Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

KEGAWATDARURATAN KULIT

Pembimbing :
dr. Ayu Nur Ain H., Sp.KK

Disusun Oleh :
Audina Rakhma Putri (1713020002)

KEPANITERAAN KULIT DAN KELAMIN


RSUD DR. SOESELO SLAWI KABUPATEN TEGAL
PERIODE 27 AGUSTUS – 29 SEPTEMBER 2018
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
LEMBAR PENGESAHAN

Referat yang berjudul:


“Kegawatdaruratan Kulit”

Yang disusun oleh:


Audina Rahma P. 1713020002

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing:


dr. Ayu Nur Arin, Sp.KK

Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan


Kepaniteraan Bidang Kulit dan Kelamin
Periode 27 Agustus – 29 September 2018

Slawi, 3 September 2018

Pembimbing

dr. Ayu Nur Arin, Sp.KK

ii
KATA PENGANTAR

Assalamu'alaikum Wr.Wb.
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat-Nya yang begitu
besar sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan referat yang berjudul
“Kegawatdaruratan Kulit” pada kepaniteraan bidang Kulit dan Kelamin di Rumah
Sakit Umum Daerah Dokter Soeselo.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai
pihak yang telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian makalah ini,
terutama kepada dr. Ayu Nur Arin, Sp.KK selaku pembimbing yang telah
memberikan waktu dan bimbingannya sehingga referat ini dapat terselesaikan.
Penulis berharap laporan kasus ujian ini dapat menambah pengetahuan dan
memahami lebih lanjut mengenai “Kegawatdaruratan Kulit” serta salah satunya
untuk memenuhi tugas yang diberikan pada kepaniteraan bidang Kulit dan Kelamin
di Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Soeselo.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan referat ini masih banyak
kekurangan, oleh karena itu, segala kritik dan saran dari semua pihak yang
membangun guna menyempurnakan makalah ini sangat penulis harapkan.
Demikian yang penulis dapat sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi berbagai pihak.

Slawi, 3 September 2018

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN ....…………………………………………………… ii
KATA PENGANTAR ………………………………………………………...… iii
DAFTAR ISI …………………………………………………………………… iv
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………….……… 1
BAB II PEMBAHASAN
A. SYNDROME STEVENS-JOHNSON …………………….…… 2
B. STAPHYLOCOCCAL SCALDED SKIN SYNDROME ……… 8
C. PEMVIGUS VULGARIS ………………………………..…… 12
D. ERITRODERMA ………………………………………..…… 17
BAB III KESIMPULAN ……………………………………………………..… 27
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………...… 28

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Kegawat daruratan medik dapat terjadi pada seseorang maupun sekelompok


orang pada setiap saat dan di mana saja. Hal ini dapat berupa serangan penyakit
secara mendadak, kecelakaan atau bencana alam. Keadaan ini membutuhkan
pertolongan segera yang dapat berupa pertolongan pertama sampai pada
pertolongan selanjutnya secara mantap di rumah sakit. Tindakan tersebut
dimaksudkan untuk menyelamatkan jiwa, mencegah dan membatasi cacat serta
meringankan penderitaan penderita.
Pertolongan pertama biasanya diberikan oleh orang-orang di sekitar korban.
Pertolongan ini harus diberikan secara tepat sebab penanganan yang salah justru
dapat berakibat kematian atau cacat tubuh. Pertolongan selanjutnya diberikan
setelah penderita tiba di rumah sakit, dilakukan oleh dokter umum atau dokter
spesialis yang mempunyai kompetensi untuk melakukan tindakan pada kasus
tersebut.
Pada penyakit kulit, dikenal beberapa penyakit yang dianggap sebagai suatu
kasus kegawat daruratan. Dimana kasus-kasus tersebut membutuhkan pertolongan
yang cepat dan tepat agar tidak menimbulkan kecacatan sampai kematian.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. SINDROM STEVENS-JOHNSON DAN NEKROLISIS EPIDERMAL


TOKSIK
1. Sinonim
Epidermal necrolysis, Lyell’s disease (Menaldi, 2016).
2. Definisi
Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) dan nekrosis epidermal toksik
(NET) merupakan suatu kegawat-daruratan kulit yang ditandai dengan
adanya nekrosis dan pengelupasan epidermis yang luas dan dapat
menyebabkan kematian. SSJ dan NET adalah varian dari penyakit yang
sama dan dibedakan berdasarkan persentase luas permukaan tubuh yang
terlibat. Kedua penyakit ini dikelompokkan sebagai nekrolisis
epidermal (NE) yang kemudian diklasifikasikan dalam 3 kelompok
berdasarkan luas permukaan kulit tubuh yang terlibat, yaitu: 1). sindrom
Stevens-Johnson (SSJ) dengan lesi epidermolisis pada <10% luas
seluruh permukaan kulit tubuh; 2). SSJ/NET overlap lesi mengenai 10–
30 %, 3). nekrosis epidermal toksik (NET) ditandai dengan adanya
epidermolisis lebih dari 30% (Mochtar, et al. 2015).

2
3. Epidemiologi
SSJ-NET merupakan penyakit yang jarang, secara umum insiden
insiden SSJ adalah 1-6 kasus/juta penduduk/tahun, dan insiden NET
0.4-1.2 kasus/juta penduduk/tahun. Angka kematian NET adalah 25-
35%, sedangkan angka kematian SSJ adalah 5-12%. Penyakit ini dapat
terjadi pada setiap usia, terjadi peningkatan risiko pada usia diatas 40
tahun. Perempuan lebih sering terkena dibandingkan laki-laki dengan
perbandingan 1.5 : 1 (Menaldi, 2016).
4. Etiopatogenesis
Mekanisme pasti terjadinya SSJ-NET belum sepenuhnya diketahui.
Pada lesi SSJ-NET terjadi reaksi sitotoksik terhadap keratinosit
sehingga mengakibatkan apoptosis luas. Reaksi toksik yang terjadi
melibatkan sel NK dan sel limfosit T CD8+ yang spesifik terhadap obat
penyebab. Berbagai sitokin terlibat dalam pathogenesis penyakit ini,
yaitu : IL-6, TNF-ɑ, IFN-ɣ, IL-18, Fas-L, granulisin, perforin, granzim-
B.
Sebagian besar SSJ-NET disebabkan karena alergi obat. Berbagai
obat dilaporkan merupakan penyebab SSJ-NET. Obat-obat yang sering
menyebabkan SSJ-NET adalah sulfonamida, antikonvulsan aromatic,
alopurional, antiinflamasi non-steroid, dan nevirapin. Pada beberapa
obat tertentu, misalnya karbamazepin dan allopurinol, faktor genetik
yaitu sistem HLA berperan pada proses terjadinya SSJ-NET. Infeksi
juga dapat menyebabkan SSJ-NET, namun tidak sebanyak pada kasus
multiforme, misalnya infeksi virus dan Mycoplasma (Menaldi, 2016).

High Risk Lower Risk Doubtful Risk No Evidence


of Risk
Allopurinol Acetic acid Paracetamol Aspirin
Sulfamethoxazole NSAIDs (eg, (acetaminophen) Sulfonylurea
Sulfadiazine diclofenac) Pyrazolone Thiazide
Sulfadoxine Aminopenicillins analgesics diuretics
Sulfasalazine Cephalosporins Corticosteroids Furosemide

3
Carbamazepine Quinolones Other NSAIDs Aldactone
Lamotrigine Cyclins (except Aspirin) Calcium
Phenobarbital Macrolides Sertraline channel
Phenytoin blockers
Phenylbutazone Beta Blocker
Nevirapine Angiotensi-
Oxicam NSAIDs converting
Thiacetazone enzyme
inhibitors
Statins
Hormones
Vitamins
Tabel 1. Medication and the Risk of Epidermal Necrolysis
5. Gambaran Klinis
Gejala SSJ-NET timbul dalam waktu 8 minggu, setelah awal
pajanan obat. Sebelum terjadi di lesi kulit, dapat timbul gejala non
spesifik, misalnya demam, sakit kepala, batuk/pilek, dan malaise selama
1-3 hari. Lesi kulit tersebar secara simetris pada wajah, badan, dan
bagian proksimal ekstremitas, berupa makula eritematosa atau purpurik,
dapat pula dijumpai lesi target. Dengan bertambahnya waktu, lesi kulit
meluas dan berkembang menjadi nekrotik, sehingga terjadi bula kendur
dengan tanda Nikolsky positif. Keparahan dan diagnosis bergantung
pada luasnya permukaan tubuh yang mengalami epidermolysis. Lesi
pada mukosa berupa eritema dan erosi biasanya dijumpai di mukosa
genitalia. Keterlibatan organ dalam juga dapat terjadi, namun jarang,
misalnya paru, saluran cerna, dan ginjal.

4
Bastuji-Garin dkk (2000) mengajukan cara menilai prognosis
SSJ-NET berdasarkan Scorten yang memberikan nilai 1 untuk hal-hal
berikut : usia > 40 tahun, denyut jantung > 120/menit, terdapat kanker
atau keganasan hematologik, epidermolysis >10% LPB, kadar urea
serum >10mM/L (>28mg/dL), kadar bikarbonat serum <20 mEq/L,
kadar gula darah sewaktu > 14mM/L (>252 mg/dL). Nilai SCORTEN
ini dianjurkan untuk dievaluasi pada hari ke-1 dan ke-3 (Menaldi, 2016).

Gambar 1. Early eruption Gambar 2. Early presentation


with vesicles and blisters

Gambar 3. Advanced eruption Gambar 4. Full-blown epidermal


necrolysis

5
Gambar 5A. Extensive erosions and necroses of the other lip
and oral mucosa; 5B. Massive erosions covered by crusts

6. Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang penting untuk menunjang
diagnosis. Pemeriksaan histopatologi kulit dapat menyingkirkan
diagnosis banding, dan umumnya diperlukan untuk kepentingan
medikolegal. Pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan untuk evaluasi
keparahan penyakit dan untuk tatalaksana pasien.
Pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah : darah tepi lengkap,
analisis gas darah, kadar elektrolit, albumin, dan protein darah, fungsi
ginjal, fungsi hepar, gula darah sewaktu dan foto rontgen paru. Selama
perawatan perlu diwaspadai tanda-tanda sepsis secara klinis dan
dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk menunjang sepsis (Menaldi,
2016).
7. Diagnosis Klinis
Dasar diagnosis SSJ-NET adalah anamnesis yang teliti tentang
kronologis perjalanan penyakit disertai hubungan waktu yang jelas
dengan konsumsi obat pasien, dan gambaran klinis lesi kulit dan
mukosa. Diagnosis SSJ ditegakkan bila epidermolysis hanya ditemukan
pada < 10% LPB, NET bila epidermolysis >30% LPB, dan overlap SSJ-
NET bila epidermolysis 10-30% LPB (Menaldi, 2016).

6
8. Diagnosis Banding
Berbagai penyakit kulit bulosa dapat menyerupai SSJ-NET,
misalnya Staphylococcal scalded skin syndrome, generalized bullous
fixed drug eruption, acute generalized exanthematous pustulosis, graft
versus host disease dan lupus eritematosus bulosa. Pada keadaan-
keadaan ini diperlukan anamnesis dan pemeriksaan klinis yang cermat.
Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan histopatologis kulit untuk
pemeriksaan diagnosis.
Gambaran klinis SSJ sering sulit dibedakan dengan eritema
multiform mayor. Pada keadaan ini, anamnesis tentang obat sebagai
penyebab, pemeriksaan klinis untuk menentukan epidermolysis akan
sangat membantu, sebelum dibutuhkan pemeriksaan histopatologis
(Menaldi, 2016).
9. Tatalaksana
SSJ-NET adalah penyakit yang mengancam nyawa yang
membutuhkan tatalaksana yang optimal berupa: deteksi dini dan
penghentian segera obat, serta perawatan suportif di rumah sakit. Sangat
disarankan untuk merawat pasien SSJ-NET di ruang perawatan khusus.
Perawatan suportif mencakup: mempertahankan keseimbangan
cairan elektrolit, suhu lingkungan yang optimal 28-30ºC, nutrisi sesuai
dengan kebutuhan dan kemampuan asupan makanan, perawatan kulit
secara antiseptik tanpa debridement, perawatan mata dan mukosa mulut.
Berbagai terapi spesifik telah dipakai untuk mengatasi penyakit ini,
namun belum diperoleh hasil yang jelas karena sulit mengadakan uji
klinis untuk penyakit yang jarang ini. Penggunaan kortikosteroid
sistemik sampai saat ini, hasilnya masih sangat beragam, sehingga
penggunaanya belum dianjurkan. IVIg, siklosporin A, siklofosfamid,
plasmaferesis, dan hemodialysis juga telah digunakan di berbagai
negeara dan hasilnya bervariasi (Menaldi, 2016).

7
10. Prognosis
Dalam perjalanan penyakitnya SSJ-NET dapat mengalami penyulit
yang mengancam nyawa berupa sepsis dan multiple organ failure.
Prognosis SSJ-NET dapat diperkirakan berdasarkan SCORTEN.

Tabel 2. SCORTEN
Pada pasien yang mengalami penyembuhan, re-epitalisasi terjadi
dalam waktu rerata 3 minggu. Gejala sisa yang sering terjadi adalah skar
pada mata dan gangguan penglihatan. Kadang-kadang terjadi skar pada
kulit, gangguan pigmentasi, dan gangguan pertumbuhan kuku (Menaldi,
2016).

B. STAPHYLOCOCCAL SCALDED SKIN SYNDROME


1. Pendahuluan
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (S.S.S.S.) pertama kali
dilaporkan oleh Ritter von Rittershain pada tahun 1956 an dikenal
sebagai penyakit on Rittershain dan sering disingkat menjadi penyakit
Ritter saja; sinonimnya ialah dermatitis eksfoliativa neonatorum. Istilah
ini umumnya digunakan pada neonatus. Pada waktu itu belum dikenal
istilah S.S.S.S. Kemudian Lyell pada tahun 1956 memasukkannya ke
dalam Nekrolisis Epidermal Toksik (N.E.T.). Barulah pada 1ahun 1970
berkat penyelidikan Milish dan Glasgow dengan model tikus dan berkat
berbagai penyelidikan klinis dan histopatologik sindrom ini menjadi
jelas dan ternyata berbeda dengan N.E.T (Menaldi, 2016).

8
2. Definisi
S.S.S.S. ialah infeksi kulit oleh Staphylococcus aureus tipe tertentu
dengan ciri yang khas ialah terdapatnya epidermolysis (Menaldi, 2016).
3. Epidemiologi
Penyakit ini terutama terdapat pada anak di bawah 5 tahun, pria lebih
banyak daripada wanita (Menaldi, 2016).
4. Etiologi
Etiologinya antara lain ialah Staphylococcus aureus grup ll faga 52,
55, dan/atau faga 71.
5. Patogenesis
Sebagai sumber infeksi ialah infeksi pada mata, hidung, tenggorok
dan telinga. Eksotoksin yang dikeluarkan bersifat epidermolitik
(epidermolin, eksfoliatin) yang beredar di seluruh tubuh sampai pada
epidermis dan menyebabkan kerusakan, karena epidermis merupakan
jaringan yang rentan terhadap toksin ini. Pada kulit tidak selalu
ditemukan kuman penyebab.
Fungsi ginjal yang baik diperlukan untuk mengekskresikan
eksfoliatin. Pada anak-anak dan bayi diduga fungsi ekskresi ginjal
belum sempurna karena itu umumnya penyakit ini terdapat pada
golongan usia tersebut. Jika penyakit ini menyerang orang dewasa
diduga karena terdapat kegagalan fungsi ginjal, atau terdapat gangguan
imunologik, termasuk yang mendapat obat imunosupresif (Menaldi,
2016).
6. Gejala Klinis
Pada umunya terdapat demam yang tinggi disertai infeksi di saluran
napas. Kelainan kulit yang pertama timbul ialah eritema yang timbul
pada wajah leher, aksila, dan lipat paha, kemudian menyeluruh dalam
waktu 24 jam. Dalam waktu 24-48 jam akan timbul bula bula besar
berdinding kendur. Jika kulit yang tampaknya normal ditekan dan
digeser kulit tersebut akan terkelupas sehingga memberi tanda Nikolsky
positif

9
Dalam 2-3 hari terjadi pengeriputan spontan disertai pengelupasan
lembaran-lembaran kulit sehingga tampak daerah-daerah erosif. Akibat
epidermolisis tersebut, gambarannya mirip kombustio. Daerah-daerah
tersebut akan mengering dalam beberapa hari dan terjadi deskuamasi.
Deskuamasi pada daerah yang tidak eritematosa yang tidak mengelupas
terjadi dalam waktu 10 hari. Meskipun bibir sering dikenai tetapi
mukosa jarang diserang. Penyembuhan penyakit akan terjadi setelah 10-
14 hari tanpa disertai sikatriks (Menaldi, 2016).

Gambar 6. Penderita S.S.S.S


(Dhar, et al. 2017)
7. Komplikasi
Meskipun S.S.S.S. dapat sembuh spontan, dapat pula terjadi
komplikasi, misalnya: selulitis, pneumonia, dan septikemia.
8. Pemeriksaan Bakterial
Jika terdapat infeksi di tempat lain, misalnya di saluran napas dapat
dilakukan pemeriksaan bakteriologik. Juga sebaiknya diperiksa
mengenai tipe kuman, karena S.S.S.S. disebabkan oleh Staphylococcus
aureus tipe tertentu. Pada kulit seperti telah disebutkan, tidak didapati
kuman penyebab karena kerusakan kulit akibat toksin.

10
9. Histopatologi
Pada S.S.S.S. terdapat gambaran yang khas, yakni terlihat lepuh
intraepidermal, celah terdapat di stratum granulosum. Meskipun ruang
lepuh sering mengandung sel-sel akantolitik, epidermis sisanya
tampaknya utuh tanpa disertai nekrosis sel.
10. Diagnosis Banding
Penyakit ini sangat mirip NET. Perbedaannya, S.S.S.S. umumnya
menyerang anak di bawah usia 5 tahun, mulainya kelainan kulit diwajah,
leher, aksila dan lipat paha mukosa umumnya tidak dikenai, alat-alat
dalam tidak diserang, dan angka kematiannya lebih rendah. Kedua
penyakit tersebut agak sulit dibedakan, oleh karena itu hendaknya
dilakukan pemeriksaan histopatologik secara frozen section agar
hasilnya cepat diketahui, karena prinsip terapi kedua penyakit tersebut
berbeda. Perbedaannya terletak pada letak celah, pada S.S.S.S. di
stratum granulosum, sedangkan pada N.E.T di sub epidermal.
Perbedaan lain, pada N.E.T. terdapat sel-sel nekrosis di sekitar celah dan
banyak terdapat sel radang.
11. Pengobatan
Berbeda dengan pengobatan pada N.E.T maka kortikosteroid tidak
perlu diberikan. Pengobatannya ialah antibiotik, jika dipilih derivat
penisilin hendaknya yang juga efektif bagi Staphylococcus aureus yang
membentuk penisilinase, misalnya kloksasilin dengan dosis 3 x 250 mg
untuk orang dewasa sehari peroral. Pada neonatus (penyakit Ritter)
dosisnya 3 x 50 mg sehari. Obat lain yang dapat diberikan ialah
klindamisin dan sefalosporin generasi I. Topikal dapat diberikan
sofratulle atau krim antibiotik. Selain itu juga harus diperhatikan
keseimbangan cairan dan elektrolit.
12. Prognosis
Kematian dapat terjadi, terutama pada bayi berusia di bawah
setahun, yang berkisar antara 1-10%. Penyebab utama kematian ialah
tidak adanya keseimbangan cairan/elektrolit dan sepsis.

11
C. PEMFIGUS VULGARIS
1. Epidemiologi
Pemfigus vulgaris (PV) merupakan bentuk yang tersering dijumpai
(80% semua kasus). Penyakit ini tersebar di seluruh dunia dan dapat
mengenai semua bangsa dan ras. Frekuensinya pada kedua jenis kelamin
sama. Umumnya mengenai umur pertengahan (dekade ke-4 dan ke-5),
tetapi dapat juga mengenai semua umur, termasuk anak (Menaldi,
2016).
2. Etiologi
Pemfigus ialah autoimun, karena pada serum penderita ditemukan
autoantibodi, juga dapat disebabkan oleh obat (drug induced
pemphigus), misalnya D penisilamin dan kaptopril. Pemfigus yang
diinduksi oleh obat dapat berbentuk pemfigus foliaseus (termasuk
pemfigus eritematosus) atau pemfigus vulgaris. Pemfigus foliaseus
lebih sering timbul dibandingkan dengan pemfigus vulgaris. Pada
pemfigus tersebut, secara klinis dan histologik menyerupai pemfigus
yang sporadik, pemeriksaan imunofluoresensi langsung pada
kebanyakan kasus positif sedangkan pemeriksaan imunofluoresensi
tidak langsung hanya kira-kira 70% yang positif (Menaldi, 2016).
Pemfigus dapat menyertai penyakit neoplasma, baik yang jinak
maupun yang maligna, dan disebut sebagai pemfigus paraneoplastik
Pemfigus juga dapat ditemukan bersama-sama dengan penyakit
autoimun yang lain, misalnya lupus eritematosus sistemik, pemfigoid
bulosa miastenia gravis dan anemia pernisiosa (Menaldi, 2016).
3. Patogenesis
Semua bentuk pemfigus mempunyai sifat sangat khas, yakni :
a. Hilangnya kohesi sel-sel epidermis (akantolisis).
b. Adanya antibodi lgG terhadap antigen determinan yang ada di
permukaan keratinosit yang sedang berdiferensiasi.
Lepuh pada PV akibat terjadinya reaksi autoimun terhadap antigen
PV Antigen ini merupakan transmembran glikoprotein dengan berat
molekul 160 kD untuk pemfigus foliaesus dan berat molekul 130 kD

12
untuk pemfigus vulgaris yang terdapat pada permukaan sel sel
keratinosit.
Target antigen pada PV yang hanya dengan lesi oral ialah
desmoglein dan kulit ialah desmoglein 1 dan 3. Sedangkan pada
pemfigus foliaseus, target antigennya ialah desmoglein 1. Desmoglein
ialah salah satu komponen desmosom. Komponen yang lain misalnya
desmoplakin, plakoglobin dan desmokolin. Fungsi desmosom ialah
meningkatkan kekuatan mekanik epitel gepeng berlapis yang terdapat
pada kulit dan mukosa.
Pada penderita dengan penyakit yang aktif mempunyai antibodi
subklas lgG dan lgG4, tetapi yang patogenik ialah IgG4. Pada pemfigus
juga ada faktor genetik, umumnya berkaitan dengan HLA-DR4
(Menaldi, 2016).
4. Gejala Klinis
Keadaan umum penderita biasanya buruk. Penyakit dapat mula
sebagai lesi di kulit kepala yang berambut atau di rongga mulut kira-kira
pada 60% kasus, berupa erosi yang disertai pembentukan krusta,
sehingga sering salah didiagnosis sebagai piode pada kulit kepala yang
berambut atau dermatitis denga infeksi sekunder. Lesi di tempat tersebut
dapat berlangsung berbulan-bulan sebelum timbul bula generalisata.
Semua selaput lendir dengan epitel skuamosa dapat diserang,
yakni selaput kendir konjungtiva, hidung, farings, larings, esofagus,
uretra, vulva, dan serviks. Kebanyakan penderita stomatis aftosa
sebelum diagnosis pasti ditegakkan. Lesi di mulut ini dapat meluas dan
dapat mengganggu pada waktu penderita makan karena rasa nyeri.
Bula yang timbul berdinding kendur, mudah pecah dengan
meninggalkan kulit terkelupas dan diikuti oleh pembentukan krusta
yang lama bertahan di atas kulit yang terkelupas tersebut. Bula dapat
timbul di atas kulit yang tampak normal atau yang eritematosa dan
generalisata. Tanda Nikolsky positif disebabkan oleh adanya
akantolisis. Cara mengetahui tanda tersebut ada dua, pertama dengan
menekan dan menggeser kulit di antara dua bula dan kulit tersebut akan

13
terkelupas. Cara kedua dengan menekan bula maka bula akan meluas
karena cairan yang didalamnya mengalami tekanan.
Pruritus tidaklah lazim pada pemfigus, tetapi penderita sering
mengeluh nyeri pada kulit yang terkelupas. Epitelisasi terjadi setelah
penyembuhan dengan meninggalkan hipopigmentasi atau
hiperpigmentasi dan biasanya tanpa jaringan parut (Menaldi, 2016).

Gambar 7. Pemvigus Bulgaris


5. Hispatologi
Pada gambaran hispatologik didapatkan bula intrapidermal
suprabasal dan sel-sel epitel yang mengalami akantolisis pada dasar bula
yang menyebabkan uji Tzanck positif. Uji ini berguna untuk
menentukan adanya sel-sel akantolitik, tetapi bukan diagnostik pasti
untuk penyakit pemfigus. Pada pemeriksaan dengan menggunakan
mikroskop elektron dapat diketahui, bahwa permulaan perubahan
patologik ialah perunakan segmen interselular. Juga dapat dilihat
perusakan desmosom dan tonofilamen sebagai peristiwa sekunder.
6. Imunologi
Pada tes imunofloresensi langsung didapat kan antibodi
interselular tipe lgG dan C3. Pada tes imunofloresensi tidak langsung
didapatkan antibodi pemfigus tipe lgG. Tes yang pertama lebih
dipercaya daripada tes kedua, karena telah menjadi positif pada
permulaan penyakit. Seringkali sebelum tes kedua menjadi positif, dan

14
tetap positif pada waktu yang lama, meskipun penyakitnya telah
membaik.
Antibodi pemfigus ini rupanya sangat spesifik untuk pemfigus.
Titer antibodi umumnya sejajar dengan beratnya penyakit dan akan
menurun kemudian menghilang dengan pengobatan kortikosteroid1.
7. Diagnosis Banding
Pemfigus vulgaris dibedakan dengan dermatitis herpetiformis,
yang dapat mengenai anak dan dewasa, keadaan umum baik, keluhan
sangat gatal, ruam polimorfi vesikel/ tegang dan berkelompok, dan
mempunyai tempat predileksi. Sebaliknya pemfigus terutama terdapat
pada orang dewasa, keadaan umum buruk, tidak gatal, bula berdinding
kendur dan biasanya generalisata. Pada gambaran histopatologik
dermatitis herpetiformis, letak vesikel/bula di subepidermal, sedangkan
pada pemfigus vulgaris terletak di intraepidermal dan terdapat
akantolisis. Pemeriksaan imunofluoresensi pada pemfigus
menunjukkan IgG yang terletak intraepidermal, sedangkan pada
dermatitis hipertiformis terdapat lgA berbentuk granular intrapapilar.
Pemfigoid bulosa berbeda dengan pem figus vulgaris karena
keadaan umumnya baik dinding bula tegang, letaknya di epidermal dan
terdapat IgG linier.
8. Pengobatan
Tatalaksana harus dilakukan segera setelah didiagnosis meskipun lesi
hanya sedikit, karena lesi akan cepat meluas dan jika tidak ditatalaksana
dengan baik prognosisnya buruk. Tatalaksana pemfigus vulgaris dibagi
dalam 3 fase, yaitu fase kontrol, fase konsolidasi, dan fase maintenance.
Fase kontrol adalah fase penyakit dapat dikontrol, terbukti dari
tidak terbentuknya lesi baru dan penyembuhan lesi yang sudah ada.
Direkomendasikan kortikosteroid dosis tinggi, umumnya prednison
100-150 mg/hari secara sistemik, alternatif adalah deksametason 100
mg/hari. Dosis harus di taper off segera setelah lesi terkontrol. Selama
terapi kortikosteroid dosis tinggi harus dipantau risiko diabetes, infeksi,
hipertensi, gangguan jantung dan paru.

15
Obat-obat imunosupresi, seperti azathioprine, mycophenolate
mofetil, methrotrexate, dan cyclophosphamide, dikombinasi dengan
kortikosteroid dosis rendah dapat mengurangi efek samping
kortikosteroid. Azathrioprine merupakan terapi adjuvan yang sering
digunakan karena relatif murah dan aman dikombinasikan dengan
kortikosteroid dosis tinggi. Dosis azathriopine 2,5 mg/kgBB/ hari.
Prednison dengan azathriopine lebih efektif daripada prednison saja,
azathriopine tanpa prednison baru memberikan efek positif 3-5 minggu
kemudian. Mycophenolate mofetil 2 gram/hari dapat memberikan efek
positif, tetapi jarang digunakan karena efek toksiknya.
Cyclophosphamide 1-3 mg/kgBB/ hari efektif jika dikombinasikan
dengan kortikosteroid.
Plasmaferesis dapat dikombinasi dengan obat-obat
imunosupresi, dilakukan tiga kali seminggu dengan mengganti 2 L
plasma setiap plasmaferesis. Plasmaferesis tanpa kombinasi obat
imunosupresi dapat menyebabkan rebound pembentukan antibodi.
Plasmaferesis memiliki risiko infeksi, saat ini banyak digantikan
dengan IVIG. Serum antibodi berkurang lebih dari setengah pada 1-2
minggu pertama pemakaian IVIG. IVIG diduga bekerja meningkatkan
katabolisme molekul imunoglobulin, sehingga dapat mengurangi
antibodi. Dosis IVIG 2 gram/ kgBB/dosis selama 3-5 hari.
Fase konsolidasi adalah fase terapi untuk mengontrol penyakit
hingga sebagian besar (sekitar 80%) lesi kulit sembuh, fase ini dimulai
saat berlangsung penyembuhan kulit hingga sebagian besar lesi kulit
telah sembuh. Lama fase ini hanya beberapa minggu, jika penyembuhan
lambat dosis terapi kortikosteroid ataupun terapi adjuvan
imunosupsresan perlu ditingkatkan.
Fase maintenance adalah fase pengobatan dengan dosis
terendah yang dapat mencegah munculnya lesi kulit baru, fase ini
dimulai saat sebagian besar lesi telah sembuh dan tidak tampak lagi lesi
baru. Pada fase ini dosis kortikosteroid diturunkan bertahap, sekitar
seperempat dosis setiap satu hingga dua minggu. Penurunan yang

16
terlalu cepat berisiko memunculkan lesi kulit baru, penurunan yang
terlalu lambat meningkatkan risiko efek samping kortikosteroid. Jika
pada fase ini muncul lesi baru minimal dapat diberi kortikosteroid
topikal atau intralesi. Jika lesi jumlahnya banyak, dosis kortikosteroid
ditingkatkan 25-50%. Pada fase ini obat-obat imunosupresi perlu
dibatasi karena mempunyai efek samping infertilitas dan meningkatkan
risiko kanker.
Obat topikal seperti sulfadiazine perak 1% dapat mencegah
infeksi sekunder. Lesi mukosa dapat diberi obat kumur
diphenhydramine hydrochloride. Kortikosteroid topikal dapat
memberikan efek positif pada lesi minimal. Pasien harus tetap mandi
setiap hari untuk mengurangi risiko infeksi sekunder, mengurangi
penebalan krusta dan mengurangi bau badan. Tatalaksana lini pertama
adalah rituximab (dosis 375 mg/m2) satu minggu sekali selama delapan
minggu diikuti setiap bulan selama empat bulan, dikombinasikan
dengan IVIG (2 gram/kgBB/dosis) diberikan hingga kadar CD20+ B
cell 15% atau lebih (William, 2016).
9. Prognosis
Sebelum kortikosteroid digunakan, maka kematian terjadi pada
50% penderita dalam tahun pertama. Sebab kematian ialah sepsis,
kaheksia, dan ketidakseimbangan elektrolit. Pengobatan dengan
kortikosteroid membuat prognosis lebih baik (Menaldi, 2016).

D. ERITODERMA
1. Definisi
Eritroderma merupakan temuan klinis berupa eritema, dengan atau
tanpa skuama, yang terdapat pada 90% permukaan area tubuh. Eritroderma
sering disebut sebagai dermatitis eksfoliatif. Eritroderma merupakan
temuan klinis akhir yang diakibatkan oleh banyak penyakit kulit yang
mendasari. Eritroderma diklasifikasikan menjadi dua yaitu eritroderma
primer (idiopatik) pada 20% kasus dan eritroderma skunder yang telah
diketahui penyebabnya, seperti akibat pengobatan, penyakit dasar dan

17
penyakit sistemik lainnya, eritroderma sekunder terjadi pada 80% kasus
(Sanusi, 2014).
2. Etiologi
Eritroderma dapat disebabkan oleh akibat alergi obat secara sistemik,
perluasan penyakit kulit, penyakit sistemik termasuk keganasan (Garg,
2010). Penyakit kulit yang dapat menimbulkan eritroderma diantaranya
adalah psoriasis 23%, dermatitis spongiotik 20%, alergi obat 15%, CTCL
atau sindrom sezary 5% (Shimizu, 2007).
Secara morfologis gambaran eritroderma menyerupai beberapa kelainan
kulit dan penyakit sistemik, begitu pula akibat alergi obat-obatan tertentu
(Tabel 2).
a. Eritroderma yang disebabkan oleh alergi obat secara sistemik
Keadaan ini banyak ditemukan pada dewasa muda. Obat yang dapat
menyebabkan eritroderma adalah arsenik organik, emas, merkuri
(jarang), penisilin, barbiturat. Insiden ini dapat lebih tinggi karena
kebiasaan masyarakat orang sering melakukan pengobatan sendiri dan
pengobatan secara tradisional.2 Waktu mulainya obat ke dalam tubuh
hingga timbul penyakit bervariasi dapat segera sampai 2 minggu.
Gambaran klinisnya adalah eritema universal. Bila ada obat yang masuk
lebih dari satu yang masuk ke dalam tubuh diduga sebagai penyebabnya
ialah obat yang paling sering menyebabkan alergi (Djuanda, 2007).
b. Eritroderma yang disebabkan oleh perluasan penyakit kulit
Eritroderma et causa psoriasis, merupakan eritroderma yang paling
banyak ditemukan dan dapat disebabkan oleh penyakit psoriasis
maupun akibat pengobatan psoriasis yang terlalu kuat (Djuanda, 2007).
Dermatitis seboroik pada bayi juga dapat menyebabkan eritroderma
yang juga dikenal sebagai penyakit Leiner. Etiologinya belum diketahui
pasti. Usia penderita berkisar 4-20 minggu. Ptyriasis rubra pilaris yang
berlangsung selama beberapa minggu dapat pula menjadi eritroderma.
Selain itu yang dapat menyebabkan eritroderma adalah pemfigus
foliaseus, dermatitis atopik dan liken planus (Djuanda, 2007).

18
c. Eritroderma akibat penyakit sistemik
Berbagai penyakit atau kelainan alat dalam termasuk infeksi fokal
dapat memberi kelainan kulit berupa eritroderma. Jadi setiap kasus
eritroderma yang tidak termasuk akibat alergi obat dan akibat perluasan
penyakit kulit harus dicari penyebabnya, yang berarti perlu pemeriksaan
menyeluruh (termasuk pemeriksaan laboratorium dan sinar X toraks),
untuk melihat adanya infeksi penyakit pada alat dalam dan infeksi fokal.
Ada kalanya terdapat leukositosis namun tidak ditemukan penyebabnya,
jadi terdapat infeksi bakterial yang tersembunyi (occult infection) yang
perlu diobati (Djuanda, 2007).

Tabel 2. Proses yang Berkaitan dengan Timbulnya Eritroderma

Penyakit Kulit Penyakit Sistemik Obat-obatan

Dermatitis atopik Mikosis fungoides Sulfonamid

Dermatitis kontak Penyakit Hodgkin Antimalaria

Dermatofitosis Limfoma Penisilin

Penyakit Leiner Leukemia akut dan kronis Sefalosporin

Liken planus Multipel mieloma Arsen

Mikosis fungoides Karsinoma paru Merkuri

Pemfigus foliaceus Karsinoma rektum Barbiturat

Pitiriasis rubra Karsinoma tuba falopii Aspirin

Psoriasis Dermatitis Kodein


papuloskuamosa pada
Sindrom Reiter Difenilhidantoin
AIDS
Dermatitis seboroik Yodium

Dermatitis statis Isoniazid

19
Kuinidin

Kaptopril

Sumber: Fitzpatrick et all. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine.

3. Epidemiologi
Insiden eritroderma bervariasi di seluruh dunia. Di Amerika Serikat
dilaporkan antara 0,9 sampai 71,0 kasus eritroderma dari 100.000 penderita
rawat jalan dermatologi. Di Belanda terjadi insiden 0,9 kasus eritroderma
dari 100.000 populasi. Angka kejadian kasus eritroderma pada laki-laki
lebih banyak dari pada perempuan dengan perbandingan 2:1-4:1.7
(Djuanda, 2007).
4. Patofisiologi
Normalnya kulit mempunyai sistem pertahanan imunologi. Sistem ini
akan aktif jika terdapat stimulator berupa luka, bakteri, atau antigen di
kenali oleh sel dentririk yang berperan sebagai antigen presenting sel,
kemudian mengaktifkan sel T pada limfe nodi, sehingga menstimulasi
pengeluaran sitokin terjadilah proses inflamasi.
Proses imunologi ini merupakan sistem normal dalam respons terhadap
antigen dan lingkungan, namun terjadinya abnormalitas fungsi sel T pada
penyakit kulit, termasuk eritroderma masih belum diketahui sebabnya
(Robert, 2000).
Patogenesis terjadinya eritroderma tergantung penyakit yang
mendasari. Namun belum sepenuhnya diketahui mekanisme bagaimana
penyakit yang mendasari tersebut dapat berkembang menjadi eritroderma.
Pada berbagai penelitian yang telah dilakukan, ditemukan sel T helper. Pada
penelitian terbaru ditemukan adanya interaksi kompleks antara molekul
sitokin dan molekul adhesi seluler yaitu Interleukin (IL-1, IL-2, IL-8),
molekul adhesi interselular 1 (ICAM-1), tumor necrosis faktor, dan
interferon-γ yang menyebabkan terjadinya peningkatan proliferasi
epidermal.
Sitokin yang menginfiltrasi dermis dapat timbul dari berbagai
penyakit yang mendasarinya. Sitokin ini diduga berperan dalam pelebaran

20
pembuluh darah dan peningkatan epidermis turnover rate, peningkatan laju
mitosis, sehingga sel matur hanya dalam waktu yang singkat berada dalam
epidermis. Hal ini menyebabkan hilangnya material epidermis secara cepat
bersama dengan hilangnya protein dan folat khusunya pada eritroderma
karena psoriasis (Sehgal, 2004).
5. Gejala klinis
Gambaran klinis eritroderma beraneka ragam dan bervariasi tiap
individu. Kelainan yang paling pertama muncul adalah eritema, yang
disebabkan oleh pelebaran pembuluh darah, yang umumnya terjadi pada
area genetalia, ekstremitas, atau kepala. Eritema ini akan meluas sehingga
dalam beberapa hari atau minggu seluruh permukaan kulit akan terkena,
yang akan menunjukan gambaran yang disebut “Red Man Syndrome”
(Garg, 2010).
Skuama muncul setelah eritema, biasanya setelah 2-6 hari. Skuama
adalah lapisan stratum korneum yang terlepas dari kulit. Skuama
berkonsistensi mulai dari halus sampai kasar. Ukuran skuama bervariasi;
pada proses akut akan berukuran besar, sedangkan pada proses kronis akan
berukuran kecil. Warna skuama juga bervariasi, dari putih hingga
kekuningan. Deskuamasi yang difus dimulai dari daerah lipatan, kemudian
menyeluruh. Dapat juga mengenai membran mukosa, terutama yang
disebabkan oleh obat. Bila kulit kepala sudah terkena, dapat terjadi alopesia,
perubahan kuku, dan kuku dapat lepas. Pada eritroderma, skuama tidak
selalu terdapat, misalnya eritroderma karena alergi obat sistemik, pada
mulanya tidak disertai skuama, skuama kemudian timbul pada stadium
penyembuhan timbul (Garg, 2010).

21
Gambar 7. Eritema disertai Skuama

Kulit kepala dapat terlibat, yang akan meluas ke folikel rambut dan
matriks kuku. Kurang lebih 25% dari pasien mengalami alopesia, dan pada
banyak kasus, kuku akan mengalami kerapuhan sebelum lepas seluruhnya.
Telapak tangan dan kaki biasanya ikut terlibat, namun jarang mengenai
membran mukosa. Sering terjadi pula bercak hiper dan hipopigmentasi.
Pada eritroderma kronis, eritema tidak begitu jelas karena bercampur
dengan hiperpigmentasi (Garg, 2010).
Epidermis berukuran tipis pada awal proses penyakit dan akan terlihat
dan terasa tebal pada stadium lanjut. Kulit akan terasa kering dengan krusta
berwarna kekuningan yang disebabkan serum yang mengering dan
kemungkinan karena infeksi sekunder. Pada beberapa kasus, manifestasi
klinis yang muncul pada eritroderma yang akut menyerupai nekrolisis
epidermal toksik, walaupun secara patofisiologi sangat berbeda.
Pada eritroderma karena penyakit kulit, penyakit sistemik dan obat-
obatan, sering dijumpai kelainan-kelainan yang mendasarinya, yang
membantu dalam menegakan diagnosis. Sering ditemukan plak psioriasis
yang masih tersisa; papul atau lesi oral likenplanus; gambaran pulau yang
khas dari pitiriasis rubra; dan lesi papular dari drug eruption (Garg, 2010).
Gejala dari penyakit yang mendasari ini sering sulit ditemukan dan harus
diperiksa dengan cermat (Djuanda, 2007).
Pasien mengeluh kedinginan. Pengendalian regulasi suhu tubuh menjadi
hilang, sehingga sebagai kompensasi terhadap kehilangan panas tubuh,
sekujur tubuh pasien menggigil untuk dapat menimbulkan panas metabolik.

22
Eritroderma akibat alergi obat secara sistemik diperlukan anamnesis yang
teliti untuk mencari obat penyebabnya. Umumnya alergi timbul akut dalam
waktu 10 hari. Pada mulanya kulit hanya eritem saja, setelah penyembuhan
barulah timbul skuama. Pada eritroderma akibat alergi obat, dapat disertai
edema pada wajah dan leher.

Gambar 8. Eritroderma karena alergi obat (gambar kiri); Red Man


Syndrome (gambar kanan)

Eritroderma akibat perluasan penyakit kulit seringkali pada psoriasis dan


dermatitis seboroik bayi. Psoriasis dapat menjadi eritroderma karena dua
hal yaitu: karena penyakitnya sendiri atau karena pengobatan yang terlalu
kuat. Psoriasis yang menjadi eritroderma tanda khasnya akan menghilang.
Pada eritroderma et causa psoriasis, merupakan eritroderma yang
disebabkan oleh penyakit psoriasis atau pengobatan yaitu kortikosteroid
sistemik, steroid topikal, komplikasi fototerapi, stress emosional yang berat,
penyakit terdahulu misalnya infeksi.
6. Diagnosis
Diagnosis agak sulit ditegakkan, harus melihat dari tanda dan gejala
yang sudah ada sebelumnya misalnya, warna hitam-kemerahan di psoriasis
dan kuning-kemerahan di pilaris rubra pityriasis; perubahan kuku khas
psoriasis; likenifikasi, erosi, dan ekskoriasi di dermatitis atopik dan eksema

23
menyebar, relatif hiperkeratosis tanpa skuama, dan pityriasis rubra; ditandai
bercak kulit dalam eritroderma. Dengan beberapa biopsi biasanya dapat
menegakkan diagnosis.
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin, didapatkan penurunan
hemoglobin, peningkatan eosinofil, dan peningkatan leukosit (pada
infeksi sekunder). Kadar imunoglobulin dapat meningkat, khususnya
IgE. Albumin serum menurun dan gamma globulin meningkat relatif.
Didapatkan pula ketidakseimbangan elektrolit karena dehidrasi.
Pasien dengan eritrodetma yang luas dapat ditemukan tanda-tanda
dari ketidakseimbangan nitrogen: edema, hipoalbuminemia, dan
hilangnya masa otot. Beberapa penelitian menunjukan terdapat
perubahan keseimbangan nitrogen dan potasium ketika laju
pembentukan skuama mencapai 17 gr/m2 per 24 jam (Djuanda, 2007).
b. Histopatologi
Pada kebanyakan pasien dengan eritroderma histopatologi dapat
membantu mengidentifikasi penyebab eritroderma pada sampai dengan
50% kasus, biopsi kulit dapat menunjukkan gambaran yang bervariasi,
tergantung berat dan durasi proses inflamasi. Pada tahap akut,
spongiosis dan parakeratosis menonjol, terjadi edema. Pada stadium
kronis, akantosis dan perpanjangan rete ridge lebih dominan.
Eritroderma akibat limfoma, yang infiltrasi bisa menjadi semakin
pleomorfik, dan mungkin akhirnya memperoleh fitur diagnostik
spesifik, seperti bandlike limfoid infiltrat di dermis-epidermis, dengan
sel cerebriform mononuklear atipikal dan Pautrier's microabscesses.
Pasien dengan sindrom Sezary sering menunjukkan beberapa fitur dari
dermatitis kronis, dan eritroderma jinak mungkin kadang-kadang
menunjukkan beberapa gambaran tidak jelas pada limfoma.
Pemeriksaan immunofenotipe infiltrat limfoid juga mungkin sulit
menyelesaikan permasalahan karena pemeriksaan ini umumnya
memperlihatkan gambaran sel T matang pada eritroderma jinak maupun

24
ganas. Pada psoriasis papilomatosis dan gambaran clubbing lapisan
papiler dapat terlihat, dan pada pemfigus foliaseus, akantosis superficial
juga ditemukan. Pada eritroderma ikhtisioform dan ptiriasis rubra
pilaris, biopsi diulang dari tempat-tempat yang dipilih dengan cermat
dapat memperlihatkan gambaran khasnya.
8. Terapi
Terapi yang optimal untuk eritroderma tergantung pada penegakan
penyebab penyakit. Pada eritroderma karena alergi obat, penghentian dari
obat-obat yang menyebabkan alergi atau berpotensi menyebabkan alergi
memberikan hasil yang baik. Pada eritroderma karena penyakit kulit,
penyakit yang mendasari harus diatasi. Pemberian salep ter pada psoriasis
sebaiknya secara hati-hati karena mampu mencetuskan eksaserbasi
eritroderma.
Karena terdapat peningkatan kehilangan cairan transepidermal,
dehidrasi sering ditemukan sebagai komplikasi. Input dan output cairan
harus dipantau secara hati-hati. Pemberian kortikosteroid topikal efektif
dalam mengatasi inflamasi pada kulit. Pemberian antihistamin ditujukan
untuk mengatasi pruritus.
Pada eritroderma idiopatik, pemberian steroid diindikasikan apabila
pengunaan terapi konservatis tidak menunjukan perbaikan. Rata-rata 100-
300 mg kortison diberikan perhari dan biasanya digunakan sebagai terapi
awal, walaupun dosis rumatan harian hanya 50 mg kortison. Pemberian
kortikosteroid harus dipantau secara ketat dalam hal efek samping, terutama
pada pasien usia lanjut.
9. Komplikasi
Banyak sistem organ selain epidermis dan dermis juga terlibat pada
eritroderma. Limpadenopati terjadi pada 60% dari sebagian besar kasus.
Hepatomegali ditemukan pada 20% kasus (Abrahams et al.). Splenomegali
ditemukan pada 3% kasus (kesemuanya mengalami limpoma) baik pada
stadium awal dan pada hampir 20% stadium akhir.
Rusaknya barier kulit pada eritroderma menyebabkan peningkatan
extrarenal water lost (karena penguapan air berlebihan melalui barrier kulit

25
yang rusak). Peningkatan extrarenal water lost ini menyebabkan kehilangan
panas tubuh yang menyebabkan hipotermia dan kehilangan cairan yang
menyebabkan dehidrasi. Respon tubuh terhadap dehidrasi dengan
meningkatkan cardiac output, yang bila terus berlanjut akan menyebabkan
gagal jantung, dengan manifestasi klinis seperti takikardia, sesak, dan
edema. Oleh karena itu evaluasi terhadap balans cairan sangatlah penting
pada pasien eritroderma (Djuanda, 2007).
Pasien dengan eritroderma yang luas dapat ditemukan tanda-tanda dari
ketidakseimbangan nitrogen: edema, hipoalbuminemia, dan hilangnya masa
otot. Pada eritroderma kronik dapat mengakibatkan kakeksia, alopesia,
palmoplantar keratoderma, kelainan pada kuku and ektropion.
10. Prognosis
Prognosis eritroderma tergantung pada proses penyakit yang
mendasarinya. Prognosis pada kasus alergi obat adalah baik setelah obat
dihentikan. Penyembuhan golongan ini adalah yang tercepat dibandingkan
dengan golongan lain. Prognosis kasus akibat gangguan sistemik seperti
limfoma akan tergantung pada keberhasilan pengobatan penyakitnya itu
sendiri. Kasus idiopatik adalah kasus yang sulit diramalkan, dapat bertahan
dalam waktu yang lama, dan seringkali disertai dengan keadaan umum yang
lemah.
Pada eritroderma yang belum diketahui sebabnya, pengobatan dengan
kortikosteroid hanya mengurangi gejalanya, danpasien akan mengalami
ketergantungan kortikosteroid.

26
BAB III
KESIMPULAN

Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) dan nekrosis epidermal toksik (NET)


merupakan suatu kegawat-daruratan kulit yang ditandai dengan adanya nekrosis dan
pengelupasan epidermis yang luas dan dapat menyebabkan kematian. SSJ-NET adalah
penyakit yang mengancam nyawa yang membutuhkan tatalaksana yang optimal
berupa: deteksi dini dan penghentian segera obat tersangka, serta perawatan suportif di
rumah sakit. Sangat disarankan unutk merawat pasien SSJ-NET di ruang perawatan
khusus.
S.S.S.S. ialah infeksi kulit oleh Staphylococcus aureus tipe tertentu dengan ciri
yang khas ialah terdapatnya epidermolysis. Pengobatannya ialah antibiotik, jika dipilih
derivat penisilin hendaknya yang juga efektif bagi Staphylococcus aureus yang
membentuk penisilinase, misalnya kloksasilin dengan dosis 3 x 250 mg untuk orang
dewasa sehari peroral. Pada neonatus (penyakit Ritter) dosisnya 3 x 50 mg sehari.
Pemfigus ialah autoimun, karena pada serum penderita ditemukan autoantibodi,
juga dapat disebabkan oleh obat. Tatalaksana harus dilakukan segera setelah
didiagnosis meskipun lesi hanya sedikit, karena lesi akan cepat meluas dan jika tidak
ditatalaksana dengan baik prognosisnya buruk. Tatalaksana pemfigus vulgaris dibagi
dalam 3 fase, yaitu fase kontrol, fase konsolidasi, dan fase maintenance.
Eritroderma merupakan temuan klinis berupa eritema, dengan atau tanpa
skuama, yang terdapat pada 90% permukaan area tubuh. Eritroderma sering disebut
sebagai dermatitis eksfoliatif. Eritroderma merupakan temuan klinis akhir yang
diakibatkan oleh banyak penyakit kulit yang mendasari.
Terapi yang optimal untuk eritroderma tergantung pada penegakan penyebab penyakit.
Pada eritroderma karena alergi obat, penghentian dari obat-obat yang menyebabkan
alergi atau berpotensi menyebabkan alergi memberikan hasil yang baik. Pada
eritroderma karena penyakit kulit, penyakit yang mendasari harus diatasi. Pemberian
salep ter pada psoriasis sebaiknya secara hati-hati karena mampu mencetuskan
eksaserbasi eritroderma.

27
DAFTAR PUSTAKA

Dhar, A Damian. (2017). Staphylococcal Scalded Skin Syndrome. MSD Manuals.


Available at: https://www.msdmanuals.com/home/skin-disorders/bacterial-skin-
infections/staphylococcal-scalded-skin-syndrome

Djuanda A. (2007) Dermatosis Eritroskuamosa. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th
Ed. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Garg. Amit & Levin. Nikki. A. & Bernhard. Jeffrey. D. (2010) Chapter 5, Structure of
Lesions and Fundamentals of Clinical Diagnosis. In: Wloff Klaus et al, editors.
Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine. Eight Edition. United States:
McGraw-Hill Companies.

Menaldi, Sri Linuwih SW. (2016) Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Morfologi dan
Cara Membuat Diagnosis. Edisi Ketujuh. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

Mochtar, Moerbono., Negara, Wisuda P & Alamanda Mrasmita. (2015) Angka


Kejadian Sindrom Stevens-Johnson Dan Nekrolisis Epidermal Toksik
Di Rs Dr. Moewardi Surakarta Periode Agustus 2011-Agustus 2013. MDVI
Vol.42[2].

Schgal VN and Srivastava G. (2005) Exfoliative dermatitis: A prospective study of 80


patients. Dermatologica. 173: 278–284

Sanusi UH. Erythroderma (generalized exfoliative dermatitis). Available from: URL:


http://emedicine.medscape.com/article/1106906-overview

Shimizu H. (2007) Shimizu’s Textbook of Dermatology. 1st Ed. Hokkaido: Nakayama


Shoten Publishers.

28

Anda mungkin juga menyukai