Anda di halaman 1dari 21

BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN MEI 2015


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

DRUGS ERUPTION TYPE MAKULA PAPULAR

Disusun Oleh:
SOFYAN HAJI SYARIF,S.Ked
10542 0123 09

Pembimbing:
dr. H. Andi Alamsyah Makmur, Sp.KK, M.Si.

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2016

LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Sofyan haji syarif


NIM : 10542 0123 09
Judul Referat : Drugs eruption type makula papullar

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.
Makassar, november 2016

Pembimbing

. H. Andi dr Alamsyah Makmur, Sp.KK, M.Si.

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas karunia, rahmat, kesehatan,
dan keselamatan kepada penulis sehingga mampu menyelesaikan laporan kasus ini dengan
judu Drugs eruption type makula papullar. Tugas ini ditulis sebagai salah satu syarat dalam
menyelesaikan Kepanitraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.

Berbagai hambatan dialami dalam penyusunan tugas laporan kasus ini. Namun berkat
bantuan, saran, kritikan, dan motivasi dari pembimbing serta teman-teman sehingga tugas ini
dapat terselesaikan.

Secara khusus penulis sampaikan rasa hormat dan terima kasih yang mendalam
kepada H. Andi dr Alamsyah Makmur, Sp.KK, M.Si selaku pembimbing yang telah
banyak meluangkan waktu dengan tekun dan sabar dalam membimbing, memberikan arahan
dan koreksi selama proses penyusunan tugas ini hingga selesai.
Penulis menyadari bahwa laporan kasusini masih memiliki kekurangan dan jauh dari
kesempurnaan, oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk
menyempurnakan laporan kasus ini.Akhir kata, penulis berharap agar laporan kasus ini dapat
memberi manfaat kepada semua orang.

Makassar, november 2016

Penulis

SOFYAN HAJI SYARIF

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit kusta atau dikenal juga dengan nama lepra dan Morbus Hansen merupakan
penyakit yang telah menjangkit manusia sejak lebih dari 4000 tahun yang lalu. Kata lepra
merupakan terjemahan dari bahasa Hebrew, zaraath, yang sebenarnya mencakup beberapa
penyakit kulit lainnya. Kusta juga dikenal dengan istilah kusta yang berasal dari bahasa India,
kushtha. Nama Morbus Hansen ini sesuai dengan nama yang menemukan kuman, yaitu Dr.
Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 18741

Kusta adalah penyakit kronik granulomatosa yang terutama mengenai kulit, saluran
pernapasan atas dan sistem saraf perifer. Penyebab kusta adalah Mycobacterium leprae yang
bersifat intraseluler obligat, dan pada tahun 2009 telah ditemukan penyebab baru yaitu
Mycobacterium lepramatosis. Kusta dahulu dikenal dengan penyakit yang tidak dapat
sembuh dan diobati, namun sejak tahun 1980, dimana program Multi Drug Treamtment
(MDT) mulai diperkenalkan, kusta dapat didiagnosis dan diterapi secara adekuat, tetapi
sayangnya meskipun telah dilakukan terapi MDT secara adekuat, risiko untuk terjadi
kerusakan sensorik dan motorik yaitu disabilitas dan deformitas masih dapat terjadi sehingga
gejala tangan lunglai, mutilasi jari. Keadaan tersebut yang membuat timbulnya stigma
terhadap penyakit kusta2 Meskipun 25 tahun terakhir banyak yang telah dikembangkan
mengenai kusta, pengetahuan mengenai patogenesis, penyebab, pengobatan, dan pencegahan
lepra masih terus diteliti.2

Prevalensi kusta di dunia dilaporkan hanya <1 per 10.000 populasi (sesuai dengan
target resolusi WHO mengenai eliminasi kusta). Paling banyak terjadi pada daerah tropis dan
subtropis. 86% dilaporkan terjadi di 11 negara, Bangladesh, Brazil, China, Congo, Etiopia,
India, Indonesia, Nepal, Nogeria, Filipina, Tanzania. Namun prevalensi lepra berkurang sejak
dimulai adanya MDT pada tahun 1982. Pada pertengahan tahun 2000, jumlah penderita kusta
terdaftar di Indonesia sebanyak 20.7042 orang, banyak ditemukan di Jawa Timur, Jaa Barat,
Sulawesi Selaran, dan Irian Jaya.1,2
Kusta lebih banyak didapatkan pada laki-laki daripada wanita, dengan perbandingan
2:1, dengan insidensi usia puncak 10-20 tahun dan 30-50 tahun, jarang terjadi pada bayi.
Faktor predisposisinya adalah penduduk pada area yang endemik, memiliki kerentanan lepra
dalam darah, kemiskinan (malnutrisi), dan kontak dengan affected armadillos3.
Kusta pada umumnya memberikan morfologi yang khas yaitu lesi yang diawali
dengan bercak putih, bersisik halus pada bagian tubuh, tidak gatal, kemudian membesar dan
meluas. Jika saraf sudah terkena, penderita akan mengeluh kesemutan/ baal pada bagian
tertentu, ataupun kesukaran menggerakan anggota badan yang berlanjut pada kekakuan sendi.
Rambut alis pun dapat rontok.4

Berikut akan dilaporkan kasus mengenai Kusta pada pasien yang berobat ke Balai
Pengobatan Kulit, Kelamin, dan Kosmetika Makassar :
BAB II

LAPORAN KASUS

Resume :

Seorang anak perempuan berusia 7 tahun diantar oleh ibunya ke Balai pengobatan
Kulit dan Kelamin dengan keluhan timbul bercak-bercak putih di lengan kanan atas (1 lesi )
dan lengan kiri atas (2 lesi ) yang berbatas tegas dan berukuran dari lentikular sampai
numular. Bercak putih tersebut muncul sejak pasien berusia 5 tahun. Dari pengamatan ibunya
bahwa awalnya bercak putih tersebut muncul di lengan kanan atas dan berukuran kurang dari
1 cm tetapi lama kelamaan bercak putih tersebut bertambah lebar dan juga muncul di lengan
kiri atas (2 lesi ). Pasien tidak merasakan gatal. Pasien belum pernah berobat sebelumnya.
Pasien tidak mempunyai alergi makanan apapun. Riwayat penyakit keluarga dengan keluhan
yang sama (+) yaitu nenek. Dari pemeriksaan penunjang di dapatkan bahwa bercak putih
hipopigmentasi berjumlah 3 lesi, kelainan kulit yang mati rasa (+), penebalan saraf ulnaris
kanan (+),gangguan fungsi saraf (-),pemeriksaan Bakteri Tahan Asam (+).

Status Presens :

Pemeriksaan klinis : Keadaan umum : sakit (ringan/sedang/berat) Kesadaran


(komposmentis/uncomposmentis )

Status Dermatology

Lokasi : Kedua lengan atas dekstra dan sinistra

Ukuran : Lentikuler hingga nummular

Efloresensi : Lesi hipopigmentasi dan sirkumskrip

Diagnosis banding

1 Vitiligo
2 Pitiriasis Versikolor
3 Piritiasis Alba

Diagnosis

Berdasarkan anamnesis,pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan


maka pasien didiagnosis dengan :
MORBUS HANSEN /KUSTA TIPE PB

Terapi yang diberikan pada pasien :

1 Terapi sistemik
Minum di depan petugas :
R/ Rifampicin 450 mg tab / Bulan (300 mg + 150 mg )
R/ Dapson 50 mg tab No I
1 dd I
Yang di bawah pulang :
R/ Dapson 50 mg tab No XXVIII
1 dd I

Prognosis :

- Qou ad vitam : bonam


- Quo ad function : bonam
- Quo ad sanationam : bonam

BAB III

PEMBAHASAN

Kusta atau morbus Hansen merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan
penyebabnya ialah Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer
sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian
dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. Kuman penyebab adalah Mycobacterium
leprae yang ditemukan oleh G.A.HANSEN pada tahun 1874 di Norwegia 2

Kuman ini bersifat obligat intrasel, aerob, tidak dapat dibiakkan secara in vitro ,
berbentuk basil Gram positif dengan ukuran 3 -8m x 0,5m, bersifat tahan asam dan
alkohol.Kuman ini memunyai afinitas terhadap makrofag dan sel Schwann, replikasi yang
lambat di sel Schwann menstimulasi cell-mediated immune response , yang menyebabkan
reaksi inflamasi kronik.5

Diagnosis Kusta Pausibasiler pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis,


pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan keluhan timbul
bercak-bercak putih di lengan kanan atas (1 lesi ) dan lengan kiri atas (2 lesi ) sejak pasien
berusia 5 tahun. Pasien tidak merasakan gatal. Awalnya bercak putih tersebut muncul di
lengan kanan atas dan berukuran kurang dari 1 cm tetapi lama kelamaan bercak putih
tersebut bertambah lebar dan juga muncul di lengan kiri atas (2 lesi ). Dari pemeriksaan fisis
di dapatkan bercak hipopigmentasi berjumlah 3 lesi, berbatas tegas dan berukuran dari
lentikular sampai numular, tidak berskuama. Dari pemeriksaan penunjang di dapatkan
lesi/kelainan kulit yang mati rasa (+), penebalan saraf tepi yaitu saraf ulnaris dekstra
(+),gangguan fungsi saraf (-) dan pemeriksaan Bakteri Tahan Asam (+).

Hal ini sesuai dengan kepustakaan bahwa lesi berjumlah kurang dari 5, penebalan
saraf tepi hanya 1 saraf , tidak ada gangguan fungsi saraf maka menurut WHO (1981 ) di
klasifikasikan kedalam Kusta tipe Pausibasiler (PB). Hal tersebut juga sesuai dengan
kepustaakan lainnya bahwa Jumlah lesi 5 buah atau kurang. Bercak kulit umumnya
hipopigmentasi,kadang-kadang eritem; permukaan kering dan berskuama dengan gangguan
sensibilitas, distribusi asimetris, dan hanya mengenai 1 cabang saraf. Pada pemeriksaan
bakterioskopis (slit skin smear) tidak ditemukan kuman.7
Sebenarnya M.leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah, sebab
penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih
berat, bahkan dapat sebaliknya.12 Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat
penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda yang memicu timbulnya
reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh
karena itu penyakit kusta dapat disebut penyakit imunologik. 5,12

Kusta bukanlah penyakit yang sangat menular. Sarana utama penularan adalah dengan
penyebaran aerosol dari sekret hidung yang terinfeksi pada mukosa hidung dan mulut
terbuka. Kusta tidak umumnya menyebar melalui kontak langsung melalui kulit utuh,
meskipun kontak dekat adalah yang paling rentan.5. Masa inkubasi kusta adalah 6 bulan
sampai 40 tahun atau lebih. Masa inkubasi rata-rata adalah 4 tahun untuk kusta tuberkuloid
dan 10 tahun untuk kusta lepromatosa. 5

Daerah yang paling sering terkena kusta adalah saraf perifer dangkal, kulit, selaput
lendir saluran pernapasan bagian atas, ruang anterior dari mata, dan testis. Daerah-daerah
tersebut cenderung bagian dingin dari tubuh. Lesi awal yang paling umum adalah daerah mati
rasa pada kulit,atau lesi kulit terlihat. 10 Kerusakan jaringan tergantung pada sejauh mana
imunitas diperantarai sel diungkapkan, jenis dan luasnya penyebaran bacillary dan perkalian,
penampilan yang merusak jaringan komplikasi imunologi (yaitu, reaksi lepra), dan
pengembangan kerusakan saraf dan gejala sisa.5
Klasifikasi
Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spektrum determinate pada penyakit kusta
yang terdiri berbagai tipe, yaitu :2
TT : tuberkuloid polar, bentuk yang stabil
Ti : tuberkuloid indefinite
BT : borderline tuberculoid
BB : Mid borderline
Bl : borderline lepromatous
Li : lepromatosa indefinite
LL : Lepromatosa polar, bentuk yang stabil

TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, tipe yang stabil. Jadi tidak
mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar, yakni lepromatosa
100%. Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut tipe borderline atau campuran, berarti
campuran antara tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran 50% tuberkuloid dan
50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya, sedangkan BL dan Li lebih
banyak lepromatosanya. Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang labil, berarti dapat beralih
tipe, baik ke arah TT maupun ke arah LL. 2
Menurut WHO (1981), lepra dibagi 2 menjadi multibasilar (MB) dan pausibasilar
(PB). Multibasilar berarti mengandung banyak basil dengan indeks bakteri (IB) lebih dari 2+,
yaitu tipe LL,BL, dan BB pada klasifikasi Ridley-Joping. Pausibasilar mengandung sedikit
basil dengan IB kurang dari 2+, yaitu tipe TT,BT, dan I. 2
Bagan Diagnosis Klinis Menurut WHO ( 1995 ) 2

PB MB
1 Lesi kulit - 1-5 lesi - > 5 lesi
(makula datar, papul - Hipopigmentasi/eritema - Distribusi lebih
- Distribusi tidak simetris
yang meninggi, simetris
- Hilangnya sensasi jelas
- Hilangnya sensasi
nodus)
kurang jelas
2 Kerusakan saraf - Hanya satu cabang saraf - Banyak cabang
(menyebabkan saraf
hilangnya
sensasi/kelemahan
otot yang dipersarafi
oleh saraf yang
terkena)
Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta MultiBasilar (MB) 2

Sifat Lepromatosa (LL) Borderline Mid Borderline (BB)


Lepromatosa (BL)

Lesi

Bentuk Makula Makula Plakat

Infiltrat difus Plakat Dome-shape (kubah)

Papul Papul Punched-out

Nodus

Jumlah Tidak terhitung, Sukar dihitung, Dapat dihitung, kulit


praktis tidak ada kulit masih ada kulit sehat jelas ada
sehat sehat

Distribusi Simetris Hampir simetris Asimetris

Permukaa Halus berkilat Halus berkilat Agak kasar, agak


n berkilat

Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas

Anestesia Biasanya tidak jelas Tak jelas Lebih jelas

BTA

Lesi kulit Banyak (ada globus) Banyak Agak banyak

Sekret Banyak (ada globus) Biasanya negatif Negatif


hidung

Tes Lepromin Negatif Negatif Negatif

Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta PausiBasilar (PB) 2


Karakteristik Tuberkuloid (TT) Borderline Indeterminate (I)
Tuberculoid (BT)

Lesi

Tipe Makula ; makula Makula dibatasi infiltrat Hanya Infiltrat


dibatasi infiltrat saja; infiltrat saja

Jumlah Satu atau dapat Beberapa atau satu Satu atau beberapa
beberapa dengan lesi satelit

Distribusi Terlokalisasi & Asimetris Bervariasi


asimetris

Permukaan Kering, skuama Kering, skuama Dapat halus agak


berkilat

Batas Jelas Jelas Dapat jelas atau


dapat tidak jelas

Anestesia Jelas Jelas Tak ada sampai


tidak jelas

BTA

lesi kulit Hampir selalu Negatif atau hanya 1+ Biasanya negatif


negative

Tes lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah Dapat positif lemah
atau negatif

Gejala-gejala kerusakan pada saraf :2

1 N.ulnaris2

Anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis

Clawing kelingking dan jari manis

Atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis


medial

2 N. medianus2
Anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari
tengah

Tidak mampu aduksi ibu jari

Clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah

Ibu jari kontraktur

Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral

3 N. radialis2

Anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk

Tangan gantung (wrist drop)

Tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan

4 N. poplitea lateralis2

Anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis

Kaki gantung (foot drop)

Kelemahan otot peroneus

5 N. tibialis posterior2

Anestesia telapak kaki

Claw toes

Paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis

6 N. fasialis2

Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus

Cabang bukal, mandibular, dan servikal menyebabkan kehilangan


ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir

7 N. trigeminus2

Anestesia kulit wajah, kornea, dan konjungtiva mata

Pada kasus ini telah di lihat dari keadaan pasien di dapatkan hasil bahwa pada pasien ini tidak
terdapat kerusakan saraf apapun.

Pemeriksaan saraf tepi 6,7


1. N. auricularis magnus
Pasien menoleh ke kanan/kiri semaksimal mungkin, maka saraf yang
terlibat akan terdorong oleh otot-otot di bawahnya sehingga dapat terlihat
pembesaran saraf. Dua jari pemeriksa diletakkan di atas persilangan jalannya saraf
dengan arah otot. Bila ada penebalan, maka akan teraba jaringan seperti kabel atau
kawat. Bandingkan kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri
atau tidaknya.6
2. N. ulnaris
Tangan yang diperiksa rileks, sedikit fleksi dan diletakkan di atas satu
tangan pemeriksa. Tangan pemeriksa meraba sulcus nervi ulnaris dan merasakan
adanya penebalan atau tidak Bandingkan kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk,
serat, lunak, dan nyeri atau tidaknya.6
3. N. peroneus lateralis
Pasien duduk dengan kedua kaki menggantung, diraba di sebelah lateral
dari capitulum fibulae, dan merasakan ada penebalana atau tidak. Bandingkan
kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri atau tidaknya.6
4. N. tibialis posterior
Meraba maleolus medialis kaki kanan dan kiri dengan kedua tangan,
meraba bagian posterior dan mengurutkan ke bawah ke arah tumit. Bandingkan
kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri atau tidaknya.6
Pada kasus ini telah di lakukan pemeriksaan saraf tepi dan di dapatkan hasil yaitu
pembesaran saraf ulnaris dekstra.

Pemeriksaan Fungsi Saraf 6,7


Tes sensorik
Gunakan kapas, jarum, serta tabung reaksi berisi air hangat dan dingin.
- Rasa raba
Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya, disinggungkan ke kulit pasien.
Kapas disinggungkan ke kulit yang lesi dan yang sehat, kemudian pasien disuruh
menunjuk kulit yang disinggung dengan mata terbuka. Jika hal ini telah
dimengerti, tes kembali dilakukan dengan mata pasien tertutup.6
- Rasa tajam
Menggunakan jarum yang disentuhkan ke kulit pasien. Setelah disentuhkan
bagian tajamnya, lalu disentuhkan bagian tumpulnya, kemudia pasien diminta
menentukan tajam atau tumpul. Tes dilakukan seperti pemeriksaan rasa raba.6
- Suhu
Menggunakan dua buah tabung reaksi yang berisi air panas dan air dingin.
Tabung reaksi disentuhkan ke kulit yang lesi dan sehat secara acak, dan pasien
diminta menentukan panas atau dingin. 6
Pada kasus ini telah di lakukan pemeriksaan fungsi saraf yaitu dengan menggunakan kapas
dan di dapatkan hasil yaitu pasien tidak bisa merasakan setelah di sentuh dengan kapas halus.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaaan bakterioskopik, sediaan dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa
hidung yang diwarnai dengan pewarnaan BTA ZIEHL NEELSON. 11 Pertama tama harus
ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu
menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin
sebaiknya minimal 4 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4 lesi lain
yang paling aktif berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping
telinga tanpa menghiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut karena pada cuping
telinga biasanya didapati banyak M. leprae2
Pada kasus ini telah di lakukan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan tahan asam dan
hasil yang di dapatkan adalah Bakteri Tahan Asam positif (+)
Diagnosis Banding
Pada lesi makula, differensial diagnosisnya adalah vitiligo, ptiriasis versikolor,
ptiriasis alba. Pada lesi papul, granuloma annulare, lichen planus. Pada lesi plak, tinea
korporis, ptiriasis rosea, psoriasis. Pada lesi nodul, acne vulgaris, neurofibromatosis. Pada
lesi saraf, amyloidosis, diabetes, trachoma2
Pada kasus ini diferential diagnosis lebih mengarah kepada vitiligo, ptiriasis versikolor, dan
pitiriasis alba. Sesuai dengan kepustakaan bahwa pada vitiligo berupa makula berwarna putih
dengan diameter beberapa milimeter sampai beberapa centimeter,bulat atau lonjong dengan
batas tegas, tanpa perubahan epidermis yang lain. Kadang-kadang terlihat makula
hipomelanotik selain makula apigmentasi.2
Pada pitiriasis versikolor kelainan kulit sangat superfisial dan di temukan terutama di badan.
Kelainan ini terlihat sebagai bercak-bercak berwarna-warni bentuk tidak teratur,batas jelas
sampai difus. Bercak-bercak tersebut berfluoresensi bila di lihat dengan lampu wood.Bentuk
papulo-vesikular dapat terlihat walaupun jarang. Kelainan biasanya asimtomatik sehingga ada
kalanya penderita tidak mengetahui bahwa ia menderita penyakit tersebut.Kadang-kandang
penderita merasakan gatal ringan yang merupakan alasan berobat.2
Pada pitirasis alba sering di jumpai kelainan kulit biasanya pada anak-anak berumur 3-16
tahun. (30-40 %). Wanita dan pria sama banyak. Lesi berbentuk bulat,oval atau plakat yang
tidak teratur. Warna merah muda atau sesuai warna kulit dengan skuama yang halus. Setelah
eritma menghilang, lesi yang di jumpai hanya depigmentasi dengan skuama halus. Bercak
biasanya multipel 4 sampai 20 dengan diameter antara -2 cm. Pada anak-anak lokasi
kelainan pada muka (50-60 % ), paling sering di mulut dagu, pipi serta dahi. Lesi dapat juga
di jumpai pada ektremitas dan badan. Dapat simetris pada bokong,paha atas,pungung, dan
ekstensor lengan tanpa keluhan.2
Penatalaksanaan

Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan insiden
penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya penyakit, untuk
mencapai tujuan tersebut, srategi pokok yg dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan
pengobatan penderita.5 Pengobatan antibakteri untuk kusta sangat efektif, dengan
tingkat kambuhan yang rendahsehingga perlu di lakukan selama berbulan-bulan.10

Dapson, diamino difenil sulfon bersifat bakteriostatik yaitu mengahalangi atau


menghambat pertumbuhan bakteri. Dapson merupakan antagonis kompetitif dari para-
aminobezoic acid (PABA) dan mencegah penggunaan PABA untuk sintesis folat oleh bakteri.
Efek samping dari dapson adlah anemia hemolitik, skin rash, anoreksia, nausea, muntah, sakit
kepala, dan vertigo.4
Lamprene atau Clofazimin, merupakan bakteriostatik dan dapat menekan reaksi kusta.
Clofazimin bekerja dengan menghambat siklus sel dan transpor dari NA/K ATPase.Efek
sampingnya adalah warna kulit bisa menjadi berwarna ungu kehitaman,warna kulit akan
kembali normal bila obat tersebut dihentikan, diare, nyeri lambung.5
Rifampicin, bakteriosid yaitu membunuh kuman. Rifampicin bekerja dengan cara
menghambat DNA- dependent RNA polymerase pada sel bakteri dengan berikatan pada
subunit beta. Efek sampingnya adalah hepatotoksik, dan nefrotoksik.
Regimen pengobatan kusta disesuaikan dengan yang direkomendasikan oleh
WHO/DEPKES RI (1981). Untuk itu klasifikasi kusta disederhanakan menjadi:
1. Pausi Basiler (PB)
2. Multi Basiler (MB)
Dengan memakai regimen pengobatan MDT/= Multi Drug Treatment. Kegunaan MDT untuk
mengatasi resistensi Dapson yang semakin meningkat, mengatasi ketidakteraturan penderita
dalam berobat, menurunkan angka putus obat pada pemakaian monoterapi Dapson, dan dapat
mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.2,5
Regimen Pengobatan Kusta tersebut (WHO/DEPKES RI).PB dengan lesi tunggal
diberikan ROM (Rifampicin Ofloxacin Minocyclin). Pemberian obat sekali saja langsung
RFT/=Release From Treatment. Obat diminum di depan petugas. Anak-anak Ibu hamil tidak
di berikan ROM. Bila obat ROM belum tersedia di Puskesmas diobati dengan regimen
pengobatan PB lesi (2-5).Bila lesi tunggal dgn pembesaran saraf diberikan: regimen
pengobatan PB lesi (2-5).

Tabel 1. Regimen pengobatan kusta dengan lesi tunggal (ROM) menurut


WHO/DEPKES RI

Rifampicin Ofloxacin Minocyclin

Dewasa 600 mg 400 mg 100 mg

(50-70 kg)

Anak 300 mg 200 mg 50 mg

(5-14 th)

PB dengan lesi 2 5.Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan selama (6-9)
bulan. Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan RFT (Release From Treatment) yaitu berhenti
minum obat.

Tabel 2. Regimen MDT pada kusta Pausibasiler (PB)2,3

Rifampicin Dapson

Dewasa 600 mg/bulan 100 mg/hr diminum di


rumah
Diminum di depan
petugas kesehatan

Anak-anak 450 mg/bulan 50 mg/hari diminum di


rumah
(10-14 th) Diminum di depan
petugas kesehatan

MB (BB, BL, LL) dengan lesi > 5 .Lama pengobatan 12 dosis ini bisa diselesaikan
selama 12-18 bulan. Setelah selesai minum 12 dosis obat ini, dinyatakan RFT/=Realease
From Treatment yaitu berhenti minum obat. Masa pengamatan setelah RFT dilakukan secara
pasif untuktipe PB selama 2 tahun dan tipe MB selama 5 tahun.

Tabel 3. Regimen MDT pada kusta Multibasiler (MB)2,3

Rifampicin Dapson Lamprene

Dewasa 600 mg/bulan100 mg/hari diminum300 mg/bulan


diminum di depandi rumah diminum di depan
petugas kesehatan petugas kesehatan
dilanjutkan dgn 50
mg/hari diminum di
rumah

Anak-anak 450 mg/bulan50 mg/hari diminum150 mg/bulan


diminum di depandi rumah diminum di depan
(10-14 th)
petugas petugas kesehatan
dilanjutkan dg 50 mg
selang sehari
diminum di rumah
Gambar 2.6 Regimen MDT

Pada pasien ini di berikan terapi yaitu :


Terapi sistemik ( pasien berumur 7 tahun dengan BB 15 kg )

Minum di depan petugas :

R/ Rifampicin 450 mg tab / Bulan (300 mg + 150 mg )


R/ Dapson 50 mg tab No I
1 dd I

Yang di bawah pulang :

R/ Dapson 50 mg tab No XXVIII


1 dd I

Komplikasi
Komplikasi umum dari kusta timbul dari cedera saraf perifer, insufisiensi vena, atau
jaringan parut. Sekitar seperempat sampai sepertiga dari pasien yang baru didiagnosis dengan
penyakit kusta memiliki, atau akan akhirnya memiliki, beberapa kecacatan kronis sekunder
ireversibel cedera saraf, biasanya dari tangan atau kaki, atau dari keterlibatan mata. Keratitis
paparan dapat menyebabkan dari berbagai faktor termasuk mata kering, ketidakpekaan
kornea, dan lagophthalmos. Keratitis ini dan lesi ruang anterior (termasuk keterlibatan iris,
sclera atau saraf kornea) dapat menyebabkan kebutaan. Insufisiensi vena, sekunder endotel
keterlibatan katup vena dalam, menyebabkan stasis dermatitis dan ulkus kaki. Penghancuran
sendi dapat terjadi karena hilangnya sensasi nyeri pelindung. Hasil keterlibatan saraf simpatik
penurunan hidrosis, menyebabkan kering telapak tangan dan kaki. Ini dalam kombinasi dari
siklus berulang cedera kulit dan hasil nyeri pelindung di hiperkeratosis, fissuring dan
superinfeksi bakteri. Kerusakan hidung di LL adalah akibat jaringan parut, yang telah
menggantikan tulang dan tulang rawan.9
Prognosis
Bergantung pada seberapa luas lesi dan tingkat stadium penyakit. Kesembuhan
bergantung pula pada kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Terkadang pasien dapat
mengalami kelumpuhan bahkan kematian, serta kualitas hidup pasien menurun.1

Lampiran Status

Identitas Pasien

Nama : N.A

Umur : 7 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Pekerjaan : Belum bekerja

Status Perkawinan : Belum kawin

Tanggal Masuk Poli : 15 Mei 2015

Anamnesis : Alloanamnesis

Keluhan utama : Timbul bercak putih di lengan atas kanan dan kiri

Anamnesis terpimpin :

Seorang anak perempuan berusia 7 tahun diantar oleh ibunya ke Balai pengobatan
kulit dengan keluhan timbul bercak-bercak putih di lengan kanan atas (1 lesi ) dan lengan
kiri atas (2 lesi ) yang berbatas tegas dan berukuran dari lentikular sampai numular. Bercak
putih tersebut muncul sejak pasien berusia 5 tahun. Dari pengamatan ibunya bahwa awalnya
bercak putih tersebut muncul di lengan kanan atas dan berukuran kurang dari 1 cm tetapi
lama kelamaan bercak putih tersebut bertambah lebar dan juga muncul di lengan kiri atas (2
lesi ). Pasien tidak merasakan gatal. Pasien belum pernah berobat sebelumnya. Pasien tidak
mempunyai alergi makanan apapun. Riwayat penyakit keluarga dengan keluhan yang sama
(+) yaitu nenek. Dari pemeriksaan penunjang di dapatkan bahwa bercak putih hipopigmentasi
berjumlah 3 lesi, kelainan kulit yang mati rasa (+), penebalan saraf ulnaris kanan
(+),gangguan fungsi saraf (-),pemeriksaan Bakteri Tahan Asam (+).

DAFTAR PUSTAKA

1. Wolff Klaus, Doldsmith, Stevern, Barbara. Fitzpatricks Dermatology in General


Medicine 7th ed. USA : McGraw Hill 2008. P 17889-1796 )
2. A. Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe-Daili, Sri Linuwih Menaldi. Kusta.
Dalam: Djuanda, Adhi dkk. (ed.). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 6 Cetakan
Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2007; 73-88.
3. Wolff, Klaus, Johnson, Richard A, Suurmond, Dick. Fitzpatrick's Color Atlas and
Synopsis of Clinical Dermatology 5th ed. USA: McGraw-Hill. 2007. P 665-671
4. Siregar, R.S., Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit edisi 2.Penerbit Buku
Kedokteran EGC.Jakarta.2005.
5. Lewis. S.Leprosy. Update Mei 19th, 2015. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/1104977-overview#showall )
6. Bonarz. 2011. Update Mei 19th,2015. Available at :
http://id.scribd.com/doc/52132089/referat-MH-indah
7. Wisnu I made, Menaldi Sri Linuwih, Daili Emmy S. Sjamsoe. Penyakit Kulit Yang
Umum Di Indonesia . Jakarta Pusat.Penerbit : Pt Medical Multimedia Indonesia
8. James William D,Berger Timothy G, Elston Dirk M.Andrews'Diseases Of The Skin
Clinical Dermatology Tenth edition.USA : Eisevier's Health Sciences Rights
Department in Philadelphia.2006. P 354-63
9. Delphine J. Lee At All Leprosy. at Wolf Klaus,Gold Smithh Lowell A, Katz Stephen I,
Gilchrest Barbara A, Paller Amy S,Leffel David J. Fitzpatricks Dermatology In
General Medicine eigth Edition Mc Graw Hill Companies.2008.P 2256-63
10. Lockwood D.N.J. leprosy Burns Tony, Breathnach Stephen, Cox Neil, Griffi ths
Christopher.Rooks Textbook of Dermatology eighth edition.Willey black weel .2010.
P 32.1-32.20
11. Weller Richard P.J.B, Hunter John A.A, Savin John A, Dahl Mark V. Clinical
Dermatology Fourth Edition. Black weel publishing.2008. P 239-42
12. Brown,Robin Graham,et al.Lecture Notes Dermatologi.Penerbit
Erlangga.Jakarta.2005.,hal 23-5

Anda mungkin juga menyukai