakan obat-
T. rubrum yang terjadi pada obatan oral dan
E. floccosum sela-sela jari kaki, pemberian antibiotik
jika terdapat infeksi
S. hyalinum
bakteri; kronik :
S. dimidiatum ammonium klorida
Candida spp. hexahidrate 20 %

Inflamasi / T. mentagrophytes Vesikel dan bula Obat-obatan topikal


Vesikobulosa pada pertengahan biasanya cukup pada
(var.
kaki; berhubungan fase akut, namun
mentagrophytes)
dengan reaksi apabila dalam
dermatofit keadaan berat maka
indikasi pemberian
glukokortikoid
Ulseratif T. rubrum Eksaserbasi pada Obat-obatan topikal;
daerah interdigital; antibiotik digunakan
T.
Ulserasi dan erosi; apabila terdapat

19
mentagrophytes biasanya terdapat infeksi sekunder
infeksi sekunder oleh
E. floccosum
bakteri; biasanya
terdapat pada pasien
imunokompromais
dan pasien diabetes

H. Pencegahan
Memberikan penjelasan kepada pasien mengenai pentingnya kebersihan pada kaki,
menjaga kaki tetap kering , membersikan kuku kaki, menggunakan sepatu yang sesuai dan
kaos kaki kering dan bersih, serta menggunakan sandal atau flip-flop pada tempat mandi
umum atau kolam renang dapat mencegah terjadinya tinea pedis. Diagnosis yang tepat serta
pengobatan terhadap pasien yang menderita diabetes mellitus, HIV, trasplantasi organ
penting untuk pencegahan infeksi tinea pedis.5,6

I. Prognosis
Pengobatan yang diterapkan dalam beberapa minggu pada kaki biasanya dapat
menyembuhkan Tinea pedis (Athletes Foot) pada penderita dengan gejala yang baru. Infeksi
Tinea pedis kronis atau berulang juga bisa disembuhkan dengan cara ini, tetapi mungkin
memerlukan perubahan signifikan dalam perawatan kaki dan beberapa minggu pengobatan.
Kasus yang lebih parah mungkin memerlukan obat oral. Bahkan setelah pengobatan berhasil,
penderita tetap berisiko terhadap infeksi ulang jika mereka tidak mengikuti pedoman
pencegahan. Sebagian besar kasus Athletes foot sembuh dalam waktu dua minggu. Kasus
yang lebih parah dapat mencapai waktu satu bulan atau bahkan lebih lama dengan asumsi
penyebabnya adalah infeksi jamur.

20
Liken Simplek Kronikus
Definisi
Neurodermatitis sirkumskripta atau yang dikenal juga dengan Liken Simpleks
Kronikus adalah penyakit peradangan kronis pada kulit, gatal, sirkumskripta, dan khas
ditandai dengan likenifikasi. Likenifikasi timbul sebagai respon dari kulit akibat
gosokan dan garukan yang berulang-ulang dalam waktu yang cukup lama, atau
kebiasaan menggaruk pada satu area tertentu pada kulit sehingga garis kulit tampak
lebih menonjol menyerupai kulit batang kayu. Secara histologis, karakteristik
likenifikasinya adalah akantosis dan hyperkeratosis dan secara klinis muncul penebalan
dari kulit, utamanya pada permukaan kulit. 7,8,9

Neurodermatitis sirkumskripta merupakan proses yang sekunder ketika


seseorang mengalami sensasi gatal pada daerah kulit yang spesifik dengan atau tanpa
kelainan kulit yang mendasar yang dapat mengakibatkan trauma mekanis pada kulit
yang berakhir dengan likenifikasi. Penyakit ini biasanya timbul pada pasien dengan
kepribadian yang obsessif, dimana selalu ingin menggaruk bagian tertentu dari
tubuhnya.

Gambar 2 : Likenifikasi pada Neurodermatitis Sirkumskripta dorsum pedis

Epidemiologi
Semua kelompok umur mulai dari anak-anak sampai dewasa dapat terkena
penyakit ini. Kelompok usia dewasa 30 50 tahun paling sering mengalami keluhan
neurodermatitis. Secara umum neurodermatitis dapat terjadi pada laki-laki dan wanita,

21
tetapi lebih sering dilaporkan terjadi pada wanita pada umur pertengahan.
Neurodermatitis jarang terjadi pada anak-anak, karena neurodermatitis merupakan
penyakit yang bersifat kronis dan dipengaruhi oleh keadaan emosi dan penyakit yang
mendasarinya. Dilihat dari ras dan suku bangsa, Asia terutama ras mongoloid lebih
sering terkena penyakit ini, kemungkinan karena faktor protein yang dikonsumsinya
berbeda dengan ras dan suku bangsa lainnya7,8,9

Etiologi
Penyebab liken simpleks kronikus belum diketahui secara pasti. Namun ada
berbagai faktor yang mendorong terjadinya rasa gatal pada penyakit ini, faktor
penyebab dari liken simpleks kronikus dapat dibagi menjadi dua yaitu:9

1. Faktor Eksterna
a. Lingkungan
Faktor lingkungan seperti panas dan udara yang kering dapat menyebabkan
iritasi yang dapat memicu rasa gatal. Suhu yang tinggi memudahkan seseorang
berkeringat sehingga dapat mencetuskan gatal, hal ini biasanya menyebabkan
liken simpleks kronikus pada anogenital.9

b. Gigitan serangga
Gigitan serangga dapat menyebabkan reaksi radang dalam tubuh yang
mengakibatkan rasa gatal. 9

22
2. Faktor Interna
a. Dermatitis atopic
Asosiasi antara liken simpleks kronikus dan ganguan atopic telah banyak
dilaporkan, sekitar 26 % sampai 75 % pasien dengan dermatitis atopic terkena
liken simplek kronikus.9

b. Psikologis
Anxietas telah dilaporkan memiliki prevalensi tertinggi yang mengakibatkan
neurodermatitis sirkumsripta. Anxietas sebagai bagian dari proses patologis dari
lesi yang berkembang. Neurotransmitter yang mempengaruhi perasaan, seperti
dopamine, serotonin, atau peptide opioid, memodulasikan persepsi gatal melalui
penurunan jalur spinal. 9

Patogenesis
Stimulus untuk perkembangan neurodermatitis sirkumskripta adalah pruritus.
Pruritus sebagai dasar dari gangguan kesehatan dapat berhubungan dengan gangguan
kulit, proliferasi dari nervus, dan tekanan emosional. Pruritus yang memegang peranan
penting dapat dibagi dalam dua kategori besar, yaitu pruritus tanpa lesi dan pruritus
dengan lesi. Pasien dengan neurodermatitis mempunyai gangguan metabolik atau
gangguan hematologik. Pruritus tanpa kelainan kulit dapat ditemukan pada penyakit
sistemik, misalnya gagal ginjal kronik, obstruksi kelenjar biliaris, Hodgkins lymphoma,
polisitemia rubra vera, hipertiroidisme, dan infeksi imunodefisiensi. Pruritus yang
disebabkan oleh kelainan kulit yang terpenting adalah dermatitis atopik, dermatitis
kontak alergi, dan gigitan serangga.7,8,9

Pada pasien yang memiliki faktor predisposisi, garukan kronik dapat


menimbulkan penebalan dan likenifikasi. Jika tidak diketahui penyebab yang nyata dari
garukan, maka disebut neurodermatitis sirkumskripta. Adanya garukan yang terus-
menerus diduga karena adanya pelepasan mediator dan aktivitas enzim proteolitik.
Walaupun sejumlah peneliti melaporkan bahwa garukan dan gosokan timbul karena
respon dari adanya stress. Adanya sejumlah saraf mengandung immunoreaktif CGRP
(Calsitonin Gene-Related Peptida) dan SP (Substance Peptida) meningkat pada dermis.
Hal ini ditemukan pada prurigo nodularis, tetapi tidak pada neurodermatitis
sirkumskripta. Sejumlah saraf menunjukkan imunoreaktif somatostatin, peptide

23
histidine, isoleucin, galanin, dan neuropeptida Y, dimana sama pada neurodermatitis
sirkumskripta, prurigo nodularis dan kulit normal. Hal tersebut menimbulkan
pemikiran bahwa proliferasi nervus akibat dari trauma mekanik, seperti garukan dan
goresan. SP dan CGRP melepaskan histamin dari sel mast, dimana akan lebih menambah
rasa gatal.7,8,9,10

Liken simpleks kronikus ditemukan pada kulit di daerah yang mudah diakses
untuk digaruk. Pruritus memprovokasi garukan dan gosokan yang menghasilkan lesi
klinis, tetapi patofosiologi yang mendasar tidak diketahui. Beberapa jenis kulit lebih
rentan terhadap likenifikasi, seperti kulit yang cenderung menuju kondisi eczema
(yaitu, dermatitis atopik). Faktor emosional pada penderita cenderung mungkin
memainkan peran kunci dalam mendorong sensasi pruritus, mengarahkan untuk
menggaruk yang dapat menjadi reflex dan kebiasaan. Interaksi di antara lesi primer,
faktor psikis, dan intensitas pruritus mempengaruhi tingkat dan keparahan dari liken
simpleks kronikus.7,8,9,10

Manifestasi Klinis
Keluhan dan gejala dapat mucul dalam waktu hitungan minggu sampai
bertahun-tahun. Keluhan utama ialah gatal berulang. Pasien akan mengeluh gatal yang
hilang timbul terutama saat sore hari. Rasa gatal memang tidak terus menerus, biasanya
pada waktu tidak sibuk, bila muncul sulit ditahan untuk tidak digaruk. Penderita merasa
enak bila digaruk, setelah luka, baru hilang rasa gatalnya untuk sementara (karena
diganti dengan rasa nyeri). Gatal juga dapat bertambah pada saat pasien mengalami
stress psikologis. Pada pasien muda, keluhan gatal umumnya kurang dirasakan karena
tidak begitu mengganggu aktivitasnya, akan tetapi keluhan gatalnya sangat dirasakan
seiring bertambahnya usia dan faktor pemicu stressnya. 7,8,10

Gambaran klinis dipengaruhi juga oleh lokasi dan lamanya lesi akibat digaruk.
Letak lesi dapat timbul dimana saja, tetapi yang biasa ditemukan adalah di scalp,
tengkuk, samping leher, lengan bagian ekstensor, pubis, vulva, skrotum, perianal, paha
bagian medial, lutut, tungkai bawah lateral, pergelangan kaki bagian depan, dan
punggung kaki.11,12

24
Gambar 3 : Daerah Predileksi Neurodermatitis Sirkumskripta

Pada stadium awal kelainan kulit yang terjadi dapat berupa eritem dan edema atau
kelompok papul, selanjutnya karena garukan berulang, bagian tengah menebal, kering dan
berskuama serta pinggirnya hiperpigmentasi. Ukuran lesi lentikular sampai plakat, bentuk
umum lonjong atau tidak beraturan. Kemudian lesi juga dapat berupa plak solid dengan
likenifikasi, seringkali disertai papul kecil di tepi lesi, dan berskuama tipis. Kulit yang
mengalami likenifikasi teraba menebal, dengan garis-garis kulit yang tegas dan meninggi,
serta dapat pula disertai eskoriasis. Warna lesi biasanya merah tua, kemudian menjadi coklat
atau hiperpigmentasi hitam. Distribusi lesi biasanya tunggal.7,8,10,11

Diagnosis
Diagnosis untuk neurodermatitis dapat ditegakkan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang. Pasien dengan neurodermatitis
sirkumskripta mengeluh merasa gatal pada satu daerah atau lebih. Sehingga timbul plak
yang tebal karena mengalami proses likenifikasi. Biasanya rasa gatal tersebut muncul
pada tengkuk, leher, ekstensor kaki, siku, lutut, pergelangan kaki. Eritema biasanya
muncul pada awal lesi. Rasa gatal muncul pada saat pasien sedang beristirahat dan
hilang saat melakukan aktivitas dan biasanya gatal timbul intermiten.7

25
Pemeriksaan fisis menunjukkan plak yang eritematous, berbatas tegas, dan
terjadi likenifikasi. Terjadi perubahan pigmentasi, yaitu hiperpigmentasi. Pada
pemeriksaan penunjang histopatologi didapatkan adanya hiperkeratosis dengan area
yang parakeratosis, akantosis dengan pemanjangan rete ridges, hipergranulosis dan
perluasan dari papil dermis.7,12

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan diantaranya adalah:

1. Tes Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium tidak ada tes yang spesifik untuk neurodermatitis
sirkumskripta. Pada pasien dengan pruritus generalisata yang kronik yang diduga
disebabkan oleh gangguan metabolik dan gangguan hematologi, maka pemeriksaan
hitung darah harus dilakukan, juga dilakukan tes fungsi ginjal dan hati, tes fungsi
tiroid, elechtroporesis serum, tes zat besi serum, tes kemampuan pengikatan zat
besi (iron binding capacity), dan foto dada. Kadar immunoglobulin E dapat
meningkat pada neurodermatitis yang atopik, tetapi normal pada neurodermatitis
nonatopik.12

2. Histopatologi
Perubahan histopatologi likenifikasi pada neurodermatitis sirkumskripta bervariasi
tergantung dari lokasi dan durasinya. Paling sering ditemukan akantosis dan
hiperkeratosis dengan berbagai tingkatan. Rete ridges tampak memanjang dengan
semua komponen epidermis mengalami hiperplasia. Dermis bagian papil dan sub-
epidermal mengalami fibrosis dan terdapat pula serbukan infiltrat radang kronis di
sekitar pembuluh darah. Pada lesi yang sudah sangat kronis, khususnya pada
likenifikasi yang gigantik (sangat besar), akantosis dan hiperkeratosis dapat dilihat
secara gross, dan rete ridges tampak ireguler namun tetap memanjang dan
melebar.7,12

26
Gambar 6 : Perubahan histopatologi pada likenifikasi Neurodermatitis

Diagnosis Banding
Kasus-kasus primer yang umumnya menyebabkan likenifikasi adalah :7,8,10,12

1. Psoriasis
Psoriasis adalah penyakit yang penyebabnya adalah autoimun, bersifat kronik dan
residif, ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan skuama
yang kasar, berlapis dan transparan. Pada psoriasis terdapat tanda khas fenomena tetesan
lilin dan Auspitz, serta fenomena Koebner.7,8
Selain faktor genetik dan faktor imunologik, terdapat berbagai faktor pencetus
psoriasis, di antaranya adalah stress psikis, infeksi fokal, trauma, endokrin, dan juga
alkohol ataupun merokok. Pasien psoriasis umumnya mengeluh gatal ringan pada kulit
kepala, perbatasan rambut dengan muka, ekstremitas bagian ekstensor terutama siku dan
lutut, dan daerah lumbosakral. Kelainan kulit terdiri atas bercak eritema yang meninggi
dengan skuama di atasnya. Eritema berbentuk sirkumskrip dan merata, tetapi kemerahan
di tengahnya dapat menghilang pada stadium penyembuhan. Skuama pada psoriasis
sangat khas, yaitu berlapis-lapis, kasar dan berwarna putih seperti mika, serta transparan.
Dua fenomena khas pada psoriasis adalah fenomena tetesan lilin dan Auspitz.
Fenomena tetesan lilin adalah skuama yang berubah warnanya menjadi putih pada

27
goresan, seperti lilin yang digores. Pada fenomena Auspitz, setelah skuama habis dikerok
dilakukan pengerokan perlahan hingga tampak serum atau darah berbintik yang
disebabkan oleh papilomatosis. Untuk menegakkan diagnosis psoriasis, perlu dinilai
gambaran klinisnya yang khas. Jika gambaran klinis tersebut sudah sesuai dengan yang
tersebut di atas, maka tidak sulit membuat diagnosis psoriasis.

2. Dermatitis Kontak Alergika


Penderita umumnya mengeluh gatal pada area yang terpajan/kontak dengan
sensitizer/alergen. Pada tipe akut : dimulai dari bercak eritematosa yang berbatas tegas
(sirkumskripta), kemudian diikuti oleh edema, papulovesikel, vesikel, atau bula. Vesikel
atau bula dapat pecah kemudian menimbulkan erosi dan eksudasi (basah). DKA di tempat
tertentu misalnya kelopak mata, penis, skrotum, gejala eritema dan edema lebih dominan
daripada vesikel.7,8
Pada tipe kronik : kulit terlihat kering, berskuama (bersisik), papul, likenifikasi,
mungkin juga fisur, dan berbatas tidak tegas. DKA dapat meluas dengan cara
autosensitisasi. Scalp (kulit kepala), telapak tangan, dan telapak kaki relatif resisten
terhadap DKA (karena lapisan epidermis yang tebal).7,8
3. Dermatitis Atopik
Keluhan gatal dan terdapat likenifikasi. Lokasi Dermatitis Atopik di lipat siku dan
lipat lutut (fleksor), sedangkan pada Liken Simpleks Kronis di siku dan punggung kaki
(Ekstensor), ada pula yang di tengkuk. Dermatitis Atopik biasanya sembuh dalam usia 2
tahun sedangkan Neurodermatitis Sirkumskripta dapat berlanjut sampai tua1,2
4. Liken Planus
Liken planus ditandai dengan timbulnya papul-papul yang berwarna merah-biru,
berskuama, dan berbentuk siku-siku. Biasanya lesi ini timbul di ekstremitas sisi fleksor,
selaput lendir, dan alat kelamin. Pasien biasanya merasa sangat gatal, dan gejala ini bisa
menetap hingga waktu 1-2 tahun. Selain itu, terdapat pula lesi patognomonik di mukosa,
yaitu papul polygonal, datar dan berkilat, serta kadang ditemukan delle.7,8,9
Liken planus memiliki lima bentuk morfologi: hipertrofik, folikular, vesikular dan
bulosa, erosif dan ulseratif, serta atrofi. Liken planus bentuk hipertrofilah yang harus
dibedakan dengan neurodermatitis. Bentuk ini meliputi plak yang verukosa berwarna
merah-coklat atau ungu, serta terletak pada daerah tulang kering. 7,8,9

28
Diagnosis liken planus yang khas dibantu dengan pemeriksaan histopatologi, dimana
papul menunjukkan penebalan lapisan granuloma, degenerasi mencair membran basalis
dan sel basal. Dapat pula ditemukan infiltrat seperti pita yang terdiri atas limfosit dan
histiosit pada dermis bagian atas. 7,8,9

Penatalaksanaan
Terapi Neurodermatitis Sirkumskripta bertujuan untuk memutus itch-scratch
cycle, karena pada dasarnya tindakan menggaruk lesi yang terasa gatal justru akan
memperberat lesi, dan memperberat gatal yang dirasakan. Penyebab sistemik dari gatal
harus diidentifikasi. 7,8,12,14

Penatalaksanaan dari neurodermatitis sirkumskripta secara primer adalah


untuk mengurangi pruritus, meminimalkan lesi yang ada dan menghindarkan pasien
dari kebiasaan menggaruk dan menggosok secara terus-menerus. 7,8,12,14

1. Antihistamin dengan efek sedatif, contohnya hidroksizin, difenhidramin,


prometazin. Antihistamin topikal yang dapat diberikan yaitu krim doxepin 5%
jangka pendek
2. Kortikosteroid potensi kuat, bila perlu dengan oklusi. Kortikosteroid memiliki efek
anti inflamasi, anti alergi, anti pruritus, anti mitotik, serta vasokonstriktor.
Contoh kortikosteroid topikal super poten (golongan I) :

- Betamethasone dipropionate 0.05%


- Clobetasol propionate 0.05%.
Contoh kortikosteroid potensi tinggi (golongan II) :

- Mometasone furoate 0.01%


- Desoximetasone 0.05%
Kortikosteroid topikal dipakai 2-3 kali sehari. Apabila tidak berhasil, diberikan
secara suntikan intralesi 1 mg, contohnya triamsinolon asetonide.

3. UVB (Ultraviolet B) atau PUVA (Psoralen Ultraviolet A)1 pada kasus yang tidak
respon dengan pengobatan topikal ataupun lesi yang difuse
4. Obat oral anti anxietas, sedasi dan antidepresi7

29
Obat oral dan anti anxietas dapat dipertimbangkan pada beberapa pasien. Menurut
kebutuhan individual, penatalaksanaan dapat dijadwalkan setiap hari, pada saat pasien
tidur, atau keduanya. Antihistamin seperti dipenhydramine dan hidroxyzine biasa
digunakan. Doxepin dan clonazepam dapat dipertimbangkan pada beberapa kasus.
Amitriptilin merupakan antidepresi trisiklik. Amitriptilin bekerja dengan menghambat
pengambilan kembali neurotransmiter di otak. Amitriptilin mempunyai 2 gugus metil,
termasuk amin tersier sehingga lebih resposif terhadap depresi akibat kekurangan
serotonin. Senyawa ini juga mempunyai aktivitas sedatif dan antikolinergik yang cukup
kuat. Obat ini penggunanaya untuk memperbaiki kualitas tidur.

Edukasi Pasien8

Anjurkan agar pasien tidak menggaruk lagi, karena penyakit ini akan bertambah
berat jika terus digaruk oleh pasien.
Mendiskusikan tentang bagaimana merubah kebiasaan menggaruk.
Memilih sabun yang lembut.
Menggunakan pakaian yang berbahan cotton sehingga mengurangi iritasi.
Dapat ditutup dengan kasa basah, untuk mencegah penggarukan.
Manajemen stress yang baik.

3.1 Prognosis
Penyakit ini bersifat kronik dengan persistensi dan rekurensi lesi. Eksaserbasi
dapat terjadi sebagai respon stres emosional. Prognosis bergantung pada penyebab
pruritus (penyakit yang mendasari) dan status psikologik penderita. 7,12,14

30
BAB IV
PEMBAHASAN

Diagnosis kerja dari kasus ini adalah LSK dengan Tinea pedis tipe interdigitalis pedis
sinistra. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, namun belum
dilakukan pemeriksaan penunjang.
Pada anamnesis didapatkan 1 bulan sebelum datang ke rumah sakit pasien
mengeluhkan timbul bercak kemerahan kira-kira sebesar biji jagung pada telapak kaki kanan
dan sela jari ke 3,4,5. Bercak kemerahan ini terasa gatal, semakin lama semakin meluas dan
berwarna kemerahan. 2 minggu kemudian, pada telapak kaki tersebut mulai tampak bercak
putih yang bersisik yang awalnya juga berukuran kira-kira sebesar biji jagung. Bercak putih
ini menjadi agak semakin tebal dan meluas setelah beberapa hari dan terasa semakin gatal
dan agak lembek terutama bila basah karena keringat. Pasien mengaku sering menggaruk
bercak tersebut karena gatal. Lalu timbul di punggung kaki kanan-kiri. Pasien sudah pernah
berobat ke puskesmas namun keluhan tidak berkurang.
Riwayat diabetes melitus, HIV, penggunaan obat kemoterapi dan kortikosteroid oral
jangka lama serta alergi obat disangkal. Riwayat alergi tidak ada. Pasien menyangkal ada
yang menderita keluhan yang serupa di keluarganya. Riwayat penyakit kulit dan alergi dalam
keluarga juga disangkal.
Pada pemeriksaan fisik, status generalis dalam batas normal. Pada status dermatologi,
Lokasi: Regio plantar digitalis III-V pedis dextra, plantar pedis dextra. Tampak lesi berupa:
Terdapat plak eritema berukuran 3 cm x 4 cm dengan dasar eritematosa berbentuk irregular,
batas sirkumkrip tepi aktif, distribusi regional , permukaan ditutupi skuama sedang selapis,
daerah sekitar tidak ada kelainan.
Lokasi: Dorsal pedis dextra et sinistra, Tampak lesi berupa: Terdapat liken,
hiperpigmentasi berukuran nummular plakat, berbentuk irregular, batas sirkumskripta, tepi
aktif, distribusi regional , permukaan ditutupi oleh skuama sedang selapis, daerah sekitar
tidak ada kelainan.
Penatalaksaan pada pasien ini diberikan obat topikal dam sistemik. Untuk obat
topikal, dapat diberikan anti jamur golongan azol, misalnya ketokonazol 2% krim dioleskan
2x sehari sehabis mandi tiap pagi dan sore hari pada sela jari yang gatal selama 2 minggu.
Untuk obat sistemik dapat diberikan tablet cetirizine 10mg diminum 1x sehari, pada pada
malam hari setelah makan jika gatal.

31
Diagnosis neurodermatitis didapatkan dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik terhadap
status dermatologis pasien, yaitu didapatkan hasil pasien mengeluh gatal di kedua mata kaki
dan keluhan yang dirasakan pasien bersifat kambuh-kambuhan dan sudah kronik. Keluhan
gatal tersebut muncul ketika pasien sedang banyak pikiran atau stres. Kulit di area yang gatal
tersebut menebal hingga permukaan kulit menjadi terlihat jelas. Dari pemeriksaan status
dermatologikus, didapatkan plak hiperpigmentasi dan likenifikasi pada kulit didaerah yang
gatal akibat sering digaruk oleh pasien.
Hasil anamnesis pada pasien ini sesuai dengan Adhi Juanda pada Ilmu Penyakit Kulit FKUI
bahwa :
1. Penderita mengeluh gatal sekali, rasa gatal memang tidak terus menerus, biasanya
pada waktu tidak sibuk, bila muncul sulit ditahan untuk tidak digaruk.
2. Keluhan timbul dipengaruhi oleh aspek psikologis atau tekanan emosi.
Dari pemeriksaan status dermatologis ini sesuai dengan Adhi Juanda pada Ilmu Penyakit
Kulit FKUI:
1. Lesi dapat muncul pada 1 daerah atau lebih
2. Lesi biasanya tunggal, pada awalnya berupa plak eritematosa, sedikit edematosa,
lambat laun edema dan eritema menghilang, bagian tengah berskuama dan menebal,
likenifikasi dan ekskoriasi, bagian disekitarnya hiperpigmentasi, batas dengan kulit
tegas.

Neurodermatitis sirkumskripta atau yang dikenal juga dengan liken simpleks kronikus, istilah
yang pertama kali dipakai oleh Vidal, oleh karena itu juga disebut lien Vidal. Neurodermatitis
merupakan peradangan kulit kronis, gatal, sirkumskrip, ditandai dengan kulit tebal dan garis
kulit tampak lebih menonjol (likenifikasi) menyerupai kulit batang kayu, akibat garukan atau
gosokan yang berulang-ulang karena berbagai rangsangan pruritogenik. Sebagai diagnosis
primer, neurodermatitis muncul tanpa diketahui kondisi yang mendasarinya atau
penyebabnya. Sebagai diagnosis sekunder, neurodermatitis disebabkan oleh garukkan
bertahun-tahun karena kondisi lain, umumnya karena dermatitis atopik.
Neurodermatitis sirkumskripta tidak biasa terjadi pada anak, tetapi pada usia dewasa ke atas :
puncak insidensi pada usia antara 30 hingga 50 tahun. Wanita lebih sering menderita
daripada pria. Letak lesi dapat timbul dimana saja, tetapi yang biasa di temukan ialah skalp,
tengkuk, samping leher, lengan bagian ekstensor, pubis, vulva, skrotum, perianal, paha
bagian medial, lutut, tungkai bawah lateral, pergelangan kaki bagian depan, dan punggung
kaki. Neurodermatitis didaerah tengkuk (lichen nuchae) umumnya hanya pada wanita, berupa

32
plak kecil ditengah tengkuk atau dapat meluas hingga ke skalp. Biasanya skuamanya hanya
menyerupai psoriasis.[1] Neurodermatitis sekunder terjadi pada area kulit dengan kondisi
tertentu yang mendasari seperti dermatitis atopik.
Patofisiologi pasti neurodermatitis tidak diketahui. Menggosok dan menggaruk kulit dalam
waktu yang lama menyebabkan penebalan epidermis dan fibrosis dermis. Stimulasi saraf
kulit kronis diduga mengakibatkan disfungsi saraf; sebuah siklus "gatal-awal" terjadi
kemudian menyebabkan kebutuhan untuk menggaruk daerah yang terkena goresan.
Neurodermatitis ditemukan pada kulit di area yang dapat diakses untuk menggaruk. Pruritus
memprovokasi menggaruk yang menghasilkan lesi klinis, namun patofisiologi yang
mendasari tidak diketahui. Beberapa jenis kulit lebih rentan terhadap likenifikasi, seperti kulit
yang cenderung ke arah kondisi ekzematosa (yaitu, dermatitis atopik, diatesis atopik). Suatu
hubungan mungkin ada antara jaringan saraf pusat dan perifer dengan produk inflamasi sel
dalam persepsi gatal dan perubahan berikutnya pada neurodermatitis. Ketegangan emosional
pada subyek cenderung memainkan peran kunci dalam mendorong sensasi pruritus,
mengarah ke menggaruk yang dapat menjadi kebiasaan. Kemungkinan interaksi antara lesi
primer, faktor psikis, dan intensitas pruritus mempengaruhi luas dan keparahan
neurodermatitis.
Secara umum perlu dijelaskan kepada penderita bahwa garukan akan memperburuk keadaan
penyakitnya, oleh karena itu dihindari. Untuk mengurangi rasa gatal dapat diberikan
antipruritus, kortikosteroid, kortikosteroid topikal, atau intralesi. Antipruritus dapat berupa
antihistamin efek sedative. Dapat pula diberikan secara topikal krim doxepin 5% dalam
jangka pendek.
Kortikosteroid yang dipakai biasanya berpotensi kuat, bila perlu ditutup dengan penutup
impermeable; kalau masih tidak berhasil dapat diberikan secara suntikan intralesi. Ada pula
yang mengobati dengan UVB dan PUVA. Perlu dicari kemungkinan ada penyakit yang
mendasarinya, bila memang ada harus juga diobati.
Prognosis pada neurodermatitis dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Pengobatan untuk
pencegahan pada stadium-stadium awal dapat membantu untuk mengurangi proses
likenifikasi, rasa gatal dapat diatasi, likenifikasi yang ringan dan perubahan pigmentasi dapat
diatasi setelah dilakukan pengobatan. Relaps dapat terjadi, apabila dalam masa stress atau
tekanan emosional yang meningkat.

33
BAB V
KESIMPULAN

Dari tinjauan pustaka dan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa dermatofita
merupakan agen jamur yang menyerang keratin untuk menyebabkan timbulnya infeksi pada
manusia. Infeksi sebagian besar terjadi di negara-negara berkembang karena kondisi higienis
yang buruk, kontak dengan hewan yang cukup banyak, sosial-ekonomi rendah, dan iklim
yang baik bagi pertumbuhan dermatofita. Berbagai penyakit yang disebabkan oleh
dermatofita, contohnya adalah tinea pedis, dan ini biasanya masuk melalui kulit, rambut dan
kuku pada manusia. Penyakit ini biasanya didiagnosis dengan menggunakan mikroskop dan
teknik kultur. Pengobatan menggunakan berbagai obat antijamur baik topikal maupun
sistemik. Namun, faktor yang paling penting untuk mengontrol infeksi pada tinea adalah
pemeliharaan higienitas yang baik.

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Berth-Jones J. (2010). Mycology. Dalam Rooks Textbook of Dermatology, Edisi 8 (pp.


36.30-36.32). Cambridge: Wiley-Balckwell.
2. Budimulja U. (2007). Mikosis. Dalam D. A, Ilmu penyakit kulit dan kelamin, Edisi 5 (p.
93). Jakarta: FK UI.
3. Chamlin L Sarah, Lawley P Leslie. (2008). Tinea Pedis. Dalam Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine, 7th edition (pp. 709-712). New York: McGraw-Hill
Medicine.
4. Claire J. Carlo, MD, Patricia MacWilliams Bowe, RN, MS. (n.d.). Tinea Pedis (athelete
foot).Diakses pada tanggal 13 Juli 2017, dari BHCHP:
http://www.bhchp.org/BHCHP%20Manual/pdf_files/Part1_PDF/TineaPedis.pdf
5. Djuanda, Adhi. et al. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin: edisi kelima. Hal: 92-99 Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2007
6. Vishnu Sharma, Tarun Kumar Kumawat, Anima Sharma, Ruchi Seth,Subhash Chandra.
Dermatophytes: Diagnosis of Dermatophytosis and Its Treatment. India: Department of
Biotechnology, JECRC University, Jaipur, Rajasthan. 2015.
7. Sularsito SA, Djuanda Suria. Neurodermatitis sirkumskripta. Dalam Djuanda A, Hamzah
M, Aisah S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.Edisi Keempat. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesi; 2006. hal. 147-8, 339-52.
8. Susan Burgin, MD. Numular eczema and lichen simplex chronic/prurigo nodularis.
Dalam: Fitzpatrick TB, Eizen AZ, Woff K,Freedberg IM, Auten KF, penyunting:
Dermatology in general medicine, 7th ed, New York: Mc Graw Hill; 2008. p. 158-162
9. Hogan DJ, Mason SH. Lichen simplex chronicus. 20 juli 2017. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/1123423-overview#showall.
10. C.A. Holden & J. Berth-Jones. Lichen simplex chronic. Dalam: Rooks Text Book of
Dermatology. Blackwell Publishing; 2004. p.17.41-17.43.
11. Gulsum Gencoglan et al. Therapeutic Hotline: Treatment of prurigo nodularis and lichen
simplex chronicus with gabapentin. Dermatologic Therapy. Volume 23, Issue 2;
March/April 2010. hal. 1948.
12. Richards RN. Update on intralesional steroid: focus on dermatoses. J Cutan Med Surg
2010 Jan-Feb; 14(1). p. 19-23.
13. Mansjoer, Arief, dkk. Neurodermatitis sirkumskripta. Dalam: Kapita Selekta
Kedokteran. Jakarta; Media Aesculapius. 2000. hal. 89.
14. Berman K. Lichen simplex chronicus. 2012. Diunduh dari:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000872.htm

35

Anda mungkin juga menyukai