Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN KASUS

HERPES ZOSTER

Disusun Oleh:
Nama: Elizabeth Chikita Putri
Nim: 112018070

Pembimbing:
dr. Ika Soelistina, Sp. KK

KEPANITERAAN STASE PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


RUMAH SAKIT BHAYANGKARA H.S. SAMSOERI MERTOJOSO, SURABAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
PERIODE 27 januari 2020 – 29 februari 2019
LEMBAR PENGESAHAN

Telah disetujui oleh dokter pembimbing laporan kasus dari :


Nama :
NIM :
Bagian : Ilmu Penyakit Kulit Kelamin
Judul : Herpes Zoster

Dokter Pembimbing : dr. Ika Soelistina, Sp. KK

Diajukan guna melengkapi tugas kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulitt Kelamin.

Surabaya, 04 Februari 2020


Dokter Pembimbing

(dr. Ika Soelistina, Sp. KK)


BAB I

PENDAHULUAN

Herpes Zoster atau shingles adalah penyakit neurokutan dengan manifestasi erupsi
vesicular berkelompok dengan dasar eritematosa disertai nyeri radicular unilateral yang
umumnya berbatas di satu dermatom. Herpes zoster merupakan manifestasi reaktivasi
infeksi laten endogen virus varicella zoster di dalam neuron ganglion sensoris radiks
dorsalis, ganglion saraf kranialis atau ganglion saraf autonomic yang menyabar ke jaringan
saraf dan kulit dengan segmen yang sama. Insiden herpes zoster tersebar merata di seluruh
dunia, tidak ada perbedaan angka kesakitan antara pria dan wanita. Angka kesakitan
meningkat dengan peningkatan usia. Diperkirakan terdapat antara 1,3-5 per 1000 orang per
tahun. Lebih dari 2/3 kasus berusia di atas 50 tahun dan kurang dari 10% kasus berusia di
bawah 20 tahun.

Patogenesis herpes zoster belum seluruhnya diketahui. Selama terjadi varisela,


virus varisela zoster berpindah tempat dari lesi kulit dan permukaan mukosa ke ujung saraf
sensorik dan ditransportasikan secara sentripetal melalui serabut saraf sensoris ke ganglion
sensoris. Pada ganglion terjadi infeksi laten, virus tersebut tidak lagi menular dan tidak
bermultiplikasi, tetapi tetap mempunyai kemampuan untuk berubah menjadi infeksius.
Herpes zoster pada umumnya terjadi pada dermatom sesuai dengan lokasi ruam varisela
yang terpadat. Aktivasi virus varisela zoster laten diduga karena keadaan tertentu yang
berhubungan dengan imunosupresi, dan imunitas selular merupakan faktor penting untuk
pertahanan pejamu terhadap infeksi endogen.

Komplikasi herpes zoster dapat terjadi pada 10-15% kasus, komplikasi yang
terbanyak adalah neuralgia paska herpetik yaitu berupa rasa nyeri yang persisten setelah
krusta terlepas. Komplikasi jarang terjadi pada usia di bawah 40 tahun, tetapi hampir 1/3
kasus terjadi pada usia di atas 60 tahun. Penyebaran dari ganglion yang terkena secara
langsung atau lewat aliran darah sehingga terjadi herpes zoster generalisata. Hal ini dapat
terjadi oleh karena defek imunologi karena keganasan atau pengobatan imunosupresi.
BAB II
LAPORAN KASUS

KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
Hari/Tanggal Presentasi Kasus: Senin, 21 Oktober 2019
SMF PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
RUMAH SAKIT POLRI BHAYANGKARA SURABAYA
=================================================================
Nama : Tanda Tangan
Nim :
Pembimbing : dr. Ika Soelistina, Sp. KK
=================================================================

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. S
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 75 tahun
Alamat : Desa simomulyo Surabaya
Pekerjaan : tidak bekerja
Status menikah : Menikah
=================================================================

B. ANAMNESA
Autoanamnesa dari pasien, dilakukan tanggal 30 Januari 2019.
Keluhan utama
Lenting berisi cairan dan rasa nyeri pada kaki dan bokong
Riwayat perjalanan penyakit
Pasien datang ke Poli Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Polri Bhayangkara Surabaya
dengan keluhan lenting berisi cairan jernih dan rasa nyeri pada betis kiri dan bokong kiri
sejak 5 hari SMRS. 4 hari SMRS keluhan awal yang dirasakan pasien adalah tidak enak
badan. besoknya muncul lenting dan rasa nyeri dan pegal pada betis kiri dan bokongnya.
Lenting muncul didaerah bokong kiri terlebih dahulu, baru kemudian kaki kiri. Pasien
mengeluh gatal tapi tidak menggaruk lentingannya. Pasien juga mengatakan tidak ada orang
sekitar yang punya keluhan yang sama dengan pasien. Keluhan awalnya timbul kemerahan
kecil, dan semakin membanyak disangkal, pasien baru mengetahui keluhan setelah adanya
rasa nyeri. Keluhan rasa panas seperti terbakar. Pasien belum pernah berobat ke dokter
sebelumnya untuk mengatasi penyakit ini. Pasien tidak punya riwayat alergi.

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat terkena cacar air usia 5/6 tahun, dan tidak ada riwayat DM dan Hipertensi.

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan seperti pasien.

1. STATUS GENERALIS
Keadaan umum : Pasien tampak sakit sedang.
Kesadaran : Compos mentis.
Suhu : Tidak dilakukan.
Tekanan darah : Tidak dilakukan.

Status gizi : Baik


Mata : Dalam batas normal
Gigi : Dalam batas normal
THT : Dalam batas normal

2. STATUS DERMATOLOGI
Distribusi : Regional.
Lokasi : Regio Sacral sinistra dan regio kruris sinistra.

Effloresensi :Terdapat papul, vesikel berkelompok, multiple, berbatas tegas,


ukuran milier-lentikuler, terdapat kruta berwarna kehitaman,
terbatas di satu dermatom (terlokalisata) pada daerah gluteus
dan cruris sinistra
3. LABORATORIUM
Tidak ada

4. RESUME
Pasien datang ke Poli Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Polri Bhayangkara Surabaya
dengan keluhan lenting berisi cairan jernih dan rasa nyeri pada betis kiri dan bokong
kiri sejak 5 hari SMRS. 4 hari SMRS keluhan awal yang dirasakan pasien adalah tidak
enak badan. besoknya muncul lenting dan rasa nyeri dan pegal pada betis kiri dan
bokongnya. Lenting muncul didaerah bokong kiri terlebih dahulu, baru kemudian kaki
kiri. Pasien mengeluh gatal tapi tidak menggaruk lentingannya. Pasien juga
mengatakan tidak ada orang sekitar yang punya keluhan yang sama dengan pasien.
Keluhan awalnya timbul kemerahan kecil, dan semakin membanyak disangkal, pasien
baru mengetahui keluhan setelah adanya rasa nyeri. Keluhan rasa panas seperti
terbakar. Pasien belum pernah berobat ke dokter sebelumnya untuk mengatasi penyakit
ini. Pasien tidak punya riwayat alergi. Dari pemeriksaan fisik ditemukan papul, vesikel
berkelompok, multiple, berbatas tegas, ukuran milier-lentikuler, terdapat kruta berarna
kehitaman, terbatas di satu dermatom (terlokalisata), pada daerah sacral dan cruris
sinistra

5. DIAGNOSIS BANDING
- Herpes Zoster
- Herpes simplek
- Dermatitis Venenata
- Dermatitis Kontak Alergi
- Varicella Zoster

6. ANJURAN PEMERIKSAAN
Pemeriksaan Anjuran yang disarankan:
- Tzanck Smear
- Polymerase Chain Reaction (PCR)
- Direct Immunofluorecent Antigen-staining.
- Uji tempel

7. DIAGNOSIS KERJA
Herpes Zoster regio Sacral dan Cruris Sinistra

8. PENATALAKSANAAN
Non Medikamentosa

- Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit herpes zoster, perjalanan penyakit, dan
penularan penyakit.

- Menjelaskan kepada pasien untuk menjaga hygiene pribadi, dengan tetap mandi 2 kali
sehari dan tidak menggosok vesikel berisi air, karena jika pecah akan menimbulkan infeksi
sekunder.

- Menjelaskan kepada pasien untuk tidak menggunakan obat salep sembarangan, dan efek
yang dapat timbul dari pengobatan tidak tepat indikasi.

-Memberitahukan kepada pasien istirahat yang cukup dan minum obat teratur,
sertakontrol ke poli 1 minggu kemudian.

Medikamentosa

Sistemik

- Asiklovir 800 mg diberikan 5 x 1 tab selama 7 hari → antivirus.


- Asam Mefenamat 500 mg 3 x 1 tab → anti nyeri.

- Amoxicilin 500 mg diberikan sehari 3 x 1 tablet, selama 5 hari.

- Vitamin neurotropik diberikan sehari 2 x 1 tablet, selama 7 hari.

Topikal

- Bedak asam salisilat 2%, dioleskan sehari 2 kali pagi dan sore setelah mandi.

9. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Bonam
Quo ad functionam : Bonam
Quo ad sanationam : Bonam
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Defenisi

Herpes zoster adalah infeksi viral kutaneus pada umumnya melibatkan kulit dengan
dermatom tunggal atau yang berdekatan. Herpes zoster merupakan hasil dari reaktivasi virus
varisela zoster yang memasuki saraf kutaneus selama episode awal chicken pox. Shingles
adalah nama lain dari herpes zoster. Virus ini tidak hilang tuntas dari tubuh setelah infeksi
primernya dalam bentuk varisela melainkan dorman pada sel ganglion dorsalis sistem saraf
sensoris yang kemudian pada saat tertentu mengalami reaktivasi dan bermanifestasi sebagai
1-3
herpes zoster.

Epidemiologi

Herpes zoster terjadi secara sporadis sepanjang tahun tanpa prevalensi musiman.
Terjadinya herpes zoster tidak tergantung pada prevalensi varisela, dan tidak ada bukti yang
meyakinkan bahwa herpes zoster dapat diperoleh oleh kontak dengan orang lain dengan
varisela atau herpes. Sebaliknya, kejadian herpes zoster ditentukan oleh faktor-faktor yang
mempengaruhi hubungan host-virus. Salah satu faktor risiko yang kuat adalah usia lebih tua.
Insiden terjadinya herpes zoster 1,5 sampai 3, 0 per 1.000 orang per tahun dalam segala usia
dan 7 sampai 11 per 1000 orang per tahun pada usia lebih dari 60 tahun pada penelitian di
4,6
Eropa dan Amerika Utara.

Diperkirakan bahwa ada lebih dari satu juta kasus baru herpes zoster di Amerika
setiap tahun, lebih dari setengahnya terjadi pada orang dengan usia 60 tahun atau lebih. Ada
peningkatan insidens dari zoster pada anak – anak normal yang terkena chicken pox ketika
berusia kurang dari 2 tahun. Faktor resiko utama adalah disfungsi imun selular. Pasien
imunosupresif memiliki resiko 20 sampai 100 kali lebih besar dari herpes zoster daripada
individu imunokompeten pada usia yang sama. Immunosupresif kondisi yang berhubungan
dengan risiko tinggi dari herpes zoster termasuk “human immunodeficiency virus” (HIV),
transplantasi sumsum tulang, leukimia dan limfoma, penggunaan kemoterapi pada kanker,
4,7,8
dan penggunaan kortikosteroid.

Herpes zoster adalah infeksi oportunistik terkemuka dan awal pada orang yang
terinfeksi dengan HIV, dimana awalnya sering ditandai dengan defisiensi imun. Zoster
mungkin merupakan tanda paling awal dari perkembangan penyakit AIDS pada individual
dengan resiko tinggi. Dengan demikian, infeksi HIV harus dipertimbangkan pada individu
yang terkena herpes zoster. Faktor lain melaporkan meningkatnya resiko herpes zoster
termasuk jenis kelamin perempuan, trauma fisik pada dermatom yang terkena, gen
interleukin 10 polimorfisme, dan ras hitam, tapi konfirmasi diperlukan. Paparan dari anak dan
kontak dengan kasus varisela telah dilaporkan untuk memberikan perlindungan terhadap
penyakit herpes zoster. 2,4,8

Episode kedua dari herpes zoster jarang terjadi pada orang imunokompeten, dan
serangan ketiga sangat jarang. Orang yang menderita lebih dari satu episode mungkin
immunocompromised. Pasien imunokompeten menderita beberapa episode seperti penyakit
herpes zoster yang mungkin menderita infeksi virus herpes simpleks zosteriform (HSV) yang
berulang. Pasien dengan herpes zoster kurang menular dibandingkan pasien dengan varisela.
Virus dapat diisolasi dari vesikel dan pustula pada herpes zoster tanpa komplikasi sampai 7
hari setelah munculnya ruam, dan untuk waktu yang lebih lama pada individu
immunocompromised. Pasien dengan zoster tanpa komplikasi dermatomal muncul untuk
menyebarkan infeksi melalui kontak langsung dengan lesi mereka. Pasien dengan herpes
zoster dapat disebarluaskan, di samping itu, menularkan infeksi pada aerosol, sehingga
2
tindakan pencegahan udara, serta pencegahan kontak diperlukan untuk pasien tersebut.

Etiologi

Virus Varisela zoster yang menyerang kulit dan mukosa, infeksi ini merupakan
reaktivasi virus yang terjadi setelah infeksi primer. 8

Patogenesis

Varisela sangat menular dan biasanya menyebar melalui droplet respiratori. VVZ
bereplikasi dan menyebar ke seluruh tubuh selama kurang lebih 2 minggu sebelum
perkembangan kulit yang erupsi. Pasien infeksius sampai semua lesi dari kulit menjadi
krusta. Selama terjadi kulit yang erupsi, VVZ menyebar dan menyerang saraf secara
retrograde untuk melibatkan ganglion akar dorsalis di mana ia menjadi laten. Virus berjalan
sepanjang saraf sensorik ke area kulit yang dipersarafinya dan menimbulkan vesikel dengan
cara yang sama dengan cacar air.2,3,8

Zoster terjadi dari reaktivasi dan replikasi VVZ pada ganglion akar dorsal saraf
sensorik. Latensi adalah tanda utama virus Varisela zoster dan tidak diragukan lagi
peranannya dalam patogenitas. Sifat latensi ini menandakan virus dapat bertahan seumur
hidup hospes dan pada suatu saat masuk dalam fase reaktivasi yang mampu sebagai media
transmisi penularan kepada seseorang yang rentan. Reaktivasi mungkin karena stres, sakit
immunosupresi, atau mungkin terjadi secara spontan. Virus kemudian menyebar ke saraf
sensorik menyebabkan gejala prodormal dan erupsi kutaneus dengan karakteristik yang
dermatomal. Infeksi primer VVZ memicu imunitas humoral dan seluler, namun dalam
mempertahankan latensi, imunitas seluler lebih penting pada herpes zoster. Keadaan ini
terbukti dengan insidensi herpes zoster meningkat pada pasien HIV dengan jumlah CD4
1,3
menurun, dibandingkan dengan orang normal.

Penyebab reaktivasi tidak diketahui pasti tetapi biasanya muncul pada keadaan
imunosupresi. Insidensi herpes zoster berhubungan dengan menurunnya imunitas terhadap
VZV spesifik. Pada masa reaktivasi virus bereplikasi kemudian merusak dan terjadi
peradangan ganglion sensoris. Virus menyebar ke sumsum tulang belakang dan batang otak,
dari saraf sensoris menuju kulit dan menimbulkan erupsi kulit vesikuler yang khas. Pada
daerah dengan lesi terbanyak mengalami keadaan laten dan merupakan daerah terbesar
kemungkinannya mengalami herpes zoster.1

Selama proses varisela berlangsung, VZV lewat dari lesi pada kulit dan permukaan
mukosa ke ujung saraf sensorik menular dan dikirim secara sentripetal, naik ke serabut
sensoris ke ganglia sensoris. Di ganglion, virus membentuk infeksi laten yang menetap
selama kehidupan.Herpes zoster terjadi paling sering pada dermatom dimana ruam dari
varisela mencapai densitas tertinggi yang diinervasi oleh bagian (oftalmik) pertama dari saraf
trigeminal ganglion sensoris dan tulang belakang dari T1 sampai L2. Depresi imunitas selular
akibat usia lanjut, penyakit, atau obat-obatan mempermudah reaktivasi. Herpes zoster pada
anak kecil sehat mungkin berhubungan dengan perkembangan imunitas selular yang kurang
4,8
efisien pada saat terjadi infeksi VZV primer baik in utero maupun pascalahir.

Manifestasi Klinis

Manifestasi dari herpes zoster biasanya ditandai dengan rasa sakit yang sangat dan
pruritus selama beberapa hari sebelum mengembangkan karakteristik erupsi kulit dari vesikel
berkelompok pada dasar yang eritematosa. Gejala prodormal biasanya nyeri, disestesia,
parestesia, nyeri tekan intermiten atau terus menerus, nyeri dapat dangkal atau dalam
terlokalisir, beberapa dermatom atau difus. Nyeri prodormal tidak lazim terjadi pada
penderita imunokompeten kurang dari usia 30 tahun, tetapi muncul pada penderita mayoritas
3,4
diatas usia 60 tahun.

Nyeri prodormal : lamanya kira – kira 2 – 3 hari, namun dapat lebih lama. Gejala lain
dapat berupa rasa terbakar dangkal, malaise, demam, nyeri kepala, dan limfadenopati, gatal,
tingling. Lebih dari 80% pasien biasanya diawali dengan prodormal, gejala tersebut
umumnya berlangsung beberapa hari sampai 3 minggu sebelum muncul lesi kulit.Nyeri
preeruptif dari herpes zoster (preherpetic neuralgia) dapat menstimulasi migrain, nyeri pleura,
infark miokardial, ulkus duodenum, kolesistitis, kolik renal dan bilier, apendisitis, prolaps
diskus intervertebral, atau glaucoma dini, dan mungkin mengacu pada intervensi
misdiagnosis yang serius. Lesi kulit yang paling sering dijumpai adalah vesikel dengan
eritema di sekitarnya herpetiformis berkelompok dengan distribusi segmental unilateral.
Erupsi diawali dengan plak eritematosa terlokalisir atau difus kemudian makulopapuler
muncul secara dermatomal. Lesi baru timbul selama 3-5 hari. 4,6,8

Bentuk vesikel dalam waktu 12 sampai 24 jam dan berubah menjadi pustule pada hari
ketiga. Pecahnya vesikel serta pemisahan terjadi dalam 2 – 4 minggu. Krusta yang mongering
pada 7 sampai 10 hari. Pada umumnya krusta bertahan dari 2 sampai 3 minggu. Pada orang
yang normal, lesi – lesi baru bermunculan pada 1 sampai 4 hari ( biasanya sampai selama 7
hari). Rash lebih berat dan bertahan lama pada orang yang lebih tua, dan lebih ringan dan
berdurasi pendek pada anak – anak. Dermatom yang terlibat : biasanya tunggal dermatom
dorsolumbal merupakan lokasi yang paling sering terlibat (50%), diikuti oleh trigeminal
oftalmika, kemudian servikal dan sakral.4,8

Ekstremitas merupakan lokasi yang paling jarang terkena. Keterlibatan saraf kranial
ke 5 berhubungan dengan kornea. Pasien seperti ini harus dievaluasi oleh optalmologi. Varian
lain adalah herpes zoster yang melibatkan telinga atau mangkuk konkhal – sindrom Ramsay-
Hunt. Sindrom ini harus dipertimbangkan pada pasien dengan kelumpuhan nervus fasialis,
hilangnya rasa pengecapan, dan mulut kering dan sebagai tambahan lesi zosteriform di
telinga. Secara klasik, erupsi terlokalisir ke dermatom tunggal, namun keterlibatan dermatom
yang berdekatan dapat terjadi, seperti lesi meluas dalam kasus zoster-diseminata. Zoster
bilateral jarang terjadi, dan harus meningkatkan kecurigaan pada imunodefisiensi seperti HIV
3,8
/ AIDS.

Pemeriksaan Penunjang

Teknik yang sama digunakan untuk mendiagnosis varicella dan digunakan untuk
mendiagnosa herpes zoster juga. Tampilan klinis seringkali cukup untuk menegakkan
diagnosis, dan pada hapusan Tzanck dapat mengkonfirmasi kecurigaan klinis. Namun,
lokasi atau penampilan dari lesi kulit mungkin atipikal (terutama di immunocompromised
pasien) sehingga membutuhkan konfirmasi laboratorium.

Kultur virus adalah dimungkinkan, tetapi virus varicella-zoster itu labil dan relatif
sulit untuk pulih dari penyeka lesi kulit. Sebuah uji direct imunofluorescence lebih sensitif
dibandingkan kultur virus dan memiliki tambahan keuntungan dari biaya yang lebih murah
dan waktu yang lebih cepat. Seperti kultur virus, direct imunofluorescence assay dapat
membedakan infeksi virus herpes simplex dengan infeksi virus varisela-zoster. Polymerase
chain reaction techniques yang berguna untuk mendeteksi DNA virus varicella-zoster di
cairan dan jaringan.
Gambar 1. Tzanck Smear dan Direct Imunofluorescence Assay
Herpes simplex zoster bisa dengan hasil positif untuk Tzanck smear, namun jumlah
lesi biasanya lebih terbatas dan derajat nyeri substansialnya kurang. Persiapan selain
Tzanck, uji DFA lebih disukai untuk kultur virus, karena cepat, identifikasi jenis virus, dan
memiliki hasil yang lebih akurat. Bila dibandingkan pada VZV, Tzanck smear adalah 75%
positif (sampai dengan 10% false-positif dan variabilitas yang tinggi, tergantung pada
keterampilan edema interseluler dan intraseluler. Bagian atas dari dermis, dilatasi
pembuluh darah, edema, dan infiltrasi perivaskular limfosit dan leukosit polimorfonuklear,
Limfosit atipikal mungkin juga ditemukan. Sebuah vaskulitis leukocytoclastic mendasari
kesan infeksi VZV selama HSV.= Inflamasi dan perubahan degeneratif juga dicatat dalam
serabut ganglia posterior dan serabut saraf dorsalis yang terkena. Lesi sesuai dengan sistem
6,9
persarafan dari ganglon saraf yang terkena, dengan nekrosis sel-sel saraf.

Diagnosa

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis dan pemeriksaan penunjang.

Diagnosis Banding

Herpes Simpleks Definisi : Penyakit akut yang ditandai dengan timbulnya vesikula yang
berkelompok diatas dasar eritema, berulang, mengenai permukaan
mukokutaneus.
Etiologi : Disebabkan oleh virus herpes simplex. Gejala klinis :Lesi
primer didahului gejala prodromal berupa rasa panas ( terbakar ) dan
gatal. Setelah timbul lesi dapat terjadi demam, malaise dan nyeri otot.
Predileksi : mukosa
Status dermatologi : berupa vesikel yang mudah pecah, erosi, ulcus
dangkal bergerombol di atas dasar eritema dan disertai rasa nyeri.
Predileksi pada wanita antara lain labium mayor, labium minor,
klitoris, vagina, serviks dan anus. Pada laki-laki antara lain di batang
penis, glans penis dan anus. Ekstragenital yaitu hidung, bibir, lidah,
palatum dan faring.9

Varisella Definisi : vesikula yang tersebar, terutama menyerang anak-anak,


bersifat mudah menular
Etiologi : virus Varisela zoster.
Predileksi : Paling banyak di badan, kemudian muka, kepala dan
ekstremitas.
Gejala Klinis : Pada stadium prodomal timbul banyak makula atau
papula yang cepat berubah menjadi vesikula, yang umur dari lesi
tersebut tidak sama. Kulit sekitar lesi eritematus. Pada anamnesa ada
kontak dengan penderita varisela atau herpes zoster. Khas pada infeksi
virus pada vesikula ada bentukan umbilikasi (delle) yaitu vesikula
yang ditengah nya cekung kedalam. Distribusinya bersifat sentripetal.9

Dermatitis Kontak Definisi : Dermatitis yang disebabkan terpaparnya kulit dengan bahan
Alergika
yang bersifat sebagai alergen. Disini ada riwayat alergi dan merupakan
paparan ulang.
Predileksi : Seluruh tubuh
Status dermatologis : Dapat akut, subakut dan kronis. Lesi akut berupa
lesi polimorf yaitu tampak makula yang eritematus, batas tidak jelas
pada efloresensi dan diatas makula yang eritematus terdapat papul,
vesikel, bula yang bila pecah menjadi lesi yang eksudatif.9

Dermatitis Definisi : Dermatitis venenata adalah kelainan akibat gigitan atau


Venenata
tusukan serangga yang disebabkan reaksi terhadap toksin atau alergen
yang dikeluarkan arthropoda penyerang
Predileksi : Seluruh tubuh
Status Dermatologis : Berupa eritema, edema, panas, nyeri, bisa
berbentuk papula, pustule, maupun krusta.Terdapat 2 macam lesi yang
diakibatkan oleh gigitan serangga, yaitu :
a. Nodul eritematus, akibat serangga memasukkan (menyuntikkan)
bahan – bahan berbahaya ke dalam kulit yang menyebabkan
keradangan.
b. Dermatitis kontak iritan, akibat cairan yang dikeluarkan serangga
waktu berbenturan / bersentuhan dengan kulit.9

Komplikasi

Sequele dari herpes zoster termasuk komplikasi cutaneous, ocular, neurologic, dan
visceral. Komplikasi yang paling sering dari herpes zoster berhubungan dengan luasnya VZV
dari tempat permulaan yang terkena di sensory ganglion, nervus, atau kulit yang mana dari
aliran darah atau oleh perluasan neural secara langsung. Ruam mungkin menyebarluaskan
setelah erupsi dermatomal yang pertama. Ketika system imun pasien diperiksa, tidak jarang
mempunyai sedikit vesikel di area jauh dari yang terlibat. Lesi yang menjalar biasanya
muncul dalam seminggu merupakan onset dari erupsi segmental dan jika sedikit jumlahnya,
mudah terlewat. Penyebaran yang ekstensif (dengan 25 sampai 50 lesi atau lebih)
menghasilkan erupsi seperti varisella (biasanya herpes zoster), terjadi dalam 2% sampai 10%
pada pasien dengan zoster terlokalisir, kebanyakan mereka mempunyai defek imunologik
sebagai hasil dari defisiensi imun yang didapat yang biasa disebut dengan infeksi HIV atau
terapi imunosupresif.

Jika ruam meluas dan menyebar dari kecil, nyeri diarea yang terkena herpes zoster,
kemunculan pertama kali mungkin tidak disadari. Mata terlibat dalam 20% sampai 70% dari
pasien dengan zoster oftalmikus. VZV juga penyebab dari nekrosis retinal akut, Herpes zoster
mungkin hadir dengan berbagai komplikasi neurologic yaitu post herpetic neuralgia yang
paling umum dan penting. PHN mempunyai variasi definisi yaitu nyeri seterlah
penyembuhan ruam atau nyeri 1 bulan, 3 bulan, bulan, atau 6 bulan setelah onset ruam atau
definisi terbaru yaitu terfokus dalam 90 sampai 120 hari setelah onset ruam.

Tabel 1. Faktor resiko

Digambar tersebut bisa dilihat faktor resiko yang signifikan dari segi umur untuk
terkena PHN. Faktor resiko yang lain termasuk kehadiran nyeri prodromal, nyeri yang hebat
selama fase akut herpes zoster, tingkat keparahan dari ruam, kebanormalitas dari sensory
pada dermatom yang terkena dan kemungkinan terkena herpes zoster oftalmikus.
Peningkatan usia, tingkat keparahan nyeri akut, kehadiran nyeri prodromal keperahan ruam
telah dilaporkan sebagai predictor independen dari PHN. Pasien dengan PHN mungkin
menderita constant pain (dideskripsikan sebagai rasa panas, gata, 15 berdebar-debar),
intermittent pain (rasa tertusuk, rasa tertembak) dan atau stimulus-evoked pain, termasuk
allodynia (rasa sakit, rasa panas,, rasa tertusuk). Allodynia (nyeri yang ditimbulkan oleh
stimulus yang biasanya tidak menyakitkan) adalah komponen dari penyakit yang hadir 90%
dari pasien dengan PHN. Pasien dengan allodynia mungkin menderita nyeri yang berat
setelah tersentuh (dengan sentuhan yang ringan) dikulit yang terkena oleh benda biasa seperti
angin atau baju.

Tatalaksana

Tujuan dari pengobatan adalah menekan inflamasi, nyeri dan infeksi. Pengobatan zoster akut
mempercepat penyembuhan, mengkontrol sakit, dan mengurangi resiko komplikasi. Obat
yang biasa digunakan ialah asiklovir dan modifikasinya, misalnya valasiklovir. Obat yang
lebih baru ialah famsiklovir dan pensiklovir yang mempunyai waktu paruh eliminasi yang
lebih lama sehingga cukup diberikan 3x250 mg sehari. Obat – obat tersebut diberikan dalam
3 hari pertama sejak lesi muncul. Untuk zoster yang menyebar luas yang timbul pada orang –
orang yang mengalami imunosupresi, asiklovir intravena mungkin dapat menyelamatkan
7,9,16
jiwa.

Dosis asiklovir yang dianjurkan ialah 5 x 800 mg sehari dan biasanya diberikan 7 hari, paling
1,7
lambat dimulai 72 jam setelah lesi muncul berupa rejimen yang dianjurkan.

Tabel 2. Tatalaksana herpes zoster

Indikasi pemberian asiklovir pada herpes zoster:

1. Pasien berumur ≥ 60 tahun dengan lesi muncul dalam 72 jam. 


2. Pasien berumur ≤ 60 tahun dengan lesi luas, akut dan dalam 72 jam. 


3. Pasien dengan lesi oftalmikus, segala umur, lesi aktif menyerang leher,
alat gerak, dan
perineum (lumbal – sakral).3

Valasiklovir cukup 3 x 1000 mg sehari karena konsentrasi dalam plasma.lebih


tinggi.Jikalesi baru masih tetap timbul obat – obat tersebut masih dapat diteruskan dan
dihentikan sesudah 2 hari sejak lesi baru tidak timbul lagi. Valasiklovir terbukti lebih efektif
dibandingkan asiklovir sedangkan famsiklovir sama dengan asiklovir.Pengobatan lain yang
juga dipakai antara lain kortikosteroid jangka pendek dan diberikan pada masa akut,
pemberian steroid ini harus dengan pertimbangan ketat. Indikasi pemberian kortikosteroid
16
ialah sindrom Ramsay Hunt.

Pemberian harus sedini – dininya untuk mencegah terjadinya paralisis. Diberikan


prednison dengan dosis 3 x 20 mg sehari, setelah seminggu dosis diturunkan bertahap.
Dengan dosis prednison setinggi itu imunitas akan tertekan sehingga lebih baik digabung
dengan obat anti viral. Dikatakan kegunaanya mencegah fibrosis ganglion. Jika masih
stadium vesikel diberikan bedak dengan tujuan protektif untuk mencegah pecahnya vesikel
agar tidak terjadi infeksi sekunder. Bila erosif diberikan kompres terbuka. Kalo terjadi
16
ulserasi dapat diberikan salep antibiotik.

Untuk neuralgia pasca herpes, pemberian awal terapi anti virus telah diberikan untuk
mengurangi insidens. Menurut FDA, obat pertama yang dapat diterima untuk nyeri
neuropatik pada neuropati perifer diabetik dan neuralgia paska herpetic ialah pregabalin. Obat
tersebut lebih baik daripada obat gaba yang analog yaitu gabapentin, karena efek sampingnya
lebih sedikit, lebih poten (2 – 4 kali), kerjanya lebih cepat, serta pengaturan dosisnya lebih
sederhana. Dosis awal 2 x 75 mg sehari, setelah 3 – 7 hari bila responnya kurang dapat
dinaikkan menjadi 2 x 150 mg sehari. Dosis maksimum 600 g sehari. Efek sampingnya
berupa dizziness, dan somnolen yang akan menghilang sendiri, jadi obat tidak perlu
3,16
dihentikan.

Terapi topikal seperti krim EMLA, lidokain patches, dan krim capsaicin dapat
digunakan untuk neuralgia paska herpes. Solutio Burrow dapat digunakan untuk kompres
basah. Kompres diletakkan selama 20 menit beberapa kali sehari, untuk maserasi dari vesikel,
membersihkan serum dan krusta, dan menekan pertumbuhan bakteri. Solutio Povidone-
iodine sangat membantu membersihkan krusta dan serum yang muncul pada erupsi berat dari
orang tua. Acyclovir topikal ointment diberikan 4 kali sehari selama 10 hari untuk pasien
imunokompromised yang memerlukan waktu penyembuhan jangka pendek.3,7

Pada kasus berat dapat diberikan Gabapentin oral (300 – 600 mg per oral TID selama
7 hari). Tidak lebih dari 150 mg/d. Penderita AIDS dengan CD4+ <100 sel/mm dan
transplantasi resipien, khususnya sumsung tulang mungkin mengalami infeksi VVZ dengan
resistan acyclovir. Perlu diawali pengobatan dengan foscarnet 40 mg/kg IV setiap 8 jam
selama 7 – 10 hari pada pasien dengan suspek infeksi VVZ dengan resisten acyclovir.
Pengobatan foscarnet diperlukan setidaknya sampai 10 hari atau sampai lesi sembuh.3,7

Anti depresi antisiklik ( misalnya nortriptilin dan aminotriptilin): amitriptilin 30 – 100


mg per oral QHS. Pengobatan dengan amiptriptilin dan obat sejenisnya, blok saraf, dan /
opioid nantinya setelah perkembangan nyeri akut dapat mencegah sensitisasi SSP yang
menyebabkan nyeri persisten. Efek sampingnya ialah gangguan jantung, sedasi, dan
7,16
hipotensi. Dosis nortriptilin 50 – 150 mg/hari.
3
Rejimen terapi untuk Varisela-zoster :

Pencegahan


Vaksin Zostavax : strain hidup yang dilemahkan dari VVZ. Berhubungan dengan

Varivax , tetapi diperkirakan 14 kali lebih terkonsentrasi. Telah disetujui oleh FDA untuk
pasien > 60 tahun tanpa riwayat penyakit herpes zoster sebelumnya. Zostavax telah diketahui
3
untuk mengurangi penyakit herpes zoster dan neuralgia paska herpes.

DAFTAR PUSTAKA

1. Daili SF, B Indriatmi W. Infeksi Virus Herpes. Jakarta: Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia. 2002.
rd
2. Habif, T.P. Viral Infection. In : Skin Disease Diagnosis and Treatment. 3 ed.
Philadelphia : Elseiver Saunders. 2011. p. 235 -239.
3. Schalock C.P, Hsu T.S, Arndt, K.A. Viral Infection of the Skin. In : Lippincott’s
Primary Care Dermatology. Philadelphia : Walter Kluwer Health. 2011.p. 148 -151.
4. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ. Varicella and
th
Herpes Zoster. In : Fitzpatrick. Dermatology in General Medicine. 7 ed. New York
: McGraw Hill Company.2008.p. 1885-1898.
5. James, W.D. Viral Diseases. In : Andrew’s Disease of the Skin Clinical Dermatology.
th
11 ed. USA : Elseiver Saunder. 2011.p. 372 – 376.
6. Marks James G Jr, Miller Jeffrey. Herpes Zoster. In: J Lookingbill and Marks’
th
Principles of Dermatology. 4 ed. Philadelphia : Elseiver Saunders. 2006 .p.145-148.

7. Habif P.Thomas. Warts, Herpes Simplex, and Other Viral Infection. In : Clinical
th
Dermatology. 5 ed. United States of America : Elseiver Saunders. 2010.p. 479 –
490.
th
8. Mandal BK, dkk. Lecture Notes :Penyakit Infeksi.6 ed. Jakarta : Erlangga Medical
Series. 2008 : 115 – 119.
th
9. Sehgal, V.N. Herpes Zoster. In : Textbook of Clinical Dermatology. 4 ed. New
Delhi : Jaypee Brothers Medical Publishers. 2006.p. 83 – 84.
10. Mayeaux EJ. Viral Infection. In : The Color Atlas of Family Medicine. United State of
America : Mc Graw-Hill Companies, 2009 : 493 – 502.
th
11. Brown, R.G. Lecture Notes Dermatology: Penyakit Infeksi.8 ed. Jakarta : Erlangga
Medical Series. 2005 : 29 – 31.
12. Brown, R.G.Dermatology Fundamentals of Practice. Philadelphia : Mosby Elseiver.
2008.p. 212-214.
13. 13. Chang Sung Eun, Bae Gee Young, Moon Kee Chan, Do Sang Hwan, Lim Young
Jin. Subcutaneous granuloma annulare following herpes zoster. In : International
Journal of Dermatology. Vol. 43. Number 4. 2004.p. 298 – 299.
14. The International Society of Dermatology.Herpes zoster and pruritus. In :
International Journal of Dermatology. Vol. 43. Number 4. 2004.p. 779 -780.
15. Ali Asra. Varicella zoster virus (VZV). In : Dermatology a Pictorial Review. New
York : Mc Graw Hill Companies. 2007.p. 22 -23.
16. Handoko RP. Penyakit Virus. In : Djuanda Adhi, Mochtar H, Siti A, eds. Ilmu
th
Penyakit Kulit dan Kelamin. 5 ed. Cetakan V, Jakarta : Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2010 : 110-112.

Anda mungkin juga menyukai