Kusta merupakan penyakit tertua yang sampai sekarang masih ada. Kusta berasal
dari bahasa India kustha, dikenal sejak 1400 tahun sebelum masehi.Kusta merupakan
penyakit yang sangat ditakuti oleh masyarakat karena dapat menyebabkan ulserasi, mutilasi
dan deformitas. Penderita kusta tidak hanya menderita akibat penyakitnya saja tetapi juga
karena dikucilkan masyarakat sekitarnya. Oleh sebab itu, penulis akan membahas penyakit
kusta lebih mendalam dalam makalah ini.
Jumlah kusta diseluruh dunia selama 12 tahun terakhir ini telah menurun 85 % di
sebagian besar negara atau wilayah endemis. Kasus yang terdaftar pada tahun 1997 kurang
lebih 890.000 penderita.Walaupun penyakit ini masih problem kesehatan masyarakat di 55
negara atau wilayah, 91 % dari jumalah kasus berada di 16 negara, dan 82 %nya di lima
negara yaitu Brazil, India, Indonesia, Myanmar, dan Nigeria. Di indonesia, jumlah kasus
kusta yang tercatat pada akhir Maret 1997 adalah 31.699 orang, distribusi juga tidak merata,
yang tertinggi antara lain di Jawa Timur, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Prevalensi di
Indonesia per 10.000 penduduk adalah 1,57.
BAB II
PEMICU
Ani usia 30 tahun, datang berobat ke poliklinik kulit dan kelamin RSUP H.Adam
Malik dengan keluhan timbul benjolan – benjolan berwarna merah pada wajah, kedua
tungkai dan badan yang disertai rasa nyeri dan demam.Sebelumnya pada badan dijumpai
bercak 0 bercak putih yang tidak gatal.Selama ini os sudah berobat ke puskesmas, diberi obat
dalam bentuk blister per bulan.
Apa yang terjadi pada Ani?
BAB III
MORE INFO
Pada pemeriksaan saraf tepi, dijumpai penebalan / pembesaran pada nervus ulnaris,
nervus peroneus komunis dan nervus tibialis posterior disertai rasa nyeri/ sakit pada
perabaan, suhu 39 C dan dijumpai adanya lagoftalmus.
Masa tunas penyakit kusta rata – rata 2 – 5 tahun, ini disebabkan oleh karena masa
pembelahan kuman kusta membutuhkan waktu yang sangat lama dibandingkan dengan
kuman – kuman lainnya yang memiliki masa tunas kurang lebih 12 – 21 hari.
Mycobacterium lepra dapat hidup di luar tubuh selama 2 – 4 hari.
Bentuk bentuk kusta yang dapat kita lihat dibawah mikroskop adalah bentuk utuh,
bentuk pecah – pecah ( fragmented ), bentuk granular ( granulated ), bentuk globus dan
bentuk clumps. Bentuk utuh , diman dinding selnya masih utuh, mengambil zat warna
merata, dan panjangnya biasanya empat kali lebarnya. Bentuk pecah – pecah, dimana dinding
selnya terputus sebagian atau seluruhnya dan pengambilan zat warna tidak merata. Bentuk
granular, dimana kelihatan seperti titik – titik tersusun seperti garis lurus atau berkelompok.
Bentuk globus, dimana beberapa bentuk utuh atau fragmented atau granulated mengandung
ikatan atau berkelompok – kelompok. Kelompok kecil adalah kelompok yang terdiri dari 40
– 60 BTA sedangkan kelompok besar adalah kelompok yang terdiri dari 200 – 300 BTA.
Bentuk clumps, dimana beberapa bentuk granular membentuk pulau – pulau tersendiri dan
biasanya lebih dari 500 BTA.
Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain sampai tersebar di
seluruh dunia, tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi tersebut.
Masuknya kusta ke pulau – pulau Melanesia termasuk Indonesia, diperkirakan dibawa oleh
orang – orang Cina. Distribusi penyakit ini tiap – tiap negara maupun dalam negara sendiri
ternyata berbeda – beda. Demikian pula penyakit kusta menurun atau menghilang pada suatu
negara sampai saat ini belum jelas.
Kusta terdapat dimana – mana, terutama di Asia, Afrika, Amerika Latin, daerah
tropis dan subtropis, serta masyarakat yang sosial ekonominya rendah. Makin rendah sosial
ekonomi makin berat penyakitnya, sebaliknya faktor sosial ekonomi tinggi sangat membantu
penyembuhan. Ada variasi reaksi terhadap infeksi M.leprae yang mengakibatkan variasi
gambaran klinis di berbagai suku bangsa. Hal ini diduga akibat faktor genetik yang berbeda.
Pada tahun 1991, World Health Assembly membuat resolusi tentang eliminasi kusta
sebagai problem kesehatan masyarakat tahun 2000 dengan menurunkan prevalensi kusta
menjadi di bawah 1 kasus per 10.000 penduduk. Di Indonesia hal ini di kenal sebagai
Eliminasi Kusta tahun 2000 (EKT 2000).
Signal I tanpa adanya signal II akan menginduksi adanya sel T anergi dan tidak
teraktivasinya APC secara lengkap akan menyebabkan respon ke arah Th2. Pada Tuberkoloid
Leprosy, kita akan melihat bahwa Th 1 akan lebih tinggi dibandingkan dengan Th2
sedangkan pada Lepromatous leprosy, Th2 akan lebih tinggi dibandingkan dengan Th1.
APC pada kulit adalah sel dendritik dimana sel ini berasal dari sum – sum tulang
dan melalui darah didistribusikan ke jaringan non limfoid. Sel dendritik merupakan APC
yang paling efektif karena letaknya yang strategis yaitu di tempat – tempat mikroba dan
antigen asing masuk tubuh serta organ – organ yang mungkin dikolonisasi mikroba. Sel
denritik dalam hal untuk bekerja harus terlebih dulu diaktifkan dari IDC menjadi DC. Idc
akan diaktifkan oleh adanya peptida dari MHC pada permukaan sel, selain itu dengan adanya
molekul kostimulator CD86/B72, CD80/B7.1, CD38 dan CD40. Setelah DC matang, DC
akan pindah dari jaringan yang inflamasi ke sirkulasi limfatik karena adanya ekspresi dari
CCR7 ( reseptor kemokin satu – satunya yang diekspresikan oleh DC matang). M. Leprae
mengaktivasi DC melalui TLR 2 – TLR 1 heterodimer dan diasumsikan melalui triacylated
lipoprotein seperti 19 kda lipoprotein. TLR 2 polimorfisme dikaitkan dengan meningkatnya
kerentanan terhadap leprosy.
Pada Lepromatous leprosy, tipe lesinya adalah makula kecil yang eritematous atau
hipopigementasi yang akan menjadi papul, plak, nodul, dan penebalan kulit yang difus.
Selain itu, kita juga bisa menjumpai hilangnya rambut pada alis dan bulu mata ( madarosis).
Facies lionina ( lion’s face) karena penebalan, nodul, dan plak yang mengubah wajah yang
normal.Warna lesinya adalah warna kulit, eritema, dan hipopigmentasi. Distribusinya adalah
billateral simetris termasuk cuping telinga, wajah, lengan, dan buttocks atau yang paling
jarang di badan dan ekstremitas bawah. Pada membran mukosa tepatnya lidah dijumpai plak,
nodul, atau fissura.
Selain itu, ada pula yang disebut dengan kusta tipe neural murni dengan tanda –
tanda seperti tidak ada atau tidak pernah ada lesi pada kulit, ada satu atau lebih pembesaran
saraf, ada anestesia dan atau paralisis serta atropi otot pada daerah yang dipersarafinya. Tidak
dijumpainya bakterioskopik dan umumnya dijumpai test mitsuda positif. Untuk menentukan
diagnosis sampai tipenya yang biasanya tuberkoloid, borderline atau non spesifik harus
dilakukan pemeriksaan histopatologis.
Deformitas dapat terjadi pada kusta. Pada kusta sesuai patofisiologinya ada dua
yaitu primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh granuloma yang
terbentuk sebagai reaksi terhadap M.leprae, yang mendesak dan merusak jaringan
disekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang – tulang jari, dan wajah.
Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan saraf, umumnya deformitas
diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena kerusakan saraf.
Gejala kerusakan saraf pada nervus ulnaris adalah anestesia pada ujung jari
anterior kelingking dan jari manis, clawing kelingking dan jari manis, dan atrofi hipotenar
dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial. Pada N.medianus adalah anestesia
pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, tidak mampu aduksi ibu
jari, clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, ibu jari kontraktur, dan juga atrofi otot tenar
dan kedua otot lumbrikalis lateral. Pada N.radialis adalah anestesi dorsum manus, serta ujung
proksimal jari telunjuk, tangan gantung (wrist drop) dan tak mampu ekstensi jari – jari atau
pergelangan tangan. Pada N. Poplitea lateralis adalah anestesi tungkai bawah, bagian lateral
dan dorsum pedis, kaki gantung (foot drop) dan kelemahan otot peroneus. Pada N.tibialis
posterior adalah anestesi telapak kaki, claw toes , dan paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps
arkus pedis. Pada N. Fasialis adalah cabang temporal dan zigomatik menyebabkan
lagoftalmus dan cabang bukal, mandibular serta servikal menyebabkan kehilangan ekspresi
wajah dan kegagalan mengatupkan bibir. Pada N.trigeminus adalah anestesi kulit wajah,
kornea dan konjungtiva mata.
Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan
alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder
disebabkan oleh rusaknya N.fasialis yang dapat membuat paralisis N.orbitkularis
palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya,
menyebabkan kerusakan bagian – bagian mata lainnya. Secara sendirian atau bersama – sama
akan menyebabkan kebutaan.
Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas jaringan keringat,
kelenjar palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Pada tipe
lepromatous dapat timbul ginekomastia akibat gangguan keseimbangan hormonal dan oleh
karena infiltrasi granuloma pada tubulus seminiferus testis.
Kusta histioid, merupakan variasi lesi pada tipe lepromatous yang titandai dengan
adanya nodus yang berbatas tegas, dapat juga berbentuk nodus yang berbatas tegas, dapat
juga berbentuk plak. Bakterioskopik positif tinggi. Umumnya timbul sebagai kasus relapse
sensitive atau relape resistent. Relapse sensitive terjadi, bila penyakit kambuh setelah
menyelesaikan pengobatan sesuai dengan waktu yang ditentukan. Dapat terjadi oleh karena
kuman yang dorman aktif kembali atau pengobatan yang diselesaikan tisak adekuat, baik
dosis maupun lama pemberiannya.
Gejala pada reaksi kusta tipe I adalah perubahan lesi kulit, demam yang tidak
begitu tinggi, gangguan konstitusi, gangguan saraf tepi, multiple small satellite skin
makulopapular skin lesion dan nyeri pada tekan saraf. Reaksi kusta tipe I dapat dibedakan
atas reaksi ringan dan berat.
BEDA REAKSI RINGAN DAN REAKSI BERAT PADA
REAKSI KUSTA TYPE 1
Gejala Reaksi Ringan Reaksi Berat
1. Lesi kulit -tambah aktif, menebal, -Lesi membengkak
merah, teraba panas sampai ada yang
dan nyeri tekan pecah merah, teraba
panas dan nyeri tekan
-makula yang menebal
dapat sampai -Ada lesi kulit baru,
membentuk plak tangan & kaki
membengkak, sendi-
sendi sakit
2. Saraf tepi -tidak ada neuritis -Ada neuritis (nyeri
(tidak ada nyeritekan tekan dan gangguan
dan gangguan fungsi) fungsi saraf)
-tidak ada demam -Kadang-kadang ada
3. Keadaan umum
demam
Pada reaksi kusta tipe II adalah neuritis, gangguan konstitusi, dan komplikasi
organ tubuh. Reaksi kusta tipe II juga dapat dibedakan atas reaksi ringan dan berat.
BEDA REAKSI RINGAN DAN BERAT
Gejala Reaksi ringan Reaksi berat
1. Lesi kulit ENL yang nyeri tekan -ENL nyeri tekan, ada yang
jumlah sedikit, biasanya sampai pecah (ulserasi)
hilang sendiri dalam 2-3 hari -Jumlah banyak
-Berlangsung lama
2. Konstitusi Demam tidak ada sampai Demam ringan sampai berat
demam ringan
3. Saraf tepi Tidak ada neuritis (nyeri Neuritis (+) nyeri tekan &
tekan & ggn fungsi saraf) gangguan fungsi saraf
4. Organ tubuh Tidak ada ggn Terjadi peradangan pd
organ tubuh.
Mata iridocytitis
Testisepididymoorchitis
Ginjalnephritis
Sendiarthritis
Kel. Limf lymphadenitis
Ggn pd tulang, hidung &
tenggorokan
Fenomena lucio berupa plak atau infiltrat difus, merah muda, bentuk tidak teratur,
dan nyeri. Lesi lebih berat tampak lebih eritematosa, purpura, bula, terjadi nekrosis dan
ulserasi yang nyeri. Lesi lambat sembuh dan terbentuk jaringan parut. Dari hasil
histopatologi ditemukan nekrosis epidermal iskemik, odem, proliferasi endotelial pembuluh
darah dan banyak basil M.leprae di endotel kapiler.
Eritema nodosum lepromatous (ENL), timbul nodul subkutan yang nyeri tekann
dan meradang, biasanya dalam kumpulan. Setiap nodul bertahan selama satua atau dua
minggu tetapi bisa timbul kumpulan nodul baru. Dapat terjadi demam, limfadenopati, dan
athralgia.
4.2.4 Pemeriksaan
Inspeksi, palpasi dan pemeriksaan dengan menggunakan alat – alat sederhana
yaitu jarum untuk rasa nyeri, kapas untuk rasa raba, tabung reaksi masing – masing dengan
air panas dan es, pensil tinta Gunawan ( tanda Gunawan) untuk melihat ada tidaknya
dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas dan dapat pula tidak dan sebagainya. Cara
menggoresnya mulai dari tengah lesi, yang kadang – kadang dapat membantu, tetapi bagi
penderita yang memiliki kulit berambut sedikit, sangat sukar untuk menentukannya.
Untuk saraf perifer, perlu diperhatikan pembesaran, konsistensi dan nyeri atau
tidak. Hanya beberapa saraf yang diperiksa yaitu N.fasialis, N.aurikularis magnus, N.radialis,
N. Ulnaris, N. Medianus, N. Poplitea lateralis, N. Tibialis posterior.Pada tipe lepromatous
biasanya kelainan sarafnya billateral dan menyeluruh sedangkan tipe tuberkoloid terlokalisasi
mengikuti tempat lesinya.
Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA, I.B 1+ tidak perlu
dibuat IM karedna untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam 1.000 sampai 10.000
lapangan, mulai I.B 3+ maksimum harus dicari 100 lapangan.
Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi
tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita terhadap
M.leprae. O,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil organisme, disuntikkan
intradermal. Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2hari ( reaksi Fernandez) atau 3 – 4 minggu
( reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila terdapat indurasi dan eritema yang
menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap M. Leprae yaitu respon imun tipe lambat ini
seperti mantoux test ( PPD) pada tuberkolosis.
4.2.5.2 Komplikasi
Di dunia, lepra mungkin penyebab tersering kerusakan tangan. Trauma dan
infeksi kronik sekunder dapat menyebabkan hilangnya jari jemari ataupun ekstremitas
bagian distal. Juga sering terjadi kebutaan. Fenomena lucio yang ditandai dengan artitis,
terbatas pada pasien lepromatosus difus, infiltratif dan non noduler. Kasus klinik yang berat
lainnya adalah vaskulitis nekrotikus dan menyebabkan meningkatnya mortalitas. Amiloidos
sekunder merupakan penyulit pada penyakit leprosa berat terutama ENL kronik.
4.2.6 Rehabilitasi
Dilakukan dengan jalan operasi dan fisioterapi. Dengan cara lain yaitu secara
kekaryaan, memberi lapangan kerja sesuai dengan cacat tubuhnya sehingga dapat berprestasi
dan dapat meningkatkan rasa percaya diri. Selain itu, dapat dilakukan terapi psikologik
( kejiwaan).
Vitiligo, makula putih berbatas tegas dan mengenai seluruh tubuh yang
mengandung sel melanosit. Vitiligo merupakan hipomelanosis idiopatik yang ditandai
dengan makula putih yang dapat meluas. Patogenesis vitiligo ada beberapa yaitu hipotesis
autoimun, hipotesis neurohumoral, hipotesis autotoksik dan pajanan terhadap bahan kimia.
Vitiligo dapat dibagi atas dua yaitu lokal dan generalisata. Vitiligo lokal dapat
dibagi tiga yaitu vitiligo fokal adalah makula satu atau lebih tetapi tidak segmental, vitiligo
segmental adalah makula satu atau lebih yang distribusinya sesuai dengan dermatom, dan
mukosal yang hanya terdapat pada mukosa. Vitiligo generalisata juga dapat dibagi tiga yaitu
vitiligo acrofasial adalah depigmentasi hanya pada bagian distal ekstremitas dan muka serta
merupakan stadium awal vitiligo generalisata, vitiligo vulgaris adalah makula yang luas
tetapi tidak membentuk satu pola, dan vitiligo campuran adalah makula yang menyeluruh
atau hampir menyeluruh merupakan vitiligo total.
Tinea korporis, dermatiofitosis pada kulit tubuh tidak berambut (glabrous skin) .
Gejala klinisnya adalah lesi bulat atau lonjong, eritema, skuama, kadang papul dan vesikel di
pinggir, daerah lebih terang, terkadang erosi dan krusta karena kerokan, lesi umumnya bercak
– bercak terpisah satu dengan yang lain, dapat polisiklik, dan ada center healing.
Lichen Planus, ditandai dengan adanya papul – papul yang mempunyai warna dan
konfigurasi yang khas. Papul –papul berwarna merah, biru, berskuama, dan berbentuk siku –
siku. Lokasinya diekstremitas bagian fleksor, selaput lendir, dan alat kelamin. Rasanya sangat
gatal, umumnya membaik 1 – 2 tahun. Hipotesis mengatakan liken planus merupakan infeksi
virus.
4.5 Penatalaksanaan
Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan insiden
penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya penyakit, untuk
mencapai tujuan tersebut, srategi pokok yg dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan
pengobatan penderita.
PB dengan lesi 2 – 5.Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan selama (6-9)
bulan. Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan RFT (Release From Treatment) yaitu berhenti
minum obat.
Rifampicin Dapson
Dewasa 600 mg/bulan 100 mg/hr diminum di
Diminum di depanrumah
petugas kesehatan
MB dengan lesi > 5. Lama pengobatan 12 dosis ini bisa diselesaikan selama 12-
18 bulan. Setelah selesai minum 12 dosis obat ini, dinyatakan RFT/=Realease From
Treatment yaitu berhenti minum obat. Masa pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif
untuk tipe PB selama 2 tahun dan tipe MB selama 5 tahun.
Pengobatan reaksi kusta. Bila reaksi tidak ditangani dengan cepat dan tepat maka
dapat timbul kecacatan berupa kelumpuhan yang permanen seperti claw hand , drop foot ,
claw toes , dan kontraktur. Untuk mengatasi hal-hal tersebut diatas dilakukan pengobatan
“Prinsip pengobatan Reaksi Kusta “ yaitu immobilisasi / istirahat, pemberian analgesik dan
sedatif, pemberian obat-obat anti reaksi, MDT diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.
Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian analgetik dan
obat-obat penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150 mg 3x1 selama 3-5 hari, dan
MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.
Reaksi berat, immobilisasi, rawat inap di rumah sakit, pemberian analgesik dan
sedative, MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis tidak diubah, pemberian obat-obat anti
reaksi dan pemberian obat-obat kortikosteroid misalnya prednison. Obat-obat anti reaksi,
Aspirin dengan dosis 600-1200 mg setiap 4 jam (4 – 6x/hari ) , Klorokuin dengan dosis 3 x
150 mg/hari, Antimon yaitu stibophen (8,5 mg antimon per ml ) yang diberikan 2-3 ml secara
selang-seling dan dosis total tidak melebihi 30 ml. Antimon jarang dipakai oleh karena
toksik. Thalidomide juga jarang dipakai,terutama padawanita (teratogenik ).Dosis 400
mg/hari kemudian diturunkan sampai mencapai 50 mg/hari.
Pemberian Kortikosteroid,dimulai dengan dosis tinggi atau sedang.Digunakan
prednison atau prednisolon.Gunakan sebagai dosis tunggal pada pagi hari lebih baik
walaupun dapat juga diberikan dosis berbagi. Dosis diturunkan perlahan-lahan (tapering off)
setelah terjadi respon maksimal.
BAB V
ULASAN
Ada beberapa hal masih belum jelas dalam hal, Reaksi kusta timbul sesudah
pengobatan atau sebelum pengobatan. Setelah mendapat penjelasan dari pakar, reaksi kusta
bisa timbul sebelum, sesudah ataupun selama pengobatan. Tetapi yang paling sering terjadi
adalah setelah pengobatan.
Adakah perbedaan pengobatan pada reaksi kusta tipe I dan II? Setelah mendapat
penjelasan dari pakar, pengobatan pada reaksi kusta tipe I dan II pada dasarnya sama. Hanya
dibedakan atas dasar berat dan ringannya penyakit.
Kenapa terjadi lagoftalmus? Untuk pertanyaan ini, telah dijabarkan di atas bahwa
rusaknya N.fasialis yang dapat membuat paralisis N.orbitkularis palpebrarum sebagian atau
seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian –
bagian mata lainnya
BAB VI
KESIMPULAN
Djuanda, Adhi dkk. Kusta. Adhi Djuanda, Mochtar Hamzah, dan Siti Aisah. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin edisi kelima. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.2007;73- 88.
Fitzpatrick, Thomas B dkk.Leprosy. Color Atlas and Synopsis of clinical Dermatology.
Singapore : Mc Graw Hill.1997; 1271 – 1290.
Murray, Rose Ann, Mahveen Ruby Siddiqui, Megan Medillo, dkk. Mycobacterium leprae
Inhibits Dendritic Cell Activation and Maturation. Available at www.jimmunol.org,
2007,178:338-334.