Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN KASUS

MORBUS HANSEN TIPE PAUSIBASILER


Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Akhir Kepaniteraan Klinik Madya
SMF Penyakit Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum Jayapura

Oleh:
M. Ubayyu Surya Perdana MR
0100840143

Pembimbing:
dr. Lucky V. Waworuntu, Sp.KK, FINSDV
NIP: 19680829 200003 1 001

SMF PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


RSU JAYAPURA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS CENDERAWASIH
JAYAPURA
2016
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipresentasikan, diterima dan disetujui oleh penguji, Laporan Kasus


dengan judul “MORBUS HANSEN TIPE PAUSIBASILER” sebagai salah satu
syarat untuk megikuti ujian akhir Kepaniteraan Klinik Madya pada SMF Penyakit
Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum Jayapura. Yang dilaksanakan pada:

Hari : Senin

Tanggal : 1 Februari 2016

Tempat : Ruangan Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Jayapura

Menyetujui
Dosen Penguji/ Pembimbing:

dr. Lucky V. Waworuntu, Sp.KK, FINSDV


NIP: 19680829 200003 1 001
BAB I
PENDAHULUAN

Kusta, lepra, atau Morbus Hansen (MH) merupakan penyakit infeksi kronik yang
disebabkan oleh Mycobacterium leprae.1,2 Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan
mukosa traktus respiratorius bagian atas kemudian dapat menyebar ke organ lain kecuali
susunan saraf pusat.1 Penularan dapat terjadi melalui saluran pernapasan atas dan kontak kulit
pasien yang lebih dari 1 bulan secara terus menerus.3 Masa inkubasi sangat bervariasi, antara
40 hari sampai 40 tahun.1 Biasanya masa inkubasi kusta tipe PB (Pausi Basiler) adalah 5 tahun.2
Menurut WHO, angka kasus baru kusta di dunia mengalami penurunan dari 750.000
kasus pada tahun 2001 ke 220.000 kasus pada tahun 2012.4 Kusta menjadi endemik di berbagai
negara dengan 95% kasus dari 16 negara,4 seperti di Asia, Afrika, Amerika Latin, daerah tropis
dan subtropis, serta masyarakat yang sosial ekonominya rendah.1,5 Di Brazil, India dan
Indonesia tercatat 80% kasus dari total semua kasus di dunia.4 Di Indonesia, angka kasus baru
kusta juga mengalami penurunan dari 20.023 kasus di tahun 2011 ke 16.856 kasus di tahun
2013 dan 1694 kasus diantaranya tejadi pada anak-anak. Sedangkan di provinsi Papua, pada
tahun 2013 tercatat 1180 kasus dan pada anak-anak tercatat 89 kasus kusta. Provinsi Papua
menjadi provinsi kedua dengan kasus kusta tipe Pausi Basiler terbanyak di Indonesia, yaitu
sebesar 380 kasus.6
Klasifikasi kusta menurut WHO pada tahun 1981 terbagi menjadi 2, yaitu kusta tipe
Pausi Basiler (PB) dan Multi Basiler (MB).1 Tujuan dari klasifikasi ini adalah untuk tindakan
pengobatan.4 Kusta tipe PB adalah kusta yang memiliki 1-5 lesi berupa bercak hipopigmentasi
atau eritema yang mati rasa, distribusi yang tidak simetris dan terdapat sedikit atau tidak adanya
organisme pada lesi sehingga hasil pemeriksaan BTA adalah negatif. Hal ini dapat terjadi
akibat peran dari sistem imunitas selular (SIS).1,4
Penatalaksanaan penyakit kusta menurut WHO adalah dengan Multi Drug Treatment
(MDT).1,4 Adanya MDT ini adalah sebagai usaha untuk mencegah dan mengobati resistensi,
memperpendek masa pengobatan, serta mempercepat pemutusan mata rantai penularan. 1
Metode kombinasi MDT pada kusta tipe PB yang digunakan adalah kombinasi dapson/DDS
(diaminodifenil sulfon) dan rifampisin yang dilakukan selama 6 – 9 bulan.1,2,3,4
Prognosis penyakit kusta bergantung pada tipe kusta yang diderita, akses ke pelayanan
kesehatan, dan penanganan awal yang diterima. Relaps pada penderita kusta terjadi sebesar
0,01-0,14% per tahun dalam 10 tahun. Perlu diperhatikan terjadinya resistensi terhadap DDS

[1]
atau rifampisin. Secara keseluruhan, prognosis kusta pada anak lebih baik karena pada anak
jarang terjadi reaksi kusta.7
Berikut ini akan dilaporkan sebuah kasus pasien yang mengalami kusta tipe Pausi
Basiler di poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Jayapura.

[2]
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik dan penyebabnya ialah
Micobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat.1,2,4 Saraf perifer sebagai afinitas
pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas kemudian dapat menyebar
ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.1

B. Sinonim
Lepra, Morbus Hansen.1

C. Epidemiologi
Menurut WHO, angka kasus baru kusta di dunia mengalami penurunan dari
750.000 kasus pada tahun 2001 ke 220.000 kasus pada tahun 2012.4 Kusta menjadi
endemik di berbagai negara dengan 95% kasus dari 16 negara,4 seperti di Asia, Afrika,
Amerika Latin, daerah tropis dan subtropis, serta masyarakat yang sosial ekonominya
rendah.1,5 Di beberapa studi kasus, kusta lebih sering terjadi pada laki-laki daripada
perempuan dengan rasio 2 : 1.2
Cara penularan penyakit kusta belum diketahui secara pasti, berdasarkan anggapan
klasik ialah melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan erat, serta inhalasi, sebab
M. leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet. Masa tunasnya sangat
bervariasi, umumnya beberapa tahun, ada yang mengatakan antara 40 hari sampai 40
tahun.1 Biasanya masa inkubasi kusta tipe PB (Pausi Basiler) adalah 5 tahun, sedangkan
kusta tipe MB (Multi Basiler) adalah 20 tahun atau lebih.2 Faktor risiko terjadinya kusta
adalah sosial ekonomi rendah, kontak lama dengan pasien, seperti anggota keluarga yang
didiagnosis dengan kusta, imunokompromais dan tinggal di daerah endemik kusta.3
Kusta bukan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel rambut,
kelenjar keringat dan air susu ibu, jarang didapat dalam urin. Sputum dapat banyak
mengandung M. leprae yang berasal dari traktus respiratorius atas. Dapat menyerang
semua umur, anak-anak lebih rentan daripada orang dewasa. Frekuensi tertinggi pada
kelompok umur antara 25 – 35 tahun.1,4

[3]
D. Etiologi
Kuman penyebab adalah Micobacterium leprae dengan ukuran 3-8 µm x 0,5 µm,
tahan asam dan alkohol serta Gram positif.1,2,4 M. leprae ditemukan oleh G. A. Hansen
pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum dapat dibiakkan dalam media
artifisial.1 Waktu pembelahannya sangat lama, yaitu 2-3 minggu. Di luar tubuh manusia
(dalam kondisi tropis) M. leprae dari sekret nasal dapat bertahan sampai 9 hari.8

E. Patogenesis
Jika kuman (M. leprae) masuk ke dalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala klinis
sesuai dengan Sistem Imunitas Seluler (SIS) orang tersebut. Apabila SISnya tinggi,
makrofag akan mampu memfagosit M. leprae. Datangnya histiosit ke tempat kuman
disebabkan karena proses imunologik dengan adanya faktor kemotaktik. Jika datangnya
berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi
sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudianakan berubah menjadi sel datia
Langhans. Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut
tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita
dengan SIS rendah, histiosit tidak dapat menghancurkan M. leprae yang sudah ada di
dalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sel Virchow atau sel
lepra atau sel busa dan sebagai alat pengankut penyebarluasan.1

F. Gejala Klinis
Diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran klinis, bakteriskopis,
histopatologis, dan serologis. Di antara ketiganya, diagnosis secara klinislah yang
terpenting dan paling sederhana.1 Diagnosis ditegakkan apabila terdapat satu dari tanda-
tanda utama atau cardinal (cardinal signs), yaitu adanya kelainan kulit (lesi) yang mati
rasa, terjadi penebalan saraf tepi yang disertai gangguan fungsi saraf dan adanya basil
tahan asam (BTA) dalam kerokan jaringan kulit (slit skin smear).3 Sebagian besar pasien
kusta didiagnosis berdasarkan pemeriksaan klinis.1,3
Menurut WHO, kusta dibagi menjadi multibasilar (MB) dan pausibasilar (PB).
Yang termasuk dalam multibasilar adalah tipe LL (lepromatosa polar), BL (borderline
lepromatosa), dan BB (mid borderline), sedangkan yang termasuk dalam pausibasilar
adalah tipe TT (tuberkuloid polar), BT (borderline tuberkuloid) dan I (indeterminate). TT
adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, merupakan tipe yang stabil,
sehingga tidak dapat berubah tipe, begitu juga LL yang merupakan tipe lepromatosa polar
[4]
sehingga tidak dapat berubah tipe lagi. Sedangkan BB adalah tipe campuran yang tediri
dari 50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa. Pada BT lebih banyak tuberkuloidnya,
sedangkan pada BL lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang
labil berarti dapat bebas beralih tipe baik ke arah TT maupun ke arah LL.1,2,4
Pada multibasilar (MB) terkandung banyak kuman sehingga pada pemeriksaan
bakterioskopis didapatkan BTA positif, sedangkan pada pausibasilar (PB) terkandung
sedikit kuman sehingga pada pemeriksaan bakterioskopis didapatkan BTA negatif.

Tabel 1. Tanda utama kusta tipe PB dan MB.1,2,3

Tabel 2. Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik kusta multibasiler (MB).1,4


Sifat LL BL BB
Lesi
- Bentuk Makula, infiltrat Makula, plakat, Plakat, dome-shaped,
difus, papul, nodul papul punced-out
- Jumlah Tidak terhitung Sukar dihitung Dapat dihitung
- Distribusi Simetris Hampir simetris Asimetris
- Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak kasar, agak
berkilat
- Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas
- Anestesia Tidak ada Tidak jelas Lebih jelas
BTA
- Lesi kulit Banyak Banyak Agak banyak
- Sekret hidung Banyak Biasanya negatif Negatif
Tes lepromin Negatif Negatif Biasanya negatif

[5]
Tabel 3. Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik kusta pausibasilar (PB)
Sifat TT BT I
Lesi
- Bentuk Makula saja, makula Makula dibatasi Hanya makula
dibatasi infiltrat infiltrat, infiltrat saja
- Jumlah 1, dapat beberapa Beberapa atau 1 1 atau beberapa
dengan satelit
- Distribusi Asimetris Asimetris Variasi
- Permukaan Kering bersisik Kering bersisik Halus, agak berkilat
- Batas Jelas Jelas Dapat jelas atau tidak
jelas
- Anestesia Jelas Jelas Tidak ada sampai
tidak jelas
BTA
- Lesi kulit Hampir selalu negatif Negatif atau 1+ Biasanya negatif
Tes lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah Dapat positif lemah
atau negatif

Mengenai saraf perifer, yang perlu diperhatikan ialah pembesarannya,


konsistensinya, dan nyeri atau tidak.1 Hanya beberapa saraf superfisial yang dapat dan
perlu diperiksa, yaitu N. fasialis, N. auricularis magnus, N. radialis, N. ulnaris, N.
medianus, N. poplitea lateralis dan N. tibialis posterior.1,3,8
Deformitas pada kusta, sesuai dengan patofisiologinya, dibagi dalam deformitas
primer dan sekunder. Yang primer sebagai akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk
sebagai reaksi terhadap M. leprae, yang mendesak dan merusak jaringan di sekitarnya,
yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari dan muka. Yang sekunder
sebagai akibat kerusakan saraf. Umumnya deformitas oleh karena keduanya, tetapi
terutama oleh yang sekunder.1
Gejala-gejala kerusakan saraf :1,2,3,4,8
1. N. fasialis :
a. Cabang temporal dan zigomatik meyebabkan lagoftalmus
b. Cabang bukal, mandibular dan servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah
dan kegagalan mengatupkan bibir

[6]
2. N. ulnaris :
a. Anesthesia pada ujung jari bagian anterior kelingking dan jari manis
b. Clawing kelingking dan jari manis
c. Atrofi hipothenar dan otot interosseus serta kedua otot lumbrikalis medialis
3. N. medianus :
a. Anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk dan jari tengah
b. Tidak mampu aduksi ibu jari
c. Clawing pada ibu jari, telunjuk, dan jari tengah
d. Ibu jari kontraktur
e. Atropi otot thenar dan kedua otot lumbrikalis lateral
4. N. radialis :
a. Anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk
b. Tangan gantung (wrist drop)
c. Tak mampu extensi jari-jari atau pergelangan tangan
5. N. poplitea lateralis :
a. Kaki gantung (foot drop)
b. Anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis
c. Kelemahan otot peroneus
6. N. tibialis posterior :
a. Anestesia telapak kaki
b. Claw toes
c. Paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis
7. N. trigeminus :
a. Anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata
b. Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral

Kerusakan mata pada kusta juga dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan
alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya.
Sekunder disebabkan oleh rusaknya N. fasialis yang dapat membuat paralysis N.
orbicularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang
selanjutnya menyebabkan kerusakan bagian-bagian mata lainnya. Secara sendiri-sendiri
atau bergabung akhirnya dapat menyebabkan kebutaan.

[7]
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Bakterioskopik
Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan
diagnosa dan pengamatan pengobatan. Sediaaan dibuat dari kerokan kulit atau mukosa
hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam, antara lain
dengan ZIEHL NEELSEN. Bakterioskopik negatif pada seorang penderita, bukan
berarti orang tersebut tidak mengandung M. leprae.1
Pertama-tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh
kuman, setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tempat yang akan diambil. Untuk
riset diperiksa 10 tempat dan untuk rutin minimal 4-6 tempat, yaitu kedua cuping
telinga bagian bawah tanpa melihat ada tidaknya lesi di tempat tersebut, dan 2-4
tempat lain yang paling aktif, yang paling eritomatosa dan paling infiltratif. 1,8
M. leprae tergolong basil tahan asam (BTA), akan tampak merah pada sediaan.
Dibedakan bentuk batang utuh (solid), batang terputus (fragmented), dan butiran
(granular). Bentuk solid adalah basil hidup, sedang fragmented dan granular bentuk
mati. Secara teori penting untuk membedakan antara bentuk solid dan non solid, sebab
bentuk solid atau hidup lebih berbahaya karena dapat berkembang biak dan dapat
menularkan ke orang lain.1
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan
dinyatakan dengan Indeks Bakteri (IB) dengan nilai dari 0 sampai 6+ menurut Ridley.1
a. 0 Bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).
b. 1+ Bila 1-10 BTA dalam 100 LP
c. 2+ Bila 1-10 BTA dalam 10 LP
d. 3+ Bila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP
e. 4+ Bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP
f. 5+ Bila 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
g. 6+ Bila > 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP

Indeks Morfologi (IM) adalah presentase bentuk solid dibandingkan dengan


jumlah solid dan nonsolid. Rumus :


× 100% = ⋯ %
ℎ +

[8]
Syarat penghitungan :
a. Jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA
b. IB 1+ tidak perlu dibuat IM-nya karena untuk mendapat 100 BTA harus mencari
dalam 1000 sampai 10000 lapangan
c. Mulai dari IB 3+ harus dihitung IM-nya, sebab dengan IB 3+ maksimum harus
dicari dalam 100 lapangan

2. Pemeriksaan histopatologik
Gambaran histopatologik Tipe Tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan
saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Pada Tipe
Lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear zone), yaitu
suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Didapati
sel virchow dengan banyak basil. Pada tipe Borderline terdapat campuran unsur-unsur
tersebut.1

3. Pemeriksaan Serologik
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh
seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Kegunaan pemeriksaan serologik ini adalah
dapat membantu diagnosis kusta yang meragukan, karena tanda klinis dan
bakterioskopik yang tidak jelas. Di samping itu, dapat membantu menentukan kusta
subklinis, karena tidak didapati lesi kulit. Macam-macam pemeriksaannya adalah :1
a. Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination)
b. Uji ELISA (Enzymed Linked Immuno-Sorbent Assay)
c. ML dipstick test (Micobacterium leprae dipstick)
d. ML flow test (Micobacterium leprae flow test)

H. Reaksi Kusta
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang
sebenarnya sangat kronik. Adapun patofisioogi belum jelas terminologi dan klasifikasinya
masih bermacam-macam.1
Mengenai patofisiologinya yang belum jelas tersebut akan dijelaskan secara
imunologik. Reaksi imun dapat menguntungkan, tetapi dapat pula merugikan yang disebut
reaksi imun patologik, dan reaksi kusta ini tergolong didalamnya. Dalam klasifikasi yang

[9]
bermacam-macam itu, yang nampaknya paling banyak dianut pada akhir-akhir ini, yaitu
ENL (eritema nodusum leprosum) atau reaksi tipe 2 dan reaksi reversal atau reaksi tipe 1.1
Reaksi reversal hanya dapat terjadi pada tipe borderline (Li, BL, BB, BT, Ti)
sehingga dapat disebut reaksi borderline. Yang memegang peranan utama dalam hal ini
adalah sistem imunitas seluler (SIS), yaitu terjadi peningkatan mendadak SIS. Meskipun
faktor pencetusnya belum diketahui pasti, diperkirakan ada hubungannya dengan reaksi
hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi peradangan terjadi pada tempat-tempat kuman
M.leprae berada, yaitu pada saraf dan kulit, umumnya terjadi pada pengobatan 6 bulan
pertama. Neuritis akut dapat menyebabkan kerusakan saraf secara mendadak, oleh karena
itu memerlukan pengobatan segera yang memadai. Pada reaksi reversal, dapat terjadi
perpindahan tipe ke arah TT dengan disertai peningkatan SIS yang terjadi secara
mendadak dan cepat. 1
Gejala klinis reaksi reversal ialah umunya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada
bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat. Artinya lesi
hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi makin eritematosa, lesi makula
menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin infiltratif dan lesi lama menjadi bertambah luas. Tidak
perlu seluruh gejala harus ada, satu saja sudah cukup. Adanya gejala neuritis akut penting
diperhatikan, karena sangat menentukan pemberian pengobatan kortikosteroid, sebab
tanpa gejala neuritis akut pemberian kortikosteroid adalah fakultatif.1
Reaksi tipe 2 atau reaksi ENL (eritema nodusum leprosum) terjadi akibat reaksi
humoral berupa reaksi antigen (M.leprae) dan antibodi pasien yang akan mengaktifkan
sistem komplemen sehingga terbentuk kompleks imun. Kompleks imun tersebut akan
menimbulkan reaksi inflamasi dan akan terdegradasi dalam beberapa hari. Karena beredar
di dalam sirkulasi darah kompleks imun tersebut dapat mengendap ke berbagai organ,
terutama pada lokasi dimana M. leprae berada dalam konsentrasi tinggi, seperti pada kulit
(ENL), saraf (neuritis), limfonodus (limfadenitis), tulang (artritis), ginjal (nefritis), dan
testis (orkitis). Gejala klinis pada kulit berupa nodus, eritema, dan nyeri pada tempat
predileksi dilenga dan tungkai. Gejala ini umumnya menghilang dalam beberapa hari atau
lebih, dan mungkin diikuti dengan pembentukan nodus baru, sedangkan nodus lama
menjadi keunguan. Perjalanan reaksi dapat berlangsung selama 3 minggu atau lebih.
Jika diperhatian kembali reaksi ENL dan reversal secara klinis, ENL dengan lesi
eritema nodosum sedangkan reversal tanpa nodus, sehingga disebut reaksi lepra nodular,
sedangkan reaksi reversal adalah reaksi non-nodular. Hal ini penting membantu
menegakkan diagnosis reaksi atas dasar lesi, ada atau tidak adanya nodus. Kalau ada berarti
[10]
reaksi nodular atau ENL jika tidak ada berarti reaksi non-nodular atau reaksi reversal atau
reaksi borderline. 1
Tabel 4. Perbedaan reaksi tipe 1 dan tipe 2.3

I. Diagnosis Banding
Banyak penyakit kulit lain yang secara klinis menyerupai kelainan kulit pada
penyakit kusta. Bahkan ada istilah yang menyebutkan penyakit kusta sebagai peniru
terhebat (the great imitator) dalam penyakit kulit.1,2,3,8 Beberapa kelainan kulit yang mirip
dengan penyakit kusta antara lain :3,8
1. Bercak eritema, seperti psoriasis, tinea korporis, dan dermatitis seboroik
2. Bercak putih, seperti vitiligo, pitiriasis versikolor, dan pitiriasis alba
3. Nodul, seperti neurofibromatosis, sarkoma kaposi, dan veruka vulgaris

[11]
J. Pengobatan
Pada pengobatan kusta, dilakukan pengobatan kombinasi atau Multi Drug
Treatment (MDT), sebagai usaha untuk mencegah dan mengobati resistensi,
memperpendek masa pengobatan, dan mempercepat pemutusan mata rantai penularan.
Untuk menyusun kombinasi obat perlu diperhatikan, yaitu efek terapeutik obat, efek
samping obat, ketersediaan obat, harga obat, dan kemungkinan penerapannya.1
Regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan yang direkomendasikan
oleh WHO. Regimen tersebut adalah sebagai berikut :8
PB MB
(pengobatan selama 6-9 bulan) (pengobatan selama 12-18 bulan)
Dewasa  Rifampisin 600 mg setiap  Rifampisin 600 mg setiap
bulan, dalam pengawasan bulan, dalam pengawasan
 Dapson/DDS 100 mg setiap  Dapson/DDS 100 mg setiap
hari hari
 Klofazimin 300 mg setiap
bulan, dalam pengawasan dan
dilanjutkan 50 mg setiap hari
Anak-anak
- 10-15 tahun  Rifampisin 450 mg setiap  Rifampisin 450 mg setiap
bulan, dalam pengawasan bulan, dalam pengawasan
 Dapson/DDS 50 mg setiap  Dapson/DDS 50 mg setiap hari
hari  Klofazimin 150 mg setiap
bulan, dalam pengawasan dan
dilanjutkan 50 mg setiap 2 hari
- 5-9 tahun  Rifampisin 300 mg setiap  Rifampisin 300 mg setiap
bulan, dalam pengawasan bulan, dalam pengawasan
 Dapson/DDS 25 mg setiap  Dapson/DDS 50 mg setiap hari
hari  Klofazimin 100 mg setiap
bulan, dalam pengawasan dan
dilanjutkan 50 mg setiap 2 kali
seminggu

[12]
- < 5 tahun Berdasarkan berat badan Berdasarkan berat badan
 Rifampisin 10-15 mg/kgBB  Rifampisin 10-15 mg/kgBB
 Dapson/DDS 1-2 mg/kgBB  Dapson/DDS 1-2 mg/kgBB
 Klofazimin 1 mg/kgBB

Walaupun, pasien kusta jarang mengalami efek samping dari obat-obat kusta yang
diberikan, namun perlu diketahui efek samping berbagai obat kusta yang digunakan, agar
dapat memberikan penjelasan yang tepat kepada pasien dan bertindak secara tepat apabila
menghadapi keadaan tersebut.8

Tabel 5. Efek samping obat kusta.1


Nama Obat Efek samping
Hepatotoksik, nefrotoksik, gejala GI, flu-like syndrom, erupsi
Rifampisin
kulit
Nyeri kepala, erupsi obat, anemia hemolitik, leukopenia,
DDS (Diaminodifenil
insomnia, neuropati perifer, sindrom DDS, NET, hepatitis,
Sulfon)
hipoalbuminemia, methemoglobinemia
Warna kecoklatan pada kulit, kekuningan pada sklera,
Klofazimin
gangguan GI, penurunan berat badan
Gangguan GI, Gangguan SSP, insomnia, dizziness, nyeri
Ofloksasin kepala, nervousness dan halusinasi. Pada anak, remaja, wanita
hamil dan menyusui harus hati-hati
Pewarnaan gigi pada bayi dan anak-anak, hiperpigmentasi
Minosiklin kulit dan mukosa, gangguan GI dan SSP. Tidak dianjurkan
untuk anak-anak dan selama kehamilan
Klaritromisin Gangguan GI
Hiperglikemia, edema, myopathy, ulkus peptik, hipokalemi,
Prednison osteoporosis, euphoria, psikosis, myastenia gravis, gangguan
pertumbuhan, dan lain-lain
Pada wanita hamil efek teratogenik, leukopenia, hipotensi
Thalidomid
ortostatik, kejang, demam, drug eruption, dan lain-lain

[13]
K. Prognosis
Prognosis penyakit kusta bergantung pada tipe kusta yang diderita, akses ke
pelayanan kesehatan, dan penanganan awal yang diterima. Relaps pada penderita kusta
terjadi sebesar 0,01-0,14% per tahun dalam 10 tahun.7 Prognosis untuk vitam umumnya
bonam, namun dubia ad malam pada fungsi ekstremitas, karena dapat terjadi mutilasi,
demikian jugan untuk kejadian berulangnya.3 Perlu diperhatikan terjadinya resistensi
terhadap DDS atau rifampisin. Secara keseluruhan, prognosis kusta pada anak lebih baik
karena pada anak jarang terjadi reaksi kusta.7

[14]
BAB III
KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : An. Sp R
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 10 tahun
Agama : Kristen Protestan
Alamat : Polimak 1
Suku : Biak
Pekerjaan : Pelajar
Pendidikan : SD
No. DM : 29 78 43
Tanggal Pemeriksaan : 11 Januari 2016

B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Mati rasa pada telinga kanan sejak ± 2 bulan yang lalu

2. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Jayapura dengan keluhan mati
rasa pada telinga kanan sejak ± 2 bulan yang lalu. Awalnya telinga kanan pasien
berubah warna menjadi kemerahan dan mulai terasa tebal. Karena telinga pasien
terasa tebal, pasien mencoba mencubit telinganya sampai luka, namun tidak merasa
sakit sama sekali. Pasien mengaku bercak kemerahan dan rasa tebal hanya terjadi di
telinga kanan dan tidak ada di bagian tubuh yang lain. Bercak tidak gatal, demam (-).

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Sebelumnya pasien belum pernah mengalami sakit yang sama

4. Riwayat Alergi
Alergi makanan (-), alergi obat (-)

[15]
5. Riwayat Keluarga
Dalam keluarga ada keluarga pasien yang pernah mengalami sakit yang sama, yaitu
nenek dan saudara pasien. Saat ini kedua keluarga pasien sedang menjalani
pengobatan. Pasien sering bermain dengan saudara pasien.

6. Riwayat Pengobatan
Sebelumnya pasien belum pernah menjalani pengobatan.

C. Pemeriksaan Fisis
1. Status Generalis
a. Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
b. Kesadaran : Kompos Mentis
c. Tanda-Tanda Vital
 Tekanan Darah : 110/70 mmHg
 Nadi : 80/menit
 Respirasi : 24/menit
 Suhu Badan (Aksila) : 36,7°C
d. Kepala dan Leher
 Mata : Konjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/-
 Hidung : Deformitas (-), secret (-)
 Telinga : Deformitas (-), secret (-)
 Mulut : Deformitas (-), bibir sianosis (-), Oral kandidiasis -/-
 Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)
e. Toraks
Pulmo : Inspeksi : simetris, ikut gerak nafas
Palpasi : Vokal Fremitus Dextra = Sinistra
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Suara napas vesikuler, Rhonki -/-, Wheezing -/-
Jantung : Inspeksi : Iktus Kordis (-)
Palpasi : Thrill (-)
Perkusi : Pekak
Auskultasi : Bunyi Jantung I-II regular, murmur (-), gallop (-)

[16]
f. Abdomen
Inspkesi : Datar
Auskultasi : Bising Usus (+) normal
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), Hepar: tidak teraba, Lien: tidak teraba
Perkusi : Timpani
g. Ekstremitas : Deformitas (-), akral hangat, edema (-)
h. Genetalia : tidak dilakukan pemeriksaan

2. Status Dermatologis
a. Lokalis : Regio auricula dextra.
b. Effloresensi : Tampak makula eritema berbatas tegas, kering, terasa kasar,
distribusi regional dan tampak adanya sikatriks

D. Pemeriksaan Penunjang
1. Tes Sensibilitas
a. Tes rasa raba : Pada telinga kanan pasien, apabila disentuh dengan
menggunakan kapas yang diruncingkan, tidak terasa
b. Tes rasa nyeri : Pada telinga kanan pasien, apabila disentuh dengan ujung
ballpoint, tidak terasa
c. Tes suhu : Pemeriksaan ini tidak dilakukan.
[17]
2. Pemeriksaan Saraf Tepi
a. N. Auricularis magnus : Terjadi penebalan dibagian kanan, kiri tampak normal.
Nyeri -/-

3. Pemeriksaan Laboratorium
Dilakukan pemeriksaan BTA : hasil pada cuping kanan negatif dan pada cuping kiri
negatif

E. Diagnosa Banding
1. Dermatitis seboroik
2. Tinea korporis

F. Diagnosa Kerja
Morbus Hansen tipe Pausibasiler

G. Pengobatan
1. Medikamentosa (pengobatan dilakukan selama 6-9 bulan)
a. Pengobatan bulanan : hari pertama (obat diminum di depan petugas)
 2 kapsul rifampisin 150mg dan 300mg
 1 tablet dapson/DDS 50mg
b. Pengobatan harian : hari ke 2-28
 1 tablet dapson/DDS 50mg

2. Non-medikamentosa
a. Pasien dan keluarga pasien diberikan informasi mengenai kondisi pasien saat ini,
serta mengenai pengobatan dan pentingnya kepatuhan untuk eliminasi penyakit.
b. Higiene diri dan pola makan yang baik perlu dilakukan
c. Memakai pakaian, handuk, sprei dan bantal sendiri dan tidak bergantian atau
dipakai bersama-sama dengan anggota keluarga yang lain.
d. Bila ada keluhan apapun yang terjadi selama masa pengobatan diminta segera
memeriksakan diri ke puskesmas.

[18]
H. Prognosis
Qou ad vitam : bonam
Qou ad Fungsionam : dubia ad bonam
Quo ad Sanationam : dubia ad bonam

[19]
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada kasus ini, diagnosis Morbus Hansen (MH) tipe Pausi Basiler (PB) ditegakkan
berdasarkan anamnesa, gejala klinis, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang yang
dilakukan.1,2,3,4,8
Dari anamnesa dan pemeriksaan fisik didapatkan regio auricula dextra yang diakui
pasien terasa tebal atau mati rasa dan terdapat penebalan nervus auricularis magnus dextra pada
pemeriksaan saraf tepi. Dengan melihat tanda-tanda tersebut maka diagnosis MH dapat
ditegakkan. Hal ini sesuai dengan teori bahwa apabila terdapat salah satu dari 3 tanda cardinal
atau utama, maka diagnosis MH dapat ditegakkan, yaitu adanya lesi yang mati rasa, penebalan
saraf tepi yang disertai gangguan fungsi saraf, dan adanya basil tahan asam (BTA) dalam
kerokan jaringan kulit.3
Dari anamnesa dan pemeriksaan fisik juga didapatkan makula eritema di regio auricula
dextra yang diakui pasien terasa tebal atau mati rasa, terasa kering dan kasar. Bercak yang
timbul pada pasien adalah 1 dan tidak gatal. Hal ini sesuai dengan teori bahwa lesi pada MH
tipe PB berjumlah 1 atau beberapa (kurang dari 5) dengan distribusi yang asimetris. Lesi dapat
eritema atau hipopigmentasi dan biasanya kering dan bersisik. Lesi biasanya bersifat anastesi
atau hipoanastesi.1,2,3,4 Bercak yang tidak gatal merupakan salah satu tanda klinis yang dapat
ditemukan pada pasien MH.8 Selain itu dari anamnesa juga didapatkan anggota keluarga pasien
(nenek dan saudara pasien) menderita sakit yang sama. Pasien juga sering bermain dengan
saudara pasien. Menurut teori, hal ini merupakan faktor resiko yang dapat menyebabkan
seseorang terkena MH.3 Walaupun cara penularan MH belum diketahui secara pasti, namun
terdapat anggapan bahwa MH dapat menular melalui kontak langsung antar kulit yang lama
dan erat,1,4 serta dapat juga melalui inhalasi.1 Dilaporkan 80% kasus MH yang terjadi, terdapat
riwayat kontak yang lama dan erat dengan anggota keluarga yang sedang menderita MH.4
Pada pemeriksaan sensitibilitas, pasien mengalami penurunan rasa atau tidak dapat
merasakan sentuhan pada bercak saat disentuh dengan kapas maupun ujung ballpoint. Hal ini
sesuai dengan teori bahwa gejala klinis pada penderita MH adalah kerusakan saraf tepi yang
bersifat sensorik yaitu anastesi atau hipoanastesi pada daerah yang terserang.1,2,4 Pada MH tipe
PB kelainan sarafnya lebih terlokalisasi mengikuti tempat lesinya.1 Pada pemeriksaan saraf tepi
tampak penebalan nervus auricularis magnus dextra. Hal ini sesuai dengan teori bahwa pada
MH dapat ditemukan adanya penebalan saraf.1,2,3,4 Pada MH tipe PB ditemukan hanya 1 saraf
yang mengalami penebalan,3 dan biasanya terjadi pada saraf yang terdekat dengan lesi.4
[20]
Dari pemeriksaan laboratorium, didapatkan hasil BTA pada regio auricularis dextra dan
sinistra adalah negatif. Hal ini sesuai dengan teori bahwa pada pemeriksaan bakterioskopik
MH tipe PB didapatkan hasil BTA negatif.1,2,3,4
Adapun diagnosis banding pada kasus ini adalah dermatitis seboroik dan tinea korporis.
Hal ini sesuai dengan teori, bahwa penentuan diagnosis banding dapat di tentukan berdasarkan
lesinya (bercak eritema), yaitu dermatitis seboroik dan tinea korporis. 3,8 Pada dermatitis
seboroik, dapat terjadi pada daerah telinga, yang terdiri atas eritema dan skuama.1 Namun, pada
dermatitis seboroik, terdapat batas yang kurang tegas, terasa gatal, dan tidak ada mati rasa.1,8
Pada tinea korporis, tampak lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas terdiri atas eritema, skuama,
kadang-kadang dengan vesikel dan papul ditepi. Tinea korporis lebih sering dilihat pada anak-
anak daripada orang dewasa. Pada tinea korporis, tidak didapatkan adanya mati rasa.1
Pengobatan yang diberikan pada pasien adalah pengobatan dengan Multi Drug
Treatment (MDT), yaitu rifampisin dan dapson/DDS selama 6-9 bulan. Hal ini sesuai dengan
teori, bahwa pengobatan pada MH tipe PB harus diobati berdasarkan Multi Drug Treatment
(MDT). Pengobatan bulanan yaitu hari pertama setiap bulannya terdiri dari 2 kapsul rifampisin
150mg dan 350mg, dan satu tablet dapson/DDS 50mg. Pengobatan harian, yaitu hari ke 2-28
diberikan 1 tablet dapson/DDS 50 mg. 1 blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 6 blister yang
diminum selama 6-9 bulan.3,8,9 Pemberian rifampisin yang bersifat bakterisidal,2,8 bertujuan
untuk membunuh kuman kusta 99% dalam sekali pemberian dan diminum setengah jam
sebelum makan agar penyerapan lebih baik.8 Diberikan dapson/DDS yang bersifat
bakteriostatik,2,8 sehingga dapat menghambat pertumbuhan kuman kusta.8
Selain pengobatan medikamentosa, pengobatan non-medikamentosa juga dilakukan
pada pasien agar pengobatan dapat berjalan dengan baik. Pemberian penjelasan mengenai
kondisi pasien, mengenai pengobatan (seperti lama pengobatan dan cara minum obat), serta
pentingnya kepatuhan untuk eliminasi penyakit. Hal ini sesuai dengan teori bahwa pada
penyakit kusta, apabila pengobatan tidak tuntas dapat terjadi kecacatan yang menetap maupun
timbul reaksi kusta.2 Pasien juga diberitahukan mengenai higine diri, seperti memakai pakaian,
handuk, sprei dan bantal sendiri dan tidak bergantian atau dipakai bersama-sama dengan
anggota keluarga yang lain. Hal ini sesuai dengan teori, bahwa faktor resiko penyebaran
penyakit kusta adalah kontak yang lama dan erat dengan penderita.1,4
Prognosis pada kasus ini umumnya dapat membaik. Hal ini sesuai dengan teori, bahwa
penyakit MH tipe PB umumnya dapat membaik apabila penderita minum obat dengan teratur.
Quo at Vitam : Bonam, penyakit ini tidak mengancam hidup jika diobati dan pengobatannya
teratur. Quo Fuctionam : Dubia ad bonam, penyakit ini dapat mengganggu fungsi kulit seperti
[21]
fungsi sensoris. Quo Sanationam : Dubia ad bonam, penyakit ini dapat sembuh sempurna bila
diobati segera dan teratur, tetapi bisa dapat timbul reaksi berulang apabila tidak diobati dengan
teratur.3,7

[22]
DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi 6, Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2013. 73-88p.
2. Wolff K, Goldsmith L, Katz S, et al. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine.
Edisi 7. United State: The McGraw-Hill Companies; 2008. 1786-1796p.
3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan menteri kesehatan republik
indonesia nomor 5 tahun 2014 tentang panduan praktik klinis bagi dokter di fasilitas
pelayanan kesehatan primer. Jakarta: Kementerian kesehatan republik Indonesia;
2014. 35-45p.
4. James W, Berger T, Elston D. Andrews’ disease of the skin. Edisi 12. Philadelphia:
Elsevier; 2011. 331-342p.
5. Hall B, Hall J. Sauer’s manual of skin disease. Edisi 10. Philadelphia: Wolters Kluwer;
2010. 216-217p.
6. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Infodatin. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia; 2015. 1-7p.
7. Lewis F. Dermatologic manifestations of leprosy. 2014. Diperoleh dari
http://emedicine.medscape.com/article/1104977-overview#a4. (diakses pada tanggal
17 Januari 2016)
8. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Program nasional pengendalian penyakit
kusta. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2012. 67-87p.
9. Kar HK, Gupta R. Treatment of leprosy. Clinics in dermatology. 2015; 33: 55-65

[23]
PATOGENESIS REAKSI KUSTA TIPE 1 (REAKSI REVERSAL)

REAKSI REVERSAL

Sistem Imunitas Seluler


(SIS) Antigen (M.leprae) Sel schwan

Terbentuk interaksi
Mengaktivasi sel T
Antigen + sel T

Makrofrag akan
mengeluarkan enzim
Sel T akan mengeluarkan
Mengaktivasi makrofag lisosom dan produk
IFN- dan IL-12
makrofag lainnya (peroksid
radikal & superoksid)

Makrofag berubah menjadi


Makrofag memfagosit Akan bersatu menjadi
sel epiteloid yang tidak
M.leprae massa epiteloid/granuloma
bergerak aktif

Merusak & mendesak


Lesi akan menjadi lebih
jaringan normal tempat
aktif atau timbul lesi yang
M.leprae berada (saraf
baru
&kulit)

• Lesi hipopigmentasi → eritema


• Lesi eritema → makin eritematosa
• Lesi makula → infiltrat
• Lesi infiltrat → makin infiltratif
• Lesi lama → bertambah luas
• Neuritis

Anda mungkin juga menyukai