Anda di halaman 1dari 99

KUSTA STADIUM

SUBKLINIS
Faktor Risiko dan Permasalahannya
KUSTA STADIUM SUBKLINIS
Faktor Risiko dan Permasalahannya

Dr. Moch. Irfan Hadi, M. KL


Mei Lina Fitri Kumalasari, M.Kes

PENERBIT
PROGRAM STUDI ARSITEKTUR
UIN SUNAN AMPEL
KUSTA STADIUM SUBKLINIS
Faktor Risiko dan Permasalahannya

Penulis:
Dr. Moch. Irfan Hadi, M. KL
Mei Lina Fitri Kumalasari, M.Kes

ISBN: 978-602-50337-3-5

Editor:
Funsu Andiarna

Desain Sampul:
Eko Teguh Pribadi

Penerbit
Program Studi Arsitektur UIN Sunan Ampel
Jl. A. Yani No. 117 Surabaya, Jawa Timur
Indonesia, 60237
Email: arsitektur@uinsby.ac.id

Cetakan pertama, Desember 2017

Hak Cipta dilindungi undang-undang


Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan
dengan cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit
Kata Pengantar

Al-hamdulillahi Rabbi al-‘Alamin, puji syukur kehadirat Allah


SWT atas terselesaikannya penulisan buku ini. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada para pembaca yang berkenan
mempelajari, mengamati dan menggunakan buku ini untuk
keperluan menyelesaikan pekerjaan pembaca sendiri.
Buku ini lahir dari hasil kajian dan diskusi antara penulis
setelah melihat adanya penurunan prevalensi penyakit kusta di
Indonesia, tetapi penemuan kasus kusta tidak berkurang. Dalam
20 tahun terakhir ini ditemukan banyak kasus kusta baru.
Pengobatan masal dengan rejimen Multi Drugs Therapy
(MDT) dari WHO yang telah diterapkan hanya mampu
membasmi kusta yang sudah manifest, sedangkan kusta subklinis
sebagai kandidat penderita kusta baru belum banyak dibahas.
Kelebihan buku ini adalah tidak hanya membahas kusta yang
manifest saja, tetapi juga membahas tentang permasalahan dan
faktor risiko kusta subklinis. Sampai saat ini masih sangat sulit
menemukan buku yang membahas mengenai kusta subklinis.

i
Buku “Kusta Stadium Subklinis (Faktor Risiko dan
Permasalahannya)” dimulai dengan membahas tentang konsep
penyakit kusta . Selanjutnya, membahas tentang kusta stadium
subklinis yang akan menjelaskan faktor risiko dan
permasalahannya.
Pada pembahasan yang lainnya akan dibahas mengenai kusta
subklinis pada anak karena anak-anak lebih rentan untuk terkena
penyakit kusta. Selain itu juga akan dibahas mengenai status
vaksinasi BCG pada anak yang berhubungan dengan kusta
stadium subklinis.
Semoga buku ini bermanfaat bagi mahasiswa, pendidik dan
peneliti di bidang kesehatan. Penulis menyadari buku ini masih
terdapat banyak kekurangan dan masih jauh dari sempurna. Kritik
dan saran sangat diharapakan demi perbaikan buku ini. Terakhir,
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu terselesaikan buku “Kusta Stadium Subklinis (Faktor
Risiko dan Permasalahannya)” ini.

Surabaya, Desember 2017

Penulis

ii
Daftar Isi

Kata Pengantar ...................................................................... i


Daftar Isi ................................................................................. iii
BAB 1 Konsep Dasar Penyakit Kusta .................................. 1
BAB 2 Stadium Kusta Subklinis........................................... 27
BAB 3 Faktor Risiko Kusta Stadium Subklinis .................. 38
BAB 4 Determinan Kusta Subklinis pada Anak ................. 54
BAB 5 Pencegahan dan Penanganan Kusta ........................ 58
REFERENSI........................................................................... 79

iii
BAGIAN 1
KONSEP DASAR
PENYAKIT KUSTA
DEFINISI PENYAKIT KUSTA
Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular dan
bersifat kronik. Penyakit ini disebabkan oleh kuman
Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat dan
terjadi pada kulit dan saraf tepi.

Kuman Mycobacterium leprae pertama kali menyerang pada


syaraf perifer, yang kemudian mengenai kulit dan mukosa mulut,
saluran nafas bagian atas, sistem retikulo endotel penderita, mata,
otot, tulang dan testis 1.

EPIDEMIOLOGI PENYAKIT KUSTA DI


INDONESIA
Penyakit kusta di Indonesia menempati peringkat nomor tiga
terbanyak di dunia setelah India dan Brasil serta peringkat teratas
di kawasan ASEAN. Penyebaran penyakit kusta merata di
Indonesia, tetapi paling banyak ditemukan di Jawa Timur 2.

Prevalensi rate kusta tahun 2010 di Jawa Timur sebesar 1,64


per 10.000 penduduk sehingga masih di atas target yaitu
<1/10.000 penduduk. Kondisi tersebut terutama terjadi pada
daerah yang berada di pantai utara pulau Jawa dan pulau Madura.

2
Untuk angka penemuan kasus baru (CDR) penderita kusta di Jawa
Timur sebesar 1,14 per 100.000 penduduk yang berarti masih
belum mencapai target < 0,5/100.000 penduduk. Pada tahun 2010
di Jawa Timur terdapat 713 penderita kusta PB dengan RFT
(Release From Treatment) 92,95%. Sedangkan penderita kusta
MB (menular) sebanyak 3.971 penderita dengan RFT MB sebesar
90,23%. Kondisi tersebut sudah mencapai target untuk RFT MB
sebesar 90% sedangkan untuk RFT PB masih dibawah target 95%
3
. Salah satu daerah yang merupakan kantong dari penderita kusta
di Jawa Timur adalah wilayah Kabupaten Lamongan. Daerah
yang memiliki jumlah penderita kusta terbanyak adalah
Kecamatan Brondong. Untuk tahun 2013 dan 2014 ditemukan 52
orang penderita baru 4.

Prevalensi penyakit kusta di Indonesia dari tahun 2011


sampai dengan tahun 2013 juga masih menunjukkan banyak kasus
baru. Perkembangan prevalensi dari masing-masing provinsi di
Indonesia dapat dilihat pada tabel berikut ini.

3
4
TANDA DAN GEJALA PENYAKIT KUSTA
Penyakit kusta sangat ditakuti karena dapat menimbulkan
cacat tubuh, tetapi gejalanya tidak selalu kelihatan. Harus
diwaspadai apabila mempunyai luka yang tidak kunjung sembuh
dan tidak sakit ketika ditekan.

Tanda gejala tahap awal yang muncul adalah berupa kelainan


warna kulit. Biasanya terjadi hipopigmentasi, hiperpigmentasi dan
eritematosa.

Gejala-gejala yang tampak dari penderita digunakan untuk


menegakkan diagnosa. Menurut WHO, kriteria untuk penegakan
diagnosis kusta ada tiga, yaitu 5,6:
1. Lesi kulit yang berupa bercak hipopigmentasi atau lesi kulit
kemerahan dengan berkurangnya sensasi berbatas tegas
2. Adanya keterlibatan syaraf perifer, seperti tampak pada
penebalan berbatas tegas dengan hilangnya sensasi.
3. Ditemukan basil tahan asam (BTA) di lapisan kulit.
Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam, tergantung
dari tingkat atau tipe dari penyakit tersebut yaitu:
1. Adanya bercak tipis seperti panu pada badan/ tubuh manusia.
2. Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi lama-
lama semakin melebar dan banyak.

5
3. Adanya pelebaran syaraf terutama pada syaraf ulnaris,
medianus, aulicularis magnus serta peroneus.
4. Kelenjar keringat kurang bekerja sehingga kulit menjadi tipis
dan mengkilat.
5. Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yang tersebar
pada kulit
6. Alis rambut rontok

Untuk gejala-gejala umum yang timbul pada kusta,


penderita biasanya merasakan beberapa reaksi, seperti:
1. Panas dari derajat yang rendah sampai dengan menggigil.
2. Anoreksia
3. Nausea, kadang-kadang disertai vomitus.
4. Cephalgia
5. Kadang-kadang disertai iritasi, Orchitis dan Pleuritis
6. Kadang-kadang disertai dengan Nephrosia, Nepritis dan
hepatospleenomegali.
7. Neuritis

6
PENEGAKAN DIAGNOSIS PENYAKIT
KUSTA
Diagnosis penyakit kusta dapat ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan klinis dan didukung dengan pemeriksaan slit skin
smear. Diagnosis kusta ditegakkan bila memenuhi satu atau lebih
dari tanda kardinal sebagai berikut 7:
1. Lesi kulit disertai anestesi
Lesi kulit dapat berupa makula atau plak eritema berwarna
seperti tembaga, hipopigmentasi, hiperpigmentasi, dapat juga
berupa infiltrasi atau edema. Jumlah lesi dapat tunggal atau
multipel. Hilangnya fungsi kelenjar menyebabkan permukaan
lesi tampak kering, kasar, berkeringat atau berkilap. Folikel
rambut dapat menghilang. Anestesi atau gangguan hingga
hilangnya fungsi sensorik terhadap rasa raba, nyeri, dan suhu
dapat ditemukan pada lesi dan area yang dipersarafi oleh saraf
perifer. Pada kusta tipe lepromatosa dapat juga mengenai area
di luar persarafan yang terlibat.

2. Penebalan saraf tepi


Pembesaran saraf tepi biasanya baru ditemukan setelah
adanya lesi kulit, paling sering mengenai nervus ulnaris dan
nervus peroneus komunis. Pembesaran saraf multipel

7
umumnya lebih sering ditemukan pada kusta tipe MB.
Pemeriksaan saraf meliputi pemeriksaan nervus supraorbital,
nervus aurikularis magnus, nervus ulnaris, nervus radialis,
nervus medianus, nevus poplitea lateralis, nervus peroneus, dan
nervus tibialis posterior 7.

3. Pemeriksaan slit skin smear ditemukan basil tahan asam


Pemeriksaan slit skin smear memiliki spesifisitas 100%
dengan sensitivitas lebih rendah sekitar 10-50%. Hapusan kulit
dapat diambil dari kedua lobus telinga, lesi kulit, bagian
dorsum interfalang digiti III manus, dan bagian dorsum digiti I
pedis. Pewarnaan dilakukan dengan metode Ziehl-Neelsen.
Berdasarkan pemeriksaan slit skin smear dapat ditentukan IB
(indeks bakteriologi) dan indeks morfologis (IM) yang
membantu dalam menentukan tipe kusta dan evaluasi terapi.
Indeks bakteriologi merupakan ukuran semi kuantitatif
kepadatan BTA dalam sediaan hapus yang dihitung menurut
skala logaritma Ridley. Nilai IB berkisar dari terendah +1 yang
mengandung jumlah bakteri paling sedikit, hingga +6 yang
mengandung jumlah bakteri paling banyak pada setiap
lapangan pandang 7.

8
KLASIFIKASI KUSTA
Klasifikasi kusta sangat penting dalam menentukan regimen
pengobatan, prognosis, komplikasi, perencanaan operasional, dan
untuk identifikasi pasien yang kemungkinan besar akan menderita
cacat. Klasifikasi kusta yang sering digunakan adalah klasifikasi
berdasarkan atas Ridley dan Jopling yang membagi kusta menjadi
lima spektrum berdasarkan pada kriteria klinis, bakteriologis,
imunologis dan histopatologis 8.

Penyakit kusta menurut para ahli dibedakan menjadi


beberapa jenis. Beberapa klasifikasi tersebut antara lain adalah 9:
1. Klasifikasi Internasional menurut Madrid pada tahun 1953:
a. Interdeterminate ( I )
Kelainan kulit berupa makula berbentuk bulat yang
berjumlah 1 atau 2, pada pemeriksaan bakteriologis jarang
ditemukan hasil yang positif, lesi kulit berbentuk datar
yang mana dapat berupa hipopigmentasi ataupun
erythematous, dan pada reaksi lepromin dapat memberikan
hasil positif ataupun
negatif.

9
b. Tuberkuloid ( T )
Terdapat makula atau bercak tipis bulat tidak teratur
dengan jumlah lesi 1 atau beberapa. Permukaan kering,
kasar sering dengan penyembuhan di tengah.
Tipe Tuberculoid (T) memberikan hasil negatif pada
pemeriksaan bakteriologis, banyak pada kasus
erythematous skin lession, dan positif terhadap lepromin.
c. Bordeline ( B )
Kelainan kulit bercak lebih menebal, tidak teratur
dan tersebar. Beberapa kasus timbul dari bentuk
tuberculoid sebagai hasil reaksi ulangan. Tipe Borderline
hampir selalu memberikan hasil positif pada pemeriksaan
bakteriologis dan pada reaksi lepromin umumnya negatif.
d. Lepromatosa ( L )
Kelainan kulit berupa bercak-bercak tebal dan difus,
bentuk tidak jelas, berbentuk bintil-bintil (nodule), makula
tipis di seluruh badan dan simetris. Tipe Lepromatous
memberikan hasil positif pada pemeriksaan bakteriologis,
infiltrasi pada lesi kulit dapat dijumpai pada jumlah
banyak atau sedikit, dan negatif pada pemeriksaan
terhadap lepromin.

10
2. Klasifikasi menurut Ridley-Jopling pada tahun 1962 :
a. Tuberkuloid –tuberkuloid ( TT )
b. Bordeline – tuberkuloid ( BT )
c. Bordeline – bordeline ( BB )
d. Bordeline – lepramatosa ( BL )
e. Lepramatosa – lepramatosa ( LL )

11
Perbedaan masing-masing klasifikasi dapat dilihat pada tabel
berikut ini:
Tabel 2. Klasifikasi Kusta Ridley dan Jopling
Lesi TT BT BB BL LL
Jumlah biasanya sedikit beberapa banyak tidak
tunggal (sampai (10-30 asimetris terhitung,
(sampai dengan 10 lesi) (>30 lesi) simetris
dengan 3 lesi)
lesi)

Ukuran bervriasi, bervriasi, Bervriasi kecil, kecil


umumnya beberapa beberapa
besar besar dapat besar

Permukaan kering, kering, kusam atau mengkilap mengkilap


dengan dengan sediki
skuama skuama, mengkilap
terlihat
cerah,
infiltrasi

Sensasi absen menurun menurun sedikit menurun


dengan sedang menurun minimal,
jelas atau
normal

Pertumbuhan absen menurun menurun sedikit normal


rambut dengan sedang menurun pada tahap
jelas awal

BTA negatif negatif jumlah banyak banyak


atau sedikit sedang sekali
termasuk
globi

Reaktivitas positif kuat positif negatif negatif negatif


lepromin (+++) lemah (+ atau positif
atau ++) lemah
Sumber: Suzuki et al (2012)

12
3. Klasifikasi menurut WHO pada tahun 1982 yang kemudian
disempurnakan pada tahun 1997 10:
a. Paucibacillary (PB)

Gambar 1. Jenis Kusta Tipe Paucibacilary


Sumber: Buku Pedoman Nasional
Pemberantasan
Penyakit Kusta. Dit. Jen P2 dan PL. Jakarta,
2012

b. Multibacillary (MB)

Gambar 2. Kusta Tipe Multibacilary


Sumber: Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit
Kusta. Dit.Jen P2 dan PL.Jakarta, 2012

13
Klasifikasi dari WHO tersebut digunakan untuk
memudahkan petugas lapangan dan berdasarkan dari jumlah
lesi kulit, yaitu kusta tipe MB terdiri atas lebih dari 5 lesi kulit
serta PB lesi tunggal (single lession paucibacillary atau SLPB),
dan PB dua hingga lima lesi kulit. Apabila didapatkan hasil IB
yang positif diklasifikasikan menjadi tipe MB tanpa
memandang jumlah lesi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3
11
.
Tabel 3. Klasifikasi Penyakit Kusta Berdasarkan WHO
Klasifikasi
klinis SLPB PB MB
Jumlah lesi
kulit Hanya 1 lesi 2- 5 lesi 6 atau lebih lesi

Sediaan Negatif pada Negatif pada Positif pada semua


hapusan semua area semua area area

Distribusi - Asimetris Lebih simetris

Hilangnya Terbatas Terbatas Luas


sensasi

Kerusakan Saraf dibadan Hanya 1 saraf Banyak saraf


saraf tidak terlibat dibadan yang dibadan yang terlibat
terlibat

Korelasi I, TT, BT TT, kebanyakan Beberapa BT, BB,


dengan BT BL, LL
Ridley dan
Jopling
Sumber: Northern Territory Government (2010)

14
Tabel 4. Gambaran Klinis Tipe PB
Tuberkuloid
Karakteristik Borderline Indeterminate
(TT)
tuberculoid (BT) (I)
Lesi
Tipe Makula Makula dibatasi Makula
dibatasi infiltrat saja
infiltrat

Jumlah Satu atau Satu dengan lesi Satu atau


beberapa satelit beberapa

Distribusi Terlokalisasi Asimetris Bervriasi


& asimetris

Permukaan Kering, Kering, skuama Dapat halus agak


skuama berkilat

Sensibilitas Hilang Hilang Agak terganggu

BTA Negatif Negatif atau 1 + Biasanya negatif

Pada lesi kulit Positif kuat Positif Meragukan


Tes lepromin (3+) (2 +) (1 +)
Sumber: Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit
Kusta. Dit. Jen P2 dan PL. Jakarta (2012)

15
Tabel 5. Gambaran Klinis Tipe MB
Lepromatosa
Karakteristik Borderline Mid-borderline
(LL)
lepromatosa (BL) (BB)
Lesi

Tipe Makula, Makula, plak, papul Plak, lesi


infiltrat difus, berbntuk kubah,
papul, nodus lesi punched-out
Jumlah Banyak, Banyak, tapi kulit Beberapa, kulit
sehat masih ada sehat (+)
Distribusi Distribusi Cenderung simetris Asimetris
luas, praktis
tidak ada
kulit sehat
Permukaan Simetris Halus dan berkilap Sedikit berkilap,
beberapa lesi
kering
Sensibilitas Kering, Sedikit berkurang Berkurang
skuama
BTA
Pada lesi kulit Halus dan Banyak Agak banyak
berkilap
Tidak
terganggu
Pada Biasanya tidak ada Tidak ada
Banyak
hembusan (globi)
hidung
Negatif Negatif Biasanya negatif,
Tes lepromin dapat juga (±)
Sumber: Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit
Kusta. Dit.Jen P2 dan PL. Jakarta (2012)

16
MASA INKUBASI
Masa inkubasi kusta bervriasi antara 40 hari sampai 40
tahun, dengan rata-rata inkubasi 3-5 tahun. Masa inkubasi
berkaitan dengan pembelahan sel yang lama, yaitu antara 2-3
minggu. Di luar tubuh manusia (kondisi tropis) kuman kusta dapat
bertahan sampai 9 hari.

FAKTOR IMUNITAS INDIVIDU


1. Humoral
Imunitas humoral diperantarai oleh antibodi yang
dihasilkan oleh sel B. Antigen protein ditelan oleh sel B
spesifik antigen, kemudian protein diproses serta peptide
dipresentasikan pada sel T CD4 efektor. Limfosit T helper ini
kemudian mengekspresikan CD 40L, yang mengikat pada
CD40 pada sel B. Sel T juga mengekspresikan berbagai sitokin
yang mengikat pada reseptor sitokin sel B. Sinyal yang
dihasilkan oleh CD40 dan reseptor sitokin merangsang
proliferasi sel B menjadi penghasil antibodi. Sementara itu
respon antibodi terhadap antigen non protein seperti
polisakarida kapsul bakteri, berkembang tanpa bantuan sel T 13.
Seperti yang telah diketahui bahwa antibodi mengatasi kondisi
infeksi melalui beberapa cara. Antibodi memiliki

17
afinitas yang tinggi untuk mengikat mikroba dan menetralisir
daya infeksi dari mikroba. Beberapa antibodi mengopsonisasi
mikroba dan dikenali oleh reseptor fc fagosit yang selanjutnya
terjadi penelanan dan degradasi intraseluler mikroba 13.

Antibodi atau immunoglobulin (Ig) merupakan


glikoprotein yang diproduksi sel plasma dan terdapat dalam
fraksi γ globulin serum. Aktifasi sel B menyebabkan
pembelahan dan maturasi sel B menjadi sel plasma yang akan
mensekresi antibodi spesifik. Imunoglobulin sendiri terdiri dari
dua rantai berat dan dua rantai ringan yang masing masing
identik dan dihubungkan oleh ikatan disulfide. Lima kelas Ig
(IgA, IgG, IgM, IgE dan IgD) ditentukan oleh urutan asam
amino region konstan dari rantai berat 14.

Imunoglobulin M merupakan molekul Ig yang pertama


diekspresikan selama perkembangan sel B 15. Kebanyakan sel
B mengandung IgM pada permukaannya sebagai reseptor
antigen. Nama M berasal dari kata macroglobulin dan berat
molekul IgM adalah 900.000 dalton. Makromolekul ini dapat
membuat aglutinasi berbagai partikel dan fiksasi komplemen
dengan efisiensi yang sangat tinggi. Antibodi IgM cenderung
menunjukkan afinitas rendah terhadap antigen dengan

18
determinan tunggal (hapten) tetapi karena molekul IgM
multivalent maka molekul ini dapat menunjukkan afinitas yang
tinggi terhadap antigen yang memiliki banyak epitop.

L-ESAT 6 adalah suatu protein yang disekresi


ekstraseluler oleh M.leprae dengan berat molekul 6 kDa.
M.leprae ESAT 6 memiliki kesamaan sebesar 36% dari
M.tuberculosis ESAT 6, jadi perbedaan antara dua molekul ini
adalah sebesar 64% 16. Anti-M.leprae ESAT-6 baik poliklonal
maupun monoklonal dan T-cell hybridomas bereaksi hanya
dengan protein yang homolog dan bisa mengidentifikasi B dan
T cell epitope. Berdasarkan kenyataan di atas L-ESAT-6
M.leprae bisa dianggap sebagai antigen yang spesifik untuk
diagnosis penyakit kusta. Geluk mengidentifikasi karakteristik
dari L-ESAT-6 yang homolog dengan M.tuberculosis ESAT-6
(T-ESAT-6)17. M.tuberculosis menunjukkan paling sedikit 11
gen (Rv3867 sampai dengan Rv3877) diperlukan untuk dapat
mensekresi ESAT-6. Rv3870 dan Rv3871 adalah AAA+class
ATPases, sedang Rv3877 adalah transmembrane protein yang
besar. Sebelas gen tersebut kecuali Rv3872, yang 10 ada di M.
leprae genome pada susunan genetik yang sama. Atas dasar ini
dapat diyakini bahwa M.leprae memproduksi ESAT-6 seperti
M.tuberculosis. Terbukti, transcripts untuk L-ESAT-6 ada

19
dengan reverse transcription-PCR pada nu/nu mouse-derived
M.leprae dengan menggunakan strains Thai-53 dan 4089 pada
biopsi pasien kusta. Fungsi protein ini walaupun masih belum
jelas namun keduanya memberikan respons imun mediasi
seluler selama infeksi 18,19.

Protein L-ESAT 6 yang disekresi oleh M.leprae telah


diidentifikasi memegang peranan penting pada pathogenesis
penyakit kusta. Protein ini disandi oleh gen RD-1 yang hanya
didapatkan pada strain yang virulen. Regio N-terminus yang
terletak di bagian luar dari molekul L-ESAT 6, merupakan
bagian imunogenik yang berinteraksi dengan berbagai sel
imunokompeten. Seperti yang telah diketahui bahwa paparan
terhadap protein ESAT 6 ini dapat membangkitkan respon
imun protektif.

2. Cell-Mediated Immunity: IL-2 dan IFN-γ


Imunitas seluler merupakan mekanisme pertahanan yang
efektif melawan invasi dari mikroba intraseluler seperti
M.leprae. Terdapat dua tipe reaksi imunitas seluler, pertama,
sel T memberikan spesifisitas dan merangsang fagosit untuk
mengeliminasi antigen. Reaksi ini diawali ketika sel T efektor
baik subset CD4 maupun CD8 mengenali peptide antigen yang

20
difagosit oleh makrofag. Sel T ini penderita aktivasi untuk
mengekspresikan CD40 ligand (CD40L) yang nantinya akan
berikatan dengan CD40 pada makrofag dan akan mensekresi
sitokin terutama IFN-γ yang akan mengaktifasi makrofag 13.

Bagian kedua adalah limfosit T sitolitik (CTL/ cytolytic T


lymphocytes) yang akan mengenali peptide antigen mikroba
yang memiliki kemampuan intraseluler seperti M.leprae.
Sebagai akibat pengenalan oleh antigen, CTL akan
mensekresikan protein granula dan mengekspresikan molekul
permukaan untuk membunuh sel terinfeksi, yang selanjutnya
akan mengeliminasi sel yang terinfeksi13. Sel T CD4
berdiferensiasi menjadi 4 macam subtype sel efektor yaitu Th1,
Th2, Th17 dan T regulator. Keempat sel T tersebut dibedakan
atas dasar sitokin yang dihasilkan. Sel Th2 memproduksi IL-4,
IL-5, IL-10 serta IL-13 sedangkan Th1 memproduksi sitokin
IFN-γ dan IL-2 20,21.

IFN-γ merupakan protein yang dihasilkan oleh sel NK,


sel Th1 CD4+ dan sel T CD8+.IFN-γ merupakan sitokin yang
berfungsi utama sebagai pengaktivasi makrofag dan memiliki
fungsi yang sangat penting pada imunitas selular terhadap
mikroba intraseluler seperti M.leprae.IFN-γ yang merupakan

21
suatu sitokin pengaktifasi makrofag, dimana limfosit T dan sel
NK mengaktivasi makrofag untuk membunuh mikroba yang
difagosit. Sitokin ini bekerja dengan meningkatkan fungsi
mikrobisidal makrofag dengan jalan merangsang pembentukan
reactive oxygen intermidiates dan nitric oxide. Molekul yang
reaktif ini diproduksi di dalam lisosom dan akan
menghancurkan mikroba yang terdapat dalam fagolisosom.
IFN-γ merangsang ekspresi molekul MHC kelas I dan kelas II
serta kostimulatori pada sel penyaji antigen. IFN-γ
menginduksin diferensiasi sel T CD4+ naïf menjadi subset Th1
dan menghambat proliferasi sel Th2. Efek penginduksi Th1
diperantarai secara tidak langsung melalui aktivasi fagosit
mononuclear untuk memproduksi IL-12, yang mana sitokin ini
merupakan penginduksi Th1. IFN-γ bekerja pada sel B untuk
menginduksi switching immunoglobulin subkelas tertentu.
IFN-γ juga mengaktifasi netrofil dan merangsang aktivasi
sitolitik sel NK 13.

IL-2 merupakan faktor yang berperan dalam


pertumbuhan, kehidupan dan deferensiasi limfosit T.
Kemampuan IL-2 mendukung proliferasi sel T yang telah
distimulasi antigen, oleh sebab itulah IL-2 disebut juga sebagai
faktor pertumbuhan sel T. Sitokin ini terutama dihasilkan oleh

22
limfosit T CD4+, karena adanya aktivasi sel T oleh antigen
yang menstimulasi transkripsi gen IL-2. Sekresi IL-2 mencapai
puncaknya sekitar 8-12 jam setelah aktivasi 13.

M.leprae yang masuk ke tubuh seseorang dapat menjadi


kusta manifet melalui jalur respon tubuh. Perjalanan respon
imun ini dapat dilihat dari gambar di bawah ini:

Gambar 3. Jalur Metabolik Respon Imun Pada Kusta 22

PEMERIKSAAN SEROLOGIS KUSTA


Pemeriksaan serologis dilakukan dengan melihat
terbentuknya antibodi pada tubuh seseorang yang telah terinfeksi
oleh M.leprae. Antibodi yang terbentuk tergantung dengan
antigennya.

23
Antibodi yang terbentuk bisa bersifat spesifik maupun
bersifat non spesifik. Antibodi yang bersifat spesifik untuk
M.leprae antara lain anti phenolicglycolipid-1 (PGL-1), antibodi
anti protein 35 kD , 16 kD dan juga anti L ESAT 6 kD. Sedangkan
untuk antibodi yang tidak spesifik antara lain adalah antibodi anti
lipoarabinomanan (LAM) yang juga dihasilkan oleh kuman
M.tuberculosis 12.

PENULARAN PENYAKIT KUSTA


Sumber penularan kusta secara pasti belum ditemukan,
tetapi sampai saat ini penularannya adalah melalui mukosa hidung
penderita kusta tipe lepromatous yang belum diobati dan juga
ditemukannya kuman pada lesi kulit nodular yang pecah. Anak-
anak lebih mudah tertular dibandingkan dengan orang dewasa.

Orang yang tinggal serumah dengan penderita tipe


multibasiler (MB) terutama lepromatous yang belum mendapat
pengobatan mempunyai risiko tertular 4-10 kali lebih besar
dibandingkan dengan yang tidak tinggal serumah. Sedangkan
orang yang tinggal serumah dengan penderita tipe tuberkuloid 2
kali lebih rawan tertular 23.

24
Pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita, yakni
selaput lendir hidung. Tetapi ada yang mengatakan bahwa
penularan penyakit kusta adalah:
1. Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung
penderita yang sudah mengering, diluar masih dapat hidup 2–
7 x 24 jam.
2. Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus ada
lesi baik mikoskopis maupun makroskopis dan adanya kontak
yang lama dan berulang-ulang.

PENELITIAN TERBARU TENTANG


KUSTA
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa sumber infeksi dari
M.leprae terutama terdapat pada orang-orang yang memiliki kadar
tinggi bakteri M.leprae dalam tubuhnya dengan atau tanpa gejala
klinis kusta atau sering disebut subklinis kusta. Kelompok
subklinis adalah orang-orang sehat yang tidak menunjukkan gejala
kusta, tetapi mempunyai kadar IgM anti PGL-1 > 650 U/ml pada
waktu pemeriksaan di laboratorium.

IgM anti PGL-1 merupakan antibodi spesifik untuk M.


leprae. Dengan ditemukannya DNA M.leprae yang dideteksi pada

25
darah dan apusan hidung dari kelompok subklinis penderita kusta
menunjukkan bahwa proses infeksi oleh M.leprae sedang terjadi
24
.

26
BAGIAN 2
STADIUM
KUSTA SUBKLINIS
DEFINISI KUSTA SUBKLINIS
Kusta subklinis adalah suatu keadaan apabila seseorang sudah
terinfeksi oleh M.leprae, tetapi belum menampakkan gejala klinis
25
. Pada kondisi subklinis ini tidak dijumpai adanya lesi sehingga
terlihat sehat, tetapi ditemukan antibodi spesifik terhadap
M.leprae pada pemeriksaan serologisnya dengan kadar IgM anti
PGL-1 di atas 605 U/ml26,27.

Stadium kusta subklinis disebut juga dengan stadium


inkubasi, stadium asimtomatik atau stadium laten. Pada stadium
ini kuman sudah masuk ke dalam tubuh, tetapi gejala klinis dari
penyakit kusta belum terlihat 28,26,7 .

EPIDEMIOLOGI KUSTA SUBKLINIS


Prevalensi kusta subklinis lebih besar apabila dibandingkan
dengan kusta klinis. Pada daerah yang sama ditemukan prevalensi
kusta subklinis 200 kali lebih besar dari kusta klinis 29. Beberapa
penelitian telah dilakukan untuk mendeteksi prevalensi stadium
kusta subklinis. Diantaranya antara lain adalah:

28
Tabel 6. Prevalensi Kusta Subklinis di Beberapa Daerah 30,31
Peneliti Metode Lab Populasi n Hasil
Abe (1978) FLA-ABS Narakontak di Jepang 43 88,4%
Bhagsawe (1990) ELISA Penduduk desa di Papua 903 15,0%
Nugini
Izumi (1990) MLPA Narakontak serumah 70 7,1%
dan sepekerjaan
Soebono (1992) ELISA Narakontak kusta umur 803 9,2%
10-19 tahun di Sulawesi
Selatan dan Jawa
Tengah
Amiruddin(1993) MLPA Narakontak kusta di 125 36,0%
Ujung Pandang
Tjempakawati MLPA Narakontak kusta di 56 35,7%
(1995) Surabaya
Moch Irfan Hadi ELISA Narakontak kusta di 95 50%
(2017) Lamongan

Dari beberapa penelitian yang membahas tentang kusta


stadium subklinis di atas, didapatkan hasil penderita kusta
subklinis semakin meningkat.

MEKANISME KUSTA SUBKLINIS


Mekanisme secara pasti bagaimana transmisi M.leprae belum
diketahui. Cara yang paling memungkinkan adalah dengan infeksi
melalui inhalasi karena banyaknya jumlah bakteri dalam nasal
penderita Lepromatous.

Sebagian besar perubahan yang diamati pada penderita kusta


terjadi karena kemampuan M.leprae bertahan hidup di dalam sel

29
makrofag. Beberapa saat setelah terjadi infeksi tidak terlihat
adanya lesi yang merupakan tanda infeksi. Hal ini yang
dinamakan dengan infeksi subklinis, suatu tahap yang akan
menjadi tahap klinis atau berhenti tanpa adanya gejala klinis 32.

Orang yang positif terkena kusta sub klinis tidak semuanya


berubah menjadi kusta manifest, walaupun kemungkinan besar
berubah menjadi kusta manifest.

Pada kasus kusta subklinis, sistem kekebalan yang dimiliki


masih berfungsi sehingga bisa saja yang bersangkutan berubah
menjadi kusta manifest karena sistem imunnya mengalami
penurunan/ pelemahan, namun bisa juga yang bersangkutan justru
berubah menjadi seronegatif/ bebas kusta karena sistem imun
yang bersangkutan mengalami perbaikan atau peningkatan fungsi,
terutama sistem kekebalan selulernya.

Konsep klasifikasi oleh Ridley dan Jopling sampai saat ini


masih relevan untuk menerangkan gejala klinis kusta yang
bervariasi sehingga membentuk suatu spektrum. Skema perjalanan
klinis penyakit kusta dapat dilihat dari gambar dibawah ini:

30
Infeksi Kusta subklinis Berlanjut
menuju menjadi penyakit
M.lepraegejala klinis menetap Lepromatosa
(LL)

Borderline
(BB)

Tuberkuloid
(TT)
Atau kusta Atau
subklinis sembuh
sembuh/bera
khir tanpa
gejala

Gambar 4. Skema Perjalanan Klinis Penyakit Kusta 32

DIAGNOSIS KUSTA STADIUM SUBKLINIS


Deteksi infeksi kusta subklinis sangat penting dilakukan
untuk menilai perluasan infeksi, perjalanan penyakit dan
kemungkinan untuk melakukan imuno-kemoprofilaksis agar
perluasan penyakit ini dapat dicegah. Untuk melakukan deteksi
kusta subklinis ini ada beberapa cara, diantaranya adalah:

31
1. Pemeriksaan bakteriologis
Basil tahan asam atau BTA dapat ditemukan pada kulit
maupun urin narakontak. BTA yang ditemukan pada sediaan
apus kulit kasus kusta subklinis memberikan masukan
pendapat bahwa kemungkinan orang ini sangat berperan dalam
penularaan penyakit.

Pemeriksaan bakteriologis ini merupakan salah satu


pemeriksaaan sederhana dalam menegakkan diagnosa
penderita kusta. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa
banyak ditemukan BTA pada sediaan kulit dari narakontak
yang terlihat sehat5.

2. Pemeriksaan Epidemiologis
Pemeriksaan epidemiologis dapat dilakukan untuk
menentukan peningkatan proporsi BTA positif dari cuping
telinga narakontak yang terlihat sehat33.

3. Pemeriksaan Imunologis
Imunitas seluler dapat dinilai dengan pemeriksaan in vitro
maupun in vivo. Beberappa uji serologis juga dapat digunakan
untuk mengetahui antibodi yang tumbuh di tubuh dikarenakan
kuman M.leprae 34,35,36.

32
a. Lymphocyte transformation test (LTT)
LTT merupakan uji in vitro yang digunakan untuk
menguji keaktifan sel limfosit T. Apabila imunitas
seseorang baik maka limfosit yang dirangsang dengan
antigen nonspesifik phytohaemagglutinin (PHA) akan
mengalami transformasi menjadi sel-sel blas yang
berukuran besar.

b. Uji lepromin
Uji ini merupakan suatu uji in vivo yang digunakan
untuk menilai keaktifan limfosit T yang berupa reaksi
hipersensitif tipe lambat terhadap antigen M.leprae37.

Uji lepromin kurang sensitif karena dapat


memberikan hasil positif pada orang yang terinfeksi oleh
organisme lainnya yang mempunyai beberapa antigen
yang sama. Uji ini tidak dapat digunakan untuk
mendiagnosa, tetapi hanya untuk menentukan klasifikasi
saja.

Uji ini dilakukan dengan menyuntikkan 0,1 ml


reagen lepromin (antigen M.leprae) secara intradermal
pada lengan bawah bagian fleksor beberapa cm di bawah

33
lipat siku. Penilaian reaksi dilakukan setelah 48-72 jam
(tes Fernandez) dan setelah 4 minggu (tes Mitsuda).
Reaksi Fernandez positif menunjukkan adanya
hipersensitivitas tipe lambat terhadap M.leprae. Reaksi
Mitsuda menilai kemampuan menimbulkan respon
imunitasseluler terhadap M.leprae39. Reaksi Mitsuda tidak
untuk diagnosa kusta karena hasilnya sering positif pada
orang sehat yang tinggal di daerah endemik33,38.

c. Tes Fluorecent Leprosy Antibodi Absorption (FLA-ABS)


Tes ini digunakan untuk pemeriksaan serodiagnosis
dini pada penyakit kusta. Pemeriksaan pada tes ini
berdasarkan reaksi antigen M.leprae yang utuh dari
armadilo dengan serum penderita yang mengandung
antibodi spesifik terhadap antigen tersebut.

Berdasarkan penelitian dari Abe, tingkat spesifisitas


dan sensitivitas tes FLA-ABS untuk penyakit kusta sebesar
99,1% dan 92,2%. Sedangkan penelitian dari Amezcua
mendapatkan angka spesifisitas sebesar 100% dan
sensitivitas sebesaar 99%33.

34
Bharadway juga mendapatkan hasil tes ini positif 83-
88% pada kontak dengan penderita lepromatosa dan 46%
pada kontak non-lepromatosa sehingga tes ini baik untuk
deteksi kusta subklinis. Kekurangan dari tes ini adalah
memerlukan peralatan yang mahal, proses yang rumit dan
membutuhkan tenaga yang terlatih39.

d. Tes Enzyme Linked Immuno-Sorbent Assay (ELISA)


Pemeriksaan dengan tehnik ini yang paling banyak
digunakan oleh peneliti-peneliti karena prosesnya lebih
mudah dan lebih sederhana, walaupun angka spesifisitas
dan sensitivitasnya lebih kecil dibandingkan tes FLA-
ABS.

Pada tes ini terjadi reaksi antigen dan antibodi spesifik


dari serum penderita yang kemudian diberi label berupa
enzim yang terkait dengan anti human antibodi. Sustrat
yang tidak berwarna apabila ditambahkan ke dalam enzim
yang terkait akan diuraikan sehingga menjadi berwarna
dan selanjutnya dibaca dengan spektrofotometer40.

Hasill positif serum antibodi Ig-M dan PGL-1 pada


seseorang tanpa gambaran klinis menunjukkan hasil

35
kemungkinan infeksi kusta subklinis. Didapatkan hasil
positif 90-100% pada lepromatosa murni (LL) dan
borderline lepromatosa (BL), sedangkan pada kasus
borderline tuberkuloid (BT) dan tuberkuloid murni (TT)
didapatkan hasil sebesar 20-30%. Narakontak sehat di
daerah endemik rata-rata menunjukkan hasil seropositif
sebesar 25-35% 34,41.

e. Tes Mycobacterium Leprae Particle Aglutination (MLPA)


Pemeriksaan dengan tes ini relatif lebih sederhana
dan lebih mudah dilaksanakan serta tidak membutuhkan
laboratorium khusus. Tes ini menggunakan antigen
partikel NT-P-BSA (Natural Trisacharide-Phenyl
propiobat-Bovine Serum Albumin). Antigen ini direaksikan
dengan serum darah penderita kusta dengan pengenceran
tertentu dan merupakan reaksi antara antibodi spesifik
PGL-1 dengan antigen spesifik.39

Sensitifitas dan spesifisitas dari tes ini hampir sama


dengan tes ELISA. Selain itu juga prosesnya lebih mudah
sehingga paling cocok digunakan untuk skrining populasi
pada sampel yang besar33.

36
Tes MPLPA dapat dipergunakan untuk mendeteksi
infeksi subklinik, mengevaluasi respon pengobatan,
mendeteksi adanya kekambuhan dan mengetahui kadar
antibodi spesifik terhadap tes kusta. Tes ini menunjukkan
korelasi positif dengan kadar antibodi IgM. Hasil tesnya
juga setara dengan pemeriksaan antibodi anti PGL-1 secara
ELISA 42,43.

f. Tes Polymerase Chain Reaction (PCR)


Pemeriksaan dengan metode PCR banyak digunakan
oleh peneliti untuk mempelajari DNA. Sensitivitas dan
spesifisitas dari tes ini juga sangat tinggi dalam mendeteksi
kuman M.leprae yang ada di dalam spesimen biologik.
Bahan pemeriksaan dapat berasal dari hapusan mukosa
hidung, skin smear dan kerokan kulit atau biopsi kulit43.

37
BAGIAN 3
FAKTOR RISIKO
KUSTA STADIUM
SUBKLINIS
Kusta stadium subklinis biasa terjadi pada seorang
narakontak. Narakontak adalah orang yang pernah terpapar atau
kontak dengan penderita kusta.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kusta subklinis


lebih tinggi terjadi pada kontak serumah dibandingkan dengan
nonkontak, derajat dan lamanya kontak merupakan hal yang
penting sebagai faktor risiko penularan karena berhubungan
dengan dosis paparan dan lamanya kontak.

Dari penelitian mengenai narakontak di Indonesia,


didapatkan fakta bahwa jumlah kasus seropositif di daerah
endemis kusta cukup besar, yaitu sekitar 7-36% dari jumlah
penduduk. Lebih besar apabila dibandingkan dengan prevalensi
kusta di Indonesia yang berkisar sekitar 3 per 10.000 (0,03%)
jumlah penduduk.

Jumlah narakontak yang berpotensi sebagai calon


penderita kusta baru ini sangat besar, namun dari jumlah
tersebut tidak semua akan berubah menjadi kusta manifes, hanya
sebagian kecil saja yang akan menjadi penderita kusta44. Ada
beberapa faktor risiko yang menyebabkan seseorang menjadi
kusta manifes.

39
FAKTOR RISIKO KUSTA SUBKLINIK
Terjadinya kusta stadium subklinik dipengaruhi oleh beberapa
faktor risiko, antara lain adalah:
1. Agen
Agen dalam penyakit kusta adalah kuman Mycobacterium
leprae. Kuman yang satu genus dengan kuman TB ini dapat
bertahan hidup pada tempat yang sejuk, lembab, gelap tanpa
sinar matahari sampai bertahun-tahun lamanya. Kuman
tuberculosis dan leprae jika terkena cahaya matahari akan mati
dalam waktu 2 jam dan akan tumbuh dengan subur pada
lingkungan dengan kelembaban yang tinggi.
Kelembaban udara yang meningkat merupakan media
yang baik untuk bakteri-bakteri patogen termasuk yang
memiliki rentang suhu yang disukai, merupakan bakteri
mesofilik yang tumbuh subur dalam rentang 25-400C, tetapi
akan tumbuh secara optimal pada suhu 31-370C.

2. Host
Manusia merupakan reservoir untuk penularan kuman
seperti Mycobacterium tuberculosis dan morbus Hansen,
kuman tersebut dapat menularkan pada 10-15 orang. Menurut
45
penelitian pusat ekologi kesehatan , tingkat penularan kusta
di lingkungan keluarga penderita cukup tinggi, seorang

40
penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang di
dalam rumahnya. Apabila ventilasi rumah baik, kuman ini
dapat hilang terbawa angin dan akan lebih baik jika ventilasi
ruangannya menggunakan pembersih udara yang bisa
menangkap kuman.
Host manusia ini mempunyai karakteristik yang dapat
dilihat dari faktor umur, jenis kelamin, pekerjaan , keturunan,
pekejaan, ras dan gaya hidup, gizi atau daya tahan tubuh,
pertahanan tubuh, hygiene pribadi, gejala dan tanda penyakit
serta pengobatan.

3. Environment
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar diri
host baik benda mati, benda hidup, nyata atau abstrak, seperti
suasana yang terbentuk akibat interaksi semua elemen-elemen
termasuk host yang lain. Lingkungan terdiri dari lingkungan
fisik dan non fisik.
Lingkungan fisik terdiri dari keadaan geografis,
kelembaban udara, suhu dan lingkungan tempat tinggal.
Sedangkan lingkungan non fisik meliputi: sosial (pendidikan,
pekerjaan), budaya (adat, kebiasaan turun temurun), ekonomi
(kebijakan mikro dan local) dan politik (kebijakan pencegahan
dan penanggulangan suatu penyakit).

41
Faktor Risiko Karakteristik Narakontak
Stadium Subklinis
1. Umur
Hampir semua kejadian suatu penyakit dipengaruhi oleh
umur. Pada penyakit kronik seperti kusta diketahui dapat
terjadi pada semua umur, berkisar antara bayi sampai umur
tua (3 minggu sampai lebih dari 70 tahun). Namun, yang
terbanyak adalah pada umur muda dan produktif. Selama ini
penelitian-penelitian hanya membahas prevalensinya saja,
bukan insedennya dikarenakan sulit untuk mengetahui waktu
dimulainya penyakit kusta.
Pada dasarnya kusta dapat menyerang semua umur,
tetapi anak–anak lebih rentan terkena penyakit kusta
dibandingkan dengan orang dewasa. Frekuensi tertinggi pada
orang dewasa ialah umur 25-35 tahun, sedangkan pada
kelompok anak adalah umur 10-15 tahun 1,46.
Hal ini diperkuat oleh penelitian Adriaty pada tahun
2008, yang ingin mengetahui angka seropositifitas kusta pada
murid sekolah dasar di pantai utara dan pantai selatan Jawa
Timur47. Penelitian ini membandingkan angka seropositifitas
kusta pada anak sekolah dasar antara daerah endemis tinggi di
pantai utara jawa yaitu Lamongan dengan daerah endemis

42
rendah di Pacitan Jawa Timur. Hasil penelitian ini adalah
bahwa di pantai utara Jawa Timur, angka kejadian penderita
kusta subklinik masih cukup tinggi, yang berarti potensi
timbulnya penderita kusta baru dimasa yang akan datang
masih cukup tinggi.
Selain angka prevalensi yang menjadi tolok ukur dari
program pemberantasan kusta, parameter yang tidak kalah
penting adalah angka penemuan kasus baru (CDR).
Berdasarkan hasil dari penemuan kasus baru (CDR) dapat
diketahui bahwa program eradikasi dari penyakit kusta
dengan pengobatan rejimen “MDT” dari WHO belum
48,49,50
mencapai hasil yang maksimal . Karena secara teori
apabila penderita sudah mendapatkan pengobatan, seharusnya
yang bersangkutan tidak lagi menjadi sumber penularan dari
kuman M.leprae 51.
Secara nasional target eliminasi atau penurunan jumlah
kasus penyakit kusta sudah dicapai sejak tahun 2000 dengan
angka prevalensi (jumlah kasus lama dan baru) kurang dari
satu per 10.000 penduduk. Tetapi, hal itu tidak terjadi di 12
provinsi yang terdiri dari 140 kabupaten/ kota yang tergolong
endemik kusta. Kasus baru selalu saja ditemukan di berbagai
tempat.

43
Sejak tahun 2000 rata-rata per tahunnya tak kurang dari
15.000 penderita kusta baru terdeteksi oleh petugas
kesehatan. Secara keseluruhan jumlah penderita kusta tahun
2005 diperkirakan mencapai minimal 21.000 kasus.
Angka kecacatan yang ditimbulkan belum juga turun dari
8 persen per tahun. Sepuluh persen di antaranya adalah pada
umur anak-anak karena penularan kusta terkait dengan daya
tahan tubuh. Anak-anak satu setengah kali lebih mudah
terpapar dibandingkan dengan orang dewasa 3.

2. Jenis Kelamin
Penyaklit kusta dapat menyerang semua orang, tetapi
hubungan perbedaan jenis kelamin terhadap timbulnya
penyakit kusta belum dapat dipastikan. Laki-laki lebih banyak
terkena dibandingkan dengan wanita, dengan perbandingan
2:1, walaupun ada beberapa daerah yang menunjukkan
penderita wanita lebih banyak 3.
Sebagian besar Negara di dunia kecuali dibeberapa
Negara di Afrika menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak
terserang kusta dari pada wanita. Rendahnya kejadian kusta
pada wanita disebabkan karena beberapa faktor, seperti faktor
lingkungan dan faktor biologis 52.

44
Tarusaraya juga mengungkapkan bahwa tingkat
kecacatan pada laki-laki lebih besar daripada wanita53. Hal ini
berkaitan dengan faktor pekerjaan, kebiasaan keluar rumah,
dan merokok. Ghimire juga melakukan penelitian di Nepal
dengan hasill 67% wanita mengalami kecacatan sekunder52.

3. Pendidikan
Status pendidikan berhubungan dengan tindakan
mencari pengobatan. Tingkat pendidikan yang rendah
menyebabkan seseorang menjadi lebih lambat dalam
mendiagnosa penyakit dan mencari pengobatan.
Berdasarkan penelitian dari Maria Christina pada tahun
2009 menunjukkan bahwa responden yang mempunyai
tingkat pendidikan rendah akan mempunyai risiko terkena
kusta 7,405 kali lebih besar dibandingkan dengan yang
mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi.

4. Personal Hygiene
Personal hygiene (kebersihan perseorangan)
merupakan tindakan pencegahan yang menyangkut tanggung
jawab individu untuk meningkatkan kesehatan serta
membatasi menyebarnya penyakit menular terutama yang
ditularkan melalui kontak langsung seperti halnya kusta 54.

45
M.leprae hanya dapat menyebabkan penyakit kusta
pada manusia dan tidak pada hewan kecuali armadillo.
Penularannya adalah melalui kontak yang lama karena
pergaulan yang rapat dan berulang–ulang, karena itu penyakit
kusta dapat dicegah dengan perbaikan personal hygiene atau
kebersihan pribadi 3.
Penularan penyakit kusta belum diketahui secara pasti,
tetapi menurut sebagian ahli melalui saluran pernafasan dan
kulit (kontak langsung yang lama dan erat), kuman mencapai
permukaan kulit melalui folikel rambut, kelenjar keringat, dan
diduga melalui air susu ibu. Pencegahan penyakit kusta dapat
dilakukan dengan meningkatkan personal hygiene,
diantaranya pemeliharaan kulit, pemeliharaan rambut, dan
kuku. Karena penularan kusta sangat dipengaruhi oleh kontak
langsung dengan kulit dan folikel rambut, sehingga perlu
dijaga kebersihannya3,55.

5. Status Gizi dan Status Ekonomi

Penyakit kusta banyak menyerang masyarakat dengan


sosial ekonomi yang rendah karena berkaitan dengan gizi
yang kurang baik dan lingkungan yang tidak baik56.

Penelitian dari Berg di Norwegia menyebutkan bahwa


faktor nutrisi dapat berperan dalam penularan kusta karena

46
dikaitkan dengan rendahnya produksi makanan bergizi,
seperti susu dan gandum. Pertengahan kedua abad 19 nutrisi
sudah membaik dan pendapatan perkapita juga meningkat
sehingga membuat insiden infeksi M.Leprae di Norwegia
berkurang57.

6. Kadar Seng Serum


Seng atau yang disingkat Zn adalah mikronutrien
esensial penderita pada banyak enzim. Defesiensi zat ini
dapat menyebabkan terganggunya fungsi pertahanan tubuh,
baik pertahanan yang sifatnya non-spesifik maupun yang
spesifik. Pada pertahanan yang non-spesifik, gangguan yang
muncul, misalnya kerusakan pada sel epidermal,
terganggunya fungsi aktifitas sel Natural Killer (NK),
fagositosis dari makrofag dan neutrofil 8.
Innate immunity merupakan pertahanan tubuh terdepan
dalam menghadapi infeksi. Pada penelitian in vivo, aktifitas
sel NK, fagositosis sel makrofag dan neutrofil serta
pembangkitan oxidatife burst terganggu oleh karena terjadi
penurunan kadar seng. Jumlah granulocytes juga tampak
berkurang selama defisiensi seng. Jumlah dan aktifitas sel NK
59
dipengaruhi oleh kadar serum seng . Selain sel NK, seng
juga berperan dalam perkembangan, maturasi dan fungsi

47
60
natural killer T cell cytotoxycity . Seng dibutuhkan oleh
manusia maupun bakteri pathogen untuk proliferasi. Jadi
penurunan kadar seng plasma selama infeksi fase akut
merupakan suatu mekanisme pertahanan tubuh manusia 58.
Sel B lymphocytes dan prekusornya (khususnya pre- B
dan sel B immature) berkurang jumlahnya selama defisiensi
seng. Sedangkan perubahan pada sel B lymphocytes yang
matang hanya sedikit. Kadar seng yang rendah tidak
berpengaruh terhadap status siklus sel precursor B dan hanya
sedikit berpengaruh pada siklus sel pro- B 61. Jadi lebih sedikit
sel B naïve selama defisiensi seng yang dapat berinteraksi
terhadap neoantigen. Berkenaan dengan jumlah sel T yang
juga berkurang selama defisiensi seng dan sebagian besar
antigen bergantung pada sel T, sangatlah mungkin pada
kondisi defisiensi seng tubuh tidak dapat memproduksi
antibodi sebagai respon terhadap neoantigen. Asumsi ini
konsisten dengan temuan yang menunjukkan produksi
antibody B-lyphocytes terganggu selama deplesi seng.
Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa produksi antibodi
sebagai respon terhadap antigen yang tergantung pada sel T
lebih sensitive terhadap defisiensi seng dibandingkan
produksi antibodi sebagai respon terhadap antigen yang tidak
tergantung pada sel T 62.

48
Seng berpengaruh tidak hanya pada sel NK tapi juga
terhadap aktifitas cytolytic T cells. Jumlah CD8+, CD73+ T
lymphocytes menurun selama defesiensi seng. Sel tersebut
merupakan precursor cytotoxic T lymphocytes dan CD73+
diketahui berperan untuk pengenalan antigen dan proliferasi.
Seng berperan pada perkembangan sel T sebab defisiensi
seng bertanggung jawab terhadap atropi timus. Thymulin
adalah suatu hormon yang diproduksi timus dan dikeluarkan
melalui sel epitel timus. Seng merupakan kofaktor penting
dari thymulin. Hal tersebut tidak saja mengatur diferensiasi
penderita sel-sel T belum matang di timus dan sel-sel T yang
matang di perifer, namun juga memodulasi pengeluaran
sitokin peripheral blood mononuclear cells (PBMC),
menginduksi proliferasi sel T CD8+ dalam kombinasinya
dengan IL-2 dan memastikan ekspresi reseptor berafinitas
63
tinggi dari IL-2 terhadap sel T yang matang . Selain itu,
selain sel T sitotoksik, sel T helper (CD4+) dipengaruhi juga
oleh defisiensi seng yang mengakibatkan ketidakseimbangan
fungsi Th1 dan Th2. Produk Th2 seperti IL-4, IL-6 dan IL-10
tidak berubah selama kondisi defisiensi seng, sedangkan IFN-
γ dan IL-2 yang diproduksi Th1 menurun. Produksi IFN-γ
dan IL-2 dapat dikoreksi dengan suplementasi seng 64.

49
Pada kondisi kusta subklinis yang mengalami
defisiensi seng marjinal di daerah yang endemis kusta belum
dapat meningkatkan kadar IFN-γ dan IL-2. Namun
suplementasi dalam jangka waktu dan kelompok penelitian
ini hanya mampu memodulasi sel limfosit untuk
mempertahankan kadar IFN-γ dan IL-2 agar tidak semakin
menurun jika dibandingkan kelompok kontrol dari penelitian
65
.

7. Riwayat Kontak
Kusta merupakan penyakit infeksius, tetapi derajat
infektivitasnya rendah, waktu inkubasinya panjang dan
kebanyakan pasien sudah mendapatkan infeksi pada waktu
masa anak-anak. Penyakit ini timbul akibat kontak fisik yang
erat dengan pasien yang terinfeksi dan menjadi lebih berat
apabila terjadi kontak dengan kasus lepromatosa. Sekret
hidung merupakan sumber utama terjadinya infeksi di
masyarakat6.

8. Lama Kontak
Meskipun cara penularannya belum pasti, tetapi
penularan di dalam rumah tangga dan kontak yang dekat
67
dalam waktu yang lama akan berperan dalam penularan

50
karena penyakit kusta ini mempunyai masa inkubasi selama
2-5 tahun dan dapat juga terjadi selama bertahun-tahun68.

9. Suhu Kamar
Di dalam sekret kering dengan temperatur dan
kelembaban yang bervriasi, M.leprae dapat bertahan hidup 7-
9 hari, sedangkan pada temperatur kamar dibuktikan dapat
bertahan hidup sampai 46 hari 61.
Ketentuan kualitas udara di dalam rumah khususnya suhu
udara dikatakan nyaman apabila berkisar 180 sampai 300 C 70.
M.leprae yang bertahan hidup lama dalam temperatur kamar
dapat mempertinggi risiko penularan kusta antar anggota
keluarga yang menderita penyakit kusta.
Penelitian in vivo pada tikus didapatkan hasil bahwa
pertumbuhan optimal adalah pada suhu 270-300 C, hal ini
berarti M.leprae dapat hidup dengan ketentuan suhu udara
yang nyaman yang telah ditetapkan oleh pemerintah 68.

10. Jenis Pekerjaan


Jenis pekerjaan disini yaitu pekerjaan atau mata
pencaharian sehari-hari yang digolongkan menjadi pekerjaan
ringan (tidak bekerja, pelajar, pegawai kantor) dan pekerjaan

51
berat (pekerja bangunan, buruh, tukang batu, pekerja bengkel,
penjahit, buruh angkut, pembantu, petani dan nelayan).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nur Laily
Af’idah tentang analisis faktor risiko kejadian kusta di
Kabupaten Brebes tahun 2010, didapatkan hasil prosentase
jenis pekerjaan yang berisiko kusta sebesar 85,5% dan yang
tidak berisiko sebesar 14,5% sehingga orang dengan
pekerjaan yang berat akan lebih berisiko tertular kusta 71.

11. Genetik
Faktor genetik telah lama dipertimbangkan karena
mempunyai peranan besar untuk terjadinya penyakit kusta
pada kelompok tertentu. Peranan faktor genetik terhadap
penyakit kusta belum dapat dijelaskan secara pasti, tetapi
respon yang terjadi akibat adanya M.leprae dapat sangat
berbeda karena di bawah kontrol genetik. Faktor genetik yang
berperan salah satunya adalah berada di bawah sistem Human
Leucocyte Antigen (HLA)72.

12. Imunisasi BCG


Pemberian BCG secara luas menurut WHO dapat
berperan dalam penurunan kejadian penderita kusta73. Sebuah
penelitian di Uganda selama 8 tahun mendapatkan hasil

52
bahwa subyek kontrol dengan vaksinasi BCG menunjukkan
penurunan yang drastis dari 9,8/1000 pertahun menjadi
0,9/1000 per tahun 74.
Penambahan kuman M.leprae yang dimatikan ke dalam
vaksinasi BCG belum dapat meningkatkan perlindungan yang
diberikan dibandingkan dengan pemberian BCG secara
tunggal. Perlindungan yang diberikan oleh vaksin BCG akan
maksimal apabila diberikan sebelum usia penderita 15
tahun72. Sebuah penelitian di India menunjukkan hasil bahwa
responden yang tidak memiliki skar BCG terkena penyakit
kusta lebih tinggi (6,7/1000) dibandingkan dengan responden
yang mempunyai skar BCG (5,5/1000).

53
BAGIAN 4
DETERMINAN
KUSTA SUBKLINIS
PADA ANAK
Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa anak-anak
merupakan kelompok risiko tinggi dari penularan penyakit kusta
karena pada masa anak-anak masih mempunyai sistem imunitas
yang belum sempurna perkembangannya, kurangnya pengetahuan
dan status gizi yang masih kurang juga mempengaruhi
penularannya75.

Kuman M.leprae juga dapat ditransmisikan secara


transplasental apabila penyakit muncul pada anak yang berumur
kurang dari 1 tahun, dan juga melalui air susu ibu 76.

Penelitian yang dilakukan oleh Iswahyudi pada tahun 2012


juga menyatakan bahwa faktor-faktor yang dapat memengaruhi
penularan kusta pada anak yaitu imunitas, usia, jenis kelamin,
status ekonomi keluarga, pengetahuan orang tua, status gizi,
sanitasi rumah, kepadatan penduduk, kontak lama dengan
penderita kusta, kebersihan diri serta penggunaan air77.

Angka prevalensi kusta pada anak dapat digunakan sebagai


tolak ukur derajat endemisitas kusta di suatu daerah. Jika
ditemukan anak sebagai penderita kusta, maka orang tua dapat
dimintai keterangan, seperti onset dan perjalanan penyakit serta
kemungkinan paparan lingkungan78. Tingginya proporsi penderita

55
kusta pada anak di antara kasus baru kusta menunjukkan tingginya
penularan kusta di masyarakat75.

PENELITIAN KUSTA SUBKLINIS PADA


ANAK
Beberapa penelitian sudah menganalisis tentang kejadian
kusta subklinis pada anak. Beberapa penelitian itu, antara lain
adalah:
Tabel 7. Prevalensi Kusta Subklinis di Beberapa Daerah
Tahun
Peneliti Populasi N Hasil
Penelitian
I.G.A Kencana 2009-2011 Narakontak anak di 30 26,7%
Wulan, dkk Surabaya

Tati Maslah 2014 Narakontak anak di 31 58,62%


Desa Tammerodo
Kecamatan
Tammerodo Sendana
Kabupaten Majene

Arif Sujayat,dkk 2015 Narakontak anak di 30 26,7%


Surabaya

Rahmawati,dkk 2017 Narakontak anak di 41 24,4%


Desa Sumbermanis

Dari beberapa penelitian yang membahas tentang kusta


stadium subklinis pada anak tersebut, dapat diketahui bahwa
setiap tahunnya selalu ada kasus kusta subklinis baru pada anak.

56
Anak-anak tersebut masih terlihat sehat dan tidak
menunjukkan gejala klinis, tetapi pada pemeriksaan serologisnya,
didapatkan hasil kadar IgM anti PGL-1 di atas 605 U/ml.

VAKSINASI BCG PADA ANAK


Vaksinasi BCG adalah suatu vaksin yang berguna untuk
meningkatkan kekebalan tubuh terhadap penyakit BCG, tetapi
juga menunjukkan adanya perlindungan terhadap penyakit kusta79.
Vaksinasi BCG ini dapat dapat menjadi salah satu cara untuk
memutus rantai penularan kusta.

Malawi melakukan penelitian tentang vaksinasi BCG dan


diperoleh hasil bahwa satu dosis dapat memberikan perlindungan
sebesar 50% dan dua dosis memberikan perlindungan sebesar
80%. Namun hasil penelitian ini belum menjadi kebijakan
program di Indonesia karena masih membutuhkan penelitian
lanjutan68.

Vaksinasi BCG dapat memberikan perlindungan optimal


apabila diberikan sebelum berusia 14 tahun. Orang yang
mempunyai tanda parutatau scar bekas vaksinasi BCG lebih
terlindungi dari penyakit kusta80.

57
BAGIAN 5
PENCEGAHAN
DAN PENANGANAN
KUSTA
Penyakit kusta masih menjadi masalah yang serius karena
dapat menimbulkan kecacatan. Cacat kusta terjadi akibat
gangguan fungsi saraf pada mata, tangan atau kaki. Semakin
panjang waktu penundaan dari saat pertama ditemukan tanda dini
hingga dimulainya pengobatan, makin besar risiko timbulnya
kecacatan akibat terjadinya kerusakan saraf yang progresif. Hal ini
menyebabkan diagnosis dini dan pengobatan harusnya dapat
mencegah terjadinya komplikasi jangka panjang68.

Penting disadari bahwa kerusakan saraf juga dapat terjadi


selama pengobatan. Risiko ini menurun bertahap setelah 3 tahun
berikutnya. Kasus-kasus MB yang pada saat dideteksi sudah
mengalami gangguan fungsi saraf akan berpeluang lebih besar
mengalami kerusakan saraf dibanding penderita lain, oleh karena
itu harus dimonitor lebih seksama. Penemuan dini dan pengobatan
MDT tetap merupakan cara terbaik dalam mencegah kecacatan.
Namun banyak penderita terlambat didiagnosis sehingga
berpeluang lebih besar mengalami kerusakan saraf 68.

Salah satu penyebab terjadinya kerusakan akut fungsi saraf


adalah reaksi kusta. Pada reaksi terjadi proses inflamasi akut yang
menyebabkan kerusakan saraf. Itulah sebabnya monitoring fungsi
saraf secara rutin sangat penting dalam upaya pencegahan dini

59
cacat kusta. Kerusakan saraf yang terjadi kurang dari 6 bulan, bila
diobati prednison dengan tepat, tidak akan terjadi kerusakan saraf
yang permanen (fungsi saraf masih refersibel). Bila kerusakan
saraf ini sudah terlanjur menjadi cacat permanen maka yang dapat
dilakukan adalah upaya pencegahan cacat agar tidak bertambah
berat 68.

Pemerintah telah mencanangkan beberapa upaya yang


diharapkan dapat memutuskan mata rantai penularan penyakit
kusta, upaya-upaya tersebut antara lain:
1. Dilihat dari segi pejamu (host):
a. Pendidikan kesehatan dijalankan dengan cara bagaimana
masyarakat dapat hidup secara sehat (hygiene).
b. Perlindungan khusus dapat dilakukan dengan pemberian
imunisasi Bacillus Calmette Guerin (BCG), terutama pada
orang yang kontak serumah dengan penderita kusta.
c. Periksa secara teratur anggota keluarga dan anggota dekat
lainnya untuk tanda-tanda kusta.

2. Dilihat dari segi lingkungan70:


a. Sesuaikan luas ruangan rumah dengan penghuninya.

60
b. Bukalah jendela rumah agar sirkulasi udara serta suhu di
dalam ruang tetap terjaga agar terhindar berkembangnya
M.leprae di dalam rumah .

Hingga saat ini tidak ada vaksinasi untuk penyakit kusta.


Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa kuman kusta yang masih
utuh bentuknya, lebih besar kemungkinan menimbulkan penularan
dibandingkan dengan yang tidak utuh. Jadi faktor pengobatan
adalah amat penting dimana kusta dapat dihancurkan, sehingga
penularan dapat dicegah. Diperlukan penyuluh kesehatan untuk
menganjurkan kepada penderita untuk berobat secara teratur.

Kuman kusta di luar tubuh manusia dapat hidup 24-48 jam


dan ada yang berpendapat sampai 7 hari. Hal ini tergantung dari
suhu dan cuaca di luar tubuh manusia tersebut. Makin panas cuaca
makin cepatlah kuman kusta mati. Jadi dalam hal ini pentingnya
sinar matahari masuk ke dalam rumah dan hindarkan terjadinya
tempat-tempat yang lembab.

Materi penyuluhan kusta berisikan pengajaran tentang :


a. Ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta
b. Sekurang-kurangnya 80% dari semua orang tidak mungkin
terkena kusta

61
c. Enam dari tujuh kasus kusta tidaklah menular pada orang lain
d. Kasus-kasus menular tidak akan menular setelah diobati kira-
kira 6 bulan secara teratur 1.

PENANGGULANGAN PENYAKIT KUSTA


Penanggulangan penyakit kusta telah banyak didengar di
mana-mana dengan maksud mengembalikan penderita kusta
menjadi manusia yang berguna, mandiri, produktif dan percaya
diri. Metode penanggulangan ini terdiri dari metode rehabilitasi
yang terdiri dari rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial, rehabilitasi
karya dan metode pemasyarakatan yang merupakan tujuan akhir
dari rehabilitasi, di mana penderita dan masyarakat membaur
sehingga tidak ada kelompok tersendiri. Ketiga metode tersebut
merupakan suatu sistem yang saling berkaitan dan tidak dapat
dipisahkan. Di Indonesia tujuan program pemberantasan penyakit
kusta adalah menurunkan angka prevalensi penyakit kusta
menjadi 0,3 per 1000 penduduk pada tahun 2000. Upaya yang
dilakukan untuk pemberantasan penyakit kusta melalui :
1. Penemuan penderita secara dini.
2. Pengobatan penderita.
3. Penyuluhan kesehatan di bidang kusta.
4. Peningkatan ketrampilan petugas kesehatan di bidang kusta.

62
5. Rehabilitasi penderita kusta.

Penanggulangan Penyakit Kusta melalui Rehabilitasi


1. Rehabilitasi Medik
Tidak perlu diragukan lagi bahwa timbulnya cacat pada
penyakit kusta merupakan salah satu hal yang paling penting
ditakuti. Walaupun dengan pengobatan yang benar dan teratur
penyakit kusta dapat disembuhkan, akan tetapi cacat yang
telah timbul atau mungkin yang akan timbul merupakan
persoalan yang cukup kompleks. Bila hal ini tidak ditangani
secara benar, maka akan berlanjut semakin parah serta
berakhir fatal. Makin berat keadaan suatu cacat, maka makin
cepat pula keadaan memburuk.

Diperlukan pencegahan cacat sejak dini dengan disertai


pengelolaan yang baik dan benar. Untuk itulah diperlukan
pengetahuan rehabilitasi medik secara terpadu, mulai dari
pengobatan, psikoterapi, fisioterapi, perawatan luka, bedah
rekonstruksi dan bedah septik, pemberian alas kaki, protese
atau alat bantu lainnya, serta terapi okupasi. Penting pula
diperhatikan rehabilitasi selanjutnya, yaitu rehabilitasi sosial
(rehabilitasi nonmedis) agar mantan pasien kusta dapat siap
kembali ke masyarakat, kembali berkarya membangun

63
negara, dan tidak menjadi beban pemerintah. Kegiatan
penderita terpadu pengelolaan pasien kusta dilakukan sejak
diagnosis ditegakkan. Rehabilitasi medis dan rehabilitasi
sosial merupakan satu kesatuan kegiatan yang dikenal sebagai
rehabilitasi paripurna.

Menghadapi kecacatan pada pasien kusta, perlu dibuat


program rehabilitasi medik yang terencana dan terorganisasi.
Dokter, terapis dan pasien harus bekerjasama untuk mendapat
hasil yang maksimal. Pengetahuan medis dasar yang perlu
dikuasai adalah anatomi anggota gerak, prinsip dasar
penyembuhan luka, pemilihan dan saat yang tepat untuk
pemakaian modalitas terapi dan latihan. Diagnosis dan terpai
secara dini, disusul dengan perawatan yang cermat, akan
mencegah pengembangan terjadinya kecacatan. Perawatan
terhadap reaksi lepra mempunyai 4 tujuan, yaitu :
a. Mencegah kerusakan saraf, sehingga terhindar pula dari
gangguan sensorik, paralisis, dan kontraktur.
b. Hentikan kerusakan mata untuk mencegah kebutaan.
c. Kontrol nyeri.
d. Pengobatan untuk mematikan basil lepra dan mencegah
perburukan keadaan penyakit.

64
Bila kasus dini, upaya rehabilitasi medis lebih bersifat
pencegahan kecacatan. Bila kasus lanjut, upaya rehabilitasi
difokuskan pada pencegahan handicap dan mempertahankan
kemampuan fungsi yang tersisa. Beberapa hal yang harus
dilakukan oleh pasien adalah :
1) Pemeliharaan kulit harian
a) cuci tangan dan kaki setiap malam sesudah bekerja dengan
sedikit sabun (jangan detergen)
b) rendam kaki sekitar 20 menit dengan air dingin
c) kalau kulit sudah lembut. Gosok kaki dengan karet busa
agar kulit kering terlepas.
d) kulit digosok dengan minyak.
e) secara teratur kulit diperiksa (adakah kemerahan, hot spot,
nyeri, luka dan lain-lain)

2) Proteksi tangan dan kaki


a) Tangan :
(1) pakai sarung tangan waktu bekerja
(2) stop merokok
(3) jangan sentuh gelas/ barang panas secara langsung
(4) lapisi gagang alat-alat rumah tangga dengan bahan
lembut

65
b) Kaki
(1) selalu pakai alas kaki
(2) batasi jalan kaki, sedapatnya jarak dekat dan perlahan
(3) meninggikan kaki bila berbaring

3) Latihan fisioterapi
Tujuan latihan adalah :
a) Cegah kontraktur
b) Peningkatan fungsi gerak
c) Peningkatan kekuatan otot
d) Peningkatan daya tahan (endurance)

4) Bidai
Pembidaian penderita dapat dilakukan untuk jari dan
pergelangan tangan agar tidak terjadi deformitas. Bidai
dipasang pada anggota gerak fungsional saat timbul reaksi
penyakit. Bidai dapat mengurangi nyeri dan mencegah
kerusakan saraf. Dianjurkan memakai bidai yang ringan yang
dipakai sepanjang hari, kecuali pada waktu latihan lingkup
gerak sendi.

5) Dapat dibuat sepatu khusus, sesuai dengan deformitas yang


terjadi.

66
6) Program terapi okupasi merupakan program yang sangat
penting untuk mempertahankan dan meningkatkan
kemampuan menolong diri, tetapi perlu diingat hal-hal yang
harus diperhatikan untuk melindungi alat gerak dari bahaya
pekerjaan rumah tangga. Alat bantu khusus dapat dibuat
untuk kemudahan bekerja, sesuai dengan deformitas pasien.

7) Dukungan psikososial dari keluarga dan lingkungan


merupakan hal yang harus dilaksanakan. Bila ada masalah,
evaluasi psikologis dan evaluasi kondisi sosial, dapat
dijadikan titik tolak program terapi psikososial.

2. Rehabilitasi Nonmedik
Meskipun penyakit kusta tidak menyebabkan kematian
penderita, namun penyakit ini termasuk penyakit yang paling
ditakuti di seluruh dunia. Penyakit ini sering kali
menyebabkan permasalahan yang sangat kompleks bagi
penderita kusta itu sendiri, keluarga, dan masyarakat. Pada
penyakit kusta ini dikenal 2 jenis cacat yaitu cacat psikososial
dan cacat fisik.

Seringkali penyakit kusta diidentikkan dengan cacat


fisik yang menimbulkan rasa jijik atau ngeri serta rasa takut

67
yang berlebihan terhadap penderita yang melihatnya. Akibat
hal-hal tersebut di atas, meskipun penderita kusta telah
diobati dan dinyatakan sembuh secara medis, akan tetapi bila
fisiknya cacat, maka predikat kusta akan tetap melekat untuk
seluruh sisa hidup penderita, sehingga akan dijauhi oleh
masyarakat di sekitarnya.

Bayangan cacat kusta menyebabkan penderita sering


kali tidak dapat menerima keputusan bahwa telah menderita
kusta. Akibatnya akan ada perubahan mendasar pada
kepribadian penderita dan tingkah laku penderita. Penderita
akan selalu sedapat mungkin menyembunyikan keadaannya
sebagai seorang penderita kusta. Hal ini tidak menunjang
proses pengobatan dan kesembuhan, sebaliknya akan
memperbesar risiko timbulnya cacat bagi penderita itu
sendiri. Tentu saja semua tersangka kasus kusta harus
diperiksa secara cermat dan hati-hati sekali untuk
menghindari salah diagnosis karena setiap kesalahan dalam
penegakkan diagnosis akan dapat menimbulkan beban psikis
dan dampak sosial yang tidak hanya dapat dialami oleh
penderita itu sendiri, tetapi juga terhadap keluargannya.

68
Masalah psikososial yang timbul pada penderita kusta
lebih menonjol dibandingkan dengan masalah medisnya
sendiri. Hal ini disebabkan oleh karena adanya stigma
leprofobi yang banyak dipengaruhi oleh berbagai paham
keagamaan, serta informasi yang keliru tentang penyakit
kusta. Sikap dan perilaku masyarakat yang negatif terhadap
penderita kusta seringkali menyebabkan penderita kusta tidak
mendapatkan tempat di dalam keluarganya dan masyarakat
lingkungannya.

Setelah diagnosis ditegakkan, maka upaya rehabilitasi


harus segera dimulai sedini mungkin, sebaiknya sebelum
pengobatan kusta itu dimulai dan dilakukan secara terus
menerus secara paripurna sampai penderita dapat mencapai
kemandirian dan hidup bermasyarakat seperti sediakala.
Dengan kata lain tujuan akhir rehabilitasi adalah resosialisasi
penderita itu sendiri.

Pengobatan penyakit kusta sangat penting untuk


memutuskan mata rantai penularan dan mencegah terjadinya
cacat fisik. Bila pengobatan tersebut tidak diimbangi oleh
rehabilitasi mental, maka akan sulit dicapai partisipasi aktif

69
dari penderita agar berobat teratur dan menyelesaikan secara
tuntas program pengobatan yang telah dianjurkan.

Cacat psikososial ini mulai dirasakan oleh penderita


sejak saat dinyatakan menderita penyakit kusta dan bila hal
tersebut mulai diketahui oleh keluarganya maupun oleh
masyarakat di sekitarnya. Hal ini akan bertambah berat bila
penderita merupakan tumpuan hidup dan sumber nafkah bagi
keluarganya. Dalam banyak hal penderita dapat kehilangan
sumber penghasilannya dan memperburuk keadaannya
beserta keluarga.

Untuk mengindari terjadinya hal-hal tersebut, maka


bila ada keragu-raguan meskipun sedikit saja, sebaiknya
segera merujuk penderita kepada penderita yang dianggap
lebih berpengalaman. Setelah diagnosis kusta ditegakkan,
maka pengobatan harus segera dimulai, disertai upaya
rehabilitasi mental terhadap penderita, keluarganya, dan
masyarakat sekitarnya.

Pengobatan penyakit kusta tidak boleh diberikan bila


seseorang belum dapat dipastikan menderita penyakit kusta
atau penyakitnya masih diragukan. Komplikasi antara lain

70
seperti penyakit kusta, harus ditangani sedini mungkin dan
secara adekuat untuk mencegah terjadinya cacat kusta.
Andaikata cacat kusta telah terjadi, maka upaya rehabilitasi
untuk mencegah berlanjutnya cacat harus segera dilakukan.

Bila tanda-tanda cacat kusta sudah sedemikan jelas,


tetapi hasil pemeriksaan klinis, bakteriologis, dan
histopatologis menyatakan bahwa penyakit kusta dalam
keadaan inaktif, maka pengobatan tidak diperlukan lagi dan
hanya dilakukan upaya-upaya rehabilitasi. Pada penderita
harus ditekankan bahwa obat-obat kusta tidak dapat
menyembuhkan cacat fisik yang telah ada, supaya penderita
tidak mencari pengobatan di luar ketentuan yang telah
digariskan oleh Departemen Kesehatan. Pengobatan hanya
diberikan pada penderita kusta aktif, dengan atau tanpa cacat
kusta.

3. Rehabilitasi Mental
Seperti telah dijelaskan, setiap penderita yang dinyatakan
menderita penyakit kusta akan mengalami kegoncangan jiwa
dan masing-masing mempunyai cara sendiri untuk bereaksi
terhadap keadaan ini. Ada yang segera dapat menerima
keadaan ini dan segera mancari pertolongan medis, ada pula

71
yang berusaha menolak kenyataan dengan mencari
pertolongan alternatif termasuk berobat pada dukun, tabib dan
sebagainya. Dan ada pula yang merasa rendah diri mengalami
depresi, menyendiri, menyembunyikan dirinya karena malu,
dan ada pula yang berfikir untuk melakukan tindakan bunuh
diri.

Pada umumnya penderita dibayang-bayangi oleh


ketakutan yang sangat mendalam akan timbulnya cacat fisik
akibat penyakit ini. Suatu hal yang perlu kita sadari bahwa
tidak seorang sehatpun ingin mendapatkan cacat dalam
kehidupannya. Hal ini merupakan dasar bagi setiap petugas
kesehatan dalam melakukan penyuluhan kusta. dengan
menekankan bahwa sebenarnya penyakit kusta bila diobati
secara dini dan benar akan dapat mengurangi risiko terjadinya
cacat semaksimal mungkin.

Penyuluhan kesehatan berupa bimbingan mental, harus


diupayakan sedini mungkin pada setiap penderita,
keluarganya, dan masyarakat sekitarnya, untuk memberikan
dorongan dan semangat agar penderita dapat menerima
kenyataan ini. Selain itu juga agar penderita dapat segera
mulai menjalani pengobatan dengan teratur dan benar sampai

72
dinyatakan sembuh secara medis. Informasi yang perlu
disampaikan antara lain sebagai berikut:
a) Hal-hal yang berkaitan dengan stigma dan leprofobi
b) Masalah psikososial kusta
c) Komplikasi, misalnya neuritis dan reaksi yang sering
sekali timbul selama proses pengobatan dan setelah
pengobatan selesai.
d) Proses terjadinya cacat kusta dan berlanjutnya cacat
tersebut.
e) Peran serta masyarakat pada penanggulangan penyakit
kusta.
f) Masalah rujukan dan rumah sakit rujukan.
g) Dan lain-lain yang dianggap perlu, misalnya rehabilitasi,
berbagai upaya kesehatan terhadap penyakit kusta.

Hal-hal ini harus disampaikan oleh petugas kesehatan


kepada penderita dan keluarganya sebelum pengobatan kusta
dimulai, secara sederhana dan mudah dimengerti oleh
penderita. Hanya dengan demikian kita dapat mengharapkan
keberhasilan penanggulangan penyakit kusta secara
paripurna.

73
Petugas kesehatan, baik tenaga medis maupun paramedis
harus dibekali dengan pengatahuan kusta yang memadai
supaya terampil dalam memberikan penyuluhan kusta dengan
baik dan bermanfaat. Bimbingan mental ini harus didukung
juga oleh partisipasi aktif dari pemuka masyarakat dan
pemuka agama pada setiap kesempatan yang ada.

Tanpa dibekali informasi yang tepat tentang hal-hal


tersebut, maka penderita cenderung menjadi bosan
menghadapi masa pengobatan yang panjang dan itu-itu saja,
sehingga penderita akan berobat semaunya secara tidak
teratur. Lebih celaka lagi bila selama masa pengobatan timbul
komplikasi berupa neuritis atau reaksi yang memperburuk
kondisi tubuhnya, sehingga timbul pikiran negatif untuk
menghentikan saja pengobatan yang telah berjalan dengan
baik dan mencari pertolongan pengobatan secara alternatif.

Ketidakteraturan berobat, dan menghilangnya penderita


tanpa melanjutkan pengobatannya menimbulkan banyak
masalah dalam keberhasilan upaya penanggulangan penyakit
kusta. Hal ini akan memperbesar risiko kecacatan dan
resistensi terhadap obat kusta. Dengan timbulnya cacat kusta,
upaya penanggulangan penyakit kusta akan menjadi

74
bertambah berat karena diperlukan rehabilitasi medis dan
nonmedis yang lebih kompleks dan biaya yang lebih besar.
Hal ini akan menjadi beban bagi negara dan bangsa.

Walaupun pengobatan medis kusta dan upaya rehabilitasi


ini berhasil dilakukan, tetapi dengan adanya stigma dan
leprofobi akan timbul banyak kendala dalam
memasyarakatkan kembali penderita dan bekas penderita
kusta. Tetapi, dengan memberikan informasi yang benar
tentang penyakit kusta serta menanamkan pengertian pada
penderita yang baik, maka stigma dan leprofobi dapat
dikurangi dan ditekan hingga seminimal mungkin.

Dengan demikian penderita penyakit kusta dapat


dianggap sama seperti penyakit menular lainnya dan
penderita kusta dapat diterima dan diperlakukan secara wajar
oleh masyarakat dengan hak yang sama seperti orang sehat
yang lain.

4. Rehabilitasi Karya
Tidak semua penderita kusta dapat bekerja seperti semula
ketika sudah sembuh, apalagi bila pekerja terlanjur
mengalami cacat fisik. Walaupun telah diupayakan

75
rehabilitasi medis dan dinyatakan sembuh dari penyakitnya,
mantan penderita tidak dapat melakukan pekerjaan yang sama
seperti sedia kala. Dalam banyak hal adanya stigma atau
leprofobia akan menyebabkan penderita (mantan) kerap kali
menghadapi kendala sosial, sehingga perlu mengganti jenis
pekerjaan untuk memugkinkan mencari nafkah bagi diri dan
keluarganya. Adanya hilang rasa (anastesi) pada palmar atau
plantar menyebabkan pekerjaan tertentu harus dihindari.

Upaya rehabilitasi karya ini dilakukan agar penderita


yang sudah terlanjur cacat dapat kembali melakukan
pekerjaan yang sama atau dapat melatih diri terhadap
pekerjaan baru sesuai dengan tingkat cacat, pendidikan dan
pengalaman bekerja sebelumnya. Disamping itu, penempatan
di tempat kerja yang aman dan tepat akan mengurangi risiko
berlanjutnya cacat pada penderita kusta.

5. Rehabilitasi Sosial
Rehabilitasi sosial bertujuan memulihkan fungsi social
ekonomi penderita. Hal ini sangat sulit dicapai oleh penderita
sendiri tanpa partisipasi aktif dari masyarakat di sekitarnya.
Rehabilitasi social bukanlah bantuan social yang harus
diberikan secara terus menerus, melainkan upaya yang

76
bertujuan untuk menunjang kemandirian penderita. Upaya ini
dapat berupa :
a) Memberikan bimbingan sosial.
b) Memberikan peralatan kerja.
c) Memberikan alat bantu cacat, misalnya kursi roda atau
tongkat jalan.
d) Memberikan bantuan penempatan kerja yang lebih sesuai
dengan keadaan cacatnya.
e) Membantu membeli/ memakai hasil-hasil usaha penderita
f) Membantu pemasaran hasil-hasil usaha penderita.
g) Memberikan bantuan kebutuhan pokok, misalnya pangan,
sandang, papan, jaminan kesehatan, dan sebagainya.
h) Memberikan permodalan bagi usaha wiraswasta.
i) Memberikan bantuan pemulangan ke daerah asal.
j) Memberikan bimbingan mental/ spiritual.
k) Memberikan pelatihan ketrampilan/ magang kerja dan
sebagainya.

Semua akan dapat terlaksana dengan baik apabila stigma


dan leprofobi dapat ditekan hingga seminimal mungkin.
Dengan demikian kehadiran penderita dapat diterima oleh
masyarakat, hasil karya dan usaha penderita mau dibeli serta

77
dipakai oleh masyarakat. Tanpa partisipasi, maka segala usaha
tersebut tidak akan berhasil 1.

78
DAFTAR PUSTAKA

1. Depkes RI. 2005. Buku Pedoman Nasional


Pemberantasan Penyakit Kusta Cetakan XVII. Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan

2. Jemali, Videlis. 2013. Indonesia Peringkat Ke-3 Pengidap


Kusta Terbesar di Dunia.
http://nasional.kompas.com/read/2013/02/13/21064444/In
donesia.Peringkat.3.Pengidap.Kusta.Terbesar.di.Dunia.
Sitasi 20 Maret 2013

3. Dinkes Prov . 2010. Profil Kesehatan Provinsi Jawa


Timur Tahun 2010. Surabaya: Dinkes Jatim

4. Dinkes Kab Lamongan. 2013. Profil Kesehatan


Kabupaten Lamongan Tahun 2013. Lamongan: Dinkes
Kab.Lamongan.

5. Dogra S, Narang T, Kumar B. 2013. Leprosy - evolution


of the path to eradication. Indian J Med Res 137, halaman
15-35

6. World Health Organization.The Assia-Pasific perspective:


Redefining Obesity and its treatment. February 2000:18

79
7. World Health Organization. A guide to eliminating leprosy
as a public health problem, 2nd ed. Geneva, 1997

8. Suzuki, K., Akama, T., Kawashima, A., Yoshihara, A.,


Yotsu, R.R., Ishii, N. 2012. Current Status of Leprosy:
Epidemiology, Basic Science and Clinical Perspectives. J
of Dermatol;39: 121–29

9. Ratnawati, Emy. 2003. Hubungan Persepsi


Mutu Pelayanan Kesehatan dengan Tingkat Kepatuhan
Berobat Pasien Kusta di Puskesmas
Kabupaten Blora.
http://eprints.undip.ac.id/13727/1/2003MIKM1953.pdf.
Diakses pada tanggal 16 Maret 2017

10. Departemen Kesehatan RI, 2012. Buku Pedoman Nasional


Pemberantasan Penyakit Kusta Cetakan XVIII. Direktorial
Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan.

11. Northern Territory Goverment. 2010. Guidelines for the


Control of Leprosy in the Northern Territory.Department
of Health and Family.p.1-55.

12. Agusni, Indropo dan Menaldi SL. 2003. Beberapa


Prosedur Baru Pada Penyakit Kusta. Dalam: Samsoe-
Daili ES, Menaldi SL, Ismiarto SP, Nila Sari H, ed. Kusta.
Edisi ke-2. Jakarta: BP FKUI. 59-65

13. Abbas AK., Lichtman AH., Pober JS. 2007. Cellular and
Molecular Immunology. 7th ed. WB. Saunders Co.
Philadelphia.p.348-351.

14. Sudiana, I Ketut. 2011. Patobiologi Molekuler Kanker.


Jakarta: Salemba Medika.

80
15. Lee, LA. 2003. Immunoglobulin Structure and Fuction.
Dalam: Freedberg IM., Eisen AZ., Wolff K., Austen KF.,
Goldsmith LA., Katz SI, ed. Fitzpatrick’s Dermatology in
General Medicine. Edisi ke-6. New York: The Mcgraw-
Hill Companies, inc. 281-284

16. Spencer JS, Marques MA, Lima MCBS, Kipnis APJ,


gregory BC, Truman RW, Brennan PJ, 2002. Antigenic
Specificity of the Mycobacterium leprae homologue of
ESAT-6. Infect Immun, 70(2): 1010-1013.

17. Geluk A., Van Meijgaardeen KE., Franken KL., Subronto


YW., Wieles B., Arend SM., Sampaio EP., de Boer T.,
Faber WR., Naafs B., Ottenhoff TH. 2002. Identification
and Characterization of the ESAT-6 Homologue of
Mycobacterium leprae and T-Cell Cross-Reaktivity with
Mycobacterium tuberculosis. Infect Immun. 70(5): 2544-
2548.

18. Cole ST, Eiglmeier K, Parkhill J, James KD, et al, 2001.


Massive gene decay in the leprosy bacillus. Nature 409:
1007-1011

19. Kaur & Van Brakel. (2002). Dehabilitation of leprosy


affected people a study on leprosy affected beggars.
Diakses dari: www.leprahealthinaction.org tanggal 16
Maret 2017.

20. Murphy K., Travers P., Walport M. 2008. Janeway’s


Immunobiology, 7ed New York, Garland Science, Taylor &
Francis Group, LLC

81
21. Abbas AK., Lichtman AH. 2010. Basic Immunology,
Function and Disorders of the Immune System. Third
Edition. Philadelphia: Saunders Elsevier.

22. Lastoria, J.C. 2014. Leprosy: Review of the


Epidemiological, Clinical, and Etiopathogenic Aspect-Part
1. An Bras Dermatol; 89(2):205-18.

23. Infodatin, 2015. Pusat Data dan Informasi Kementrian


Kesehatan Republik Indonesia. Kusta. p. 1-7.

24. Prakoeswa, CRS., Agusni, I., Izumi, S. 2008. Tingkat


Seropisitifitas Kusta Pada Murid Sekolah Dasar di Daerah
Pantai Utara dan Pantai Selatan Jawa Timur. Palembang:
Kongres Nasional XII PERDOSKI Buku Abstrak

25. Amiruddin MD., Hakim Z., Darwis E. 2003. Diagnosis


Penyakit Kusta. Dalam: Daili ESS, dkk. Kusta, edisi ke 2.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

26. Agusni, I., Prakoeswa, CRS.,Adriaty, D., Iswahyudi.,


Wahyuni, R, Izumi, S. 2007. Environmental
Mycobacterium leprae in Endemic Leprosy Area In
Indonesia. Sarajevo:1st Bosnia and Herzegovina
International Dermato-Venereology Conference, Abstract
Book.

27. Agusni, Indropo. 2002. Gambaran Imuno-patologik Kusta


Manifest dan Subklinis. Analisis Statistik Untuk Mencari
Indikator Bagi Kusta Subklinis yang Perlu Pengobatan.
MDVI. 1: 9-13

82
28. Izumi S., Matsuoka M., Saeki K., Kawatsu K. 2002. An
epidemiological study on Mycobacterium leprae and
prevalence of leprosy. J Clin Microbiol. 32: 2430-2435.

29. Melo, NM., Gomes, PL., Patrocinio, JA., Naves, MFM.,


Diniz de, SA., Negrao,fR., Bernardes Goulart, IM. 2009.
Contribution of nasal biopsy to leprosy diagnosis. Am J
Rhinol Allergy; 23(2): halaman 177-180. doi:
10.2500/ajra.2009.23.3301.

30. Nurjanti L.,Agusni I.2002.“Berbagai Kemungkinan


Sumber Penularan Mycobacterium leprae”, Berkala Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin, 14 (3): 288–298.

31. Hadi, Moch Irfan. 2017. Antibodi Anti IDALLE L-Esat 6


Sebagai Faktor Determinan Kusta Stadium Subklinis Pada
Narakontak Serumah Di Daerah Endemis. Program Pasca
Sarjana Universitas Airlangga, Surabaya. Disertasi

32. Harboe M. 1994. Overview of host-parasite relation. In:


Hasting RC. Leprosy. Churchil Livingstone.
Edinburg.p.87-112.

33. Agusni, Indropo.1997. Perubahan pola imunopatologik


sebagai indikator untuk penanganan kusta subklinik: Suatu
studi observasional longitudinal untuk mendapatkan dasar
kebijakan dalam penanganan kusta stadium subklinik.
Program Pascasarjana Universitas Airlangga. Surabaya.
Disertasi.

34. Agusni I. Perkembangan terbaru imunopathogenesis


penyakit kusta. MDVI 1998,25:S32-8

83
35. Buchanan T.M. serology in Leposry, In: Hasting RC,ed.
Leprosy. 2nd ed. Edinburg: Churchill Livingstone 1994:
168-78

36. Kurdi, Fauziah Nuraini. 2009. Temuan Epitop Sebagai


Sarana Diagnostik Terbaru Untuk Penyakit Kusta Dengan
Teknik Imunokromatografi. Palembang: Percetakan
Universitas Sriwijaya

37. Lahiri R, Krahenbuhl JL. 2008. The role of free-living


pathogenic amoeba in the transmission of leprosy: a proof
of principle. Lepr Rev 79, halaman 401 – 409

38. Van Beer S, Hatta M, Klatser PR. Patient Contact is The


Major Determinan in Insident Leprosy: implication for
future control. International Journal of Leprosy.1999.67
(2):119-28

39. Bindusari A. Uji Serologi MLPApada Penderita Kusta


Tipe Borderline di RSUD Dr.Soetomo Surabaya. Majalah
Berkala Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
2002,14(2):113-22

40. Alencar CH, Ramos AN Jr, Barbosa JC, Kerr LR, De


Oliveira ML, Heukelbach J. 2012. Persisting leprosy
transmission despite increased control measures in an
endemic cluster in Brazil: the unfinished agenda .Lepr
Rev. 83(4):halaman 344-353.

41. Ammirudin MD, Toena MD. 1995. Uji Diagnosik Baru


Lepra. Kongres Nasional VIII. Yogyakarta,1995: 305-27

84
42. Izumi S. Subclinical Infection by Mycobacterium
Leprae.International Journal of Leprosy.1999,67 (4)
(suppl):S67-71

43. Agusni I.infeksi Kusta Subklinis: Masalah dan


Penatalaksanaan. Disampaikan pada Konggres Nasional
VII PERDOSKI Bukit Tinggi,9-12 Nopember 1992

44. Agusni, Indropo. 2003. Penyakit Kusta Penyakit Tua


Dengan Segudang Misteri. Pidato Pengukuhan Guru Besar
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Airlangga
University Press Surabaya. Hlm: 35-57

45. Lavania M, Turankar RP, Karr S, Chaitanya VS, Sengupta


U, Jadhav RS. 2013. Cohort study of the seasonal effect on
nasal carriage and the presence of Mycobacterium leprae
in an endemic area in the general population. J.Clinical
Microbiology and Infection, Article first published online,
DOI: 10.1111/1469-0691.12087

46. Martinez TS, Figueira MM, Costa AV, Gonçalves MA,


Goulart LR, Goulart IM. 2011. Oral mucosa as a source of
Mycobacterium leprae infection and transmission, and
implications of bacterial DNA detection and the
immunological status. Clin Microbiol Infect.17(11):
halaman 1653-1658. doi: 10.1111/j.1469-
0691.2010.03453.x.

47. Adriaty, D., Wahyuni, R., Iswahyudi., Agusni, I.,


Prakoeswa, CRS., Izumi, S. 2009. Peran Amoeba Sebagai
Reservoir Potensial untuk Mycobacteria di Lingkungan.
Banten: Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) X PERDOSKI
(poster presentation)

85
48. Dogra S, Narang T, Kumar B. 2013. Leprosy - evolution
of the path to eradication. Indian J Med Res 137, halaman
15-35

49. Saonere, JA. 2011. Leprosy: An Overview. Journal of


Infectious Diseases and Immunity Vol. 3(14), halaman.
233-243,

50. Ghosh A, Panda S. 2013. Current trends in leprosy


transmission in eastern India in the era of 12-month multi-
drug treatment: a hospital-based retrospective study. Int J
Dermatol Aug 22. doi: 10.1111/ijd.12277. Epub ahead of
print

51. Agusni, I., Izumi, S. 2009. Recent Development In The


Clinical Diagnosis of Leprosy. Banten: Pertemuan Ilmiah
Tahunan (PIT) X PERDOSKI (Oral Presentation).

52. Moet FJ., Meima A., Oskam L., Richardus JH. 2004. Risk
Factors for the Development of Clinical Leprosy Among
Contacts, and Their Relevance for Targeted Interventions.
Lepr Rev. 75: 310-320.

53. Santos AR., De Miranda AB., Sarno EN., Suffys PN.,


Degeave WM. 1994. Use of PCR Mediated Amplification
of Mycobacterium leprae in Different Type of Clinical
Samples for the Diagnostic of Leprosy. J Med
Microbial.39

54. Noor, NN. 2006. Pengantar Epidemiologi Penyakit


Menular. Jakarta: Rineka Cipta.
55. Mansjoer, Arief. 2000. Kapita Selekta Kedokteran.
Jakarta: Media Aescupalius FKUI

86
56. Noordeen SK. 1994. The Epidemiology of Leprosy In:
Hasting, Robert C 8th Churchil Livingstone. Edinburg: p
29-43.

57. Haase H, Rink L. 2009. Functional significance of zinc-


related signaling pathways in Immune cells. Annu Rev
Nutr. 29: 133-152.

58. Rink L., Kirchner H. 2000. Zink-Altered Immune Function


And Cytokine Production. J Nutr. 130: 1470S-1411S.

59. Revaglia G., Forti P., Maioli F. 2000. Effect of


Micropnutrient Status on NK Cell Immune Function in
Healty Free Living Subject > 90 years. Am. J. Clin. Nutr,
71: 590-598

60. Mocchegiani E., Giacconi R., Cipriano C., Malavolta M.


2009. NK and NKT Cells In Aging and Longevity: Role of
Zink And Metallothioneins. J Clin Immunol. 29: 416-425

61. King JC., Fraker PJ. 2000. Variation in The Cell Cycle
Status of Lymphopoietic and Myelopoietic Cells Created
by Zink Deficiency. J. Infect. Dis. 182: S16-S22.

62. Moulder K., Steward MW. 1989. Experimental Zin


Deficiency: Effect on Selular Responses and the Affinity
of Humoral Antibody. Clin. Exp. Immunol. 77: 269-274.

63. Coto JA., Hadden EM., Sauro M. IL-1 regulates secretion


of zinc-tymulin by human thymic epitelial cells and its
action on T-lymphocyte proliferation and nuclear protein
kinase C. Proc. Natl. Acad. Sci. USA. 89; 7752-7756.
64. Prasad AS. 2000. Effects of Zinc Deficiency on TH 1 and
TH2 Cytokine Shift. J. Infect. Dis. 182: S62-S68

87
65. Rahfiludin, Mohammad Zen. 2010. Analisis Suplementasi
Seng Terhadap Respon Imun Penderita Seropositif Kusta.
Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga, Surabaya.
Disertasi

66. Brown, Robin Graham, Tony Burns, 2005. Lecture notes


Dermatology Ed: 8. Jakarta : Erlangga.

67. Chin, James, 2000. Manual pemberantasan penyakit


menular.Edisi 17. Jakarta : Infomedika.

68. Depkes RI. 2007. Profil Kesehatan Indonesia 2005.


Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

69. Sujagat A, Astuti FD, Saputri EM, Sani A, Presetya AD.


2015. Penemuan Kasus Infeksi Kusta Subklinis pada Anak
Melalui Deteksi Kadar Antibodi (IgM) anti PGL-1. Jurnal
Kesehatan Masyarakat Nasional. Vol. 10 No.2

70. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Buku profil


kesehatan Provinsi Jawa Tengah tahun 2004. Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Semarang. 2005

71. Faturahman. 2011. Faktor Lingkungan Fisik Rumah yang


Berhubungan Dengan Kejadian Kusta di Kabupataen
Cilacap. Jurnal FKM UNSIL. 282-295

72. Naafs B. Factor Influencing the Development of Leprosy:


an overview. International Journalof
Leprosy.2001,69(1):26-31

88
73. Russell DG, Mwandumba HC, Rhoades EE. 2002.
Mycobacterium and the coat of many lipids. J Cell Biol
158(3):421-426.
74. Rea TH, Modlin RL. Leprosy. In: Freedberg IM,Einsen
AZ, Austen Kf et al,editors. Fitzpatrick’s Dermatology in
General Medicine.6th ed. New York: MacGraw Hill
Inc.2003:1926-5958.

75. Yudied A, Agusni I, Anwar AI. 2008. Kajian


Pengendalian Potensial Faktor Risiko Penularan Penyakit
Kusta dan Intervensinya di Puskesmas Pragaan Kabupaten
Sumenep Tahun 2007. Buletin Human Media, Volume 03
Nomor 03 September 2008

76. Amiruddin, MD. 2008. Penularan Penyakit


Kusta.Palembang: Kongres Nasional XII
PERDOSKI.Buku Abstrak

77. Iswahyudi, 2012. Faktor yang Mempengaruhi Kejadian


Kusta Subklinis pada Anak SD di Desa Watestani
Kecamatan Nguling Pasuruan. FKM Unair. Tesis

78. Agusni, Indropo. 2010. Apa Yang Baru Dalam Penyakit


Kusta? Banda Aceh: Simposium “Whats New in
Dermatology”.

79. Prakoeswa, CRS.,Agusni, I., Listiawan, M Y., Izumi, S.


2009. Genotyping Analysis by TTC Repeat Diversity of
M.leprae from Clinical Isolates and Household Contacts in
Leprosy Endemic Area.82th Annual Congress of Japanese
Leprosy Association, Izumo City, Japan, 14-16 Febr 2009.
Abstract in: Japanese Journal of Leprosy. Vol. 78(2) April

89
80. Wilujeng TP, Agusni I. BCG Dalam Penyakit Kusta.
Berkala Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 1999,11:35-51

90
BIOGRAFI PENULIS

Dr. Moch. Irfan Hadi, S.KM., M.KL lahir di Tulungagung, 24 April 1986.
Menyelesaikan pendidikan Sarjana Kesehatan Masyarakat (S1) di Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga pada tahun 2008. Pendidikan S2
Kesehatan Lingkungan di Universitas Airlangga diselesaikan pada tahun 2010
dan gelar Doktornya ditempuh di Universitas Airlangga program studi Ilmu
Kesehatan pada tahun 2017.
Sekarang penulis mengajar di Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya. Beberapa Pengalaman
Riset yang pernah dilakukan: Analisis Kualitas Air Susu Sapi Segar Serta
Faktor Yang Mempengaruhi: Studi Pada KUD Tani Wilis Kabupaten
Tulungagung, 2008; Hubungan Pencemaran Lindi Dan Konsumsi Ikan Dengan
Kadar Kadmium Dalam Darah Pada Konsumen Di Dukuh Jawar Kelurahan
Tambak dono Kecamatan Pakal Surabaya, 2009; Protein Profile Gene L-Esat-
6 Mycobacterium Leprae As A Candidate Of Diagnostic Tool For Early
Detection On Leprosy, 2016; Antibodi Anti IDALLE L-Esat 6 Sebagai Faktor
Determinan Kusta Stadium Subklinis Pada Narakontak Serumah Di Daerah
Endemis, 2017. Penulis juga aktif berpartisipasi dalam riset skala nasional yang
dilaksanakan oleh Badan Penelitian dan pengembangan Kesehatan
(BALITBANGKES) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia diantaranya
Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013, Riset Pembiayaan Kesehatan di
ERA JKN tahun 2015, Riset Penyakit Tidak Menular (PTM) Tumor Payudara
dan Lesi Pra Kanker Serviks 2016 serta riset Ketenagaan di Bidang Kesehatan
(RISNAKES) 2017.
Selain penelitian dan mengajar, penulis juga aktif dalam organisasi
profesi diantaranya pengurus Perhimpunan Sarjana dan Profesional Kesehatan
Masyarakat Indonesia (PERSAKMI) dan Himpunan Ahli Kesehatan
Lingkungan Indonesia (HAKLI).
Mei Lina Fitri Kumalasari., M.Kes, lahir di Wonogiri, 18 Mei 1988 dan saat
ini tercatat sebagai Dosen di Fakultas Kesehatan dan Psikologi Universitas
Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. Penulis menyelesaikan sarjana kebidanan
di Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta pada tahun 2010 dan
menyelesaikan magister kesehatan di Universitas Sebelas Maret (UNS)
Surakarta pada tahun 2013.
Penulis menaruh minat terhadap kesehatan reproduksi serta kesehatan ibu
dan anak. Selain itu, penulis juga aktif dalam beberapa penelitian, seperti
penelitian mandiri dan hibah penelitian serta aktif berpartisipasi dalam riset
skala nasional, yaitu Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2018 yang
dilaksanakan oleh Badan Penelitian dan pengembangan Kesehatan
(BALITBANGKES) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Penulis
dapat dihubungi di email: meilinav3@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai