REFERAT
IKTIOSIS
Diajukan untuk memenuhi sebagian tugas kepaniteraan klinik dan melengkapi salah satu
syarat menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter di Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin RS Islam Jemursari Surabaya
Disusun oleh:
Dana Madya Puspita
6120018002
Pembimbing:
dr. Meidyta Sinantryana W., Sp. KK
IKTIOSIS
Oleh :
Referat “Iktiosis” ini telah diperiksa, disetujui, dan diterima sebagai salah satu tugas
dalam rangka menyelesaikan studi kepanitraan klinik di bagian Dermatologi dan Venereologi
RSI Jemur Sari Surabaya, Fakultas Kedokteran Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya.
Mengesahkan,
Dokter Pembimbing
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL 1
LEMBAR PENGESAHAN 2
DAFTAR ISI 3
PENDAHULUAN 4
DEFINISI 5
ETIOLOGI 5
EPIDEMIOLOGI 5
FAKTOR PREDISPOSISI 6
KLASIFIKASI 7
MANIFESTASI KLINIS 8
PATOFISIOLOGI 12
PENGOBATAN UMUM 14
PEMERIKSAAN 15
DAFTAR PUSTAKA 16
3
PENDAHULUAN
Iktiosis merupakan kelompok berbagai penyakit kulit heterogen ditandai kulit kering
dan kasar disertai sisik yang terlokalisir atau generalisata dengan variasi keterlibatan
manifestasi sistemik lain. Sisik pada penyakit ini diakibatkan penyimpangan diferensiasi dan
deskuamasi epidermis.1-3
Iktiosis dapat mucul secara kongenital ataupun akuisita. Iktiosis dikelompokkan
berdasarkan pola penurunan dan gambaran klinis menjadi autosomal dominan atau semi
dominan, X-linked, dan autosomal resesif.1 Iktiosis vulgaris (IV) merupakan jenis iktiosis
autosomal semidominan dengan angka kejadian tertinggi yakni 1 di antara 250 pada 6051
anak di Inggris.2 Insiden iktiosis resesif X-linked mencapai 1 di antara 2000 pria pada
populasi pria Denmark.2 Angka kejadian iktiosis di indonesia belum diketahui.3
Pasien iktiosis mangalami gangguan fungsi perlindungan kulit dan penurunan
kemampuan pertahanan terhadap bakteri, bahan kimiawi, dan kerusakan mekanik.
Konsekuensi dari kondisi kulit iktiotik dapat mengancam jiwa, melalui peningkatan risiko
infeksi, dan peningkatan metabolisme akibat peningkatan turnover epidermal serta
kehilangan air dan panas tubuh.6
Menegakkan diagnosis iktiosis secara tepat dapat menjadi suatu hal menantang,
karena terdapat banyak variasi dan kemiripan bentuk klinis penyakit ini dengan penyakit kulit
lain.1 Penatalaksanaan tepat dan cepat dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas
pada pasien iktiosis, sehingga penting untuk membahas iktiosis lebih lanjut.
4
DEFINISI
Iktiosis dideskripsikan sebagai kulit tubuh yang kasar kering dan disertai sisik
berlebihan yang berasal dari bahasa Yunani yaitu ichthys yang berarti ikan. Iktiosis secara
klinis dan genetik diartikan sebagai kelompok penyakit kulit heterogen ditandai skuama
dengan pola difus, generalisata, seragam dan persisten tanpa keterlibatan mukosa dan
ekstrakutan (kecuali sindrom iktiosiformis). Iktiosis merupakan penyakit kulit dengan
gangguan keratinisasi atau kornifikasi.1,2
ETIOPATOGENESIS
Kulit iktiotik memiliki kualitas dan kuantitas skuama abnormal, gangguan fungsi
perlindungan stratum korneum, dan dapat disertai gangguan proses proliferasi sel epidermal.
Penebalan stratum korneum dapat disebabkan peningkatan laju proliferasi sel atau pelepasan
(deskuamasi korneosit) yang terlalu lambat, atau kedua kondisi tersebut.1,2
Proses diferensiasi epidermal merupakan hal kompleks dan tidak seutuhnya dipahami.
Kelainan pada berbagai aspek dan tahap dari proses ini dapat menyebabkan stratum korneum
abnormal dan sisik. Cacat gen yang mendasari kelaianan ini telah teridentifikasi. Mutasi pada
gen yang mengkode keratin suprabasal epidermal, keratin 1 dan 10, menyebabkan mutasi gen
pengkode transglutaminase 1 pada EHK. Enzim tersebut mengkatalisis silang protein dan
seramid selama pembentukan korneosit, dan ditemukan pada 55% pasien iktiosis kongenital
autosomal resesif.1,2
Steroid sulfatase mengontrol hidrolisis kolesterol sulfat di korneosit dan dianggap
penting dalam regulasi deskuamasi korneosit. Pada iktiosis X-linked resesif terdapat
defisiensi steroid sulfatase. Obat penurun kolesterol serum (misalnya, asam nikotinat,
triparanol) dapat menyebabkan perbaikan pada kulit iktiotik, hal ini menunjukkan
homeostasis lemak penting bagi proses keratinisasi normal1,2
Mutasi pada gen pengkode enzim biosintesis kolesterol merupakan penyebab
kondrodisplasia punctata X-linked dominan dan sindrom kongenital hemidisplasia dengan
iktisosiformis eritroderma dan cacat anggota tubuh (CHILD). Identifikasi mutasi serin
protease inhibitor, kazal jenis 5 (SPINK5), menyebabkan sindrom Netherton. SPINK5
merupakan gen pengkode protease inhibitor, pada sindrom Netherton telah dibuktikan peran
proteolisis dan protease inhibitor dalam proses diferensiasi epidermis. Temuan kelainan
connexin berhubungan dengan eritrokeratodermia variabilis, sindrom keratitis, iktiosis, dan
tuli (KID). Defisiensi atau ketiadaan gen filagrin (FLG) berhubungan dengan penurunan
5
kelembaban stratum korneum pada pasien IV. Mutasi FLG juga dapat mengakibatkan fenotip
klinis yang lebih parah pada kelainan kulit lain.1,2,3
EPIDEMIOLOGI
Iktiosis vulgaris merupakan kasus autosomal semi dominan paling banyak dengan
insiden mencapai 1 di antara 250 pada populasi.2 Insiden iktiosis resesif X-linked mencapai 1
di antara 2000 pria pada populasi pria Denmark. Iktiosis lamelar (IL) merupakan kelainan
autosomal resesif dengan insiden 1 berbanding 300.000 pada populasi di seluruh dunia.
Hiperkeratosis epidermolitik (EHK) merupakan kelainan autosomal dominan langka dengan
insiden 1 di antara 200.000 hingga 300.000 kelahiran. Sindrom Netherton merupakan kondisi
autosomal resesif dengan insiden 1 di antara 200.000 kelahiran. Sindrom Sjogren-Larsson
(SLS) adalah kondisi autosomal resesif langka dengan insiden 1 di antara 100.000 kelahiran
di populasi di seluruh dunia.1,2
DIAGNOSIS
Diagnosis iktiosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
bertujuan untuk mencari bentuk klinis setiap tipe iktiosis yang dapat sangat bervariasi.
Cakupan klinis penyakit ini sangat heterogen, mengakibatkan diagnosis klinis dapat
membingungkan dan meragukan.1,2
Diagnosis secara molekuler lebih dipercaya. Metode pengambilan sampel berupa
fetoskopi dan biopsi kulit janin hanya dilakukan pada masa kehamilan. Pelaksanaan
pengambilan sampel meningkatkan risiko kematian janin, maka telah jarang dilakukan.
Sampel janin untuk diagnosis molekuler lebih optimal diambil pada fase awal kehamilan.
Sampel janin dapat diambil dari vili chorionic pada trimester pertama (10-12 pekan setelah
periode menstruasi terakhir) atau dengan amniosentesis pada trimester kedua. Diagnosis
genetik praimplantasi adalah diagnosis alternatif, dan telah banyak dilakukan untuk penyakit
genetik, termasuk IL dan EHK. Prosedur mengharuskan pasangan menjalani fertilisasi in
vitro untuk mendapatkan embrio. Embrio kemudian disaring dengan metode molekuler untuk
mendeteksi mutasi dalam keluarga. Embrio yang terbukti bebas mutasi dipilih dan kemudian
digunakan untuk implantasi dalam rahim guna mencapai kehamilan. Metode diagnosis
molekuler non-invasif [evaluasi asam deoksiribonukelik (DNA) janin yang beredar dalam
darah ibu] berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut. Gangguan autosomal resesif dimana
mutasi telah diketahui (misalnya IL), deteksi pembawa dapat dilakukan untuk kerabat yang
berisiko.1
6
Diagnosis pada Iktiosis Vulgaris ditegakkan berdasarkan gambaran klinis berupa
penemuan granula keratohilin yang abnormal melalui pemeriksaan mikroskop electron. 4
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khusus pada penderita ini. Diagnosis ini didapat
berdasarkan tipe genetik, distribusi dan karakteristik kulit, histologi dan ultrastruktural
penderita.11
PEMERIKSAAN
Iktiosis memiliki berbagai macam tipe klinis yang dapat membingungkan.
Pemeriksaan penunjang untuk iktiosis yang paling sering digunakan adalah pemeriksaan
histopatologi. Pada pemeriksaan histopatologi dapat membantu membedakan beberapa tipe
dan menilai derajat keparahan penyakit tersebut.1 Gambaran histopatologi IV ditemukan
penebalan stratum korneum disertai akantosis dengan stratum granulosum yang normal
(Gambar 1), sedangkan pada EHK didapatkan hiperkeratosis pada stratum granulosum serta
perubahan vakuola pada bagian atas stratum spinosum (Gambar 2).4 Iktiosis didiagnosis
secara prenatal menggunakan diagnosis molekular. Teknik pengumpulan sampel pada
pemeriksaan prenatal seperti fetoskopi dan biopsi kulit janin meningkatkan risiko mortalitas
janin, maka jarang dilakukan. Sampel janin paling baik diambil pada fase awal kehamilan.4
KLASIFIKASI
Iktiosis dapat mucul secara kongenital ataupun diperoleh. Belum terdapat pembagian
iktiosis secara baku. Simens memperkenalkan konsep genetik ke dalam iktiosis. Wells dan
Kerr mengklasifikasikan iktiosis berdasarkan konsep genetik dan membedakan iktiosis X-
linked resesif dari IV. Van Scott, Frost dan Weinstein mengklasifikasikan iktiosis
berdasarkan perbedaan laju pematangan epidermis, ditandai dengan kelainan hiperproliferasi
epidermal atau kelainan pemanjangan perlepasan stratum korneum. Williams dan Elias
membuat sebuah klasifikasi gangguan kornifikasi berdasarkan data klinis, genetik, atau
biokimia. Traupe membagi iktiosis pada tingkat klinis menjadi empat kategori utama: IV
terisolasi, termasuk IV dan iktiosis X-linked resesif; iktiosis dari jenis vulgar seperti penyakit
7
Refsum; iktiosis bawaan terisolasi, seperti bayi harlequin, iktiosis non-bulosa dan iktiosis
epidermolitik; dan iktiosis kongenital, seperti sindrom Sjögren-Larsson dan sindrom
Netherton; dan iktiosis X-linked dominan. 1,2
Pendekatan genetik untuk memahami iktiosis telah mengungkapkan banyak cacat gen
yang mendasari genodermatosis ini. Mengetahui mutasi gen tertentu, mengarahkan kita untuk
mengetahui proses patofisiologis yang mendasari. Iktiosis kongenital berdasarkan pola
penurunan dan gambaran klinis dibagi menjadi iktiosis autosomal semidominan, iktiosis
autosomal dominan, iktiosis X-linked resesif, dan iktiosis autosomal resesif (Tabel 1).1
MANIFESTASI KLINIS
IKTIOSIS KONGENITAL
Iktiosis Autosomal Semidominan
Iktiosis Vulgaris
Iktiosis vulgaris merupakan bentuk iktiosis kongenital yang paling sering terjadi. 1
Hiperlinear palmar sering ditemukan, dan beberapa pasien mungkin memiliki penebalan
palmar/plantar yang mendekati kondisi keratoderma. Keratosis pilaris umum didapatkan,
walapun pada pasien IV ringan, dan biasanya melibatkan sisi luar lengan bawah, bagian
ekstensor paha, dan bokong. Atopi juga sering didapatkan dan dapat bermanifestasi
sebagai hay fever, eczema atau asma. Hipohidrosis disertai intoleransi panas dapat muncul
pada individu dengan IV, namun sangat jarang terjadi. Perburukan kondisi pasien biasanya
8
berhubungan dengan iklim yang kering dan dingin, namun sebaliknya pada iklim yang hangat
dan lembab kondisi pasien akan semakin cepat mengalami perbaikan.1,2
Gambar 3 Hiperkeratosis epidermolitik. Bayi baru lahir menunjukkan lepuh dan erosi.1
9
Gambar 4 Klinis fenotip hiperkeratosis epidermiolitik. NPS (Hipekeratosis ringan pada palmar) tipe telah
ditunjukkan. A. NPS-1 (NPS-tipe 1). B. NPS-2 (NPS-tipe 2). C. NPS-3 (NPS-tipe 3)1
Gambar 5 PS (Hiperkeratosis berat pada telapak tangan) tipe telah ditunjukkan. A. PS-1 (PS-tipe 1).
B. PS-2 (PS-tipe 2). C. PS-3 (PS-tipe 3)1
10
Iktiosis histriks oleh Curth dan Macklin adalah kondisi yang langka, gangguan
autosomal dominan yang secara klinis menyerupai EHK. Ekspresi klinis bervariasi, bahkan
dalam keluarga, dari palmoplantar keratoderma hingga lesi generalisata parah. Terdapat lesi
yang dapat meluas, tebal, hiperkeratosis bewarna abu-coklat, dan sebagian besar ditemukan
pada lengan ekstensor dan kaki. Pasien dengan lesi yang luas mirip dengan EHK berat tanpa
keterlibatan plantar atau dengan porcupine like (histriks) hiperkeratosis. Namun sebaliknya,
berbeda dengan EHK, lepuh tidak terjadi.1,2
Eritrokeratodermia
Eritrokeratodermia adalah kelompok gangguan klinis dan genetik heterogen
ditandai dengan hiperkeratosis dan eritem lokal. Dalam spektrum fenotip yang luas,
setidaknya terdapat dua gangguan, eritrokeratodermia variabilis dan eritrokeratodermia
simetris progresif. Terdapat gambaran klinis yang tumpang tindih dan fenotip bervariasi
dalam dua tipe ini.1
Eritrokeratodermia Variabilis
Eritrokeratodermia variabilis, dijelaskan oleh Mendes da Costa pada tahun 1925
adalah suatu gangguan langka yang biasanya ditemukan pada saat lahir atau selama
tahun pertama kehidupan. Eritrokeratodermia variabilis dapat diturunkan secara autosomal
dominan dan resesif. Pada eritrokeratodermia minimal terdapat dua manifestasi klinis
berbeda. Salah satu jenis (Gambar 6) ditandai dengan plak hiperkeratotik, persisten, merah
hingga coklat dan generalisata dan batas tegas. Kedua tipe lokal dengan luas terbatas dan
ditandai dengan plak hiperkeratosis berbatas tegas, tersusun simetris dan relatif tetap selama
bulan hingga tahun. Kedua jenis eritrokeratodermia ditandai dengan bercak merah mencolok,
berbatas tegas, yang bervariasi dalam ukuran. Bercak merah figurate dapat muncul atau
hilang dalam menit hingga jam, beberapa individu mengeluh rasa terbakar pada daerah
tersebut, sementara pada orang lain tidak menunjukkan gejala. Pengobatan retinoid sistemik
menyembuhkan lesi hiperkeratosis dan juga menghapus bercak merah figurate. Lesi kulit
hiperkeratosis dapat dipicu oleh trauma pada kulit dan bercak merah dapat dipicu oleh
perubahan suhu. Hiperkeratosis palmoplantar mungkin ada, namun rambut, kuku, dan selaput
lendir tidak terpengaruh.1
11
Gambar 6. Eritrokeratodermia variabilis1
Eritrokeratodermia Simetrik
Progresif eritrokeratodermia simetris progresif, pertama dijelaskan oleh Darier di
tahun 1911, ditandai plak hiperkeratosis berbatas tegas, eritem, yang simetris dan
distribusikan pada ekstremitas dan bokong, dan sering pada muka, truncus cenderung
terhindar, tetapi telapak tangan dan kaki dapat terlibat. Plak muncul segera setelah lahir,
berkembang perlahan selama beberapa tahun pertama, dan kemudian stabil pada usia balita.
Plak biasanya tetap stabil di lokasi tersebut mungkin mengalami regresi parsial pada masa
pubertas.1
Gambar 7. Iktiosis X-linked resesif. A. Skuama besar, gelap dan muncul paling banyak ditemukan pada area
fleksura. B. Lengkungan biru ini ditemukan di kornea pada potongan melintang menggunakan pemeriksaan slit-
lamp. Opasitas terlihat putih.1
12
Iktiosis Autosomal Resesif Kongenital
Iktiosis autosomal resesif kongenital adalah kondisi langka dan diperkirakan terjadi
sekitar 1 di antara 300.000 orang. Iktiosis autosomal resesif kongenital dibagi menjadi dua
oleh Williams dan Elias menjadi IL dan eritroderma iktiosiformis kongenital (CIE), yang
merupakan bentuk eritrodermik yang lebih ringan.1 Pasien IL terdapat skuama berukuran
besar dan berwarna gelap, sementara pada bayi mungkin berwarna eritem saat lahir, dan pada
orang dewasa hanya sedikit yang tidak terdapat eritroderma. 7 Pada kasus yang parah,
presentasi IL pada kulit wajah berupa tarikan kelopak mata dan bibir, berujung pada
ektropion dan eklabium. Scarring alopesia, paling jelas pada kulit kepala perifer, mungkin
merupakan bagian dari penarikan garis rambut (Gambar 8). Berbeda dengan IL, pada CIE
terdapat eritem generalisata disertai sisik putih. Pasien dengan CIE klasik hanya sedikit yang
tidak terdapat ektropion, eklabium, atau alopesia (gambar 9), namun banyak pasien yang
keadaan klinisnya tidak cocok sepenuhnya dengan dua deskripsi klinis ini.10
Gambar 8. Iktiosis lamelar fenotip klasik. A. Ektropion. B and C. Skuama besar coklat Plate-like.1
13
Gambar 9. Congenital ichthyosiform erythroderma. Eritem, terang, disertai skuama putih halus.1
Bayi Kolodion
Bayi kolodion lahir terbungkus dalam sebuah membran tembus pandang, mirip
perkamen yang kencang (Gambar 10) dan dapat mengganggu pernapasan dan kemampuan
untuk mengisap. Keterlibatan dapat bervariasi dari ringan sampai berat, tetapi variasi ini
belum dapat dibedakan dengan baik. Selain itu, sering terjadi kelahiran prematur, yang
menambah morbiditas bayi. Selama 2 pekan pertama kehidupan, membran sering terbelah
dan membentuk celah, mengakibatkan penurunan perlindungan terhadap infeksi dan
kehilangan air tubuh, hal ini berujung pada kesulitan dalam termoregulasi. 1 Pada bayi
kolodion dapat terjadi komplikasi beupa berkurangnya fleksibilitas kulit, gangguan paru
restriktif, gangguan menghisap dan menyusui, serta kontraktur. 6,9 Bayi kolodion seiring
waktu akan menjadi individu dengan iktiosis lamelar10
14
yang sama (karena regulasi suhu yang buruk) tidak menunjukkan tanda infeksi sistemik
seperti demam. Respirasi normal mungkin terganggu akibat kulit yang kencang. Pengobatan
dengan retinoid sistemik selama periode neonatal dapat memfasilitasi deskuamasi, terapi
retinoid sistemik telah memperlihatkan perbaikan dan meningkatkan kelangsungan hidup.
Beberapa bayi menderita gagal tumbuh dan membutuhkan asupan langsung via nasogastric
tube. Kulit bayi yang mampu bertahan hidup menyerupai kulit bayi dengan fenotipe CIE
yang parah.7 Penderita HI yang bertahan hidup melewati masa neonatal, dapat berkembang
menjadi individu dengan IL atau CIE.9
15
Gambar 12. Sindrom Netherton1
IKTIOSIS AKUISITA
Iktiosis yang diperoleh pada orang dewasa dapat bermanifestasi sebagai penyakit
sistemik dan berhubungan dengan penyakit malignansi, obat-obatan, endokrin dan metabolik,
malnutrisi, HIV dan infeksi lain, serta kondisi autoimun. Penyakit Hodgkin adalah penyakit
malignansi yang dilaporkan paling banyak berhubungan dengan iktiosis yang diperoleh,
limfoma non Hodgkin dan variasi malignansi lain juga ditemukan. Diagnosis berdasarkan
histologi diperlukan pada iktiosis yang diperoleh Ketelibatan kulit ditemukan pada kondisi
16
malignansi dan akan teratasi dengan terapi kanker. Iktiosis yang diperoleh umumnya
berhubungan dengan Aquired Immune deficiency Syndrome (AIDS). Kulit iktiotik atau
serotik ditemukan pada 30 % pasien AIDS.1,2
Pitiriasis Rotunda
Pitiriasis rotunda dideskripsikan sebagai patch bulat atau oval, berbatas tegas, dan
diameter 2 hingga 14 cm, berjumlah 4 hingga 200 lesi dan tidak gatal, disertai sisik
iktiosiformis dengan hipo atau hiperpigmentasi dan tanpa tanda inflamasi. Daerah predileksi
pitiriasis rotunda yaitu bokong, paha, perut, punggung atau lengan atas.
Gougerout dan Carteaud Papilomatosis Retikular
Retikular papilomatosis oleh Gougerot dan Carteaud adalah dermatosis iktiosiformis
yang diperoleh, jarang ditemukan namun khas terlihat pada orang dewasa muda, ditandai
dengan makula bersisik, papula, patch, dan plak, bewarna coklat yang persisten. Lesi
cenderung terlokalisir, terutama pada leher, badan bagian atas (Intermammary dan daerah
interskapula) dan aksila dimana cenderung terimpit dan terdorong ke sisi pinggir (Gambar
13). Lesi memiliki kemiripan klinis dengan panu dan infeksi kulit dengan spesies
Pityrosporum.1
Gambar 13. Gougerout dan Carteaud Papilomatosis Retikular. A. Papul dan plak gelap bersisik pada
truncus, yang menjadi terretikulasi menuju ke perifer. B. Tampak jarak dekat papul dan plak berisisik yang
distinctive dan teretikulasi.1
17
PENGOBATAN UMUM
Terapi terkini untuk iktiosis kongenital berupa terapi simtomatik yang fokus kepada
hidrasi, lubrikasi, dan keratolisis. Kulit iktiotik tebal, namun mengalami penurunan fungsi
perlindungan dan ketidakmampuan mengendalikan kehilangan air transepidermal. Kadar air
didalam epidermal berfungsi untuk menentukan kelenturan stratum korneum, maka hidrasi
dapat melembutkan permukaan kulit. Pada cuaca yang lembab, kondisi iktiosis dapat
mengalami perbaikan. Melembabkan kulit dengan berendam lama, dapat menghidrasi kulit.
Kulit yang terhidrasi dengan baik dapat dengan mudah ditipiskan dengan abrasi ringan (busa
mandi).1 Penambahan aplikasi minyak mandi sebelum dilakukan pengeringan kulit dapat
memperpanjang hidrasi dan pelembutan kulit. Pemberian jenis pelembab pada pasien iktiosis
dapat disesuaikan dengan keinginan pasien yang dapat berwujud sebagai lotion, krim,
minyak, ataupun petrolatum.6 Pada musim kering atau musim dingin, pelembab ruangan
dapat digunakan guna menciptakan lingkungan yang lebih ramah1,2
Bayi dengan iktiosis harus dirawat pada inkubator yang terhumidifikasi. Keluaran
urin, berat badan, dan kadar elektrolit harus dimonitor ketat. Gangguan elektrolit dapat
dikoreksi via intravena.1,6 Monitoring ketat tanda infeksi pada bayi harus dilakukan secara
rutin. Ketidakstabilan hemodinamik, letargi, tidak mau makan, dan peningkatan suhu dapat
menjadi tanda infeksi pada bayi. Antibiotik profilaksis dapat diberikan pada bayi dengan
fisura luas dan hanya diberikan dengan penuh pertimbangan.6
Dukungan keluarga menjadi hal penting pada pasien iktiosis. Keluarga pasien juga
dapat di daftarkan pada Foundation for Ichthyosis and Related Skin Type (FIRST), untuk
tambahan edukasi dan dukungan.6
Agen keratolitik digunakan untuk meningkatkan deskuamasi korneosit, maka kerak
akan terangkat dan menipiskan hiperkeratosis stratum korneum. Terdapat banyak krim dan
lotion keratolitik yang tersedia secara komersial yang mengandung urea, asam salisilat, atau
asam α-hidroksi (misalnya, asam laktat, asam glikolat). Urea dapat berfungsi dengan
kapasitasnya untuk mengikat air. Propilen glikol 40-70% dalam gel, efektif dalam
pengangkatan skuama.5
Perawatan khusus harus dilakukan ketika menggunakan agen keratolitik pada wilayah
luas dan pada individu yang mungkin tidak toleran terhadap panas. 1 Preparat topikal retinoid
atau vitamin D mungkin efektif namun dapat menyebabkan iritasi. 1,2 Penggunaan luas
preparat asam salisilat topikal dapat menyebabkan penyerapan yang signifikan yang berujung
pada intoksikasi (misalnya, mual, tinitus, dyspnea, halusinasi), bahkan kematian pada anak.
Pemberian 1 gram preparat topikal asam salisilat dapat meningkatkan 0,5 miligram (mg) per
18
desiliter (dL) preparat di plasma. Batas kadar toksik asam salisilat dalam darah adalah 30-50
mg/dL.5 Salep topikal tacrolimus 0,1% atau krim pimekrolimus 1% efektif pada pasien
iktiosis yang mengalami iritasi menggunakan obat topikal jenis lain. Preparat topikal
tacrolimus 0,1% atau krim pimekrolimus 1% memiliki penyerapan sistemik minimal.1
PROGNOSIS
Prognosis penyakit iktiosis dapat ditentukan berdasarkan tipe iktiosis dan
penatalaksaan yang tepat pada pasien. Umumnya penyakit iktiosis menunjukkan angka
mortalitas yang rendah, akan tetapi terdapat beberapa tipe seperti bayi harlequin, defisiensi
sulfatase multipel yang dapat berkomplikasi kepada gagal organ dan berujung kepada
kematian.1,2
DAFTAR PUSTAKA
1. Fleekman P, DiGiovanna JJ. The Ichthyoses. In: Goldsmith LA, Katzs SI, Gilchrest
BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolf K, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine, 8th ed. New York: McGraw-Hill Companies Inc, 2012.p 972-980
2. Richard G, Ringpfeil F. Ichthyoses, Erythrokeratodermas and Related Disorders. In:
Bolognia JL, Jorizzo JL, Schaffer J, Callen, Cerroni L, Heymann WR, et al, editors.
Dermatology. 3th ed. New York: Elsevier Saunders, 2012. p 743-773
3. Craiglow BG. Ichtyosis in the Newborn. Semin Perinatol 2013; 37(1): 26-31
4. Judge MR, Mclean WHI, Munro CS. Disorder of Keratinization. In: Burns T,
Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editors. Rook’s Textbook of Dermatology. 8th ed.
Manchester: Wiley-Blackwell, 2010. p 19.4-60
5. Weedon D. Disorder of Epidermal Maturation and Keratinization. In: Weedon D.
Skin Pathology. New York: Elsevier Saunders, 2010. p 247-251
6. Robertson DB, Maibach HI. Dermatologic Pharmacology. In: Katzung BG, Masters
SB, Trevor AJ. Basic & Clinical Pharmacology. 11 th ed. New York: McGraw-Hill
Companies Inc, 2010.p 1061
7. James WD, Elston DM, Berger TG. Andrew’s Diseases of the Skin Clinical
Dermatology. 11th ed. San Francisco: Elsevier Saunders, 2011.
19
8. Rajput UC, Kulkarni S. Wagh SS. Rickets secondary to lamellar ichthyosis in two
indian male siblings in a family. Sch J Med Case Rep 2014; 2(7): 487-489
9. Mansouri M, Seifmanesh M, Hemmatpour S, Rad F, Sedaghat A. A rare case
ofcollodion baby and harlequin ichthyosis. IOSR 2014; 13(7): 35-37
10. Reddy PPK, Ravindra K. Lamellar ichthyosis – a rare case report. IJBAMR 2015;
4(2): 421-423
11. Frascari F, Dreyfus I, Rodriquez L, Gennero I, Ezzedine K, et al. Prevalence and risk
factors of vitamin D deficiency in inherited ichthyosis: A French propesctive
observational study performed in a reference center. OJRD 2014; 9: 127
20