Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : An. Z
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 12 tahun 1 bulan
Suku Bangsa : Sunda/Indonesia
Anak ke- : 1 (pertama)
Agama : Islam
Pendidikan : Sekolah Dasar
Alamat : Kp. Cijagra Cilampeni 02/11, Kec. Katapang, Kab. Bandung
No. RM : 544478

Orang Tua / Wali


Profil Ayah Ibu
Nama D R
Umur 37 tahun 35 tahun
Alamat Cijagra Cijagra
Pekerjaan Buruh Lepas Ibu Rumah Tangga
Pendidikan SMA SMA
Suku Sunda Sunda
Agama Islam Islam
Hubungan dengan orang tua : Pasien merupakan anak kandung

I. ANAMNESIS
Dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis dengan ibu kandung pasien.
Lokasi : Bangsal Melati (kamar 1)
Tanggal/Waktu : 24 Januari 2017 / 10:00
Tanggal masuk : 21 Januari 2017 / 12:30

Keluhan utama :
Panas Badan

1
A. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD SOREANG diantar oleh kedua orangtuanya pada
tanggal 21 Januari 2017 pukul 12:30 WIB dengan keluhan demam sejak 1 minggu SMRS.
Pasien mengatakan panas badan yang awalnya tidak begitu tinggi, semakin lama semakin
tinggi, terutama pada malam hari dan menurun menjelang pagi hari. Keluhan ini disertai
nyeri kepala, nyeri ulu hati, mual dan muntah selama 2 hari SMRS. Setiap diisi makanan
pasien muntah. Muntah sebanyak 4x/hari berisi sisa makanan dan air sebanyak ± segelas
aqua. Pasien juga belum BAB sejak 4 hari SMRS. Nafsu makan pasien menurun. Tidak
ada keluhan nyeri saat BAK. Keluhan tidak disertai dengan batuk pilek, nyeri menelan,
sesak, kejang, bintik-bintik perdarahan, perdarahan gusi, mimisan, dan penurunan
kesadaran.
Karena keluhannya pasien dibawa oleh ayahnya ke klinik, namun belum ada
perbaikan sehingga dibawa ke RSUD SOREANG.
Riwayat kontak dengan penderita batuk lama disangkal. Riwayat berat badan sulit
naik disangkal. Riwayat sering panas badan dengan sebab yang tidak jelas disangkal.
Riwayat adanya penderita demam berdarah di lungkungan tempat tinggal penderita
disangkal. Riwayat berpergian kedaerah endemis disangkal.

B. Riwayat Penyakit yang Pernah Diderita


Penyakit Umur Penyakit Umur Penyakit Umur

Alergi (-) Difteria (-) Penyakit jantung (-)

Cacingan (-) Diare (-) Penyakit ginjal (-)

DBD (+) usia Kejang (+) usia Radang paru (-)


11 2,5
tahun tahun

Ootitis (-) Morbili (+) usia TBC (-)


5 tahun

Parotitis (-) Operasi (-) Lain-lain (-)

2
Kesimpulan riwayat penyakit yang pernah diderita: Pasien pernah menderita penyakit
lain sebelumnya.

C. Riwayat Keluarga
Pada anggota keluarga pasien ada yang menderita gejala atau penyakit yang sama seperti
yang dialami oleh pasien yaitu adik pasien.
Kesimpulan riwayat keluarga : Ada anggota keluarga yang mengalami gejala dan
penyakit yang serupa dengan pasien.

D. Riwayat Pengobatan
Pasien telah berobat ke klinik sebelumnya dan diberikan obat penurun panas yang
diminum 3 kali sehari selama 3 hari. Namun, keluhan demam tidak membaik.
Kesimpulan pengobatan: Tidak ada perbaikan setelah diberi obat penurun panas.

E. Riwayat Kehamilan/Kelahiran
Morbiditas Anemia (-), hipertensi (-), proteinuria (-),
kehamilan diabetes melitus (-), penyakit jantung (-),
penyakit paru (-), merokok (-), infeksi (-),

Kehamilan minum alkohol (-)

Perawatan antenatal Rutin kontrol ke bidan setiap bulannya. Riwayat


imunisasi TT (+) 2 x, konsumsi suplemen
selama kehamilan (+) namun jarang diminum.

Tempat persalinan Bidan daerah katapang

Penolong persalinan Bidan

Cara persalinan Spontan

Kelahiran Masa gestasi Cukup bulan (9 bulan)

Keadaan bayi Berat lahir: 2900 gram

Panjang lahir: 54 cm

Lingkar kepala : (ibu pasien tidak ingat)

3
Langsung menangis (+)

Kemerahan: (+)

Nilai APGAR: (ibu pasien tidak tahu)

Kelainan bawaan: (-)

Kesimpulan riwayat kehamilan dan kelahiran: Pasien lahir spontan, cukup bulan,
dengan berat badan lahir normal.

F. Riwayat Makanan
Usia ASI/PASI Buah/ Biskuit Bubur Susu Nasi Tim

(bulan)

0–6 ASI dan Susu - - -


Formula

6 – 12 ASI dan Susu - + -


Formula

12 – 18 ASI dan Susu + + +


Formula

18 – 24 ASI dan Susu + + +


Formula

RIWAYAT MAKANAN DIATAS 2 TAHUN

Frekuensi Frekuensi

Nasi 2 x 1 porsi Telur 2 hari 1 butir

Sayur 1x1 porsi Tahu/Tempe 3x 2 potong

Daging 2hari 1 potong

4
Kesimpulan riwayat makanan: Pasien mendapatkan ASI namun dicampur dengan
susu formula. Menurut ibu pasien, pasien jarang makan dan ibu pasien dirumah jarang
memasak. Pasien sering jajan sembarang dan jarang mencuci tangan sebelum makan.
Pasien minum sehari hari menggunakan air galon yang diisi ulang.

G. Riwayat Imunisasi
Vaksin Dasar (umur) Ulangan (umur)

Hepatitis 0 bulan 1 bulan 6 bulan


B

Polio 0 2 bulan 4 bulan -


bulan

BCG 2 bulan

DPT/PT 2 bulan 4 bulan 6 bulan

Campak 9 bulan

Hib 2 bulan 4 bulan 6 bulan

Kesimpulan riwayat imunisasi: Imunisasi dasar pasien lengkap, imunisasi ulang tidak
dilakukan

H. Riwayat Lingkungan Perumahan


Pasien tinggal bersama ayah, ibu, dan seorang adik kandung pasien. Menurut
pengakuan ibu pasien, lingkungan rumah cukup padat penduduk, jarak antar rumah
berdekatan. Ventilasi udara baik dan pencahayaan baik. Sumber air untuk keperluan air
sehari-hari seperti mandi dan mencuci menggunakan air tanah. Untuk mandi masih
menggunakan bak air.
Kesimpulan keadaan lingkungan: Pasien tinggal di lingkungan dengan ventilasi yang
baik dan cukup padat penduduk dan sumber air untuk keperluan air sehari-hari
menggunakan air tanah.

5
II. PEMERIKSAAN FISIK (Tanggal 24 Januari 2017, pukul 10.30 WIB)
STATUS GENERALIS
Keadaan Umum
Kesan sakit : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Kesan gizi : Kurus
Keadaan lain : Pucat (-), Ikterik (-), sesak (-), sianosis (-)
Data antropometri
Berat badan sebelum sakit : 32 kg
Berat badan setelah sakit : 29 kg
Tinggi badan : 145 cm
Status Gizi (dengan menggunakan penghitungan Body Mass Index):

BMI = 29 / (1,45)2
BMI = 13,79

6
BMI = Kurus
Tanda vital
Tekanan darah : 100/60 mmHg
Nadi : 92x/menit, regular
Nafas : 20x/menit
Suhu : 36,5º C
Kepala
Normosefali
Rambut
Rambut hitam, lurus, dan tidak mudah dicabut
Mata
Sklera ikterik : Tidak ada Konjungtiva anemis : Tidak ada
Cekung : Tidak ada Pupil : 2 mm, bulat, isokor
Refleks cahaya : Langsung ada/ada, tidak langsung ada/ada
Telinga
Bentuk : Normotia Nyeri tarik aurikula : Tidak ada
Nyeri tekan tragus : Tidak ada
Hidung
Bentuk : Simetris Napas cuping hidung : Tidak ada

7
Sekret : Tidak ada Deviasi septum : Tidak ada
Bibir
Mukosa berwarna merah muda , tidak sianosis
Mulut
Trismus (tidak ada), oral hygiene baik
Lidah
Normoglosia, mukosa berwarna merah muda, tidak tampak hiperemis, tidak tampak atrofi
papil , lidah kotor (+), tremor tidak ada, tepi hiperemis tidak ada
Tenggorokan
Dinding posterior faring tidak hiperemis, uvula terletak di tengah, ukuran tonsil T2/T2
tidak hiperemis, kripta tidak melebar, tidak ada detritus
Leher
Bentuk tidak tampak kelainan, tidak teraba pembesaran tiroid, tidak teraba pembesaran
KGB
Thoraks
Bentuk dada datar dan gerak statis dan dinamis

COR : Bunyi Jantung Murni Regular, Murmur (-) Gallop (-)

Pulmonal :

Pergerakan dada simetris kanan dan kiri, tidak ada bagian yang tertinggal, tidak terdapat

retraksi.

Vesicular Breath Sound kanan = kiri, Rhonki -/- Wheezing -/-

Abdomen
Inspeksi : datar, tidak ada kelainan kulit
Auskultasi : Bising usus(+)
Palpasi : Soepel, lembut, turgor normal, nyeri tekan epigastrium (+), splenomegali
(-) , hepatomegali (-)
Perkusi : Suara timpani pada keempat kuadran abdomen
Genitalia
Jenis kelamin : perempuan
Ekstremitas Atas dan Bawah
Inspeksi : simetris, tidak terdapat kelainan pada bentuk tulang, posisi tangan dan
kaki, serta sikap badan, tidak tampak edema, ruam (tidak ada)

8
Palpasi : akral hangat pada keempat ekstremitas, capillary refill time < 2 detik
Kulit
Warna sawo matang merata, tidak ikterik, tidak sianosis, lembab, ruam (tidak ada)

III. PEMERIKSAAN LABORATORIUM (Tanggal 21 Januari 2017 pukul 13:02 WIB)


Darah Rutin
Hematologi Hasil Nilai normal

Hemoglobin 12,9 g/dL 12-16 g/dL

Leukosit 5.600/mm3 5.000-12.000/mm3

Trombosit 163.000/mm3 150.000-400.000/mm3

Hematokrit 38 % 37-43%

Imunologi

S. Thypi O (+)1/320 Negatif

S. Parathypi AO 1/160 Negatif

S. Parathypi BO 1/80 Negatif

S. Parathypi CO 1/40 Negatif

S. Thyphi H 1/80 Negatif

S. Parathypi AH 1/80 Negatif

S. Parathypi BH 1/40 Negatif

S. Parathypi CH Negatif Negatif

IV. DIAGNOSIS BANDING


Demam Tifoid
Gastroenteritis
Tonsilofaringitis

9
V. DIAGNOSIS KERJA
Demam Tifoid
VI. PEMERIKSAAN ANJURAN
Pemeriksaan kultur dan resistensi
Pemeriksaan Gall Kulture
VII. PENATALAKSANAAN
 Medikamentosa
IGD Ruang Melati

1. Infus RL 24 gtt/menit 1. Infus RL 24 gtt/menit


2. Cefotaxime 3x1 gr (iv) 2. Cefotaxime 3x1 gr (iv)
3. Paracetamol syr 3x1½ C 3. Paracetamol syr 3x1½ C
4. Domperidon syr 3x 3ml (iv)
5. TD II

 Non Medikamentosa
1. Tirah Baring
2. Diet Lunak, Rendah Serat (TD II)
3. Obs. Tanda Vital
VIII. Prognosis

Quo ad Vitam : ad bonam


Quo ad Functionam : ad bonam
Quo ad Sanationam : ad bonam

10
IX. Follow Up

Tanggal : 23/01/2017

S/ O/ A/ P/

Demam masih TD : 110/70 mmHg Demam 1. Infus RL 24


dirasakan, belum N : 96 x/menit tifoid gtt/menit
BAB 5 hari, nyeri R : 20 x/menit 2. Cefotaxime 3x1 gr
epigastrium +, S : 36,6 °C (iv)
mual +, muntah 3. Paracetamol syr
disangkal Status gizi 3x1½ C
BB : 29 kg 4. Domperidon syr
TB : 145 cm 3x 3ml (iv)
BMI = 29 / (1,45)2 5. TD II
BMI = 13,79
Kepala : CA (-) SI (-) PCH
(-) POC (-) lidah kotor (+)
Leher : KGB TTM
Thorax : B/G simetris,
VBS ka=ki, Rh-/- Wh -/-,
BJI-II murni regular, murm
ur (-), gallop (-)
Abdomen : datar, soepel,
BU (+), NT (+), hepar-lien
tidak teraba
Ekstremitas : akral hangat,
CRT<2”

11
Tanggal : 24/01/2017

S/ O/ A/ P/

Keluhan panas TD : 100/70 mmHg Demam 1. Infus RL 24


badan masih N : 92 x/menit tifoid gtt/menit (makro)
dikeluhkan, R : 20 x/menit 2. Cefotaxim 3x1
semalam demam S : 36. 4°C gr (IV)
tinggi kembali, 3. Paracetamol
mual disangkal, Status gizi Syrup 3x1 C (PO)
muntah disangkal, BB : 29 kg 4. TD II
nafsu makan TB : 145 cm
membaik. Belum BMI = 29 / (1,45)2
BAB dari 6 hari
BMI = 13,79
yang lalu. Nyeri
tekan epigastrium
Kepala : CA (-) SI (-) PC
disangkal
H (-) POC (-) ,lidah kotor
(-)
Leher : KGB TTM
Thorax : B/G simetris, V
BS ka=ki, Rh-/- Wh -/-,
BJI-II murni regular, mur
mur (-), gallop (-)
Abdomen : datar, soepel,
BU (+), NT (-), hepar-lien
tidak teraba
Ekstremitas : akral hangat
, CRT<2”

12
Tanggal : 25/01/2017

S/ O/ A/ P/

Panas sudah tidak TD : 100/60 mmHg Demam 1. Infus RL 24


dikeluhkan sejak N : 90 x/menit tifoid gtt/menit (makro)
kemarin, batuk R : 22x/menit 2. Cefotaxim 3x1
disangkal, nyeri S : 36. 2°C gr (IV)
perut disangkal, 3. Paracetamol
mual disangkal, Status gizi Syrup 3x1 C (PO)
muntah disangkal. BB : 30 kg 4. TD II
BAB + kemarin 1 TB : 145 cm
kali BMI = 30 / (1,45)2
BMI = 14,26

Kepala : CA (-) SI (-) PC


H (-) POC (-) lidah kotor
(-),
Leher : KGB TTM
Thorax : B/G simetris,
VBS ka=ki, Rh-/- Wh -/-,
BJI-II murni regular, mur
mur (-), gallop (-)
Abdomen : datar, soepel,
BU (+), NT (-) daerah
epigastrium, hepar-lien
tidak teraba
Ekstremitas : akral hangat
, CRT<2”

13
ANALISA KASUS

1. Apakah diagnosis pada pasien ini sudah tepat?

Anamnesis :

 Pasien datang dengan keluhan demam sejak 1 minggu SMRS. Pasien mengatakan
panas badan yang awalnya tidak begitu tinggi, semakin lama semakin tinggi,
terutama pada malam hari dan menurun menjelang pagi hari.
 Keluhan disertai nyeri kepala, nyeri ulu hati, mual dan muntah selama 2 hari
SMRS.
 Pasien juga belum BAB sejak 4 hari SMRS.
 Ibu pasien mengatakan pasien jarang makan dan ibu pasien dirumah jarang
memasak. Pasien sering jajan sembarang dan jarang mencuci tangan seblum
makan.
Pemeriksaan Fisik :

KU : Tampak sakit sedang

KS : Composmentis
TD : 110/70 mmHg N : 96 x/menit R : 24 x/menit S : 38.9 °C (awal masuk)

Mulut : lidah kotor (+), tremor (-), tepi hiperemis (-)


Abdomen : datar, soepel, BU (+), NT (+), hepar-lien tidak teraba

Status Gizi (dengan menggunakan penghitungan Body Mass Index):

BMI = 29 / (1,45)2
BMI = 13,79

14
BMI = Kurus
Pemeriksaan Widal
Imunologi

S. Thypi O (+)1/320 Negatif

S. Parathypi AO 1/160 Negatif

S. Parathypi BO 1/80 Negatif

15
S. Parathypi CO 1/40 Negatif

S. Thyphi H 1/80 Negatif

S. Parathypi AH 1/80 Negatif

S. Parathypi BH 1/40 Negatif

S. Parathypi CH Negatif Negatif

Diagnosis : Demam Tifoid

2. Apakah penatalaksanaannya sudah tepat?


IGD Ruang Melati

1. Infus RL 24 gtt/menit 1. Infus RL 24 gtt/menit


2. Cefotaxime 3x1 gr (iv) 2. Cefotaxime 3x1 gr (iv)
3. Paracetamol syr 3x1½ C 3. Paracetamol syr 3x1½ C
4. Domperidon syr 3x 3ml (iv)
5. TD II

 Non Medikamentosa
1. Tirah Baring
2. Diet Lunak, Rendah Serat (TD II)
3. Obs. Tanda Vital

Kebutuhan cairan pada anak ini adalah :

BB = 29 kg

10 kg pertama = 100cc x 10 kg = 1000 cc/24 jam

10 kg kedua = 50cc x 10 kg = 500 cc/24 jam

10 kg ketiga = 20cc x 9 kg = 180 cc/24 jam

Total kebutuhan cairan = 1680cc/24jam  24 gtt/menit (makro)

Dosis paracetamol 10-15mg/kgBB, maka dosis untuk anak ini 290-435mg/kali. Satu

sendok mengandung 250mg/5ml, maka dosis yang diberikan sudah cukup.

16
Cefotaxime pada anak 50-100 mg/kgBB/hari (3x) maka dosis untuk anak ini 1450-

2900mg/hari  maka jika dibagi 3 dosis dosis nya sudah tepat.

Domperidon pada anak 0,3 mg/kg/hari (3x) maka dosis untuk anak ini 8,7 mg/kg/hari.

Satu sendok mengandung 5mg/5ml, maka dosis yang diberikan sudah cukup.

3. Apa komplikasi yang dapat timbul dari kasus ini?

Komplikasi :

1. Perforasi Intestinal
2. Perdarahan Intestinal
3. Sepsis
4. Ensefalopati
4. Bagaimana prognosis dari pasien ini?

Prognosis pada pasien ini bonam karena gejala gejala klinis tertangani dengan

baik,tidak adanya penurunan kesadaran dan tidak ada gejala yang mengarah kearah

komplikasi.

17
TINJAUAN PUSTAKA

I. Definisi

Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever.
Demam tipoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran
pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan
pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.1

II. Epidemiologi

Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena
penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data
World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta
kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap
tahun.4 Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit
endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya
adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus
ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan
358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun
atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di
Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.3
Salmonella typhi dapat hidup didalam tubuh manusia (manusia sebagai natural
reservoir). Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat mengekskresikannya
melalui sekret saluran nafas, urin, dan tinja dalam jangka waktu yang sangat bervariasi.
Salmonella typhi yang berada diluar tubuh manusia dapat hidup untuk beberapa minggu
apabila berada didalam air, es, debu, atau kotoran yang kering maupun pada pakaian.
Akan tetapi S. Typhi hanya dapat hidup kurang dari 1 minggu pada raw sewage, dan
mudah dimatikan dengan klorinasi dan pasteurisasi (temp 63°C).1
Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui minuman/makanan
yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau pembawa kuman, biasanya
keluar bersama – sama dengan tinja (melalui rute oral fekal = jalurr oro-fekal).
Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada
dalam bakteremia kepada bayinya. Pernah dilaporkan pula transmisi oro-fekal dari

18
seorang ibu pembawa kuman pada saat proses kelahirannya kepada bayinya dan
sumber kuman berasal dari laboratorium penelitian.1
III. Etiologi
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella
typhi. Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S. typhi, S. paratyphi A, S.
paratyphi B (S. Schotmuelleri) dan S. paratyphi C (S. Hirschfeldii).

Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif,
mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif anaerob.
Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H)
yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida.
Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar
dari dinding sel da dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh
plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik.1

Gambar 2.1. Mikroskopik Salmonella Typhi


IV. Patogenesis

Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti


organism, yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch, 2) bakteri bertahan
hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch, nodus limfatikus mesenterica,
dan organ- organ extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di
dalam aliran darah, 4) produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam
kripta usus dan meningkatkan permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan
keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal

19
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh
manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman
dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam di lambung (pH < 2) banyak yang
mati namun sebagian lolos masuk ke dalam usus dan berkembang biak dalam peyer
patch dalam usus. Untuk diketahui, jumlah kuman yang masuk dan dapat menyebabkan
infeksi minimal berjumlah 105 dan jumlah bisa saja meningkat bila keadaan lokal pada
lambung yang menurun seperti aklorhidria, post gastrektomi, penggunaan obat- obatan
seperti antasida, H2-bloker, dan Proton Pump Inhibitor.

Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan
ileum. Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan
menembus sel- sel epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer
Patch, merupakan port de entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria. Di
lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama
makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan
selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian kelenjar getah bening
mesenterika.

Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam makrofag ini
masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya
asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati
dan Limpa. Di organ- organ RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan
kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya kembali
masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan bakteremia kedua dengan disertai
tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik.

Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermitten” ke dalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi
setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah
teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi
beberapa pelepasan mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala
reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut,
diare diselingi konstipasi, sampai gangguan mental dalam hal ini adalah delirium. Pada

20
anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau yang
terjadi dalam 3 hari berturut- turut.1,4

Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan


(S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia
jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi
pembuluh darah sekitar peyer patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi
akibat akumulasi sel- sel mononuclear di dinding usus.

Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot,
serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat menempel di reseptor
sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan
neuropsikiatrik, kardiovaskuler, respirasi, dan gangguan organ lainnya.

Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut
terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui
pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi
makrofag di dalam hepar, lien, folikel usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk
memproduksi sitokin dan zat- zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat
menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel, sistem vaskuler, yang tidak stabil,
demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem
imunologis.1,4

21
Bagan 2.1. Patofisiologi Demam Tifoid

V. Manifestasi klinik

Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan, lebih bervariasi bila
dibandingkan dengan penderita dewasa. Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda
klinis, akan lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak, terutama
pada penderita yang lebih muda, seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi.
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 – 20 hari, dengan masa inkubasi
terpendek 3 hari dan terpanjang 60 hari. Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai

22
korelasi dengan jumlah kuman yang ditelan, keadaan umum/status gizi serta status
imunologis penderita.1,4,5
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis besar
gejala-gejala yang timbul dapat dikelompokkan :
 Demam satu minggu atau lebih.
 Gangguan saluran pencernaan
 Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut
pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare,
konstipasi. Pada pemeriksaan fisik, hanya didapatkan suhu badan yang meningkat.
Setelah minggu kedua, gejala/ tanda klinis menjadi makin jelas, berupa demam remiten,
lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut kembung mungkin disertai ganguan
kesadaran dari yang ringan sampai berat.
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang
dewasa, kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern, dapat
pula mendadak tinggi dan remiten (39 – 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler
terutama pada bayi yang tifoid kongenital.
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan
tanda-tanda antara lain, lidah tampak kering, diolapisi selaput tebal, di bagian belakang
tampak lebih pucat, di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan. Bila penyakit makin
progresif, akan terjadi deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen.
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua.
Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 – 4 mm, berwarna
merah pucat serta hilang pada penekanan. Roseola ini merupakan emboli kuman yang
didalamnya mengandung kuman salmonella, dan terutama didapatkan di daerah perut,
dada, kadang-kadang di bokong, ataupun bagian fleksor lengan atas.
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama
dan harus dibedakan dengan pembesaran karena malaria. Pembesaran limpa pada
demam tifoid tidak progresif dengan konsistensi lebih lunak.
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 – 5
mm, sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung pada
orang kulit putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Ruam ini
muncul pada hari ke 7 – 10 dan bertahan selama 2 -3 hari.1,4,5

23
Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK
Unair/RSU Dr.Soetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan
diagnosis demam tifoid atas dasar ditemukannya S.typhi dalam darah dan 85% telah
mendapatkan terapi antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa
memperhitungkan dimensi waktu sakit penderita, didapatkan keluhan dan gejala klinis
pada penderita sebagai berikut : panas (100%), anoreksia (88%), nyeri perut (49%),
muntah (46%), obstipasi (43%) dan diare (31%). Dari pemeriksaan fisik didapatkan
kesadaran delirium (16%), somnolen (5%) dan sopor (1%) serta lidah kotor (54%),
meteorismus (66%), hepatomegali (67%) dan splenomegali (7%).10 Hal ini sesuai
dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (39,47%), sembelit (15,79%),
sakit kepala (76,32%), nyeri perut (60,5%), muntah (26,32%), mual (42,11%),
gangguan kesadaran (34,21%), apatis (31,58%) dan delirium (2,63%).9 Sedangkan
tanda klinis yang lebih jarang dijumpai adalah disorientasi, bradikardi relatif, ronki,
sangat toksik, kaku kuduk, penurunan pendengaran, stupor dan kelainan neurologis
fokal.5
VI. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi
dalam empat kelompok, yaitu :
1. Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang
dengan peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit normokrom normositer,
yang diduga karena efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus. Tidak
selalu ditemukan leukopenia, diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit
oleh toksin dalam peredaran darah. Sering hitung leukosit dalam batas normal dan
dapat pula leukositosis, terutama bila disertai komplikasi lain. Trombosit
jumlahnya menurun, gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif,
aneosinofilia, dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada
perjalanan penyakitnya. SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan
kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak
memerlukan penanganan khusus.
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler, eritroid dan mieloid
sistem normal, jumlah megakariosit dalam batas normal.1,4,5
2. Uji serologis

24
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi
maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji
serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa
antikoagulan.
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai
penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan
adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen
spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang
diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang
digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan
spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit).4
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi :
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi
terhadap kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun 1896.
Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan
antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum penderita
dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam jumlah yang
sama. Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi.
Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer
antibodi dalam serum.
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum
penderita tersangka demam tifoid yaitu;
1. Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2. Aglutinin H (flagel kuman)
3. Aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan
untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar
kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O.
Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai
beberapa tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang yang
telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan

25
aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan – 2 tahun. Antibodi Vi timbul
lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada
pengidap S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen Vi biasanya tidak
dipakai untuk menentukan diagnosis infeksi, tetapi hanya dipakai untuk
menentukan pengidap S.typhi.
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan memakai
uji widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45
menit) menunjukkan nilai ramal positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif,
96% kasus benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak
menyingkirkan. Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin
sekali periksa ≥ 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka
diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan
pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada
deteksi pembawa kuman S. typhi (karier). Banyak peneliti mengemukanan
bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul positif
palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif.
Ada 2 faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu faktor yang
berhubungan dengan penderita dan faktor teknis.
 Faktor yang berhubungan dengan penderita, yaitu
1. Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian kortikosteroid.
2. Gangguan pembentukan antibodi.
3. Saat pengambilan darah.
4. Daerah endemik atau non endemik.
5. Riwayat vaksinasi.
6. Reaksi anamnesik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi
bukan demam akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi.
 Faktor teknik, yaitu
1. Akibat aglutinin silang.
2. Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.
3. Teknik pemeriksaan antar laboratorium.
Beberapa keterbatasan uji Widal ini adalah:
 Negatif Palsu

26
Pemberian antibiotika yang dilakukan sebelumnya (ini kejadian paling
sering di negara kita, demam –> kasih antibiotika –> nggak sembuh dalam
5 hari –> tes Widal) menghalangi respon antibodi.
Padahal sebenarnya bisa positif jika dilakukan kultur darah.
 Positif Palsu
Beberapa jenis serotipe Salmonella lainnya (misalnya S. paratyphi A, B, C)
memiliki antigen O dan H juga, sehingga menimbulkan reaksi silang
dengan jenis bakteri lainnya, dan bisa menimbulkan hasil positif palsu
(false positive).
Padahal sebenarnya yang positif kuman non S. typhi (bukan tifoid).
b) Tes TUBEX
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang
sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang
berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan
menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan
pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut
karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi
IgG dalam waktu beberapa menit.
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX® ini,
beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal. Penelitian oleh
Lim dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%.15
Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar
89%.9 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk
pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di
negara berkembang.4

Ada 4 interpretasi hasil :


 Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi demam
tifoid. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian.
 Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid
 Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid
Penggunaan antigen 09 LPS memiliki sifat- sifat sebagai berikut:
 Immunodominan yang kuat

27
 Bersifat thymus independent tipe 1, imunogenik pada bayi (antigen Vi dan
H kurang imunogenik) dan merupakan mitogen yang sangat kuat terhadap
sel B.
 Dapat menstimulasi sel limfosit B tanpa bantuan limfosit T sehingga respon
antibodi dapat terdeteksi lebih cepat.
 Lipopolisakarida dapat menimbulkan respon antibodi yang kuat dan cepat
melalui aktivasi sel B via reseptor sel B dan reseptor yang lain.
 Spesifitas yang tinggi (90%) dikarenakan antigen 09 yang jarang ditemukan
baik di alam maupun diantara mikroorganisme
Kelebihan pemeriksaan menggunakan tes TUBEX :
 Mendeteksi infeksi akut Salmonella
 Muncul pada hari ke 3 demam
 Sensifitas dan spesifitas yang tinggi terhadap kuman Salmonella
 Sampel darah yang diperlukan relatif sedikit
 Hasil dapat diperoleh lebih cepat
3. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S.


typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau
dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih
mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan
pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses.

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif
tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa
faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah
yang diambil; (2) perbandingan volume darah dari media empedu; dan (3) waktu
pengambilan darah.

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil
dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk
kultur hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit
dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat
menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila
dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit

28
dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana
dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S.
typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan


pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-
80% atau 70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50%
pada akhir minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita
yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah
dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai. Bakteri dalam feses ditemukan
meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun
secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum
tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi
dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama
perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama
bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan
kultur darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak
dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur
pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang
cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi
terutama pada anak. Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa
sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama dengan kultur
sumsum tulang.5,

Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media


yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat
minimal dalam darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu
pengambilan spesimen yang tidak tepat.

Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai


sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang
dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri
sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis baku
dalam pelayanan penderita.

29
VII. Diagnosis

Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan
bahkan asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang
timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan saluran
pencernaan, dan (3) gangguan kesadaran. Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap
dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional seperti nyeri kepala, malaise,
anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen, pembesaran hati dan limpa, serta
gangguan status mental. Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal awal dan
kemudian pada minggu ke-dua timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah dari
anak yang terinfeksi, sedangkan sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu seminggu
panas dapat meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri abdomen dan
diare, menjadi berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium. Keadaan suhu tubuh
tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa. Rose
spots (bercak makulopapular) ukuran 1-6 mm, dapat timbul pada kulit dada dan
abdomen, ditemukan pada 40-80% penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari). Jika
tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu, gejala dan tanda klinis menghilang namun
malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan.
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala
klinisnya ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam
menegakkan diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk
menegakkan diagnosis demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium yang
diandalkan. Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi, serologis, dan bakteriologis.4,5
VIII. Diagnosis Banding

Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang secara klinis
dapat menjadi diagnosis bandingnya yaitu influenza, gastroenteritis, bronkitis dan
bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme
intraseluler seperti tuberkulosis, infeksi jamur sistemik, bruselosis, tularemia, shigelosis
dan malaria juga perlu dipikirkan. Pada demam tifoid yang berat, sepsis, leukimia,
limfoma dan penyakit hodgkin dapat sebagai dignosis banding.1

30
IX. Penatalaksanaan
1. Non Medika Mentosa
a) Tirah baring

Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat membantu. Pasien harus


diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan.5
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah
yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak
memperburuk kondisi usus. Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk
mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita demam tifoid, basanya
diklasifikasikan atas diet cair, bubur lunak, tim, dan nasi biasa.
c) Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral.
Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi,
penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit
dan kalori yang optimal. Kebutuhan kalori anak pada infus setara dengan kebutuhan
cairan rumatannya.
d) Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh
yaitu dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal
ke hipotalamus melalui sumsum tulang belakang. Ketika reseptor yang peka
terhadap panas di hipotalamus dirangsang, sistem efektor mengeluarkan sinyal yang
memulai berkeringat dan vasodilatasi perifer. Perubahan ukuran pembuluh darah
diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata dari tangkai otak, dibawah
pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi. Terjadinya
vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan/ kehilangan energi/ panas melalui kulit
meningkat (berkeringat), diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga
mencapai keadaan normal kembali. Hal ini sependapat dengan teori yang
dikemukakan oleh Aden (2010) bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu
(thermoregulator) di hipotalamus. Jika suhu tubuh meningkat, maka pusat
pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya.5

31
2. Medika Mentosa
a) Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik. Bila
mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah
Paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali minum, sedapat mungkin untuk
menghindari aspirin dan turunannya karena mempunyai efek mengiritasi saluran
cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan kemungkinan untuk
diperberat keadaannya sangatlah mungkin. Bila tidak mampu intake peroral dapat
diberikan via parenteral, obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin.

b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah :1,4,5
 Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mg/kg/hari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mg/kg/hari.
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun. Pemberian
Intra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat
diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi atau
didapatkan infeksi sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari. Kelemahan
dari antibiotik jenis ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh, dan carier.

 Cotrimoxazole, merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan


sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis Trimetoprim 10 mg/kg/hari
dan Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis. Untuk pemberian
secara syrup dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mg/kg/kali minum sehari diberi
2 kali selama 2 minggu. Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini
adalah terjadinya gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik,
Leukopenia, dan granulositopenia. Dan pada beberapa Negara antibiotika
golongan ini sudah dilaporkan resisten.

 Ampicillin dan Amoxicillin, memiliki kemampuan yang lebih rendah


dibandingkan dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole. Namun untuk anak-
anak golongan obat ini cenderung lebih aman dan cukup efektif. Dosis yang

32
diberikan untuk anak 100-200 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis selama 2
minggu. Penurunan demam biasanya lebih lama dibandingkan dengan terapi
chloramphenicol.

 Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime), merupakan


pilihan ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari
Chloramphenicol dan Cotrimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella
typhi. Ceftriaxone merupakan prototipnya dengan dosis 100 mg/kg/hari IVdibagi
dalam 1-2 dosis (maksimal 4 gram/hari) selama 5-7 hari. Atau dapat diberikan
cefotaxim 150-200 mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Bila mampu untuk sediaan
Per oral dapat diberikan Cefixime 10-15 mg/kg/hari selama 10 hari.

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma sampai
syok dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg dalam 30 menit
untuk dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam.

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang


diperlukan tranfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera
dilakukan laparotomi disertai penambahan antibiotika metronidazol.

X. Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi 2 bagian :4
1. Komplikasi pada usus halus
a) Perdarahan usus
Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin.
Jika perdarahan banyak terjadi melena dapat disertai nyeri perut dengan tanda
– tanda renjatan.
b) Perforasi usus
Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setengahnya dan terjadi pada bagian
distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila
terdapat udara dirongga peritoneum yaitu pekak hati menghilang dan terdapat
udara diantara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat
dalam keadaan tegak.
c) Peritonitis

33
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus.
Ditemukan gejala akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang,
dan nyeri tekan.
2. Komplikasi diluar usus halus
a) Bronkitis dan bronkopneumonia
Pada sebagian besar kasus didapatkan batuk, bersifat ringan dan disebabkan
oleh bronkitis, pneumonia bisa merupakan infeksi sekunder dan dapat timbul
pada awal sakit atau fase akut lanjut. Komplikasi lain yang terjadi adalah abses
paru, efusi, dan empiema.
b) Kolesistitis
Pada anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhi minggu kedua dengan
gejala dan tanda klinis yang tidak khas, bila terjadi kolesistitis maka penderita
cenderung untuk menjadi seorang karier.
c) Typhoid ensefalopati
Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis berupa kesadaran
menurun, kejang – kejang, muntah, demam tinggi, pemeriksaan otak dalam
batas normal. Bila disertai kejang – kejang maka biasanya prognosisnya jelek
dan bila sembuh sering diikuti oleh gejala sesuai dengan lokasi yang terkena.
d) Meningitis
Menigitis oleh karena Salmonella typhi yang lain lebih sering didapatkan pada
neonatus/bayi dibandingkan dengan anak, dengan gejala klinis tidak jelas
sehingga diagnosis sering terlambat. Ternyata peyebabnya adalah Salmonella
havana dan Salmonella oranemburg.
e) Miokarditis
Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta gambaran klinis tidak
khas. Insidensnya terutama pada anak berumur 7 tahun keatas serta sering
terjadi pada minggu kedua dan ketiga. Gambaran EKG dapat bervariasi antara
lain : sinus takikardi, depresi segmen ST, perubahan gelombangan I, AV blok
tingkat I, aritmia, supraventrikular takikardi.
f) Infeksi saluran kemih
Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi melalui
urin pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis maupun pilonefritis dapat
juga merupakan penyulit demam tifoid. Proteinuria transien sering dijumpai,

34
sedangkan glomerulonefritis yang dapat bermanifestasi sebagai gagal ginjal
maupun sidrom nefrotik mempunyai prognosis yang buruk.

g) Karier kronik
Tifoid karier adalah seorang yang tidak menunjukkan gejala penyakit demam
tifoid, tetapi mengandung kuman Salmonella typhosa di sekretnya. Karier
temporer- ekskresi S.typhi pada feces selama tiga bulan. Hal ini tampak pada
10% pasien konvalesen. Relapse terjadi pada 5-10% pasien biasanya 2-3
minggu setelah demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki
bentuk sensivitas yang sama seperti semula. Faktor predisposisi menjadi kronik
karier adalah jenis kelamin perempuan, pada kelompok usia dewasa, dan
cholelithiasis. Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal, seperti
schistosomiasis, mungkin memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang
lama.
XI. Pencegahan

Berikut beberapa petunjuk untuk mencegah penyebaran demam tifoid:2

 Cuci tangan.
Cuci tangan dengan teratur meruapakan cara terbaik untuk mengendalikan demam
tifoid atau penyakit infeksi lainnya. Cuci tangan anda dengan air (diutamakan air
mengalir) dan sabun terutama sebelum makan atau mempersiapkan makanan atau
setelah menggunakan toilet. Bawalah pembersih tangan berbasis alkohol jika tidak
tersedia air.

 Hindari minum air yang tidak dimasak.


Air minum yang terkontaminasi merupakan masalah pada daerah endemik tifoid.
Untuk itu, minumlah air dalam botol atau kaleng. Seka seluruh bagian luar botol
atau kaleng sebelum anda membukanya. Minum tanpa menambahkan es di
dalamnya. Gunakan air minum kemasan untuk menyikat gigi dan usahakan tidak
menelan air di pancuran kamar mandi.

 Tidak perlu menghindari buah dan sayuran mentah.


Buah dan sayuran mentah mengandung vitamin C yang lebih banyak daripada yang
telah dimasak, namun untuk menyantapnya, perlu diperhatikan hal-hal sebagai

35
berikut. Untuk menghindari makanan mentah yang tercemar, cucilah buah dan
sayuran tersebut dengan air yang mengalir. Perhatikan apakah buah dan sayuran
tersebut masih segar atau tidak. Buah dan sayuran mentah yang tidak segar
sebaiknya tidak disajikan. Apabila tidak mungkin mendapatkan air untuk mencuci,
pilihlah buah yang dapat dikupas.

 Pilih makanan yang masih panas.


Hindari makanan yang telah disimpan lama dan disajikan pada suhu ruang. Yang
terbaik adalah makanan yang masih panas. Pemanasan sampai suhu 57°C beberapa
menit dan secara merata dapat membunuh kuman Salmonella typhi. Walaupun
tidak ada jaminan makanan yang disajikan di restoran itu aman, hindari membeli
makanan dari penjual di jalanan yang lebih mungkin terkontaminasi.

Jika anda adalah pasien demam tifoid atau baru saja sembuh dari demam tifoid, berikut
beberapa tips agar anda tidak menginfeksi orang lain:

 Sering cuci tangan.


Ini adalah cara penting yang dapat anda lakukan untuk menghindari penyebaran
infeksi ke orang lain. Gunakan air (diutamakan air mengalir) dan sabun, kemudian
gosoklah tangan selama minimal 30 detik, terutama sebelum makan dan setelah
menggunakan toilet.

 Bersihkan alat rumah tangga secara teratur.


Bersihkan toilet, pegangan pintu, telepon, dan keran air setidaknya sekali sehari.

 Hindari memegang makanan.


Hindari menyiapkan makanan untuk orang lain sampai dokter berkata bahwa anda
tidak menularkan lagi. Jika anda bekerja di industri makanan atau fasilitas
kesehatan, anda tidak boleh kembali bekerja sampai hasil tes memperlihatkan anda
tidak lagi menyebarkan bakteri Salmonella.

 Gunakan barang pribadi yang terpisah.


Sediakan handuk, seprai, dan peralatan lainnya untuk anda sendiri dan cuci dengan
menggunakan air dan sabun.

36
Pencegahan dengan menggunakan vaksinasi
Di banyak negara berkembang, tujuan kesehatan masyarakat dengan mencegah dan
mengendalikan demam tifoid dengan air minum yang aman, perbaikan sanitasi, dan
perawatan medis yang cukup, mungkin sulit untuk dicapai. Untuk alasan itu, beberapa
ahli percaya bahwa vaksinasi terhadap populasi berisiko tinggi merupakan cara terbaik
untuk mengendalikan demam tifoid.1,2

Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yakni:

 Vaksin oral Ty 21a (kuman yang dilemahkan)


Vaksin yang mengandung Salmonella typhi galur Ty 21a. Diberikan per oral tiga kali
dengan interval pemberian selang sehari. Vaksin ini dikontraindikasikan pada wanita
hamil, menyusui, penderita imunokompromais, sedang demam, sedang minum
antibiotik, dan anak kecil 6 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada anak berumur diatas
2 tahun. Lama proteksi dilaporkan 6 tahun.

 Vaksin parenteral sel utuh (TAB vaccine)


Vaksin ini mengandung sel utuh Salmonella typhi yang dimatikan yang mengandung
kurang lebih 1 milyar kuman setiap mililiternya. Dosis untuk dewasa 0,5 mL; anak 6-
12 tahun 0,25 mL; dan anak 1-5 tahun 0,1 mL yang diberikan 2 dosis dengan interval
4 minggu. Cara pemberian melalui suntikan subkutan. Efek samping yang dilaporkan
adalah demam, nyeri kepala, lesu, dan bengkak dengan nyeri pada tempat suntikan.
Vaksin ini di kontraindikasikan pada keadaan demam, hamil, dan riwayat demam
pada pemberian pertama. Vaksin ini sudah tidak beredar lagi, mengingat efek
samping yang ditimbulkan dan lama perlindungan yang pendek.

 Vaksin polisakarida
Vaksin yang mengandung polisakarida Vi dari bakteri Salmonella. Mempunyai daya
proteksi 60-70 persen pada orang dewasa dan anak di atas 5 tahun selama 3 tahun.
Vaksin ini tersedia dalam alat suntik 0,5 mL yang berisi 25 mikrogram antigen Vi
dalam buffer fenol isotonik. Vaksin diberikan secara intramuskular dan diperlukan
pengulangan (booster) setiap 3 tahun. Vaksin ini dikontraindikasikan pada keadaan
hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam, dan anak kecil 2 tahun.

37
XII. Prognosis
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan
kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi
antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka
mortalitasnya >10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan
pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan
hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan
mortalitas yang tinggi.
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser. Typhi ≥ 3
bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Resiko menjadi karier pada anak
– anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh
pasien demam tifoid.1

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi & pediatri tropis.
Ed. 2. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h. 338-45.
2. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soegijanto S,
Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi 1. Jakarta : Salemba
Medika, 2002:1-43.
3. Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin; edisi bahasa Indonesia: A
Samik Wahab; Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15. Jakarta: EGC ; 2000.
4. Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam Pediatrics
Update. Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta : 2003. h. 2-20.
5. Prasetyo, Risky V. dan Ismoedijanto. Metode diagnostik demam tifoid pada anak.
Surabaya : FK UNAIR ; 2010. h. 1-10.

39

Anda mungkin juga menyukai