Anda di halaman 1dari 35

REFERAT

“Kegawatdaruratan Dermatologi”

Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin

Pembimbing :

dr. Frista Marta Rahayu, Sp.DV

Disusun Oleh:

Risa Rafana

120810048

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT


DAN KELAMIN RSUD WALED CIREBON

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER UNIVERSITAS SWADAYA


GUNUNG JATI CIREBON

2021

1
LEMBAR PENGESAHAN REFERAT

KEPANITERAAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

“Kegawatdaruratan Dermatologi”

Referat ini diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam Kepaniteraan Klinik Bagian
Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Waled Kabupaten Cirebon

Disusun oleh:

Risa Rafana

120810048

Cirebon, September 2021

dr. Frista Marta Rahayu, Sp.DV

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikankan referat yang berjudul
“Kegawatdaruratan Dermatologi”. Penulisan referat ini dilakukan dalam rangka
memenuhi salah satu tugas Pendidikan Profesi Dokter bagian Ilmu Kesehatan Kulit
dan Kelamin di Rumah Sakit Umum Daerah Waled Kabupaten Cirebon. Kami
menyadari sangatlah sulit bagi kami untuk menyelesaikan tugas ini tanpa bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak sejak penyusunan sampai dengan terselesaikannya
referat ini. Bersama ini kami menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya serta
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. dr. Catur Setiya Sulistiyana, M.Med.Ed selaku Dekan Fakultas Kedokteran


Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon yang telah memberikan sarana dan
prasarana kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik
dan lancar.
2. dr. Muhammad Risman., Sp.KK dan dr. Frista Marta Rahayu., Sp.DV selaku
pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk
membimbing kami dalam penyusunan laporan kasus ini.
3. Orang tua beserta keluarga kami yang senantiasa memberikan do’a,dukungan
moral maupun material.
4. Serta pihak lain yang tidak mungkin kami sebutkan satupersatu atas bantuannya
secara langsung maupun tidak langsung sehingga laporan kasus ini dapat
terselesaikan dengan baik

3
BAB I

PENDAHULUAN

Gawat artinya mengancam nyawa, sedangkan darurat adalah perlu


mendapatkan penanganan atau tindakan segera untuk menghilangkan ancaman nyawa
korban. Jadi gawat darurat adalah keadaan yang mengancam nyawa yang harus
dilakukan tindakan segera. Begitupun yang terjadi jika kita membahas
kegawatdaruratan pada bidang dermatologi, ada beberapa penyakit kulit yang sifatnya
mengancam nyawa dan memerlukan tindakan segera. Dalam hal ini akan dibahas
mengenai SJS/TEN, SSSS dan Pemfigus.1,2
Nekrolisis epidermal toksik (TEN) dan Stevens–Sindrom Johnson (SJS) akut
mengancam jiwa reaksi mukokutan yang ditandai dengan ekstensif nekrosis dan
detasemen epidermis. Stevens dan Johnson pertama kali melaporkan dua kasus
disebarluaskan erupsi kulit yang terkait dengan stomatitis erosif dan keterlibatan
okular yang parah. Pada tahun 1956, Lyell menggambarkan pasien dengan
kehilangan epidermis akibat nekrosis dan memperkenalkan istilah nekrolisis
epidermal toksik. Baik SJS dan TEN dicirikan oleh kulit dan keterlibatan membran
mukosa. Karena kesamaan dalam temuan klinis dan histopatologi, risiko faktor,
kausalitas obat, dan mekanisme, keduanya kondisi sekarang dianggap varian
keparahan dari proses identik yang hanya berbeda pada tingkat akhir permukaan
tubuh yang terlibat. Oleh karena itu, lebih baik menggunakan sebutan nekrolisis
epidermal untuk keduanya, seperti yang diusulkan oleh Ruiz-Maldonado (nekrosis
epidermal diseminata akut) dan Lyell (nekrolisis eksantematik).
Pemphigus vulgaris adalah salah satu bentuk bulos dermatosis yang bersifat
kronis, disertai dengan adanya proses akantolisis dan terbentuknya bula pada
epidermis. Kata pemphigus diambil dari bahasa Yunani pemphix yang artinya
gelembung atau lepuh. Pemfigus dikelompokkan dalam penyakit bulosa kronis, yang
pertama kali diidentifikasi oleh Wichman pada tahun 1971. Istilah pemfigus berarti
kelompok penyakit bula autoimun pada kulit dan membran mukosa dengan

4
karakteristik secara histologis berupa adanya bula intraepidermal disebabkan oleh
akantolisis (terpisahnya ikatan antara sel epidermis) dan secara imunopatologis
adanya IgG in vivo maupun sirkulasi yang secara langsung melawan permukaan sel-
sel keratinosit.
Pemfigus dulunya digunakan untuk menyebut semua jenis penyakit erupsi
bula di kulit, tetapi dengan berkembangnya tes diagnostic, penyakit bulosa pun
diklasifikasikan dengan lebih tepat. Pada tahun 1964, penelitian menunjukkan adanya
anti-skin antibodies yang ditemukan pada pasien-pasien pemfigus yang diketahui dari
pengecatan imunofloresensi tak langsung. Sejak itu, dengan adanya perkembangan
teknik imunofloresensi imunologis, antigen yang menyebabkan penyakit ini pun
berhasil diidentifikasi. Perkembangan medis ini tidak hanya memberikan
pengetahuan baru dalam memahami patogenesis pemfigus tetapi juga mengarahkan
pada perkembangan protein rekombinan , yang diperlukan dalam tes ELISA (Enzyme
Linked Immunosorbent Assay) untuk diagnosis pemfigus.
Pada tahun 1878, Von Rittershan pertama kali menguraikan SSSS pada
anak. Levine and Nordon, tahun 1972, menemukan kasus pertama pada dewasa.
Hingga tahun 2000, diperkirakan 40 kasus SSSS pada dewasa telah dilaporkan dalam
penelitian. Staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS) umumnya terjadi pada bayi
dan anak-anak usia di bawah lima tahun tetapi jarang ditemukan pada dewasa.
Diantara kasus yang pernah dilaporkan, lelaki cenderung lebih banyak dari wanita
dengan perbandingan 2:1, dimana 50% kasus terjadi sebelum usia 50.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Stevens– Johnson syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolisis (TEN)


A. Definisi
Steven Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolisis (TEN)
adalah penyakit mukokutaneus yang jarang, bersifat akut dan mengancam
nyawa dengan karakteristik berupa nekrosis dan pelepasan dari lapisan
epidermis yang luas yang hampir selalu berhubungan dengan konsumsi obat.
Manifestasi disebabkan karena adanya kematian sel-sel keratinosit yang luas
yang mengakibatkan pemisahan yang luas pada dermal-epidermal junction
memberikan gambaran kulit yang melepuh (bula).1,4
B. Epidemiologi dan Faktor Risiko
SJS dan TEN merupakan penyakit langka yang mengenai perempuan
lebih sering dari laki-laki. Sindrom ini lebih sering terjadi pada orang dewasa
dan jarang dijumpai pada usia 3 tahun ke bawah karena imunitasnya yang
belum begitu berkembang5. Pada anak-anak infeksi Mycoplasma merupakan
salah satu penyebab SJS dan dapat sangat mirip dengan SJS akibat obat. 1
Beberapa golongan pasien tertentu memiliki risiko meningkat untuk
terjadinya SJS/TEN, termasuk pasien yang memiliki genotip slow-acetylator,
immunocompromised (HIV),menjalani radioterapi, antikonvulsan, atau yang
memiliki alel spesifik HLA (Human Leukocyte Antigen). Contoh dari faktor
predisposisi genetic ini adalah HLA B*1502 pada orang Asia dan India yang
terpajan dengan karbamazepin dan HLA*B5801 pada populasi Han di Cina
yang terpajan dengan allopurinol. Pada pasien dengan AIDS, risiko terjadinya
TEN meningkat 1000 kali lebih tinggi dari populasi umum.1,4
Angka kematian bervariasi pada sebagian besar kasus dimana hanya
dilakukan terapi suportif, dan diketahui bahwa angka ini sangat bergantung
pada berbagai faktor seperti usia pasien dan luas lesi. Angka kematian pada

6
pasien dengan TEN 25-5-%, dan 5% pada SJS. Penggunaan obat dilaporkan
pada lebih dari 95% pasien denganTEN. Hubungan erat antara konsumsi obat
dengan munculnya erupsi kutaneus dilaporkan pada 80% kasus. Penyebab
lainnya yang jarang dapat berupa infeksi dan imunisasi. Penelitian melaporkan
hubungan yang kurang jelas (dibandingkan TEN) antara konsumsi obat dengan
SJS, dimana hanya 50% yang dinyatakan berhubungan dengan obat. Lebih dari
100 jenis obat yang telah diidentifikasi berhubungan dengan SJS/TEN.
Menurut penelitian oleh Adhi Djuandaa selama 5 tahun (1998-1002)
pada pasien SJS, diduga alergi obat tersering adalah analgetik/antipiretik
(45%), karbamazepin (20%), jamu (13.3%). Kausa lainnya berupa amoksisilin,
kotrimoksasol, klorokuin, seftriakson dan adiktif. Berikut ini obat-obatan yang
sering dihubungkan dengan SJS dan TEN: 1,4
 Allopurinol
 Aminopenicillin
 Amithiozone(Thioacetazonde)
 Antiretroviral
 Barbiturate
 Carbamazepine
 Chlormezanone
 Phenytoin
 Piroxicam
 Sulfadiazine
 Sulfasalazine
 Trimethoprim-sulfametoxazole

7
Pada umumnya risiko terjadinya SJS/TEN paling tinggi pada
minggu-minggu awal dari terapi. Lebih jauh lagi, obat-obatan dengan
waktu paruh lama lebih sering mengakibatkan reaksi obat dan akibat fatal
dibandingkan obat dengan waktu paruh singkat.1

C. Patogenesis
Hingga kini urutan pasti dari proses molekuler dan seluler yang
terjadi dalam SJS/TEN baru dipahami sebagian. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa SJS/TEN terkait dengan ketidakmampuan tubuh
dalam detoksifikasi metabolit obat reaktif. Prosesnya diawali dengan
adanya respon imun terhadap kompleks antigenik yang dibentuk dari reaksi
metabolit tersebut dengan jaringan tubuh tertentu 1. Patogenesis utama
diduga akibata adanya proses hipersensitivitas tipe II (sitotoksik). 4,5
Suseptibilitas genetic juga memainkan peran, dibuktikan dengan
identifikasi dari alel HLA spesifik terkait obat (specific-drug related HLA)
sebagai gen suseptibilitas mayor untuk perkembangan SJS dan TEN.1
Sel T sitotoksik mengekspresikan skin-homing receptor, cutaneous
lymphocyte-associated antigen (CLA) dapat ditemukan pada lesi kutaneus
awal. Sel-sel ini kemungkinan adalah suatu T sitotoksik terkait obat (drug-
spesiic cytotoxic T cells). Sitokin-sitokin penting seperti IL-6, TNF-α,
interferon γ, IL-18 dan Fas ligand (FasL) juga terdapat pada epidermis yang
mengalami kelainan dan/atau cairan bula dari pasien dengan TEN, dan
kerja dari sitokin-sitokin ini dapat menjelaskan sebagian dari gejala TEN
dan ketidaksesuaian antara luas kerusakan pada epidermis dengan infiltrat
inflamasi yang minimal. Selain itu, interval tipikal antara onset dari terapi
obat dengan timbulnya SJS/TEN adalah 1- 3 minggu, mengindikasikan
adanya periode sensitasi dan menunjang peran imunitas dalam
patogenesisnya. Periode ini memendek secara signifikan pada pasien yang
terpapar kembali oleh obat yang sebelumnya mengakibatkan SJS/TEN.1
Penelitian menunjukkan bahwa kerusakan jaringan yang
dideskripsikan sebagai nekrolisis epidermal adalah akibat kematian sel-sel

8
keratinosit yang luas melalui proses apoptosis. Apoptosis dari keratinosit
merupakan suatu ciri khas pada stadium awal SJS dan TEN, dan
merupakan tanda morfologik awal yang jelas dari kerusakan jaringan
spesifik. Gambaran histologik klasik berupa “nekrolisis” epidermal yang
luas sesungguhnya merupakan gambaran akhir dari apoptosis keratinosit.
Keadaan apoptotik dari sel bersifat sementara, dan akan diikuti dengan
keadaan nekrosis bila sel-sel apoptotic tersebut tidak segera difagositosis.
Pada SJS dan TEN, dalam kurun waktu singkat (hitungan jam), apoptosis
keratinosit tertimbun sangat banyak pada kulit yang terkena dan melebihi
kapasitas fagositosisnya. Dalam hitungan jam sampai hari, keratinosit yang
apoptosis tersebut menjadi nekrosis dan kehilangan kemampuan kohesinya
pada kehilangan viabilitasnya, mengakibatkan gambaran histologik khas
berupa full thickness epidermal necrolysis.1
Fas ligand (FasL), salah satu sitokin TNF, memiliki kemampuan
menginduksi apoptosis dengan berikatan pada reseptor permukaan sel
spesifik yaitu Fas (CD95, Apo-1) death receptor. Death receptors secara
fisiologis memiliki fungsi sebagai sensor di permukaan sel yang
mendeteksi adanya sinyal kematian sel spesifik dan secara cepat
mengaktifkan dekstruksi sel melalui apoptosis. Pada pasien dengan TEN,
apoptosis keratinosit yang luas dikaitkan dengan peningkatan signifikan
ekspresi FasL dari keratinosit dengan ekspresi Fas receptor yang tetap.1,2
Penelitian oleh Chung, et al, menunjukkan bahwa molekul sitotoksik
lainnya turut berperan dalam apoptosis keratinosit pada SJS maupun TEN.
Konsentrasi tinggi dari granulysin, protein sitolitik yang diproduksi oleh
limfosit T sitotoksik (CTLs), natural killer cell (NK), dan natural killer T
cell (NKT) ditemukan pada cairan bula yang didapat dari pasien SJS/TEN.
Injeksi dari granulysin rekombinan ke dalam kulit tikus mmengakibatkan
terjadinya nekrolisis epidermal dan infiltrat sel inflamasi.1
Model patogenesis dari SJS/TEN kini dideskripsikan sebagai
berikut: setelah pajanan dari obat-obatan tertentu, seseorang dengan faktor
predisposisi tertentu akan membentuk reaksi imun spesifik terhadap obat

9
atau metabolitnya. Dengan mekanisme yang masih belum sepenuhnya
diketahui, reaksi ini mengakibatkan molekul FasL diekspresikan dalam
jumlah besar pada keratinosit disertai sekresi granulysin dari CTLs, NK dn
NKT. Proses ini berujung pada FasL- dan granulysin-mediated apoptosis
dari keratinosit diikuti nekrosis epidermal.1
D. Manifestasi dan Penegakan Diagnosis
Gejala awal dari TEN dan SJS dapat berupa demam, mata perih,
nyeri menelan, yang mendahului timbulnya lesi kulit 1-3 hari pertama. Lesi
kulit biasanya muncul pertama kali pada batang tubuh yang kemudian
menyebar ke leher, wajah dan ekstremitas proksimal. Bagian distal dari
tangan dan kaki biasanya jarang terkena, namun telapak tangan dan kaki
dapat pula menjadi lokasi lesi awal. Eritema dan erosi mukosa buccal,
okular dan genital ditemukan pada lebih dari 90% pasien. Epitel dari
saluran pernafasan juga turut terlibat pada 25% pasien dengan TEN dan lesi
gastrointestinal, esofagitis, dan diare dapat juga terjadi. Lesi kulit biasanya
lunak dan nyeri, dan erosi mukosa terasa sangat nyeri. Manifestasi sistemik
tambahan termasuk demam, limfadenopati, hepatitis dan sitopenia1,2. Pada
SJS terlihat trias kelainan berupa kelainan pada kulit, kelainan pada
mukosa orifisium (mulut, genital, hidung dan anus), dan kelainan mata5.
Morfologi dari lesi kulit telah dipelajari secara mendetail. Mula-
mula, lesi tampak sebagai macula eritematous atau purpura dengan bentuk
dan ukuran yang irregular dan mempunyai kecenderungan untuk bergabung
dengan lesi di dekatnya. Pada stadium ini, dengan adanya keterlibatan
mukosa dan rasa nyeri, risiko progresi ke arah SJS/TEN harus dicurigai.
Dalam keadaan dimana tidak terjadi spontaneous epidermal detachment,
harus diperiksa adanya Nikolsky sign yaitu dengan memberikan tekanan
mekanis ringan dengan jari pada beberapa zona eritematous. Tanda
Nikolsky dinyatkan positif bila terjadi pemisahan epidermis-dermis. Pada
beberapa pasien lesi macular dapat mempunyai bagian tengah agak
kehitaman hingga memiliki gambaran target-like appearance. Lesi ini
harus dibedakan dengan typical target lesion yang mempunyai tiga

10
lingkaran konsentris yang khas dan dengan atypical target lesion yang
papular pada EM.1

Gambar 1: Lesi awal dari SJS dan TEN 1

Clinical Features That Distiguish Steven Johnson Syndrome (SJS),


Toxic Epidermal Necrolisis (TEN), and SJS-TEN Overlap1

Clinical SJS SJS-TEN TEN


Entity
Primary Dusky and/or Dusky and/or Poorly
lesions dusky red dusky red delineated
lesions, flat lesions, flat erythematous
atypical targets atypical targets plaques,
epidermal
detachment
(spontaneous or
by friction),
Dusky and/or
dusky red
lesions, flat
atypical targets.
Isolated lesions
Distribution Isolated lesions Isolated lesions (rare)

11
Confluence (+) Confluence (++) Confluence (++
on face and on face and +) on face and
trunk trunk trunk and
elsewhere

Mucosal Yes Yes Yes


involvement

Systemic Usually Always Always


symptoms

Detachment <10 10-30 >30


(%BSA)

Seiring dengan progresi menuju full thickness necrosis, lesi makula


eritem kehitaman akan berubah warna menjadi keabuan yang khas.
Proses ini dapat terjadi sangat cepat (dalam hitungan jam) atau dalam
beberapa hari. Epidermis yang nekrosis kemudian akan terlepas dari
lapisan dermis dibawahnya dan cairan akan mengisi rongga di antara
kedua lapisan tersebut, mengakibatkan terbentuknya bula. Bula yang
terjadi memiliki ciri khas: mudah pecah, dapat meluas ke lateral dengan
penekanan ringan oleh ibu jari seiring dengan meluasnya pelepasan
epidermis (Asboe-Hansen sign). Keadaan kulit menyerupai gambaran
kertas rokok yang basah (wet cigarette paper), yang dapat lepas dengan
adanya trauma, memperlihatkan dermis kemerahan dan berdarah, yang
disebut sebagai “scalding”. Pasien-pasien seperti ini harus ditangani
dengan sangat hati-hati. Bula yang tegang biasanya terlihat hanya pada
permukaan palmoplantar dimana epidermis lebih luas sehinggga lebih
tahan terhadap trauma ringan.1

12
Gambar 2 : Pasien Toxic Epidermal Necrolysis dengan skin
detachment yang luas 1

Gambar 3 : Lesi berupa bula pada pasien dengan TEN 1

Saat merawat pasien dengan kondisi seperti ini, luas dari


nekrolisis harus dievaluasi secara tepat dan hati-hati karena merupakan
salah satu faktor penentu prognosis. Dalam hal ini aturan untuk mengukur

13
total luas permukaan tubuh (Body Surface Area) yang digunakan dalam
luka bakar dapat dipakai. Pengalaman menunjukkan bahwa sangat sering
terjadi overestimasi dalam mengukur luas pelepasan kulit (skin
detachment). Pengukuran harus meliputi lesi kulit yang terlepas baik
secara spontan maupun tidak (Nikolsky sign +), dan tidak termasuk area
yang hanya berupa eritema saja (Nikolsky sign -). Berdasarkan luas lesi
skin detachment, klasifikasi pasien terbagi menjadi 3 grup:2

 SJS : < 10% body surface area (BSA)


 SJS-TEN overlap : 10-30% BSA

14
 TEN :>30%BSA

Gambar 4: Spektrum penyakit berdasarkan luas permukan tubuh


yang terkena1

Erosi mukosa didapatkan pada >90% pasien. Didapatkan pula


keluhan fotofobia dan nyeri berkemih. Penting juga untuk dapat

15
membedakan antara SJS dan EM dimana ciri histologik keduanya serupa
sehingga tidak dapat digunakan untuk membedakan keduanya. Perbedaan
didasarkan pada ciri klinis, terutama gambaran lesi target dan
distribusinya. Untuk menegakkan diagnosis EM harus ada typical target
lesion, sedangkan SJS dipertimbangkan sebagai diagnosis bila lesi
targetnya atipikal3. Belum ada kriteria khusus yang dapat memprediksi
pasien dengan SJS yang mungkin berkembang menjadi TEN.1
Penyembuhan dari area dengan skin detachment melalui proses
reepitelisasi umumnya terjadi dalam beberapa hari dan selesai dalam 3
minggu pada sebagian besar kasus. Proses ini dihasilkan dari proliferasi
dan migrasi dari keratinosit dari area “reservoir” seperti jaringan
epidermis yang masih sehat di sekeliling lesi dan folikel rambut.
Sehubungan dengan kemampuan untuk reepitelisasi, skin graft tidak
diperlukan pada SJS dan TEN.1
Identifikasi dari obat pencetus adalah tugas yang penting dan
sangat sulit, namun harus menjadi salah satu prioritas utama. Belum ada
pemeriksaan in vitro yang dapat diandalkan untuk indentifikasi secara
cepat dari obat pencetus. Patch test menunjukkan sensitivitas yang lemah
terhadap SJS/TEN dan tidak cocok untuk tujuan identifikasi karena
paparan kembali terhadap obat pencetus sangat berbahaya dalam
penanganan pasien dengan reaksi akibat obat yang berat. Untuk itu,
identifikasi sepenuhnya didasarkan pada evident-based tentang obat yang
berhubungan dengan SJS/TEN sebelumnya sehingga dapat ditentukan
probabilitasnya dalam mencetuskan SJS/TEN. Faktor ekstrinsik seperti
jarak dari onset pemberian obat dengan onset timbulnya SJS/TEN juga
harus ddiperhatikan. SJS dan TEN biasanya terjadi dalam 7-21 hari
setelah pemberian obat pertama kali, namun dapat pula terjadi dalam 2
hari dalam kasus re-exposure obat yang sebelumnya pernah memicu
SJS/TEN. Pada umumnya, pengobatan untuk pasien dengan SJS atau
TEN harus dibatasi hingga batas minimum, penggunaan obat substitusi
yang sesuai dan lebih dipilih obat-obatan dengan waktu paruh singkat1.

16
E. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis SJS/TEN diantara lain:2
 Pemeriksaan laboratorium dilakukan bukan untuk kepentingan
diagnosis, tetapi untuk evaluasi derajat keparahan dan tatalaksana
keadaan yang mengancam jiwa. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi
hematologi rutin, urea serum, analisis gas darah, dan gula darah
sewaktu.
 Uji kultur bakteri dan kandida dari tiga area lesi kulit pada fase akut.
 Pemeriksaan histopatologis dilakukan apabila diagnosis meragukan.
 Diagnosis kausatif dilakukan setelah minimal 6 minggu setelah lesi kulit
hilang dengan:
- Uji tempel tertutup
- Uji in vitro dengan drug-specific lymphocyte proliferation assays
(LPA) dapat digunakan secara retrospektif untuk menentukan obat
yang diduga menjadi pencetus.
- Catatan: Uji provokasi peroral tidak dianjurkan.2

F. Penatalaksanaan
Non Medikamentosa :
 Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.
 Penanganan kulit yang mengalami epidermolisis, seperti kompres dan
mencegah infeksi sekunder.
 Berikan nutrisi secara enteral pada fase akut, baik secara oral maupun
nasogastrik.2
Medikamentosa :
 Menghentikan obat yang dicurigai sebagai pencetus.
 Pasien dirawat (sebaiknya dirawat di ruangan intensif) dan dimonitor
ketat untuk mencegah hospital associated infections (HAIs).
 Atasi keadaan yang mengancam jiwa.2
 Terapi topikal bertujuan untuk mencegah kulit terlepas lebih banyak,
infeksi mikroorganisme, dan mempercepat reepitelialisasi.

17
 Penanganan lesi kulit dapat secara konservatif maupun pembedahan
(debrideman).
 Dapat diberikan pelembab berminyak seperti 50% gel petroleum dengan
Kedaruratan Kulit 400 50% cairan parafin.
 Keterlibatan mata harus ditangani oleh dokter spesialis mata.3,9,10
(C,4)
 Kortikosteroid sistemik: deksametason intravena dengan dosis setara
prednison 1-4 mg/kgBB/hari untuk SSJ, 3-4 mg/kgBB/hari untuk SSJ-
NET, dan 4-6 mg/kgBB/hari untuk NET.
 Analgesik dapat diberikan. Jika nyeri ringan dapat diberikan
parasetamol, dan jika nyeri berat dapat diberikan analgesik opiate-based
seperti tramadol.
 Pilihan lain: Intravenous immunoglobulin (IVIg) dosis tinggi dapat
diberikan segera setelah pasien didiagnosis NET dengan dosis 1
g/kgBB/hari selama 3 hari.
 Siklosporin dapat diberikan14
 Kombinasi IVIg dengan kortikosteroid sistemik dapat mempersingkat
waktu penyembuhan, tetapi tidak menurunkan angka mortalitas.
 Antibiotik sistemik hanya diberikan jika terdapat indikasi.2
G. Edukasi
 Penjelasan mengenai kondisi pasien dan obat-obat yang diduga menjadi
penyebab.
 Memberikan pasien catatan tertulis mengenai obat-obat yang diduga
menjadi pencetus dan memberikan edukasi pada pasien untuk
menghindari obatobatan tersebut.2
H. Prognosis
Prognosis ditentukan berdasarkan SCORTEN, yaitu suatu perhitungan
untuk memperkirakan mortalitas pasien dengan nekrolisis epidermal.
Masing-masing dinilai 1 dan setelah dijumlahkan mengarah pada prognosis
angka mortalitas penyakit.2

18
1. Usia >40 tahun
2. Denyut jantung >120 kali/menit
3. Ada keganasan
4. Luas epidermolisis >10% luas permukaan tubuh
5. Serum urea >28 mg/dL
6. Glukosa >252 mg/dL
7. Bikarbonat
Nilai SCORTEN akan menentukan persentase angka mortalitas pada pasien
SSJ atau NET, yaitu sebagai berikut:
0-1: 3,2%
2 : 12,1%
3 : 35,8%
4 : 58,3%
5 : 90%
Penilaian SCORTEN paling baik dilakukan pada 24 jam pertama dan hari
ke5.
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : ad bonam
Quo ad sanactionam : dubia ad bonam2

2. Staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS)


A. Definisi
SSSS merupakan penyakit infeksi yang dapat mengancam nyawa, ditandai
dengan terbentuknya bula pada permukaan kulit yang disebabkan oleh
toksin eksfoliatif oleh bakteri Staphylococcus aureus.2
B. Etiologi
Staphylococcal scalded skin syndrome disebabkan oleh toksin eksfoliatif
(ETs) yaitu toksin eksfoliatif A (ETA) dan B (ETB) yang dihasilkan dari
strain toksigenik bakteri staphylococcus aureus (faga grup 2).8 Desmosom
merupakan sebagian dari sel kulit yang bertanggungjawab sebagai perekat
kepada sel-sel kulit. Toksin yang mengikat pada molekul di antara

19
desmosom dikenali sebagai desmoglein dan kemudiannya memisah
sehingga kulit menjadi tidak utuh. Toksin eksfoliatif memiliki target kerja
pada desmoglein 1 merupakan desmosom glikoprotein transmembran yang
mempertahankan adhesi antar sel pada epidermis.9
C. Patofisiologi
Toksin eksfoliatif (ETs) merupakan serin protease yang dapat menimbulkan
celah pada ikatan adhesi antar sel molekul desmoglein 1, yang tampak pada
bagian atas epidermis yaitu antara stratum spinosum dan granulosum
sehingga menimbulkan bula berdinding tipis yang mudah pecah,
memperlihatkan Nikolsky sign positif. Pada SSSS toksin berdifusi dari fokus
infeksi, dan tidak adanya antibodi antitoksin spesifik dapat menyebabkan
penyebaran toksin secara hematogen. Meskipun strain toksigenik S. aureus
yang terbanyak adalah faga grup II (subtype 3A, 3B, 3C, 55 dan 71), selain
itu juga terdapat strain faga grup I dan III. Adanya keterlibatan desmoglein
1 pada SSSS menyerupai penyakit autoimun pemfigus foliaseus.1 Salah satu
fungsi fisiologi utama kulit adalah barier terhadap infeksi, yang terletak
pada stratum korneum. Adanya toksin eksfoliatif yang dimiliki S.aureus
memungkinkan proliferasi dan penyebarannya di bawah barier tersebut.
Sekali kulit dapat mengenali toksin eksfoliatif tersebut, S. aureus dapat
menyebar sehingga menimbulkan celah di bawah stratum korneum.8
Toksin staphylococcus terdiri atas toksin eksfoliatif A dan B (ETA
dan ETB) yang menyebabkan lepuhnya kulit pada SSSS. ETA terdiri atas
242 dengan berat molekul 26.950 kDa, bersifat stabil terhadap panas dan
gennya terletak pada kromosom sementara ETB terdiri atas 246 asam amino
dengan berat molekul kDa, bersifat labil terhadap pemanasan dan gennya
berlokasi pada plasmid. Toksin ini dihasilkan pada fase pertumbuhan
bakteri dan diekskresikan dari kolonisasi staphylococcus sebelum diabsorpsi
melalui sirkulasi sistemik. Toksin mencapai stratum granulosum epidermis
melalui difusi pada kapiler dermal. Studi histologis menunjukkan bahwa
ikatan ETs pada keratinosit kultur isolasi kulit menyebabkan terbentuknya
vesikel yang mengisi ruang antarsel, diikuti cairan interseluler yang mengisi

20
ruang antara stratum granulosum dan spinosum. Pemeriksaan laboratorium
mendukung bahwa ETB lebih pirogenik dibandingkan ETA, sementara studi
klinis menunjukkan meskipun ETA dan ETB dapat menyebabkan SSSS
lokal, tetapi ETB lebih sering diisolasi dari anak yang menderita SSSS
generalisata dan juga dapat menyebabkan eksfoliasi generalisata pada orang
dewasa yang sehat.9
Desmosom merupakan target toksin eksfoliatif pada SSSS.
Desmosom adalah intercelluler adhesive junction yang secara struktural
berhubungan dengan filamen intermediet intraseluler. Desmosom ini
diekspresikan oleh sel epitel dan beberapa sel lainnya yang banyak
terdapat pada jaringan yang mengalami stress mekanik, seperti kulit,
mukosa gastrointestinal, jantung, dan kandung kemih. Desmoglein (Dsg)
merupakan komponen transmembran mayor pada desmosom yang
berperan tidak hanya pada adhesi antar sel epitel tetapi juga pada
morfogenesis sel epitel. Terdapat 3 isoform desmoglein yaitu Dsg1, Dsg2,
dan Dsg3. Dsg 2 terdapat pada semua jaringan yang memiliki desmosom
termasuk epitel dan miokard, sedangkan Dsg1 dan Dsg3 terbatas pada
epitel skuamos bertingkat.9
ETA dan ETB menyebabkan bula dan pengelupasan kulit dengan
cara menghambat desmosom pada lapisan sel granular epidermal sehingga
terjadi pemisahan intradesmosomal. Lebih dari satu dekade diduga bahwa
toksin tersebut terikat secara langsung pada cadherin desmosomal, yaitu
desmosglein1 (Dsg1). Meskipun pemisahan sel epidermal ditunjukkan
oleh toksin eksfoliatif (ETs), gejala klinis SSSS tidak dapat diterangkan
oleh aksi toksin tersebut. ETs juga bisa bertindak sebagai lipase sekaligus
mengaktifkan protease lain yang pada gilirannya menyebabkan pengaruh
patogenik.8
Toksin epidermolitik difiltrasi di glomerulus dan direabsorbsi pada
tubulus proksimal dimana kemudian dikatabolisme oleh sel-sel tubulus
proksimal. Kecepatan filtrasi glomerulus (GFR) bayi kurang dari 50%
GFR orang dewasa normal, dan hal ini terbanyak ditemukan pada dua

21
tahun pertama kehidupan. Hal ini menjelaskan mengapa bayi-bayi, pasien
dengan gagal ginjal kronik, dan pasien yang menjalani hemodialisa
merupakan faktor predisposisi terjadinya SSSS.8
D. Kriteria Diagnostik Klinis
 Anamnesis
Gejala awal dapat berupa demam dengan ruam berwarna merah-oranye,
pucat, makula eksantema, terbatas di kepala dan menyebar ke bagian
tubuh lain dalam beberapa jam. Keluhan disertai iritabilitas, malaise,
pruritus, dan sulit makan.2
 Pemeriksaan fisik
Ruam berwarna merah-oranye, pucat, makula eksantema, terbatas di
kepala dan menyebar ke bagian tubuh lain. Gejala ini disertai dengan
rhinorrhea purulen, konjungtivitis, atau otitis media. Tanda Nikolsky
positif. Ruam kulit disertai dengan nyeri tekan pada kulit menyebabkan
anak menolak untuk digendong atau berbaring. Dalam waktu 24-48 jam,
makula eksantema secara bertahap berubah menjadi lepuh, dan pada
daerah seperti lipat paha, ketiak, hidung, dan telinga, secara khusus
berbentuk bula besar lembut yang merupakan lapisan epidermis yang
berkerut dan tampak seperti kertas tisu. Setelah 24 jam, bula tersebut
pecah meninggalkan krusta berkilat, lembab, dan memiliki permukaan
berwarna merah. Pada tahap ini pasien akan iritabel, sakit, demam
dengan sad man facies dan edema wajah ringan, dan gambaran khas
krusta radier di perioral serta fisura bibir.2

22
Gambar 3 : Impetigo bulosa pada anak1

Gambar 4 : Impetigo bulosa pada anak1

Gambar (3 dan 4) memperlihatkan lesi lepuh yang awalnya diisi


dengan cairan keruh dan kemudian pecah, mengakibatkan erosi dan krusta.
Infeksi pada bagian atas kulit (epidermis) oleh S. aureus atau S. pyogenes
menyebabkan impetigo contagiosa. Impetigo yang mungkin menjelaskan
hingga 10% dari semua penyakit kulit anak, terdiri dari: kerak berwarna
madu pada dasar eritematosa. Sekitar seperempat dari kasus impetigo adalah
bulosa dengan Staphylococcus yang mengekspresikan ET lokal dan tanpa
penyebaran hematogen. Seperti halnya dengan SSSS, impetigo bulosa
biasanya merupakan penyakit anak-anak, meskipun kasus dewasa juga dapat
terjadi. Lesi awal impetigo bulosa tidak jelas vesikel atau bula yang

23
dikelilingi oleh tepi eritematosa. Lepuh ini sering pecah meninggalkan erosi
superfisial. Lesi pada berbagai tahap seringkali dapat dilihat. Lesi cenderung
ditemukan di sekitar terpapar bagian tubuh dan sekitar lubang. Diagnosis
biasanya didasarkan pada penampilan klinis. Berbeda dengan SSSS,
konfirmasi diagnosis dapat mudah diperoleh dengan aspirasi cairan blister
untuk Gram pewarnaan dan kultur akan mengungkapkan S. aureus.

Gambar 5 : Lesi awal SSSS dengan Nikolsky sign positif1


E. Diagnosis Banding
 Nekrolisis epidermal toksik (NET)

24
 Penyakit Kawasaki
 Scalding burn2
F. Pemeriksaan Penunjang
 Kultur dan resistensi spesimen lesi, meski umumnya hasilnya steril
 Kultur dan resistensi darah.2
G. Penatalaksanaan
Nonmedikamentosa
 Menerangkan kepada ibu pasien tentang pencegahan, misalnya hindari
infeksi ISPA, luka pada kulit, dan lainnya.2
Medikamentosa
Prinsip: eradikasi S.aureus. Pasien biasanya harus dirawat inap selama 6-7
hari dan mendapatkan antibiotik sistemik dan terapi suportif lainnya yang
diperlukan. Terdapat beberapa obat yang dapat diberikan sesuai dengan
indikasi sebagai berikut: 2
 Antibiotik antistafilokokal IV
 Penicillinase-resistant penicillin, misalnya dikloksasilin, nafcillin, dan
oksilin. Dapat juga diberikan sefalosporin generasi I atau II atau
klindamisin.
 Apabila terdapat/dicurigai ada methycillin resistent Staphylococcus
aureus (MRSA) pada infeksi berat: diberikan vankomisin 1-2 gram/hari
dalam dosis terbagi, intravena, selama 7 hari.
 Pada kasus rekuren, diberikan antibiotik berdasarkan hasil kultur dan
resistensi.
 Terapi tambahan:
Daerah yang lembap atau yang mengalami erosi dapat dilubrikasi
dengan menggunakan emolien untuk meringankan rasa gatal dan nyeri
tekan. Untuk mengurangi nyeri tekan pada kulit diberikan analgesik,
misalnya asetaminofen.2
H. Edukasi
Sebagai tindakan pencegahan, dapat dilakukan hal sebagai berikut:

25
 Menggunakan sabun antibakteri/antiseptik saat mencuci tangan
 Kuku harus pendek untuk mencegah kontaminasi
 Mencuci tangan sebelum menyentuh luka.2
I. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanactionam : ad bonam
Jika segera diobati, angka mortalitas dapat diturunkan. Tapi pada orang
dewasa, angka mortalitas tinggi (40-63%), kemungkinan karena
komorbiditas yang mendasari. Kelainan kulit sembuh tanpa meninggalkan
jaringan parut.2
3. Pemfigus
A. Definisi
Pemfigus merupakan sekelompok penyakit berlepuh autoimun pada
kulit dan membran mukosa. Pemfigus vulgaris merupakan penyakit serius
pada kulit yang ditandai oleh timbulnya bula (lepuh) dengan berbagai
ukuran disertai lesi berkelompok dan rekuren pada kulit yang tampak
normal dan membrane mukosa (misalnya, mulut, vagina), yang ditandai
oleh: 10,11
 Secara histologi, lepuh intraepidermal karena hilangnya hubungan antar
keratinosit
 Secara imunopatologi, ditemukannya IgG autoantibodi terikat dan
bersirkulasi yang secara langsung menyerang permukaan
keratinosit.10,11,12
B. Klasifikasi
Pemfigus terbagi menjadi 3 bentuk utama:14
 Pemfigus vulgaris
 Pemfigus foliaseus
 Pemfigus paraneoplastik

26
Dari ketiga bentuk tersebut, pemfigus paraneoplastik adalah bentuk yang
paling berbahaya karena sering ditemukan pada pasien yang telah
didiagnosis mengalami keganasan (kanker). Namun, pemfigus
paraneoplastik merupakan bentuk yang paling jarang ditemukan.15
C. Patogenesis
Semua bentuk pemfigus mempunyai sifat khas, antara lain: 10,11,12
 Hilangnya kohesi sel-sel epidermis (akantolisis)
 Adanya antibodi IgG terhadap antigen determinan yang ada pada
permukaan keratinosit yang sedang berdiferensiasi.
Pada pemfigus vulgaris lepuh terjadi akibat adanya reaksi autoimun
terhadap antigen pemfigus vulgaris. Antigen ini merupakan glikoprotein
transmembran dengan berat molekul 130 kD untuk pemfigus vulgaris dan
160 kD untuk pemfigus foliaseus yang terdapat di permukaan keratinosit.
Antigen target pada pemfigus vulgaris yang hanya dengan lesi oral ialah
desmoglein , sedangkan yang dengan lesi oral dan kulit ialah desmoglein 1
dan 3. Pada pemfigus foliaseus antigen targetnya adalah desmoglein 1.
Desmoglein merupakan salah satu komponen desmosom. Desmosom
berfungsi untuk meningkatkan kekuatan mekanik epitel gepeng berlapis
yang terdapat pada kulit dan mukosa. Penderita dengan penyakit yang aktif
mempunyai antibodi subklas IgG1 dan IgG4, tetapi yang patogenetik
adalah IgG4. Pada pemfigus juga terdapat faktor genetik, umumnya
berkaitan dengan HLA-DR4. 10,11,12

D. Faktor Risiko dan Penyebab


Para peneliti belum mengetahui secara pasti penyebab terjadinya
pemfigus, namun diduga kuat bahwa penyakit ini merupakan penyakit
autoimun. Pada keadaan normal, sistem imun tubuh menyerang virus,
bakteri, dan substansi berbahaya lainnya. Namun pada pasien pemfigus,
sistem imun menyerang protein normal yang disebut desmoglein pada kulit
dan membran mukosa. Protein ini mengikat sel bersama-sama, dan ketika
protein ini rusak, epidermis akan terpisah sehingga terbentuk lepuh. 10

27
Pasien dengan kanker sering mengalami pemfigus, terutama pada
non-Hodgkin limfoma dan leukemia limfositik kronik. Adanya kelainan
autoimun lainnya juga meningkatkan risiko terjadinya pemfigus, antara
lain: 10
 Miastenia gravis. Penyakit autoimun kronik yang ditandai oleh adanya
kelemahan otot.
 Timoma
 Pada beberapa kasus yang jarang terjadi, pemfigus dapat timbul akibat
mengkonsumsi obat-obatan seperti ACE inhibitor. 10,11,12
E. Gambaran Klinis
Pemfigus ditandai oleh adanya lepuh-lepuh pada kulit dan membran
mukosa. Gambaran klinis dari ketiga bentuk pemfigus bervariasi
tergantung dari tipenya masing-masing. Pemfigus vulgaris ditandai oleh
adanya bula berdinding tipis, kendur dan mudah pecah yang timbul baik
pada kulit atau membran mukosa normal maupun di atas dasar eritematous.
Cairan bula pada awalnya jernih tetapi kemudian dapat menjadi hemoragik
bahkan seropurulen. Bula-bula ini mudah pecah, dan secara cepat akan
ruptur sehingga terbentuk erosi. Erosi ini sering berukuran besar dan dapat
menjadi generalisata. Kemudian erosi akan tertutup krusta yang hanya
sedikit atau bahkan tidak memiliki kecenderungan untuk sembuh. Tetapi
bila lesi ini sembuh sering berupa hiperpigmentasi tanpa pembentukan
jaringan parut. 10,11,12
Pemfigus vulgaris biasanya timbul pertama kali di mulut kemudian
di sela paha, kulit kepala, wajah, leher, aksila, dan genital. Pada awalnya
hanya dijumpai sedikit bula, tetapi kemudian akan meluas dalam beberapa
minggu, atau dapat juga terbatas pada satu atau beberapa lokasi selama
beberapa bulan. 10,11,12
Tanda Nikolsky positif, karena hilangnya kohesi antar sel di
epidermis sehingga lapisan atas dapat dengan mudah digeser ke lateral
dengan tekanan ringan. Lesi di mulut muncul pertama kali dalam 60%
kasus. Bula akan dengan mudah pecah dan mengakibatkan erosi mukosa

28
yang terasa nyeri. Lesi ini akan meluas ke bibir dan membentuk krusta.
Keterlibatan tenggorokan akan mengakibatkan timbulnya suara serak dan
kesulitan menelan. Esofagus dapat terlibat, dan telah dilaporkan suatu
esophagitis dissecans superficialis sebagai akibatnya. Konjungtiva, mukosa
nasal, vagina, penis, dan anus dapat juga terlibat. 10,11,12

Gambar 6: Pemfigus vulgaris. A. Bula flaksid B. Lesi oral15

29
Gambar 7: Pemfigus vulgaris. Erosi luas akibat lepuh pada kulit15
F. Diagnosis
Untuk dapat mendiagnosis suatu pemfigus diperlukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang lengkap. Lepuh dapat dijumpai pada berbagai
penyakit sehingga dapat mempersulit dalam penegakkan diagnosis. Cara
pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis pemfigus vulgaris:2
 Nikolsky Sign : penekanan atau penggosokan pada lesi menyebabkan
terbentuknya lesi, epidermis terlepas, dan tampak seperti kertas basah.
Bullae spread phenomenon : bula ditekan  isinya tampak menjauhi
tekanan
 Tzanck test: bahan diambil dari dasar bula, dicat dengan giemsa 
tampak sel akantolitik atau sel tzanck
 Pemeriksaan laboratorium yang tidak spesifik : Leukositosis,
Eosinofilia, Serum protein rendah, Gangguan elektrolit, Anemia dan
Peningkatan laju endap darah.
 Biopsi kulit dan patologi anatomi. Pada pemeriksaan ini, diambil
sampel kecil dari kulit yang berlepuh dan diperiksa di bawah
mikroskop. Gambaran histopatologi utama adalah adanya akantolisis

30
yaitu pemisahan keratinosit satu dengan yang lain. Pada pemfigus
vulgaris dapat dijumpai adanya akantolisis suprabasiler, sedangkan
pada pemfigus foliaseus akantolisis terjadi di bawah stratum korneum
dan pada stratum granulosum.
G. Penatalaksaan
Penatalaksaan awal adalah dengan mengatasi keadaan umum dan
pemantauan efek samping terapi kortikosteroid atau sitostatik jangka
panjang. Kerjasama dengan bagian penyakit dalam, alergi-imunologi dan
departemen lain yang terkait. Penatalaksanaan medikamentosa untuk
pemfigus diantaranya:2
 Topikal kortikosteroid
 Sistemik
- Terapi lini pertama: kortikosteroid sistemik, dimulai dengan dosis 1
mg/kgBB/hari. Tapering dapat dilakukan bila telah terdapat respon
klinis yang baik.
- Pada keadaan klinis yang berat dapat diberikan kortikosteroid terapi
denyut. Cara pemberian kortikosteroid secara terapi denyut (pulsed
therapy): metilprednisolon sodium suksinat i.v. selama 2-3 jam, 500-
1000 mg. Atau injeksi deksametason atau metil prednisolon i.v 1
g/hari selama 4- 5 hari.
- Bila diperlukan dapat diberikan terapi ajuvan sebagai steroid sparing
agent: 13 mikofenolat mofetil 2-2,5 g/hari 2 kali sehari, azathioprin
1-3 mg/kgBB/hari atau 50 mg setiap 12 jam namun disesuaikan
dengan kadar TPMT8, siklofosfamid (50-200 mg/hari), 18 dapson
100 mg/hari, imunoglobulin intravena 1,2-2 g/kgBB terbagi dalam 3-
5 hari yang diberikan setiap 2-4 minggu untuk 1-34 siklus, Rituximab
(0,4 g/kgBB/hari selama 5 hari dan dapat diulang sebagai monoterapi
setiap 21 hari) 2
H. Edukasi
 Menjelaskan kepada pasien dan atau keluarga mengenai penyebab,
terapi dan prognosis penyakit.

31
 Memberi edukasi cara merawat lesi kulit yang lepuh.
 Menghindari penggunaan obat-obat tanpa sepengetahuan dokter.
 Meminimalisir trauma pada kulit karena dapat memperluas lesi
 Menjelaskan pada pasien bahwa penyakit ini merupakan penyekit kronis
dan mudah sekali kambuh
 Menjelaskan kepada pasien mengenai dosis obat dan gejala toksisitas
obat sehingga mereka dapat melaporkan kepada dokter dengan segera
 Menjelaskan kepada pasien mengenai pentingnya perawatan lesi yang
eksudatif2
I. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad malam2

32
BAB III
KESIMPULAN
Dapat disimpulkan kegawatdaruratan pada kulit banyak sekali faktor risiko
dan etiologinya. Tetapi sampai detik ini memang ada beberapa penyakit yang
etiologi dan patogenesisnya masih diteliti. Karena sebagian besar penyakit
kegawatdaruratan kulit diperantarai oleh genetik dan respon imun tubuh. Hal yang
patut diwaspadai adalah jika kegawatdaruratan ini berlangsung lama dan tidak
diketahui.
Maka dari itu kita harus bisa mengklasifikasikan mana yang gawat darurat
dan mana yang tidak. Sebagian besar penyakit kegawatdaruratan kulit dapat
diobati dengan kortikosteroid dan antihistamin, tetapi jangan lupa untuk
melakukan pemeriksaan penunjang sebelum memberikan terapi. Agar terapi tidak
memperburuk kondisi lesi kulit.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Burkhart CN, Burkhart CG. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine.


Edisi ke-8. New York:McGraw-Hill; 2012.
2. Widaty S, dkk. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Spesialis Kulit dan
Kelamin. PERDOSKI. 2017. Diakses pada tanggal 20 September 2021 pada
laman http://ppk-perdoski-2017.pdf
3. Bolognia J, Jorizzo J, Schaffer J. Textbook of Dermatology. Edisi Ketiga.
Elsevier;2012
4. James W, Berger T, Elston D. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
Dermatology. Edisi Kesepuluh. Elsevier; 2008
5. Barnhill R, Crowson A. Textbook of Dermatopathology. Edisi Kedua. 2001.
McGraw-Hill. Halaman
6. Adhi D, Mochtar H. Sindrom Stevens-Johnson. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin FKUI. Edisi Keenam, 2013. Editor: Adhi Juanda, dkk. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
7. Wolff K, Johnson R.A, editors. Fitzpatrick’s Color Atlas & Synopsis of
Clinical Dermatology. 6th ed. New York: McGraw-Hill. 2009.
8. Luk N.M. Adult Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS). Hong Kong
Dermatology & Venereology Bulletin. 2002; 10 (1): 24-26.
9. King, R.W. Staphyloccocal Scalded Skin Syndome. Medscape. Updated July
19, 2021. . Diakses pada tanggal 20 September 2021 pada laman
http://emedicine.medscape.com/article/788199-overview
10. Amagai M. Pemfigus. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP (eds).
Dermatology. Spain: Elsevier. 2008; 5: 417-29.
11. Hunter J, Savin J, Dahl M. Clinical Dermatology. 3 rd ed. Victoria: Blackwell
Publishing. 2002; 9: 108-9.
12. American Osteopathic College of Dermatology. Pemfigus. 2009. Diakses pada
tanggal 20 September 2021 pada laman
http://www.aocd.org/skin/dermatologic_diseases/ pemfigus.html.

34
13. Mayo Clinic Staff. Pemfigus. May 2008. . Diakses pada tanggal 20 September
2021 pada laman http://www.mayoclinic.com/health/pemfigus/DS00749.
14. Luchetti ME. Pemfigus. April 2007. . Diakses pada tanggal 20 September
2021 pada laman http://yourtotalhealth.ivillage.com/pemfigus.html.
15. Berger TG, Odom RB, James WD. Andrew’s disease of the skin. 9 th ed.
Philadelphia: WB Saunders Co. 2000; 21: 574-84.

35

Anda mungkin juga menyukai