Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

“Kegawatdaruratan Kulit”

Pembimbing :

dr. Citra Primanita, Sp.KK

Disusun Oleh :

Sana Ghita Fauziah

G4A019033

SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

PURWOKERTO

2020
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui presentasi kasus dengan judul :

“Kegawatdaruratan Kulit”

Pada tanggal, Agustus 2020

Disusun untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik

di bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin

RSUD. Prof. Dr. Margono Soekardjo

Disusun oleh :

Sana Ghita Fauziah G4A019033

Mengetahui,

Pembimbing

dr. Citra Primanita, Sp.KK


19821108 201412 2 002

2
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan YME., karena atas keberkahannya
penulis dapat menyelesaikan tugas presentasi kasus ini. Terimakasih penulis sampaikan kepada
para pengajar, fasilitator, dan narasumber SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, terutama dr.
Citra Primanita, Sp.KK, selaku pembimbing penulis. Penulis menyadari makalah ini masih sangat
jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat penulis
harapkan demi kesempurnaannya.
Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga presentasi kasus ini dapat bermanfaat
khususnya bagi penulis yang sedang menempuh pendidikan dan dapat dijadikan pelajaran bagi
yang membacanya.

Purwokerto, Agustus 2020

Penulis

3
I. PENDAHULUAN

Kegawatdaruratan medik dapat terjadi pada seseorang maupun sekelompok orang


pada setiap saat dan di mana saja. Hal ini dapat berupa serangan penyakit secara mendadak,
kecelakaan atau bencana alam. Keadaan ini membutuhkan pertolongan segera yang dapat
berupa pertolongan pertama sampai pada pertolongan selanjutnya secara mantap di rumah
sakit. Tindakan tersebut dimaksudkan untuk menyelamatkan jiwa, mencegah dan
membatasi cacat serta meringankan penderitaan penderita (Alimohammadi et al., 2014).
Pasien yang mengalami kegawatdaruratan harus segera mendapatkan penanganan
secara tepat, cermat, dan cepat. Penanganan yang tidak tepat akan menyebabkan terjadinya
kematian atau kecacatan pada pasien. Angka kematian pasien di Instalasi Gawat Darurat
(IGD) terutama di negara berkembang masih tinggi (Obermeyer et al., 2015)
Pertolongan pertama biasanya diberikan oleh orang-orang di sekitar korban.
Pertolongan ini harus diberikan secara tepat sebab penanganan yang salah justru dapat
berakibat kematian atau cacat tubuh.Pertolongan selanjutnya diberikan setelah penderita
tiba di rumah sakit, dilakukan oleh dokter umum atau dokter spesialis yang mempunyai
kompetensi untuk melakukan tindakan pada kasus tersebut (Limantara et al., 2013).
Pada penyakit kulit, dikenal beberapa penyakit yang dianggap sebagai suatu kasus
kegawat daruratan. Contohnya Toxic Epidermal Nekrolisis, Steven Johnson Syndrome,
Erythema Multiforme, Erythroderma, Angioedema,Staphylococcus Scaled Skin Syndrome
diimana kasus-kasus tersebut membutuhkan pertolongan yang cepat dan tepat agar tidak
menimbulkan kecacatan sampai kematian.

4
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. SINDROM STEVENS-JOHNSON DAN NEKROLISIS EPIDERMAL TOKSIK


1. Sinonim
Epidermal necrolysis, Lyell’s disease
2. Definisi
Sindrom Steven Johnson (SSJ) dan Nekrolisis Epidernal Toksik (NET) merupakan
reaksi mukokutan akut yang mengancam nyawa, ditandai dengan nekrosis epidermis
yang luas sehingga terlepas. Kedua penyakit ini mirip dalam gejala klinis dan
histopatologis, faktor risiko, penyebab, dan patogenesisnya, sehingga saat ini
digolongkan dalam proses yang identik, hanya dibedakan berdasarkan keparahan saja.
Pada SSJ, terdapat epidermolysis sebesar < 10 % luas permukaan tubuh (LPB),
sedangkan pada NET > 30%. Keterlibatan 10-30% LPB disebut overlap SSJ-NET
(Garg,2010).
3. Epidemiologi
SSJ-NET merupakan penyakit yang jarang, secara umum insiden insiden SSJ
adalah 1-6 kasus/juta penduduk/tahun, dan insiden NET 0.4-1.2 kasus/juta
penduduk/tahun. Angka kematian NET adalah 25-35%, sedangkan angka kematian SSJ
adalah 5-12%. Penyakit ini dapat terjadi pada setiap usia, terjadi peningkatan risiko
pada usia diatas 40 tahun. Perempuan lebih sering terkena dibandingkan laki-laki
dengan perbandingan 1.5 : 1 . Data dari ruang rawat inap RSCM menunjukan bahwa
selama tahun 2010-2013 terdapat 57 kasus dengan rincian: SSJ 47.4%, overlap SSJ-
NET 19.3% dan NET 33.3% (Menaldi,2016)..
4. Etiopatogenesis
Mekanisme pasti terjadinya SSJ-NET belum sepenuhnya diketahui. Pada lesi SSJ-
NET terjadi reaksi sitotoksik terhadap keratinosit sehingga mengakibatkan apoptosis
luas. Reaksi toksik yang terjadi melibatkan sel NK dan sel limfosit T CD8+ yang
spesifik terhadap obat penyebab. Berbagai sitokin terlibat dalam pathogenesis penyakit
ini, yaitu : IL-6, TNF-ɑ, IFN-ɣ, IL-18, Fas-L, granulisin, perforin, granzim-B
(Menaldi,2016).

5
Sebagian besar SSJ-NET disebabkan karena alergi obat. Berbagai obat dilaporkan
merupakan penyebab SSJ-NET. Obat-obat yang sering menyebabkan SSJ-NET adalah
sulfonamida, antikonvulsan aromatic, alopurional, antiinflamasi non-steroid, dan
nevirapin. Pada beberapa obat tertentu, misalnya karbamazepin dan allopurinol, faktor
genetik yaitu sistem HLA berperan pada proses terjadinya SSJ-NET. Infeksi juga dapat
menyebabkan SSJ-NET, namun tidak sebanyak pada kasus multiforme, misalnya
infeksi virus dan Mycoplasma (Menaldi,2016).

High Risk Lower Risk Doubtful Risk No Evidence of


Risk
Allopurinol Acetic acid Paracetamol Aspirin
Sulfamethoxazole NSAIDs (eg, (acetaminophen) Sulfonylurea
Sulfadiazine diclofenac) Pyrazolone Thiazide
Sulfadoxine Aminopenicillins analgesics diuretics
Sulfasalazine Cephalosporins Corticosteroids Furosemide
Carbamazepine Quinolones Other NSAIDs Aldactone
Lamotrigine Cyclins (except Aspirin) Calcium channel
Phenobarbital Macrolides Sertraline blockers
Phenytoin Beta Blocker
Phenylbutazone Angiotensi-
Nevirapine converting
Oxicam NSAIDs enzyme
Thiacetazone inhibitors
Statins
Hormones
Vitamins
Tabel 1. Medication and the Risk of Epidermal Necrolysis (Garg,2010)
5. Gambaran Klinis
Gejala SSJ-NET timbul dalam waktu 8 minggu, setelah awal pajanan obat. Sebelum
terjadi lesi kulit, dapat timbul gejala non spesifik, misalnya demam, sakit kepala,
batuk/pilek, dan malaise selama 1-3 hari. Lesi kulit tersebar secara simetris pada wajah,
badan, dan bagian proksimal ekstremitas, berupa makula eritematosa atau purpurik,
dapat pula dijumpai lesi target. Dengan bertambahnya waktu, lesi kulit meluas dan
berkembang menjadi nekrotik, sehingga terjadi bula kendur dengan tanda Nikolsky
positif. Keparahan dan diagnosis bergantung pada luasnya permukaan tubuh yang
mengalami epidermolysis. Lesi pada mukosa berupa eritema dan erosi biasanya
dijumpai di mukosa genitalia. Keterlibatan organ dalam juga dapat terjadi, namun
jarang, misalnya paru, saluran cerna, dan ginjal (Garg,2010).

6
Bastuji-Garin dkk(2000) mengajukan cara menilai prognosis SSJ-NET berdasarkan
Scorten yang memberikan nilai 1 untuk hal-hal berikut : usia > 40 tahun, denyut jantung
> 120/menit, terdapat kanker atau keganasan hematologik, epidermolysis >10% LPB,
kadar urea serum >10mM/L (>28mg/dL), kadar bikarbonat serum <20 mEq/L, kadar
gula darah sewaktu > 14mM/L (>252 mg/dL). Nilai SCORTEN ini dianjurkan untuk
dievaluasi pada hari ke-1 dan ke-3 (Garg,2010).

Gambar 1. Early eruption (Garg,2010). Gambar 2. Early presentation with vesicles and
blisters (Garg,2010).

7
Gambar 3. Advanced eruption (Garg,2010). Gambar 4. Full-blown epidermal necrolysis
(Garg,2010).

6. Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang penting untuk menunjang diagnosis.
Pemeriksaan histopatologi kulit dapat menyingkirkan diagnosis banding, dan
umumnya diperlukan untuk kepentingan medikolegal. Pemeriksaan laboratorium perlu
dilakukan untuk evaluasi keparahan penyakit dan untuk tatalaksana pasien
(Menaldi,2016)..
Pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah : darah tepi lengkap, analisis gas darah,
kadar elektrolit, albumin, dan protein darah, fungsi ginjal, fungsi hepar, gula darah
sewaktu dan foto rontgen paru. Selama perawatan perlu diwaspadai tanda-tanda sepsis
secara klinis dan dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk menunjang sepsis
(Menaldi,2016).
7. Diagnosis Klinis
Dasar diagnosis SSJ-NET adalah anamnesis yang teliti tentang kronologis
perjalanan penyakit disertai hubungan waktu yang jelas dengan konsumsi obat
tersangka, dan gambaran klinis lesi kulit dan mukosa. Diagnosis SSJ ditegakkan bila
epidermolysis hanya ditemukan pada < 10% LPB, NET bila epidermolysis >30% LPB,
dan overlap SSJ-NET bila epidermolysis 10-30% LPB.
8. Diagnosis Banding
Berbagai penyakit kulit bulosa dapat menyerupai SSJ-NET, misalnya
Staphylococcal scalded skin syndrome, generalized bullous fixed drug eruption, acute
generalized exanthematous pustulosis, graft versus host disease dan lupus eritematosus

8
bulosa. Pada keadaan-keadaan ini diperlukan anamnesis dan pemeriksaan klinis yang
cermat. Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan histopatologis kulit untuk
pemeriksaan diagnosis (Menaldi,2016).
Gambaran klinis SSJ sering sulit dibedakan dengan eritema multiform mayor. Pada
keadaan ini, anamnesis tentang obat sebagai penyebab, pemeriksaan klinis untuk
menentukan epidermolysis akan sangat membantu, sebelum dibutuhkan pemeriksaan
histopatologis (Menaldi,2016).
9. Tatalaksana
SSJ-NET adalah penyakit yang mengancam nyawa yang membutuhkan tatalaksana
yang optimal berupa: deteksi dini dan penghentian segera obat tersangka, serta
perawatan suportif di rumah sakit. Sangat disarankan unutk merawat pasien SSJ-NET
di ruang perawatan khusus (Garg,2010).
Perawatan suportif mencakup: mempertahankan keseimbangan cairan elektrolit,
suhu lingkungan yang optimal 28-30ºC, nutrisi sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan asupan makanan, perawatan kulit secara antiseptik tanpa debridement,
perawatan mata dan mukosa mulut. Berbagai terapi spesifik telah dipakai untuk
mengatasi penyakit ini, namun belum diperoleh hasil yang jelas karena sulit
mengadakan uji klinis untuk penyakit yang jarang ini. Penggunaan kortikosteroid
sistemik sampai saat ini, hasilnya masih sangat beragam, sehingga penggunaanya
belum dianjurkan. Kebijakan yang dipakai di ruang rawat Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin RSCM adalah menggunakan kortikosteroid sistemik untuk setiap kasus SSJ-
NET, dengan hasil yang cukup baik dengan angka kematian pada periode 2010-2013
sebesar 10.5%. IVIg, siklosporin A, siklofosfamid, plasmaferesis, dan hemodialysis
juga telah digunakan di berbagai negeara dan hasilnya bervariasi (Garg,2010)..
10. Prognosis
Dalam perjalanan penyakitnya SSJ-NET dapat mengalami penyulit yang
mengancam nyawa berupa sepsis dan multiple organ failure. Prognosis SSJ-NET dapat
diperkirakan berdasarkan SCORTEN.

9
Prognostic Factors Points
Age > 40 years 1
Heart Rate > 120 beats/min 1
Cancer or hematologic maglinancy 1
Body surface area involved > 10 percent 1
Serum Urea Level > 10 mM 1
Serum bicarbonate level < 20 mM 1
Serum glucose level > 14 mM 1
Tabel 2. SCORTEN : A Prognostic Scoring System for Patients with Epidermal
Necrolysis (Garg,2010).

SCORTEN Mortality Rate (%)


0-1 3.2
2 12.1
3 35.8
4 58.3
5 90
Table 3. SCORTEN : A severity of illness score toxic epidermal necrolysis (Garg,2010).

Pada pasien yang mengalami penyembuhan, re-epitalisasi terjadi dalam waktu


rerata 3 minggu. Gejala sisa yang sering terjadi adalah skar pada mata dan gangguan
penglihatan. Kadang-kadang terjadi skar pada kulit, gangguan pigmentasi, dan
gangguan pertumbuhan kuku.

B. ANGIOEDEMA
1. Definisi
Edema mendadak pada dermis bagian bawah dan subkutis dengan manifestasi
edema sewarna kulit atau eritemapada area predileksi, yang sering disertaiketerlibatan
lapisan submukosa. Kadang-kadang disertai gejala subyektif nyeri atau panas, rasa
gatal jarang ada. Angioedema disebut akut jika berlangsung kurang dari 6 minggu
(Zulberbeir,2014).

10
2. Diagnosis Klinis
Pada anamnesis Gejala objektif berupa edema kulit mendadak pada area predileksi.
Gejala subjektif berupa rasa nyeri atau rasa terbakar, dan gatal ringan. Dapat disertai
atau tidak disertai urtikaria. Sebanyak 43,8% angioedema alergidisertai urtikaria. Dapat
disertai kesulitan menelan atau bernafas apabila ada keterlibatan mukosa saluran nafas
dan cerna. Biasanya gejala timbul beberapa jam hingga 72 jam. Episode
angioedema/urtikaria yang menetap lebih dari 6 minggu disebut kronis, yang terbagi
atas angioedema/urtikaria autoimun kronik dan idiopatik kronik (Maurer,2013).
Etiologi angioedema akut pada umumnya adalah obat, makanan, infeksi, atau
faktor-faktor metabolik.12.Pemeriksaan Fisik : Didapatkan edema sewarna kulit, atau
kadang eritema. Lokasi anatomis berurutan dari paling sering yaitu wajah, periorbital,
bibir, ektremitas, glottis, lidah, genitalia. Dapat disertai gejala sesak nafas
(Maurer,2013).
3. Diagnosis Banding
1) Diagnosis banding etiologi (Maurer,2013) :
a. Erupsi obat alergi : Diperantarai imunoglobulin E (IgE) , Metabolik-
idiosinkrasi, Imunitas seluler.
b. Reaksi akibat makanan : Diperantara IgE, tidak diperatarai IgE (contoh:
scombroid poisoning)
c. Jalur intravena
d. Produk darah : Zat kontras, γ-globulin intravena
e. Infeksi : Infeksi virus padaanak-anak, Infectious mononucleosis atau gejala
prodromal hepatitis B. infeksi bakteri pada anak-anak.
2) Fisik (Maurer,2013):
a. Lesi individu timbul <2 jam : Urtikaria dingin, Urtikaria kolinergik,
Dermatografisme, Urtikaria panas local, Urtikaria aquagenik, Urtikaria
kolinergik diinduksi oleh dingin, Cold-dependent dermatographism.
b. Lesi timbul >2 jam : Urtikaria akibat tekanan, Angioedema akibat getaran
(vibratory), Familial cold-induced syndromes, biasanya disertai demam.
3) Kronik (>6 Minggu) (Maurer,2013) :
a. Autoimun, kadang disertai antibodi antitiroid.

11
b. Idiopatik.
c. Vaskulitis urtikaria : Idiopatik-hanya pada kulit, Berhubungan dengan
penyakit jaringan ikat yang lain.
d. Familial febrile syndromesdengan erupsi menyerupai urtikaria.
e. Sindrom Schnitzler.
f. Angioedema herediter.
g. Angioedema didapat (acquired).
4. Pemeriksaan Penunjang.
Pemeriksaan penunjang tidak rutin dilakukan pada angioedema akut. Pemeriksaan
penunjang disarankan pada angioedema kronik. Pemeriksaan penunjang yang
dilakukan bergantung pada penyebab yang dicurigai berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Jenis pemeriksaan yaitupemeriksaan darah lengkap, urinalisis,
fungsi tiroid, komplemen (C1, C3, C4), Imunoglobulin, biopsi kulit, uji tusuk,
danautologous serum skin test(ASST) (Ivyansky,2014).
5. Penatalaksanaan
1) Non Medikamentosa :
Identifikasi dan eliminasi faktor-faktor penyebab endogen dan eksogen. Apabila
didapatkan sesak nafas, suara serak atau odinofagia dikonsulkan ke spesialis THT
untuk dilakukan nasopharyngolaryngoscopi (NPL) dengan terlebih dahulu diatasi
keadaan darurat di Unit Gawat Darurat. Apabila didapatkan edema laring
berdasarkan hasil NPL maka dirawat di ICU untuk monitor jalan nafas. Pasien
dengan edema terbatas pada kulit dapat diobservasi diunit gawat darurat dalam 6
jam, dan diperbolehkan rawat jalan (Kaplan,2010).
2) Medikamentosa.
Mengurangi pelepasan mediator oleh sel mast dan/atau efek mediator tersebut pada
organ target, serta menginduksi toleransi. Pada angioedema akut pengobatan
difokuskan untuk mengurangi gejala. Topikal tidak ada terapi khusus. Sistemik
apabila ada gangguan nafas: epinefrin atau adrenalin (1:1000) dosis 0,3 ml
subkutan atau intramuskular, diulangi setiap 10 menit. Pengobatan selanjutnya:
a. Linipertama: Antihistamin H-1 generasi ke-2 seperti loratadin, cetirizin,
desloratadin, atau feksofenadin, dapat diberikan pada pasien rawat jalan atau

12
antihistamin H-1 generasi ke-1 apabila gejala menetap setelah 2 minggu
pengobatan, maka diberikan pengobatan lini kedua (Kaplan,2010).
b. Lini kedua: Dosis antihistamin H-1 generasi kedua ditingkatkan 2-4 kali lipat2,
apabila gejala menetap setelah 1-4 minggu berikutnya diberikan pengobatan
lini ketiga.Lini ketiga: oKortikosteroid diindikasikan pada pasien dengan syok
anafilaksis, edema laring, dan gejala yang berat yang tidak berespons dengan
pemberian antihistamin. Dosis 0,5-1 mg/kgBB/hari dengan atau tanpa tapering
off kortikosteroid jangka pendek (maksimal 10 hari) dapat juga digunakan
apabila terjadi eksaserbasi. Dapat ditambahkan omalizumab atau siklosporin
(Kaplan,2010).
6. Edukasi
Hindari pencetus
7. Prognosis
a) ad vitam: dubia ad bonam.
b) ad fungsionam: ad bonam.
c) ad sanationam: dubia ad bonam.

C. STAPHYLOCOCCAL SCALDED SKIN SYNDROME


1. Pendahuluan
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (S.S.S.S.) pertama kali dilaporkan oleh
Ritter von Rittershain pada tahun 1956 an dikenal sebagai penyakit on Rittershain dan
sering disingkat menjadi penyakit Ritter saja; sinonimnya ialah dermatitis eksfoliativa
neonatorum. Istilah ini umumnya digunakan pada neonatus. Pada waktu itu belum
dikenal istilah S.S.S.S. Kemudian Lyell pada tahun 1956 memasukkannya ke dalam
Nekrolisis Epidermal Toksik (N.E.T.). Barulah pada 1ahun 1970 berkat penyelidikan
Milish dan Glasgow dengan model tikus dan berkat berbagai penyelidikan klinis dan
histopatologik sindrom ini menjadi jelas dan ternyata berbeda dengan N.E.T
(Zulberbeir,2014).

13
2. Definisi
S.S.S.S. ialah infeksi kulit oleh Staphylococcus aureus tipe tertentu dengan ciri
yang khas ialah terdapatnya epidermolisis.
3. Epidemiologi
Penyakit ini terutama terdapat pada anak di bawah 5 tahun, pria lebih banyak
daripada wanita (Mishra,2016).

4. Etiologi
Etiologinya antara lain ialah Staphylococcus aureus grup ll faga 52, 55, dan/atau
faga 71 (Woff,2012).
5. Patogenesis
Sebagai sumber infeksi ialah infeksi pada mata, hidung, tenggorok dan telinga.
Eksotoksin yang dikeluarkan bersifat epidermolitik (epidermolin, eksfoliatin) yang
beredar di seluruh tubuh sampai pada epidermis dan menyebabkan kerusakan, karena
epidermis merupakan jaringan yang rentan terhadap toksin ini. Pada kulit tidak selalu
ditemukan kuman penyebab (Handler,2014).
Fungsi ginjal yang baik diperlukan untuk mengekskresikan eksfoliatin. Pada anak-
anak dan bayi diduga fungsi ekskresi ginjal belum sempurna karena itu umumnya
penyakit ini terdapat pada golongan usia tersebut. Jika penyakit ini menyerang orang
dewasa diduga karena terdapat kegagalan fungsi ginjal, atau terdapat gangguan
imunologik, termasuk yang mendapat obat imunosupresif (Handler,2014).
6. Gejala Klinis
Pada umumnya terdapat demam yang tinggi disertai infeksi di saluran napas
Kelainan kulit yang pertama timbul ialah eritema yang timbul pada wajah leher, aksila,

14
dan lipat paha, kemudian menyeluruh dalam waktu 24 jam. Dalam waktu 24-48 jam
akan timbul bula bula besar berdinding kendur. Jika kulit yang tampaknya normal
ditekan dan digeser kulit tersebut akan terkelupas sehingga memberi tanda Nikolsky
positif. Dalam 2-3 hari terjadi pengeriputan spontan disertai pengelupasan lembaran-
lembaran kulit sehingga tampak daerah-daerah erosif. Akibat epidermolisis tersebut,
gambarannya mirip kombustio. Daerah-daerah tersebut akan mengering dalam
beberapa hari dan terjadi deskuamasi. Deskuamasi pada daerah yang tidak eritematosa
yang tidak mengelupas terjadi dalam waktu 10 hari. Meskipun bibir sering dikenai,
tetapi mukosa jarang diserang. Penyembuhan penyakit akan terjadi setelah 10-14 hari
tanpa disertai sikatriks (Woff,2012).
Gambar 10. Penderita S.S.S.S (Mishra,2016).
7. Komplikasi
Meskipun S.S.S.S. dapat sembuh spontan, dapat pula terjadi komplikasi, misalnya:
selulitis, pneumonia, dan septicemia (Woff,2012)
8. Pemeriksaan Bakterial
Jika terdapat infeksi di tempat lain, misalnya di saluran napas dapat dilakukan
pemeriksaan bakteriologik. Juga sebaiknya diperiksa mengenai tipe kuman, karena
S.S.S.S. disebabkan oleh Staphylococcus aureus tipe tertentu. Pada kulit seperti telah
disebutkan, tidak didapati kuman penyebab karena kerusakan kulit akibat toksin
(Woff,2012).
9. Histopatologi
Pada S S.S.S. terdapat gambaran yang khas, yakni terlihat lepuh intraepidermal,
celah terdapat di stratum granulosum. Meskipun ruang lepuh sering mengandung sel-
sel akantolitik, epidermis sisanya tampaknya utuh tanpa disertai nekrosis sel
(Handler,2014).
10. Diagnosis Banding
Penyakit ini sangat mirip NET. Perbedaannya, S.SS S. umumnya menyerang anak
di bawah usia 5 tahun, mulainya kelainan kulit diwajah, leher, aksila dan lipat paha
mukosa umumnya tidak dikenai, alat-alat dalam tidak diserang, dan angka kematiannya
lebih rendah. Kedua penyakit tersebut agak sulit dibedakan, oleh karena itu hendaknya
dilakukan pemeriksaan histopatologik secara frozen section agar hasilnya cepat

15
diketahui, karena prinsip terapi kedua penyakit tersebut berbeda. Perbedaannya terletak
pada letak celah, pada S. S.S.S. di stratum granulosum, sedangkan pada N.E.T di sub
epidermal. Perbedaan lain, pada N.E.T. terdapat sel-sel nekrosis di sekitar celah dan
banyak terdapat sel radang (Mishra,2016).
11. Pengobatan
Berbeda dengan pengobatan pada N.E.T maka kortikosteroid tidak perlu diberikan.
Pengobatannya ialah antibiotik, jika dipilih derivat penisilin hendaknya yang juga
efektif bagi Staphylococcus aureus yang membentuk penisilinase, misalnya kloksasilin
dengan dosis 3 x 250 mg untuk orang dewasa sehari peroral. Pada neonatus (penyakit
Ritter) dosisnya 3 x 50 mg sehari per os. Obat lain yang dapat diberikan ialah
klindamisin dan sefalosporin generasi I. Topikal dapat diberikan sofratulle atau krim
antibiotik. Selain itu juga harus diperhatikan keseimbangan cairan dan elektrolit
(Handler,2014).

12. Prognosis
Kematian dapat terjadi, terutama pada bayi berusia di bawah setahun, yang berkisar
antara 1-10%. Penyebab utama kematian ialah tidak adanya keseimbangan
cairan/elektrolit dan sepsis.

D. PEMFIGUS VULGARIS
1. Definisi
Pemfigus vulgaris merupakan suatu penyakit autoimun pada kulit dan membaran
mukosa, bisa akut maupun kronik, biasanya berupa bula yang biasanya berakibat fatal
kecuali diobati dengan obat imunosupresif. Penyakit ini merupakan prototype dari
golongan penyakit pemfigus, yaitu penyakit-penyakit autoimun yang bersifat akantolitik
dan berbentuk lepuhan (vesikel/bula) (Payne,2012).

16
2. Klasifikasi Pemfigus
Tipe Bentuk
Pemfigus vegetans : localized
Pemfigus vulgaris
Drug-induced
Pemfigus eritematous : localized
Pemfigus foliaceus Fogo selvage : endemic
Drug-induced
Paraneoplastic
pemfigus
Subcorneal pustular dermatosis
IgA pemfigus
Intradermal neutrophilic IgA dermatosis

3. Epidemiologi
- Lebih umum pada orang keturunan mediteranian
- Usia 40 – 60 tahun
- Pria = wanita
- Fogo selvagen, atau disebut juga pemfigus foliaceus endemic, adalah suatu penyakit
yang sama secra klinis, histologist dan immunologis dengan penyakit pemfigus
foliaceus biasa, namun hanya terdapat di daerah rural di brazil terutama di daerah
sepanjang sungai. Berdasarkan distribusi geografis dan suati studi mengenai faktor
risiko lingkungan, dicurigai bahwa lalat hitam (Simulium nigrimanum) merupakan
vector dari penyakit ini (Atzmony,2014).
4. Etiologi dan Patogenesis
Merupakan pennyakit autoimun (Atzmony,2014).
a. Berdasarkan mikroskop electron:
- Studi ultrastruktural pada lesi pemfigus berpusat pada desmosom, yang merupakan
organel sel yang berperan penting dalam perlekatan antarsel pada sel-sel epitel berlapis
gepeng. Pada lesi pemfigus ditemukan adanya retratksi tonofilamen dari desmososom,
dan kemudian lebih lanjut lagi terdapat penurunan bahkan hilangnya desmosom.
- Terjadi destruksi desmosom pada proses akantolisis.
b. Berdasarkan imunopatologis:
1) Imunofluorosensi
- Ciri khas dari pemfigus yaitu ditemukannya autoantibody IgG yang menyerang
permukaan sel keratinosit

17
- Gambaran yang didapatkan untuk pemfigus vulgaris dan pemfigus foliaceus
sama, sehingga pemeriksaan ini tidak dapapt membedakan kedua jenis pemfigus
tersebut
- Aktivitas penyakit tidak memiliki korelasi dengan jumlah titer antibody
2) ELISA
- Lebih sensitive dan spesifik dibandingkan imunofluoresensi
- Dapat membedakan pemfigus vulgaris dengan pemfigus foliaceus
3) Antigen pemphigus
- Antigen pemfigus adalaah desmoglein, yaitu suatu glikoprotein transmembran di
desmosom. Desmosom merupakan organel sel yang berperan penting dalam
perlekatan antarsel.
- Terdapat dua buah isoform dari desmoglein, yaitu desmoglein 1 dan 2
- Pada penderita pemfigus vulgaris yang dominan menyerang membran mukosa,
terdapat anti-desmoglein 3 antibodi (anti Ds3 antibodi), sedangkan pada jenis
yang dominan menyerang mukokutaneus, terdapat anti-desmoglein 3 antibodi
dan anti-desmoglein 1 antibodi (anti-Dsg 1 antibodi)
- Pada penderita pemfigus foliaceus terdapat anti-desmoglein 1 antibodi
5. Pemeriksaaan Fisik
a. Perjalanan penyakit (Sardana,2016).:
- Biasanya dimulai di mukosa oral, dan dibutuhkan waktu berbulan-bulan sebelum
muncul lesi pada kulit.
- Dapat terjadi erupsi generalis dan akut dari bula sejak awal
- Tidak terdapat gatal, namun ada rasa terbakar dan nyeri
- Lesi yang nyeri timbul pada mulut dan menyebabkan asupan makanan yang tidak
adekuat
- Dapat muncul epistaksis, suara serak, disfagia, kelemahan otot dan penurunan berat
badan
- Pada kebnyakan kasus, penyakit ini akan berakhir denggan kematian kecuali
diobati secara agresif dengan pengobatan imunosupresif

18
b. Lesi Kulit (Sardana,2016) :
- Jarang terasa gatal, lebih sering terasa nyeri
- Vesikel bulat atau oval dan bula berisi cairan serous yang datar (flaccid), mudah
rupture, basah, diskret, muncul pada kulit normal dan lokasi nya acak
- Pada penderita lebih sering ditemukan erosi karena sifat bula yang mudah rupture.
Erosi terasa sangat nyeri
- Pada beberapa penderita yang memiliki lesi yang terlokalisir, erosi memiliki
kecenderugan untuk menumbuhkan jaringan granulasi yang berlebihan seta
krusta. Jenis lesi ini biasanya muncul pada daerah intertriginosa, kulit kepala atau
wajah.
- Lesi terlokalisasi atau generalis dengan pola acak
- Erosi luas yang mudah berdarah, krusta terutama pada kulit kepala
- Nikolsky sign: pelepasan epidermis oleh tekanan jari pada daerah sekitar lesi, yang
menyebabkan terjadinya erosi. Penekana pada bula menyebabkan erosi lateral.
Predileksi: kulit kepala, wajah, aksil, kemaluan, umbilicus. Terdapat keterlibatan yang
ekstensif di punggung pada penderita yang melakukan bedrest.
c. Membran Mukosa (Sardana,2016) :
- Erosi pada membran mukosa yang terasa sangat nyeri, biasanya muncul 5 bulan
sebelum lesi kulit muncul dan merupakan satu-satu nya tanda munculnya pemfigus
vulgaris.
- Membran mukosa yang sering terkena yaitu mukosa oral yang dapat menyebar
hingga ke faring dan laring. Selian itu dapat juga mengenai konjuctiva, anis, penis,
vagina dan labia.
- Jarang terdapat vesikel atau bula yang intak

19
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Dermatopatologi
Pemeriksaan pada bula pada tahap awal atau batas dari bula atau erosi dengan
mikroskop cahaya memperlihatkan adanya pemisahan keratinosit suprabasal, sehingga
tampak celah di antara stratum basalis dan lapisan diatasnya. Vesikel mengandung
keratinosit yang saling terpisah dan terkelompok (akantolitik). pewarnaan
imunofluoresensi direk dan indirek memperlihatkan deposit IgG dan C3 pada lesi dan
daerah pralesi di substansi interselular epidermis (Atzmony,2014).
b. Serum
Pemeriksaan ELISA mendeteksi adanya autoantibody (IgG) yang menyerang
glikoprotein desmoglein 3 dan berlokasi di idesmosom (Sardana,2016).
7. Diagnosis dan Diagnosis Bandung
Diagnosis, dapat menyulitkan jika hanya terdapat lesi pada mulut, dapat dilakukan
biopsy kulit dan membran mukosa, pewarnaan immunofluoresensi direk, dan deteksi
autoantibody dalam sirkulasi untuk meningkatkan kecurigaan akan penyakit ini.
Diagnosis Banding, termasuk semua penyakit kulit bula (Payne,2012).
8. Penatalaksanaan (Tirado,2016)
- Glukokortikoid, Prednison 2 – 3 mg/Kg hingga tidak ada lesi baru yang terbentik dan
hilangnya Nikolsky Sign. Setelah itu dosis direduksi ke setengah lesi awal sehingga
lesi hampir menghilang. Lalu tapering off hingga dosis minimal.
- Terapi immunosupresif:
1. Azathioprine, 2 – 3 mg/Kg hingga lesi bersih, lalu tapering off hingga 1 mg/Kg.
MOA: menghentikan metabolism asam nukleatpurin yang diperlukan dalam
proliferasi sel limfoid setelah terjadi stimulasi antigen. Karena itu bersifat
sitotoksik terhadap sel-sel yang teraktivasi.
2. Methotrexate PO/IM 25 – 35 mg/minggu. Penyesuaian dosis dilakukan seperti
pada azathioprine. MOA: sitotoksik terhadap sel-sel lomfoid
3. Cyclophosphamide, 100 – 200 mg/hari lalu direduksi sampai 50 – 100 mg/hari.
Atau terapi bolus dengan 100 mg IV 1 x/minggu atau setiap 2 minggu pada fase
awal, diikuti dengan 50 – 100 mg/hari PO.

20
MOA: menghancurkan sel-sel limfoid yang sedang berproliferasi, dan juga
dapat menyerang beberapa sel yang belum aktif. Merupaka obat imunosupresif
yang paling poten.
4. Plasmapharesis, untuk penyakit yang sulit dikontrol, diberikan pada tahap awal
pengobatan untuk menurunkan antibody. Biasanya digunakan untuk mengobati
kasus-kasus hipersensitifitas tipe III
5. Terpai Goldd untuk kasus yang lebih ringan. Dosis inisial 10 mg IM, lalu 25 –
50 mg gold sodium thionalate IM dengan interval mingguan hingga dosis
kumulatif maksimum yaitu 1 g.
MOA: mengubah morfologi dan fungsi makrofag sehingga mengahmbata
produksi IL-8, IL-1 dan VEGF. Jika diberikan intramuscular dapat mengubah
aktivitas enzim lisosom, menurunkan pelepasan histamine dari sel mast,
inaktivasi komponen pertama dari komplemen, dan mensupresi aktivitas fagosit
dari leukosit polimorfonuklear. Jika diberikan secara oral dapat menginhibisi
pelepasan PG-E2 dan leukotriene B4.
6. Mycophenolate mofetil (1 g bid)
MOA: menginhibisi respon limfosit T dan B
7. High dose intravenous immunoglobulin (HIVIg) 2 g/KgBB setiap 3 – 4 minggu
- Lainnya:
1. Kompres
2. Glukokortikoid topical dan intralesi
3. Antibiotic
4. Perbaikan keseimbangan cairan dan elektrolit
- Evaluasi:
1. Gejala klinis: perbaikan lesi, efek samping pengobatan
2. Pemeriksaan laboratorium: memeriksa titer antibody, efek samoing pengobatan
pada darah dan indicator metabolic

21
DAFTAR PUSTAKA
Alimohammadi, H., Bidarizerehpossh, F., Mirmohammadi., et al. 2014. Cause of Emergency
Department Mortality: A Case-control Study. Emergency, vol. 2, no.1, pp. 30–5.

Atzmony L, Hodak E, Gdalevich M, Rosenbaum O, Mimouni D. 2014. Treatment of pemphigus


vulgaris and pemphigus foliaceus: a systematic review and meta-analysis. Am J
Clin Dermatol.;15:503-15.

Garg. Amit & Levin. Nikki. A. & Bernhard. Jeffrey.D. 2010. Chapter 5, Structure of Lesions and
Fundamentals of Clinical Diagnosis In : Wloff Klaus et al, editors. Fitzpatrick’s
Dermatology In General Medicine. Eight Edition. United States: McGraw-Hill
Companies.

Handler MZ, Schwartz RA. 2014. Staphylococcal scalded skin syndrome:diagnosis and
management in children and adults. JEADV:28:1418-23.

Hofmann S, Jakob T. 2012. Bulous autoimmune skin disease. In: Shoenfeld Y, Meroni PL, editors.
The general practice guide to autoimmune diseases. Berlin:Pabst Science. h.127-
34.

Ivyanskiy I, Sand C, Francis ST. 2012. Omalizumab for chronic urticaria: a case series and
overview of the literature. Case Rep Dermatol;4:19-26.13.

Kaplan AP. Urticaria dan angioedema. 2012. Dalam Fitzpatrick‟s dermatology in general
medicine. Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K,
penyunting. Mc Graw Hill. Edisi ke 8;414-27

Limantara, R., Herjunianto, and Roosalina, A. 2013. Faktor-faktor yang Memengaruhi Tingginya
Angka Kematian di IGD Rumah Sakit. Jurnal Kedokteran Brawijaya, vol. 28, no.
2, pp. 200–5.

Maurer M, Rosen K, Hsieh HJ et al. 2013. Omalizumab for the treatment ofchronic idiopathic or
s pontaneous urticaria. N Engl J Med;368:924-35

Menaldi, Sri Linuwih SW. 2016. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Morfologi dan Cara Membuat
Diagnosis. Edisi Ketujuh. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

22
Mishra AK, Yadav P, Mishra A. 2016. A systemic review on Staphylococcal scalded skin
syndrome: a rare and critical disease of neonates. Open Microbiol J;10:150-9.

Obermeyer, Z., Abujaber S., Makar M., et al. 2015. Emergency Care in 59 Low- and Middle-
Income Countries: A Systematic Review. Bulletin of the World Health
Organization, vol. 93, October 2014, p. 577–86G.

Payne AS, Stanley JR. Pemphigus. In: Wolf K, Goldsmith LA,Kazt SI, Gilchrest BA. Paller AS
Leffel DJ, editors. 2012. Fitzpatrick‟s Dematology in general medicine. Edisi ke-
8. New York: Mc Graw-Hill; h.586-99.

Sardana K, Bansai S, Agarwal P, Uppal B, Garg VK. 2016. A Comparative Effectiveness Research
of Azathioprine and Cyclophosphamide on the Clinical and Serological Response
in Pemphigus Vulgaris. Indian J Dermatol;61(4):418-26

Tirado-Sanchez A . 2016. Efficacy and Safety of Dapsone for Pemphigus Vulgaris: A Single
Center Experience With 47 Patients in Mexico. Dermatology;232(5).

Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor.
2012.Dalam: Fitzpatrick’s Dematology in general medicine. Edisi ke-8. New
York: Mc Graw-Hill; h.2148-2152.

Zuberbier T, Aberer W, Asero R, Bindslev-Jensen C, Brzoza Z, G. Canonica G.W. et all: 2014.


The EAACI/GA2LEN/EDF/WAO Guideline for the definition, classification,
diagnosis, and management of urticaria: the 2013 revision and update. Alergy
European Academy of Allergy and Clinical Immunology:868-87.

23

Anda mungkin juga menyukai