KUSTA
Oleh:
TA H TA A G
17174003
Pembimbing:
dr. Mainiadi, Sp.KK
Penulis
i
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
LAPORAN KASUS
1.2 Anamnesa
Keluhan Utama : Bendol – bendol kemerahan
Telaah:
Pasien datang ke Poliklinik RSUD Kota Langsa dengan
keluhan Bendol – bendol kemerahan di pipi kiri dan kanan pada wajah, tangan
dan punggung sejak setahun yang lalu. Os juga mengatakan keluhan ini
pernah hilang dan timbul . Os juga mengatakan keluhan tambahan nyeri (-),
gatal (-).
2
Pernafasan : 24 x/menit
Nadi : 80 x/menit
Status Dermatologi:
Ruam Primer : Nodul, Eritema
Ruam Sekunder : -
3
1.4 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Mikrobiologi
4
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
I. EPIDEMIOLOGI
Sampai saat ini epidemiologi penyakit kusta belum sepenuhnya diketahui
secara pasti. Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia terutama di daerah tropis dan
subtropis. Dapat menyerang semua umur, frekwensi tertinggi pada kelompok umur
antara 30-50 tahun dan lebih sering mengenai laki-laki daripada wanita2,14.
Menurut WHO (2002), diantara 122 negara yang endemik pada tahun 1985
dijumpai 107 negara telah mencapai target eliminasi kusta dibawah 1 per 10.000
penduduk pada tahun 2000. Pada tahun 2006 WHO mencatat masih ada 15 negara
yang melaporkan 1000 atau lebih penderita baru selama tahun 2006. Lima belas
negara ini mempunyai kontribusi 94% dari seluruh penderita baru didunia.
Indonesia menempati urutan prevalensi ketiga setelah India, dan Brazil14.
Di Indonesia penderita kusta terdapat hampir pada seluruh propinsi dengan
pola penyebaran yang tidak merata. Meskipun pada pertengahan tahun 2000
Indonesia secara nasional sudah mencapai eliminasi kusta namun pada tahun tahun
2002 sampai dengan tahun 2006 terjadi peningkatan penderita kusta baru. Pada
tahun 2006 jumlah penderita kusta baru di Indonesia sebanyak 17.921 orang.
Propinsi terbanyak melaporkan penderita kusta baru adalah Maluku, Papua,
Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan dengan prevalensi lebih besar dari 20 per
100.000 penduduk.2 Pada tahun 2010, tercatat 17.012 kasus baru kusta di Indonesia
dengan angka prevalensi 7,22 per 100.000 penduduk sedangkan pada tahun 2011,
tercatat 19.371 kasus baru kusta di Indonesia dengan angka prevalensi 8,03 per
100.000 penduduk14.
5
fase plateau dari pertumbuhan pada hari ke 20-40. Tumbuh pada tempratur 27-30oC
(81-86oF)3.
Pada tahun 1960 Shepard berhasil menginokulasikan M.Leprae ke dalam
telapak kaki mencit yang telah diambil tymusnya dengan diikuti iradiasi (900 r),
sehingga kehilangan respon imun sellulernya akan menghasilkan
granulomagranuloma penuh basil yang menyeluruh, terutama di daerah yang
dingin, yaitu hidung, cuping telinga, kaki, dan ekor.Sebenarnya M.Leprae
mempunyai patogenitas dan daya invasif yang rendah, sebab penderita yang
mengandung kuman jauh lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih
berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dan
derajat penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda, oleh karena
itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik, gejala-gejala
klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi selulernya daripada intensitas
infeksinya3.
Respon imun pada penyakit kusta sangat kompleks, dimana melibatkan
respon imun seluler dan humoral. Sebagian besar gejala dan komplikasi penyakit
ini disebabkan oleh reaksi imunologi terhadap antigen yang dimiliki oleh M. leprae.
Jika respon imun yang terjadi setelah infeksi cukup baik, maka multiplikasi bakteri
dapat dihambat pada stadium awal sehingga dapat mencegah perkembangan tanda
dan gejala klinis selanjutnya3.
Setelah M.leprae masuk tubuh, bergantung pada tingkat system imunitas
selular (SIS) orang tersebut, Penderita yang terkena kontak dengan Mycobacterium
leprae akan timbul infeksi subklinik dan dapat sembuh secara alamiah tanpa
menunjukkan gejala atau tanda klinik. Tetapi apabila imunitas selular orang
tersebut rentan maka dapat berkembang sehingga menunjukan gejala atau tanda
klinik. Tipe yang terjadi bergantung pada tingkat SIS penderita terhadap M.leprae.
Apabila SIS baik, gambaran klinis ke arah tuberkuloid dan apabila buruk kearah
lepromatosa.
Respon imun humoral terhadap M. leprae merupakan aktivitas sel limfosit B
yang berada dalam jaringan limfosit dan aliran darah. Rangsangan dari komponen
antigen basil tersebut akan mengubah sel limfosit B menjadi sel plasma yang akan
menghasilkan antibodi yang akan membantu proses opsonisasi. Namun pada
6
penyakit kusta, fungsi respon imun humoral ini tidak efektif, bahkan dapat
menyebabkan timbulnya beberapa reaksi kusta karena diproduksi secara berlebihan
yang tampak pada kusta lepromatosa.
7
Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit harus ditemukan
satu tanda cardinal, yaitu:
1. Bercak kulit yang mati rasa
Bercak hipopigmentasi atau erimatosa, mendatar (makula) atau
meninggi (plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja
terhadap rasa raba, rasa suhu dan rasa nyeri.
2. Penebalan saraf tepi
Dapat disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai atau tanpa gangguan
fungsi saraf yang terkena, yaitu:
- Gangguan fungsi sensoris: mati rasa
- Gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis
- Gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema dan pertumbuhan
rambut yang terganggu
3. Ditemukan BTA
Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit cuping telinga dan lesi
kulit pada bagian yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsi
kulit atau syaraf6.
Pada tahun 1982, WHO mengembangkan klasifikasi untuk
memudahkan pengobatan di lapangan. Dalam klasifikasi ini seluruh
penderita kusta hanya dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe Pausibasiler (PB) dan
Multibasiler (MB). Sampai saat ini Departemen Kesehatan Indonesia
menerapkan klasifikasi menurut WHO sebagai pedoman pengobatan
penderita kusta. Dasar dari klasifikasi ini berdasarkan manifestasi klinis dan
hasil pemeriksaan bakteriologi, yaitu tipe Pausibasiler (PB) (termasuk
didalamnya indeterminate dan Tuberkuloid) dan Multibasiler (MB)
(termasuk didalamnya tipe borderline dan lepromatosa).
Sedangkan untuk penelitian dan pengobatan dipakai klasifikasi
Ridley dan Jopling (1966) yang dibuat berdasarkan respon imunologis
penderita, yaitu: Tipe TT (Tuberkuloid Polar) merupakan tipe stabil, Tipe
BT (Borderline Tuberkuloid), Tipe BB (Mid Borderline), Tipe BL
(Borderline Lepromatous), Tipe LL (Lepromatous Polar).
8
Tabel 4.1 Perbedaan Pausibasiler dan Multibasiler
9
Selain itu pemeriksaan ini dapat membantu diagnosis kusta pada keadaan yang
meragukan karena tanda-tanda klinis dan bakteriologis tidak jelas. Karena yang
diperiksa adalah antibodi spesifik terhadap basil kusta maka bila ditemukan
antibodi dalam titer yang cukup tinggi pada seseorang maka patutlah dicurigai
orang tersebut telah terinfeksi oleh M.leprae. Pada kusta subklinis seseorang
tampak sehat tanpa adanya penyakit kusta namun di dalam darahnya ditemukan
antibodi spesifik terhadap basil kusta dalam kadar yang cukup tinggi4,5.
Beberapa jenis pemeriksaan serologi kusta yang banyak digunakan, antara
lain:
A. Uji FLA-ABS (Fluorescent leprosy Antibodi-Absorption test)
Uji ini menggunakan antigen bakteri M. leprae secara utuh yang
telah dilabel dengan zat fluoresensi. Hasil uji ini memberikan sensitivitas
yang tinggi namun spesivisitasnya agak kurang karena adanya reaksi silang
dengan antigen dari mikrobakteri lain.
B. Radio Immunoassay (RIA)
Uji ini menggunakan antigen dari M. leprae yang dibiakkan dalam
tubuh Armadillo yang diberi label radio aktif.
C. Uji MLPA (Mycobacterium leprae particle agglutination)
Uji ini berdasarkan reaksi aglutinasi antara antigen sintetik PGL-1
dengan antibodi dalam serum. Uji MLPA merupakan uji yang praktis untuk
dilakukan di lapangan, terutama untuk keperluan skrining kasus seropositif.
D. Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-Assay)
Uji ELISA pertama kali digunakan dalam bidang imunologi untuk
menganalisis interaksi antara antigen dan antibodi di dalam suatu sampel,
dimana interaksi tersebut ditandai dengan menggunakan suatu enzim yang
berfungsi sebagai penanda. Prinsip uji ELISA adalah mengukur banyaknya
ikatan antigen antibodi yang terbentuk dengan diberi label (biasanya berupa
enzim) pada ikatan tersebut, selanjutnya terjadi perubahan warna yang dapat
diukur dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang tertentu.
Pemeriksaan ini umumnya menggunakan plat mikro untuk tempat
terjadinya reaksi7.
10
V. REAKSI KUSTA
Reaksi kusta adalah suatu episode akut di dalam perjalanan klinik penyakit
kusta yang ditandai dengan terjadinya reaksi radang akut (neuritis) yang kadang-
kadang disertai dengan gejala sistemik. Reaksi kusta dapat merugikan pasien kusta,
oleh karena dapat menyebabkan kerusakan syaraf tepi terutama gangguan fungsi
sensorik (anestesi) sehingga dapat menimbulkan kecacatan pada pasien kusta.
Reaksi kusta dapat terjadi sebelum mendapat pengobatan, pada saat pengobatan,
maupun sesudah pengobatan, namun reakis kusta paling sering terjadi pada 6 bulan
sampai satu tahun sesudah dimulainya pengobatan5,8.
Reaksi kusta dapat dibagi atas dua kelompok yaitu9,14:
1. Reaksi kusta tipe 1 (Reaksi Reversal= RR)
Reaksi imunologik yang sesuai adalah reaksi hipersensitivitas tipe IV dari
Coomb & Gel (Delayed Type Hypersensitivity Reaction). Reaksi kusta tipe 1
terutama terjadi pada kusta tipe borderline (BT, BB, BL) dan biasanya terjadi dalam
6 bulan pertama ataupun sedang mendapat pengobatan. Pada reaksi ini terjadi
peningkatan respon kekebalan seluler secara cepat terhadap kuman kusta dikulit
dan syaraf pada pasien kusta. Hal ini berkaitan dengan terurainya M.leprae yang
mati akibat pengobatan yang diberikan.
Antigen yang berasal dari basil yang telah mati akan bereaksi dengan
limfosit T disertai perubahan imunitas selular yang cepat. Dasar reaksi kusta tipe 1
adalah adanya perubahan keseimbangan antara imunitas selular dan basil. Diduga
kerusakan jaringan terjadi akibat langsung reaksi hipersensitivitas seluler terhadap
antigen basil.24 Pada saat terjadi reaksi, beberapa penelitian juga menunjukkan
adanya peningkatan ekspresi sitokin pro-inflamasi seperti TNF-α, IL-1b, IL-6, IFN-
γ dan IL-12 dan sitokin immunoregulatory seperti TGF-β dan IL-10 selama terjadi
aktivasi dari makrofag. Aktivasi CD4+ limfosit (Th-1) menyebabkan produksi IL-
2 dan IFN-γ meningkat sehingga dapat terjadi lymphocytic infiltration pada kulit
dan syaraf. IFNγ dan TNF-α bertanggung jawab terhadap terjadinya edema,
inflamasi yang menimbulkan rasa sakit dan kerusakan jaringan yang cepat.
11
Tabel 6.1 Gambaran Reaksi Kusta Tipe 1
Reaksi kusta tipe 2 terutama terjadi pada kusta tipe lepromatous (BL, LL).
Diperkirakan 50% pasien kusta tipe LL Dan 25% pasien kusta tipe BL mengalami
episode ENL. Umumnya terjadi pada 1-2 tahun setelah pengobatan tetapi dapat juga
timbul pada pasien kusta yang belum mendapat pengobatan Multi Drug Therapy
(MDT).
12
sistem komplemen Berbagai macam enzim dan bahan toksik yang menimbulkan
destruksi jaringan akan dilepaskan oleh netrofil akibat dari aktivasi komplemen.
Pada ENL, dijumpai peningkatan ekspresi sitokin IL-4, IL-5, IL 13 dan IL-10
(respon tipeTh-2) serta peningkatan, IFN-γ danTNF-α. IL-4, IL-5, IFN-γ,TNF-α
bertanggung jawab terhadap kenaikan suhu dan kerusakan jaringan selama terjadi
reaksi ENL10.
13
Tabel 6.4 Perbedaan Reaksi Ringan-Berat Pada Reaksi Kusta Tipe 1 dan 2
14
VI. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama program pemberantasan penyakit kusta adalah memutuskan
rantai penularan untuk menurunkan insidensi penyakit, mengobati dan
menyembuhkan penderita serta mencegahkan timbulnya cacat. Untuk mencapai
tujuan itu sampai sekarang strategi pokok yang dilakukan masih didasarkan atas
deteksi dini dan pengobatan penderita, yang tampaknya masih tetap diperlukan
walaupun nanti vaksin kusta yang efektif telah tersedia. Sejak dilaporkan adanya
resistensi terhadap dapson baik primer maupun sekunder, pada tahun 1977 WHO
memperkenalkan pengobatan kombinasi yang terdiri paling tidak dua obat antikusta
yang efektif14.
Program Multi Drug Therapy (MDT) dimulai pada tahun 1981, yaitu ketika
kelompok Studi Kemoterapi WHO secara resmi mengeluarkan rekomendasi
pengobatan kusta dengan rejimen MDT-WHO. Regimen ini terdiri atas kombinasi
obat-obat dapson, rifampisin, dan klofasimin. Selain itu mengatasi resistensi dapson
yang semakin meningkat, penggunaan MDT dimaksudkan juga untuk mengurangi
ketidaktaatan penderita dan menurunkan angka putus-obat (dro-out) yang cukup
tinggi pada masa monoterapi dapson. Disamping itu diharapkan juga dengan MDT
dapat mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan15.
Regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan regimen pengobatan
yang direkomendasikan oleh WHO Regimen tersebut adalah sebagai berikut 14,16:
7.1. Tipe PB
Untuk kusta tipe PB, terdiri atas kombisnasi rifampisin dan dapson.
a. Jenis dan obat untuk orang dewasa:
1. Rifampicin 600 mg/bulan dan DDS 100 mg / hari ditelan di depan
petugas.
2. DDS 100 mg / hari diminum di rumah.
b. Jenis dan dosis obat untuk anak-anak :
1. DDS 1-2 mg / kg berat badan
2. Rifampisin 10-15 mg / kg barat badan
c. Lama pengobatan
Lama pengobatan untuk penderita tipe PB adalah selama 6-9 bulan.
7.2. Tipe MB
15
Untuk kusta tipe MB, terdiri atas kombinasi rifampisin, dapson, klofazimin
(lamprene).
a. Jenis dan dosis obat untuk orang dewasa:
1. Lamprene 300 mg / bulan
2. Rifampisin 600 mg / bulan
3. DDS 100 mg / bulan
Ketiga obat ini ditelan di depan petugas setiap bulan.
1. DDS 100 mg / hari
2. Lamprene 50 mg / hari
Kedua obat ini diminum di rumah.
b. Dosis Lamprene untuk anak-anak:
Umur dibawah 10 tahun : Bulanan : 100 mg / bulan
Harian : 50 mg / 2 kali / minggu
Umur 11 – 14 tahun : Bulanan : 200 mg / bulan
Harian : 50 mg / 3 kali / minggu
c. Lama pengobatan 2 tahun
Setelah pengobatan dihentikan (Release from Treatment/RFT) penderita
masuk dalam masa pengamatan (control) yaitu: penderita dikontrol secara klinik
dan bakterioskopik minimal sekali setahun selama 5 tahun untuk penderita kusta
multibasiler dan dikontrol secara klinik sekali setahun selama 2 tahun untuk
penderita kusta pausibasiler. Bila pada masa tersebut tidak ada keaktifan, maka
penderita dinyatakan bebas dari pengamatan (Release from Control /RFC).
16
Sebelum memulai penanganan reaksi, terlebih dahulu lakukan identifikasi tipe
reaksi serta derajat reaksinya. Hal ini dapat dinilai dari hasil kesimpulan
pemeriksaan pada formulir pencatatan pencegahan cacat (POD), seperti :
Adanya lagoftalmos baru terjadi dalam 6 bulan terakhir
Adanya nyeri raba saraf tepi
Adanya kekuatan otot berkurang dalam 6 bulan
Adanya rasa raba berkurang dalam 6 bulan terakhir
Adanya bercak pecah atau nodul pecah
Adanya bercak aktif (meradang) di atas lokasi saraf tepi
Bila terdapat salah satu dari gejala diatas berarti ada reaksi berat dan perlu diberikan
obat anti reaksi. Obat anti reaksi terdiri atas :
Prednison (untuk reaksi tipe 1 dan 2)
Obat ini digunakan untuk penanganan/pengobatan reaksi. Cara
pemberiannya dapat dilihat pada pengobatan reaksi berat (tabel 7.1)
Lampren (Untuk reaksi tipe 2)
Obat ini dipergunakan untuk penanganan/pengobatan reaksi ENL yang
berulang (steroid dependent). Cara pemberiannya, dapat dilihat pada tabel
pengobatan reaksi berat (Tabel 7.1)
Thalidomid (Untuk reaksi tipe 2)
Obat ini tidak dipergunakan dalam program
VII. KOMPLIKASI
8.1 Kerusakan Syaraf Tepi
Syaraf tepi yang terserang akan menunjukkan berbagai kelainan yaitu12,18:
N.fasialis: lagoftalmos, mulut mencong
17
N.trigeminus: anestesi kornea
N.aurikularis magnus
N.radialis: tangan lunglai (drop wrist)
N.ulnaris: anestesi dan paresis/paralisis otot tangan jari V dan sebagian jari
IV
N.medianus: anestesi dan paresis/paralisis otot tangan jari I, II, III, dan
sebagian jari IV. Kerusakan N.ulnaris dan N.medianus menyebabkan jari
kiting (clow toes) dan tangan cakar (claw hand)
N.peroneus komunis: kaki semper (drop foot)
N.tibialis posterior: mati rasa telapak kaki dan jari kiting (claw toes
8.2 Kecacatan Kusta
Kusta merupakan masalah kesehatan masyarakat karena cacatnya. Cacat
kusta terjadi akibat gangguan fungsi saraf pada mata, tangan atau kaki. Namun,
orang-orang yang cacat akibat kusta “dicap” seumur hidup sebagai “penderita
kusta” walaupun sembuh dari penyakit. Sementara sebenarnya hampir semua cacat
dapat dicegah19.
Cacat yang timbul pada penyakit kusta dapat dikelompokkan menjadi dua
kelompok, yaitu12,14:
18
c. Cacat pada jaringan lain akibat infiltrasi kuman kusta dapat terjadi pada
tendon, ligamen, sendi, tulang rawan, testis, tulang, dan bola mata.4
Kelompok cacat sekunder ini terjadi akibat cacat primer, terutama akibat
adanya kerusakan syaraf (sensorik, motorik, otonom). Anestesi akan memudahkan
terjadinya luka akibat trauma mekanis atau termis yang dapat mengalami infeksi
sekunder dengan segala akibatnya. Kelumpuhan motorik menyebabkan kontraktur
sehingga dapat menimbulkan gangguan menggenggam atau berjalan juga
memudahkan terjadinya luka. Demikian pula akibat lagoftalmus dapat
menyebabkan kornea kering sehingga mudah timbul keratitis. Kelumpuhan syaraf
otonom menyebabkan kulit kering dan elastisitas berkurang. Akibatnya kulit mudah
retak-retak dan dapat terjadi infeksi sekunder12,14.
19
DAFTAR PUSTAKA
20
15. Daili S, Menaldi SL, Wisnu IM. Kusta. Penyakit Kulit yang umum di Indonesia,
sebuah Panduan Bergambar. Indonesia. Jakarta Pusat : PT Medical Multimedia
Indonesia;2015.
16. Saunderson P, Gebre S, Byass P. ENL reactions in the multibacillary cases of
the AMFES cohort in central Ethiopia: incidence and risk factors. Leprosy
Review.
17. Wisnu IM, Hadilukito G. Pencegahan cacat lepra. In: Sjamsoe- daili ES, Menaldi SL,
Ismiarto SP, Nilasari H,editors. Lepra. 2nded. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2013.p.90Anonym.
18. Modul Program Pengendalian Penyakit Kusta untuk CoAss. Pusat Latihan
Kusta Nasional. Makassar.2010.p 46-50.
19. Ernest JD. Leprosy.[online].2013 [cited januari 2019]. Available from:
URL:http://www.medlineplus.com
21