Anda di halaman 1dari 38

CASE BASED DISCUSSION

MORBUS HANSEN TIPE MB + REAKSI TIPE I


Diajukan untuk memenuhi sebagian tugas kepaniteraan klinik dan melengkapi
salah satu syarat menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter di Bagian Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin RS Islam Jemursari Surabaya

Oleh :
Dana Madya Puspita, S. Ked
6120018002

Pembimbing :
dr. Winawati Eka Putri, Sp. KK

Departemen / SMF Dermatologi dan Venereologi


Fakultas Kedokteran
Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya
2019
Daftar Isi
Cover........................................................................................................................1
Daftar Isi..................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................4
I. Morbus Hansen.................................................................................................4
A. Definisi.........................................................................................................4
B. Epidemiologi................................................................................................4
C. Etiologi.........................................................................................................4
D. Patofisiologi.................................................................................................5
E. Klasifikasi.....................................................................................................6
F. Dasar Diagnosis ...........................................................................................9
G. Diagnosis Banding.....................................................................................18
H. Penatalaksanaan.........................................................................................18
I. Prognosis.....................................................................................................21
BAB III LAPORAN KASUS................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................33

2
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit Kusta atau dikenal juga dengan nama Lepra dan Morbus Hansen
merupakan penyakit granulomatosa kronik yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium leprae. M. leprae ditemukan oleh G.A. Hansen pada tahun 1874
di Norwegia, bakteri ini berukuran 3-8 µm x 0,2-0,5 µm, bersifat tahan asam,
berbentuk batang, tidak bergerak dan berspora, serta merupakan bakteri Gram
positif. M. leprae dapat menyerang saraf perifer, kulit, mukosa saluran napas
bagian atas, serta jaringan tubuh lainnya, kecuali sistem saraf pusat. Cara
penularannya belum diketahui dengan pasti, tetapi hanya berdasarkan anggapan
klasik, yaitu melalui kontak langsung antarkulit yang lama dan erat serta secara
inhalasi droplet. Kusta dahulu dikenal dengan penyakit yang tidak dapat sembuh
dan diobati, namun sejak tahun 1980 dimana program Multi Drug Treatment
(MDT) mulai diperkenalkan, kusta dapat didiagnosis dan diterapi.

Pada penderita Morbus Hansen atau kusta kemungkinan bisa terjadi reaksi
kusta. Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit
yang sebenarnya sangat kronik. Penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi
kekebalan (cellular response) atau reaksi antigen antibodi (humoral response).
Reaksi ini dapat terjadi sebelum pengobatan, tetapi terutama terjadi selama atau
setelah pengobatan. Dari segi imunologis terdapat perbedaan prinsip antara reaksi
tipe 1 dan tipe 2, yaitu pada reaksi tipe 1 yang memegang peranan adalah imunitas
seluler (SIS), sedangkan pada reaksi tipe 2 yang memegang peranan adalah
imunitas humoral.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. MORBUS HANSEN

A. DEFINISI
Kusta atau Morbus Hansen merupakan penyakit infeksi yang kronik,
dan penyebabnya ialah Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular
obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus
respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf
pusat.1

B. EPIDEMIOLOGI
Masalah epidemiologi masih belum terpecahkan, cara penularannya
belum diketahui pasti ada yang beranggapan klasik yaitu melalui kontak
langsung antar kulit yang lama dan erat. Anggapan lainnya ialah secara
inhalasi, sebab M. leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet.1

Masa inkubasinya sangat bervariasi antara 40 hari sampai 40 tahun,


umumnya beberapa tahun, rata-rata 3-5 tahun. Kelompok umur terbanyak
yang menderita penyakit ini adalah usia 25-35 tahun. Frekuensi pada jenis
kelamin pria atau pun wanita adalah sama.2

C. ETIOLOGI
Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh
G.A. Hansen pada tahun 1874 di Norwegia. Kuman ini bersifat obligat
intrasel, aerob, tidak dapat dibiakkan secara in vitro, berbentuk basil Gram
positif dengan ukuran 3 -8μm x 0,5μm, bersifat tahan asam dan alkohol.
Kuman ini mempunyai afinitas terhadap makrofag dan sel Schwann, replikasi
yang lambat di sel Schwann menstimulasi respon cell-mediated immune, yang
menyebabkan reaksi inflamasi kronik.3

D. PATOFISIOLOGI

4
Sebenarnya M. leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang
rendah, sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu
memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya.
Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit, tidak lain
disebabkan oleh respon imun yang berbeda sehingga memicu timbulnya
reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau
progresif. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut penyakit imunologi.
Sarana utama penularan adalah dengan penyebaran aerosol dari sekret hidung
yang terinfeksi pada mukosa hidung dan mulut terbuka. Kusta tidak
umumnya menyebar melalui kontak langsung melalui kulit utuh, meskipun
kontak dekat adalah yang paling rentan.
Masa inkubasi kusta adalah 6 bulan sampai 40 tahun atau lebih. Masa
inkubasi rata-rata adalah 4 tahun untuk kusta tuberkuloid dan 10 tahun untuk
kusta lepromatosa. Daerah yang paling sering terkena kusta adalah saraf
perifer dangkal, kulit, selaput lendir saluran pernapasan bagian atas, ruang
anterior dari mata, dan testis.

M. leprae adalah bakteri intraseluler obligat, asam-cepat, gram positif


basil dengan afinitas untuk makrofag dan sel Schwann. Untuk sel Schwann
pada khususnya, mengikat mikobakteri ke domain G dari rantai alpha
laminin-2 (hanya ditemukan di saraf perifer) dalam lamina basal. Replikasi
lambat mereka dalam sel Schwann akhirnya merangsang respon kekebalan
yang dimediasi sel, yang menciptakan reaksi peradangan kronis. Akibatnya,
pembengkakan terjadi di perineurium, menyebabkan iskemia, fibrosis, dan
kematian aksonal.

Urutan genom M leprae hanya selesai dalam beberapa tahun terakhir.


Satu penemuan penting adalah bahwa meskipun itu tergantung pada host
untuk metabolisme, mikroorganisme mempertahankan gen untuk
pembentukan dinding sel mikobakteri. Komponen dinding sel merangsang
antibodi immunoglobulin M dan tuan diperantarai sel respon imun, sementara
juga moderator kemampuan bakterisidal makrofag.

5
Kekuatan dari sistem kekebalan inang mempengaruhi bentuk klinis
dari penyakit ini. Aktivasi makrofag dan sel dendritik, baik antigen-penyajian
sel, terlibat dalam respon kekebalan host terhadap M leprae. IL-1beta
diproduksi oleh antigen- penyajian sel yang terinfeksi oleh mycobacteria telah
ditunjukkan untuk merusak pematangan dan fungsi sel dendritik.

Bila basil M. leprae masuk kedalam tubuh seseorang, dapat timbul


gejala klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis
bergantung pada system imunitas seluler (SIS) penderita. SIS yang baik akan
tampak gambaran klinis kearah tuberkuloid, sebaliknya SIS yang rendah
memberikan gambaran lepromatosa.1

Gambar 1 : patofisiologi dari M.leprae

E. KLASIFIKASI
Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spektrum determinate
pada penyakit lepra yang terdiri berbagai tipe, yaitu :
TT : tuberkuloid polar, bentuk yang stabil
Ti : tuberkuloid indefinite
BT : borderline tuberculoid
BB : Mid borderline
Bl : borderline lepromatous
Li : lepromatosa indefinite
LL : Lepromatosa polar, bentuk yang stabi

6
TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, tipe yang
stabil. Jadi tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe
lepromatosa polar, yakni lepromatosa 100%. Sedangkan tipe antara Ti dan Li
disebut tipe borderline atau campuran, berarti campuran antara tuberkuloid
dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran 50% tuberkuloid dan 50%
lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya, sedangkan BL dan Li
lebih banyak lepromatosanya. Tipe- tipe campuran ini adalah tipe yang labil,
berarti dapat beralih tipe, baik ke arah TT maupun ke arah LL.

Menurut WHO (1981), lepra dibagi 2 menjadi multibasilar (MB) dan


pausibasilar (PB). Yang dimaksud dengan kusta PB adalah kusta dengan
BTA negatif pada pemeriksaan kulit, yaitu tipe TT,BT, dan I, sedangkan
kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB,BL,LL atau apapun
klasifikasi klinisnya dengan BTA positif ,harus diobati dengan rejimen MDT-
MB. 1

Table 1. Diagnosis Klinis Menurut WHO ( 1995 )


PB MB
1. Lesi kulit - 1-5 lesi - > 5 lesi
(makula datar, papul - Hipopigmentasi/erite - Distribusi
yang meninggi, nodus) ma lebih simetris
- Hilangnya sensasi
- Distribusi tidak
simetris kurang
jelas
- Hilangnya sensasi
jelas
2. Kerusakan saraf - Hanya satu cabang saraf - Banyak
(menyebabkan cabang saraf
hilangnya
sensasi/kelemahan otot
yang dipersarafi oleh
saraf yang terkena)

7
Table 2. Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta MultiBasilar (MB) 1

Sifat Lepromatosa (LL) Borderline Mid Borderline


Lepromatosa (BL) (BB)
Lesi
Bentuk Makula Makula Plakat
Infiltrat Plakat Dome-shape
difus Papul Papul (kubah)
Nodus Punched-out
Jumlah Tidak terhitung, praktis Sukar dihitung, Dapat dihitung,
tidak ada kulit sehat masih ada kulit sehat kulit
sehat jelas ada
Distribusi Simetris Hampir simetris Asimetris
Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak kasar, agak
berkilat
Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas
Anestesia Biasanya tidak jelas Tak jelas Lebih jelas
BTA
Lesi kulit Banyak (ada globus) Banyak Agak banyak
Sekret Banyak (ada globus) Biasanya negatif Negatif
hidung
Tes Lepromin Negatif Negatif Negatif

Table 3. Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta PausiBasilar (PB) 1


Karakteristik Tuberkuloid Borderline Indeterminate
(TT) Tuberculoid (BT) (I)
Lesi
Tipe Makula ; makula Makula dibatasi Hanya Infiltrat
dibatasi infiltrat infiltrat saja;
infiltrat
saja
Jumlah Satu atau dapat Beberapa atau satu Satu atau
beberapa dengan lesi satelit beberapa
Distribusi Terlokalisasi & Asimetris Bervariasi
asimetris
Permukaan Kering, skuama Kering, skuama Dapat halus agak
berkilat
Batas Jelas Jelas Dapat jelas atau
dapat
tidak jelas
Anestesia Jelas Jelas Tak ada sampai
tidak
Jelas

BTA
lesi kulit Hampir selalu Negatif atau hanya 1+ Biasanya negatif

8
Negative
Tes lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah Dapat positif
lemah atau
negatif

F. DASAR DIAGNOSIS
Gejala klinis
Masa inkubasinya 2 – 40 tahun (rata-rata 5 – 7 tahun). Onset
terjadinya perlahan- lahan dan tidak ada rasa nyeri. Pertama kali mengenai
system saraf perifer dengan parestesi dan baal yang persisten atau rekuren
tanpa terlihat adanya gejala klinis. Pada stadium ini mungkin terdapat erupsi
kulit berupa macula dan bula yang bersifat sementara. Keterlibatan sistem
saraf menyebabkan kelemahan otot, atrofi otot, nyeri neuritik yang berat, dan
kontraktur tangan dan kaki.
Gejala prodromal yang dapat timbul kadang tidak dikenali sampai lesi
erupsi ke kutan terjadi. 90% psien biasanya mengalami keluhan pada pertama
kalinya adalah rasa baal, hilangnya sensori suhu sehingga tidak dapat
membedakan panas dengan dingin.
Selanjutnya, sensasi raba dan nyeri, terutama dialami pada tangan dan
kaki, sehingga dapat terjadi kompliksi ulkus atau terbakar pada
ekstremitasyang baal tersebut. Bagian tubuh lain yang dapat terkena kusta
adalah daerah yang dingin, yaitu daerah mata, testis, dagu, cuoing hidung,
daun telinga, dan lutut.
Perubahan saraf tepi yang terjadi dapat berupa
o pembesaran saraf tepi yang asimetris pada daun telinga, ulnar,
tibia posterior, radial kutaneus,
o Kerusakan sensorik pada lesi kulit
o Kelumpuhan nervus trunkus tanpa tanda inflamasi berupa
neuropati, kerusakan sensorik dan motorik, serta kontraktur
o Kerusakan sensorik dengan pola Stocking-glove
o Acral distal symmethric anesthesia (hilangnya sensasi panas dan
dingin, serta nyeri dan raba)
Pemeriksaan Fisik

9
1. Tuberculoid Leprosy (TT, BT)
Pada TT, imunitas masih baik, dapat sembuh spontan dan masih
mampu melokalisir sehingga didapatkan gambran batas yang tegas.
Mengenai kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat
berupa macula atau plak, dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi
yang regresi atau central clearing. Permukaan lesi dapat bersisik, dengan
tepi yang meninggi. Dapat disertai penebalan saraf tepi yang biasanya
teraba. Kuman BTA negatif merupakan tanda terdapatnya respon imun
yang adekuat terhadap kuman kusta. Pada BT, tidak dapat sembuh
spontan, Lesi menyerupai tipe TT namun dapat disertai lesi satelit di
tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran
hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas TT. Gangguan
saraf tidak berat dan asimetris.

A B C

Gambar 2. A. Lesi Tuberculoid leprosy, soliter, anesthetic, annular


B. Lesi Kulit pada Tuberculoid Leprosy
C. Borderline Tuberculoid Leprosy, gambaran anular inkomplit papul satelit

2. Borderline Leprosy
Pada tipe BB borderline, meruapakan tipe yang paling tidak stabil,
disebut juga bentuk dimorfik. Lesi kulit berbentuk antara tuberculoid dan
lepromatous. Terdiri dari makula infiltrat, mengkilap, batas lesi kurang
tegas, jumlah banyak melebihi tipe BT dan cenderung simetris. Lesi
bervariasi, dapat perbentuk punch out yang khas. Pada tipe ini terjadi
anestesia dan berkurangnya keringat.

10
Gambar 3. Lesi Kulit pada Borderline BB Leprosy

3. Lepromatous Leprosy

Tipe BL, secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit
dengancepat menyebar ke seluruh badan. Makula lebih bervariasi
bentuknya. Distribusi lesi hampir simetris. Lesi innfiltrat, dan plak seperti
punched out. Tanda- tanda kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi,
hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan hilangnya rambut lebih cepat
muncul. Penebalan saraf tepi teraba pada tempat predileksi.
Tipe LL, jumlah lesi sangat banyak, nodul mencapai ukuran 2 cm,
simetris, permukaan halus, lebih eritematous, berkilap, berbatas tidak tegas
dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis. Ditemukan
juga lesi Dematofibroma-like multipel, batas tegas, nodul, eritem.
Distribusi lesi khas pada wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping
telinga. Pada stadium lanjut tampak penebalan kulit yang progresif
membentuk facies leonine. Kerusakan saraf menyebabkan gejala stocking
and glove anesthesia.

Gambar 4. Lesi Kulit pada Lepromatous Leprosy

Deformitas pada kusta


Deformitas dapat dibagi dalam deformitas primer dan sekunder.
Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk

11
sebagai reaksi terhadap M. Leprae, yang mendesak dan merusak jaringan di
sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari,
dan wajah. Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat perubahan saraf,
umumnya deformitas terjadi diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena
kerusakan saraf.
Gejala-gejala kerusakan pada saraf :
a. N. ulnaris
 Anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis
 Clawing kelingking dan jari manis
 Atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis
medial
b. N. medianus
 Anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan
jari tengah
 Tidak mampu aduksi ibu jari
 Clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah
 Ibu jari kontraktur
 Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral
c. N. radialis
 Anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk
 Tangan gantung (wrist drop)
 Tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan
d. N. poplitea lateralis
 Anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis
 Kaki gantung (foot drop)
 Kelemahan otot peroneus
e. N. tibialis posterior
 Anestesia telapak kaki
 Claw toes
 Paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis
f. N. fasialis
 Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus

12
 Cabang bukal, mandibular, dan servikal menyebabkan kehilangan
ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir
g. N. trigeminus
 Anestesia kulit wajah, kornea, dan konjungtiva mata
Kerusakan mata pada kusta juga dapat terjadi secara primer dan
sekunder. Primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga
dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya
N. Fasialis yang dapat membuat paralisis N. Orbicularis palpebrarum
sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya
menyebabkan kerusakan bagian-bagian mata lainnya. Secara sendiri-sendiri
atau bergabung akhirnya dapat menyebabkan kebutaan.

Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar


keringat, kelenjar palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering
dan alopesia. Pada tipe lepromatosa dapat timbul ginekomastia akibat
gangguan keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada
tubulus semineferus testis.

Pemeriksaan Saraf Tepi


a. N. auricularis magnus
Pasien menoleh ke kanan/kiri semaksimal mungkin, maka saraf yang
terlibat akan terdorong oleh otot-otot di bawahnya sehingga dapat terlihat
pembesaran saraf. Dua jari pemeriksa diletakkan di atas persilangan
jalannya saraf dengan arah otot. Bila ada penebalan, maka akan teraba
jaringan seperti kabel atau kawat. Bandingkan kanan dan kiri dalam hal
besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri atau tidaknya.
b. N. ulnaris
Tangan yang diperiksa rileks, sedikit fleksi dan diletakkan di atas satu
tangan pemeriksa. Tangan pemeriksa meraba sulcus nervi ulnaris dan
merasakan adanya penebalan atau tidak Bandingkan kanan dan kiri dalam
hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri atau tidaknya.
c. N. peroneus lateralis
Pasien duduk dengan kedua kaki menggantung, diraba di sebelah lateral
dari capitulum fibulae, dan merasakan ada penebalana atau tidak.

13
Bandingkan kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri
atau tidaknya.
d. N. tibialis posterior
Meraba maleolus medialis kaki kanan dan kiri dengan kedua tangan,
meraba bagian posterior dan mengurutkan ke bawah ke arah tumit.
Bandingkan kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri
atau tidaknya.

Pemeriksaan Fungsi Saraf


a. Tes sensorik : Gunakan kapas, jarum, serta tabung reaksi berisi air hangat
dan dingin.
- Rasa raba : Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya, disinggungkan
ke kulit pasien. Kapas disinggungkan ke kulit yang lesi dan yang sehat,
kemudian pasien disuruh menunjuk kulit yang disinggung dengan mata
terbuka. Jika hal ini telah dimengerti, tes kembali dilakukan dengan
mata pasien tertutup.
- Rasa tajam : Menggunakan jarum yang disentuhkan ke kulit pasien.
Setelah disentuhkan bagian tajamnya, lalu disentuhkan bagian
tumpulnya, kemudia pasien diminta menentukan tajam atau tumpul. Tes
dilakukan seperti pemeriksaan rasa raba.
- Suhu : Menggunakan dua buah tabung reaksi yang berisi air panas dan
air dingin. Tabung reaksi disentuhkan ke kulit yang lesi dan sehat
secara acak, dan pasien diminta menentukan panas atau dingin.
b. Tes Otonom
Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi pada
penyakit kusta, pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes
anhidrosis, yaitu :
- Tes keringat dengan tinta (tes Gunawan)
- Tes Pilokarpin
- Tes Motoris (voluntary muscle test) pada n. ulnaris, n. medianus, n.
radialis, dan n. peroneus
Pemeriksaan Penunjang

14
1. Pemeriksaaan bakterioskopik
Digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan obat.
Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung
yang diwarnai dengan pewarnaan Ziehl Neelson. Bakterioskopik negatif
pada seorang penderita, bukan berarti orang tersebut tidak mengandung
basil M.Leprae. Pertama – tama harus ditentukan lesi di kulit yang
diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan
jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan
untuk rutin sebaiknya minimal 4 – 6 tempat yaitu kedua cuping telinga
bagian bawah dan 2 -4 lesi lain yang paling aktif berarti yang paling
eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa
menghiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut karena pada cuping
telinga biasanya didapati banyak M. leprae. Kepadatan BTA tanpa
membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan
indeks bakteri (I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley.
- 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).
- 1 + Bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP
- 2+ Bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP
- 3+ Bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP
- 4+ Bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP
- 5+ Bila 101 – 1000BTA rata – rata dalam 1 LP
- 6+ Bila> 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP
Indeks morfologi (IM) adalah persentase bentuk solid dibandingkan
dengan jumlah solid dan non solid. IM= Jumlah solidx 100 %/ Jumlah
solid + Non solid. Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman
tiap lesi 100 BTA, I.B 1+ tidak perlu dibuat IM karedna untuk
mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam 1.000 sampai 10.000
lapangan, mulai I.B 3+ maksimum harus dicari 100 lapangan.

2. Pemeriksaan histopatologi
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada
yang mempunyai nama khusus, dan yang dari kulit disebut histiosit.
Apabila SIS nya tinggu, makrofag akan mampu memfagosit M.Leprae.

15
Datangnya histiosit ke tempat kuman disebabkan karena proses
imunologik dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan
dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan berubah bentuk
menjadi sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan dapat
berubah menjadi sel datia Langhans.
Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang
disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan
cacat. Pada penderita dengan SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat
menghancurkan M. Leprae yang sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan
tempat berkembang biak dan disebut sebagai sel Virchow atau sel lepra
atau sel busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.
Gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan kerusakan
saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid.
Tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear
zone ) yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya
tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow dengan banyak basil. Pada tipe
borderline terdapat campuran unsur – unsur tersebut.

3. Pemeriksaan serologi
Kegunaan pemeriksaan serologik ialah dapat membantu diagnosis kusta
yang meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas.
Pemeriksaan serologik adalah MLPA (Mycobacterium Leprae Particle
Aglutination), uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-Sorbent Assay) dan ML
dipstick (Mycobacterium Leprae dipstick).
4. Tes lepromin
Adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi tidak
untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun
penderita terhadap M. leprae. 0,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak
basil organisme, disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca setelah 48
jam/ 2hari (reaksi Fernandez) atau 3 – 4 minggu (reaksi Mitsuda). Reaksi
Fernandez positif bila terdapat indurasi dan eritema yang menunjukkan
kalau penderita bereaksi terhadap M. Leprae, yaitu respon imun tipe

16
lambat ini seperti mantoux test (PPD) pada tuberkolosis.

Reaksi Kusta
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan
penyakit yang sebenarnya sangat kronik. Penyakit kusta yang merupakan
suatu reaksi kekebalan (cellular response) atau reaksi antigen antibodi
(humoral response). Reaksi ini dapat terjadi sebelum pengobatan, tetapi
terutama terjadi selama atau setelah pengobatan. Dari segi imunologis
terdapat perbedaan prinsip antara reaksi tipe 1 dan tipe 2, yaitu pada reaksi
tipe 1 yang memegang peranan adalah imunitas seluler (SIS), sedangkan pada
reaksi tipe 2 yang memegang peranan adalah imunitas humoral.
Tabel 4. Perbedaan Reaksi Kusta Tipe 1 Dan Tipe 2
No. Gejala/tanda Tipe I (reversal) Tipe II (ENL)
1 Kondisi umum Baik atau demam ringan Buruk, disertai malaise dan
febris
2 Peradangan di Bercak kulit lama menjadi Timbul nodul kemerahan,
kulit lebih meradang (merah), lunak, dan nyeri tekan.
dapat timbul bercak baru Biasanya pada lengan dan
tungkai. Nodul dapat pecah
(ulserasi)
3 Waktu terjadi Awal pengobatan MDT Setelah pengobatan yang
lama, umumnya lebih dari
6 bulan
4 Tipe kusta PB atau MB MB

5 Saraf Sering terjadi Umumnya Dapat terjadi


berupa nyeri tekan saraf dan
atau
gangguan fungsi saraf
6 Keterkaitan Hampr tidak ada Terjadi pada mata, KGB,
organ lain sendi, ginjal, testis, dll
7 Faktor pencetus  Melahirkan  Emosi
 Obat-obat yang  Kelelahan dan stress
meningkatkan kekebalan fisik lainnya
tubuh  kehamilan

17
Fenomena Lucio
Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang
terjadi pada kusta tipe lepromatosa nonnodular difus. Gambaran klinis berupa
plak atau infiltrat difus, bewarna merah muda, bentuk tidak teratur dan terasa
nyeri. Lesi terutama di ekstremitas, kemudian meluas ke seluruh tubuh. Lesi
yang berat tampak lebih eritematous disertai purpura dan bula kemudian
dengan cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi lambat
menyembuh dan akhirnya terbentuk jaringan parut.
Gambaran histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal iskemik
dengan nekrosis pembuluh darah superfisial, edema, dan proliferasi
endhotelial pembuluh darah lebih dalam. Didapatkan banyak basil M.Leprae
di endotel kapiler. Walaupun tidak ditemukan infiltrat PMN seperti pada ENL
namun dengan imunofluoresensi tampak deposit imunoglobulin dan
komplemen di dalam dinding pembuluh darah.

G. DIAGNOSIS BANDING
Beberapa hal penting dalam menentukan diagnosis banding lepra: ada
makula hipopigmentasi, ada daerah anestesi, pemeriksaan bakteriologi
memperlihatkan basil tahan asam, ada pembengkakan/pengerasan saraf tepi atau
cabang-cabangnya.
1. Tipe I (makula hipopigmentasi) : tinea versikolor, vitiligo, pitiriasis rosea,
atau dermatitis seboroik atau dengan liken simpleks kronik.
2. Tipe TT (makula eritematosa dengan pinggir meninggi) : tinea korporis,
psoriasis,lupus eritematosus tipe diskoid atau pitiriasis rosea
3. Tipe BT,BB,BL (infiltrat merah tak berbatas tegas) : selulitis, erysipelas
atau psoriasis.
4. Tipe LL (bentuk nodula): lupus eritematous sistemik, dermatomiositis,
atau erupsi obat

H. PENATALAKSANAAN

18
Tujuan utama dari pengobatan yaitu untuk memutuskan mata rantai
penularan untuk menurunkan insiden terjadinya penyakit, mengobati dan
menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya penyakit, dan untuk
mencapai tujuan tersebut, strategi pokok yang dilakukan didasarkan atas
deteksi dini dan pengobatan penderita. Program Multi Drug Therapy (MDT)
dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981.
Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin
meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat,
dan untuk mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS
(Diaminodifenil sulfon) kemudian klofazimin dan rifampisin. Pada tahun
1998 WHO menambahkan 3 obat antibiotik lain untuk pengobatan alternative
yaitu ofloksasin, minosiklin, dan klaritomisin.
Rekomendasi WHO untuk regimen pengobatan, pengobatan MDT
untuk kusta tipe PB dilakukan dalam 6 dosis minimal yang diselesaikan
dalam 6-9 bulan dan setelah minum 6 dosis maka dinyatakan RFT (released
from treatment)
Anak Dewasa
Hari 1 : diawasi petugas Rifampisin 2caps Rifampisin 2caps
(300mg+150mg) + DDS 1 (2x300mg) + DDS 1 tab
tab (50mg) (100mg)

Hari 2-28 : di rumah DDS 1 tab (50mg) DDS 1 tab (100mg)


*Anak di bawah 10 tahun diberi dosis 1-2mg/kgBB
Mengobatan MDT untuk kusta tipe MB dilakukan dalam 24 dosis
yang diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan. Setelah selesai minum 24
dosis maka dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan
pemeriksaan bakteri positif.
Anak Dewasa
Hari 1 : diawasi petugas Rifampisin 2caps Rifampisin 2caps
(300mg+150mg) + (2x300mg) +
Klofazimin 3caps klofazimin 3caps
(3x50mg) + DDS 1 tab (3x100) + DDS 1 tab
(50mg) (100mg)
Hari 2-28 : di rumah Klofazimin 1 tab (50mg) Klofasimin 1cap

19
+ DDS 1 tab (50mg) (100mg) + DDS 1 tab
(100mg)

Pengobatan Reaksi Kusta


1. Pengobatan E.N.L
Obat yang paling sering dipakai adalah tablet kortikosteroid antara
lain prednison. Dosisnya tergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya
prednison 15-30 mg sehari, kadang-kadang lebih. Makin berat reaksinya
makin tinggi dosisnya, tetapi sebaliknya bila reaksinya terlalu ringan tidak
perlu diberikan. Sesuai dengan perbaikan reaksi, dosisnya diturunkan
secara bertahap sampai berhenti sama sekali.
Ada lagi obat yang dianggap sebagai obat pilihan pertama yaitu
thalidomide, tetapi harus berhati-hati karena mempunyai efek teratogenik.
Jadi tidak boleh diberikan kepada orang hamil atau masa subur. Jika hal
ini tidak mungkin, adalah penting bahwa kehamilan dikeluarkan sebelum
perawatan ini dimulai. Kontrasepsi yang efektif harus digunakan selama 4
minggu sebelum dan setelah pengobatan serta selama masa pengobatan.
Haruskah kehamilan terjadi meskipun tindakan pencegahan ini, ada risiko
tinggi kelainan berat janin.
Klofazimin kecuali sebagai obat antikusta dapat juga dipakai
sebagai anti-reaksi E.N.L, tetapi dengan dosis yang lebih tinggi.
Khasiatnya lebih lambat dari kortikosteroid. Keuntungan lain klofazimin
dapat dipakai sebagai usaha untuk lepas dari ketergantungan

20
kortikosteroid.
2. Pengobatan reaksi reversal
Perlu diperhatikan, apakah reaksi ini disertai neuritis atau tidak.
Sebab kalau tanpa neuritis akut tidak perlu diberi pengobatan tambahan.
Kalau ada neuritis akut, obat pilihan pertama adalah kortikosteroid yang
dosisnya juga disesuaikan dengan berat ringannya neuritis, makin berat
makin tinggi dosisnya. Biasanya diberikan prednison 40- 60 mg sehari,
kemudian diturunkan perlahan-lahan. Pengobatan harus secepat-cepatnya
dan dengan dosis yang adekuat untuk mengurangi terjadinya kerusakan
saraf secara mendadak. Anggoata gerak yang terkena neuritis akut harus
diistirahatkan. Analgetik dan sedativa kalau diperlukan dapat diberikan.
Klofazimin dan thalidomid untuk reaksi reversal kurang efektif, oleh
karena itu jarang dipakai.
Pencegahan Cacat
Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas
dan berkurangnya kekuatan otot. Cara terbaik untuk melakukan pencegahan
cacat adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta, pemberian
pengobatan MDT yang cepat dan tepat. Selanjutnya dengan mengenali gejala
dan tanda reaksi kusta yang disertai gangguan saraf serta memulai
pengobatan dengan kortikosteroid sesegera mungkin.

I. PROGNOSIS
Dengan adanya obat-obat kombinasi, pengobatan menjadi lebih
sederhana dan lebih singkat, serta prognosis menjadi lebih baik. Jika sudah
ada kontraktur dan ulkus kronik, prognosis kurang baik.

21
BAB 3
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. Endang Susilowati
Umur : 62 tahun
Alamat : Pengantigan, Banyuwangi
Agama : Islam
Perkerjaan : Ibu Rumah Tangga
No. RM : 191 12842
Tanggal MRS : 16 Maret 2019
Tanggal Pemeriksaan : 19 Maret 2019

B. ANAMNESIS
Autoanamnesa dan Alloanamnesa kepada suami pasien di rawat inap MH
RSK Sumberglagah
Keluhan Utama
Bercak merah terasa tebal di kedua tangan, kedua kaki dan punggung
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RSK Sumberglagah dengan keluhan bercak
merah terasa tebal di kedua tangan, kedua kaki, dan punggung. Awalnya 2
bulan yang lalu pasien mengeluh demam tinggi disertai mual muntah, 4
hari kemudian timbul 1 bercak merah pada lengan, lalu pasien MRS di RS
Blambangan Banyuwangi. Pada hari ke 3 MRS bercak merah masih terus
ada dan bertambah semakin banyak. Pada tanggal 16 Maret 2019 pasien
MRS di RSK Sumberglagah, pasien mengeluh terdapat bercak putih
kemerahan, terasa tebal, dan panas. Pasien juga mengeluh ada nyeri pada
otot kaki. Pasien juga mengeluh terdapat bengkak dan lunglai pada kedua
kaki. Bengkak dan lunglai pada kedua kaki dirasakan pada hari ke 5 saat
pasien MRS di RS Blambangan Banyuwangi.
Saat ini pasien mengatakan sudah tidak demam tetapi pada bercak
merahnya terasa panas dan disertai pembengkakan pada kedua kaki.

22
Pasien mengatakan pada kedua telapak kaki terasa tebal dan tidak bisa
digerakkan. Makan dan minum pasien dalam batas normal, tidak ada
keluhan. Buang air besar dan buang air kecil pasien dalam batas normal,
tidak ada keluhan.
Pasien mengatakan belum pernah mengonsumsi obat MDT MH
sebelumnya. Pasien didiagnosis kusta di RSK Sumberglagah pada tanggal
16 Maret 2019 dan melakukan pengobatan kusta di Puskesmas
Banyuwangi.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien baru pertama kali mengalami keluhan seperti ini
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga pasien yang mengalami MH maupun keluhan yang
sama dengan pasien seperti sekarang
Riwayat Pengobatan
Pengobatan di RS Blambangan Banyuwangi untuk keluhan demam, lemas,
tidak nafsu makan, mual dan muntah
Riwayat Alergi Obat/ Makanan
- Alergi obat disangkal
- Alergi makanan disangkal
- Alergi debu dan lainnya disangkal
Riwayat Sosial Ekonomi
- Pasien merupakan Ibu Rumah Tangga
- Tidak ada lingkungan pasien yang mengalami MH maupun keluhan
sepeti pasien sekarang

C. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Fisik
A. Status Generalis
 Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
 Kesadaran : Kompos mentis
 Tanda vital

23
- Tekanan Darah : 100/60mmHg.
- Nadi : 88 x/menit.
- Suhu : 36,20 C.
- Frekuensi Pernapasan : 18 x/menit.
 Kepala : Normosephal
Mata : Anemis -/-, Ikterik -/-,
injeksi konjungtiva -/-
Hidung : PCH (-)
Mulut : Normal
 Leher : Perbesaran kelenjar getah bening (-)
 Thoraks : Cor S1 S2 reguler, murmur (-),
gallop (-), Pulmo Ves kanan-kiri,
Ro -/-,Wheezing -/-
 Abdomen : Dalam batas normal
 Ekstremitas : CTR < 2 detik, Akral hangat (+)

Status Dermatologi
 Regio trunkus posterior makula hingga patch eritematus batas tegas
multiple diskret
 Regio extremitas atas dan extremitas bawah makula hingga patch
eritematus batas tegas multiple simetris

24
25
26
27
 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium (14 Maret 2019)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
SGOT 21,6 U/L <40
SGPT 18,3 U/L <40
Natrium 132,9 135-145
Kalium 2,81 3,3-5,5
Klorida 107,9 98-108
Kalsium Ion 2,10 2,15-2,5

28
Laboratorium (16 Maret 2019)

Parameter Hasil Nilai Normal Satuan


Hb 11,7 L =13,0 – 17,0 gr/dl
P= 12,0-16,0
LED 13 L = 1-15 mm/jam
P = 1-20
Leukosit 11 170 4700 – 10000 %
Different count Eosinofil = E 1-3 %
-Basofil = - B 0-1
Stab = - S 2-8
segmen = 45 SG 50-70
lymphocyte =34 L 20-40
monocyte = 21 M 2-6
PCV 33,9 L: 37-43 %
P: 40-48
Trombosit 244 000 150.000 – Sel/ul drh
350.000
MCV 80 - 100 fL
MCH 26 - 34 Pg
MCHC 32 - 36 gr/dl
Creatinin 0,97 L: 0,67 - 1,17 / mg/dl
P: 0,51 - 0,95
SGOT 20 L = 40 / P = 32 U/L
SGPT 10 L = 41 / P = 33 U/L
GDS 140,50 <200 mg/dl

Laboratorium (17 Maret 2019 - 5:35)

Parameter Hasil Nilai Normal Satuan


BTA MH Bakteriologi NEGATIF Negatif
Index
Mikrobiologi 0% Negatif
Index

Laboratorium (17 Maret 2019 - 6:56)

29
Parameter Hasil Nilai Normal Satuan
K 2,6 3,5 - 5,0 mmol/L
Na 139 136 - 150 mmol/L

D. RESUME
Nama : Ny. Endang Susilowati
Umur : 62 tahun
Alamat : Perum Vila Bukit Emas, Pengantigan, Banyuwangi
Agama : Islam
Perkerjaan : Ibu Rumah Tangga
No. RM : 191 12842
Tanggal MRS : 16 Maret 2019
Tanggal Pemeriksaan : 19 Maret 2019
Pasien datang ke RSK Sumberglagah dengan keluhan bercak
merah terasa tebal di kedua tangan, kedua kaki, dan punggung. Awalnya 2
bulan yang lalu pasien mengeluh demam tinggi disertai mual muntah, 4
hari kemudian timbul 1 bercak merah pada lengan, lalu pasien MRS di RS
Blambangan Banyuwangi. Pada hari ke 3 MRS bercak merah masih terus
ada dan bertambah semakin banyak. Pada tanggal 16 Maret 2019 pasien
MRS di RSK Sumberglagah, pasien mengeluh terdapat bercak putih
kemerahan, terasa tebal, dan panas. Pasien juga mengeluh ada nyeri pada
otot kaki. Pasien juga mengeluh terdapat bengkak dan lunglai pada kedua
kaki. Bengkak dan lunglai pada kedua kaki dirasakan pada hari ke 5 saat
pasien MRS di RS Blambangan Banyuwangi.
Saat ini pasien mengatakan sudah tidak demam tetapi pada bercak
merahnya terasa panas dan disertai pembengkakan pada kedua kaki.
Pasien mengatakan pada kedua telapak kaki terasa tebal dan tidak bisa
digerakkan. Makan dan minum pasien dalam batas normal, tidak ada

30
keluhan. Buang air besar dan buang air kecil pasien dalam batas normal,
tidak ada keluhan.

Pasien mengatakan belum pernah mengonsumsi obat MDT MH


sebelumnya. Pasien didiagnosis kusta di RSK Sumberglagah pada tanggal
16 Maret 2019 dan melakukan pengobatan kusta di Puskesmas
Banyuwangi.

E. DIAGNOSIS KERJA (ASSASMENT)


Morbus Hansen Tipe MB dengan Reaksi Tipe I

F. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG


- Pemeriksaan Histo PA
G. DIAGNOSIS BANDING
Urtikaria
Psoriasis

H. TATALAKSANA
1. Infus NaCl 0,9% 20 tpm
2. Injeksi Ranitidine 2 x 1 amp/hari
3. Injeksi Antrain 3 x 1 amp/hari
4. Diaminodifenil sulfon 1 x tablet/hari
5. Clofazimine 1 x 1 kapsul/hari
6. Prednison 1 x 1 tablet/hari
7. Krim vaselin, dioleskan di area wajah dan badan yang terasa kering
8. Diet tinggi protein / putih telur  konsul ke ahli gizi

I. PROGNOSIS
Quo Ad vitam : Dubia ad bonam
Quo Ad functional : Dubia ad bonam

J. EDUKASI
Aspek klinis

31
 Memberitahu pasien bahwa ini merupakan penyakit yang
disebabkan oleh bakteri dan dapat menular melalui udara maupun
kontak langsung dalam waktu lama, serta membutuhkan
pengobatan dan observasi berkala tergantung ringan beratnya
gejala yang dialami oleh pasien
 Menjaga pola makan dan istirahat yang cukup
 Mencegah terjadinya infeksi sekunder yang dapat timbul dari luka,
misalnya tidak menggaruk jika gatal, dan tidak menggunakan
terapi topikal yang diluar anjuran terapi dokter

Aspek Islami

 Sabar, ikhlas dan tawakal serta selalu ikhtiar dalam menghadapi


penyakit yang diderita dan selalu memohon kesembuhan kepada Allah
SWT

 Memohon kesembuhan

ْ َ ‫اَللَّهُ َّم َربَّ النَّاس ُم ْذ ِه‬


‫ف اَ ْنتَ ال َّشافِى الَ َشافِ َي اِالَّ اَ ْنتَ ِشفَا ًء الَ يُغَا ِد ُر َسقَ ًما‬ ِ ‫ب ْالبَأ‬
ِ ‫س اِ ْش‬ ِ

“Ya Allah, Tuhan semua manusia, yang menghilangkan sakit.


Sembuhkanlah, dan Engkau Maha Pemberi kesembuhan. Tiada yang dapat
menyembuhkan selain Engkau, (yaitu) dengan kesembuhan yang tidak
menyisakan rasa sakit lagi”.

 Hal lain yang seyogyanya diketahui oleh seorang muslim adalah tidaklah
Allah menciptakan suatu penyakit kecuali Dia juga menciptakan
penawarnya. Hal ini sebagaimana yang disabdakan Rasulullah :

“Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Dia juga menurunkan


penawarnya.” (HR Bukhari).

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda, Adhi dkk.(ed). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Kelima
Cetakan Kelima. 2010, Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
2. Willacy Hayley. Leprosy. 2014. Available at:
http://www.patient.co.uk/doctor/Leprosy.htm
3. WHO. 2017 Model Prescribing Information: Drugs Used in Leprosy.
Available at: http://apps.who.int/medicinedocs/en/d/Jh2988e/1.html
4. Wolff, K., Goldsmith, L., Katz, S., Gilchrest, B., Paller, A., Leffell, D. 2008.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th Ed. USA: McGraw -
Hill.
5. Gawkrodger, D. 2003. Dermatology: An Illustrated Colour Text. 3 rd Ed. UK:
Churchill Livingstone.
6. Sri Ramayanti. 2011. Manifestasi Oral Dan Penatalaksanaan Pada Penderita
Sindrom Stevens-Johnson Kedokteran Andalas No.2. Vol.35. Juli-Desember
2011

33
LAMPIRAN

34
35
36
37
38

Anda mungkin juga menyukai