SUBKLINIS
Faktor Risiko dan Permasalahannya
KUSTA STADIUM SUBKLINIS
Faktor Risiko dan Permasalahannya
PENERBIT
PROGRAM STUDI ARSITEKTUR
UIN SUNAN AMPEL
KUSTA STADIUM SUBKLINIS
Faktor Risiko dan Permasalahannya
Penulis:
Dr. Moch. Irfan Hadi, M. KL
Mei Lina Fitri Kumalasari, M.Kes
ISBN: 978-602-50337-3-5
Editor:
Funsu Andiarna
Desain Sampul:
Eko Teguh Pribadi
Penerbit
Program Studi Arsitektur UIN Sunan Ampel
Jl. A. Yani No. 117 Surabaya, Jawa Timur
Indonesia, 60237
Email: arsitektur@uinsby.ac.id
i
Buku “Kusta Stadium Subklinis (Faktor Risiko dan
Permasalahannya)” dimulai dengan membahas tentang konsep
penyakit kusta . Selanjutnya, membahas tentang kusta stadium
subklinis yang akan menjelaskan faktor risiko dan
permasalahannya.
Pada pembahasan yang lainnya akan dibahas mengenai kusta
subklinis pada anak karena anak-anak lebih rentan untuk terkena
penyakit kusta. Selain itu juga akan dibahas mengenai status
vaksinasi BCG pada anak yang berhubungan dengan kusta
stadium subklinis.
Semoga buku ini bermanfaat bagi mahasiswa, pendidik dan
peneliti di bidang kesehatan. Penulis menyadari buku ini masih
terdapat banyak kekurangan dan masih jauh dari sempurna. Kritik
dan saran sangat diharapakan demi perbaikan buku ini. Terakhir,
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu terselesaikan buku “Kusta Stadium Subklinis (Faktor
Risiko dan Permasalahannya)” ini.
Penulis
ii
Daftar Isi
iii
BAGIAN 1
KONSEP DASAR
PENYAKIT KUSTA
DEFINISI PENYAKIT KUSTA
Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular dan
bersifat kronik. Penyakit ini disebabkan oleh kuman
Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat dan
terjadi pada kulit dan saraf tepi.
2
Untuk angka penemuan kasus baru (CDR) penderita kusta di Jawa
Timur sebesar 1,14 per 100.000 penduduk yang berarti masih
belum mencapai target < 0,5/100.000 penduduk. Pada tahun 2010
di Jawa Timur terdapat 713 penderita kusta PB dengan RFT
(Release From Treatment) 92,95%. Sedangkan penderita kusta
MB (menular) sebanyak 3.971 penderita dengan RFT MB sebesar
90,23%. Kondisi tersebut sudah mencapai target untuk RFT MB
sebesar 90% sedangkan untuk RFT PB masih dibawah target 95%
3
. Salah satu daerah yang merupakan kantong dari penderita kusta
di Jawa Timur adalah wilayah Kabupaten Lamongan. Daerah
yang memiliki jumlah penderita kusta terbanyak adalah
Kecamatan Brondong. Untuk tahun 2013 dan 2014 ditemukan 52
orang penderita baru 4.
3
4
TANDA DAN GEJALA PENYAKIT KUSTA
Penyakit kusta sangat ditakuti karena dapat menimbulkan
cacat tubuh, tetapi gejalanya tidak selalu kelihatan. Harus
diwaspadai apabila mempunyai luka yang tidak kunjung sembuh
dan tidak sakit ketika ditekan.
5
3. Adanya pelebaran syaraf terutama pada syaraf ulnaris,
medianus, aulicularis magnus serta peroneus.
4. Kelenjar keringat kurang bekerja sehingga kulit menjadi tipis
dan mengkilat.
5. Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yang tersebar
pada kulit
6. Alis rambut rontok
6
PENEGAKAN DIAGNOSIS PENYAKIT
KUSTA
Diagnosis penyakit kusta dapat ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan klinis dan didukung dengan pemeriksaan slit skin
smear. Diagnosis kusta ditegakkan bila memenuhi satu atau lebih
dari tanda kardinal sebagai berikut 7:
1. Lesi kulit disertai anestesi
Lesi kulit dapat berupa makula atau plak eritema berwarna
seperti tembaga, hipopigmentasi, hiperpigmentasi, dapat juga
berupa infiltrasi atau edema. Jumlah lesi dapat tunggal atau
multipel. Hilangnya fungsi kelenjar menyebabkan permukaan
lesi tampak kering, kasar, berkeringat atau berkilap. Folikel
rambut dapat menghilang. Anestesi atau gangguan hingga
hilangnya fungsi sensorik terhadap rasa raba, nyeri, dan suhu
dapat ditemukan pada lesi dan area yang dipersarafi oleh saraf
perifer. Pada kusta tipe lepromatosa dapat juga mengenai area
di luar persarafan yang terlibat.
7
umumnya lebih sering ditemukan pada kusta tipe MB.
Pemeriksaan saraf meliputi pemeriksaan nervus supraorbital,
nervus aurikularis magnus, nervus ulnaris, nervus radialis,
nervus medianus, nevus poplitea lateralis, nervus peroneus, dan
nervus tibialis posterior 7.
8
KLASIFIKASI KUSTA
Klasifikasi kusta sangat penting dalam menentukan regimen
pengobatan, prognosis, komplikasi, perencanaan operasional, dan
untuk identifikasi pasien yang kemungkinan besar akan menderita
cacat. Klasifikasi kusta yang sering digunakan adalah klasifikasi
berdasarkan atas Ridley dan Jopling yang membagi kusta menjadi
lima spektrum berdasarkan pada kriteria klinis, bakteriologis,
imunologis dan histopatologis 8.
9
b. Tuberkuloid ( T )
Terdapat makula atau bercak tipis bulat tidak teratur
dengan jumlah lesi 1 atau beberapa. Permukaan kering,
kasar sering dengan penyembuhan di tengah.
Tipe Tuberculoid (T) memberikan hasil negatif pada
pemeriksaan bakteriologis, banyak pada kasus
erythematous skin lession, dan positif terhadap lepromin.
c. Bordeline ( B )
Kelainan kulit bercak lebih menebal, tidak teratur
dan tersebar. Beberapa kasus timbul dari bentuk
tuberculoid sebagai hasil reaksi ulangan. Tipe Borderline
hampir selalu memberikan hasil positif pada pemeriksaan
bakteriologis dan pada reaksi lepromin umumnya negatif.
d. Lepromatosa ( L )
Kelainan kulit berupa bercak-bercak tebal dan difus,
bentuk tidak jelas, berbentuk bintil-bintil (nodule), makula
tipis di seluruh badan dan simetris. Tipe Lepromatous
memberikan hasil positif pada pemeriksaan bakteriologis,
infiltrasi pada lesi kulit dapat dijumpai pada jumlah
banyak atau sedikit, dan negatif pada pemeriksaan
terhadap lepromin.
10
2. Klasifikasi menurut Ridley-Jopling pada tahun 1962 :
a. Tuberkuloid –tuberkuloid ( TT )
b. Bordeline – tuberkuloid ( BT )
c. Bordeline – bordeline ( BB )
d. Bordeline – lepramatosa ( BL )
e. Lepramatosa – lepramatosa ( LL )
11
Perbedaan masing-masing klasifikasi dapat dilihat pada tabel
berikut ini:
Tabel 2. Klasifikasi Kusta Ridley dan Jopling
Lesi TT BT BB BL LL
Jumlah biasanya sedikit beberapa banyak tidak
tunggal (sampai (10-30 asimetris terhitung,
(sampai dengan 10 lesi) (>30 lesi) simetris
dengan 3 lesi)
lesi)
12
3. Klasifikasi menurut WHO pada tahun 1982 yang kemudian
disempurnakan pada tahun 1997 10:
a. Paucibacillary (PB)
b. Multibacillary (MB)
13
Klasifikasi dari WHO tersebut digunakan untuk
memudahkan petugas lapangan dan berdasarkan dari jumlah
lesi kulit, yaitu kusta tipe MB terdiri atas lebih dari 5 lesi kulit
serta PB lesi tunggal (single lession paucibacillary atau SLPB),
dan PB dua hingga lima lesi kulit. Apabila didapatkan hasil IB
yang positif diklasifikasikan menjadi tipe MB tanpa
memandang jumlah lesi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3
11
.
Tabel 3. Klasifikasi Penyakit Kusta Berdasarkan WHO
Klasifikasi
klinis SLPB PB MB
Jumlah lesi
kulit Hanya 1 lesi 2- 5 lesi 6 atau lebih lesi
14
Tabel 4. Gambaran Klinis Tipe PB
Tuberkuloid
Karakteristik Borderline Indeterminate
(TT)
tuberculoid (BT) (I)
Lesi
Tipe Makula Makula dibatasi Makula
dibatasi infiltrat saja
infiltrat
15
Tabel 5. Gambaran Klinis Tipe MB
Lepromatosa
Karakteristik Borderline Mid-borderline
(LL)
lepromatosa (BL) (BB)
Lesi
16
MASA INKUBASI
Masa inkubasi kusta bervriasi antara 40 hari sampai 40
tahun, dengan rata-rata inkubasi 3-5 tahun. Masa inkubasi
berkaitan dengan pembelahan sel yang lama, yaitu antara 2-3
minggu. Di luar tubuh manusia (kondisi tropis) kuman kusta dapat
bertahan sampai 9 hari.
17
afinitas yang tinggi untuk mengikat mikroba dan menetralisir
daya infeksi dari mikroba. Beberapa antibodi mengopsonisasi
mikroba dan dikenali oleh reseptor fc fagosit yang selanjutnya
terjadi penelanan dan degradasi intraseluler mikroba 13.
18
determinan tunggal (hapten) tetapi karena molekul IgM
multivalent maka molekul ini dapat menunjukkan afinitas yang
tinggi terhadap antigen yang memiliki banyak epitop.
19
dengan reverse transcription-PCR pada nu/nu mouse-derived
M.leprae dengan menggunakan strains Thai-53 dan 4089 pada
biopsi pasien kusta. Fungsi protein ini walaupun masih belum
jelas namun keduanya memberikan respons imun mediasi
seluler selama infeksi 18,19.
20
difagosit oleh makrofag. Sel T ini penderita aktivasi untuk
mengekspresikan CD40 ligand (CD40L) yang nantinya akan
berikatan dengan CD40 pada makrofag dan akan mensekresi
sitokin terutama IFN-γ yang akan mengaktifasi makrofag 13.
21
suatu sitokin pengaktifasi makrofag, dimana limfosit T dan sel
NK mengaktivasi makrofag untuk membunuh mikroba yang
difagosit. Sitokin ini bekerja dengan meningkatkan fungsi
mikrobisidal makrofag dengan jalan merangsang pembentukan
reactive oxygen intermidiates dan nitric oxide. Molekul yang
reaktif ini diproduksi di dalam lisosom dan akan
menghancurkan mikroba yang terdapat dalam fagolisosom.
IFN-γ merangsang ekspresi molekul MHC kelas I dan kelas II
serta kostimulatori pada sel penyaji antigen. IFN-γ
menginduksin diferensiasi sel T CD4+ naïf menjadi subset Th1
dan menghambat proliferasi sel Th2. Efek penginduksi Th1
diperantarai secara tidak langsung melalui aktivasi fagosit
mononuclear untuk memproduksi IL-12, yang mana sitokin ini
merupakan penginduksi Th1. IFN-γ bekerja pada sel B untuk
menginduksi switching immunoglobulin subkelas tertentu.
IFN-γ juga mengaktifasi netrofil dan merangsang aktivasi
sitolitik sel NK 13.
22
limfosit T CD4+, karena adanya aktivasi sel T oleh antigen
yang menstimulasi transkripsi gen IL-2. Sekresi IL-2 mencapai
puncaknya sekitar 8-12 jam setelah aktivasi 13.
23
Antibodi yang terbentuk bisa bersifat spesifik maupun
bersifat non spesifik. Antibodi yang bersifat spesifik untuk
M.leprae antara lain anti phenolicglycolipid-1 (PGL-1), antibodi
anti protein 35 kD , 16 kD dan juga anti L ESAT 6 kD. Sedangkan
untuk antibodi yang tidak spesifik antara lain adalah antibodi anti
lipoarabinomanan (LAM) yang juga dihasilkan oleh kuman
M.tuberculosis 12.
24
Pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita, yakni
selaput lendir hidung. Tetapi ada yang mengatakan bahwa
penularan penyakit kusta adalah:
1. Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung
penderita yang sudah mengering, diluar masih dapat hidup 2–
7 x 24 jam.
2. Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus ada
lesi baik mikoskopis maupun makroskopis dan adanya kontak
yang lama dan berulang-ulang.
25
darah dan apusan hidung dari kelompok subklinis penderita kusta
menunjukkan bahwa proses infeksi oleh M.leprae sedang terjadi
24
.
26
BAGIAN 2
STADIUM
KUSTA SUBKLINIS
DEFINISI KUSTA SUBKLINIS
Kusta subklinis adalah suatu keadaan apabila seseorang sudah
terinfeksi oleh M.leprae, tetapi belum menampakkan gejala klinis
25
. Pada kondisi subklinis ini tidak dijumpai adanya lesi sehingga
terlihat sehat, tetapi ditemukan antibodi spesifik terhadap
M.leprae pada pemeriksaan serologisnya dengan kadar IgM anti
PGL-1 di atas 605 U/ml26,27.
28
Tabel 6. Prevalensi Kusta Subklinis di Beberapa Daerah 30,31
Peneliti Metode Lab Populasi n Hasil
Abe (1978) FLA-ABS Narakontak di Jepang 43 88,4%
Bhagsawe (1990) ELISA Penduduk desa di Papua 903 15,0%
Nugini
Izumi (1990) MLPA Narakontak serumah 70 7,1%
dan sepekerjaan
Soebono (1992) ELISA Narakontak kusta umur 803 9,2%
10-19 tahun di Sulawesi
Selatan dan Jawa
Tengah
Amiruddin(1993) MLPA Narakontak kusta di 125 36,0%
Ujung Pandang
Tjempakawati MLPA Narakontak kusta di 56 35,7%
(1995) Surabaya
Moch Irfan Hadi ELISA Narakontak kusta di 95 50%
(2017) Lamongan
29
makrofag. Beberapa saat setelah terjadi infeksi tidak terlihat
adanya lesi yang merupakan tanda infeksi. Hal ini yang
dinamakan dengan infeksi subklinis, suatu tahap yang akan
menjadi tahap klinis atau berhenti tanpa adanya gejala klinis 32.
30
Infeksi Kusta subklinis Berlanjut
menuju menjadi penyakit
M.lepraegejala klinis menetap Lepromatosa
(LL)
Borderline
(BB)
Tuberkuloid
(TT)
Atau kusta Atau
subklinis sembuh
sembuh/bera
khir tanpa
gejala
31
1. Pemeriksaan bakteriologis
Basil tahan asam atau BTA dapat ditemukan pada kulit
maupun urin narakontak. BTA yang ditemukan pada sediaan
apus kulit kasus kusta subklinis memberikan masukan
pendapat bahwa kemungkinan orang ini sangat berperan dalam
penularaan penyakit.
2. Pemeriksaan Epidemiologis
Pemeriksaan epidemiologis dapat dilakukan untuk
menentukan peningkatan proporsi BTA positif dari cuping
telinga narakontak yang terlihat sehat33.
3. Pemeriksaan Imunologis
Imunitas seluler dapat dinilai dengan pemeriksaan in vitro
maupun in vivo. Beberappa uji serologis juga dapat digunakan
untuk mengetahui antibodi yang tumbuh di tubuh dikarenakan
kuman M.leprae 34,35,36.
32
a. Lymphocyte transformation test (LTT)
LTT merupakan uji in vitro yang digunakan untuk
menguji keaktifan sel limfosit T. Apabila imunitas
seseorang baik maka limfosit yang dirangsang dengan
antigen nonspesifik phytohaemagglutinin (PHA) akan
mengalami transformasi menjadi sel-sel blas yang
berukuran besar.
b. Uji lepromin
Uji ini merupakan suatu uji in vivo yang digunakan
untuk menilai keaktifan limfosit T yang berupa reaksi
hipersensitif tipe lambat terhadap antigen M.leprae37.
33
lipat siku. Penilaian reaksi dilakukan setelah 48-72 jam
(tes Fernandez) dan setelah 4 minggu (tes Mitsuda).
Reaksi Fernandez positif menunjukkan adanya
hipersensitivitas tipe lambat terhadap M.leprae. Reaksi
Mitsuda menilai kemampuan menimbulkan respon
imunitasseluler terhadap M.leprae39. Reaksi Mitsuda tidak
untuk diagnosa kusta karena hasilnya sering positif pada
orang sehat yang tinggal di daerah endemik33,38.
34
Bharadway juga mendapatkan hasil tes ini positif 83-
88% pada kontak dengan penderita lepromatosa dan 46%
pada kontak non-lepromatosa sehingga tes ini baik untuk
deteksi kusta subklinis. Kekurangan dari tes ini adalah
memerlukan peralatan yang mahal, proses yang rumit dan
membutuhkan tenaga yang terlatih39.
35
kemungkinan infeksi kusta subklinis. Didapatkan hasil
positif 90-100% pada lepromatosa murni (LL) dan
borderline lepromatosa (BL), sedangkan pada kasus
borderline tuberkuloid (BT) dan tuberkuloid murni (TT)
didapatkan hasil sebesar 20-30%. Narakontak sehat di
daerah endemik rata-rata menunjukkan hasil seropositif
sebesar 25-35% 34,41.
36
Tes MPLPA dapat dipergunakan untuk mendeteksi
infeksi subklinik, mengevaluasi respon pengobatan,
mendeteksi adanya kekambuhan dan mengetahui kadar
antibodi spesifik terhadap tes kusta. Tes ini menunjukkan
korelasi positif dengan kadar antibodi IgM. Hasil tesnya
juga setara dengan pemeriksaan antibodi anti PGL-1 secara
ELISA 42,43.
37
BAGIAN 3
FAKTOR RISIKO
KUSTA STADIUM
SUBKLINIS
Kusta stadium subklinis biasa terjadi pada seorang
narakontak. Narakontak adalah orang yang pernah terpapar atau
kontak dengan penderita kusta.
39
FAKTOR RISIKO KUSTA SUBKLINIK
Terjadinya kusta stadium subklinik dipengaruhi oleh beberapa
faktor risiko, antara lain adalah:
1. Agen
Agen dalam penyakit kusta adalah kuman Mycobacterium
leprae. Kuman yang satu genus dengan kuman TB ini dapat
bertahan hidup pada tempat yang sejuk, lembab, gelap tanpa
sinar matahari sampai bertahun-tahun lamanya. Kuman
tuberculosis dan leprae jika terkena cahaya matahari akan mati
dalam waktu 2 jam dan akan tumbuh dengan subur pada
lingkungan dengan kelembaban yang tinggi.
Kelembaban udara yang meningkat merupakan media
yang baik untuk bakteri-bakteri patogen termasuk yang
memiliki rentang suhu yang disukai, merupakan bakteri
mesofilik yang tumbuh subur dalam rentang 25-400C, tetapi
akan tumbuh secara optimal pada suhu 31-370C.
2. Host
Manusia merupakan reservoir untuk penularan kuman
seperti Mycobacterium tuberculosis dan morbus Hansen,
kuman tersebut dapat menularkan pada 10-15 orang. Menurut
45
penelitian pusat ekologi kesehatan , tingkat penularan kusta
di lingkungan keluarga penderita cukup tinggi, seorang
40
penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang di
dalam rumahnya. Apabila ventilasi rumah baik, kuman ini
dapat hilang terbawa angin dan akan lebih baik jika ventilasi
ruangannya menggunakan pembersih udara yang bisa
menangkap kuman.
Host manusia ini mempunyai karakteristik yang dapat
dilihat dari faktor umur, jenis kelamin, pekerjaan , keturunan,
pekejaan, ras dan gaya hidup, gizi atau daya tahan tubuh,
pertahanan tubuh, hygiene pribadi, gejala dan tanda penyakit
serta pengobatan.
3. Environment
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar diri
host baik benda mati, benda hidup, nyata atau abstrak, seperti
suasana yang terbentuk akibat interaksi semua elemen-elemen
termasuk host yang lain. Lingkungan terdiri dari lingkungan
fisik dan non fisik.
Lingkungan fisik terdiri dari keadaan geografis,
kelembaban udara, suhu dan lingkungan tempat tinggal.
Sedangkan lingkungan non fisik meliputi: sosial (pendidikan,
pekerjaan), budaya (adat, kebiasaan turun temurun), ekonomi
(kebijakan mikro dan local) dan politik (kebijakan pencegahan
dan penanggulangan suatu penyakit).
41
Faktor Risiko Karakteristik Narakontak
Stadium Subklinis
1. Umur
Hampir semua kejadian suatu penyakit dipengaruhi oleh
umur. Pada penyakit kronik seperti kusta diketahui dapat
terjadi pada semua umur, berkisar antara bayi sampai umur
tua (3 minggu sampai lebih dari 70 tahun). Namun, yang
terbanyak adalah pada umur muda dan produktif. Selama ini
penelitian-penelitian hanya membahas prevalensinya saja,
bukan insedennya dikarenakan sulit untuk mengetahui waktu
dimulainya penyakit kusta.
Pada dasarnya kusta dapat menyerang semua umur,
tetapi anak–anak lebih rentan terkena penyakit kusta
dibandingkan dengan orang dewasa. Frekuensi tertinggi pada
orang dewasa ialah umur 25-35 tahun, sedangkan pada
kelompok anak adalah umur 10-15 tahun 1,46.
Hal ini diperkuat oleh penelitian Adriaty pada tahun
2008, yang ingin mengetahui angka seropositifitas kusta pada
murid sekolah dasar di pantai utara dan pantai selatan Jawa
Timur47. Penelitian ini membandingkan angka seropositifitas
kusta pada anak sekolah dasar antara daerah endemis tinggi di
pantai utara jawa yaitu Lamongan dengan daerah endemis
42
rendah di Pacitan Jawa Timur. Hasil penelitian ini adalah
bahwa di pantai utara Jawa Timur, angka kejadian penderita
kusta subklinik masih cukup tinggi, yang berarti potensi
timbulnya penderita kusta baru dimasa yang akan datang
masih cukup tinggi.
Selain angka prevalensi yang menjadi tolok ukur dari
program pemberantasan kusta, parameter yang tidak kalah
penting adalah angka penemuan kasus baru (CDR).
Berdasarkan hasil dari penemuan kasus baru (CDR) dapat
diketahui bahwa program eradikasi dari penyakit kusta
dengan pengobatan rejimen “MDT” dari WHO belum
48,49,50
mencapai hasil yang maksimal . Karena secara teori
apabila penderita sudah mendapatkan pengobatan, seharusnya
yang bersangkutan tidak lagi menjadi sumber penularan dari
kuman M.leprae 51.
Secara nasional target eliminasi atau penurunan jumlah
kasus penyakit kusta sudah dicapai sejak tahun 2000 dengan
angka prevalensi (jumlah kasus lama dan baru) kurang dari
satu per 10.000 penduduk. Tetapi, hal itu tidak terjadi di 12
provinsi yang terdiri dari 140 kabupaten/ kota yang tergolong
endemik kusta. Kasus baru selalu saja ditemukan di berbagai
tempat.
43
Sejak tahun 2000 rata-rata per tahunnya tak kurang dari
15.000 penderita kusta baru terdeteksi oleh petugas
kesehatan. Secara keseluruhan jumlah penderita kusta tahun
2005 diperkirakan mencapai minimal 21.000 kasus.
Angka kecacatan yang ditimbulkan belum juga turun dari
8 persen per tahun. Sepuluh persen di antaranya adalah pada
umur anak-anak karena penularan kusta terkait dengan daya
tahan tubuh. Anak-anak satu setengah kali lebih mudah
terpapar dibandingkan dengan orang dewasa 3.
2. Jenis Kelamin
Penyaklit kusta dapat menyerang semua orang, tetapi
hubungan perbedaan jenis kelamin terhadap timbulnya
penyakit kusta belum dapat dipastikan. Laki-laki lebih banyak
terkena dibandingkan dengan wanita, dengan perbandingan
2:1, walaupun ada beberapa daerah yang menunjukkan
penderita wanita lebih banyak 3.
Sebagian besar Negara di dunia kecuali dibeberapa
Negara di Afrika menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak
terserang kusta dari pada wanita. Rendahnya kejadian kusta
pada wanita disebabkan karena beberapa faktor, seperti faktor
lingkungan dan faktor biologis 52.
44
Tarusaraya juga mengungkapkan bahwa tingkat
kecacatan pada laki-laki lebih besar daripada wanita53. Hal ini
berkaitan dengan faktor pekerjaan, kebiasaan keluar rumah,
dan merokok. Ghimire juga melakukan penelitian di Nepal
dengan hasill 67% wanita mengalami kecacatan sekunder52.
3. Pendidikan
Status pendidikan berhubungan dengan tindakan
mencari pengobatan. Tingkat pendidikan yang rendah
menyebabkan seseorang menjadi lebih lambat dalam
mendiagnosa penyakit dan mencari pengobatan.
Berdasarkan penelitian dari Maria Christina pada tahun
2009 menunjukkan bahwa responden yang mempunyai
tingkat pendidikan rendah akan mempunyai risiko terkena
kusta 7,405 kali lebih besar dibandingkan dengan yang
mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi.
4. Personal Hygiene
Personal hygiene (kebersihan perseorangan)
merupakan tindakan pencegahan yang menyangkut tanggung
jawab individu untuk meningkatkan kesehatan serta
membatasi menyebarnya penyakit menular terutama yang
ditularkan melalui kontak langsung seperti halnya kusta 54.
45
M.leprae hanya dapat menyebabkan penyakit kusta
pada manusia dan tidak pada hewan kecuali armadillo.
Penularannya adalah melalui kontak yang lama karena
pergaulan yang rapat dan berulang–ulang, karena itu penyakit
kusta dapat dicegah dengan perbaikan personal hygiene atau
kebersihan pribadi 3.
Penularan penyakit kusta belum diketahui secara pasti,
tetapi menurut sebagian ahli melalui saluran pernafasan dan
kulit (kontak langsung yang lama dan erat), kuman mencapai
permukaan kulit melalui folikel rambut, kelenjar keringat, dan
diduga melalui air susu ibu. Pencegahan penyakit kusta dapat
dilakukan dengan meningkatkan personal hygiene,
diantaranya pemeliharaan kulit, pemeliharaan rambut, dan
kuku. Karena penularan kusta sangat dipengaruhi oleh kontak
langsung dengan kulit dan folikel rambut, sehingga perlu
dijaga kebersihannya3,55.
46
dikaitkan dengan rendahnya produksi makanan bergizi,
seperti susu dan gandum. Pertengahan kedua abad 19 nutrisi
sudah membaik dan pendapatan perkapita juga meningkat
sehingga membuat insiden infeksi M.Leprae di Norwegia
berkurang57.
47
60
natural killer T cell cytotoxycity . Seng dibutuhkan oleh
manusia maupun bakteri pathogen untuk proliferasi. Jadi
penurunan kadar seng plasma selama infeksi fase akut
merupakan suatu mekanisme pertahanan tubuh manusia 58.
Sel B lymphocytes dan prekusornya (khususnya pre- B
dan sel B immature) berkurang jumlahnya selama defisiensi
seng. Sedangkan perubahan pada sel B lymphocytes yang
matang hanya sedikit. Kadar seng yang rendah tidak
berpengaruh terhadap status siklus sel precursor B dan hanya
sedikit berpengaruh pada siklus sel pro- B 61. Jadi lebih sedikit
sel B naïve selama defisiensi seng yang dapat berinteraksi
terhadap neoantigen. Berkenaan dengan jumlah sel T yang
juga berkurang selama defisiensi seng dan sebagian besar
antigen bergantung pada sel T, sangatlah mungkin pada
kondisi defisiensi seng tubuh tidak dapat memproduksi
antibodi sebagai respon terhadap neoantigen. Asumsi ini
konsisten dengan temuan yang menunjukkan produksi
antibody B-lyphocytes terganggu selama deplesi seng.
Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa produksi antibodi
sebagai respon terhadap antigen yang tergantung pada sel T
lebih sensitive terhadap defisiensi seng dibandingkan
produksi antibodi sebagai respon terhadap antigen yang tidak
tergantung pada sel T 62.
48
Seng berpengaruh tidak hanya pada sel NK tapi juga
terhadap aktifitas cytolytic T cells. Jumlah CD8+, CD73+ T
lymphocytes menurun selama defesiensi seng. Sel tersebut
merupakan precursor cytotoxic T lymphocytes dan CD73+
diketahui berperan untuk pengenalan antigen dan proliferasi.
Seng berperan pada perkembangan sel T sebab defisiensi
seng bertanggung jawab terhadap atropi timus. Thymulin
adalah suatu hormon yang diproduksi timus dan dikeluarkan
melalui sel epitel timus. Seng merupakan kofaktor penting
dari thymulin. Hal tersebut tidak saja mengatur diferensiasi
penderita sel-sel T belum matang di timus dan sel-sel T yang
matang di perifer, namun juga memodulasi pengeluaran
sitokin peripheral blood mononuclear cells (PBMC),
menginduksi proliferasi sel T CD8+ dalam kombinasinya
dengan IL-2 dan memastikan ekspresi reseptor berafinitas
63
tinggi dari IL-2 terhadap sel T yang matang . Selain itu,
selain sel T sitotoksik, sel T helper (CD4+) dipengaruhi juga
oleh defisiensi seng yang mengakibatkan ketidakseimbangan
fungsi Th1 dan Th2. Produk Th2 seperti IL-4, IL-6 dan IL-10
tidak berubah selama kondisi defisiensi seng, sedangkan IFN-
γ dan IL-2 yang diproduksi Th1 menurun. Produksi IFN-γ
dan IL-2 dapat dikoreksi dengan suplementasi seng 64.
49
Pada kondisi kusta subklinis yang mengalami
defisiensi seng marjinal di daerah yang endemis kusta belum
dapat meningkatkan kadar IFN-γ dan IL-2. Namun
suplementasi dalam jangka waktu dan kelompok penelitian
ini hanya mampu memodulasi sel limfosit untuk
mempertahankan kadar IFN-γ dan IL-2 agar tidak semakin
menurun jika dibandingkan kelompok kontrol dari penelitian
65
.
7. Riwayat Kontak
Kusta merupakan penyakit infeksius, tetapi derajat
infektivitasnya rendah, waktu inkubasinya panjang dan
kebanyakan pasien sudah mendapatkan infeksi pada waktu
masa anak-anak. Penyakit ini timbul akibat kontak fisik yang
erat dengan pasien yang terinfeksi dan menjadi lebih berat
apabila terjadi kontak dengan kasus lepromatosa. Sekret
hidung merupakan sumber utama terjadinya infeksi di
masyarakat6.
8. Lama Kontak
Meskipun cara penularannya belum pasti, tetapi
penularan di dalam rumah tangga dan kontak yang dekat
67
dalam waktu yang lama akan berperan dalam penularan
50
karena penyakit kusta ini mempunyai masa inkubasi selama
2-5 tahun dan dapat juga terjadi selama bertahun-tahun68.
9. Suhu Kamar
Di dalam sekret kering dengan temperatur dan
kelembaban yang bervriasi, M.leprae dapat bertahan hidup 7-
9 hari, sedangkan pada temperatur kamar dibuktikan dapat
bertahan hidup sampai 46 hari 61.
Ketentuan kualitas udara di dalam rumah khususnya suhu
udara dikatakan nyaman apabila berkisar 180 sampai 300 C 70.
M.leprae yang bertahan hidup lama dalam temperatur kamar
dapat mempertinggi risiko penularan kusta antar anggota
keluarga yang menderita penyakit kusta.
Penelitian in vivo pada tikus didapatkan hasil bahwa
pertumbuhan optimal adalah pada suhu 270-300 C, hal ini
berarti M.leprae dapat hidup dengan ketentuan suhu udara
yang nyaman yang telah ditetapkan oleh pemerintah 68.
51
berat (pekerja bangunan, buruh, tukang batu, pekerja bengkel,
penjahit, buruh angkut, pembantu, petani dan nelayan).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nur Laily
Af’idah tentang analisis faktor risiko kejadian kusta di
Kabupaten Brebes tahun 2010, didapatkan hasil prosentase
jenis pekerjaan yang berisiko kusta sebesar 85,5% dan yang
tidak berisiko sebesar 14,5% sehingga orang dengan
pekerjaan yang berat akan lebih berisiko tertular kusta 71.
11. Genetik
Faktor genetik telah lama dipertimbangkan karena
mempunyai peranan besar untuk terjadinya penyakit kusta
pada kelompok tertentu. Peranan faktor genetik terhadap
penyakit kusta belum dapat dijelaskan secara pasti, tetapi
respon yang terjadi akibat adanya M.leprae dapat sangat
berbeda karena di bawah kontrol genetik. Faktor genetik yang
berperan salah satunya adalah berada di bawah sistem Human
Leucocyte Antigen (HLA)72.
52
bahwa subyek kontrol dengan vaksinasi BCG menunjukkan
penurunan yang drastis dari 9,8/1000 pertahun menjadi
0,9/1000 per tahun 74.
Penambahan kuman M.leprae yang dimatikan ke dalam
vaksinasi BCG belum dapat meningkatkan perlindungan yang
diberikan dibandingkan dengan pemberian BCG secara
tunggal. Perlindungan yang diberikan oleh vaksin BCG akan
maksimal apabila diberikan sebelum usia penderita 15
tahun72. Sebuah penelitian di India menunjukkan hasil bahwa
responden yang tidak memiliki skar BCG terkena penyakit
kusta lebih tinggi (6,7/1000) dibandingkan dengan responden
yang mempunyai skar BCG (5,5/1000).
53
BAGIAN 4
DETERMINAN
KUSTA SUBKLINIS
PADA ANAK
Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa anak-anak
merupakan kelompok risiko tinggi dari penularan penyakit kusta
karena pada masa anak-anak masih mempunyai sistem imunitas
yang belum sempurna perkembangannya, kurangnya pengetahuan
dan status gizi yang masih kurang juga mempengaruhi
penularannya75.
55
kusta pada anak di antara kasus baru kusta menunjukkan tingginya
penularan kusta di masyarakat75.
56
Anak-anak tersebut masih terlihat sehat dan tidak
menunjukkan gejala klinis, tetapi pada pemeriksaan serologisnya,
didapatkan hasil kadar IgM anti PGL-1 di atas 605 U/ml.
57
BAGIAN 5
PENCEGAHAN
DAN PENANGANAN
KUSTA
Penyakit kusta masih menjadi masalah yang serius karena
dapat menimbulkan kecacatan. Cacat kusta terjadi akibat
gangguan fungsi saraf pada mata, tangan atau kaki. Semakin
panjang waktu penundaan dari saat pertama ditemukan tanda dini
hingga dimulainya pengobatan, makin besar risiko timbulnya
kecacatan akibat terjadinya kerusakan saraf yang progresif. Hal ini
menyebabkan diagnosis dini dan pengobatan harusnya dapat
mencegah terjadinya komplikasi jangka panjang68.
59
cacat kusta. Kerusakan saraf yang terjadi kurang dari 6 bulan, bila
diobati prednison dengan tepat, tidak akan terjadi kerusakan saraf
yang permanen (fungsi saraf masih refersibel). Bila kerusakan
saraf ini sudah terlanjur menjadi cacat permanen maka yang dapat
dilakukan adalah upaya pencegahan cacat agar tidak bertambah
berat 68.
60
b. Bukalah jendela rumah agar sirkulasi udara serta suhu di
dalam ruang tetap terjaga agar terhindar berkembangnya
M.leprae di dalam rumah .
61
c. Enam dari tujuh kasus kusta tidaklah menular pada orang lain
d. Kasus-kasus menular tidak akan menular setelah diobati kira-
kira 6 bulan secara teratur 1.
62
5. Rehabilitasi penderita kusta.
63
negara, dan tidak menjadi beban pemerintah. Kegiatan
penderita terpadu pengelolaan pasien kusta dilakukan sejak
diagnosis ditegakkan. Rehabilitasi medis dan rehabilitasi
sosial merupakan satu kesatuan kegiatan yang dikenal sebagai
rehabilitasi paripurna.
64
Bila kasus dini, upaya rehabilitasi medis lebih bersifat
pencegahan kecacatan. Bila kasus lanjut, upaya rehabilitasi
difokuskan pada pencegahan handicap dan mempertahankan
kemampuan fungsi yang tersisa. Beberapa hal yang harus
dilakukan oleh pasien adalah :
1) Pemeliharaan kulit harian
a) cuci tangan dan kaki setiap malam sesudah bekerja dengan
sedikit sabun (jangan detergen)
b) rendam kaki sekitar 20 menit dengan air dingin
c) kalau kulit sudah lembut. Gosok kaki dengan karet busa
agar kulit kering terlepas.
d) kulit digosok dengan minyak.
e) secara teratur kulit diperiksa (adakah kemerahan, hot spot,
nyeri, luka dan lain-lain)
65
b) Kaki
(1) selalu pakai alas kaki
(2) batasi jalan kaki, sedapatnya jarak dekat dan perlahan
(3) meninggikan kaki bila berbaring
3) Latihan fisioterapi
Tujuan latihan adalah :
a) Cegah kontraktur
b) Peningkatan fungsi gerak
c) Peningkatan kekuatan otot
d) Peningkatan daya tahan (endurance)
4) Bidai
Pembidaian penderita dapat dilakukan untuk jari dan
pergelangan tangan agar tidak terjadi deformitas. Bidai
dipasang pada anggota gerak fungsional saat timbul reaksi
penyakit. Bidai dapat mengurangi nyeri dan mencegah
kerusakan saraf. Dianjurkan memakai bidai yang ringan yang
dipakai sepanjang hari, kecuali pada waktu latihan lingkup
gerak sendi.
66
6) Program terapi okupasi merupakan program yang sangat
penting untuk mempertahankan dan meningkatkan
kemampuan menolong diri, tetapi perlu diingat hal-hal yang
harus diperhatikan untuk melindungi alat gerak dari bahaya
pekerjaan rumah tangga. Alat bantu khusus dapat dibuat
untuk kemudahan bekerja, sesuai dengan deformitas pasien.
2. Rehabilitasi Nonmedik
Meskipun penyakit kusta tidak menyebabkan kematian
penderita, namun penyakit ini termasuk penyakit yang paling
ditakuti di seluruh dunia. Penyakit ini sering kali
menyebabkan permasalahan yang sangat kompleks bagi
penderita kusta itu sendiri, keluarga, dan masyarakat. Pada
penyakit kusta ini dikenal 2 jenis cacat yaitu cacat psikososial
dan cacat fisik.
67
yang berlebihan terhadap penderita yang melihatnya. Akibat
hal-hal tersebut di atas, meskipun penderita kusta telah
diobati dan dinyatakan sembuh secara medis, akan tetapi bila
fisiknya cacat, maka predikat kusta akan tetap melekat untuk
seluruh sisa hidup penderita, sehingga akan dijauhi oleh
masyarakat di sekitarnya.
68
Masalah psikososial yang timbul pada penderita kusta
lebih menonjol dibandingkan dengan masalah medisnya
sendiri. Hal ini disebabkan oleh karena adanya stigma
leprofobi yang banyak dipengaruhi oleh berbagai paham
keagamaan, serta informasi yang keliru tentang penyakit
kusta. Sikap dan perilaku masyarakat yang negatif terhadap
penderita kusta seringkali menyebabkan penderita kusta tidak
mendapatkan tempat di dalam keluarganya dan masyarakat
lingkungannya.
69
dari penderita agar berobat teratur dan menyelesaikan secara
tuntas program pengobatan yang telah dianjurkan.
70
seperti penyakit kusta, harus ditangani sedini mungkin dan
secara adekuat untuk mencegah terjadinya cacat kusta.
Andaikata cacat kusta telah terjadi, maka upaya rehabilitasi
untuk mencegah berlanjutnya cacat harus segera dilakukan.
3. Rehabilitasi Mental
Seperti telah dijelaskan, setiap penderita yang dinyatakan
menderita penyakit kusta akan mengalami kegoncangan jiwa
dan masing-masing mempunyai cara sendiri untuk bereaksi
terhadap keadaan ini. Ada yang segera dapat menerima
keadaan ini dan segera mancari pertolongan medis, ada pula
71
yang berusaha menolak kenyataan dengan mencari
pertolongan alternatif termasuk berobat pada dukun, tabib dan
sebagainya. Dan ada pula yang merasa rendah diri mengalami
depresi, menyendiri, menyembunyikan dirinya karena malu,
dan ada pula yang berfikir untuk melakukan tindakan bunuh
diri.
72
dinyatakan sembuh secara medis. Informasi yang perlu
disampaikan antara lain sebagai berikut:
a) Hal-hal yang berkaitan dengan stigma dan leprofobi
b) Masalah psikososial kusta
c) Komplikasi, misalnya neuritis dan reaksi yang sering
sekali timbul selama proses pengobatan dan setelah
pengobatan selesai.
d) Proses terjadinya cacat kusta dan berlanjutnya cacat
tersebut.
e) Peran serta masyarakat pada penanggulangan penyakit
kusta.
f) Masalah rujukan dan rumah sakit rujukan.
g) Dan lain-lain yang dianggap perlu, misalnya rehabilitasi,
berbagai upaya kesehatan terhadap penyakit kusta.
73
Petugas kesehatan, baik tenaga medis maupun paramedis
harus dibekali dengan pengatahuan kusta yang memadai
supaya terampil dalam memberikan penyuluhan kusta dengan
baik dan bermanfaat. Bimbingan mental ini harus didukung
juga oleh partisipasi aktif dari pemuka masyarakat dan
pemuka agama pada setiap kesempatan yang ada.
74
bertambah berat karena diperlukan rehabilitasi medis dan
nonmedis yang lebih kompleks dan biaya yang lebih besar.
Hal ini akan menjadi beban bagi negara dan bangsa.
4. Rehabilitasi Karya
Tidak semua penderita kusta dapat bekerja seperti semula
ketika sudah sembuh, apalagi bila pekerja terlanjur
mengalami cacat fisik. Walaupun telah diupayakan
75
rehabilitasi medis dan dinyatakan sembuh dari penyakitnya,
mantan penderita tidak dapat melakukan pekerjaan yang sama
seperti sedia kala. Dalam banyak hal adanya stigma atau
leprofobia akan menyebabkan penderita (mantan) kerap kali
menghadapi kendala sosial, sehingga perlu mengganti jenis
pekerjaan untuk memugkinkan mencari nafkah bagi diri dan
keluarganya. Adanya hilang rasa (anastesi) pada palmar atau
plantar menyebabkan pekerjaan tertentu harus dihindari.
5. Rehabilitasi Sosial
Rehabilitasi sosial bertujuan memulihkan fungsi social
ekonomi penderita. Hal ini sangat sulit dicapai oleh penderita
sendiri tanpa partisipasi aktif dari masyarakat di sekitarnya.
Rehabilitasi social bukanlah bantuan social yang harus
diberikan secara terus menerus, melainkan upaya yang
76
bertujuan untuk menunjang kemandirian penderita. Upaya ini
dapat berupa :
a) Memberikan bimbingan sosial.
b) Memberikan peralatan kerja.
c) Memberikan alat bantu cacat, misalnya kursi roda atau
tongkat jalan.
d) Memberikan bantuan penempatan kerja yang lebih sesuai
dengan keadaan cacatnya.
e) Membantu membeli/ memakai hasil-hasil usaha penderita
f) Membantu pemasaran hasil-hasil usaha penderita.
g) Memberikan bantuan kebutuhan pokok, misalnya pangan,
sandang, papan, jaminan kesehatan, dan sebagainya.
h) Memberikan permodalan bagi usaha wiraswasta.
i) Memberikan bantuan pemulangan ke daerah asal.
j) Memberikan bimbingan mental/ spiritual.
k) Memberikan pelatihan ketrampilan/ magang kerja dan
sebagainya.
77
dipakai oleh masyarakat. Tanpa partisipasi, maka segala usaha
tersebut tidak akan berhasil 1.
78
DAFTAR PUSTAKA
79
7. World Health Organization. A guide to eliminating leprosy
as a public health problem, 2nd ed. Geneva, 1997
13. Abbas AK., Lichtman AH., Pober JS. 2007. Cellular and
Molecular Immunology. 7th ed. WB. Saunders Co.
Philadelphia.p.348-351.
80
15. Lee, LA. 2003. Immunoglobulin Structure and Fuction.
Dalam: Freedberg IM., Eisen AZ., Wolff K., Austen KF.,
Goldsmith LA., Katz SI, ed. Fitzpatrick’s Dermatology in
General Medicine. Edisi ke-6. New York: The Mcgraw-
Hill Companies, inc. 281-284
81
21. Abbas AK., Lichtman AH. 2010. Basic Immunology,
Function and Disorders of the Immune System. Third
Edition. Philadelphia: Saunders Elsevier.
82
28. Izumi S., Matsuoka M., Saeki K., Kawatsu K. 2002. An
epidemiological study on Mycobacterium leprae and
prevalence of leprosy. J Clin Microbiol. 32: 2430-2435.
83
35. Buchanan T.M. serology in Leposry, In: Hasting RC,ed.
Leprosy. 2nd ed. Edinburg: Churchill Livingstone 1994:
168-78
84
42. Izumi S. Subclinical Infection by Mycobacterium
Leprae.International Journal of Leprosy.1999,67 (4)
(suppl):S67-71
85
48. Dogra S, Narang T, Kumar B. 2013. Leprosy - evolution
of the path to eradication. Indian J Med Res 137, halaman
15-35
52. Moet FJ., Meima A., Oskam L., Richardus JH. 2004. Risk
Factors for the Development of Clinical Leprosy Among
Contacts, and Their Relevance for Targeted Interventions.
Lepr Rev. 75: 310-320.
86
56. Noordeen SK. 1994. The Epidemiology of Leprosy In:
Hasting, Robert C 8th Churchil Livingstone. Edinburg: p
29-43.
61. King JC., Fraker PJ. 2000. Variation in The Cell Cycle
Status of Lymphopoietic and Myelopoietic Cells Created
by Zink Deficiency. J. Infect. Dis. 182: S16-S22.
87
65. Rahfiludin, Mohammad Zen. 2010. Analisis Suplementasi
Seng Terhadap Respon Imun Penderita Seropositif Kusta.
Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga, Surabaya.
Disertasi
88
73. Russell DG, Mwandumba HC, Rhoades EE. 2002.
Mycobacterium and the coat of many lipids. J Cell Biol
158(3):421-426.
74. Rea TH, Modlin RL. Leprosy. In: Freedberg IM,Einsen
AZ, Austen Kf et al,editors. Fitzpatrick’s Dermatology in
General Medicine.6th ed. New York: MacGraw Hill
Inc.2003:1926-5958.
89
80. Wilujeng TP, Agusni I. BCG Dalam Penyakit Kusta.
Berkala Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 1999,11:35-51
90
BIOGRAFI PENULIS
Dr. Moch. Irfan Hadi, S.KM., M.KL lahir di Tulungagung, 24 April 1986.
Menyelesaikan pendidikan Sarjana Kesehatan Masyarakat (S1) di Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga pada tahun 2008. Pendidikan S2
Kesehatan Lingkungan di Universitas Airlangga diselesaikan pada tahun 2010
dan gelar Doktornya ditempuh di Universitas Airlangga program studi Ilmu
Kesehatan pada tahun 2017.
Sekarang penulis mengajar di Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya. Beberapa Pengalaman
Riset yang pernah dilakukan: Analisis Kualitas Air Susu Sapi Segar Serta
Faktor Yang Mempengaruhi: Studi Pada KUD Tani Wilis Kabupaten
Tulungagung, 2008; Hubungan Pencemaran Lindi Dan Konsumsi Ikan Dengan
Kadar Kadmium Dalam Darah Pada Konsumen Di Dukuh Jawar Kelurahan
Tambak dono Kecamatan Pakal Surabaya, 2009; Protein Profile Gene L-Esat-
6 Mycobacterium Leprae As A Candidate Of Diagnostic Tool For Early
Detection On Leprosy, 2016; Antibodi Anti IDALLE L-Esat 6 Sebagai Faktor
Determinan Kusta Stadium Subklinis Pada Narakontak Serumah Di Daerah
Endemis, 2017. Penulis juga aktif berpartisipasi dalam riset skala nasional yang
dilaksanakan oleh Badan Penelitian dan pengembangan Kesehatan
(BALITBANGKES) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia diantaranya
Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013, Riset Pembiayaan Kesehatan di
ERA JKN tahun 2015, Riset Penyakit Tidak Menular (PTM) Tumor Payudara
dan Lesi Pra Kanker Serviks 2016 serta riset Ketenagaan di Bidang Kesehatan
(RISNAKES) 2017.
Selain penelitian dan mengajar, penulis juga aktif dalam organisasi
profesi diantaranya pengurus Perhimpunan Sarjana dan Profesional Kesehatan
Masyarakat Indonesia (PERSAKMI) dan Himpunan Ahli Kesehatan
Lingkungan Indonesia (HAKLI).
Mei Lina Fitri Kumalasari., M.Kes, lahir di Wonogiri, 18 Mei 1988 dan saat
ini tercatat sebagai Dosen di Fakultas Kesehatan dan Psikologi Universitas
Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. Penulis menyelesaikan sarjana kebidanan
di Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta pada tahun 2010 dan
menyelesaikan magister kesehatan di Universitas Sebelas Maret (UNS)
Surakarta pada tahun 2013.
Penulis menaruh minat terhadap kesehatan reproduksi serta kesehatan ibu
dan anak. Selain itu, penulis juga aktif dalam beberapa penelitian, seperti
penelitian mandiri dan hibah penelitian serta aktif berpartisipasi dalam riset
skala nasional, yaitu Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2018 yang
dilaksanakan oleh Badan Penelitian dan pengembangan Kesehatan
(BALITBANGKES) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Penulis
dapat dihubungi di email: meilinav3@gmail.com