Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN KASUS

PNEUMOCYSTIS CARINII PNEUMONIA

OLEH:

dr. Muthmainnah C185202008


dr. Edho Biondi Joris C185202010
dr Winda Mellysa Allorerung C185202001

PEMBIMBING:

dr. Sri Asriyani, Sp.Rad (K),M.Med.Ed

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Stase di


DEPARTEMEN RADIOLOGI
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS PULMONOLOGI DAN
KEDOKTERAN RESPIRASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2022

1
ABSTRAK

Pneumocystis carinii pneumonia merupakan infeksi oportunistik yang terjadi pada populasi yang
mengalami imunosupresi. Pneumocystis carinii pneumonia disebabkan oleh Pneumocystis
jiroveci, suatu organisme dengan struktur karakteristik menyerupai protozoa dan juga sensitif
terhadap obat anti parasit. Namun kemudian berdasarkan penelitian biologi molekuler RNA,
Pneumocystis jiroveci kemudian dikategorikan sebagai jamur yang berkerabat dekat dengan
Askomikotina. Penularan diasumsikan melalui infeksi droplet pernapasan, dengan bentuk kista
sebagai tahap infektif ke manusia. Penyakit ini menjadi semakin dikenal di seluruh dunia dengan
epidemi AIDS. Karena onset penyakit cepat dan kadang-kadang diabaikan pada pasien
immunocompromised, prognosisnya buruk karena kegagalan pernafasan yang menyebabkan
kematian.

Kata kunci : Pneumocystis carinii pneumonia, Pneumocystis jiroveci, infeksi oportunistik,


immunocompromized.

ABSTRACT

Pneumocystis carinii pneumonia is an opportunistic infection occurs in immunosuppressed


populations. Pneumocystis carinii pneumonia is caused by Pneumocystis jiroveci, an organism
with characteristic structures resembles to protozoa and also sensitive to anti parasite drugs. But
later on, based on the reseach for the molecular biology of the RNA, Pneumocystis jiroveci then
categorized as a fungi with close-relation to Askomikotina. Transmission is assumed by
respiratory droplet infection, with the cyst form as the infective stage to human. The disease has
become increasingly recognized worldwide with the epidemic of AIDS. Since the onset of the
disease is fast and sometimes overlooked in immunocompromized patients, the prognosis is poor
due to the respiratory failure which leads to mortality.
Keywords : Pneumocystis carinii pneumonia, Pneumocystis jiroveci, opportunistic infection,
immunocompromized.

2
BAB I
LAPORAN KASUS

 IDENTITAS :
Nama : Ny. AE
RM : 439091
Umur : 31 tahun
Tanggal MRS : 16 Januari 2021
Ruang Perawatan : Infection Center Lantai 3
DPJP : Dr. dr. Irawaty Djaharuddin, Sp.P(K)

 ANAMNESIS
 Keluhan Utama : Sesak napas

Pasien rujukan dari RS Grastelina dengan sesak napas, sesak napas dirasakan sejak 1
minggu terakhir, sesak tidak dipengaruhi aktifitas dan cuaca, riwayat sesak napas
sebelumnya tidak ada. Batuk ada sesekali disertai dahak warna putih sejak 6 bulan yang
lalu. Batuk darah tidak ada, Riwayat batuk darah tidak ada. Nyeri dada tidak ada. Riwayat
nyeri dada tidak ada, Demam tidak ada, riwayat demam tidak ada, Gangguan penciuman
dan pengecapan tidak ada. Keringat malam tanpa aktivitas ada. Penurunan berat badan
ada tidak diketahui berapa kilogram. Mual dan muntah tidak ada. BAB dan BAK tidak
ada keluhan.

- Riwayat pengobatan OAT bulan sejak Oktober 2021 selesai pengobatan 6 bulan
tanggal 19-4-2022.
- Riwayat kontak pasien TB tidak ada
- Riwayat DM, HT, penyakit jantung dan penyakit ginjal tidak ada
- Riwayat keganasan dalam keluarga tidak ada
- Riwayat merokok tidak ada
- Pekerjaan sebagai mahasiswa
- Domisili : makassar

3
 Keadaan umum :
sakit sedang/gizi kurang/ composmentis

Berat badan = 41 kg. Tinggi badan = 150 cm IMT = 18.2 kg/m2

Sp02 : 95% tanpa modalitas

SpO2 : 98% dengan oksigen 2 lpm

TD: 124/87 mmHg N: 89 x/menit

P: 20 x/menit S: 36.3 Celsius

 Kepala = normocephal, konjungtiva tidak pucat, sclera tidak kuning.


 Leher = tidak ada pembesaran kelenjar getah bening. Trakea di midline
 Jantung : Bunyi jantung I / II,tidak ada murmur
 Thoraks :
I: Simetris kedua hemitoraks saat statis dan dinamis
P: Taktil fremitus sama kedua hemitoraks
P: Sonor pada kedua hemithorax
A: Vesikuler, ronkhi ada di kedua hemithoraks dan wheezing tidak ada
 Abdomen: Peristaltik normal, hepar dan lien tidak teraba
 Extremitas : akral hangat, edema pretibial minimal. Tidak ada clubbing finger

 PEMERIKSAAN LABORATURIUM
1. Hasil Darah Rutin

Darah 25/04/22 26/04/22 27/04/22 30/04/22 3/5/22 6/5/22 9/5/22 Normal


WBC 6.7 8,8 10,27 5,6 4,1 4.60-10.20
HB 13 12,3 12,5 11,8 12,7 11.0-18.0

PLT 436 434 434 582 150-450


NEUT 72,6 75,3 77,5 68,4 59,2 52-75
LYMP 12,5 8,5 7,0 11,9 23,6 20-40
GDS 100 78 140
PT/INR/ 11,0/1,06/ 11,3/1,09 10,7/1,03 10-14/-/22-
APTT 24,9 /27,4 /26,1 30
GOT/GP 109/99 52/917 69/67 42/48 39/42 <38/<41
T

4
Ur/Cr 21/0,68 19/0,71 22/0,9 10-50/<1.1
Albumin 2,5 2,7 2,6 3.5-5.1
Na/K/Cl 136/4,6/10 135/4,8/1 138/4,2/1 138/4,6 136 –
8 00 04 /103 145/3.5-
5.1/97-111
CRP - >130 > 130 <5
Prokalsit - 0,26 <0.05
onin
HbSAg Non reaktif Non reaktif
Anti Non reaktif
HCV
CD4 23
TCM Tidak
terdeteksi
Tes Eliza Reactive
antigen
HIV
Tes Eliza Reactive
antibodi
HIV

25/4/22 28/4/22 1/5/22 9/5/22


pH 7,5 7,418 7,529 7,550
SO2 98,5 97,5 98,2 98,5
PO2 135,7 98,7 1397 202,9
PCO2 31,3 39,9 43,3 41,0
HCO3 28,2 26 36,5 36,2
Laktat darah 1,0 5,1 1,9 -

MIKROBIOLOGI 27-04-2022*

Pengecatan gram :

Spesimen : sputum

Afinitas Gram : gram positif dan gram negatif

Bentuk dan Konfigurasi : Diplococcus dan Bacil satu-satu

5
Kuantitas : positif (3+) dan positif (2+)

Lokalisasi : -

Sel lain : leokosit : 4+ dan Epitel 4+

Jamur : tidak ditemukan

JAMUR

jenis spesimen : spultum

Jamur : tidak ditemukan

SPUTUM BTA 3 X (Pewarnaan)

Jenis spesimen : sputum

Pewarnaan BTA 1 : negatif

Pewarnaan BTA 2 : negatif

Pewarnaan BTA 3 : -

Biakan dan Resistensi (medium padat)

Metode pemeriksaan : manual

Jenis spesimen : sputumstreplococcus spp (flora normal)

Kultur & sensitivitas : sehingga tes sensitivitas tidak dilaporkan

KULTUR dan SENSITIFITAS JAMUR

Metode pemeriksaan : Manual

Jenis spesimen : Sputum

Kultur & Sensitivitas : yeast cell ( jamur)

6
 PEMERIKSAAN RADIOLOGI
1. Pemeriksaan Foto Toraks 21/4/222

o Kesan :

- TB paru duplex aktif lesi luas

- Efusi minimal pleura kanan

2. Pemeriksaan MSCT Scan Toraks dengan kontras


 MSCT Scan Toraks 10-05-2022 :

Kesan :
 TB paru lama aktif lesi luas
 Pneumocystic jerovici pneumonia
 Bronchiectasis lobus superior pulni bilateral
 Efusi pleura minimal bilateral
 Emfisema kimpensata

7
 DIAGNOSIS
- Bekas TB paru
- HIV infection
- Pneuomocystitis Carinii Pneumonia
- Hypoalbuminemia

 TATALAKSANA
 Pulmonologi

- Oksigen 3 lpm nasal kanul

-Mycamin 50mg/8jam/iv (H7)

- Acetylsistein 200mg/8jam/oral

- Curcuma tab / 8jam/oral

- VIP albumin 2caps/8jam/oral

- Ketorolac 30 mg/12 jam/IV

- Ranitidine 1 ampul/12 jam/IV

- Ceftriaxone 1gr/12 jam/iv

 Divisi Infeksi Tropis


- Telado/24jam/oral
- Cotrimoksazole 960mg/24jam/oral
- Cymevene 500mg/24jam/IV

 PROGNOSIS
 Ad Vitam : Ad bonam
 Ad Fungsional : Dubia ad bonam
 Ad Sanationam : Dubia ad bonam

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN

Pneumocystis carinii pneumonia (PCP) merupakan infeksi paru yang disebabkan oleh jamur
Pneumocystis carinii, kini dikenal dengan nama Pneumocystis jirovecii (P. jirovecii), sebagai
penghormatan untuk ahli parasitologi berkebangsaan Cechnya, Otto Jirovec. Pada tahun 1909
mikroorganisme ini pertama kali ditemukan oleh Chagas kemudian pada tahun 1911 Carini dan
Maciel menduga mikroorganisme yang ditemukan pada paru marmot ini sebagai salah satu tahap
dalam siklus hidup Trypanosoma cruzi. Selanjutnya pada tahun 1942, Meer dan Brug
menyatakan untuk pertama kalinya bahwa mikroorganisme tersebut merupakan salah satu jenis
parasit patogen pada manusia. Kerjasama Vanek dengan Otto Jirovec pada tahun 1952,
menggambarkan siklus paru dan patologi penyakit ini yang kemudian dikenal sebagai parasitic
pneumonia atau pneumonia sel plasma interstisial (interstitial plasma cell pneumonia) dan
1,2
infeksinya kini disebut sebagai Pneumocystis jirovecii pneumonia (PjP). Pada tahun 1988,
Edman dan Stringer mengemukakan perbedaan genetik Pneumocystis manusia dan tikus; urutan
18S rRNA Pneumocystis manusia dan Pneumocystis tikus berbeda 5%. Beberapa fragmen gen
3,4
telah dianalisis dan diketahui bahwa urutan gen berbeda untuk setiap spesies pejamu.

Taksonomi

Berdasarkan penelitian biologi molekuler, morfologi dan biokimia, P. jirovecii yang sebelumnya
dikenal sebagai Pneumocystis carinii f. sp. hominis dimasukkan ke dalam golongan fungus
(jamur) yang berhubungan erat dengan askomikota. Nomenklatur terbaru Pneumocystis jirovecii,
5-7
yaitu:

Kingdom:Fungi

Sub kingdom : Dikarya

Phylum: Ascomycota

9
Subphylum : Taphrinomycotina

Class : Pneumocystidomycetes

Order : Pneumocystidales

Family : Pneumocystidaceae

Genus : Pneumocystis

Species : P. jirovecii

EPIDEMIOLOGI

Habitat Pneumocystis ditemukan secara luas di alam. Jamur ini dapat menginfeksi berbagai
hewan; yang paling berpotensi sebagai reservoir adalah hewan pengerat. Sebelum epidemi AIDS
pada awal 1980-an PjP jarang terjadi, biasanya diderita oleh pasien malnutrisi protein atau
penderita acute lymphocytic leukemia (ALL) atau yang mendapat terapi kortikosteroid. Kini
8,9
infeksi opurtunistik ini sering dikaitkan dengan infeksi HIV.

HIV terkait PjP

Pada tahun 1980-an, di Amerika Serikat PjP merupakan penyakit yang menggambarkan AIDS
pada dua pertiga dewasa dan remaja, dan 75% orang terinfeksi HIV diprediksi akan mengalami
PjP selama masa hidupnya. Profilaksis PjP pada 1989 dan kombinasi ART (anti-retro viral) pada
1996 menurunkan PjP sebesar 3,4% per tahun dari 1992 hingga 1995 kemudian 21,5% per tahun
selama 1996-1998. Insidens di Eropa Barat dan Amerika Serikat menurun 2-3 kasus/100 orang
per tahun. Kasus baru terjadi pada individu yang tidak mengetahui statusnya sebagai HIV positif,
atau tidak menerima pengobatan infeksi HIV.10

10
PjP di Negara Berkembang

Asia. Jumlah kasus PjP di Thailand meningkat setiap tahun dari tahun 1992 hingga 2000 dan
mencapai puncaknya pada tahun 2000 sejumlah 6255 kasus. 13 PjP telah didiagnosis pada 47%
dari 291 pada penderita HIV/AIDS di Kamboja dan Vietnam dengan pewarnaan basil tahan asam
negatif.9 Selama periode tahun 1985-2000, Hongkong melaporkan bahwa PjP menjadi infeksi
oportunistik paling sering terkait HIV/AIDS. 9 Di Indonesia, data terbaru menunjukkan
prevalensi PjP sebesar 20%. 11

Afrika. PjP jarang tercatat karena tidak terdiagnosis atau tidak tersedianya pemeriksaan untuk
12
PjP.

Amerika Latin. Pneumocystosis telah didiagnosis pada 19,9% dari 168 pasien HIV/ AIDS yang
13
merupakan imigran ke Houston, Texas, dari Amerika Tengah, selama 1994- 1998.

Brazil. PjP merupakan infeksi oportunistik kedua tersering setiap tahunnya pada surveilans sejak
13
tahun 1993 hingga 2002.16 Di Rio de Janiero, 24-29% pasien AIDS telah didiagnosis PjP.

PATOFISIOLOGI
Siklus hidup Pneumocystis jirovecii terbagi menjadi 3 stadium:
1. Stadium trofozoit. Pada stadium ini dapat terlihat bentuk pleomorfik dan uniseluler, berukuran
1-5 µ, dan memperbanyak diri secara mitosis. Pada pewarnaan Giemsa, inti bewarna ungu
gelap dan sitoplasma bewarna biru terang. 14
2. Stadium prakista Merupakan bentuk intermediet antara trofozoit dan kista. Berbentuk oval
dengan ukuran 3-5 µ dan berdinding lebih tebal (40-120 µ) daripada stadium trofozoit dengan
jumlah inti.15
3. Stadium kista Merupakan bentuk diagnostik pneumosistosis, juga diduga sebagai bentuk
infektif pada manusia. Dengan mikroskop fase kontras, kista mudah dilihat, berbentuk bulat
dengan diameter 3,5-12 µ, mengandung 8 sporozoit dan trofozoit yang sedang berkembang.
Sporozoit tersebut dapat berbentuk buah pir, bulan sabit, atau kadang-kadang terlihat kista
berdinding tipis dengan suatu massa di tengah yang homogen atau bervakuol.14

11
Siklus Hidup
Siklus hidup lengkap mikroorganisme ini belum sepenuhnya dimengerti karena belum
berhasil diisolasi in vitro dan sangat sulit mengobservasi siklus hidupnya hanya dari klinis.
Secara umum siklus hidup berbagai spesies Pneumocystis seperti pada gambar.15
Jamur ini ditemukan pada paru mamalia tanpa menyebabkan infeksi yang nyata sampai
sistem imun hospes melemah, menyebabkan pneumonia yang fatal. 16

Gambar 1. Siklus hidup P. jiroveci

A. Fase aseksual : bentuk trofozoit (1) bereplikasi secara mitosis (2) ke (3).
B. Fase seksual: bentuk trofozoit haploid berkonyugasi (1) menghasilkan zigot diploid (2). Zigot
membelah diri secara meiosis dilanjutkan secara mitosis menghasilkan 8 nukleus haploid (3).
Kista stadium lanjut mengandung 8 sprozoit berisi spora yang akan keluar setelah terjadi
eksistasi (4). Stadium trofozoit, kemungkinan mikroorganisme berkembang melalui binary
fusion.16

Patogenesis PCP
Pneumocystis jiroveci berada tersebar dimana-mana sehingga hampir semua orang dapat
pernah terpapar dengan organisme ini bahkan sejak kanak-kanak sebelum berusia 4 tahun.

12
Transmisi Pneumocystis jiroveci dari orang ke orang diduga terjadi melalui “respiratory droplet
infection” (tertelan ludah) dan kontak langsung, dengan kista sebagai bentuk infektif pada
manusia. Kebanyakan peneliti menganggap transmisi terjadi dari orang ke orang melalui
inhalasi. Juga dilaporkan bahwa transmisi dapat terjadi secara “in utero” dari ibu kepada bayi
yang dikandungnya, namun dengan trofozoit sebagai bentuk infektifnya. Masa inkubasi
ekstrinsik ( = prepaten period) diperkirakan 20-30 hari dengan durasi serangan selama 1-4
minggu. Masih ada kontroversi apakah PCP muncul akibat reaktivasi infeksi laten yang telah
pernah didapat penderita sebelumnya atau karena paparan berulang dan reinfeksi terhadap jamur
ini.17
Pajanan Pneumocystis jirovecii secara langsung pada host dengan kekebalan tubuh baik
maupun terganggu, pada epitel alveolar tipe II menyebabkan aktifasi NF-κB dan pelepasan
sinyal proinflamasi. Pneumocystis jirovecii juga dapat menyebakan cedera langsung pada paru
namun dengan mekanisme yang belum diketahui. Pneumocystis jirovecii berkembang biak dan
mengaktifkan makrofag alveolar yang kemudian melepaskan sinyal inflamasi. Pada pasien yang
mengalami penurunan fungsi sel T CD4+ yang berkelanjutan seperti pada AIDS, Pneumocystis
jirovecii terus berkembang dan terjadi respon sel T CD8+ secara dominan. Sel T CD8+, reseptor
TNF dan reseptor IFN-α memegang peranan penting dalam progresifitas cedera paru. Neutrofil
(PMN) terakumulasi sebagai respon dari cedera paru, bukan akibat dari paparan Pneumocystis
jirovecii. Jika tidak ditangani maka dapat terjadi disfungsi surfaktan yang parah dan juga gagal
napas. Jalur patologis lainnya dapat terjadi setelah pemulihan imun host yang terinfeksi. Sel T
CD4+ direkrut pada paru dan timbul respons sitokin proinflamasi yang intens. Respons imun
cedera pada paru, gangguan pernapasan, dan keparahan dari penyakit berkaitan dengan tingkat
pemulihan dari sel T CD4+. Meskipun secara klinis PCP biasanya lebih parah, respons yang
dimediasi oleh sel T CD4+ menyebabkan permbersihan infeksi pada host yang selamat. 18

13
Gambar 2. Skema ilustrasi yang mewakili perkembangan cedera paru yang dimediasi oleh
respon imun selama PCP.
(Dikutip dari no 18)

Pada kondisi CD4+ dan CD8+ seimbang maka respons setelah terinfeksi Pneumocystis
jirovecii adalah ringan dengan eliminasi Pneumocystis jirovecii dan fungsi paru masih dalam
batas normal. Saat CD8+ menginisiasi inflamasi pada orang dengan kekurangan CD4+ maka
terjadi inflamasi yang tidak efektif. Hasilnya kerusakan pada paru tanpa adanya eliminasi dari
Pneumocystis jirovecii. Selama Pneumocystis jirovecii tetap ada maka proses inflamasi terus
berlangsung. Selain itu terjadi disfungsi surfaktan yang berat dan bila tidak ditangani akan
berakibat fatal. Jika proses inflamasi diinisiasi oleh CD4+ pada orang yang kekurangan CD8+
seperti yang terjadi pada Immune Reconstitution Disease (IRD) maka terjadi respon inflamasi
yang efektif namun berlebihan dan menghasilkan resolusi infeksi namun mengorbankan
kerusakan pada paru.18

14
DIAGNOSIS
Secara umum diagnosis Pneumocystis jirovecii pneumonia (PCP) dapat dilakukan
melalui 2 cara, metode noninvasif dan invasif. Pemeriksaan noninvasif dapat dengan anamnesis,
pemeriksaan fisis, penunjang radiologis thorax, sedangkan secara invasif dengan induksi sputum,
bronkoskopi, biopsi torakoskopik, mikroskopik, dan deteksi molekuler. 19
 Anamnesis
Ditemukannya manifestasi klinis pada pasien PCP yang meliputi :
- Demam
- Batuk tidak produktif
- Nyeri dada
- Menggigil
- Kelelahan
Pada pasien dengan HIV/AIDS, gejala PCP biasanya berkembang pada beberapa minggu
kemudian dan terdapat demam ringan. Pada pasien yang memiliki kelemahan system imun atau
imunodefisiensi (selain HIV/AIDS), geala PCP biasanya berkembang dalam beberapa hari saja,
yang diikuti dengan demam tinggi. Pada riwayat penyakt dahulu perlu ditanyakan ada tidaknya
riwayat imunocomprimised atau imunodefisiensi. 20
 Pemeriksaan fisik 17 :
- Inspeksi
Ditemukan gejala distress pernafasan seperti takipneu, takikardi dan sianosis. Bagian
yang sakit dapat tertinggal
- Palpasi
Fremitus taktil dapat menurun
- Perkusi
Terdapat suara redup pada sisi yang sakit bisa juga didapatkan suara sonor
- Auskultasi
Pada kasus ringan biasanya normal atau didapatkan krepitasi saat inspirasi. Sedangkan
pada kasus berat dapat ditemukan ronkhi basah kasar pada kedua lapang paru

15
Gambar 3. Algoritma diagnosis PCP.

(Dikutip dari 17)

 Pemeriksaan penunjang 21
Radiologi
- Pemeriksaan foto toraks dapat menunjukan adanya pola interstisial bilateral yang
homogen serta diffuse dapat juga disertai dengan pneumotoraks spontan. Namun, pada
1/3 kasus juga dapat ditemukan kondisi normal. Pada kasus seperti itulah pemeriksaan
computed tomography (CT) scan toraks cukup berperan.
- Pemeriksaan CT scan lebih sensitif dibandingkan Rontgen toraks dalam mendeteksi PCP.
Pada pemeriksaan CT scan thoraks akan ditemukan gambaran ground- glass appearance
(crazy paving) dengan distribusi yang tidak merata. Ground-glass appearance tersebut
lebih dominan di daerah perihiler. Pada keadaan yang lebih lanjut, akan ditemukan septal
lines dengan atau tanpa intralobular lines superimposed pada ground-glass appearance
serta konsolidasi. Foto roentgen dada dapat menunjukkan gambaran yang berbeda seperti
nodul, kavitas, konsolidasi, pneumatocele dan pneumothorax.. Tanda yang jarang antara

16
lain terdapat nodul soliter atau multipel, infiltrat pada lobus atas pasien dengan
pengobatan pentamidin, pneumotokel dan pneumotoraks Efusi pleura dan limfadenopati
jarang ditemukan.
Laboratorium
- Hasil pemeriksaan rutin laboratorium juga tidak khas, leukosit dapat sedikit meningkat,
serum laktat dehidrogenase (LDH) dapat meningkat (>220 U/L) dimana hal tersebut
menunjukkan ada tanda inflamasi paru, bukan petunjuk khas untuk PCP. Analisis gas
darah dapat memperlihatkan hasil hipoksemia, hipokarbia, dan peningkatan alveolar-
arterial gradien oksigen (AaDO2). Hasil normal dapat ditemukan pada 20% pasien
dengan gejala sangat ringan, tetapi hal itu tidak boleh menyebabkan kelalaian untuk
mengevaluasi pasien dengan gejala klinis mirip PCP, meskipun tidak khas dan hitung sel
CD4+ kurang dari 200sel/mm.

Gambar 4. (A) Radiografi dada posteroanterior, (B) Gambar aksial CT nonkontras, (C)
Gambar kontras CT aksial
(Dikutip dari 24)

17
Gold standart 21
- Diagnosis pasti ditegakkan dengan menemukan kista atau trofozoit Pneumocystis dalam
sediaan klinis pasien yang didapatkan dari induksi sputum dengan hypertonic saline 3%
dengan cara pengambilan sampel dilakukan nebulisasi dengan Nacl 3% terutama pada
pasien yang sulit mengeluarkan sputum spontan dan dilakukan bilasan bronkus (BAL)
menggunakan Natrium Clorida 0.9% dengan cara pengambilan sampel memasukan NaCl
0,9% melalui alat bronkoskopi kemudian mengambilnya kembali serta juga dapat
dilakukan biopsi paru.
- Pewarnaan konvensional yang paling sering digunakan adalah Gomori Methenamine
Silver (GMS) untuk mendeteksi dinding kista, serta Giemsa dengan modifikasi untuk
mendeteksi semua stadium Pneumocystis. Sensitivititas pewarnaan tersebut dalam
mendeteksi Pneumocystis dari sediaan bilasan bronkus mencapai 70- 92% bila
dikombinasikan dengan pemeriksaan sediaan biopsi transbronkial, sensitivitasnya
mencapai 100%.
- Pewarnaan juga dapat menggunakan Toluidine blue O mampu mewarnai dinding kista,
berbentuk bulat menyerupai bola ping pong, bersepta alveolar menebal dan eksudat
eosinofilik di alveoli
- Induksi sputum merupakan prosedur pemeriksaan yang lebih sederhana serta non-invasif
dibandingkan bilasan bronkus atau biopsi transbronkial, tetapi sensitivitasnya
menggunakan pewarnaan konvensional hanya 35-78%. Pengembangan Teknik
pewarnaan imunositokimia dilaporkan meningkatkan sensitivitas pemeriksaan induksi
sputum higga 97%.
- Pemeriksaan PCR dilaporkan dapat meningkatkan sensitivitas deteksi Pneumocystis
jirovecii hingga 86-100% dari sediaan induksi sputum. Beberapa penelitian menggunakan
PCR telah berhasil mendeteksi Pneumocystis jirovecii pada individu yang sediaan
pewarnaannya negatif. Sebagian pasien tersebut memperlihatkan gejala klinis, sebagian
lagi tidak, sehingga memungkinkan dugaan kolonisasi asimptomatik.

18
Gambar 5. (a) pewarnaa Giemsa , (b) Toluidine Blue O, (c) GMS (Grocott-Gomori
Methenamine Silver), (d) GMS pembesaran 450X

(Dikutip dari 12)

TATALAKSANA

Trimetroprim-sulfametoksazole (TMX-SMX) oral atau intravena selama 21 hari


merupakan obat pilihan untuk tatalaksana PCP dengan atau tanpa HIV. Pada PCP derajat sedang-
berat (PaO2 <70 mmHg) direkomendasikan trimetroprim-sulfametoksazole intravena.
Sedangkan, trimetroprim-sulfametoksazole oral diberikan untuk PCP derajat ringan-sedang
(PaO2 ≥70 mmHg). Rekomendasi dosis untuk terapi PCP adalah 15-20 mg/kg trimetroprim per
hari dan 75-100 mg/kg sulfametoksazole per hari yang terbagi menjadi tiga atau empat dosis.
Pada pasien PCP dengan HIV, respon terapi biasanya muncul lebih lama namun harus terjadi

19
dalam delapan hari pertama. Apabila hal tersebut tidak terjadi, maka perlu dicari diagnosis
alternatif atau regimen alternatif. 17

Pada PCP derajat berat direkomendasikan untuk memberikan kortikosteroid sistemik


dalam 72 jam pertama memulai terapi PCP. Kortikosteroid sistemik perlu diberikan jika PaO2
<70 mmHg atau gradien oksigen alveolar-arteri lebih dari 35 mmHg. Dosis kortikosteroid yang
diberikan adalah prednisolone 40 mg dua kali sehari per oral pada hari ke 1-5 kemudian 40 mg
satu kali sehari pada hari ke 6-10. Dilanjutkan dengan prednisolone 20 mg satu kali sehari pada
hari ke 11-21. Pada pasien yang sebelumnya telah mendapatkan profilaksis TMX-SMX atau
gagal terapi atau alergi dengan TMX-SMX, terdapat beberapa pilihan tatalaksana alternatif.
Untuk PCP berat, alternatifnya adalah dapat diberikan clindamisin 600 mg empat kali per hari,
intravena atau oral dan primakuin 15 mg satu kali per hari, oral atau pentamidine 3-4mg/kg satu
kali per hari, intravena untuk 21 hari. Sedangkan untuk PCP ringan-sedang dapat diberikan TMX
20mg/kg/hari dalam dosis terbagi tiga atau empat, oral dan dapsone 100 mg satu kali per hari,
oral selama 21 hari atau atorvaquone cairan suspensi 750 mg dua kali per hari, oral selama 21
17
hari.

Beratnya infeksi dan tingginya angka mortalitas pada PCP menjadikan pencegahan
sangat penting dilakukan pada kelompok yang berisiko. Trimetroprim-sulfametoksazole juga
merupakan pilihan utama profilaksis primer dan sekunder selain dapsone, atovaquone dan
pentamidine. Pasien HIV harus menerima kemoprofilaksis PCP jika CD4 kurang dari 200 sel/ul
atau terdapat riwayat kandidiasis orofaringeal. Kemoprofilaksis direkomendasikan diberikan
seumur hidup namun pemberiannya dapat dihentikan pada pasien yang telah mendapat ARV dan
CD4-nya meningkat dari < 200 sel/ul menjadi > 200 sel/ul selama 3 bulan dan dilanjutkan
kembali bila CD4 kembali < 200 sel/ ul.Terdapat dua pendapat mengenai dosis profilaksis TMX-
SMX untuk PCP yaitu 1 x 960 mg per oral dan 1x480mg per oral. Menurut penelitian, kedua
dosis tersebut memiliki efektivitas yang sama namun semakin besar dosis yang digunakan efek
samping akan semakin kuat. Selain itu, terdapat data bahwa profilaksis dengan regimen TMX-
SMX 960mg tiga kali per minggu sama efektifnya jika dibandingkan dengan pentamidine
nebulizer atau dapsone dan pirimetamin profilaksis namun kurang efektif jika dibandingkan
dengan TMX-SMX 1x960mg.17

20
Pada pasien yang intoleran terhadap TMX-SMX dapat dilakukan desensitisasi. Proses
desensitisasi dapat dilakukan 2 minggu setelah reaksi alergi yang tidak berat (stadium 3 atau
kurang) yang menyebabkan interupsi temporer terhadap TMX-SMX. Desensitisasi tidak boleh
dilalukan pada pasien dengan riwayat reaksi hipersentivitas stadium 4. 17

Gambar 6. Protokol desensitisasi trimetroprim-sulfametoksazole

(dikutip dari 17)

PROGNOSIS

Meskipun telah menjalani pengobatan, kematian PCP masih tetap tinggi. Beberapa
penelitian awal menunjukkan kelangsungan hidup yang buruk yang serupa antara pasien HIV
dan tanpa HIV dari 50% hingga 64%. Namun, sebagian besar penelitian menunjukkan
kelangsungan hidup yang lebih baik (86% -92%) pada pasien HIV. dibandingkan dengan pasien
tanpa HIV dengan berbagai kondisi yang mendasarinya (bertahan hidup 51%-80%) Karena PCP
adalah infeksi berat dengan tingkat kematian yang tinggi, pencegahan sangat penting pada
kelompok yang berisiko.22

KESIMPULAN

Pneumocystis carinii pneumonia (PCP) atau Pneumocystis jirovecii pneumoniaharus


dicurigai pada pasien dengan HIV yang mengeluhkan adanya sesak dan/atau batuk yang tidak
produktif dan demam. Adanya distres pernapasan hingga hipoksia serta gambaran ground-glass
appearance pada pemeriksaan CT scan thoraks mendukung kecurigaan kearah PCP seperti yang

21
terdapat pada kasus ini. Untuk menekan angka morbiditas dan mortalitas, profilaksis terhadap
PCP penting dilakukan dengan pemberian TMX-SMX hingga seumur hidup dengan melihat nilai
CD4. Evaluasi kasus per kasus tentang perlunya profilaksis harus dilakukan pada semua pasien
dengan penyakit inflamasi yang membutuhkan pengobatan imunosupresif. 23

22
DAFTAR PUSTAKA

1. James RS, Charles BB, Robert FM, Ann EW. A new name (Pneumocystis jiroveci) for
Pneumocystis from humans. Emerg Infect Dis. 2002: 8(9):891-6
2. Reiss E, Shadomy HJ, Lyon GM. Fundamental medical mycology. New Jersey: Wiley-
Blackwell; 2012. p.535-47
3. Heelan JS, Ingensol FW. Essentials of human parasitology. United States of America:
Delmar; 2002 .p. 130-1
4. Brown HW, Neva FA. Basic clinical parasitology. United States of America: Appleton
Century Crofts; 1983 .p. 76-7
5. Elias JA, Michael RM, Michael AP. Clinical mycology, 2nd ed. USA: Churchill
Livingstone; 2009. p.385
6. Patrick RM, Ken S, Rosenthal, Michael A, Pfaller. Medical microbiology, 7 th ed,
Philadelphia: Elsevier Saunders; 2013. p.73
7. Krajicek BJ, Limper AH, Thomas CF Jr. Advances in the biology, pathogenesis and
identification of Pneumocystis pneumonia. Curr Opin Pulm Med. 2008;14:228.
8. Medrano FJ, Montes-Cano M, Conde M, de la Horra C, Respaldiza N, Gasch A, et al.
Pneumocystis jiroveci in general population. Emerg Infect Dis. 2005;11(2):245-250.
9. Morris A, Wei K, Afshar K, Huang L. Epidemiology and clinical significance of
Pneumocystis colonization. J Infec Dis. 2008;197:10-7
10. Helweg J, Larsen. Pneumocystis jiroveci. Dan Med Bull. 2004;51;251-73
11. Tjampakasari CR. Karakteristisasi molekuler gen resistensi DHPS (Dihidropteroat
sintease) dan polimorfisme gen mtLSU (mitochondrial Large Sub Unit) Pneumocystis
jirovecii pada ODHA terduga pneumonia di Jakarta. Disertasi Program Ilmu Biomedik,
Jakarta: FKUI; 2018.
12. Mogoye KB, Plessis DD, Poonsamy B, Frean J. Characterization of Pneumocystis
jirovecii DHPS genotypes using a simple, inexpensive restriction fragment length
polymorphism analysis. South Africa J Infect Dis. 2015;2:30-9
13. Monroy-Vaca EX, de Armas Y, Illnait-Zaragozí MT, Toranõ G, Diaz R, Vega D, et al.
Prevalence and genotype distribution of Pneumocystis jirovecii in Cuban infants and
toddlers with whooping cough. J Clin Microbiol. 2014;52(1):45. Doi:
10.1128/JCM.02381-13
14. Kwon Chung KJ, Bennet JE. Medical mycology. Philadelphia: Lea & Febiger; 1992.
p.369-76
15. James RS, Charles BB, Robert FM, Ann EW. A new name (Pneumocystis jiroveci) for
Pneumocystis from humans. Emerg Infect Dis. 2002: 8(9):891-6
16. Larone DH. Medically important fungi a guide to identification, 2 nd ed. Washington
DC:ASM; 1993.p.174-85
17. Agustina, Dewi Rizki, Christy E, Evy Yunihastuti, dkk. 2017. Diagnosis dan Tatalaksana
Pneumocystis Carinii Pneumonia (PCP) pada pasien HIV. Jurnal Penyakit Dalam
Indonesi : Vol. 4 No. 4
18. Gigliotti F, Wright TW. Immunopathogenesis of Pneumocystis carinii pneumonia. Expert
Rev Mol Med. 2005;7(26):1–16
19. Jawetz, Melnick, Adelberg’s. Medical microbiology, 27 th ed. California: Mc Graw-Hill
Co; 2016 .p.671-81

23
20. Reto Nuesch et al. Pneumocystis carinii Pneumonia in Human Deficiency Virus (HIV)-
Positive and HIV-Negative Immunocompromised Patients. Oxford Journals. 2016.
21. D A Gervais et al. Pneumocystis carinii Pnumonia. American Journal of Roentgenology.
2015.
22. Catherinot Emilie, Fanny Lanternier Pneumocystis jirovecii Pneumonia,2010. 107-138
23. M Verhaert , D Blockmans , E De Langhe & L Henckaerts (2020): Pneumocystis
jirovecii pneumonia in patients treated for systemic autoimmune disorders: a
retrospective analysis of patient characteristics and outcome, Scandinavian Journal of
Rheumatology
24. P.Lewis white, Jessica S Price (2019) Pneumocystis jirovecii Pneumonia : Epidemiology,
clinical manifestation and diagnosis. Clinical pathology (S Challa, Section editor).

24

Anda mungkin juga menyukai