Anda di halaman 1dari 14

Alergi Obat mengakibatkan Sindrom Steven-Johsnon

Henricho Hermawan
10.2014.108 / F2
14 April 2016
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Alamat Korespondensi Jl.Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510
Email: henricho.hermawan@windowslive.com

Pendahuluan
Pada masa kini, perkembangan dunia beserta teknologinya semakin cepat setiap harinya.
Banyak penemuan-penemuan baru untuk mempermudah kehidupan manusia atau memperbaiki
kehidupan manusia. Salah satu bidang yang terbantu dengan kemajuan ini adalah bidang
kesehatan. Semakin banyak pengobatan yang jauh lebih efektif dibandingkan generasi
sebelumnya. Namun demikian, perkembangan hal ini harus diperhatikan karena pengobatan yang
semakin maju juga berarti membuka kemungkinan akan efek-efek samping baru yang
sebelumnya tidak ada.
Obat-obat yang digunakan dalam dunia kedokteran hampir semuanya memiliki efek
samping. Maka dari itu sangat penting untuk menyesuaikan indikasi penyakit dengan obat yang
diberikan agar orang sakit mengkonsumsi obat-obatan yang memang mereka butuhkan. Namun
demikian pada beberapa kasus, ada keadaan pasien menderita alergi terhadap obat-obatan
tertentu. Salah satu reaksi alergi yang mungkin terjadi adalah pada bagian kulit. Pasien bisa
menderita gatal, bernanah, hingga kulit melepuh. Salah satu hal yang ditakutkan pada reaksi
alergi obat pada kulit adalah steven Johnson syndrome.

Anamnesis
Anamnesis adalah pengambilan data yang dilakukan oleh seorang dokter dengan cara
melakukan serangkaian wawancara dengan pasien (autoanamnesis), keluarga pasien atau dalam
keadaan tertentu dengan penolong pasien (aloanamnesis).1 Anamnesis harus dilakukan dengan
tenang, ramah, sabar serta menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh pasien.2
Ketika melakukan anamnesis perlu membedakan antara sakit (illness) dan penyakit
(disease). Sakit adalah suatu bentuk penilaian seseorang akan kondisi yang terjadi pada dirinya
sedangkan penyakit lebih menunjukkan kepada suatu bentuk reaksi yang terjadi di dalam
1

tubuhnya akibat suatu trauma, mikoorganisme dan sejenisnya yang menyebabkan perubahan
fungsi tubuh.2 Dalam melakukan anamnesis harus diusahakan untuk mendapatkan data-data
sebagai berikut:
a. Waktu dan lamanya keluhan
b. Sifat dan beratnya serangan
c. Lokasi dan penyebarannya
d. Hubungan dengan waktu
e. Hubungan dengan aktivitas
f. Keluhan yang menyertai serangan
g. Apakah keluhan baru pertama kali atau sudah berulang kali
h. Factor risiko dan pencetus serangan
i. Apakah ada kerabat yang menderita keluhan sama
j. Riwayat perjalan ke daerah endemis
k. Perkembangan penyakit
l. Upaya-upaya yang telah dilakukan

Hasil Pemeriksaan
1. TTV
Normal
2. Inspeksi
Melepuh pada kedua lengan, badan atas, bokong dan kedua paha berisi cairan
3. Faktor pencetus
Minum obat 2 hari yang lalu

Diagnosis Banding
1. Acute generalized exanthematous pustulosis
Penyebab penyakit ini lebih dari 80% dikaitkan dengan obat. Beberapa kasus
berhubungan dengan infeksi virus dan alergi terhadap mercury. Obat-obatan seperti
antibiotic (aminopenicilin, makrolid, vankomisin) dan antagonis Calcium channel
merupakan obat-obatan yang seringkali menjadi penyebabnya. Keadaan ini biasanya
muncul sekitar 2 hari setelah pengobatan dilakukan.3 Syarat untuk mendignosa penyakit
ini sebagai berikut:
a. Erupsi pustular akut
2

b. Demam di atas 38 oC
c. Neutrophilia yang disertai eosinophilia ringan
d. Hasil biopsy menunjukkan adanya pustula pada subcornela atau intraepidermal
Gejalanya adalah bengkak seperti terbakar dan bercak eritema yang muncul
secara tiba-tiba, umumnya pada bagian intertriginosa serta diikuti dengan tertutupnya
area tersebut dnegan pustula non-folikular kecil pada bagian superfisial. Hal ini biasanya
juga akan diikuti dengan purpura dan lesi pada membrane mukosa. Pada keadaanya parah
pustula-pustulanya bisa menyatu mengakibatkan terlepasnya lapisan superfisial kulit dan
membuat keadaanya akan mirip dengan TEN (Toxic Epidermal Necrolysis).3

Gambar 1. AGEP
2. Staphylcoccal Scalded Skin Syndrome
Penyakit ini disebabkan oleh adanya toxin yang dihasilkan dari bakteri
Staphylococcus aureus. Penyebaran dari penyakit ini dimulai dari lokasi terdapat infeksi
bakteri dan bisa menjalar hingga ke seluruh bagian tubuh. Staphylcoccal Scalded Skin
Syndrome berbeda dengan bullous impetigo, karena penyebaran pada bullous impetigo
hanya berada pada daerah terkena infeksi dan tidak menjalar ke seluruh tubuh, sedangkan
pada Staphylcoccal Scalded Skin Syndrome dapat menyebar secara hematogen.4

Kemunculan penyakit ini biasanya ditandai dengan munculnya macular eritema


yang diikuti dengan pengelupasan lapisan epidermal. Selain itu juga terdapat gejala
penyerta seperti demam, iritasi, hangat ketika dipalpasi, konjungitivitis.4
3. Nekrolisis Epidermal Toksik
Penyakit ini memiliki kemiripan dengan Steven-Johnson syndrome.5. Nekrosis
epidermal toksis umumnya merupakan penyakit berat serta bentuk lebih parah dari SSJ.
Sehingga apabila tidak segera diobati akan dapat menyebabkan kematian. Dahaulu
Staphylcoccal Scalded Skin Syndrome dimasukkan dalam NET, namun karena terapi dan
progonosisnya berbeda maka dipisahkan. Salah satu penting yang membedakan penyakit
ini dengan SSJ adalah pada penyakit terdapat kelainan berupa epidermolysis lebih dari
30% sedangkan pada SSJ sekitar 10%.6

Gambar 2. NET

Diagnosis Kerja
1. Steven Johnson Syndrome
Penyakit ini merupakan satu penyakit yang bisa mengancam jiwa seseorang.
Penyakit ini ditandai dengan adanya nekrosis yang luas disertai dengan pelepasan dari
lapisan epidermis. Karakteristik dari penyaki ini melibatkan kulit dan membrane mukosa.
4

Macula eritema biasanya terjadi pada tubuh, esktermitas bagian proksimal dan
berkembang secara progresif saling menyatu membentuk blister yang berujung pada
lepasnya lapisan epidermis.5

Gambar 3. SSJ

Struktur Kulit
Lapisan kulit terdiri atas tiga lapisan, lapisan dalam disebut dengan dermis dan lapisan
luar disebut dengan epidermis serta lapisan subkutis yang merupakan lapisan lanjutan dari
dermis.7,8 Epidermis pada bagian luar memiliki rambut, kuku, kelenjar keringat yang berasal dari
lapisan ectoderm embrio sedangkan lapisan dermis berasal dari mesoderm.9 Pemisah pada lapisan
dermis dan subkutis ditandai dengan adanya jaringan ikat longgar dan adanya sel dan jaringan
lemak.8
Lapisan epidermis
Pada lapisan paling luar ini terbagi menjadi beberapa lapisan yaitu stratum korneum,
stratum lusidum, stratum granulosum, stratum spinosum, dan stratum basale. 8 Sel yang utama
pada lapisan ini adalah keratinosit. Sel ini merupakan hasil pembelahan sel pada lapisan paling
dalam dari epidermis (stratum basale), dan tumbuh terus ke arah permukaan kulit yang disertai
dengan diferensiasi terminal untuk membentuk sel pada lapisan permukaan (stratum korneum).9
5

a. Stratum korneum
Lapisan ini dibentuk oleh zat tanduk (keratin) oleh sel kulit yang sudah tua. 7
Lapisan ini biasanya akan terlepas pada saat digosok waktu mandi yang biasanya akan
bersamaan dengan diisinya kembali jaringan yang hilang tersebut oleh stratum
dibawahnya.7,9
b. Stratum Lusidum
Berada tepat dibawah stratum korneum, merupakan lapisan sel gepeng tanpa inti
dengan protoplasma yang berubah menjadi protein yang disebut eleidin. Lapisan tersebut
tampak lebih jelas di telapak tangan dan kaki.8
c. Stratum granulosum
Lapisan yang merupakan lapisan sel gepeng dengan sitoplasma berbutir kasar dan
terdapat inti diantaranya, Butiran kasar ini disebut dengan keratohialin, maka dari itu
lapisan ini kerap disebut juga dengan lapisan keratohialin.8
d. Stratum spinosum
Lapisan ini disebut juga dengan lapisan akanta (prickle cell layer) terdiri dari
beberapa lapisa sel yang berbentuk poliglonal yang besarnya berbeda-beda karena adanya
proses mitosis.4 Gambaran susunan sel ini akan semakin gepeng apabila semakin dekat ke
permukaan. Di antara sel-sel stratum spinosum terdapat jembatan antar sel yang terdiri
atas protoplasma dan tonofibril. Selain itu di antara sel stratum spinosum juga terdapat
banyak sel Langerhans, pada lapisan ini juga banyak terkandung glikogen dan partikel
berwarna gelap yang disebut dengan granula keratohialin.9
e. Stratum basale
Lapisan ini juga memliki nama lain yaitu stratum germinativum. Pada lapisan ini
ditemukan sel yang membelah diri dan membentuk sel kulit baru yang bergeser ke
lapisan atas hingga membentuk stratum korneum. 6 Pada keadaan normal, hilangnya kulit
di stratum korneum akan sama jumlahnya dengan pembentukan yang terjadi pada lapisan
ini. Waktu yang dibutuhkan sekitar 5-6 minggu atau 8-10 minggu untuk sel mengalami
pembentukan hingga ke stratum kornemum.7,9
Sel pada lapisan ini tersusun secara kolumnar vertical pada perbatasan dermoepidermal berbaris seperti pagar.Sel ini mampu melakukan mitosis dan fungsi
repdoduktif. Lapisan ini terdiri dari dua jenis sel:
6

o Sel yang berbentuk kolumnar dengan protoplasma basofilik inti lonjong dan besar.
Sel-sel ini dihubungkan oleh jembatan jaringan.8
o Sel pembentuk melanin, merupakan sel berwarna muda dengan sitoplasma
basofilik dan inti gelap dan mengandung butir pigmen.8

Gambar 4. Lapisan kulit


Lapisan Dermis
Pada lapisan dermis yang berada di bawah lapisan basal terdapat ujung saraf peraba, dan
pembuluh darah kapiler.7 Lapisan ini tersusun atas lapisan elastic dan fibrosa padat dengan
elemen-elemen selular dan folikel rambut. Secara garis besar keduanya dibagi seperti berikut:
a. Pars papilare
Bagian menonjol ke epidermis, berisi ujung serabut dan pembuluh darah.8
b. Pars retikulare
Bagian bawha yang menonjol ke arah subkutan, bagian ini terdiri atas serabut penunjang
misalnya serabut kolagen, elastin dan retikulin. Dasar lapisan ini terdiri dari cairan kental
asam hialuronat dan kondroitin sulfat serta di bagian ini juga terdapat fibroblast. Serabut
kolagen dibentuk oleh fibroblast membentuk ikatan yang mengandung hidrosiprolin dan
hidorksisilin. Kolagen muda bersifat lentur dengan bertambah umur menjadi kurang larut
sehingga semakin stabil.8
7

Lapisan Subkutis
Pada lapisan ini akan banyak ditemukan pembuluh darah, saraf, dan folikel atau akar
rambut beserta musculus erector pili.7 Selain itu lapisan ini juga terdiri atas jaringa ikat longgar
berisi sel lemak di dalamnya. Kelompok sel lemak ini dipisahkan satu dengan yang lain oleh
trabekula yang berbentuk fibrosa.8 Lapisan lemak ini disebut juga panikulus adiposa yang
berfungsi sebagai cadangan makanan. Di lapisan ini terdapat ujung saraf tepi, pembuluh darah
dan getah bening.
Pada lapisan ini vaskularisasi diatur oleh dua pleksus yakni pleksus superfisialis dan
pleksus profunda. Pleksus di bagian atas mengadakan anastomosis di papil dermis, pleksus di
subkutis dan di pars retikulare sedangkan pleksus di bagian profunda akan mengadakan
anastomosis di bagian pembuluh darah berukuran lebih besar.9

Reaksi Obat
Semakin hari, penyakit dermatologi yang diakibatkan oleh reaksi semakin meningkat
jumlahnya. Kehadiran obat baru membawa bentuk-bentuk baru dalam reaksi obat. Banyak ahli
patologi klinik memprediksi berbagai reaksi yang terjadi, mulai dari jinak hingga mematikan.
Hal terburuk yang mungkin terjadi ketika menangani pasien yang memiliki kelainan pada daerah
kutanous adalah akibat dari reaksi obat dapat mengakibatkan terjadinya perubahan pada
kutaneous dalam bentuk campuran beberapa jenis lesi kulit yang biasanya terjadi pada reaksi
obat di kulit.10

Epidemiologi
Kasus ini sesungguhnya cukup langka dan amat jarang, jumlahnya hanya berkisar antara
0,4-1,2 kasus per 1 juta orang per tahun. 5 Jumlah kasus SSJ dan NET di Amerika dan Eropa
berjumlah sekitar 2-3% setiap tahunnya. Penyakit ini bisa menyerang hampir semua usia, namun
orang yang memasuki usia 40 tahun memiliki resiko lebih tinggi dan wanita juga memilki ratio
lebih besar untuk terkena sekitar 0.6.5,11
Jumlah mortalitas pada pasien penderita cukup besar mencapai 20-25 persen yang terbagi
5-12 persen untuk penderita SSJ dan lebih dari 30 persen pada penderita NET. 5 Perhitungan skor
untuk menentukan prognosis penderita penyakit ini telah ada, dan table ini sangat berguna serta
sudah dikonfirmasi oleh beberapa ahli.5 (Tabel 1 dan Tabel 2)

Tabel 1. Faktor Prognosis Nekrosis Epidermal.5


Faktor Prognosis
Usia > 40 tahun
Denyut nadi > 120/menit
Kanker / malignansi hematoigic
Area kulit terpapar > 10%
Kadar urea > 10 Mm
Kadar bicarbonate > 20 Mm
Kadar glukosa > 14 Mm

Skor
1
1
1
1
1
1
1

Tabel 2. Intepretasi Skor Progonosis.5


Skor
0-1
2
3
4
5

Mortality rate (%)


3.2
12.1
35.8
58.3
90

Etiologi
Patogenesis terjadinya penyakit ini masih banyak diperdebatkan. Namun penyebab utama
dari ini adalah adanya alergi obat. 5,11 Sebagian kecil penyakit ini terjadi karena adanya infeksi,
vaksinasi, penyakit graft-versus-host, neoplasma dan radiasi. Lebih dari 100 obat telah
dilaporkan mengakibatkan terjadi NE.5 Beberapa obat telah diindetifikasi dapat menyebabkan
penyakit ini terbagi dalam beberapa kelas yaitu high risk, lower risk, doubtful risk dan no
evidence of risk.5 (Tabel 3)
Namun demikian beberapa kasus seringkali dikaitkan dengan infeksi bakteri
Mycoplasma pneumoniae. Hal ini membuktikan bahwa ada kemungkinan kecil bahwa penyakit
ini selain diakibatkan oleh reaksi obat juga diakibatkan karena adanya infeksi bakteri. Selain itu
juga terdapat laporan bahwa kejadian EN yang terjadi setelah dilakukannya bone narrow
transplantation.5

Tabel 3. Obat-obatan beresiko Nekrosis Epidermal


9

High risk
Allopurinol
Sulfamethoxazole
Sulfadiazine
Sulfapirimidin
Sulfasalazine
Carbamazepime
Lamotrigine
Phenobarbital
Phenytoin
Phenylbutazone
Nevirapine
Oxicam NSAIDs
Thiacetazone

Lower risk
Acetic acid NSAIDs
Aminopenicilin
Cephalosporin
Quinolones
Cyclins
Macrolides

Doubtful risk
Paracetamol
Pyrazolone
Corticosteroid
Other NSAIDs
Setraline

No evidence of risk
Aspirin
Sulfonylurea
Thiazide diuretic
Furosemide
Aldactone
B Bloker
Angiotensin
Angiotensin II
Statin
Hormones
Vitamin

Patogenesis
Pada lesi awal, terdapat pola imunologi yang mengindikasikan bahwa adanya reaksi
antara cell mediated cytotoxic dan keratinosist pada epidermis yang berujung pada apaptosis
secara massif.5 Pada alergi obat akan terjadi aktifitas sel T, termasuk CD4 dan CD8, serta IL-5
juga meningkat disertai dengan sitokin yang lain. CD4 terutama terdapat di dermis dan CD8
banyak terdapat di epidermis. Keratinosit epidermal mengekspresikan ICAM-1, ICAM-2 dan
MHC II. Sel Langerhans tidak ada atau bahkan sedikit. TNF di epidermis meningkat.11

Gejala Klinis
Pada umumnya gejala klinis pada penyakit ini baru akan muncul dalam 8 minggu (4-30
hari) setelah terpapar oleh obat. Hanya pada beberapa kasus ketika seseorang terpapar obat yang
sama seperti sebelumnya maka dapat muncul dalam beberapa jam saja. Gejala tidak spesifik
seperti deman, sakit kepala, rhinitis dan myalgia dapat mendahului sebelumnya terjadinya lesi
mukokutaneus. Selain itu gejala lain yang mungkin terjadi adalah rasa nyeri saat menelan,
muncul rasa terbakar di mata yang progresif dan munculnya tanda-tanda akan terjadinya lesi
pada mukokutaneus.5
Lesi Kutaneus
Erupsi yang terjadi umumnya terdistribusi secara simetrik pada wajar, badan bagian atas,
dan juga proksimal dari ektremitas, sedangkan pada bagian distal dari lengan dan tungkai
umumnya tidak ada.5 Namun demikian dalam beberapa jam setelah lesi pertama muncul
penyebaran dapat terjadi ke bagian tubuh yang semula aman. Lesi pada SSJ ditandai dengan
10

adanya eritema, perubahan warna menjadi agak merah-hitam dan adanya macula purpura. 5,10
Bentuknya seperti lingkaran yang tidak rata namun rata dan batasnya tidak jelas, serta lamakelamaan lesi ini dapat berkembang dan menyatu satu dengan yang lain.
Penyatuan dari lesi-lesi ini bisa berakibat nekrosis yang akan memicu terjadinya
penyebaran eritema yang luas. Pada tahap ini, lesi berubah menjadi flaccid blister yang mudah
pecah serta mudah menyebar apabila isi di dalamnya keluar karena adanya tekanan. Jaringan
epidermis yang mati sangat mudah terlepas akibat adanya gesekan atau tekanan mengakibatkan
terbukanya area yang luas tanpa epidermis, kemerahan dan kadang terbuka hingga ke lapisan
dermis.5
Membran Mukosa
Keterlibatan membrane mukosa terjadi sekitar 90% pada seluruh kasus yang bisa muncul
mendahului atau bersamaan dengan erupsi kulit. Dimulai dengan eritema yang diikuti dengan
erosi yang nyeri seperti buccal, ocular dan genital mucosa. Hal ini menunjang terjadinya
gangguan pencernaan, photophobia, serta nyeri saat mikturasi.5
Gejala selain di kulit
Hal yang umum terjdi adalah demam tinggi, nyeri serta lemas. Keterlibatan organ
visceral mungkin terjadi terutama pada saluran pencernaan dan pernapasan. Komplikasi dini
pada pernapasan terjadi sekitar 25% dari pasien yang ditandai dengan terjadi dyspnea,
hipersekresi bronkus, hiposemia serta hemoptysis dan batuk berisi lapisan mukosa bronkus.
Keterlibatan dari saluran pencernaan jarang diamati, pertanda apabila terjadi gangguan pada
bagian ini adalah nekrosos epitel dari esophagus, usus halus, usus besar yang termanifestasi
sebagai diare parah diserta malabsorpsi, melena hingga perforasi usus.5

Pengobatan
Pengobatan symptomatic
Pasien dengan skor SKORTEN 0-1 bisa ditangani dengan pengobatan tidak spesifik.
Epidermal nekrolisis berkatian dengan kehilangan cairan akibat erosi yang mengakibatkan
hipovoelmia dan ketidakseimbangan cairan tubuh. Maka dari itu pergantian cairan harus segera
dilaksanakan secepat mungkin dan diatur setiap harinya. 5 Pergantian ini dapat dilakukan dengan
pemberian infus, misalnya dekstrose 5%, NaCl 9% dan laktat ringer dengan perbandingan 1:1:1
dalam 1 tabung yang diberikan setiap 8 jam sekali.11
11

Pemantauan kebutuhan gizi harian juga penting untuk mencegah adanya gangguan
dengan saluran pencernaan serta mengurangi resiko infeksi oleh bakteri di dalam saluran
pencernaan.5Guna mengurangi infeksi pada bagian luar tubuh maka dari itu, kebersihan seorang
pasien SSJ harus sangat diperhatikan. Pengecekan terhadap kulit, darah dan urin perlu dilakukan
secara rutin untuk menghindari terjadinya infeksi bakteri atau jamur. Pemberian antiobiotik
hanya dilakukan apabila memang ada indikasi terjadi infeksi.5
Jaringan yang nekrosis pada bagian lesi sangat tidak direkomendasikan untuk dilakukan
tindakan debridement. Karena lapisan paling luar kulit tidak lagi dilapisi oleh epidermis maka
dari itu tindakan debridement bisa saja memicu percepatan proliferasi dari stem cell pada proses
inflamasi.5
Pengobatan Spesifik
Penggunaan kortikosteroid dalam penanganan penyakit ini masih dalam kontroversi.
Dalam beberapa penilitian di dapatkan bahwa pemberian kortikosteroid dapat mencegah
penyebaran lesi yang lebih parah pada tahap awal. Pemberian obat ini dapat melalui intravena
(deksometason) dengan dosis 4-6 mg x 5 / hari, dan pada umumnya masa krisis bisa dilalui
dalam beberapa hari.11 Penghentian penggunaan kortikosteroid tidak bisa dilakukan dengan
mendadak, melainkan harus dilakukan tahap demi tahap. Bila penghentian ini tidak lancar, dan
masih timbul lesi baru maka ada dua kemungkinan. Pertama, antibiotic yang diberikan
bersamaan mengalami reaksi dengan tubuh si pasien dan yang kedua adalah penyebab lesi dari
awalnya adalah dikarenakan infeksi.5
Siklosporin merupakan obat immunosupresif yang bagus dan berkaitan dengan efek
biologis yang memungkinkan secara teori digunakan dalam pengobatan epidermal necrolysis.
Teori ini didasarkan pada fungsi dari obat ini yaitu mengaktivasi T helper 2 sitokin, menghambat
mekanisme CD8+, dan memiliki efek anti apoptosis melalui inhibisi dari Fas-L, nuclear factor A
B, dan TNF . Beberapa studi telah mengklaim bahwa siklosporin memang efektif, namun masih
dibutuhkan studi yang lebih lanjut untuk membuktikannya.5
Anti TNF monoclonal antibody telah terbukti sukses digunakan dalam pengobatan SSJ
pada beberapa pasien. Mekanisme kerja yang terjadi pada uji coba secara acak menggunakan
TNF agent seperti thalomide membuktikan bahwa dapat menggangu proses yang ada hingga
dapat mengurangi kemungkinan mortalitas. Namun demikian penggunaan TNF agen ini haruslah
sangat hati-hati.5
12

Prognosis
Jika tindakan dilakukan dengan cepat dan sesuai prosedur maka prognosis akan cukup
baik. Bila terdapat purpura yang luas serta leukopenia prognosisnya akan buruk, pada keadaan
yang lebih buruk lagi seperti terdapat bronkopneumonia penyakit ini dapat mendatangkan
kematian.11

Kesimpulan
Pengobatan yang semakin maju, bukan berarti tanpa pengorbanan melainkan membuka
peluang baru terhadap terjadinya reaksi yang tidak diinginkan. Maka dari itu pemberian obat
harus hati-hati dan hanya diberikan sesuai dengan indikasi yang ada. Penanganan untuk SSJ
haruslah didiagnosa sedini mungkin agar penanganan dapat dilakukan dengan segera demi
prognosis yang lebih baik.

Daftar Pustaka
1. Gleadle, Jonathan. Pengambilan anamnesis. Dalam : At a glance anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Jakarta : Penerbit Erlangga; 2007. h. 1-4
2. Morton PG. Panduan pemeriksaan kesehatan dengan dokumentasi SOAPIE. Edisi 2.
Jakarta : Penerbit buku kedokteran EGC ; 2003. H. 56
3. Roujeau JC. Severe drug eruption. Dalam : Dermatology at the millennium : the
proceeding of the 19th world congress of Dermatology. New York : Pathernon publishing ;
1999. H. 129-30
4. King RW. Staphylococcus scaled skin syndrome clinical presentation. 4 April 2016.
Tersedia : http://emedicine.medscape.com/article/788199-clinical#b1
5. Allanore LV, Roujeau JC. Epidermal necrolysis (Steven-Johnshon Syndrome and Toxic
Epidermal Necrolysis). Dalam : Fritzpatricks : Dermatology in general medicine. Edisi
7. Volume 2. New York : McGraw Hill ; 2007. H. 349-55
6. Djuanda A, Hamzah M. Nekrolisis epidermal toksik. Dalam : Ilmu penyakit kulit dan
kelamin. Edisi 5. Jakarta ; Fakultas kedokteran Universitas Indonesia ; 2007. H. 166-7
7. Wibowo DS. Anatomi tubuh manusia. Jakarta : Grasindo ; . H. 25-8
8. Wasitaatmadja SM. Anatomi kulit. Dalam : Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi 5.
Jakarta ; Fakultas kedokteran Universitas Indonesia ; 2007. H. 3-5
9. Graham-Brown R, Burns T. Lecture notes : Dermatologi. Edisi 8. Jakarta : Erlangga
medical series ; 2005. H. 1-2
13

10. Revuz J. New drug reaction. Dalam : Dermatology at the millennium : the proceeding of
the 19th world congress of Dermatology. New York : Pathernon publishing ; 1999. H. 407
11.

Djuanda A, Hamzah M. Sindrom steven Johnson. Dalam : Ilmu penyakit kulit dan

kelamin. Edisi 5. Jakarta ; Fakultas kedokteran Universitas Indonesia ; 2007. H. 163-5

14

Anda mungkin juga menyukai