Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH TUTORIAL

Blok Dermatomuskular System


Kelompok Tutorial : B6
Nama : Sri Wahyuni
NIM : 070100076
Fasilitator : dr.Nurdin Siregar

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


FAKULTAS KEDOKTERAN
MEDAN
2009
MAKALAH TUTORIAL
Blok Dermatomuskular System
Tanggal : 3 Februari 2009 dan
6 Februari 2009
Nama atau tema blok :
Dermatomuskular System dengan Kusta
Fasilitator : dr.Nurdin Siregar
Data Pelaksanaan :
A. Tanggal Tutorial : 3 Februari 2009 dan
6 Februari 2009
B. Pemicu ke – 3
C. Pukul : 10.00- 12.30 dan 09.30-12.00
D.Ruangan : Ruang Diskusi Kimia 1
Daftar Isi
Halaman Judul
Daftar Isi...................................................................................................................i
I. PENDAHULUAN..........................................................................................1
II PEMICU.........................................................................................................2
III MORE INFO..................................................................................................3
IV PEMBAHASAN
4.1 Mycobacterium Leprae............................................................................4
4.2 Leprosy atau Kusta .................................................................................5
4.2.1 Epidemiologi...................................................................................5
4.2.2 Patogenesis leprosy.........................................................................6
4.2.2.1 Patogenesis Kerusakan Saraf pada Pasien Leprosy............8
4.2.2.2 Patogenesis Reaksi Kusta...................................................8
4.2.3 Gejala Klinis....................................................................................9
4.2.4 Pemeriksaan...................................................................................13
4.2.5 Prognosis dan komplikasi..............................................................16
4.2.5.1 Prognosis............................................................................16
4.2.5.1 Komplikasi.........................................................................16
4.2.6 Rehabilitasi.....................................................................................16
4.3 Klasifikasi Leprosy................................................................................17
4.4 Differential Diagnosis............................................................................19
4.5 Penatalaksanaan ...................................................................................22
V. ULASAN.....................................................................................................27
VI. KESIMPULAN...........................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................29
BAB I
PENDAHULUAN

Kusta merupakan penyakit tertua yang sampai sekarang masih ada. Kusta berasal
dari bahasa India kustha, dikenal sejak 1400 tahun sebelum masehi.Kusta merupakan
penyakit yang sangat ditakuti oleh masyarakat karena dapat menyebabkan ulserasi, mutilasi
dan deformitas. Penderita kusta tidak hanya menderita akibat penyakitnya saja tetapi juga
karena dikucilkan masyarakat sekitarnya. Oleh sebab itu, penulis akan membahas penyakit
kusta lebih mendalam dalam makalah ini.

Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah


Mycobacterium Leprae yang bersifat intrasellular obligat.Saraf perifer sebagai afinitas
pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ
lain kecuali susunan saraf pusat. ( sumber : Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin UI)

Jumlah kusta diseluruh dunia selama 12 tahun terakhir ini telah menurun 85 % di
sebagian besar negara atau wilayah endemis. Kasus yang terdaftar pada tahun 1997 kurang
lebih 890.000 penderita.Walaupun penyakit ini masih problem kesehatan masyarakat di 55
negara atau wilayah, 91 % dari jumalah kasus berada di 16 negara, dan 82 %nya di lima
negara yaitu Brazil, India, Indonesia, Myanmar, dan Nigeria. Di indonesia, jumlah kasus
kusta yang tercatat pada akhir Maret 1997 adalah 31.699 orang, distribusi juga tidak merata,
yang tertinggi antara lain di Jawa Timur, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Prevalensi di
Indonesia per 10.000 penduduk adalah 1,57.
BAB II
PEMICU

Ani usia 30 tahun, datang berobat ke poliklinik kulit dan kelamin RSUP H.Adam
Malik dengan keluhan timbul benjolan – benjolan berwarna merah pada wajah, kedua
tungkai dan badan yang disertai rasa nyeri dan demam.Sebelumnya pada badan dijumpai
bercak 0 bercak putih yang tidak gatal.Selama ini os sudah berobat ke puskesmas, diberi obat
dalam bentuk blister per bulan.
Apa yang terjadi pada Ani?
BAB III
MORE INFO

Pada pemeriksaan saraf tepi, dijumpai penebalan / pembesaran pada nervus ulnaris,
nervus peroneus komunis dan nervus tibialis posterior disertai rasa nyeri/ sakit pada
perabaan, suhu 39 C dan dijumpai adanya lagoftalmus.

Pemeriksaan kerokan kulit : dijumpai BTA (+)

Bagaimana pendapat saudara mengenai keadaan saudara Ani sekarang?


BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Mycobacterium Leprae


Mycobacterium Leprae merupakan bakteri tahan asam penyebab penyakit kusta
atau sering juga disebut dengan lepra. Armauer Hansen (1837) adalah orang pertama yang
menemukan kuman penyebab kusta.

Sifat Mycobacterium lepra adalah berbentuk batang dengan panjang 1 – 8 µ dan


lebar 0,2 – 0,5 µ, bakteri tahan asam tahan alkohol, baketri gram positif, tidak berspora,
tidak bergerak, biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu – satu, Hidup di dalam sel
terutama jaringan yang bersuhu dingin, dan Tidak dapat di kultur dalam media buatan.
Bagian tubuh yang dingin merupakan tempat predileksi seperti saluran nafas, testis, ruang
anterior mata, kulit terutama cuping telingan dan jari – jari.

Masa tunas penyakit kusta rata – rata 2 – 5 tahun, ini disebabkan oleh karena masa
pembelahan kuman kusta membutuhkan waktu yang sangat lama dibandingkan dengan
kuman – kuman lainnya yang memiliki masa tunas kurang lebih 12 – 21 hari.
Mycobacterium lepra dapat hidup di luar tubuh selama 2 – 4 hari.

Bentuk bentuk kusta yang dapat kita lihat dibawah mikroskop adalah bentuk utuh,
bentuk pecah – pecah ( fragmented ), bentuk granular ( granulated ), bentuk globus dan
bentuk clumps. Bentuk utuh , diman dinding selnya masih utuh, mengambil zat warna
merata, dan panjangnya biasanya empat kali lebarnya. Bentuk pecah – pecah, dimana dinding
selnya terputus sebagian atau seluruhnya dan pengambilan zat warna tidak merata. Bentuk
granular, dimana kelihatan seperti titik – titik tersusun seperti garis lurus atau berkelompok.
Bentuk globus, dimana beberapa bentuk utuh atau fragmented atau granulated mengandung
ikatan atau berkelompok – kelompok. Kelompok kecil adalah kelompok yang terdiri dari 40
– 60 BTA sedangkan kelompok besar adalah kelompok yang terdiri dari 200 – 300 BTA.
Bentuk clumps, dimana beberapa bentuk granular membentuk pulau – pulau tersendiri dan
biasanya lebih dari 500 BTA.

4.2 Leprosy atau Kusta


4.2.1 Epidemiologi
Masalah epidemiologi masih belum terpecahkan, cara penularan belum diketahui
pasti hanya berdasarkan anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung antar kulit yang lama
dan erat. Anggapan kedua adalah secara inhalasi, Micobacterium leprae masih dapat hidup
beberapa hari dalam droplet.

Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain sampai tersebar di
seluruh dunia, tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi tersebut.
Masuknya kusta ke pulau – pulau Melanesia termasuk Indonesia, diperkirakan dibawa oleh
orang – orang Cina. Distribusi penyakit ini tiap – tiap negara maupun dalam negara sendiri
ternyata berbeda – beda. Demikian pula penyakit kusta menurun atau menghilang pada suatu
negara sampai saat ini belum jelas.

Faktor – faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenesis kuman penyebab,


cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik yang berhubungan
dengan kerentanan, perubahan imunitas, dan kemungkinan adanya reservoir di luar manusia.
Penyakit kusta masa kini lain denga kusta tempo dulu, tetapi meskipun demikian masih
banyak hal – hal yang belum jelas diketahui, sehingga masih merupakan tantangan yang luas
bagi para ilmuan untuk pemecahannya.

Belum ditemukan medium artifisial, mempersulit dalam mempelajari sifat – sifat


M.leprae. Sebagai sumber infeksi hanyalah manusia, meskipun masih dipikirkan adanya
kemungkinan di luar manusia. Penderita yang mengandung M.leprae sampai 103 per gram
jaringan, penularannya tiga kali sampai sepuluh kali lebih besar dibandingkan dengan
penderita yang hanya mengandung 107 basil per gram jaringan.
Kusta bukan penyakit turunan. Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel rambut,
kelenjar keringat, dan air susu ibu, jarang didapat dalam urin. Sputum dapat banyak
mengandung M.leprae yang berasal dari traktus respiratorius atas. Tempat implantasi tidak
selalu menjadi tempat lesi pertama. Dapat menyerang semua umur, anak – anak lebih rentan
daripada orang dewasa. Di indonesia penderita anak – anak di bawah umur 14 tahun
didapatkan kurang lebih 13 %, tetapi anak dibawah umur satu tahun jarang sekali. Saat ini
usaha pencatatan penderita dibawah umur satu tahun penting dicari kemungkinan ada
tidaknya kusta kongenital. Frekuensi tertinggi terdapat pada kelompok umur antara 25 – 35
tahun.

Kusta terdapat dimana – mana, terutama di Asia, Afrika, Amerika Latin, daerah
tropis dan subtropis, serta masyarakat yang sosial ekonominya rendah. Makin rendah sosial
ekonomi makin berat penyakitnya, sebaliknya faktor sosial ekonomi tinggi sangat membantu
penyembuhan. Ada variasi reaksi terhadap infeksi M.leprae yang mengakibatkan variasi
gambaran klinis di berbagai suku bangsa. Hal ini diduga akibat faktor genetik yang berbeda.

Pada tahun 1991, World Health Assembly membuat resolusi tentang eliminasi kusta
sebagai problem kesehatan masyarakat tahun 2000 dengan menurunkan prevalensi kusta
menjadi di bawah 1 kasus per 10.000 penduduk. Di Indonesia hal ini di kenal sebagai
Eliminasi Kusta tahun 2000 (EKT 2000).

4.2.2 Patogenesis Leprosy


Masuknya M.Leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC (Antigen
Presenting Cell) dan melalui dua signal yaitu signal pertama dan signal kedua. Signal
pertama adalah tergantung pada TCR- terkait antigen (TCR = T cell receptor) yang
dipresentasikan oleh molekul MHC pada permukaan APC sedangkan signal kedua adalah
produksi sitokin dan ekspresinya pada permukaan dari molekul kostimulator APC yang
berinteraksi dengan ligan sel T melalui CD28. Adanya kedua signal ini akan mengaktivasi To
sehingga To akan berdifferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Adanya TNF α dan IL 12 akan
membantu differensiasi To menjadi Th1.
Th 1 akan menghasilkan IL 2 dan IFN γ yang akan meningkatkan fagositosis
makrofag( fenolat glikolipid I yang merupakan lemak dari M.leprae akan berikatan dengan
C3 melalui reseptor CR1,CR3,CR4 pada permukaannya lalu akan difagositosis) dan
proliferasi sel B. Selain itu, IL 2 juga akan mengaktifkan CTL lalu CD8+. Di dalam fagosit,
fenolat glikolipid I akan melindungi bakteri dari penghancuran oksidatif oleh anion
superoksida dan radikal hidroksil yang dapat menghancurkan secara kimiawi. Karena gagal
membunuh antigen maka sitokin dan growth factors akan terus dihasilkan dan akan merusak
jaringan akibatnya makrofag akan terus diaktifkan dan lama kelamaan sitoplasma dan
organella dari makrofag akan membesar, sekarang makrofag seudah disebut dengan sel
epiteloid dan penyatuan sel epitelioid ini akan membentuk granuloma.

Th2 akan menghasilkan IL 4, IL 10, IL 5, IL 13. IL 5 akan mengaktifasi dari


eosinofil. IL 4 dan IL 10 akan mengaktifasi dari makrofag. IL 4 akan mengaktifasi sel B
untuk menghasilkan IgG4 dan IgE. IL 4 , IL10, dan IL 13 akan mengaktifasi sel mast.

Signal I tanpa adanya signal II akan menginduksi adanya sel T anergi dan tidak
teraktivasinya APC secara lengkap akan menyebabkan respon ke arah Th2. Pada Tuberkoloid
Leprosy, kita akan melihat bahwa Th 1 akan lebih tinggi dibandingkan dengan Th2
sedangkan pada Lepromatous leprosy, Th2 akan lebih tinggi dibandingkan dengan Th1.

APC pada kulit adalah sel dendritik dimana sel ini berasal dari sum – sum tulang
dan melalui darah didistribusikan ke jaringan non limfoid. Sel dendritik merupakan APC
yang paling efektif karena letaknya yang strategis yaitu di tempat – tempat mikroba dan
antigen asing masuk tubuh serta organ – organ yang mungkin dikolonisasi mikroba. Sel
denritik dalam hal untuk bekerja harus terlebih dulu diaktifkan dari IDC menjadi DC. Idc
akan diaktifkan oleh adanya peptida dari MHC pada permukaan sel, selain itu dengan adanya
molekul kostimulator CD86/B72, CD80/B7.1, CD38 dan CD40. Setelah DC matang, DC
akan pindah dari jaringan yang inflamasi ke sirkulasi limfatik karena adanya ekspresi dari
CCR7 ( reseptor kemokin satu – satunya yang diekspresikan oleh DC matang). M. Leprae
mengaktivasi DC melalui TLR 2 – TLR 1 heterodimer dan diasumsikan melalui triacylated
lipoprotein seperti 19 kda lipoprotein. TLR 2 polimorfisme dikaitkan dengan meningkatnya
kerentanan terhadap leprosy.

4.2.2.1 Patogenesis kerusakan saraf pada pasien leprosy


M.Leprae memiliki bagian G domain of extracellular matriks protein laminin 2
yang akan berikatan dengan sel schwaan melalui reseptor dystroglikan lalu akan
mengaktifkan MHC kelas II setelah itu mengaktifkan CD4+. CD4+ akan mengaktifkan Th1
dan Th2 dimana Th1 dan Th2 akan mengaktifkan makrofag. Makrofag gagal memakan M.
Leprae akibat adanya fenolat glikolipid I yang melindunginya di dalam makrofag.
Ketidakmampuan makrofag akan merangsang dia bekerja terus – menerus untuk
menghasilkan sitokin dan GF yang lebih banyak lagi. Sitokin dan GF tidak mengenelai
bagian self atau nonself sehingga akan merusak saraf dan saraf yang rusak akan diganti
dengan jaringan fibrous sehingga terjadilah penebalan saraf tepi. Sel schwann merupakan
APC non profesional.

4.2.2.2Patogenesis reaksi kusta


Reaksi kusta adalah suatu episode akut dalam perjalan kronis penyakit kusta yang
dianggap sebagai suatu kelaziman atau bagian dari komplikasi penyakit kusta. Ada dua tipe
reaksi dari kusta yaitu reaksi kusta tipe I dan reaksi kusta tipe II. Reaksi kusta tipe I sering
disebut reaksi lepra non nodular merupakan reaksi hipersensitifitas tipe IV ( Delayed Type
Hipersensitivity Reaction ). Reaksi tipe I sering kita jumpai pada BT dan BL. M. Leprae akan
berinteraksi dengan limfosit T dan akan mengakibatkan perubahan sistem imunitas selluler
yang cepat. Hasil dari reaksi ini ada dua yaitu upgrading reaction / reversal reaction , dimana
terjadi pergeseran ke arah tuberkoloid ( peningkatan sistem imunitas selluler) dan biasanya
terjadi pada respon terhadap terapi, dan downgrading, dimana terjadi pergeseran ke arah
lepromatous ( penurunan sistem imunitas selluler) dan biasanya terjadi pada awal terapi.

Reaksi kusta tipe II adalah hipersensitivitas humoral tepatnya hipersensitivitas


tipe III. Reaksi tipe dua sering juga disebut eritema nodosum lepromatous. Reaksi ini sering
terjadi pada pasien LL. M. Leprae akan berinteraksi dengan antibodi membentuk kompleks
imun dan mengendap pada pembuluh darah. Komplemen akan berikatan pada komples imun
dan merangsang netrofil untuk menghasilkan enzim lisosom. Enzim lisosom akan melisis sel.
4.2.3 Gejala Klinis
Diagnosis Lepra dapat ditegakkan apabila terdapat 1 atau lebih tanda kardinal
yaitu lesi kulit pada tipe karakteristik lepra dengan penurunan atau kehilangan sensasi
(anastesi), penebalan saraf perifer, dan ditemukan M.lepra, biasanya pada kulit.

Pada Tuberkoloid leprosy, tipe lesinya adalah adanya makula yang


hipopigmentasi, anestesi, dengan pinggir yang agak tinggi dan bervariasi ukurannya dari mm
sampai lesi yang besar menutupi seluruh tubuh. Warna lesinya adalah eritema atau ungu pada
pinggirnya dan hipopigmentasi ditengah. Distribusi lesinya adalah dimana saja termasuk
wajah. Keterlibatan saraf yaitu dapat terjadinya penebalan saraf pada pinggir lesi dan sering
terjadi pembesaran saraf perifer pada Nervus ulnaris.

Pada Lepromatous leprosy, tipe lesinya adalah makula kecil yang eritematous atau
hipopigementasi yang akan menjadi papul, plak, nodul, dan penebalan kulit yang difus.
Selain itu, kita juga bisa menjumpai hilangnya rambut pada alis dan bulu mata ( madarosis).
Facies lionina ( lion’s face) karena penebalan, nodul, dan plak yang mengubah wajah yang
normal.Warna lesinya adalah warna kulit, eritema, dan hipopigmentasi. Distribusinya adalah
billateral simetris termasuk cuping telinga, wajah, lengan, dan buttocks atau yang paling
jarang di badan dan ekstremitas bawah. Pada membran mukosa tepatnya lidah dijumpai plak,
nodul, atau fissura.

Pada borderline, lesinya berada diantara tuberkoloid dan lepromatous dengan


makula, papul, dan plak. Ditemukan adanya anestesi dan menurunnya keringat pada lesi.

Selain itu, ada pula yang disebut dengan kusta tipe neural murni dengan tanda –
tanda seperti tidak ada atau tidak pernah ada lesi pada kulit, ada satu atau lebih pembesaran
saraf, ada anestesia dan atau paralisis serta atropi otot pada daerah yang dipersarafinya. Tidak
dijumpainya bakterioskopik dan umumnya dijumpai test mitsuda positif. Untuk menentukan
diagnosis sampai tipenya yang biasanya tuberkoloid, borderline atau non spesifik harus
dilakukan pemeriksaan histopatologis.

Deformitas dapat terjadi pada kusta. Pada kusta sesuai patofisiologinya ada dua
yaitu primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh granuloma yang
terbentuk sebagai reaksi terhadap M.leprae, yang mendesak dan merusak jaringan
disekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang – tulang jari, dan wajah.
Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan saraf, umumnya deformitas
diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena kerusakan saraf.

Gejala kerusakan saraf pada nervus ulnaris adalah anestesia pada ujung jari
anterior kelingking dan jari manis, clawing kelingking dan jari manis, dan atrofi hipotenar
dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial. Pada N.medianus adalah anestesia
pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, tidak mampu aduksi ibu
jari, clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, ibu jari kontraktur, dan juga atrofi otot tenar
dan kedua otot lumbrikalis lateral. Pada N.radialis adalah anestesi dorsum manus, serta ujung
proksimal jari telunjuk, tangan gantung (wrist drop) dan tak mampu ekstensi jari – jari atau
pergelangan tangan. Pada N. Poplitea lateralis adalah anestesi tungkai bawah, bagian lateral
dan dorsum pedis, kaki gantung (foot drop) dan kelemahan otot peroneus. Pada N.tibialis
posterior adalah anestesi telapak kaki, claw toes , dan paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps
arkus pedis. Pada N. Fasialis adalah cabang temporal dan zigomatik menyebabkan
lagoftalmus dan cabang bukal, mandibular serta servikal menyebabkan kehilangan ekspresi
wajah dan kegagalan mengatupkan bibir. Pada N.trigeminus adalah anestesi kulit wajah,
kornea dan konjungtiva mata.

Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan
alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder
disebabkan oleh rusaknya N.fasialis yang dapat membuat paralisis N.orbitkularis
palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya,
menyebabkan kerusakan bagian – bagian mata lainnya. Secara sendirian atau bersama – sama
akan menyebabkan kebutaan.
Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas jaringan keringat,
kelenjar palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Pada tipe
lepromatous dapat timbul ginekomastia akibat gangguan keseimbangan hormonal dan oleh
karena infiltrasi granuloma pada tubulus seminiferus testis.

Kusta histioid, merupakan variasi lesi pada tipe lepromatous yang titandai dengan
adanya nodus yang berbatas tegas, dapat juga berbentuk nodus yang berbatas tegas, dapat
juga berbentuk plak. Bakterioskopik positif tinggi. Umumnya timbul sebagai kasus relapse
sensitive atau relape resistent. Relapse sensitive terjadi, bila penyakit kambuh setelah
menyelesaikan pengobatan sesuai dengan waktu yang ditentukan. Dapat terjadi oleh karena
kuman yang dorman aktif kembali atau pengobatan yang diselesaikan tisak adekuat, baik
dosis maupun lama pemberiannya.

Gejala pada reaksi kusta tipe I adalah perubahan lesi kulit, demam yang tidak
begitu tinggi, gangguan konstitusi, gangguan saraf tepi, multiple small satellite skin
makulopapular skin lesion dan nyeri pada tekan saraf. Reaksi kusta tipe I dapat dibedakan
atas reaksi ringan dan berat.
BEDA REAKSI RINGAN DAN REAKSI BERAT PADA
REAKSI KUSTA TYPE 1
Gejala Reaksi Ringan Reaksi Berat
1. Lesi kulit -tambah aktif, menebal, -Lesi membengkak
merah, teraba panas sampai ada yang
dan nyeri tekan pecah merah, teraba
panas dan nyeri tekan
-makula yang menebal
dapat sampai -Ada lesi kulit baru,
membentuk plak tangan & kaki
membengkak, sendi-
sendi sakit
2. Saraf tepi -tidak ada neuritis -Ada neuritis (nyeri
(tidak ada nyeritekan tekan dan gangguan
dan gangguan fungsi) fungsi saraf)
-tidak ada demam -Kadang-kadang ada
3. Keadaan umum
demam

Pada reaksi kusta tipe II adalah neuritis, gangguan konstitusi, dan komplikasi
organ tubuh. Reaksi kusta tipe II juga dapat dibedakan atas reaksi ringan dan berat.
BEDA REAKSI RINGAN DAN BERAT
Gejala Reaksi ringan Reaksi berat

1. Lesi kulit ENL yang nyeri tekan -ENL nyeri tekan, ada yang
jumlah sedikit, biasanya sampai pecah (ulserasi)
hilang sendiri dalam 2-3 hari -Jumlah banyak
-Berlangsung lama
2. Konstitusi Demam tidak ada sampai Demam ringan sampai berat
demam ringan
3. Saraf tepi Tidak ada neuritis (nyeri Neuritis (+)  nyeri tekan &
tekan & ggn fungsi saraf) gangguan fungsi saraf
4. Organ tubuh Tidak ada ggn Terjadi peradangan pd
organ tubuh.
Mata iridocytitis
Testisepididymoorchitis
Ginjalnephritis
Sendiarthritis
Kel. Limf lymphadenitis
Ggn pd tulang, hidung &
tenggorokan

Fenomena lucio berupa plak atau infiltrat difus, merah muda, bentuk tidak teratur,
dan nyeri. Lesi lebih berat tampak lebih eritematosa, purpura, bula, terjadi nekrosis dan
ulserasi yang nyeri. Lesi lambat sembuh dan terbentuk jaringan parut. Dari hasil
histopatologi ditemukan nekrosis epidermal iskemik, odem, proliferasi endotelial pembuluh
darah dan banyak basil M.leprae di endotel kapiler.

Eritema nodosum lepromatous (ENL), timbul nodul subkutan yang nyeri tekann
dan meradang, biasanya dalam kumpulan. Setiap nodul bertahan selama satua atau dua
minggu tetapi bisa timbul kumpulan nodul baru. Dapat terjadi demam, limfadenopati, dan
athralgia.

4.2.4 Pemeriksaan
Inspeksi, palpasi dan pemeriksaan dengan menggunakan alat – alat sederhana
yaitu jarum untuk rasa nyeri, kapas untuk rasa raba, tabung reaksi masing – masing dengan
air panas dan es, pensil tinta Gunawan ( tanda Gunawan) untuk melihat ada tidaknya
dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas dan dapat pula tidak dan sebagainya. Cara
menggoresnya mulai dari tengah lesi, yang kadang – kadang dapat membantu, tetapi bagi
penderita yang memiliki kulit berambut sedikit, sangat sukar untuk menentukannya.

Untuk saraf perifer, perlu diperhatikan pembesaran, konsistensi dan nyeri atau
tidak. Hanya beberapa saraf yang diperiksa yaitu N.fasialis, N.aurikularis magnus, N.radialis,
N. Ulnaris, N. Medianus, N. Poplitea lateralis, N. Tibialis posterior.Pada tipe lepromatous
biasanya kelainan sarafnya billateral dan menyeluruh sedangkan tipe tuberkoloid terlokalisasi
mengikuti tempat lesinya.

Pemeriksaaan bakterioskopik, sediaan dari kerokan jaringan kulit atau usapan


mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan BTA ZIEHL NEELSON. Pertama – tama
harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu
menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin
sebaiknya minimal 4 – 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 - 4 lesi lain
yang paling aktif berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping
telinga tanpa mengiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut oleh karena pengalaman,
pada cuping telinga didapati banyak M.leprae.
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan
dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila
tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).
1 + Bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP
2+ Bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP
3+ Bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP
4+ Bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP
5+ Bila 101 – 1000BTA rata – rata dalam 1 LP
6+ Bila > 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP

Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah


solid dan non solid.

IM = Jumlah solid x 100 %


Jumlah solid + Non solid

Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA, I.B 1+ tidak perlu
dibuat IM karedna untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam 1.000 sampai 10.000
lapangan, mulai I.B 3+ maksimum harus dicari 100 lapangan.

Pemeriksaan histopatologi, gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah


tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non
solid. Tipe lepromatosa terdpat kelim sunyi subepidermal ( subepidermal clear zone ) yaitu
suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai
sel virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsur – unsur
tersebut.
Sel virchow adalah histiosit yang dijadikan M.leprae sebagai tempat
berkembangbiak dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.
Pemeriksaan serologik, didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang
yang terinfeksi oleh M.leprae. Pemeriksaan serologik adalah MLPA (Mycobacterium Leprae
Particle Aglutination), uji ELISA dan ML dipstick.

Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi
tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita terhadap
M.leprae. O,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil organisme, disuntikkan
intradermal. Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2hari ( reaksi Fernandez) atau 3 – 4 minggu
( reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila terdapat indurasi dan eritema yang
menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap M. Leprae yaitu respon imun tipe lambat ini
seperti mantoux test ( PPD) pada tuberkolosis.

Reaksi Mitsuda bernilai :


0 Papul berdiameter 3 mm atau kurang
+ 1 Papul berdiameter 4 – 6 mm
+ 2 Papul berdiameter 7 – 10 mm
+ 3 papul berdiameter lebih dari 10 mm atau papul dengan ulserasi
4.2.5 Prognosis dan komplikasi
4.2.5.1 Prognosis
Setelah beberapa tahun terapi oabat, yang paling sulit adalah manajemen dari
gejala neurologis, kontraktur dan perubahan pada tangan dan kaki. Ini membutuhkan tenaga
ahli seperti neurologis, ortopedik, ahli bedah, prodratis, oftalmologis, physical medicine, dan
rehabilitasi. Yang tidak umum adalah secondary amyloidosis dengan gagal ginjal dapat
mejadi komplikasi.

4.2.5.2 Komplikasi
Di dunia, lepra mungkin penyebab tersering kerusakan tangan. Trauma dan
infeksi kronik sekunder dapat menyebabkan hilangnya jari jemari ataupun ekstremitas
bagian distal. Juga sering terjadi kebutaan. Fenomena lucio yang ditandai dengan artitis,
terbatas pada pasien lepromatosus difus, infiltratif dan non noduler. Kasus klinik yang berat
lainnya adalah vaskulitis nekrotikus dan menyebabkan meningkatnya mortalitas. Amiloidos
sekunder merupakan penyulit pada penyakit leprosa berat terutama ENL kronik.

4.2.6 Rehabilitasi
Dilakukan dengan jalan operasi dan fisioterapi. Dengan cara lain yaitu secara
kekaryaan, memberi lapangan kerja sesuai dengan cacat tubuhnya sehingga dapat berprestasi
dan dapat meningkatkan rasa percaya diri. Selain itu, dapat dilakukan terapi psikologik
( kejiwaan).

Klasifikasi cacat berdasarkan WHO Expert Commitee on Leprosy


Cacat pada tangan dan kaki
Tingkat 0 : tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan atau deformitas yang
terlihat.
Tingkat 1 : ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan atau deformitas yang terlihat.
Tingkat 2 : terdapat kerusakan atau deformitas
Cacat pada mata
Tingkat 0 : Tidak ada gangguan pada mata akibat kusta, tidak ada gangguan penglihatan
Tingkat 1 : Ada gangguan pada mata akibat kusta, tidak ada gangguan yang berat pada
penglihatan. Visus 6/60 atau lebih baik ( dapat menghitung jari jarak 6 meter).
Tingkat 2 : Gangguan penglihatan berat ( visus kurang dari 6/60, tidak dapat menghitung
jari jarak 6 meter).

4.3 Klasifikasi leprosy


Menurut Madrid, Leprosy dibagi atas 4 yaitu
I ( Indeterminate)
T ( Tuberkoloid )
B ( Borderline)
L ( Lepromatous)

Klasifikasi menurut Ridley dan Jopling


Klasifikasi oleh WHO dan Depkes
PB adalah TT, BT dengan IB < +2, 1.
MB adalah LL, BL, dan BB. BT jika ada BTA positif.

Perbedaan Tipe PB dan MB


(menurut klasifikasi WHO/DEPKES RI)
Kelainan kulit PB MB
1. Bercak atau
makula:
a. jumlah 1-5 Banyak
b. ukuran Kecil dan besar Kecil-kecil
c. distribusi Unilateral atau bilateral Bilateral, simetris
asimetris
d. kosistensi Kering dan kasar Halus, berkilat
e. batas Tegas Kurang tegas
f. kehilangan Selalu ada dan Jelas Biasanya tidak jelas,
rasa pada bercak jika ada terjadi pada
g. Kehilangan Bercak tidak yang sudah lanjut
kemampuan berkeringat, ada bulu Bercak masih
berkeringat, bulu rontok pada bercak berkeringat, bulu tidak
rontok pada rontok
bercak
PB MB
2. Infiltrat
a.Kulit Tidak ada Ada, kadang tidak ada
b.Membran mukosa Tidak pernah ada Ada, kadang tidak ada
(hidung tersumbat,
perdarahan dihidung)
3. Ciri-ciri khusus Central healing, 1.Punched out lesion
penyembuhan ditengah 2.Madarosis
3.Ginecomastia
4.Hidung Pelana
5.Suara sengau
4. Nodulus Tidak ada Kadang-kadang ada
5. Penebalan saraf tepi Lebih sering terjadi dini, Terjadi pada stad. Lanjut,
asimetris biasanya lebih dari satu dan
simetris
6. Deformitas (cacat) Biasanya asimetris, terjadi Terjadi pada stad. Lanjut
dini
7. Apusan Kulit BTA negatip BTA positip

4.4 Differensial Diagnosis


Pada lesi makula, differensial diagnosisnya adalah vitiligo, Ptiriasis versikolor,
Ptiriasis alba, Tinea korporis , dll. Pada lesi papul, Granuloma annulare, lichen planus dll.
Pada lesi plak, Tinea korporis, Ptiriasis rosea, psoriasis dll. Pada lesi nodul, Acne vulgaris,
neurofibromatosis dll. Pada lesi saraf, Amyloidosis, diabetes, trachoma dll.

Vitiligo, makula putih berbatas tegas dan mengenai seluruh tubuh yang
mengandung sel melanosit. Vitiligo merupakan hipomelanosis idiopatik yang ditandai
dengan makula putih yang dapat meluas. Patogenesis vitiligo ada beberapa yaitu hipotesis
autoimun, hipotesis neurohumoral, hipotesis autotoksik dan pajanan terhadap bahan kimia.

Hipotesis autoimun, ada hubungan dengan hipotiroid Hashimoto, anemia


pernisiosa dan hipoparatiroid. Hipotesis neurohumeral, karena melanosit terbentuk dari
neural crest maka diduga faktor neural berpengaruh. Hasil metabolisme tirosin adalah
melanin dan katekol. Kemungkinan ada produk intermediate dari katekol yang mempunyai
efek merusak melanosit. Pada beberapa lesi ada gangguan keringat, dan pembuluh darah,
terhadap respon transmitter saraf misalnya setilkolin. Hipotesis autotoksik,hasil metabolisme
tirosin adalah DOPA lalu akan diubah menjadi dopaquinon. Produk – produk dari DOPA
bersifat toksik terhadap melanin. Pajanan terhadap bahan kimia, adanya monobenzil eter
hidrokuinon pada sarung tangan dan fenol pada detergen.

Gejala klinis vitiligo adalah terdapat repigmentasi perifolikuler. Daerah yang


paling sering terkena adalah bagian ekstensor tulang terutama bagian atas jari, periofisial
pada mata, mulut dan hidung, tibialis anterior dan pergelangan tangan bagian fleksor.Lesi
bilateral atau simetris. Mukosa jarang terkena, kadang – kadang mengenai genitalia eksterna,
puting susu, bibir dan ginggiva.

Vitiligo dapat dibagi atas dua yaitu lokal dan generalisata. Vitiligo lokal dapat
dibagi tiga yaitu vitiligo fokal adalah makula satu atau lebih tetapi tidak segmental, vitiligo
segmental adalah makula satu atau lebih yang distribusinya sesuai dengan dermatom, dan
mukosal yang hanya terdapat pada mukosa. Vitiligo generalisata juga dapat dibagi tiga yaitu
vitiligo acrofasial adalah depigmentasi hanya pada bagian distal ekstremitas dan muka serta
merupakan stadium awal vitiligo generalisata, vitiligo vulgaris adalah makula yang luas
tetapi tidak membentuk satu pola, dan vitiligo campuran adalah makula yang menyeluruh
atau hampir menyeluruh merupakan vitiligo total.

Ptiriasis versikolor, disebabkan oleh Malaize furfur. Patogenesisnya adalah


terdpat flora normal yang berhubungan dengan Ptiriasis versikolor yaitu Pitysporum
orbiculare bulat atau Pitysporum oval. Malaize furfur merupakan fase spora dan miselium.
Faktor predisposisi ada dua yaitu faktor eksogen dan faktor endogen. Faktor endogen adalah
akibat rendahnya imun penderita dsedangkan faktor eksogen adalah suhu, kelembapan udara
dan keringat. Hipopigmentasi dapat disebabkan oleh terjadinya asam dekarbosilat yang
diprosuksi oleh Malaize furfur yang bersifat inhibitor kompetitif terhadap enzim tirosinase
dan mempunyai efek sitotoksik terhadap melanin.

Gejala klinis Ptiriasis versikolor, kelainannya sangat superfisialis, bercak


berwarna – warni, bentuk tidak teratur sampai teratur, batas jelas sampai difus, fluoresensi
dengan menggunakan lampu wood akan berwarna kuning muda, papulovesikular dapat ada
tetapi jarang, dan gatal ringan. Secara mikroskopik akan kita peroleh hifa dan spora (
spaghetti and meat ball).

Tinea korporis, dermatiofitosis pada kulit tubuh tidak berambut (glabrous skin) .
Gejala klinisnya adalah lesi bulat atau lonjong, eritema, skuama, kadang papul dan vesikel di
pinggir, daerah lebih terang, terkadang erosi dan krusta karena kerokan, lesi umumnya bercak
– bercak terpisah satu dengan yang lain, dapat polisiklik, dan ada center healing.

Lichen Planus, ditandai dengan adanya papul – papul yang mempunyai warna dan
konfigurasi yang khas. Papul –papul berwarna merah, biru, berskuama, dan berbentuk siku –
siku. Lokasinya diekstremitas bagian fleksor, selaput lendir, dan alat kelamin. Rasanya sangat
gatal, umumnya membaik 1 – 2 tahun. Hipotesis mengatakan liken planus merupakan infeksi
virus.

Psoriasis, penyebabnya autoimun bersifat kronik dan residitif. Ditandai denga


adanya bercak – bercak eritema berbatas tegas dengan skuama kasar, berlapis – lapis dan
transparan disertai fenomena tetesan lilin, Auspitz, Koebner. Gejala klinisnya adalah tidak
ada pengaru terhadap keadaan umum, gatal ringan, kelainan pada kulit terdiri bercak –
bercak eritema yang meninggi atau plak dengan skuama diatasnya, eritema sirkumskrip dan
merata tapi pada akhir di bagian tengah tidak merata. Kelainan bervariasi yaitu numuler,
plakat, lentikuler dan dapat konfluen.

Akne Vulgaris, penyakit peradangan menahun folikel pilosebasea yang umumnya


pada remaja dan dapat sembuh sendiri. Gejala klinisnya adalah sering polimorf yang terdiri
dari berbagai kelainan kulit, berupa komedo, papul, pustul, nodus dan jaringan parut akibat
aktif tersebut, baik jaringan parut yang hipotropik maupun yang hipertopik.
Neuropatik pada diabetes, gejalanya tergantung pada jenis neuropatik dan saraf
yang terkena. Beberapa orang dengan kerusakan saraf tidak menunjukkan gejala apapun.
Gejala ringan muncul lebih awal dan kerusakan saraf terjadi setelah beberapa tahun. Gejala
kerusakan saraf dapat berupa kebas atau nyeri pada kaki, tangan , pergelangan tangan, dan
jari – jari tangan, maldigestion, diare, konstipasi, masalah pada urinasi, lemas, disfungsi
ereksi dll.

Defisiensi vitamin B6, gejala klinis termasuk seboroik dermatitis, cheilotis,


glossitis, mual, muntah, dan lemah. Pemeriksaan neurologis menunjukka penurunan
propiosepsi dan vibrasi dengan rasa sakit dan sensasi temperatur, refleks achilles menurun
atau tidak ada.

Defisiensi folat, gejala klinisnya tidak dapat dipisahkan dengan defisiensi


kobalamin ( vitamin B12) walaupun demensia lebih dominan. Pasien mengalami
sensorimotor poly neuropathy dan demensia.

4.5 Penatalaksanaan

Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan insiden
penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya penyakit, untuk
mencapai tujuan tersebut, srategi pokok yg dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan
pengobatan penderita.

Dapson, diamino difenil sulfon bersifat bakteriostatik yaitu mengahalangi atau


menghambat pertumbuhan bakteri. Dapson merupakan antagonis kompetitif dari para-
aminobezoic acid (PABA) dan mencegah penggunaan PABA untuk sintesis folat oleh bakteri.
Efek samping dari dapson adlah anemia hemolitik, skin rash, anoreksia, nausea, muntah,
sakit kepala, dan vertigo.
Lamprene atau Clofazimin, merupakan bakteriostatik dan dapat menekan reaksi
kusta. Clofazimin bekerja dengan menghambat siklus sel dan transpor dari NA/K ATPase.
Efek sampingnya adalah warna kulit bisa menjadi berwarna ungu kehitaman, warna kulit
akan kembali normal bila obat tersebut dihentikan, diare, nyeri lambung.

Rifampicin, bakteriosid yaitu membunuh kuman. Rifampicin bekerja dengan cara


menghambat DNA- dependent RNA polymerase pada sel bakteri dengan berikatan pada
subunit beta. Efek sampingnya adalah hepatotoksik, dan nefrotoksik.

Prednison, untuk penanganan dan pengobatan reaksi kusta. Sulfas Ferrosus


untuk penderita kusta dgn anemia berat. Vitamin A, untuk penderita kusta dgn kekeringan
kulit dan bersisisk (ichtyosis). Ofloxacin dan Minosiklin untuk penderita kusta tipe PB I.

Regimen pengobatan kusta disesuaikan dengan yang direkomendasikan oleh


WHO/DEPKES RI (1981). Untuk itu klasifikasi kusta disederhanakan menjadi:
1. Pausi Basiler (PB)
2. Multi Basiler (MB)
Dengan memakai regimen pengobatan MDT/= multi drug treatment.Kegunaan MDT untuk
mengatasi resistensi Dapson yang semakin meningkat, mengatasi ketidakteraturan penderita
dalam berobat, menurunkan angka putus obat pada pemakaian monoterapi Dapson, dan dapat
mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.

Regimen Pengobatan Kusta tersebut (WHO/DEPKES RI).PB dengan lesi tunggal


diberikan ROM (Rifampicin Ofloxacin Minocyclin). Pemberian obat sekali saja langsung
RFT/=Release From Treatment. Obat diminum di depan petugas. Anak-anak < 5 tahun dan
Ibu hamil tidak di berikan ROM. Bila obat ROM belum tersedia di Puskesmas diobati
dengan regimen pengobatan PB lesi (2-5).Bila lesi tunggal dgn pembesaran saraf diberikan:
regimen pengobatan PB lesi (2-5).

Rifampicin Ofloxacin Minocyclin


Dewasa 600 mg 400 mg 100 mg
(50-70 kg)
Anak 300 mg 200 mg 50 mg
(5-14 th)

PB dengan lesi 2 – 5.Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan selama (6-9)
bulan. Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan RFT (Release From Treatment) yaitu berhenti
minum obat.

Rifampicin Dapson
Dewasa 600 mg/bulan 100 mg/hr diminum di
Diminum di depanrumah
petugas kesehatan

Anak-anak 450 mg/bulan 50 mg/hari diminum di


(10-14 th) Diminum di depanrumah
petugas kesehatan

MB dengan lesi > 5. Lama pengobatan 12 dosis ini bisa diselesaikan selama 12-
18 bulan. Setelah selesai minum 12 dosis obat ini, dinyatakan RFT/=Realease From
Treatment yaitu berhenti minum obat. Masa pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif
untuk tipe PB selama 2 tahun dan tipe MB selama 5 tahun.

Rifampicin Dapson Lamprene


Dewasa 600 mg/bulan 100 mg/hari diminum 300 mg/bulan
diminum di depan di rumah diminum di depan
petugas kesehatan petugas kesehatan
dilanjutkan dgn 50
mg/hari diminum di
rumah

Anak-anak 450 mg/bulan 50 mg/hari diminum 150 mg/bulan


(10-14 th) diminum di depan di rumah diminum di depan
petugas petugas kesehatan
dilanjutkan dg 50 mg
selang sehari diminum
di rumah

Pengobatan reaksi kusta. Bila reaksi tidak ditangani dengan cepat dan tepat maka
dapat timbul kecacatan berupa kelumpuhan yang permanen seperti claw hand , drop foot ,
claw toes , dan kontraktur. Untuk mengatasi hal-hal tersebut diatas dilakukan pengobatan 
“Prinsip pengobatan Reaksi Kusta “ yaitu immobilisasi / istirahat, pemberian analgesik dan
sedatif, pemberian obat-obat anti reaksi, MDT diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.

Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian analgetik dan
obat-obat penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150 mg 3x1 selama 3-5 hari, dan
MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.
Reaksi berat, immobilisasi, rawat inap di rumah sakit, pemberian analgesik dan
sedative, MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis tidak diubah, pemberian obat-obat anti
reaksi dan pemberian obat-obat kortikosteroid misalnya prednison. Obat-obat anti reaksi,
Aspirin dengan dosis 600-1200 mg setiap 4 jam (4 – 6x/hari ) , Klorokuin dengan dosis 3 x
150 mg/hari, Antimon yaitu stibophen (8,5 mg antimon per ml ) yang diberikan 2-3 ml secara
selang-seling dan dosis total tidak melebihi 30 ml. Antimon jarang dipakai oleh karena
toksik. Thalidomide juga jarang dipakai,terutama padawanita (teratogenik ).Dosis 400
mg/hari kemudian diturunkan sampai mencapai 50 mg/hari.
Pemberian Kortikosteroid,dimulai dengan dosis tinggi atau sedang.Digunakan
prednison atau prednisolon.Gunakan sebagai dosis tunggal pada pagi hari lebih baik
walaupun dapat juga diberikan dosis berbagi. Dosis diturunkan perlahan-lahan (tapering off)
setelah terjadi respon maksimal.

BAB V
ULASAN

Ada beberapa hal masih belum jelas dalam hal, Reaksi kusta timbul sesudah
pengobatan atau sebelum pengobatan. Setelah mendapat penjelasan dari pakar, reaksi kusta
bisa timbul sebelum, sesudah ataupun selama pengobatan. Tetapi yang paling sering terjadi
adalah setelah pengobatan.
Adakah perbedaan pengobatan pada reaksi kusta tipe I dan II? Setelah mendapat
penjelasan dari pakar, pengobatan pada reaksi kusta tipe I dan II pada dasarnya sama. Hanya
dibedakan atas dasar berat dan ringannya penyakit.

Kenapa terjadi lagoftalmus? Untuk pertanyaan ini, telah dijabarkan di atas bahwa
rusaknya N.fasialis yang dapat membuat paralisis N.orbitkularis palpebrarum sebagian atau
seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian –
bagian mata lainnya

BAB VI
KESIMPULAN

Ani terinfeksi Mycobacterium leprae sehingga menimbulkan leprosi tipe multibasiler.


DAFTAR PUSTAKA

Baratawidjaja,Karnen Garna.Mekanisme Efektor. Hendra Utama. Immunologi Dasaredisi


ketujuh. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2006; 176 – 190.

Djuanda, Adhi dkk. Kusta. Adhi Djuanda, Mochtar Hamzah, dan Siti Aisah. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin edisi kelima. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.2007;73- 88.
Fitzpatrick, Thomas B dkk.Leprosy. Color Atlas and Synopsis of clinical Dermatology.
Singapore : Mc Graw Hill.1997; 1271 – 1290.

Kayser, Frizt H dkk. Mycobacterium. Medical Microbiology. Newyork : Thieme


Stuttgart.2005; 269 – 271.

Murray, Rose Ann, Mahveen Ruby Siddiqui, Megan Medillo, dkk. Mycobacterium leprae
Inhibits Dendritic Cell Activation and Maturation. Available at www.jimmunol.org,
2007,178:338-334.

Syahrurachman, Agus dkk.Bakteri Tahan Asam. Mikrobiologi Kedokteran.Jakarta : Binarupa


Aksara.1994;199-200.

Anda mungkin juga menyukai