Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN KASUS

TINEA CRURIS

Disusun oleh:
Rengganis Permatahati

Pembimbing:
dr. Ahmad Rosikhon

DISUSUN DALAM RANGKA MEMENUHI TUGAS


PROGRAM KEMENKES DOKTER INTERNSHIP
PUSKESMAS PANGKALAN KARAWANG
TAHUN 2022-2023
BAB I
PENDAHULUAN

Dermatofitosis termasuk kedalam golongan mikosis superfisial. 1 Dermatofitosis


merupakan penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, seperti stratum korneum
pada epidermis, kuku, dan rambut yang disebabkan oleh golongan jamur dermatofita.
Dermatofita merupakan kelas jamur imperfekta yang terbagi dalam tiga genus yaitu
Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton. Hingga kini dikenal 41 spesies
dermatofita, masing-masing 2 spesies Epidermophyton, 17 spesies Microsporum, dan 21
spesies Trichophyton. Jamur ini dapat menginvasi lapisan stratus korneum dan menghasilkan
gejala melalui aktivasi respon imun pejamu.2
Prevalensi penyakit dermatofitosis di Asia mencapai 35,6%, sedangkan di Indonesia
penyakit dermatofitosis mengalami peningkatan sebanyak 65% hal ini disebabkan higienitas
pribadi yang buruk. Insiden dari penyakit dermatofitosis menyatakan 20% orang dari seluruh
dunia mengalami infeksi kutaneus dengan infeksi tinea korporis yang merupakan tipe yang
paling dominan dan diikuti dengan tinea kruris,tinea pedis, dan onikomikosis. 3 Insidensi
dermatofitosis di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan kasus dermatomikosis
superfisial lainnya.4 Indonesia merupakan salah satu negara beriklim tropis yang memiliki
suhu dan kelembaban tinggi, merupakan suasana yang baik bagi pertumbuhan jamur,
sehingga jamur dapat ditemukan hampir di semua tempat.5
Berbagai faktor predisposisi yang menyebabkan dermatofitosis adalah hygiene pribadi,
penggunaan pakaian yang ketat, status sosial ekonomi, kondisi tempat tinggal yang padat
yang dapat mengakibatkan kontak langsung kulit ke kulit dan kontak erat dengan hewan,
serta penyakit kronis (kondisi imunosupresi) serta Human Immunodeficiency Virus (HIV) ,
penggunaan sitostatika, dan kortikostreroid jangka panjang.4
Tinea kruris merupakan dermatofitosis yang menyerang lipat paha, genitalia, area
pubis, perineal, dan perianal yang disebabkan oleh jamur pathogen yang disebut
dermatofita.6,7 Daerah intertriginosa merupakan lingkungan yang ramah untuk jamur dengan
keringat, maserasi, dan pH basa yang bertanggung jawab atas kecenderungan terjadinya
infeksi jamur di selangkangan.6
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. I.
Umur : 17 Tahun
Pekerjaan : Pelajar
Pendidikan Terakhir : SMA
Alamat : Cintaasih, Pangkalan Karawang
Agama : Islam
Suku : Sunda
No. RM : 05534
Tanggal Berobat : 21 November 2022

Anamnesis

Tanggal : Senin, 21 November 2022

Keluhan Utama : Bercak merah kehitaman pada lipat paha kanan dan
kiri

Keluhan Tambahan : Gatal pada bercak merah kehitaman

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke Poli Puskesmas Pangkalan dengan keluhan dengan keluhan muncul
bercak merah kehitaman pada lipat paha kiri sejak ±2 bulan yang lalu. Awalnya berupa
bercak merah berukuran kecil yang semakin lama semakin lebar dan kemudian warnanya
menjadi kehitaman. Gatal pada bercak dirasakan terus menerus dan terasa sangat gatal
terutama ketika pasien berkeringat sehingga pasien seringkali menggaruk bercak tersebut.
Pasien seringkali menggunakan celana yang ketat dan celana jeans. Pasien sangat senang
bermain di luar rumah saat siang hingga sore hari. Pasien seringkali berkeringat ketika sedang
bermain dengan teman-temannya. Pasien tidak pernah mengelap keringatnya serta tidak
pernah mengganti celana dan pakaian dalamnya saat berkeringat. Pasien mandi sekali sehari
di pagi hari. Pasien hanya mengganti bajunya di saat pasien mandi dan pasien seringkali
menggunakan celananya berulang kali untuk beberapa hari tanpa dicuci. Pasien mengganti
handuknya 2 minggu sekali. Pasien tidak pernah bergantian handuk dengan keluarga
serumah. Pasien tidak memiliki hewan peliharaan seperti kucing dan anjing. Pasien tidak
pernah berkebun. Sebelumnya pasien belum pernah datang ke dokter maupun mencoba
membeli obat-obatan untuk mengurangi keluhan tersebut. Keluhan tersebut baru pertama kali
dirasakan oleh pasien.

Pasien mengaku tidak pernah mengalami bercak merah yang dikeliling oleh bintil-
bintil. Pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan seperti antibiotic dan steroid. Pasien tidak
memiliki riwayat penyakit diabetes mellitus.

Pasien tidak pernah mengeluhkan memiliki riwayat kulit kering, kulit bersisik tebal dan
berlapis berwarna putih keabuan. Pasien juga tidak pernah mengeluhkan adanya plak putih
dengan konfigurasi seperti peta pada lidahnya.

Pasien tidak pernah memiliki bercak merah hingga kecokelatan disertai adanya luka
robek maupun kulit terkelupas di sela-sela jarinya.

Pasien tidak pernah mengelap keringatnya dan tidak pernah mengganti celana maupun
celana dalamnya ketika pasien berkeringat. Pasien mandi sehari sekali di pagi hari dan pasien
hanya mengganti bajunya setelah mandi, sedangkan untuk celana biasa dipakai oleh pasien
untuk beberapa hari tanpa dicuci. Pasien tidak menggunakan handuk bergantian dengan
keluarga serumahnya.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien belum pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya.

Riwayat Penyakit Keluarga

Di keluarga dan lingkungan tempat tinggal tidak ada yang memiliki keluhan yang
sama dengan pasien.

Pemeriksaan Fisik

Umum (Status Generalis)


Tanda Vital

Tekanan Darah : 110/70 mmHg

Nadi : 84x/menit

Suhu : 36.7ºC

Pernafasan : 20x/menit

Berat Badan : 70 kg

Tinggi Badan : 170cm

Kepala dan Leher

Rambut : Normochepali, pertumbuhan rambut merata, berwarna hitam

Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-

Mulut : Geographyc tongue (-)

Leher : KGB tidak teraba membesar

Thorax
Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris
Palpasi : vokal fremitus simetris
Perkusi : sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : bunyi nafas dasar vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-, BJ 1 & 2 reguler
murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : mendatar
Palpasi : supel, nyeri tekan (-)
Perkusi : nyeri ketok (-)
Auskultasi : bising usus (+)
Ekstremitas atas : Akral hangat, edema (-/-), warna kuku normal, onikolisis (-),
pitting nails (-)

Ekstremitas bawah : Akral hangat, edema (-/-), warna kuku normal, onikolisis (-),
pitting nails (-)

Pemeriksaan Khusus
Fenomena tetesan lilin : tidak dilakukan

Fenomena Auspitz : tidak dilakukan

Fenomena Koebner : tidak dilakukan

Status Dermatologik

Effloresensi
Pada regio inguinalis sinistra tampak plak hiperpigmentasi ukuran plakat, bentuk tidak
teratur, batas sebagian tegas dan sebagian tidak tegas, diatasnya terdapat skuama
pitiriasiform, tepi lesi akhif dengan central healing.

Diagnosa Banding

1. Tinea kruris
2. Candidosis intertriginosa
3. Psoriasis
4. Eritrasma

Pemeriksaan Penunjang / Anjuran :

1. Pemeriksaan kerokan kulit dan KOH 20% => tidak dilakukan


2. Kultur jamur => tidak dilakukan
3. Pemeriksaan Lampu Wood => tidak dilakukan
4. Pewarnaan Gram => tidak dilakukan
Diagnosis Kerja
Tinea Kruris

Tatalaksana
Non-Medikamentosa :
1. Menjelaskan kepada pasien tentang penyakitnya
2. Menjaga kebersihan diri
3. Mematuhi pengobatan yang diberikan oleh dokter
4. Menggunakan celana yang tidak ketat dan celana dalam yang menyerap keringat
5. Mengganti celana dan celana dalam saat berkeringat
6. Mengelap daerah lipat badan dan genitalia ketika berkeringat, pastikan daerah
tersebut tidak lembab
7. Rajin mencuci pakaian dan pakaian dalam, cuci dalam suhu 60-70 C, kerinkan
langsung di bawah sinar matahari, disetrika, dan disimpan dalam linen
8. Tidak menggaruk bercaknya.

Medikamentosa :
1. Topikal : Miconazole 2% krim → 2 kali/ hari
2. Sistemik :
Cetirizine 1x10 mg tab malam hari
Griseovulvin 2x1 tab
PEMBAHASAN

Dermafitosis termasuk dalam mikosis superfisialis. 1 Dermatofitosis adalah penyakit


yang mengandung zat tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku,
yang disebabkan golongan jamur dermatofita. Dermatofita termasuk ke dalam fungi
imperfekta yang terbagi dalam 3 genus dan hingga kini dikenal 41 spesies dermatofita yaitu
17 Microsporum, 21 Trichophyton, dan 2 Epidermophyton.2
Tinea kruris, juga dikenal sebagai jock itch merupakan infeksi yang melibatkan kulit
genital, pubis, perineum, dan perianal yang disebabkan oleh jamur patogen yang dikenal
sebagai dermatofita.6 Penyakit ini merupakan penyakit terbanyak yang ditemukan di daerah
inguinal, yaitu sekitar 65-80% dari semua penyakit kulit di inguinal.5
Kejadian tinea kruris ditemukan lebih banyak pada laki-laki dibandingkan perempuan
dan ditemukan lebih banyak pada orang dewasa dibandingkan anak-anak. 7 Beberapa faktor
risiko telah diidentifikasi menjadi predisposisi individu untuk terkena tinea kruris, termasuk
keringat berlebihan, pakaian tertutup, hygiene yang buruk, diabetes mellitus, kondisi
immunokompromais, dan status sosial ekonomi yang lebih rendah. Dari semua faktor ini,
keringat tampaknya menjadi faktor predisposisi yang paling berpengaruh dalam
perkembangan infeksi.6
Tinea kruris menyebar melalui kontak langsung ataupun kontak dengan peralatan yang
terkontaminasi, dan dapat mengalami eksaserbasi karena adanya oklusi dan lingkungan yang
hangat, serta iklim yang lembab.5,7 Kebanyakan tinea kruris disebabkan oleh Species
Tricophyton rubrum dan Epidermophyton floccosum, dimana E. floccosum merupakan
spesies yang paling sering menyebabkan terjadinya epidemi. T. Mentagrophytes dan T.
verrucosum jarang menyebabkan tinea kruris.7
Manifestasi klinis tinea kruris berupa rasa gatal yang meningkat saat berkeringat atau
terbakar pada daerah lipat paha, genital, sekitar anus dan daerah perineum. Berupa lesi yang
berbentuk polisiklik / bulat berbatas tegas, efloresensi polimorfik, dan tepi lebih aktif. 5
Tingkat keparahan infeksi tergantung pada berbagai faktor seperti reaksi imun pejamu
terhadap produk metabolisme jamur, virulensi strain yang menginfeksi, lokasi anatomis
infeksi dan faktor lingkungan.Namun, spesies antropofilik bertanggung jawab atas sebagian
besar infeksi pada manusia; yang cenderung kronis dengan peradangan ringan, sedangkan
infeksi yang disebabkan oleh geophiles dan zoophiles sering dikaitkan dengan peradangan
akut dan bersifat self-healing.8
Dermatofita memiliki enzim, yaitu keratinolytic protease, lipase dan lainnya yang
berperan sebagai faktor virulensi terhadap invasi ke kulit, rambut, kuku, dan juga
memanfaatkan keratin sebagai sumber nutrisi untuk bertahan hidup. Enzim-enzim tersebut
juga berperan mencerna keratin. Dermatofita akan berikatan dengan jaringan keratin yang
diikuti oleh invasi dan pertumbuhan elemen myocelial. Degradasi keratin memicu reaksi
inflamasi dengan melepas mediator proinflamasi Inflamasi tubuh host kemudian diikuti
berkurangnya elemen jamur pada plak, dan pada banyak kasus juga diikuti oleh resolusi
spontan dari infeksi.9
Diagnosis tinea cruris dapat dilakukan secara klinis, dan dapat dilakukan pemeriksaan
penunjang untuk mendukung diagnosis, dilakukan kerokan kulit pada daerah lesi dengan
penambahan KOH 10-20 % dan biakan jamur yang diambil dari daerah yang terinfeksi.1,6

Pemeriksaan kerokan kulit dengan penambahan KOH 20%


Bahan pemeriksaan diambil dari lesi kulit yang terinfeksi. Kulit dibersihkan dengan
alkohol 70-96%, lalu kerok kulit yang terinfeksi dan diletakan di kaca objek dan ditetesi
KOH 20% untuk sediaan kulit. Setelah sediaan dicampur dengan larutan KOH, ditunggu 15-
20 menit hal ini diperlukan untuk melarutkan jaringan. Pemeriksaan sediaan dilakukan
langsung menggunakan mikroskop, mula-mula dengan pembesaran 10x10, kemudian dengan
pembesaran 10x45. Pada pemeriksaan mikroskop KOH dapat ditemukan hifa sejati dengan
artrospora untuk membuktikan infeksi jamur.2

Biakan jamur
Untuk menentukan spesies jamur maka diperlukan pemeriksaan biakan jamur.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada media buatan, yang
dianggap paling baik pada waktu ini adalah medium agar dextrosa sabouraud. Pada agar
sabouraud dapat ditambahkan antibiotik (kloramfenikol) atau ditambah pula klorheksimid.
Kedua zat tersebut diperlukan untuk menghindarkan kontaminasi bakterial maupun jamur
kontaminan. Kultur diinkubasi dalam suhu ruangan 26 C selama 4 minggu sebelum dinyataan
tidak ada pertumbuhan. Setelah dapat diobservasi, topografi permukaan dan pigmentasi
dinilai. Sampel juga dapat diambil dari kultur untuk diperiksa di bawah mikroskop.7,10

Penatalaksanaan tinea kruris dapat berupa farmakologi dan non-farmakologi. Terapi


non-farmakologi dapat dilakukan dengan memberikan edukasi kepada pasien tentang
penyakitnya, tidak menggunakan celana dan celana dalam yang bahannya tidak menyerap
keringat, tidak menggunakan celana dan celana dalam yang masih lembab atau basah, tidak
membiarkan daerah lipat paha dan daerah kelamin dalam keadaan lembab atau basah, selalu
mengganti celana dan celana dalam jika berkeringar, rajin mencuci pakaian dan handuk, cuci
di dalam suhu 60-70 derajat celcius, lalu dikeringkan langsung di bawah sinar matahari,
disetrika, disimpan dalam lemari, mandi minimal 2x/ hari dan seluruh bagian badan
dibersihkan hingga bersih dan dikeringkan, tidak menggaruk bercak merah.10
Untuk terapi farmakologi digunakan agen anti jamur topikal sebagai pengobatan pilihan
tinea cruris.

Pengobatan topikal10,11

Obat Topikal Aplikasi

Imidazole 1% krim 1-2 x sehari (4-6 minggu)

Terbinafin krim 2 x sehari (2 minggu)

Naftifin 1% krim 1-2 x sehari (2 minggu)

Butenafin 1% krim 1-2 x sehari (2-4 minggu)

Pengobatan Sistemik1

 Terbinafin 250 mg per hari selama 2-4 minggu


 Itrakonazol 100 mg 1 kali sehari selama 1 minggu
 Flukonazole 150 mg per hari selama 4-6 minggu
 Griseofulvin 500 mg/hari selama 2-4 minggu
Rangkuman

Pada kasus, Pasien datang ke Puskesmas Pangkalan dengan keluhan muncul bercak
merah kehitaman pada lipat paha kiri sejak ±6 bulan yang lalu. Awalnya berupa bercak
merah berukuran kecil yang semakin lama semakin lebar dan kemudian warnanya menjadi
kehitaman. Gatal pada bercak dirasakan terus menerus dan terasa sangat gatal terutama ketika
pasien berkeringat sehingga pasien seringkali menggaruk bercak tersebut. Pasien seringkali
menggunakan celana yang ketat dan celana jeans. Pasien seringkali berkeringat ketika sedang
berkerja. Pasien tidak pernah mengelap keringatnya serta tidak pernah mengganti celana dan
pakaian dalamnya saat berkeringat. Pasien mandi sekali sehari di pagi hari. Pasien hanya
mengganti bajunya di saat pasien mandi dan pasien seringkali menggunakan celananya
berulang kali untuk beberapa hari tanpa dicuci. Pasien mengganti handuknya 2 minggu
sekali. Pasien tidak pernah bergantian handuk dengan keluarga serumah. Pasien tidak
memiliki hewan peliharaan seperti kucing dan anjing.Sebelumnya pasien belum pernah
datang ke dokter maupun mencoba membeli obat-obatan untuk mengurangi keluhan tersebut.
Keluhan tersebut baru pertama kali dirasakan oleh pasien. Keluarga pasien terutama yang
tinggal serumah dengan pasien tidak ada yang memiliki keluhan serupa dengan pasien.

Pada status venerology, didapatkan pada regio inguinalis sinistra tampak plak
hiperpigmentasi ukuran plakat, bentuk tidak teratur, batas sebagian tegas dan sebagian tidak
tegas, diatasnya terdapat skuama pitiriasiform, tepi lesi sebagian aktif dengan central healing.
DAFTAR PUSTAKA

1. Halim A. Buku Ajar ilmu kesehatan kulit dan kelamin. 2018. 45–47 p.

2. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th ed.

Menaldi SLS, editor. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2016. 109–16 p.

3. Devy D, Ervianti E. Studi Retrospektif : Karakteristik Dermatofitosis ( Characteristic of

Dermatophytosis : A Retrospective Study ). Berk Ilmu Kesehat Kulit dan Kelamin. 2016;30(1):66.

4. Hidayat R. Hubungan Kebersihan Diri (Personal Hygiene) dengan Kejadian Dermatofitosis di

Desa Lereng Wilayah Kerja Puskesmas Kuok. J Ners Univ Pahlawan. 2018;2(23):86–94.

5. Yosella T. Diagnosis and treatment of tinea versicolor. J Major. 2015;4(2):122–8.

6. Pippin MM MM. Tinea Cruris [Internet]. StarPearls [Internet]. 2020 [cited 2021 Jun 26].

Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK554602/#_NBK554602_pubdet_

7. Wolff K, A L, Stephen G, A B. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed. McGraw-

Hill; 2008. 1807 p.

8. Hosthota A, Gowda T, Manikonda R. Clinical profile and risk factors of dermatophytoses: a

hospital based study. Int J Res Dermatology. 2018;4(4):508.

9. Martinez-Rossi NM, Peres NTA, Rossi A. Pathogenesis of Dermatophytosis: Sensing the Host

Tissue. Mycopathologia. 2017;182(1–2):215–27.

10. PERDOSKI. Panduan Praktis Klinis. Vol. 74, Journal of Organic Chemistry. PERDOSKI; 2017.

50–56 p.

11. Sahoo AK MR. Management of tinea corporis, tinea cruris, and tinea pedis: A comprehensive

review. Manag tinea corporis, tinea cruris, tinea pedis A Compr Rev. 2016;7(2):77–86.

Anda mungkin juga menyukai