Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

Kusta merupakan penyakit dengan stigma pada masyarakat sebagai penyakit


kutukan yang sangat ditakuti oleh masyarakat karena dapat menyebabkan ulserasi,
mutilasi dan deformitas. Kata kusta berasal dari bahasa Sansekerta kustha, dikenal sejak
400 tahun SM. Kusta (lepra atau penyakit Hansen) adalah infeksi menahun yang
disebabkan oleh Mycobacterium leprae, bakteri ini menyerang saraf perifer, kulit,
mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian organ lainnya. Kuman dapat
ditemukan di kulit, folikel rambut, kelenjar keringat, dan ASI, namun jarang di urin.1

Kuman kusta biasanya menyerang saraf tepi kulit dan jaringan tubuh lainnya.
Penyakit ini merupakan penyakit menular yang sifatnya kronis dan dapat menimbulkan
masalah yang komplek. Penyebab penyakit kusta ialah suatu kuman yang disebut
Mycobaterium leprae. Sumber penularan penyakit ini adalah penderita kusta multi basilet
(MB) atau kusta basah1,2

Menurut data yang dilaporkan oleh WHO pad tahun 2016 terdapat peningkatan
kasus kusta, yakni dari 211.973 pada tahun 2015 menjadi 214.783 di tahun 2016. Asia
Tenggara merupakan regional dengan insiden kusta tertinggi yakni 161.263 kasus tahun
2016.3 Sedangkan Indonesia merupakan negara dengan penyumbang insiden kusta ke-3
tertinggi di dunia, yakni sebanyak 16.286 kasus, setelah Brazil (25.218 kasus) & India
(145.485 kasus)4. Jawa Timur pernah menjadi provinsi di bagian barat Indonesia dengan
kategori high burden yakni NCDR >10/100.000 penduduk dan atau insiden >1000 kasus
tahun 2016 5.

Kusta dahulu dikenal dengan penyakit yang tidak dapat sembuh dan diobati,
namun sejak tahun 1980 dimana program Multi Drug Treatment (MDT) mulai
diperkenalkan, kusta dapat didiagnosis dan diterapi. Dengan dapatnya diatasi penyakit
kusta ini seharusnya tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat. Tetapi, sampai
saat ini penyakit kusta masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang perlu di
perhatikan oleh pihak yang terkait1,2.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Kusta atau morbus Hansen adalah penyakit granulomatosa kronis yang
disebabkan oleh Mycobacterium leprae, yang melibatkan kulit, sistem saraf perifer,
saluran pernapasan bagian atas, mata, dan testis. Secara prinsip dapat diperoleh selama
masa kanak-kanak / dewasa muda9.

2.2 EPIDEMIOLOGI1,3,4,5
Insiden kusta di dunia pada tahun 2016 berdasarkan data WHO mengalami
peningkatan, yakni dari 211.973 pada tahun 2015 menjadi 214.783 di tahun 2016.
Sebesar 94% dari insiden kusta ini dilaporkan oleh 14 negara dengan >1000 kasus baru
tiap tahunnya. Hal ini menunjukkan masih banyak wilayah yang menjadi kantong
endemisitas tinggi kusta di dunia. Asia Tenggara merupakan regional dengan insiden
kusta tertinggi yakni 161.263 kasus tahun 2016. Indonesia merupakan negara dengan
penyumbang insiden kusta ke-3 tertinggi di dunia, yakni sebanyak 16.286 kasus, setelah
Brazil (25.218 kasus) & India (145.485 kasus).

Jawa Timur menjadi provinsi dengan insiden kusta tertinggi di pulau jawa yakni
sebanyak 3.373 kasus dan kasus cacat kusta tingkat 2 nya nomor 2 tertinggi, sebanyak
293 kasus pada tahun lalu 2017 (Kemenkes RI, 2018). Jawa Timur pernah menjadi
provinsi di bagian barat Indonesia dengan kategori high burden yakni NCDR
>10/100.000 penduduk dan atau insiden >1000 kasus tahun. Angka prevalensi kusta di
Jawa Timur pada tahun 2015 adalah 0,99 per 10.000 penduduk dan meningkat pada tahun
2016 menjadi 1,03 per 10.000 penduduk. Tipe kusta Multibacillar (MB) lebih sering
ditemukan di wilayah Jawa Timur daripada tipe Paucibacillar (PB), namun demikian tipe
kusta Paucibacillar (PB) di Jawa Timur dari tahun 2015-2017 mengalami kenaikan .

2.3 ETIOLOGI9,10,11,12,13
Kuman penyebab penyakit kusta adalah M. leprae yang ditemukan oleh GH
Armauer Hansen, seorang sarjana dari Norwegia pada tahun 1873. Kuman ini bersifat
tahan asam, berbentuk batang dengan ukuran 1-8 mikron dan lebar 0,2 - 0,5 mikron,
biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan

2
yang bersuhu dingin dan tidak dapat dikultur dalam media buatan. Kuman ini juga dapat
menyebabkan infeksi sistemik pada binatang armadillo.

Gambar 2.1 Mycobacterium Leprae pada Pewarnaan Ziehl-Neelsen


Secara skematik struktur M. leprae terdiri dari :
A. Kapsul
Di sekeliling organisme terdapat suatu zona transparan elektron dari bahan
berbusa atau vesikular, yang diproduksi dan secara struktur khas bentuk M.
leprae. Zona transparan ini terdiri dari dua lipid, phthioceroldimycoserosate,
yang dianggap memegang peranan protektif pasif, dan suatu phenolic glycolipid,
yang terdiri dari tiga molekul gula hasil metilasi yang dihubungkan melalui
molekul fenol pada lemak (phthiocerol). Trisakarida memberikan sifat kimia
yang unik dan sifat antigenik yang spesifik terhadap M. leprae.
B. Dinding sel
Dinding sel terdiri dari dua lapis, yaitu:
1. Lapisan luar bersifat transparan elektron dan mengandung lipopolisakarida yang
terdiri dari rantai cabang arabinogalactan yang diesterifikasi dengan rantai
panjang asam mikolat , mirip dengan yang ditemukan pada Mycobacteria
lainnya.
2. Dinding dalam terdiri dari peptidoglycan: karbohidrat yang dihubungkan melalui
peptida-peptida yang memiliki rangkaian asam-amino yang mungkin spesifik
untuk M. leprae walaupun peptida ini terlalu sedikit untuk digunakan sebagai
antigen diagnostik.
C. Membran
Tepat di bawah dinding sel, dan melekat padanya, adalah suatu membran yang
khusus untuk transport molekul-molekul kedalam dan keluar organisme.

3
Membran terdiri dari lipid dan protein. Protein sebagian besar berupa enzim dan
secara teori merupakan target yang baik untuk kemoterapi. Protein ini juga dapat
membentuk ‘antigen protein permukaan’ yang diekstraksi dari dinding sel M.
leprae yang sudah terganggu dan dianalisa secara luas.
D. Sitoplasma
Bagian dalam sel mengandung granul-granul penyimpanan, material genetik
asam deoksiribonukleat (DNA), dan ribosom yang merupakan protein yang
penting dalam translasi dan multiplikasi. Analisis DNA berguna dalam
mengkonfirmasi identitas sebagai M. leprae dari mycobacteria yang diisolasi dari
armadillo liar, dan menunjukkan bahwa M. leprae, walaupun berbeda secara
genetik, terkait erat dengan M. tuberculosis dan M. scrofulaceum.Pertumbuhan
optimal kuman ini yaitu, 30°C lebih rendah dari suhu tubuh menyebabkan kuman
tersebut sering tumbuh pada kulit dan saraf perifer. Kuman ini memunyai afinitas
terhadap makrofag dan sel Schwann, replikasi yang lambat di sel Schwann
menstimulasi cell-mediated immune respon, yang menyebabkan reaksi inflamasi
kronik. Pertumbuhannya sangat lambat dengan waktu membelah diri (doubling
time) selama 14 hari sehingga membutuhkan jangka waktu lama dalam
pemberian terapi antibiotik, biasanya dalam beberapa tahun.

Gambar 2.2 Struktur Molekular Mycobacterium Leprae.


Cara penularan belum diketahui secara pasti, transmisi mungkin termasuk infeksi
droplet hidung, kontak dengan tanah yang terinfeksi, vektor serangga. Sekret
bersin dari pasien LL yang tidak diobati mengandung 1010 organisme. 20%
pasien asimptomatik yang tinggal di daerah, kemungkinan memiliki

4
Mycobacterium leprae pada hidungnya, telah diidentifikasi dengan PCR. Portal
masuknya M. leprae kurang dipahami tetapi hal ini berkaitan dengan inokulasi
melalui kulit (gigitan, goresan, luka kecil, tato) atau inhalasi ke dalam saluran
hidung atau paru-paru.
Penyebaran infeksi didapat apabila terdapat kontak dalam jangka waktu yang
lama dengan pasien Lepra Lepromatous, yang terdapat Micobacterium leprae di
sekret hidung dan lesi kulit. Masa inkubasi lepra tipe tuberkuloid adalah 5 tahun
sedangkan, tipe lepromatosa 20 tahun atau lebih.

2.4 KLASIFIKASI1,5,11,12
Tabel 2.1 Perbedaan Beberapa Klasifikasi
Perbedaan Klasifikasi
Madrid
T Ti BT BB BL Li L
1953
Ridley Borderline Mid- Borderline
Tuberculoid Lepromatous
Jopling Tuberculoid Borderline Lepromatous
(TT) (LL)
1966 (BT) (BB) (BL)
WHO
PB MB
1982

TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, tipe yang stabil. Jadi
tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar, yakni
lepromatosa 100%. Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut tipe borderline atau
campuran, berarti campuran antara tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe
campuran 50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak
tuberkuloidnya, sedangkan BL dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe campuran
ini adalah tipe yang labil, berarti dapat beralih tipe, baik ke arah TT maupun ke arah LL.

2.5 PATOGENESIS3,4,9,11,14,16
Meskipun cara masuk Mycobacterium leprae ke dalam tubuh masih belum
diketahui dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering
adalah melalui kulit atau rute penghidu. Respon kekebalan tubuh manusia yang berkerja
terhadap untuk M.leprae terdapat dua tingkat. Tingkat pertama, secara keseluruhan
kerentanan / ketahanan terhadap infeksi dimediasi oleh imunitas non spesifik yang

5
diperankan oleh monosit. Jika imunitas non spesifik tidak mampu melawan infeksi, maka
akan diekpresikan pada tingkat kedua yaitu, tingkat imunitas seluler spesifik dan
munculnya delayed hipersensitivity yang dihasilkan oleh individu terinfeksi. Imunitas
seluler spesifik dimediasi terutama oleh sel limfosit T bekerja sama dengan APC
(Antigen Presenting Cells).

Gambar 2.3 Prinsip Mekanisme Imunitas Spesifik dan Non Spesifik

Gambar 2.4 Imunitas Selular dan Humoral pada Imunitas Spesifik


Bakteri yang ditangkap akan melalui beberapa proses yang bertujuan untuk
mengeliminasi bakteri, sehingga pada 95% individu yang terinfeksi oleh Mycobacterium
leprae tidak menimbulkan gejala klinis atau minimal hanya subklinis saja. Setelah
berbagai imunitas nonspesifik tersebut gagal, maka barulah akan bekerja mekanisme
imunitas spesifik, melalui aktivasi sel-sel imunokompeten oleh stimulasi antigen

6
Mycobacterium leprae. Respon imun inate yang efektif dengan virulensi basil kusta yang
rendah mungkin mendasari resistensi terhadap perkembangan penyakit.
Sel dendritik yang terinfeksi M.Leprae akan mempresentasikan PGL-1 pada
permukaan sel. Reaksi ini menurunkan fungsi dari sel dendritik tersebut untuk
mengekspresikan terhadap antibody spesifik (Limfosit T yang berfungsi dalam proliferasi
dan memproduksi IFN-gamma).
Ketika M. leprae menginvasi, sistem imun seluler tubuh akan meresponnya
sesuai derajat imunitas. Dikenal dua kutub dalam patogenesis lepra, yaitu kutub
tuberkuloid (TT) dan kutub lepromatosa (LL). Setiap kutub akan dikarakterisasi oleh
imunitas yang bersifat cell-mediated atau sistem imun humoral. Pada individu yang
sistem imun selulernya baik, respon imun dimediasi oleh sel T-helper 1. Sel ini akan
mengeluarkan sitokin pro-inflamasi seperti IFN-γ, TNF, IL-2, IL-6, IL-12 serta molekul
kemotaktil yang berfungsi memanggil sel makrofag. Sesampainya di kulit, makrofag
berubah nama menjadi histiosit. Histiosit akan memfagosit M. leprae sehingga kuman
dapat dieliminasi. Pada kusta tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi,
sehingga makrofag sanggup menghancurkan kuman. Sayangnya, setelah semua kuman
difagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan
kadang-kadang bersatu membentuk sel datia Langhans. Bila infeksi ini tidak segera
diatasi akan terjadi reaksi berlebihan dan masa epiteloid akan menimbulkan kerusakan
saraf dan jaringan sekitarnya.
Sedangkan jika sistem imun selular tidak bekerja secara efektif, makrofag gagal
memfagosit M. leprae. Tipe ini dimediasi oleh sel T-helper 2 dengan cara mengeluarkan
IL-4 dan IL-10. M. leprae menduduki makrofag dan berkembang biak di dalamnya. Sel
ini disebut sebagai sel virchow atau sel busa atau sel lepra yang dapat ditemukan di
subepidermal clear zone. Akumulasi makrofag beserta derivat-derivatnya membentuk
granuloma yang penuh kuman. Granuloma dapat ditemukan tertama pada area tubuh yang
suhunya lebih dingin, seperti : cuping telinga, hidung, penonjolan tulang pipi, alis mata,
kaki, dll). Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular, dengan
demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat
bermultiplikasi dengan bebas yang kemudian dapat merusak jaringan.

7
Gambar 2.5 Patogenesis Kerusakan Saraf

Gambar 2.6 Interaksi Sel Schwann dengan M. Leprae

2.6 GAMBARAN KLINIK10,11,12,14,15,18


2.6.1Dasar diagnosis
Menurut WHO penyakit kusta dapat didiagnosa berdasarkan gejala klinik yang
timbul. Pada negara atau daerah yang endemik, seseorang dapat dinyatakan terkena lepra
apabila terdapat salah satu dari tiga gejala kardinal antara lain:
1. Bercak kulit yang mati rasa

8
Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar (makula) atau meninggi
(plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rangsang
panas, sentuhan maupun nyeri. Lesi tidak gatal ataupun nyeri yang dapat muncul
dimanapun pada anggota tubuh.
2. Penebalan saraf tepi
Dapat disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai atau tanpa gangguan fungsi saraf
yang terkena, yaitu:
a. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa
b. Ganguan fungsi motoris: tidak mampu mencubit, menggenggam, tidak
mampu dorsi-fleksi pergelangan tangan dan tidak mampu menutup mata
sepenuhnya.
c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema, pertumbuhan
rambut yang terganggu.
3. Ditemukan kuman tahan asam
Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit cuping telinga dan lesi kulit pada bagian
yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsi kulit atau saraf. Bila
belum dapat ditemukan salah satu dari tiga gejala diatas, maka perlu dilakukan
pengamatan dan pemeriksaan ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis dapat
ditentukan.

Tabel 2.2 Klasifikasi WHO berdasarkan manifestasi klinis dan hasil pemeriksaan
bakteriologi.

9
Tabel 2.3 Perbedaan PB dan MB secara Klinis

10
Tabel 2.4 Klasifikasi Ridley dan Jopling

11
Tabel 2.5 Perbedaan Gambaran Klinik LL, BL, dan BB.
Sifat Lepromatosa (LL) Borderline Mid Borderline
Lepromatosa (BB)
(BL)
Lesi
         Bentuk Makula Makula Plakat
Infiltrat difus Plakat Dome-shape (kuba
Papul Papul h)
Nodus Punched-out
         Jumlah Tidak terhitung, Sukar dihitung, Dapat dihitung,
praktis tidak ada masih ada kulit kulit sehat jelas
kulit sehat sehat ada
         Distribusi Simetris Hampir simetris Asimetris
         Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak kasar, agak
berkilat
         Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas
         Anestesia Biasanya tidak jelas Tak jelas Lebih jelas
BTA
         Lesi kulit Banyak (ada globus) Banyak Agak banyak
         Sekret Banyak (ada globus) Biasanya negatif Negatif
hidung
Tes Lepromin Negatif Negatif Negatif

Tabel 2.6 Perbedaan Gambaran Klinik TT, BT, dan IL.


Karakteristik Tuberkuloid (TT) Borderline Indeterminate
Tuberculoid (BT) (I)
Lesi
         Tipe Makula ; makula Makula dibatasi Hanya Infiltrat
dibatasi infiltrat infiltrat saja; infiltrat
saja
         Jumlah Satu atau dapat Beberapa atau satu Satu atau
beberapa dengan lesi satelit beberapa
         Distribusi Terlokalisasi & Asimetris Bervariasi
asimetris
         Permukaan Kering, skuama Kering, skuama Dapat halus
agak berkilat
         Batas Jelas Jelas Dapat jelas atau
dapat tidak jelas
         Anestesia Jelas Jelas Tak ada sampai
tidak jelas
BTA
         lesi kulit Hampir selalu Negatif atau hanya 1+ Biasanya negatif
negative
Tes lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah Dapat positif

12
lemah atau
negatif

TT BT I

LL BL BB

Gambar 2.7 Gambaran Lesi Kulit Pada Setiap Jenis Kusta

2.6.2 Deformitas pada Kusta11,12,18,11,23

13
Deformitas dapat dibagi dalam deformitas primer dan sekunder. Deformitas
primer sebagai akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap
M. Leprae, yang mendesak dan merusak jaringan di sekitarnya, yaitu kulit, mukosa
traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan wajah.
Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat perubahan saraf, umumnya deformitas
terjadi diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena kerusakan saraf. Gejala-gejala
kerusakan saraf:
 N. ulnaris
o Anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis
o Clawing kelingking dan jari manis
o Atrofi hipotenar dan otot introseus serta kedua otot lumbrikalis medial
 N. medianus
o Anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk dan jari tengah
o Tidak mampu aduksi ibu jari
o Clawing ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah
o Ibu jari kontraktur
o Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral
 N. radialis
o Anestesia ujung jari manus, serta ujung proksimal jari telunjuk
o Tangan gantung (wrist drop)
o Tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan
 N. poplitea lateralis
o Anesthesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis
o Kaki gantung (foot drop)
o Kelemahan otot peroneus
 N. tibialis posterior
o Anestesi telapak kaki
o Claw toes
o Paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis
 N. facialis
o Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus

14
o Cabang bukal, mandibular dan servical menyebabkan kehilangan ekspresi wajah
dan kegagalan mengatupkan bibir
 N. trigeminus
o Anestesi kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata
o Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral

Gambar 2.8 Salah Satu Gejala Kerusakan Saraf (Crawling Hand).


Kerusakan mata pada kusta juga dapat terjadi secara primer dan sekunder. Primer
mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan
mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N. Fasialis yang dapat membuat
paralisis N.Orbicularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan
lagoftalmus yang selanjutnya menyebabkan kerusakan bagian-bagian mata lainnya.
Secara sendiri-sendiri atau bergabung akhirnya dapat menyebabkan kebutaan.
Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar keringat,
kelenjar palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Pada
tipe lepromatosa dapat timbul ginekomastia akibat gangguan keseimbangan hormonal
dan oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus semineferus testis.

2.6.3 Pemeriksaan Saraf Tepi


a. N. Auricularis Magnus
Pasien menoleh ke kanan/kiri semaksimal mungkin, maka saraf yang terlibat
akan terdorong oleh otot-otot di bawahnya sehingga dapat terlihat pembesaran saraf. Dua

15
jari pemeriksa diletakkan di atas persilangan jalannya saraf dengan arah otot. Bila ada
penebalan, maka akan teraba jaringan seperti kabel atau kawat. Bandingkan kanan dan
kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri atau tidaknya.

Gambar 2.9 Pembesaran Saraf


b. N. Ulnaris
Tangan yang diperiksa rileks, sedikit fleksi dan diletakkan di atas satu tangan
pemeriksa. Tangan pemeriksa meraba sulcus nervi ulnaris dan merasakan adanya
penebalan atau tidak Bandingkan kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak,
dan nyeri atau tidaknya.

Gambar 2.10 Pemeriksaan Saraf Ulnaris


c. N. Peroneus Lateralis
Pasien duduk dengan kedua kaki menggantung, diraba di sebelah lateral dari
capitulum fibulae, dan merasakan ada penebalana atau tidak. Bandingkan kanan dan
kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri atau tidaknya.

16
Gambar 2.11 Pemeriksaan Saraf Peroneus Lateralis

d. N. Tibialis Posterior
Meraba maleolus medialis kaki kanan dan kiri dengan kedua tangan, meraba
bagian posterior dan mengurutkan ke bawah ke arah tumit. Bandingkan kanan dan
kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri atau tidaknya.

2.6.4 Pemeriksaan Fungsi Saraf


a. Tes sensorik
Gunakan kapas, jarum, serta tabung reaksi berisi air hangat dan dingin.
a) Rasa raba
Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya, disinggungkan ke kulit pasien.
Kapas disinggungkan ke kulit yang lesi dan yang sehat, kemudian pasien
disuruh menunjuk kulit yang disinggung dengan mata terbuka. Jika hal ini
telah dimengerti, tes kembali dilakukan dengan mata pasien tertutup.
b) Rasa tajam
Menggunakan jarum yang disentuhkan ke kulit pasien. Setelah disentuhkan
bagian tajamnya, lalu disentuhkan bagian tumpulnya, kemudia pasien
diminta menentukan tajam atau tumpul. Tes dilakukan seperti pemeriksaan
rasa raba.
c) Suhu
Menggunakan dua buah tabung reaksi yang berisi air panas dan air dingin.
Tabung reaksi disentuhkan ke kulit yang lesi dan sehat secara acak, dan
pasien diminta menentukan panas atau dingin.
b. Tes Otonom

17
Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi pada penyakit
kusta, pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes anhidrosis, yaitu :
a) Tes keringat dengan tinta ( tes Gunawan)
b) Tes Pilokarpin
c. Tes Motoris (voluntary muscle test) pada n. ulnaris, n.medianus, n.radialis,
dan n. peroneus.

2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG12,15,18


1. Pemeriksaaan Bakterioskopik
Digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan obat.
Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung yang diwarnai
dengan pewarnaan ZIEHL NEELSON. Bakterioskopik negative pada seorang penderita,
bukan berarti orang tersebut tidak mengandung basil M.Leprae. Pertama – tama harus
ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu
menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk
rutin sebaiknya minimal 4 – 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4
lesi lain yang paling aktif berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan
cuping telinga tanpa menghiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut karena pada
cuping telinga biasanya didapati banyak M. leprae.
Cara pengambilan bahan dengan menggunakan skalpel steril. Setelah lesi tersebut
di desinfeksi kemudian dijepit antara ibu jari dan jari telunjuk agar menjadi iskemik,
sehingga kerokan jaringan mengandung sedikit mungkin darah yang akan mengganggu
sediaan. Kerokan dioleskan di kaca objek, difiksasi di atas api kemudian diwarnai dengan
pewarnaan Ziehl-Neelsen :
1. Buatlah sediaan diatas kaca objek, keringkan pada suhu kamar
2. Tuangkan karbol fuchsin, panaskan di atas api kecil 3-4 menit hingga keluar uap
(semua bakteri akan berwarna merah).
3. Bilas dengan air mengalir.
4. Celupkan dalam larutan H2SO4 1% atau HCL pekat selama 2 detik (bakteri tahan asam
tetap berwarna merah).
5. Celupkan dalam alkohol 60% hingga tak ada lagi warna merah yang mengalir pada
sediaan.
6. Bilas dengan air

18
7. Tuangkan biru metilen,diamkan 1-2 menit (bakteri tahan asam tidak mengikat warna
biru).
8. Cuci dengan air  keringkan, lalu amati dengan mikroskop.
Hasil positif jika didapatkan basil tahan asam tampak merah pada sediaan dan
dibedakan bentuk batang utuh (solid), batang terputus (fragmented), butiran (granular).
Secara teori penting dibedakan solid dan nonsolid, untuk membedakan antara yang hidup
dan yang mati, sebab bentuk hidup itulah yang berbahaya.
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan
dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak ada
BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).
1 + Bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP
2+ Bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP
3+ Bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP
4+ Bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP
5+ Bila 101 – 1000BTA rata – rata dalam 1 LP
6+ Bila> 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP

Gambar 2.12 Indeks Bakteri

19
Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah solid
dan non solid.
IM= Jumlah solidx 100 %/ Jumlah solid + Non solid
Syarat perhitungan :
a) Jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA
b) IB 1+ tidak perlu dibuat IM-nya, karena untuk mendapat 100 BTA harus mencari
dalam 1.000-10.000 lapangan
c) Mulai dari IB 3+ harus dihitung IM-nya, sebab dengan IB 3+ maksimum harus
dicari dalam 100 lapangan.
2. Tes Lepromin
Tes Lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi
tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita
terhadap M. leprae. 0,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil organisme,
disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2hari (reaksi Fernandez) atau 3
– 4 minggu (reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila terdapat indurasi dan eritema
yang menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap M. Leprae, yaitu respon imun tipe
lambat ini seperti mantoux test (PPD) pada tuberkolosis.
a) Tes Mitsuda (reaksi lambat) : menggunakan basil kusta yang mati, hasilnya
diperiksa setelah 3-4 minggu.
Interpretasi:
 - tidak ada reaksi/ kelainan
 +/- papel + eritema  < 3 mm
 +1 papel + eritema  3 – 5 mm
 +2 papel + eritema  > 5 mm
 +3 ulserasi
b) Tes Fernandez (reaksi awal) : menggunakan fraksi proteim M. leprae, hasil
diperiksa setelah 48 jam.
Interpretasi:
 tidak ada kelainan
 +/- indurasi + eritema  < 5 mm
 + 1 indurasi + eritema  5 – 10 mm
 + 2 indurasi + eritema 10 – 15 mm
 + 3 indurasi + eritema  15 – 20 mm

20
3. Pemeriksaan Histopatologi
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada yang
mempunyai nama khusus, dan yang dari kulit disebut histiosit. Apabila SIS (Sistem Imun
Selular) tinggi, makrofag akan mampu memfagosit M.Leprae. Datangnya histiosit ke
tempat kuman disebabkan karena proses imunologik dengan adanya faktor kemotaktik.
Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan
berubah bentuk menjadi sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan dapat
berubah menjadi sel datia Langhans.
Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut
tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita
dengan SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M.Leprae yang
sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sebagai sel
Virchow atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.
Gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf
yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Tipe lepromatosa
terdpat kelim sunyi subepidermal ( subepidermal clear zone ) yaitu suatu daerah langsung
di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow dengan
banyak basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsur – unsur tersebut.

Gambar 2.13 Contoh Gambaran Histopatologi.

21
4. Pemeriksaan Serologik
Kegunaan pemeriksaan serologik adalah untuk membantu diagnosis kusta
yang meragukan, apabila tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas.

A. Uji FLA-ABS (Fluorescent leprosy Antibodi-Absorption test)


Uji ini menggunakan antigen bakteri M. leprae secara utuh yang telah dilabel
dengan zat fluoresensi. Hasil uji ini memberikan sensitivitas yang tinggi namun
spesivisitasnya agak kurang karena adanya reaksi silang dengan antigen dari
mikrobakteri lain.
B. Radio Immunoassay (RIA)
Uji ini menggunakan antigen dari M. leprae yang dibiakkan dalam tubuh
Armadillo yang diberi label radio aktif.
C. Uji MLPA (Mycobacterium leprae particle agglutination)
Uji ini berdasarkan reaksi aglutinasi antara antigen sintetik PGL-1 dengan
antibodi dalam serum. Uji MLPA merupakan uji yang praktis untuk dilakukan di
lapangan, terutama untuk keperluan skrining kasus seropositif.
D. Antibodi monoklonal (Mab) epitop MLO4 dari protein 35-kDa M.leprae
Menggunakan M. leprae sonicate (MLS) yang spesifik dan sensitif untuk
serodiagnosis kusta. Protein 35-kDa M. leprae adalah suatu target spesifik dan
yang utama dari respon imun seluler terhadap M. leprae, merangsang proliferasi
sel T dan sekresi interferon gamma pada pasien kusta dan kontak.
E. Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-Assay)
Uji ELISA pertama kali digunakan dalam bidang imunologi untuk menganalisis
interaksi antara antigen dan antibodi di dalam suatu sampel, dimana interaksi
tersebut ditandai dengan menggunakan suatu enzim yang berfungsi sebagai
penanda.
Dalam perkembangan selanjutnya, selain digunakan sebagai uji kualitatif untuk
mengetahui keberadaan suatu antibodi atau antigen dengan menggunakan antibodi atau
antigen spesifik, teknik ELISA juga dapat diaplikasikan dalam uji kuantitatif untuk
mengukur kadar antibodi atau antigen yang diuji dengan menggunakan alat bantu berupa
spektrofotometer.
Prinsip uji ELISA adalah mengukur banyaknya ikatan antigen antibodi yang
terbentuk dengan diberi label (biasanya berupa enzim) pada ikatan tersebut, selanjutnya
terjadi perubahan warna yang dapat diukur dengan spektrofotometer dengan panjang

22
gelombang tertentu. Pemeriksaan ini umumnya menggunakan plat mikro untuk tempat
terjadinya reaksi.

2.8 Diagnosis Banding9,15


Beberapa hal penting dalam menentukan diagnosis banding lepra:
 Ada Makula hipopigmentasi
 Ada daerah anestesi
 Pemeriksaan bakteriologi memperlihatkan basil tahan asam
 Ada pembengkakan/pengerasan saraf tepi atau cabang-
cabangnya.
1. Tipe I (makula hipopigmentasi) : tinea versikolor, vitiligo, pitiriasis rosea, atau
dermatitis seboroika atau dengan liken simpleks kronik.
2. Tipe TT (makula eritematosa dengan pinggir meninggi) : tinea korporis,
psoriasis,lupus eritematosus tipe diskoid atau pitiriasis rosea
3. Tipe BT,BB,BL (infiltrat merah tak berbatas tegas) : selulitis, erysipelas atau
psoriasis.
4. Tipe LL (bentuk nodula): lupus eritematous sistemik, dermatomiositis, atau erupsi
obat.
Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya berbentuk makula
saja, infiltrat saja atau keduanya. Penyakit kusta hampir serupa dengan penyakit kulit
lainya leh karena itu mendapat julukan the greatest imitator dalam ilmu penyakit kulit.
Secara inpeksi mirip dengan penyakit lainnya.

Tabel 2.7 Diagnosis Banding MH

23
2.9 REAKSI KUSTA11,23
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang
sebenarnya sangat kronik. Penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan
(cellular response) atau reaksi antigen antibody (humoral response). Reaksi ini dapat
terjadi sebelum pengobatan, tetapi terutama terjadi selama atau setelah pengobatan. Dari
segi imunologis terdapat perbedaan prinsip antara reaksi tipe 1 dan tipe 2, yaitu pada
reaksi tipe 1 yang memegang peranan adalah imunitas seluler (SIS), sedangkan pada
reaksi tipe 2 yang memegang peranan adalah imunitas humoral
a. Reaksi tipe 1
Menurut Jopling, reaksi kusta tipe I merupakan delayed hypersensitivity reaction yang
disebabkan oleh hipersensitivitas selular (reaksi reversal upgrading) seperti halnya reaksi

24
hipersensitivitas tipe IV. Antigen yang berasal dari kuman yang telah mati (breaking
down leprosy bacilli) akan bereaksi dengan limfosit T disertai perubahan sistem imun
selular yang cepat. Jadi pada dasarnya reaksi tipe I terjadi akibat perubahan
keseimbangan antara imunitas dan basil. Dengan demikian, sebagai hasil reaksi tersebut
dapat terjadi upgrading/reversal. Pada kenyataannya reaksi tipe I ini diartikan dengan
reaksi reversal oleh karena paling sering dijumpai terutama pada kasus-kasus yang
mendapatkan pengobatan, sedangkan down grading reaction lebih jarang dijumpai oleh
karena berjalan lebih lambat dan umumnya dijumpai pada kasus-kasus yang tidak
mendapat pengobatan.
Meskipun secara teoritis reaksi tipe I ini dapat terjadi pada semua bentuk kusta yang
subpolar, tetapi pada bentuk BB jauh lebih sering terjadi daripada bentuk yang lain
sehingga disebut reaksi borderline.
Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada
bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat. Artinya lesi
hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi lebih eritematosa, lesi makula
menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin infiltrat dan lesi lama menjadi bertambah lesi luas.
Tidak perlu seluruh gejala harus ada, satu saja sudah cukup.
b. Reaksi tipe II
Reaksi tipe II disebabkan oleh hipersensitivitas humoral, yaitu reaksi hipersnsitivitas
tipe III karena adanya reaksi kompleks antigen-antibodi yang melibatkan komplemen.
Terjadi lebih banyak pada tipe lepromatous juga tampak pada BL. Reaksi tipe II sering
disebut sebagai Erithema Nodosum Leprosum (ENL) dengan gambaran lesi lebih
eritematus, mengkilap, tampak nodul atau plakat, ukuran bernacam-macam, pada
umunnya kecil, terdistribusi bilateral dan simetris, terutama di daerah tungkai bawah,
wajah, lengan, dan paha, serta dapat pula muncul di hampir seluruh bagian tubuh kecuali
daerah kepala yang berambut, aksila, lipatan paha, dan daerah perineum. Selain itu,
didapatkan nyeri, pustulasi dan ulserasi, juga disertai gejala sistematik seperti demam dan
malaise. Perlu juga memperhatikan keterlibatan organ lain seperti saraf, mata, ginjal,
sendi, testis, dan limfe.
Tabel 2.8 Perbedaan RR dan ENL secara Klinik.
No. Gejala/tanda Tipe I (reversal) Tipe II (ENL)
1 Kondisi umum Baik atau demam ringan Buruk, disertai malaise
dan febris
2 Peradangan di Bercak kulit lama menjadi Timbul nodul kemerahan,

25
kulit lebih meradang (merah), lunak, dan nyeri tekan.
dapat timbul bercak baru Biasanya pada lengan dan
tungkai. Nodul dapat
pecah (ulserasi)
3 Waktu terjadi Awal pengobatan MDT Setelah pengobatan yang
lama, umumnya lebih dari
6 bulan
4 Tipe kusta PB atau MB MB
5 Saraf Sering terjadi Dapat terjadi
Umumnya berupa nyeri
tekan saraf dan atau
gangguan fungsi saraf
6 Keterkaitan Hampr tidak ada Terjadi pada mata, KGB,
organ lain sendi, ginjal, testis, dll
7 Faktor pencetus Melahirkan Emosi
Obat-obat yang Kelelahan dan stress fisik
meningkatkan kekebalan lainnya
tubuh kehamilan

Tabel 2.9 Perbedaan RR dan ENL Berdasarkan Derajat Keparahan


Gejala/ Tipe I Tipe II
tanda
Ringan Berat Ringan Berat
Kulit Bercak : Bercak : Nodul : Nodul : merah, panas,
merah, merah, tebal, merah,panas, nyeri yang bertambah
tebal, panas, panas, nyeri nyeri parah sampai pecah
nyeri yang
bertambah
parah sampai
pecah
Saraf tepi Nyeri pada Nyeri pada Nyeri pada Nyeri pada perabaan (+)
perbaan (-) perabaan (+) perabaan (-)
Keadaan Demam (-) Demam (+) Demam (+) Demam (+)
umum
Keterlibat - - - +
an organ Terjadi peradangan pada
lain :

26
 mata : iridocyclitis
 testis :
epididimoorchitis
 ginjal : nefritis
 kelenjar limpa :
limfadenitis
 gangguan pada
tulang, hidung, dan
tenggorokan
*bila ada reaksi pada lesi kulit yang dekat dengan saraf, dikategorikan sebagai reaksi
berat

2.9.1 Fenomena Lucio


Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada kusta tipe
lepromatosa non nodular difus. Gambaran klinis berupa plak atau infiltrat difus, bewarna
merah muda, bentuk tidak teratur dan terasa nyeri. Lesi terutama di ekstremitas,
kemudian meluas ke seluruh tubuh. Lesi yang berat tampak lebih eritematous disertai
purpura dan bula kemudian dengan cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi
lambat menyembuh dan akhirnya terbentuk jaringan parut.
Gambaran histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal iskemik dengan nekrosis
pembuluh darah superfisial, edema, dan proliferasi endhotelial pembuluh darah lebih
dalam. Didapatkan banyak basil M.Leprae di endotel kapiler. Walaupun tidak ditemukan
infiltrat PMN seperti pada ENL namun dengan imunofluoresensi tampak deposit
imunoglobulin dan komplemen di dalam dinding pembuluh darah.

27
Gambar 2.14 Fenomena Lucio (Ulcerasi Rekuren Berat karena Vaskulitis Cutaneus
yang Dalam).

2.10 PENATALAKSANAAN10,12,15,18

Tujuan utama dari pengobatan yaitu untuk memutuskan mata rantai penularan
untuk menurunkan insiden terjadinya penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita,
mencegah timbulnya penyakit, dan untuk mencapai tujuan tersebut, strategi pokok yang
dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan pengobatan penderita.
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin,
dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson
yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus
obat, dan untuk mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS
(Diaminodifenil sulfon) kemudoan klofazimin dan rifampicin. Pada tahun 1998 WHO
menambahkan 3 obat antibiotic lain untuk pengobatan alternative yaitu ofloksasin,
minosiklin, dan klaritomisin. Sejak tahun 1951 pengobatan tuberculosis dengan obat
kombinasi ditujukan untuk mencegah kemungkinan resistensi obaat sedangkan MDT
untuk kusta baru dimulai tahun 1971.

2.10.1 Terapi Obat


a. Obat Utama :
1. DDS
Merupakan obat pertama yang dipakai sebagai monoterapi. Seringkali dapat
menyebabkan resistensi (pertama kali dibuktikan tahun 1964). Resistensi terhadap DDS
ini yang memicu dilakukannya MDT. Dapson, diamino difenil sulfon bersifat
bakteriostatik yaitu mengahalangi atau menghambat pertumbuhan bakteri. Dapson
merupakan antagonis kompetitif dari para-aminobezoic acid (PABA) dan mencegah
penggunaan PABA untuk sintesis asam folat oleh bakteri. Efek sampingnya antara lain
nyeri kepala, erupsi obat, anemia hemolitik, leucopenia, insomnia, neuropati perifer,
sindrom DDS, nekrosis epidermal toksik, hepatitis, hipoalbuminemia, dan
methemoglobinemia.

28
2. Rifampisin
Dosis antikusta adalah 10 mg/kg BB. Rifampicin bersifat bakterisid. Rifampicin
bekerja dengancara menghambat DNA- dependent RNA polymerase pada sel bakteri
dengan berikatan pada subunit beta. Dipakai sebulan sekali dalam MDT karena efek
sampingnya. Efek samping yang perlu diperhatikan adalah hepatotoksik, nefrotoksik,
gejala gastrointestinal, flu-like syndrome, erupsi kulit, dan warna kemerahan pada
keringat, air mata, dan urin.

3. Klofazimin (lamprene)
Pada kasus kusta yang dimonoterapi dengan DDS dapat terjadi relaps/kambuh.
Clofazimin, merupakan bakteriostatik dan dapat menekan reaksi kusta. Clofazimin bekerja dengan
menghambat siklus sel dan transpor dari NA/K ATPase. Dosis yang dapat digunakan
adalah 1x50 mg setiap hari, atau 100 mg selang sehari, atau 3 x 100 mg selama seminggu.
Efek sampingnya adalah warna kecokelatan pada kulit dan warna kekuningan pada sclera
sehingga mirip ikterus. Hal tersebut disebabkan oleh klofazimin yang merupakan zat
warna dan dideposit terutama pada sel system retikuloendotelial, mukosa, dan kulit. Obat
ini menyebabkan pigmentasi kulit yang sering merupakan masalah dalam ketaatan
berobat penderita. Efek samping hanya terjadi dalam dosis tinggi, berupa gangguan
gastrointestinal yakni nyeri abdomen, nausea, diare, anoreksia, dan vomitus. Selain itu
dapat terjadi penurunan berat badan.Perubahan warna tersebut akan mulai menghilang
setelah 3 bulan obat diberikan.

4. Protionamid.
Dosis diberikan 5-10 mg/kg BB. Obat ini jarang dipakai. Distribusi dalam jaringan
tidak merata, sehingga kadar hambat minimal sukar ditentukan.

b. Obat alternatif:
1. Ofloksasin
Berdasarkan in vitro merupakan kuinolon yang paling efektif terhadap M. leprae.
Dosis tunggal dalam 22 dosis akan membunuh hingga 99,99%. Efek samping adalah
mual, diare, gangguan saluran cerna, gangguan saraf pusat (insomnia, nyeri kepala,
dizziness, nervousness dan halusinasi). Penggunaan pada anak dan ibu hamil dapat
menyebabkan artropati.
2. Minosiklin

29
Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidal lebih tinggi daripada
klaritromisin tapi lebih rendah daripada rifampisin. Dosis 100 mg. Efek samping antara
lain hiperpigmentasi, simtom saluran cerna dan SSP.
3. Klaritromisin
Kelompok antibiotik makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal M. leprae. Dosis
harian selama 28 hari dapat membunuh 99% dan selama 56 hari sebesar 99,99%. Efek
sampingnya adalah nausea, vomitus, dan diare.
Tabel 2.11 PB dgn lesi tunggal diberikan ROM (Rifampicin Ofloxacin
Minocyclin) dosis tunggal.

Rifampicin Ofloxacin Minocyclin


Dewasa
600 mg 400 mg 100 mg
(50-70 kg)
Anak-anak
300 mg 200 mg 50 50mg
*(5-14 tahun)
*
 Tidak dianjurkan untuk wanita hamil atau anak-anak kurang dari 5 tahun
Tabel 2.12 Tipe PB dengan lesi 2-5.
Dapson Rifampisin
Dewasa 100 mg 600 mg

50-70 kg Setiap hari Sebulan sekali di bawah


pengawasan
Anak 50 mg 450 mg

10-14 tahun * Setiap hari Sebulan sekali di bawah


pengawasan
*
Menyesuaikan dosis tepat untuk anak kurang dari 10 tahun. Misalnya, dapson 25 mg setiap hari
dan rifampisin 300 mg diberikan sebulan sekali di bawah pengawasan.
MDT untuk pausibasilar ( I, TT, BT ) adalah rifampicin 600 mg setiap bulan dan DDS
100 mg setiap hari. Keduanya diberikan selama 6 bulan sampai 9 bulan. setelah minum 6
dosis maka dinyatakan RFT (Released From Treatment). Selama pengobatam,
pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan bakterioskopis setelah 6 bulan pada akhir
pengobatan. Pemeriksaan dilakukan minimal setiap tahun selama 2 tahun secara klinis
dan bakterioskopis. Kalau tidak ada keaktivan baru secara klinis dan bakterioskopis tetap
negative, maka dinyatakan RFC (Release From Control).

30
Gambar 2.15 Contoh Blister Pack MDT PB Dewasa.

Pengobatan MDT untuk pausibasilar adalah Rifampisin 600 mg setiap bulan, dengan
pengawasan dan Dapson/DDS 100 mg setiap hari. Pengonsumsian Rifampisin diberikan
setiap hari pertama penggunaan blister baru dan dilakukan didepan petugas. Selama
pengobatan diberikan pemeriksaan klinis setiap bulan dan bakterioskopis setelah 6 bulan
(pada akhir pengobatan). Pemeriksaan dilakukan minimal setiap tahun selama 2 tahun
secara klinis dan bakterioskopis. Apabila31negatif, dinyatakan RFC. Anjuran terbaru dari
WHO mengatakan RFC tidak diperlukan, walau ada perdebatan untuk mengawasi adanya
reaksi dan relaps.

31
Tabel 2.13 Tipe MB yaitu dengan lesi kulit > 5.
Dapsone Rifampisin Clofazimin
Dewasa 100 mg 600 mg 50 mg DAN 300 mg

50-70 kg Setiap Hari Sebulan sekali di Setiap Sebulan


bawah hari sekali di
pengawasan bawah
pengawasan
Anak 50 mg 450 mg 50 mg DAN 150 mg

10-14 tahun * Setiap hari Sebulan sekali di Setiap Sebulan


bawah hari sekali di
pengawasan bawah
pengawasan
*
Menyesuaikan dosis tepat untuk anak kurang dari 10 tahun. Misalnya, dapson 25 mg
sehari, rifampisin 300 mg diberikan sebulan sekali di bawah pengawasan, klofazimin, 50
mg diberikan dua kali seminggu, dan klofazimin 100 mg diberikan sebulan sekali di
bawah pengawasan.

Pasien akan dibagikan 12 strip obat, dimana setiap strip dihabiskan dalam 28 hari.
Walaupun begitu, 12 strip tersebut dapat dihabiskan minimal selama 18 bulan.
Pengobatan hari pertama dilakukan dengan pengawasan oleh petugas : kombinasi
Klofazimin, Rifampisin, dan Dapson/DDS. Pengobatan hari ke-2 sampai hari ke-28
dilakukan tanpa pengawasan. Obat yang dikonsumsi pada periode ini adalah Klofazimin
dan Dapson. Pengonsumsian Klofazimin dapat dilakukan dengan 3 cara : (1) 50 mg/ hari,
(2) 100 mg/2 hari, (3) 3x100 mg per 1 minggu.
Selama pengobatan dilakukan pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan secara
bakterioskopis setiap 3 bulan. Setelah pengobatan selesai, maka disebut RFT (Release
from treatment). Setelah RFT dilakukan tindak lanjut secara klinis dan bakterioskopis
minimal setiap tahun selama 5 tahun. Apabila negatif, maka dinyatakan bebas dari
pengamatan atau RFC (Release from control).
Namun, yang dilakukan sekarang, apabila secara klinis sudah tidak ada keluhan, maka
dapat dihentikan pemberian obat, tanpa memperhatikan bakterioskopis.

32
Gambar 2.15 Contoh Blister Pack MDT MB Dewasa

33
2.10.2 Pengobatan Situasi Khusus
1. Pasien yang tidak dapat mengonsumsi rifampisin (karena efek-samping atau
resisten rifampisin).
Dilakukan pengobatan selama 24 bulan :
- 6 bulan pertama : Setiap hari mengonsumsi 50 mg Clofazimin ditambah dengan
dua dari antara (1) Ofloxacin 400 mg, (2) minosiklin 100 mg, dan (3)
claritromisin 500 mg
- 18 bulan berikutnya : setiap hari konsumsi 50 mg Clofazimin, ditambah dengan
100 mg minosiklin ATAU ofloksasin 400 mg. apabil tersedia, ofloxacin dapat
diganti dengan moksifloksasin 400 mg.
2. Pasien yang tidak dapat mengonsumsi klofazimin (efek samping)
Dapat diganti dengan ofloksasin 400 mg, atau monisiklin 100 mg, atau
moksifloksasin 400 mg dalam regiemen MB 12 bulan. Dapat juga diganti regimen
MDT 12 bulan dengan konsumsi rifampisin 600 mg + ofloksasin 400 mg +
minosiklin 100 mg setiap bulan selama 24 bulan.
3. Pasien yang tidak dapat konsumsi dapson/DDS
Pada regimen pengobatan MB, DDS distop segera. Pada regimen pengobatan PB,
klofazimin dapat digunakan untuk menggantikan DDS, dengan dosis yang sama
dengan dosis pada regimen pengobatan MB.

2.10.3 Relaps
Risiko relaps dapat terjadi pada pasien dengan IB sebelum pengobatan sebesar >3.
WHO menyarankan agar pasien dengan IB yang tinggi dapat diterapi lebih dari 12 bulan,
dengan mempertimbangkan kontrol gejala klinis dan bakteriologisnya. Beberapa studi
menyebutkan bahwa mengulang regimen secara total dapat menyembuhkan kasus relaps
tersebut. Relaps yang lebih sering terjadi adalah relaps sensitif (persisten) dibandingkan
dengan relaps resisten.

2.10.4 Pengobatan Reaksi Kusta1,4,9

1. Reaksi tipe 1 (reversal)


Gejala klinis reaksi reversal adalah sebagian atau seluruh lesi yang telah ada
bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat

34
Tabel 2.14 Dosis Prednisone Harian Menurut Minggu Pemberian.

Minggu pemberian Dosis prednisone harian yang dianjurkan

1-2 40 mg

3-4 30 mg

5-6 20 mg

7-8 15 mg

9-10 10 mg

11-12 5 mg

Kalau tanpa neuritis, maka tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Anggota gerak
yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Analgetik dan sedatif juga dapat
diberikan.

2. Reaksi tipe 2 (ENL)


Prednison merupakan obat yang paling sering dipakai. Dosis dan lama pengobatan
bergantung kepada derajat keparahan reaksi, namun tidak melebihi 1 mg/kg BB dan 12
minggu. Dapat ditambahkan analgetik-antipiretik dan sedatif.
Apabila tidak membaik dengan kortikosteroid, dapat digunakan klofazimin dengan dosis
3x100 mg per hari dengan lama maksimum 12 minggu, dengan tappering menjadi 2 x
100 mg selama 12 minggu dan 1 x 100 mg selama 12-24 minggu. Perlu diperhatian
bahwa untuk membaik diperlukan 4-6 minggu untuk klofazimin mengontrol ENL.

2.10.5 Kecacatan
Penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat MDT mempunyai
risiko tinggi terjadinya kerusakan saraf. Penderita dengan reaksi kusta terutama reversal
juga mempunyai faktor risiko yang lebih tinggi. Kerusakan saraf berbentuk nyeri saraf,
hilangnya sensibilitas dan berkurangnya kekuatan otot. Terdapat keluhan sehari-hari
seperti susah memasang kancing baju, memergang pulpen, atau mengambil benda kecil,
atau kesulitan berjalan.

35
Cara terbaik untuk melakukan pencegahan adalah dengan diagnosis dini, mengenali
reaksi kusta, identifikasi pasien dengan risiko tinggi.

Tabel 2.15 Derajat Kecacatan

Cacat pada tangan dan kaki

Tingkat 0 Tidak ada gangguan sensibilitas, kerusakan dan deformitas

Tingkat 1 Ada gangguan sensibilitas TANPA kerusakan atau deformitas

Tingkat 2 Terdapat kerusakan atau deformitas

Cacat pada mata

Tingkat 0 Tidak ada kelainan/kerusakan

Tingkat 1 Ada kelainan/kerusakan pada mata yang tidak terlihat, visus


sedikit berkurang

Tingkat 2 Ada kelainan mata yang terlihat (lagotalmus, iritis, kornea


keruh) dan/atau visus sangat terganggu

Pada pasien tingkat 1 dapat dilakukan langkah pencegahan seperti penggunaan sepatu,
karena pada pasien dengan baal di kaki dapat menyebabkan luka-luka yang dapat
menyebabkan infeksi sekunder pada kaki. Alat pelindung diri lain yang dapat digunakan
juga adalah sarung tangan untuk tangan, dan kacamata untuk melindungi mata. Selain itu,
kebersihan dan kelembaban kulit telapak tangan dan kaki juga harus dijaga untuk
mencegah penyakit kulit yang dapat terjadi.

2.10.6 Rehabilitasi Sosial, Psikologis, dan Vokasional

Latar belakang sosial dan budaya memainkan peranan penting dalam proses penyakit
serta pengobatan yang akan dilalui pasien. Pasien mungkin susah menerima kenyataan
dan beberapa kalangan masyarakat mungkin akan menunjukkan penolakan terhadap
pasien lepra. Untuk itu, ilmu pengetahuan, kepercayaan dari keluarga, dukungan teman,
dokter, serta peranan dokter bedah plastik dalam mengobati lesi-lesi yang mungkin
mengarah kepada stigma negatif masyarakat akan berperan penting dalam proses
penyembuhan pasien.

36
2.10.7 Pencegahan dan Kontrol
Strategi WHO dalam menurunkan angka morbiditas dan mortalitas lepra antara lain
menekankan kepentingan pelayanan kesehatan yang aksesibel, mengutamakan pasien,
pelayanan kesehatan lepra gratis dengan MDT, menekankan pentingnya mencegah
kecacatan, serta sistem rujukan untuk penanganan komplikasi yang mungkin terjadi.

2.11 PROGNOSIS
Dengan adanya obat-obat kombinasi, pengobatan menjadi lebih sederhana dan lebih
singkat, serta prognosis menjadi lebih baik. Jika sudah ada kontraktur dan ulkus kronik,
prognosis kurang baik. Penegakan diagnosis secara tepat dan cepat juga berpengaruh
pada prognosis dikarenakan semakin cepat dilakukan pengobatan yang teratur maka
komplikasi - komplikasi dan resiko kecacatan dapat dihindari.

BAB III
KESIMPULAN

37
Tiga tanda kardinal yang khas pada morbus hansen yaitu lesi kulit yang mati rasa

(hipopigmentasi atau eritema yang mati rasa atau anestesi), penebalan saraf perifer dan

ditemukan M. leprae (bakteriologis positif). Sedangkan untuk membedakan jenis morbus

hansen yang diderita maka dilakukan pemeriksaan penunjang dengan pemeriksaan BTA

dan menentukan indeks bakteri. Pengobatannya disarankan memakai program Multi

Drugs Therapy (MDT), yang direkomendasikan oleh WHO sejak 1981. Tujuan dari

program MDT adalah mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, menurunkan

angka putus obat (drop-out rate) dan ketidaktaatan penderita. Komplikasi utama yang

ditakutkan adalah kecacatan bagian tubuh akibat hilangnya sensitifitas terutama pada

kulit. Adanya obat-obat kombinasi pengobatan kusta menjadi lebih sederhana dan

prognosis penyakit ini dengan menjadi lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

38
1. Hiswani. (2001). Kusta Salah Satu Penyakit Menular yang Masih di
Indonesia. Kesehatan, 1-5.

2. Kemenkes RI. (2018). Profil kesehatan Indonesia tahun 2017. Kementerian


Kesehatan RI. Jakarta.

3. World Health Organization. WHO model prescribing information: drug


used in leprosy. Diunduh dari:
http://apps.who.int/medicinedocs/en/d/Jh2988e/1.html, 21 Maret 2020.

4. Donadeu, M., Lightowlers, M. W., Fahrion, A. S., Kessels, J., & Abela-
Ridder, B. (2017). Global leprosy update, 2016: accelerating reduction of
disease burden. Weekly Epidemiological Record, 92(35), 501–520.

5. Dinkesprov Jawa Timur. (2017). Profil kesehatan Provinsi Jawa Timur tahun
2016. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. Surabaya

6. Ramos, J. M., Martin, M. M., Reyes, F., Lemma, D., Belinchon, I., &
Gutierrez, F. (2012). Gender Differential on Characteristics and Outcome of
Leprosy patients Admitted to a Long-term Care Rural Hospital in South-
Eastern Ethiopia. International Journal For Equity in Health, 1-5.

7. Wolff, K., Johnson, R. A., & Suurmond, D. (2007). The Color Atlas and
Synopsis of Clinical Dermatology. USA: Mc Graw Hill.

8. Widodo, A. A., & Menaldi, S. L. (2012, November 11). Patients,


Characterictics of Leprosy. Indon Med Assoc, 62, 424.

9. Bryceson A, Pfaltzgraff RE. Leprosy. Edisi ke-3. Edinburg: Churchil


Livingstone; 1990.

10. Amirudin MD, Hakim Z, Darwis E. Diagnosis penyakit kusta. Dalam : Daili
ES, Menaldi SL, Ismiarto SP, Nilasari H, editor. Kusta. Kelompok Studi
Morbus Hansen Indonesia. Makasar, 2003. h. 12 – 32.

11. Rees RJW, Young DB. The microbiology of leprosy. Dalam : Hasting RC,
editor. Leprosy. Edisi ke-2. Edinburg: Churchil Livingstone; 1994. h.49-83

12. Scollard, D. M., Adams, L. B., Gillis, T. P., J. L. Krahenbuhl, R. T., &
Williams, D. L. (2006). The Continuing Challenges of Leprosy. Clinical
Microbiology Reviews, 339-372.

13. Levinson, W. (2010). Medical Microbiology & Immunology. USA: McGraw-


Hill Companies.

39
14. Ridley DS, Jopling WH. Classification of leprosy according to immunity: a
five group system. Int J Lep 1996; 34: 255-77

15. Buku pedoman nasional pengendalian penyakit kusta. Departemen Kesehatan


Republik Indonesia. Jakarta, 2007

16. Kumar, Abbas, Fausto, & Mitchell. (2007). Basic Pathology. USA: Elsevier.

17. Noon, L. A., & Lloyd, A. C. (2006). Treating leprosy. USA: Science Direct.

18. Groenen, G., & Saunderson, P. (2002). How to Diagnose and Treat Leprosy?
London: The International Federation of Anti-Leprosy Associations.

19. A.Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe – Dili, Sri Linuwih Menaldi.
Kusta. Dalam : Djuanda,Adhi dkk.(ed). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Edisi Kelima Cetakan Kelima. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.2010;73-88

20. Rea TH, Modlin RL. 1999. Leprosy : Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine. 5th ed. New York : McGraw-Hill. p. 2306-18.

21. Pfaltzgraff RE, Ramu G. Clinical leprosy. Dalam : Hasting RC, editor.
Leprosy. Edisi ke-2. Edinburg: Churchil Livingstone; 1994. h. 237-87.

22. Kumar B, Dogra S. Leprosy : A disease with diagnostic and management


challenges. Indian J. Dermatol Venereol Leprol. 2009; 75(2): 111-5.

23. Agusni I, Menaldi SL.Beberapa prosedur diagnostik baru pada penyakit kusta.
Dalam : Daili ES, Menaldi SL, Ismiarto SP, Nilasari H, editor. Kusta.
Kelompok Studi Morbus Hansen Indonesia. Makasar, 2003. h.59-65.

40

Anda mungkin juga menyukai