Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN KASUS

MORBUS HANSEN

Disusun oleh :
Willyam Panistra Mendrofa
2065050132

Pembimbing:
dr. Syahfori Widiyani, M.Sc, Sp.KK

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KULIT DAN KELAMIN


PERIODE 28 FEBRUARI – 19 MARET 2022
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
2022

Morbus Hansen
(Masalah Diagnosis)
Willyam Panistra Mendrofa
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia, Jakarta

PENDAHULUAN

Morbus Hansen atau dikenal sebagai penyakit kusta merupakan penyakit


infeksi tropik yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae yang bersifat
intraseluler obligat. Bakteri Mycobacterium leprae sendiri memiliki masa inkubasi
yang kronik antara 40 hari – 40 tahun setelah terpapar melalui droplet. Kuman ini
kemudian dapat menyerang organ saraf perifer, kulit, dan saraf pusat sehingga
dapat minimbulkan gejala berupa patch hipopigmentasi ataupun eritematosa yang
disertai adanya anestesi. Berdasarkan klasifikasi Ridley & Jopling, kusta terbagi
atas Tuberkuloid (TT), Borderline Tuberkuloid (BT), Mid Borderline (BB),
Borderline Lepromatosa (BL), dan Lepromatosa (LL). Sedangkan berdasarkan
WHO, kusta terbagi atas Pausibasilar (PB) dan Multibasilar (MB).
Penatalaksanaan pasien kusta berikutnya terbagi berdasarkan klasifikasi WHO.
Bagi multibasilar, digunakan pemberian MDT dengan rincian Rifampisin dan
Klofazimin setiap bulan, disertai DDS serta Klofazimin dosis 50 mg setiap harinya
selama 12-18 bulan. Sedangkan pada pasien Pausibasilar (PB) digunakan
Rifampicin 600 mg setiap bulan diikuti DDS setiap harinya. Prognosis dapat
menjadi baik bila dilakukan tatalaksana adekuat.

I. IDENTITAS PASIEN

● Nama/ No. RM : Tn. SP


● Jenis Kelamin : Laki-laki

● Umur : 50 tahun

● Alamat : Cilangkap, RT 01/RW 15

● Pekerjaan : Wiraswasta

● Status Pernikahan : Menikah

II. ANAMNESIS

Dilakukan anamnesis pada hari Senin, 28 Februari 2022

Keluhan Utama : Kemerahan pada lengan kanan.

Keluhan Tambahan : Baal pada lengan bawah sebelah kanan

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke rumah sakit, dengan keluhan muncul lesi kemerahan tidak gatal pada
lengan bawah sebelah kanan sejak 6 bulan sebelum masuk rumah sakit. Kemerahan
tampak meninggi, berjumlah 1 dengan diameter 15 cm. Keluhan muncul secara
mendadak dan pasien mengaku belum melakukan apapun untuk mengurangi gejala.
Selain itu pasien juga merasakan baal pada lengan bawah sebelah kanan semenjak bulan
Oktober 2021.

Diketahui teman pasien mengalami gejala serupa, namun pada keluarga tidak ada
yang mengalami gejala serupa. Pasien dahulu juga belum pernah mengalami hal serupa.
Riwayat alergi obat maupun makanan disangkal, Riwayat kebiasaan merokok dan
minum alkohol disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien tidak pernah merasakan keluhan seperti ini sebelumnya, pertama kali di
rasakan pasien pada Oktober 2021. Pasien mengaku tidak memiliki riwayat sakit
Diabetes Melitus dan Hipertensi. Pasien menyangkal riwayat alergi obat ataupun
makanan. Pasien menyangkal adanya riwayat gatal-gatal.
Riwayat Penyakit Keluarga

Dikeluarga pasien tidak ada yang pernah merasakan keluhan serupa. Riwayat
Hipertensi dan DM pada keluarga disangkal oleh pasien.

Riwayat Kebiasaan Pribadi

• Pasien mengatakan sehari-hari melakukan perkerjaan bersama dengan teman pasien


yang mengalami gejala serupa.

• Pasien mengatakan rajin mandi 2x sehari.

III. PEMERIKSAAN FISIK


a. Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
b. Tanda Vital
 Kesadaran : Composmentis
 Tekanan Darah : 120/80 mmHg
 Frekuensi Nadi : 80x/menit
 Frekuensi Pernafasan : 20x/menit
 Suhu : 36.7ºC
c. Data Antropometri
 Berat Badan : 72 kg
 Tinggi Badan : 171 cm
d. Kepala dan Leher
 Kepala : Normochepali
 Rambut : Rambut berwarna hitam, Pertumbuhan rambut tersebar
merata.
 Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
 Mulut : Bibir tidak pucat, mukosa lembab.
 Leher : KGB tidak teraba membesar.
e. Thorax
 Inspeksi : Diameter laterolateral > ateroposterior, pergerakan dinding
dada simetris
 Palpasi : vokal fremitus simetris
 Perkusi : sonor di kedua lapang paru
 Auskultasi : bunyi nafas dasar vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
f. Abdomen
 Inspeksi : Tidak membuncit, umbilicus tidak menonjol
 Palpasi : Supel, nyeri tekan (-)
 Perkusi : Timpani, asites (-), nyeri ketuk (-)
 Auskultasi : Bising usus (+) 4x/menit
g. Ekstremitas atas
Akral hangat, edema (-/-), anestesi (+/-), CRT <2 detik, onikolisis (-/-), warna kuku
normal.
h. Ekstremitas bawah
KGB inguinal kanan dan kiri tidak membesar, akral hangat, edema (-/-), anestesi
(-/-), CRT <2 detik, onikolisis (-), warna kuku normal.

Status Dermatologi
Pasien dr. Syahfori Widiyani, M.Sc., Sp.KK,

Effloresensi
Pada regio Antebrachii dekstra tampak plak eritem soliter berukuran plakat berbatas tegas,
bentuk tidak beraturan.

IV. RESUME
Pasien laki-laki dengan usia 50 tahun datang ke rumah sakit, dengan keluhan
muncul lesi kemerahan tidak gatal pada lengan bawah sebelah kanan sejak 6 bulan
sebelum masuk rumah sakit. Kemerahan tampak meninggi, berjumlah 1 dengan
diameter 15 cm. Keluhan muncul secara mendadak dan pasien mengaku belum
melakukan apapun untuk mengurangi gejala. Selain itu pasien juga merasakan baal
pada lengan bawah sebelah kanan semenjak bulan Oktober 2021.
Diketahui teman kerja pasien mengalami gejala serupa, namun pada keluarga
tidak ada yang mengalami gejala serupa. Pasien dahulu belum pernah mengalami hal
serupa. Riwayat alergi obat maupun makanan (-), Riwayat kebiasaan merokok dan
minum alkohol (-). Riwayat penyakit Diabetes Mellius (-), Hipertensi (-). dan
penyakit autoimun (-) pada pasien dan keluarga pasien.
V. PERMASALAHAN KASUS
Laki-laki usia 50 tahun mengeluhkan muncul lesi kemerahan tidak gatal disertai baal
pada lengan bawah sebelah kanan sejak 6 bulan sebelum masuk rumah sakit. Pada
pemeriksaan fisik didapati plak eritem soliter berukuran plakat berbatas tegas
VI. DIAGNOSIS BANDING
1. Morbus Hansen
2. Psoriasis
3. Ptiriasis rosea
VII. PEMERIKSAAN ANJURAN
1. Pemeriksaan Histopatologik
2. Pemeriksaan ziehl-neelsen
VIII. PEMERIKSAAN TAMBAHAN
Tidak dilakukan.

IX. DIAGNOSIS KERJA


Morbus Hansen
X. TATALAKSANA
 Non medikamentosa:
1. Perawatan dan pencegahan luka padadaerah baal
 Medikamentosa:
o Rifampisin 600 mg setiap bulan 1 kali, dalam pengawasan
o DDS 100 mg setip hari
o Klofazimin 300 mg setiap bulan dalam pengawasan, diteruskan 50 mg setiap
hari
XI. PROGNOSIS
Ad vitam : Ad bonam
Ad functionum : Dubia ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad malam
Ad kosmetikum : Dubia ad malam

XII. PEMBAHASAN MORBUS HANSEN


a. Definisi
Morbus Hansen atau dikenal sebagai penyakit kusta merupakan penyakit
infeksi tropik yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae yang bersifat
intraseluler obligat.1
b. Etiologi
Penyebab Morbus Hansen adalah infeksi Mycobacterium leprae yang
berukuran 3-8 microgram x 0.5 microgram. Bakteri ini merupakan bakteri gram
positif, serta tahan asam dan alkohol. Mycobacterium leprae diketahui menyerang
sel schwann sehingga menimbulkan manifestasi anestesi. Sehingga dapat
menimbulkan manifestasi leprous neuropathy (LN).1,2
Gambar XII.1 Mycobacterium leprae.
c. Epidemiologi
Kusta atau Morbus Hansen terdapat diseluruh dunia, terutama pada Asia,
Afrika, Amerika Latin, daerah tropis dan subtropis. Umumnya, penyakit ini
diderita oleh masyarakat ekonomi menengah kebawah. Jumlah kasus kusta
diseluruh dunia selama 12 tahun terakhir menurun tajam. Pada tahun 2009 tercatat
213.036 kasus dari total 121 negara. Sedangkan pada awal tahun 2008 tercatat
sebesar 249.007 kasus. Namun sebagai perbandingan, pada tahun 2009 di
Indonesia tercatat 21.538 kasus dan pada tahun 2008 diketahui ada 17.441.
Distribusi dari kasus ini pun diketahui tidak merata dengan angka tertinggi berada
pada pulau Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Prevalensi pada tahun 2008 per
10.000 penduduk adalah sebesar 0.76.1
Kini, Laporan WHO dalam weekly epidemiological record tahun 2018
menunjukkan bahwa terdapat 210.671 penderita kusta yang dilaporkan dari 38
negara di semua regional WHO di akhir tahun 2017. Jumlah ini mengalami sedikit
penurunan dibandingkan tahun sebelumnya yaitu tahun 2016 dengan total kasus
sebesar 214.783 orang. Regional Asia Tenggara menjadi regional penyumbang
kasus baru kusta paling banyak yaitu sebesar 153.487, sedangkan Regional Eropa
menjadi penyumbang kasus baru kusta paling sedikit dengan jumlah kasus
sebanyak 33 kasus. Jumlah penderita kusta di seluruh dunia mengalami penurunan
dari tahun ke tahunnya, meskipun demikian Indonesia menjadi negara yang
konsisten setiap tahunnya sebagai peringkat ketiga kasus kusta terbanyak setelah
India dan Brazil.3
Kasus baru kusta di Indonesia pada tahun 2017 terdapat 15.910 kasus. Jumlah
ini mengalami penurunan dibandingkan dua tahun sebelumnya yaitu 16.826 kasus
baru kusta pada tahun 2016 dan 17.202 kasus pada tahun 2015 (WHO, 2018).
Jawa Timur merupakan provinsi penyumbang kasus baru kusta paling banyak di
Indonesia. Pada tahun 2017 terdapat kasus baru kusta sebesar 3.374 kasus dengan
prevalensi 0,93 per 10.000 penduduk.3
d. Klasifikasi
Tabel XII.1 Klasifikasi Kusta1
Klasifikasi Zona Spektrum Kusta
Ridley & TT BT BB BL LL
Jopling
Madrid Tuberkuloid Borderline Lepramatosa
WHO Pausibasiler (PB) Multibasiler (MB)

1. Tipe Tuberkuloid (TT)


Lesi ini mengenai baik kulit maupun syaraf, jumlah lesi bisa satu atau
beberapa, dapat berupa makula atau plakat yang berbatas jelas dan pada
bagian tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau central healing.
Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi, bahkan dapat
menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsinata. Dapat disertai penebalan
saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal.
Tidak adanya kuman merupakan tanda terdapatnya respon imun pejamu yang
adekuat terhadap kuman kusta.

2. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)


Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plakat
yang sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau
beberapa, tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak
sejelas tipe TT. Adanya gangguan saraf tidak seberat tipe TT dan biasanya
asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang
menebal.

3. Tipe Mid Borderline (BB)


Merupakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga sebagai bentuk
dismorfik dan jarang dijumpai. Lesi sangat bervariasi, dapat berbentuk makula
infiltratif, permukaan lesi dapat mengkilap dan batas lesi kurang jelas. Ciri
khasnya adalah lesi punched out, yaitu, suatu lesi hipopigmentasi dengan
bagian tengah oval dan berbatas jelas.

4. Tipe Borderline Lepromatosus (BL)


Secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit dan dengan
cepat menyebar ke seluruh badan. Walaupun masih kecil, papul dan nodul
lebih tegas dengan distribusi lesi yang hampir simetris dan beberapa nodul
nampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian tengah sering tampak
normal dengan infiltrasi di pinggir dan beberapa tampak seperti punched out.
Tanda-tanda kerusakan saraf lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe
LL.

5. Tipe Lepromatous Leprosy


Jumlah lesi pada tipe ini sangat banyak, simetris, permukaan halus,
lebih eritematus, berkilap, berbatas tidak tegas, dan pada stadium dini tidak
ditemukan anestesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di daerah wajah,
mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga; sedangkan di badan mengenai
bagian badan yang dingin, seperti lengan, punggung tangan, dan ekstensor
tungkai. Pada stadium lanjut, tampak penebalan kulit yang progresif, cuping
telinga menebal, facies leonina, madarosis, iritis, keratitis, deformitas pada
hidung, pembesaran kelenjar limfe, dan orkitis yang selanjutnya dapat menjadi
atrofi testis. Kerusakan saraf yang luas menyebabkan gejala stocking and
glove anesthesia dan pada stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer
mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anastesi dan
pengecilan otot tangan dan kaki.1
Tabel XII.2 Klasifikasi Kusta WHO1
e. Patogenesis
Mycobacterium leprae dapat menular melalui droplet dan mempunyai
PB MB
Lesi Kulit 1. 1-5 lesi 1. >5 lesi
2. Hipopigmentasi/eritema 2. Simetris
3. Tidak simetris 3. Hilang sensasi kurang jelas
4. Hilang sensasi yang
jelas
Kerusakan Satu cabang saraf Banyak cabang saraf
Saraf
patogenitas serta daya invasi yang rendah. sebab penderita yang mengandung
kuman lebih banyak belum tentu memiliki gejala yang lebih parah. Hal ini
disebabkan oleh respon imun yang kemudian menggugah timbulnya reaksi
granuloma setempat atau granuloma menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau
progresif. Respon inilah yang kemudian mempengaruhi apakah seseorang akan
sembuh sempurna atau akan memasuki tipe indeterminate jika imunitas seseorang
lemah. Apabila berlanjut, keadan imunologis menentukan tipe indeterminate dapat
berkembang menjadi tipe Pausibasiler ataupun Multibasiler.1,4
Faktor genetik yang berperan salah satunya berada di bawah sistem Human
Leucocyte Antigen (HLA). HLA adalah suatu antigen dipermukaan sel yang
merupakan hasil produk yang dicetak biru oleh gen yang terletak di kromosom 6
manusia, pada suatu daerah (locus) yang disebut Major histocompatibility
Complex (MHC). Dikenal MHC class I (menghasilkan HLA-A, B, dan C) dan
MHC class II (menghasilkan HLA D) yang banyak dihubungkan dengan imunitas
terhadap bakteri termasuk basil kusta. Antigen HLA ini berperan dalam
pengenalan dan penyajian antigen dari sel penyaji (Antigen Precenting Cell)
kepada sel limfosit T (Thelper) yang akan memulai rangkaian respon imun. Dari
hasil penelitian terhadap penderita kusta ternyata didapatkan frekuensi HLA DR3
yang tinggi pada penderita kusta tipe Tuberkuloid. Sedangkan HLA-DQ1
dihubungkan dengan tipe Lepromatosa. Bentuk respon imun yang terjadi apabila
basil kusta masuk kedalam tubuh seseorang dimana HLA akan membuat
seseorang jadi lebih mudah terkena kusta dibandingkan orang lain. HLA DR akan
mengarahkkan ke imunitas seluler, sedangkan HLA-DQ akan mengarahkan ke
sistem imunitas humoral. Epitop atau peptida yang berasal dari antigen kuman,
memerlukan pasangan sesuai HLA yang ada. Pasangan ini selanjutnya akan
bertemu dengan reseptor pada permukaan limfosirt (T cell receptor/TCR). 5
Sel Schwann, sel pendukung utama pada sistem saraf perifer, tampaknya
menjadi target utama M. leprae pada saraf perifer. Pada penderita dengan lepra
yang sudah parah (advanced), baik sel- sel Schwann yang bermielin maupun
tidak, sama-sama terinfeksi oleh M. leprae. Walaupun ada beberapa laporan yang
menyebutkan bahwa ada kecenderungan untuk menyerang serabut saraf yang
tidak bermielin. Secara in vitro, telah mengobservasi suatu infeksi yang cepat dan
berat pada kedua jenis sel Schwann itu. Namun beberapa peneliti telah
melaporkan infeksi yang terbatas pada sel Schwann yang tidak bermielin secara
in vitro. Phenolic glycolipid 1 (PGL-1) dari M. leprae telah dibuktikan terikat
secara spesifik pada laminin-2 dalam lamina basalis dari unit SC- akson. Oleh
karena itu PGL-1 tampaknya terlibat dalam invasi sel schwann oleh M. leprae
pada suatu jalur laminin 2. Namun yang lebih penting lagi, bukti-bukti yang ada
jelas menunjukkan bahwa mekanisme ikatan terhadap permukaan sel schwann
via laminin α2 bukan merupakan hal yang patognomonis untuk M. leprae saja.5
Sebagian M. leprae yang masuk ke dalam tubuh manusia mungkin akan lolos
dari seragan sistem kekebalan alamiah. Lewat mekanisme menumpang di dalam
monosit seperti pada infeksi tuberkulosis diparu (Troyan-horse- phenomen) basil
kusta terbawa masuk ke organ yang lebih dalam tubuh dan mencari sasaran sel
yang sistem pertahanannya lemah sambil berkembang biak. M. leprae yang
ditangkap oleh monosit tersebut tidak terbunuh, hal ini dikarenakan bakteri lewat
dengan cara mimikri (menyamar) sehingga sel tidak mengenali musuh, atau
bakteri mengeluarkan zat tertentu yang melumpuhkan salah satu komponen
sistem kekebalan. Salah satu jenis sel fagosit yang menjadi sasaran adalah sel
Schwann yang terletak di perineum saraf tepi. Sel ini digolongkan dalam “non
professional phagocyte”, karena tidak bisa mengekspresikan MHC class II di
permukan selnya, kecuali bila diaktifkan oleh Interferon gamma (IFN γ).
Keadaan ini menyebabkan terganggunya proses penyajian antigen kepada
limfosit T, sehingga setelah menangkap M. Leprae sel itu tidak bisa
mengaktifkan limfosit dan sebaliknya limfosit tidak bisa mengirim sinyal (IFN γ)
yang dibutuhkan untuk sistem penghancuran kuman didalam sel. Maka sel
Schwann ini menjadi pos pertama dari basil kusta sebelum menginvasi kekulit
dan organ lain. Pada waktu sel Scwann yang tua mati dan pecah, M. Leprae yang
berkembang biak didalam sel tersebut akan tersebar keluar dan akan ditangkap
oleh sel fagosit lain. Fase selanjutnya adalah interaksi antara basil kusta dengan
sistem pertahanan tubuh lapis kedua yang bersifat spesifik.5
Dalam sistim pertahanan lapis kedua, eliminasi kuman dijalankan oleh sistim
imun yang didapat (Acquired Immunity) yang sifatnya spesifik dan timbul
apabila sudah terjadi pengenalan (recognition) dan pengingatan (memory) oleh
berbagai komponen sel yang terlibat. Untuk penghancuran kuman yang hidupnya
di dalam sel seperti M. leprae, maka diperlukan kerjasama antara makrofag dan
limfosit T. Makrofag harus memberi sinyal lewat penyajian antigen, sedangkan
limfosit harus memberi sinyal dengan mengeluarkan Interleukin yang akan
mengaktifkan makrofag tersebut agar menghancurkan kuman lewat mekanisme
fagosom-lisosom kompleks. Dalam proses penyajian antigen dari mikobakteria,
antigen yang berasal dari proses pencernaan di dalam fagosom akan disajikan
oleh MHC kelas II kepada limfosit T yang CD4+, umumnya dari jenis T-helper
atauinducer. Sedangkan antigen dari kuman yang berada di dalam sitoplasma
akan disajikan oleh molekul MHC kelas I kepada sel T yang CD8+, yaitu
sitotoksik/supresor. Limfosit Th-1 terbentuk apabila dalam proses stimulasi
antigen terdapat IL-12, IFN-gamma dan IL-18, yang berasal dari sel NK dan
makrofag di dalam sistem imunitas alamiah (innate immunity). Kedua subset
limfosit ini saling mempengaruhi satu sama lain (down-regulating) dan selalu
berusaha mencapai keseimbangan. Apabila pada awal proses aktivasi terdapat IL-
4 (kemungkinan dibentuk oleh sel NK1.1 CD4+) maka Th-0 akan berubah
menjadi Th-2. Selanjutnya Th-1 akan mengaktifkan sistim imun seluler yang
diatur lewat pengaruh sitokin IL-2, IFN-gamma dan TNF-alfa, sedangkan Th-2
akan mengaktifkan sistem imun humoral lewat mediator IL-4, I-6 dan IL-10. 5
Berdasarkan konsep Th-1 dan Th-2 tersebut, maka dalam respons imun
terhadap kuman M. Leprae akan terjadi dua kutub, dimana pada satu sisi akan
terlihat aktifitas imunitas humoral. Manifestasi klinik yang terlihat adalah kusta
tipe Tuberkuloid dengan aktifitas Th-1 yang menonjol dan tipe Lepromatosa
dengan imunitas humoralnya yang dihasilkan oleh Th-2. Bentuk - bentuk
peralihan (tipe Borderline) kemungkinan timbul dari perbedaan gradasi antara
aktifitas Th-1 dan aktifitas Th-2.5
f. Gambaran Klinis
Semua pasien, pertama kali menunjukkan 1 atau beberapa makula
hipopigmentasi pada kulit. Kemudian, Pada kusta tuberkuloid, ditemukan plak
berbatas tegas, biasanya hanya sedikit di satu segmen tubuh, hipokromik dan/atau
eritematosa, terkadang atrofi, muncul dengan papula atau tuberkel yang terutama
melingkar di pinggiran lesi. Pada kusta tipe lepromatosa, biasanya muncul dengan
banyak lesi nodular yang tersebar di seluruh tubuh, termasuk telinga dan wajah,
yang mungkin memiliki wajah fitur yang begitu mencolok sehingga memberikan
tampilan wajah singa, yang dikenal sebagai leonine facies.6

Gambar XII.2 Lesi Hipopigmentasi pada Kusta Indeterminate

Gambar XII.3 Lesi pada Kusta Tipe Tuberkuloid


Gambar XII.4 Lesi pada Kusta Tipe Lepramatosa
Diagnosis kusta didasarkan pada deteksi anestesi hipo atau total pada lesi yang
berhubungan dengan hipohidrosis dan alopesia. Pasien kusta tuberkuloid dapat
menunjukkan kekeringan pada kulit dan alopesia terbatas pada wilayah lesi.
Sebaliknya, pasien kusta lepromatosa dapat menunjukkan area kekeringan yang
luas, terutama pada kaki, dan pada kasus lanjut dapat menyebabkan madarosis dan
kerontokan rambut di berbagai bagian kulit. Pasien borderline mengikuti pola
yang sama, dengan gambaran yang lebih terbatas pada kusta borderline-
tuberkuloid dan lebih menyebar pada kusta borderline-lepromatous.6
Selain gejala tersebut, muncul juga gejala seperti palpitasi. Pada 25% kasus,
muncul beberapa gangguan endokrin seperti hipothyroidism, euthyroid sick
syndrome, hypogonadism, dan osteoporosis.6

g. Diagnosis Banding
Berikut merupakan table diagnosis banding dari kusta, yaitu:6
Tabel XII.2. Diagnosis Banding Kusta

h. Diagnosis
Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada penemuan tanda kardinal (cardinal
sign), yaitu:

1. Bercak kulit yang mati rasa


Pemeriksaan harus di seluruh tubuh untuk menemukan ditempat tubuh yang
lain, maka akan didapatkan bercak hipopigmentasi atau eritematus, mendatar
(makula) atau meninggi (plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian
saja terhadap rasa raba, rasa suhu, dan rasa nyeri.

2. Penebalan saraf tepi


Dapat disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai dengan atau tanpa gangguan
fungsi saraf yang terkena, yaitu:
a. Gangguan fungsi sensoris: hipostesi atau anestesi
b. Gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis
c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema, pertumbuhan rambut
yang terganggu.

3. Ditemukan kuman tahan asam


Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit, cuping telinga, dan lesi kulit pada
bagian yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsi kulit atau saraf.
Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit harus ditemukan satu
tanda kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan, maka kita hanya dapat
mengatakan tersangka kusta dan pasien perlu diamati dan diperiksa ulang setelah
3-6 bulan sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan atau disingkirkan.1

a. Tatalaksana
Nonmedikamentosa
1. Melakukan pencegahan luka pada daerah yang terasa baal

Medikamentosa:
 Regimen untuk PB terdiri atas kombinasi Rifampicin 600 mg 1 bulan sekali,
DDS 100 mg setiap hari. Pengobatan dilakukan 6-9 bulan.
 Regimen untuk MB terdiri atas atas kombinasi Rifampicin 600 mg 1 bulan
sekali, DDS 100 mg setiap hari dan Klofazimin 300 mg/bulan serta 50 mg/hari
Pengobatan dilakukan 6-9 bulan.4
b. Prognosis
Setelah program terapi obat biasanya prognosis baik, yang paling sulit
adalah manajemen dari gejala neurologis, kontraktur dan perubahan pada tangan
dan kaki. Ini membutuhkan tenaga ahli seperti neurologis, ortopedik, ahli bedah,
prodratis, oftalmologis, physical medicine, dan rehabilitasi. Yang tidak umum
adalah secondary amyloidosis dengan gagal ginjal dapat mejadi komplikasi.1
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. FK UI. Edisi Ketujuh. 2016

2. Serrano-Coll, H., Salazar-Peláez, L., Acevedo-Saenz, L., & Cardona-Castro, N.


(2018). Mycobacterium leprae-induced nerve damage: direct and indirect
mechanisms. Pathogens and Disease, 76(6), 1–9.
https://doi.org/10.1093/femspd/fty062
3. Firdaus, F. (2019). Risiko keterlambatan berobat dan reaksi kusta dengan cacat
tingkat 2. Jurnal Berkala Epidemiologi, 7(1), 25–32.
https://doi.org/10.20473/jbe.v7i1.25-32
4. Clinical Decision Making Series: Dermatologi dan Venereologi; Gadjah ada
University Press.2020
5. Hajar, S. (2017). Morbus Hansen Biokimia dan Imunopatogenesis, 71(1), 72.
6. Fritz’s Patrick Dermatology. Edisi ke 9. Ewon Kang, MD. MPH Mayasuki
amagi, MD, Anna L. MD,

Anda mungkin juga menyukai