Oleh :
Dana Madya Puspita, S. Ked
6120018002
Pembimbing :
dr. Winawati Eka Putri, Sp. KK
2
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit Kusta atau dikenal juga dengan nama Lepra dan Morbus Hansen
merupakan penyakit granulomatosa kronik yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium leprae. M. leprae ditemukan oleh G.A. Hansen pada tahun 1874
di Norwegia, bakteri ini berukuran 3-8 µm x 0,2-0,5 µm, bersifat tahan asam,
berbentuk batang, tidak bergerak dan berspora, serta merupakan bakteri Gram
positif. M. leprae dapat menyerang saraf perifer, kulit, mukosa saluran napas
bagian atas, serta jaringan tubuh lainnya, kecuali sistem saraf pusat. Cara
penularannya belum diketahui dengan pasti, tetapi hanya berdasarkan anggapan
klasik, yaitu melalui kontak langsung antarkulit yang lama dan erat serta secara
inhalasi droplet. Kusta dahulu dikenal dengan penyakit yang tidak dapat sembuh
dan diobati, namun sejak tahun 1980 dimana program Multi Drug Treatment
(MDT) mulai diperkenalkan, kusta dapat didiagnosis dan diterapi.
Pada penderita Morbus Hansen atau kusta kemungkinan bisa terjadi reaksi
kusta. Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit
yang sebenarnya sangat kronik. Penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi
kekebalan (cellular response) atau reaksi antigen antibodi (humoral response).
Reaksi ini dapat terjadi sebelum pengobatan, tetapi terutama terjadi selama atau
setelah pengobatan. Dari segi imunologis terdapat perbedaan prinsip antara reaksi
tipe 1 dan tipe 2, yaitu pada reaksi tipe 1 yang memegang peranan adalah imunitas
seluler (SIS), sedangkan pada reaksi tipe 2 yang memegang peranan adalah
imunitas humoral.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. MORBUS HANSEN
A. DEFINISI
Kusta atau Morbus Hansen merupakan penyakit infeksi yang kronik,
dan penyebabnya ialah Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular
obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus
respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf
pusat.1
B. EPIDEMIOLOGI
Masalah epidemiologi masih belum terpecahkan, cara penularannya
belum diketahui pasti ada yang beranggapan klasik yaitu melalui kontak
langsung antar kulit yang lama dan erat. Anggapan lainnya ialah secara
inhalasi, sebab M. leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet.1
C. ETIOLOGI
Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh
G.A. Hansen pada tahun 1874 di Norwegia. Kuman ini bersifat obligat
intrasel, aerob, tidak dapat dibiakkan secara in vitro, berbentuk basil Gram
positif dengan ukuran 3 -8μm x 0,5μm, bersifat tahan asam dan alkohol.
Kuman ini mempunyai afinitas terhadap makrofag dan sel Schwann, replikasi
yang lambat di sel Schwann menstimulasi respon cell-mediated immune, yang
menyebabkan reaksi inflamasi kronik.3
D. PATOFISIOLOGI
4
Sebenarnya M. leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang
rendah, sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu
memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya.
Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit, tidak lain
disebabkan oleh respon imun yang berbeda sehingga memicu timbulnya
reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau
progresif. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut penyakit imunologi.
Sarana utama penularan adalah dengan penyebaran aerosol dari sekret hidung
yang terinfeksi pada mukosa hidung dan mulut terbuka. Kusta tidak
umumnya menyebar melalui kontak langsung melalui kulit utuh, meskipun
kontak dekat adalah yang paling rentan.
Masa inkubasi kusta adalah 6 bulan sampai 40 tahun atau lebih. Masa
inkubasi rata-rata adalah 4 tahun untuk kusta tuberkuloid dan 10 tahun untuk
kusta lepromatosa. Daerah yang paling sering terkena kusta adalah saraf
perifer dangkal, kulit, selaput lendir saluran pernapasan bagian atas, ruang
anterior dari mata, dan testis.
5
Kekuatan dari sistem kekebalan inang mempengaruhi bentuk klinis
dari penyakit ini. Aktivasi makrofag dan sel dendritik, baik antigen-penyajian
sel, terlibat dalam respon kekebalan host terhadap M leprae. IL-1beta
diproduksi oleh antigen- penyajian sel yang terinfeksi oleh mycobacteria telah
ditunjukkan untuk merusak pematangan dan fungsi sel dendritik.
E. KLASIFIKASI
Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spektrum determinate
pada penyakit lepra yang terdiri berbagai tipe, yaitu :
TT : tuberkuloid polar, bentuk yang stabil
Ti : tuberkuloid indefinite
BT : borderline tuberculoid
BB : Mid borderline
Bl : borderline lepromatous
Li : lepromatosa indefinite
LL : Lepromatosa polar, bentuk yang stabi
6
TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, tipe yang
stabil. Jadi tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe
lepromatosa polar, yakni lepromatosa 100%. Sedangkan tipe antara Ti dan Li
disebut tipe borderline atau campuran, berarti campuran antara tuberkuloid
dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran 50% tuberkuloid dan 50%
lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya, sedangkan BL dan Li
lebih banyak lepromatosanya. Tipe- tipe campuran ini adalah tipe yang labil,
berarti dapat beralih tipe, baik ke arah TT maupun ke arah LL.
7
Table 2. Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta MultiBasilar (MB) 1
BTA
lesi kulit Hampir selalu Negatif atau hanya 1+ Biasanya negatif
8
Negative
Tes lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah Dapat positif
lemah atau
negatif
F. DASAR DIAGNOSIS
Gejala klinis
Masa inkubasinya 2 – 40 tahun (rata-rata 5 – 7 tahun). Onset
terjadinya perlahan- lahan dan tidak ada rasa nyeri. Pertama kali mengenai
system saraf perifer dengan parestesi dan baal yang persisten atau rekuren
tanpa terlihat adanya gejala klinis. Pada stadium ini mungkin terdapat erupsi
kulit berupa macula dan bula yang bersifat sementara. Keterlibatan sistem
saraf menyebabkan kelemahan otot, atrofi otot, nyeri neuritik yang berat, dan
kontraktur tangan dan kaki.
Gejala prodromal yang dapat timbul kadang tidak dikenali sampai lesi
erupsi ke kutan terjadi. 90% psien biasanya mengalami keluhan pada pertama
kalinya adalah rasa baal, hilangnya sensori suhu sehingga tidak dapat
membedakan panas dengan dingin.
Selanjutnya, sensasi raba dan nyeri, terutama dialami pada tangan dan
kaki, sehingga dapat terjadi kompliksi ulkus atau terbakar pada
ekstremitasyang baal tersebut. Bagian tubuh lain yang dapat terkena kusta
adalah daerah yang dingin, yaitu daerah mata, testis, dagu, cuoing hidung,
daun telinga, dan lutut.
Perubahan saraf tepi yang terjadi dapat berupa
o pembesaran saraf tepi yang asimetris pada daun telinga, ulnar,
tibia posterior, radial kutaneus,
o Kerusakan sensorik pada lesi kulit
o Kelumpuhan nervus trunkus tanpa tanda inflamasi berupa
neuropati, kerusakan sensorik dan motorik, serta kontraktur
o Kerusakan sensorik dengan pola Stocking-glove
o Acral distal symmethric anesthesia (hilangnya sensasi panas dan
dingin, serta nyeri dan raba)
Pemeriksaan Fisik
9
1. Tuberculoid Leprosy (TT, BT)
Pada TT, imunitas masih baik, dapat sembuh spontan dan masih
mampu melokalisir sehingga didapatkan gambran batas yang tegas.
Mengenai kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat
berupa macula atau plak, dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi
yang regresi atau central clearing. Permukaan lesi dapat bersisik, dengan
tepi yang meninggi. Dapat disertai penebalan saraf tepi yang biasanya
teraba. Kuman BTA negatif merupakan tanda terdapatnya respon imun
yang adekuat terhadap kuman kusta. Pada BT, tidak dapat sembuh
spontan, Lesi menyerupai tipe TT namun dapat disertai lesi satelit di
tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran
hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas TT. Gangguan
saraf tidak berat dan asimetris.
A B C
2. Borderline Leprosy
Pada tipe BB borderline, meruapakan tipe yang paling tidak stabil,
disebut juga bentuk dimorfik. Lesi kulit berbentuk antara tuberculoid dan
lepromatous. Terdiri dari makula infiltrat, mengkilap, batas lesi kurang
tegas, jumlah banyak melebihi tipe BT dan cenderung simetris. Lesi
bervariasi, dapat perbentuk punch out yang khas. Pada tipe ini terjadi
anestesia dan berkurangnya keringat.
10
Gambar 3. Lesi Kulit pada Borderline BB Leprosy
3. Lepromatous Leprosy
Tipe BL, secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit
dengancepat menyebar ke seluruh badan. Makula lebih bervariasi
bentuknya. Distribusi lesi hampir simetris. Lesi innfiltrat, dan plak seperti
punched out. Tanda- tanda kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi,
hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan hilangnya rambut lebih cepat
muncul. Penebalan saraf tepi teraba pada tempat predileksi.
Tipe LL, jumlah lesi sangat banyak, nodul mencapai ukuran 2 cm,
simetris, permukaan halus, lebih eritematous, berkilap, berbatas tidak tegas
dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis. Ditemukan
juga lesi Dematofibroma-like multipel, batas tegas, nodul, eritem.
Distribusi lesi khas pada wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping
telinga. Pada stadium lanjut tampak penebalan kulit yang progresif
membentuk facies leonine. Kerusakan saraf menyebabkan gejala stocking
and glove anesthesia.
11
sebagai reaksi terhadap M. Leprae, yang mendesak dan merusak jaringan di
sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari,
dan wajah. Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat perubahan saraf,
umumnya deformitas terjadi diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena
kerusakan saraf.
Gejala-gejala kerusakan pada saraf :
a. N. ulnaris
Anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis
Clawing kelingking dan jari manis
Atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis
medial
b. N. medianus
Anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan
jari tengah
Tidak mampu aduksi ibu jari
Clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah
Ibu jari kontraktur
Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral
c. N. radialis
Anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk
Tangan gantung (wrist drop)
Tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan
d. N. poplitea lateralis
Anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis
Kaki gantung (foot drop)
Kelemahan otot peroneus
e. N. tibialis posterior
Anestesia telapak kaki
Claw toes
Paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis
f. N. fasialis
Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus
12
Cabang bukal, mandibular, dan servikal menyebabkan kehilangan
ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir
g. N. trigeminus
Anestesia kulit wajah, kornea, dan konjungtiva mata
Kerusakan mata pada kusta juga dapat terjadi secara primer dan
sekunder. Primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga
dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya
N. Fasialis yang dapat membuat paralisis N. Orbicularis palpebrarum
sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya
menyebabkan kerusakan bagian-bagian mata lainnya. Secara sendiri-sendiri
atau bergabung akhirnya dapat menyebabkan kebutaan.
13
Bandingkan kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri
atau tidaknya.
d. N. tibialis posterior
Meraba maleolus medialis kaki kanan dan kiri dengan kedua tangan,
meraba bagian posterior dan mengurutkan ke bawah ke arah tumit.
Bandingkan kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri
atau tidaknya.
14
1. Pemeriksaaan bakterioskopik
Digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan obat.
Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung
yang diwarnai dengan pewarnaan Ziehl Neelson. Bakterioskopik negatif
pada seorang penderita, bukan berarti orang tersebut tidak mengandung
basil M.Leprae. Pertama – tama harus ditentukan lesi di kulit yang
diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan
jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan
untuk rutin sebaiknya minimal 4 – 6 tempat yaitu kedua cuping telinga
bagian bawah dan 2 -4 lesi lain yang paling aktif berarti yang paling
eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa
menghiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut karena pada cuping
telinga biasanya didapati banyak M. leprae. Kepadatan BTA tanpa
membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan
indeks bakteri (I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley.
- 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).
- 1 + Bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP
- 2+ Bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP
- 3+ Bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP
- 4+ Bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP
- 5+ Bila 101 – 1000BTA rata – rata dalam 1 LP
- 6+ Bila> 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP
Indeks morfologi (IM) adalah persentase bentuk solid dibandingkan
dengan jumlah solid dan non solid. IM= Jumlah solidx 100 %/ Jumlah
solid + Non solid. Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman
tiap lesi 100 BTA, I.B 1+ tidak perlu dibuat IM karedna untuk
mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam 1.000 sampai 10.000
lapangan, mulai I.B 3+ maksimum harus dicari 100 lapangan.
2. Pemeriksaan histopatologi
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada
yang mempunyai nama khusus, dan yang dari kulit disebut histiosit.
Apabila SIS nya tinggu, makrofag akan mampu memfagosit M.Leprae.
15
Datangnya histiosit ke tempat kuman disebabkan karena proses
imunologik dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan
dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan berubah bentuk
menjadi sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan dapat
berubah menjadi sel datia Langhans.
Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang
disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan
cacat. Pada penderita dengan SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat
menghancurkan M. Leprae yang sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan
tempat berkembang biak dan disebut sebagai sel Virchow atau sel lepra
atau sel busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.
Gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan kerusakan
saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid.
Tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear
zone ) yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya
tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow dengan banyak basil. Pada tipe
borderline terdapat campuran unsur – unsur tersebut.
3. Pemeriksaan serologi
Kegunaan pemeriksaan serologik ialah dapat membantu diagnosis kusta
yang meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas.
Pemeriksaan serologik adalah MLPA (Mycobacterium Leprae Particle
Aglutination), uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-Sorbent Assay) dan ML
dipstick (Mycobacterium Leprae dipstick).
4. Tes lepromin
Adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi tidak
untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun
penderita terhadap M. leprae. 0,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak
basil organisme, disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca setelah 48
jam/ 2hari (reaksi Fernandez) atau 3 – 4 minggu (reaksi Mitsuda). Reaksi
Fernandez positif bila terdapat indurasi dan eritema yang menunjukkan
kalau penderita bereaksi terhadap M. Leprae, yaitu respon imun tipe
16
lambat ini seperti mantoux test (PPD) pada tuberkolosis.
Reaksi Kusta
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan
penyakit yang sebenarnya sangat kronik. Penyakit kusta yang merupakan
suatu reaksi kekebalan (cellular response) atau reaksi antigen antibodi
(humoral response). Reaksi ini dapat terjadi sebelum pengobatan, tetapi
terutama terjadi selama atau setelah pengobatan. Dari segi imunologis
terdapat perbedaan prinsip antara reaksi tipe 1 dan tipe 2, yaitu pada reaksi
tipe 1 yang memegang peranan adalah imunitas seluler (SIS), sedangkan pada
reaksi tipe 2 yang memegang peranan adalah imunitas humoral.
Tabel 4. Perbedaan Reaksi Kusta Tipe 1 Dan Tipe 2
No. Gejala/tanda Tipe I (reversal) Tipe II (ENL)
1 Kondisi umum Baik atau demam ringan Buruk, disertai malaise dan
febris
2 Peradangan di Bercak kulit lama menjadi Timbul nodul kemerahan,
kulit lebih meradang (merah), lunak, dan nyeri tekan.
dapat timbul bercak baru Biasanya pada lengan dan
tungkai. Nodul dapat pecah
(ulserasi)
3 Waktu terjadi Awal pengobatan MDT Setelah pengobatan yang
lama, umumnya lebih dari
6 bulan
4 Tipe kusta PB atau MB MB
17
Fenomena Lucio
Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang
terjadi pada kusta tipe lepromatosa nonnodular difus. Gambaran klinis berupa
plak atau infiltrat difus, bewarna merah muda, bentuk tidak teratur dan terasa
nyeri. Lesi terutama di ekstremitas, kemudian meluas ke seluruh tubuh. Lesi
yang berat tampak lebih eritematous disertai purpura dan bula kemudian
dengan cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi lambat
menyembuh dan akhirnya terbentuk jaringan parut.
Gambaran histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal iskemik
dengan nekrosis pembuluh darah superfisial, edema, dan proliferasi
endhotelial pembuluh darah lebih dalam. Didapatkan banyak basil M.Leprae
di endotel kapiler. Walaupun tidak ditemukan infiltrat PMN seperti pada ENL
namun dengan imunofluoresensi tampak deposit imunoglobulin dan
komplemen di dalam dinding pembuluh darah.
G. DIAGNOSIS BANDING
Beberapa hal penting dalam menentukan diagnosis banding lepra: ada
makula hipopigmentasi, ada daerah anestesi, pemeriksaan bakteriologi
memperlihatkan basil tahan asam, ada pembengkakan/pengerasan saraf tepi atau
cabang-cabangnya.
1. Tipe I (makula hipopigmentasi) : tinea versikolor, vitiligo, pitiriasis rosea,
atau dermatitis seboroik atau dengan liken simpleks kronik.
2. Tipe TT (makula eritematosa dengan pinggir meninggi) : tinea korporis,
psoriasis,lupus eritematosus tipe diskoid atau pitiriasis rosea
3. Tipe BT,BB,BL (infiltrat merah tak berbatas tegas) : selulitis, erysipelas
atau psoriasis.
4. Tipe LL (bentuk nodula): lupus eritematous sistemik, dermatomiositis,
atau erupsi obat
H. PENATALAKSANAAN
18
Tujuan utama dari pengobatan yaitu untuk memutuskan mata rantai
penularan untuk menurunkan insiden terjadinya penyakit, mengobati dan
menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya penyakit, dan untuk
mencapai tujuan tersebut, strategi pokok yang dilakukan didasarkan atas
deteksi dini dan pengobatan penderita. Program Multi Drug Therapy (MDT)
dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981.
Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin
meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat,
dan untuk mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS
(Diaminodifenil sulfon) kemudian klofazimin dan rifampisin. Pada tahun
1998 WHO menambahkan 3 obat antibiotik lain untuk pengobatan alternative
yaitu ofloksasin, minosiklin, dan klaritomisin.
Rekomendasi WHO untuk regimen pengobatan, pengobatan MDT
untuk kusta tipe PB dilakukan dalam 6 dosis minimal yang diselesaikan
dalam 6-9 bulan dan setelah minum 6 dosis maka dinyatakan RFT (released
from treatment)
Anak Dewasa
Hari 1 : diawasi petugas Rifampisin 2caps Rifampisin 2caps
(300mg+150mg) + DDS 1 (2x300mg) + DDS 1 tab
tab (50mg) (100mg)
19
+ DDS 1 tab (50mg) (100mg) + DDS 1 tab
(100mg)
20
kortikosteroid.
2. Pengobatan reaksi reversal
Perlu diperhatikan, apakah reaksi ini disertai neuritis atau tidak.
Sebab kalau tanpa neuritis akut tidak perlu diberi pengobatan tambahan.
Kalau ada neuritis akut, obat pilihan pertama adalah kortikosteroid yang
dosisnya juga disesuaikan dengan berat ringannya neuritis, makin berat
makin tinggi dosisnya. Biasanya diberikan prednison 40- 60 mg sehari,
kemudian diturunkan perlahan-lahan. Pengobatan harus secepat-cepatnya
dan dengan dosis yang adekuat untuk mengurangi terjadinya kerusakan
saraf secara mendadak. Anggoata gerak yang terkena neuritis akut harus
diistirahatkan. Analgetik dan sedativa kalau diperlukan dapat diberikan.
Klofazimin dan thalidomid untuk reaksi reversal kurang efektif, oleh
karena itu jarang dipakai.
Pencegahan Cacat
Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas
dan berkurangnya kekuatan otot. Cara terbaik untuk melakukan pencegahan
cacat adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta, pemberian
pengobatan MDT yang cepat dan tepat. Selanjutnya dengan mengenali gejala
dan tanda reaksi kusta yang disertai gangguan saraf serta memulai
pengobatan dengan kortikosteroid sesegera mungkin.
I. PROGNOSIS
Dengan adanya obat-obat kombinasi, pengobatan menjadi lebih
sederhana dan lebih singkat, serta prognosis menjadi lebih baik. Jika sudah
ada kontraktur dan ulkus kronik, prognosis kurang baik.
21
BAB 3
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. Endang Susilowati
Umur : 62 tahun
Alamat : Pengantigan, Banyuwangi
Agama : Islam
Perkerjaan : Ibu Rumah Tangga
No. RM : 191 12842
Tanggal MRS : 16 Maret 2019
Tanggal Pemeriksaan : 19 Maret 2019
B. ANAMNESIS
Autoanamnesa dan Alloanamnesa kepada suami pasien di rawat inap MH
RSK Sumberglagah
Keluhan Utama
Bercak merah terasa tebal di kedua tangan, kedua kaki dan punggung
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RSK Sumberglagah dengan keluhan bercak
merah terasa tebal di kedua tangan, kedua kaki, dan punggung. Awalnya 2
bulan yang lalu pasien mengeluh demam tinggi disertai mual muntah, 4
hari kemudian timbul 1 bercak merah pada lengan, lalu pasien MRS di RS
Blambangan Banyuwangi. Pada hari ke 3 MRS bercak merah masih terus
ada dan bertambah semakin banyak. Pada tanggal 16 Maret 2019 pasien
MRS di RSK Sumberglagah, pasien mengeluh terdapat bercak putih
kemerahan, terasa tebal, dan panas. Pasien juga mengeluh ada nyeri pada
otot kaki. Pasien juga mengeluh terdapat bengkak dan lunglai pada kedua
kaki. Bengkak dan lunglai pada kedua kaki dirasakan pada hari ke 5 saat
pasien MRS di RS Blambangan Banyuwangi.
Saat ini pasien mengatakan sudah tidak demam tetapi pada bercak
merahnya terasa panas dan disertai pembengkakan pada kedua kaki.
22
Pasien mengatakan pada kedua telapak kaki terasa tebal dan tidak bisa
digerakkan. Makan dan minum pasien dalam batas normal, tidak ada
keluhan. Buang air besar dan buang air kecil pasien dalam batas normal,
tidak ada keluhan.
Pasien mengatakan belum pernah mengonsumsi obat MDT MH
sebelumnya. Pasien didiagnosis kusta di RSK Sumberglagah pada tanggal
16 Maret 2019 dan melakukan pengobatan kusta di Puskesmas
Banyuwangi.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Fisik
A. Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Kompos mentis
Tanda vital
23
- Tekanan Darah : 100/60mmHg.
- Nadi : 88 x/menit.
- Suhu : 36,20 C.
- Frekuensi Pernapasan : 18 x/menit.
Kepala : Normosephal
Mata : Anemis -/-, Ikterik -/-,
injeksi konjungtiva -/-
Hidung : PCH (-)
Mulut : Normal
Leher : Perbesaran kelenjar getah bening (-)
Thoraks : Cor S1 S2 reguler, murmur (-),
gallop (-), Pulmo Ves kanan-kiri,
Ro -/-,Wheezing -/-
Abdomen : Dalam batas normal
Ekstremitas : CTR < 2 detik, Akral hangat (+)
Status Dermatologi
Regio trunkus posterior makula hingga patch eritematus batas tegas
multiple diskret
Regio extremitas atas dan extremitas bawah makula hingga patch
eritematus batas tegas multiple simetris
24
25
26
27
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium (14 Maret 2019)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
SGOT 21,6 U/L <40
SGPT 18,3 U/L <40
Natrium 132,9 135-145
Kalium 2,81 3,3-5,5
Klorida 107,9 98-108
Kalsium Ion 2,10 2,15-2,5
28
Laboratorium (16 Maret 2019)
29
Parameter Hasil Nilai Normal Satuan
K 2,6 3,5 - 5,0 mmol/L
Na 139 136 - 150 mmol/L
D. RESUME
Nama : Ny. Endang Susilowati
Umur : 62 tahun
Alamat : Perum Vila Bukit Emas, Pengantigan, Banyuwangi
Agama : Islam
Perkerjaan : Ibu Rumah Tangga
No. RM : 191 12842
Tanggal MRS : 16 Maret 2019
Tanggal Pemeriksaan : 19 Maret 2019
Pasien datang ke RSK Sumberglagah dengan keluhan bercak
merah terasa tebal di kedua tangan, kedua kaki, dan punggung. Awalnya 2
bulan yang lalu pasien mengeluh demam tinggi disertai mual muntah, 4
hari kemudian timbul 1 bercak merah pada lengan, lalu pasien MRS di RS
Blambangan Banyuwangi. Pada hari ke 3 MRS bercak merah masih terus
ada dan bertambah semakin banyak. Pada tanggal 16 Maret 2019 pasien
MRS di RSK Sumberglagah, pasien mengeluh terdapat bercak putih
kemerahan, terasa tebal, dan panas. Pasien juga mengeluh ada nyeri pada
otot kaki. Pasien juga mengeluh terdapat bengkak dan lunglai pada kedua
kaki. Bengkak dan lunglai pada kedua kaki dirasakan pada hari ke 5 saat
pasien MRS di RS Blambangan Banyuwangi.
Saat ini pasien mengatakan sudah tidak demam tetapi pada bercak
merahnya terasa panas dan disertai pembengkakan pada kedua kaki.
Pasien mengatakan pada kedua telapak kaki terasa tebal dan tidak bisa
digerakkan. Makan dan minum pasien dalam batas normal, tidak ada
30
keluhan. Buang air besar dan buang air kecil pasien dalam batas normal,
tidak ada keluhan.
H. TATALAKSANA
1. Infus NaCl 0,9% 20 tpm
2. Injeksi Ranitidine 2 x 1 amp/hari
3. Injeksi Antrain 3 x 1 amp/hari
4. Diaminodifenil sulfon 1 x tablet/hari
5. Clofazimine 1 x 1 kapsul/hari
6. Prednison 1 x 1 tablet/hari
7. Krim vaselin, dioleskan di area wajah dan badan yang terasa kering
8. Diet tinggi protein / putih telur konsul ke ahli gizi
I. PROGNOSIS
Quo Ad vitam : Dubia ad bonam
Quo Ad functional : Dubia ad bonam
J. EDUKASI
Aspek klinis
31
Memberitahu pasien bahwa ini merupakan penyakit yang
disebabkan oleh bakteri dan dapat menular melalui udara maupun
kontak langsung dalam waktu lama, serta membutuhkan
pengobatan dan observasi berkala tergantung ringan beratnya
gejala yang dialami oleh pasien
Menjaga pola makan dan istirahat yang cukup
Mencegah terjadinya infeksi sekunder yang dapat timbul dari luka,
misalnya tidak menggaruk jika gatal, dan tidak menggunakan
terapi topikal yang diluar anjuran terapi dokter
Aspek Islami
Memohon kesembuhan
Hal lain yang seyogyanya diketahui oleh seorang muslim adalah tidaklah
Allah menciptakan suatu penyakit kecuali Dia juga menciptakan
penawarnya. Hal ini sebagaimana yang disabdakan Rasulullah :
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda, Adhi dkk.(ed). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Kelima
Cetakan Kelima. 2010, Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
2. Willacy Hayley. Leprosy. 2014. Available at:
http://www.patient.co.uk/doctor/Leprosy.htm
3. WHO. 2017 Model Prescribing Information: Drugs Used in Leprosy.
Available at: http://apps.who.int/medicinedocs/en/d/Jh2988e/1.html
4. Wolff, K., Goldsmith, L., Katz, S., Gilchrest, B., Paller, A., Leffell, D. 2008.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th Ed. USA: McGraw -
Hill.
5. Gawkrodger, D. 2003. Dermatology: An Illustrated Colour Text. 3 rd Ed. UK:
Churchill Livingstone.
6. Sri Ramayanti. 2011. Manifestasi Oral Dan Penatalaksanaan Pada Penderita
Sindrom Stevens-Johnson Kedokteran Andalas No.2. Vol.35. Juli-Desember
2011
33
LAMPIRAN
34
35
36
37
38