MORBUS HANSEN
Disusun Oleh :
Milaviza Patrisha
1102017137
Pembimbing :
dr. Yenni, Sp.KK, M.Kes
1
BAB I
LATAR BELAKANG
1.1 Pendahuluan
Kusta merupakan penyakit infeksis yang kronik, dan penyebabna ialah
Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas
pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke
organ lain kecuali susunan saraf pusat.4
Menururt Wold Health Organization (WHO), terdapat 202.256 kassus baru yang
terdata secara global pada tahun 2019 menururt grafik resmi 161 negara dalam enam
regio WHO.5 Indonesia telah mencacpai Eliminasi tingkat nasional (angka prevalensi
<1/10.000 pnduduk) pada tahun 2000, sesuai target Eliminasi Kusta global yang
damanatkan WHA (World Health Assembly) tahun 1991. Sampai dengann tahun
2017 masih terdapat 10 provinsni dan 142 kabupaten/kota yang belum mencapai
Elminasi Kusta. Hal ini disebabkan masih terdapat kantong-kantong Kusta pada
kabupaten/kuota di provinsi tersebut karena penularan Kusta setempat masih tinggi
dan adanya stigma terhadap Kusta.2
Istilah mobus Hansen (MH) pertama kali dideskripsikan oleh Gerhard Armauer
Hansen pada tahun 1873. Penamaan MH digugnakan pada beberapa negara, seperti
Brazil untuk mengurangi stigma yanng terasosiasi dengan nama umum.1 Sedangkan
di Indonesia, MH dikenal dengan nama kusta pada kalangan umum, juga penyakit
lepra.4 Insiden berdasarkan usia tidak menggamarkan risiko kelompok umur tertentu
untuk terkena penyakit.2 Menurut jenis kelamin, baik pria maupun wanita jumlah
penderita seimbang.
WHO mengklasifikasikan MH menjadi dua tipe, yaitu pausibasiler (PB) dan
multibasiler (MB). Sedangkan Ridley & Jopling membagi MH menjadi lima tipe,
yaitu tuberkuloid polar (TT), borderlilne tuberkuloid (BT), mid borderline (BB),
borderline lepromatous (BL) dan lepramotosa polar (LL).4,6,8
2
Diagnosis morbus Hansen dapat ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Dapat juga dilakukan pemeriksaan penunjang untuk memastikan diagnosis
apabila sulit menegakkan diagnosis MH. Untuk menetapkan diagnosis perlu dicari
tanda-tanda utama (cardinal sign), yaitu kelainan kulit atau lesi, penebalan saraf tepi
disertai dengan gangguan fungsi saraf, dan adanya Basil Tahan Asasm (BTA) di
dalam kerokan jarinngan kulit.2.4 Beberapa penyakit yang menyerupai gambaran
klinis kusta karena penyakit ini merupakan salah satu penyakit peniru yang hebat.
Pengobatan umumnya diberikan multi drug treatment (MDT) sesuai rekomendasi
WHO, dengan obat alternatif yang sejalan dengan kebutuhan dan kemampuan.4
3
BAB II
PRESENTASI KASUS
2.2 Anamnesis
Autoanamnesis dilakukan kepada pasien pada tanggal 4 November 2021 di ruang
poli kulit dan kelamin RSUD Arjawinangun.
Keluhan Utama
Jari tengah tangan kanan bengkak 2 hari SMRS.
Keluhan Tambahan
Hidung mampat dan pusing 7 hari SMRS.
4
Pasien 6 bulan sebelumnya belum pernah sakit seperti ini. Tidak ada riwayat
alergi, tidak mempunyai riwayat DM maupun hipertensi.
Riwayat Pengobatan
Pasien diberikan obat oleh dokter kulit terakhir pada 21 Oktober 2021, yaitu
Metil Prednisolon, vitamin C, Ranitidin, Neurobion, Cetrizin, dan ...
Riwayat Kebiasaan
Sehari-hari bekerja sebagai buruh, tetapi sudah 1 bulan hanya di rumah.
5
2.4 Pemeriksaan Penunjang
BTA lesi kulit dan cuping telinga (+).
2.5 Resume
Tn. S berusia 41 tahun datang ke poli kulit dan kelamin RSUD Arjawinangun
dengan keluhan bengkak pada jari tangan kanan disertai dengan keluhan hidung
mampat dan pusing. 7 hari SMRS pasien mengalami hal serupa pada kaki kiri berupa
benjolan berwarna merah, namun setelah dioleskan salep sudah mengecil dan eritem
sudah mulai memudar. Pasien sudah pernah berobat ke dokter dan menkonsumsi obat
yanng diresepkan kepadanya. Pasien mengaku tidak pernah mengalami hal seperti
sebelum 6 bulan yang lalu. Tidak ada riwayat alergi, tidak ada riwayat DM maupun
6
hipertensi. Pada pemeriksaan fisik ditemukan regio dorsum manus digiti III dextra,
unilateral, eritema, makula, soliter, lentikular dan difufs. Sedangkan dorsum plantar
inferior sinistra, unilateral, hipopigmentasi, multipel, lentikular-numular, difus dan
diskret.
2.8 Penatalaksanaan
Non Medikamentosa
1. Menjelaskan tentang penyakit pasien;
2. Memberitahu pasien untuk mengonsumsi obat teratur; dan
3. Apabila terdapat tanda dan gejala pada anggota keluarga lainnya, perlu
dibawa dan diperiksakan.
Medikamentosa
1. Metil prednisolone 2 x 16 mg
2. Cetirizine 1 x 10 mg
3. Ranitidin
4. Neurobion 1 x 100 mg
5. Vitamin C 2 x 1
6. Gentamicin
2.9. Prognosis
Quo Ad Vitam : ad bonam
Quo Ad functionam : dubia ad malam
Quo Ad sanationam : dubia ad malam
7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Morbus Hansen atau umumnya dikenal dengan Lepra maupun Kusta adalah
penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprare.
Timbulnya Kusta merupakan suatau interaksi antara berrbagai faktor pennyebab,
yaitu penjamu (host), kuman (agent), dan lingkungan (environment), melalui suatu
proses.3 WHO mengatakan bagi seluruh individual di negara endemik yang
memperlihatkan lesi kulit dengan kehilangan sensoris yang definitif atau pewarnaan
kulit dengan hasil positif dapat didiagnosis dengan kusta.1
3.2. Epidemiologi
Lepra masih merupakan penyakit serius yang terabaikan. WHO mengacu pada
jumlah kasus baru yang perlahan-lahan menurun 10 tahun terakhir, dari 265.661 pada
2006 menjadi 202.256 pada 2019.1,5 Indonesia berada pada peringkat ketiga di dunia
setelah India dan Brazil dengan jumlah penderita baru pada tahun 2017 mencapai
15.190 (angka penemuan penderita baru 6,07 per 100.000 penduduk). Walaupun
demikian, penderita Kusta masih tersebar di ±7.548 desa/kelurahan/kampung,
mencakup wilayah kerja ±1.975 Puskesmas, di ±341 Kab/Kota di seluruh Provinsi di
Indonesia.2
3.3 Etiologi
Menurut Kementrian Kesehatan Republilk Indonesia, terdapat beberapa hal yang
menjadi distribusi penderita Kusta menurut faktor manusia, antara lain:
a. Etnik atau suku
Data di Indonesia belum tersedia karena keterbatasan studi, namun dalam
suatu negara/wilayah yang sama kondisi lingkungannya, didapatkan faktor
etnik memepengaruhi distribusi tipe kusta.
8
b. Sosial ekonomi
Faktor imun berperan penting dalam kejadian Kusta, hal ini terbukti pada
negara-negara di Eropa. Peningkatan sosial ekonomi, maka kejadian sangat
cepat menurun hingga menghilang.
c. Usia
Angka prevalensi penyakit Kusta tidak menggambarakan pada kelompok
umur tertentu; terjadi pada semua usia berkisar antara bayi sampai usia lanjut
(3 minggu sampai lebih dari 70 tahun).
d. Jenis kelamin
Kusta dapat mengenai baik laki-laki dan perempuan, dengan perbandingan
penderita antara keduanya relatif seimbang.
3.4 Patofisisologi
Sampai saat ini hanya manusia satu-satunya yang dianggap sebagai sumber
penularan di Indonesia, walaupun kuman M. leprae dapat hidup pada armadillo,
simpanse, dan athymic nude mouse. Kuman ini banyak ditemukan di mukosa hidung
manusia. Masa inkubasi rata-rata 2-5 tahun, akan tetapi dapat juga bertahun-tahun.
Penularan terjadi apabila kuman yang hidup keluar dari tubuh penderita dan masuk ke
tubuh orang lain. Secara teori, penularan dapat terjadi akibat kontak lama dengan
penderita. Masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernapasan bagian atas dan melalui
kontak kulit yang lama.2 Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat
penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda. Oleh karena itu, MH
dapat disebut sebagai penyakit imunologis.4
9
3.5 Klasifikasi
Penentuan tipe MH perlu dilakukan agar dapat menetapkan terapi yang sesuai.
Tipe intdeterminan (I) tidak termasuk dalam spektrum. TT adalah tipe tuberkuloid
polar, yakni 100% tuberkuloid, merupakan tipe yang stabil jadi tidak mungkin
berubah tipe. Begitu juga dengan LL adalah tipe lepromatosa polar, yakni 100%
lepromatosa yang juga tipe stabil tidak mungkin berubah lagi. Sedangkan tipe antara
Ti dan Li disebut tipe borderline atau campuran, berarti campur antara tuberkuloid
dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran terdiri atas 50% tuberkuloid dan 50%
lepromatosa.4 Spektrum Kusta menurut berbagai klasifikasi dapat dilihat pada tabel 1.
10
Tabel 3. Gambaran klinis Kusta PB.2,3,4
Sifat TT BT I
Lesi
Makula saja; Makula Makula dibatasi
Bentuk Hanya makula
dibatasi infiltrat infiltrat, infiltrat saja
Beberapa atau satu
Jumlah Satu, dapat beberapa Satu atau beberapa
dengan satelit
Distribusi Asimetris Masih asimetris Variasi
Permukaan Kering bersisik Kering bersisik Halus, agak berkilat
Batas Jelas Jelas Jelas atau tidak jelas
Anestesia Jelas Jelas Tidak ada s.d tidak jelas
BTA
Lesi kulit Hampir selalu negatif Negatif/ hanya +1 Biasanya negatif
Tes lepromin Positif kuat (+3) Positif lemah Dapat positif lemah/ negatif
3.7 Diagnosis
Anamnesis
Pasien datang dengan keluhan bercak kulit berwarna merah atau putih, berbentuk
plakat, terutama di wajah dan telinga. Bercak kurang/mati rasa, tidak gatal. Lepuh
pada kulit tidak dirasakan nyeri. Kelainan kulit tidak sembuh dengan pengobatan
rutin, terutama bila terdapat keterlibatan saraf tepi. Sosial ekonomi yang rendah,
kontak lama dengan penderita Kusta, tinggal di daerah endemik MH, atau
imunokompromi.3
Pemeriksaan Fisik
Inspeksi. Mirip dengan penyakit lain (Gambar 1). Pada TT terlihat lesi
hipopigmentasi atau eritematosa yang besar dengan peningkatan margin dan
demarkasi yang jelas. Pada BB khas terlihat lesi punched out. Pada LL terlihat
hilangnya rambut bersamaan dengan perbesaran daun telinga.6
11
Palpasi. Ada tidaknya anestesia sangat banyak membantu penentuan diagnosis,
meskipun tidak selalu jelas. Hal ini dengan mudah dilakukan dengan menggunakan
jarum terhadap rasa nyeri, kapas terhadap rasa raba dan kalau masih belum jelas
barulah pengujian terhadap rasa suhu, yaitu panas dan dingin. Untuk mengetahui
adanya kerusakan fungsi saraf otonom perhatikan ada tidaknya dehidrasi di daerah
lesi, dapat dipertegas menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan). Dapat pula
diperhatikan adanya alopesia di daerah lesi, yang kadang dapat membantu, tetapi bagi
pasien dengan kulit berambut sedikit sangat sukar menentukannya. Gangguan motoris
diperiksa dengan Voluntary Muscle Test (MVT). Mengenai saraf perifer perlu
diperhatikan perbesaran, konsistensi, ada/tidaknya nyeri spontan dan/atau nyeri
tekan.4
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan bakterioskopik (kerokan jaringan kulit)
Pemeriksaan ini digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan
pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau
ussapan dan keokan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap
BTA, antara lain dengan Ziehl-Neelsen. Kepadatan BTA tanpa membedakan
solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan Indeks Bakteri (IB)
dengan nilai dari 0 sampai 6+ menurut RIDLEY, 0 bila tidak ada BTA dalam
100 lapang pandang, dan 6+ bila >1000 BTA rata-rata dalam 1 LP. Indeks
Morfologi (IM) adalah presentase bentuk solid dibanding dengan jumlah solid
nonsolid, dilakukan perhitungan menggunakan rumus dengan beberapa syarat.4
Rumus:
Jumlah Solid x 100%
Jumlah solid + nonsoid
b. Pemeriksaan histopatologik
Pada penderita dengan SIS tinggi, makrofag akan mampu memfagosit M. lepra.
Pada penderita dengan SIS rendah, makrofag tidak mampu menghancurkan M.
leprae sehingga dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sel Virchow
atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.1,4
12
c. Pemeriksaan serologik
Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), Uji ELISA, ML
dipstick test, dan ML flow test.4
13
a. Penderita tipe Pausibasisler (PB)
Dosis berdasarkan golongan umur. Pemberian satu blister untuk 28 hari.
Rifampisin 600 mg setiap bulan dngan pengawasan. Dapson/DDS 100
mg/bulan depan petugas dan 100 mg/hari diminum dirumah.2,3,4
b. Penderita tipe Multibasiler (MB)
Dosis juga berdasarkan golongan umur. Pmeberian sama dengan PB, yaitu
satu blister untuk 28 hari. Perbedaannya ialah terdapat tambahan obat
Klofazimin 300 mg/bulan dalam pengawasan lalu diteruskan 50 mg/hari atau
100 mg selama sehari atau 3 kali 100 mg/minggu.2,3,4
300 mg/hari
Kembali jika butuh.
14
Gambar 2. Algoritma tatalalksana MH.1
Efek samping obat-obat MDT dan penangannya secara rngkat dapat dilihat pada
Tabel 5, berikut ini:
15
Non Medikamentosa
Edukasi dilakukan kepada pasien dan keluarga. Terhadap pasien, yaitu:
- Meyakinkan bahwa penderita bisas sembuh;
- Memotivasi penderita untuk berobat teratur;
- Memberi pesan untuk segera kembali bila mengalami keluhan; dan
- Melakukan perawatan diri.2
Pada keluarga, ialah
- Mengedukasikan penyebab, sumber, dan cara penularan Kusta;
- Tidak perlu takut/menjauhi penderita;
- Kusta dapat disembuhkan dan obatnnya gratis;
- Mendukungn keteraturan berobat penderita kusta;
- Membantu penderita memeriksakan diri bila ada keluhan; dan
- Memotivasi penderita untuk melakukan perawatan mandiri.2
3.10 Pencegahan
Penderita Kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat MDT mempunyai
risiko tinggi untuk terjadinya kerusakan saraf. Penemuan dini penderita Kusta
sebelum disabilitas dilakukan dengan cara active case finding. Pengobatan penderita
Kusta dengan MDT sampai RFT. Deteksi dini adanya reaksi Kusta dengan
pemeriksaan fungsi saraf secara rutin.
3. 11 Komplikasi
Penderita Kusta masih ada kemungkinan berkembangnya abses pada saraf.
Sebagian besar terllihat pada saraf ulnaris yang akan memerlukan intervensi bedah
segera untuk mencegah gejala sisa yang ireversibel. Komplikasi terkait saraf juga
dapat melibatkan mata yang menyebabkan kelumpuhan atau kebutaan. Neuropati
pada ekstremitas juga merupakan komplikasi yang terkait.6
Perhatikan dengan cermat terhadap perkembangan rekasi reversal selama
pengobatan dan manajemen. Terdapat dua reaksi Kusta, yaitu:
16
a. Reaksi tipe 1 (reversal)
Reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang muncul ketika Kusta borderline
bergeser ke Kusta BL dengan pengobatan. Jenis reaksi ini mencerminkan
perkembangan respon imun yang tepat dan generasi lokal TNF-α dan
interferon-γ, ditandai dengan edema dan eritema dari lesi kulit yang ada,
pembentukan lesi kulit baru, neuritis, dan keilangan sensorik serta motorik
tambahan. Pengobatan dengan memberikan NSAIDs dan dosis tinggi steroid.
Prednison 40-60 mg/hari dengan penurunan dosis 5 mg setiap 2-4 minggu
setelah terlihat kemajuan.8
b. Reaksi tipe 2 (ENL)
Reaksi ini merupakan komplikasi dari Kusta lempromatosa. Hal ini ditandai
dengan perkembangan nodul subkutan yang meradang disertai demam,
limfadenopati, dan artralgia. Peningkatan TNF-α dan despsosisi kompleks
imun berhubungan dengan ENL. Pada reaksi ringan diberikan Aspirin 600-
1200 mg/hari dengan 4-6 dosis per hari. Reaksi berat diberi prednisone 60-80
mg/hari dengan penurunan dosis 5-10 mg setiap 2-4 minggu, tergantung
respon dan keparahan.8
Fenomena Lucio. Fenomena ini adalah komplikasi berat dari Kusta MB yang
ditandai dengan plak hemoragik biru dan ulserasi nekrotik. Basil dapat meluas ke sel
endotel bersama dengan munculnya epidermis nekrotik dan vaskulitis dengan
pembentukann trombus dann prliferasi endotel.8
3.12 Prognosis
Prognosis untuk vitam umumnya bonam, namun dubia ad malam pada fungsi
ekstremitas, karena dapat terjadi mutilasi, demikian pula untuk kejadian
berulangnya.3 Namun, prognosis tergantung pada beberapa faktor, yang melilputi
stadium penyakit saat diagnosis, inisial pengobatan dini, akses pasien terhadap
pengobatan, dan kepatuhan terhadap terapi.6
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Salgadom CG., de Brito, AC., Salgado, UI, Spencer, JS. Dalam: Dermatology in
General Medicine Fitzpatrick’s. The McGraw-Hill Companies, Inc. 2019: 2892 -
2919.
2. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2019 Tentang
Penanggulangan Kusta.
3. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. Pandua Praktik Klinis Bagi Dokter Di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer Edisi 1. Lepra. Jakarta: pp. 31 – 37.
4. Wisnu, IM., Sjamsoe-Dalil, SL., Menldi, SL. Kusta. Dalam: Sri Linuwih SW
Menalldi, Kusmarinah Bramono, Wresti Indriatmi, editor. Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin; edisi ke-7. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2019: 87-102.
5. World Health Organization. 2021. Leprosy (Hansen’s disease). Available at:
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/leprosy
6. Bhandari J, Awai M, Robbins BA, et al. Leprosy. [Updated 2021 Sep 2]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-.
Available from: https;//ww.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK559307
7. Centers for Diseas Control and Prevention. 2017. Hansen’s disease (Leprosy).
Available from: https://www.cdc..gob/leprosy/treatment/index.html
8. Smith, Darvin Scott. 2021. Medscape. Leprosy. Available from:
https://emedicine.medscaape.com/article/220455-overview
18