Anda di halaman 1dari 15

Pedoman Penatalaksanaan pada Lymphoma Maligna

Henricho Hermawan
10.2014.108 / F5
1 Mei 2017
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Alamat Korespondensi Jl.Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510
Email: henricho.hermawan@windowslive.com
Anamnesis
Anamnesis adalah pengambilan data yang dilakukan oleh seorang dokter dengan cara
melakukan serangkaian wawancara dengan pasien (autoanamnesis), keluarga pasien atau
dalam keadaan tertentu dengan penolong pasien (aloanamnesis).1 Anamnesis harus dilakukan
dengan tenang, ramah, sabar serta menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh pasien.2
Ketika melakukan anamnesis perlu membedakan antara sakit (illness) dan penyakit
(disease). Sakit adalah suatu bentuk penilaian seseorang akan kondisi yang terjadi pada
dirinya sedangkan penyakit lebih menunjukkan kepada suatu bentuk reaksi yang terjadi di
dalam tubuhnya akibat suatu trauma, mikoorganisme dan sejenisnya yang menyebabkan
perubahan fungsi tubuh.2 Dalam melakukan anamnesis harus diusahakan untuk mendapatkan
data-data sebagai berikut:
a. Waktu dan lamanya keluhan
b. Sifat dan beratnya serangan
c. Lokasi dan penyebarannya
d. Hubungan dengan waktu
e. Hubungan dengan aktivitas
f. Keluhan yang menyertai serangan
g. Apakah keluhan baru pertama kali atau sudah berulang kali
h. Factor risiko dan pencetus serangan
i. Apakah ada kerabat yang menderita keluhan sama
j. Riwayat perjalan ke daerah endemis
k. Perkembangan penyakit
l. Upaya-upaya yang telah dilakukan
Pada kasus ini pasien datang dengan keluhan utama adanya benjolan pada leher sejak
2 bulan yang lalu. Berdasarkan anamnesis terstruktur maka dapat disusun anamnesis untuk
mendapatkan gambaran penyakit yang diderita oleh pasien :

1
a. Keluhan disertai nyeri tekan atau tidak, hal ini untuk membedakan benjolan yang
terjadi akibat reaksi inflamasi atau bukan.
b. Benjolan menyebar atau tidak, untuk mengetahui terjadi atau tidaknya perluasan
benjolan
c. Jika pasien nyeri, perlu ditanyakan waktu terjadinya nyeri
d. Keluhan lain yang menyertai benjolan, misalnya demam, batuk, flu, gangguan
makan ataupun gangguan napas.
e. Perlu diketahui apakah benjolan ini pertama kali terjadi atau sudah berulang kali
f. Tanyakan apabila pernah mengalami riwayat trauma sebelumnya ataupun riwayat
infeksi
g. Pastikan mengenai konsumsi makan sehari-hari, pola makan serta jenis makanan
yang dikonsumsi
h. Riwayat pengobatan yang sudah dilakukan untuk mengobat keluhan yang ada.
Dari anamesis yang dilakukan diketahui beberapa hal yang penting untuk mengetahui
penyakit yang diderita oleh pasien.
a. Pasien mengaku benjolan ini tidak nyeri, berarti keluhan yang dialami bukan
terjadi karena proses inflamasi.
b. Demam dan keringat dingin terutama pada malam hari. Adanya demam yang
terjadi menunjukkan adanya respon tubuh terhadap suatu zat asing (bakteri, virus,
bahan kimia) yang masuk ke dalam tubuh, sedangkan keringat malam yang
terjadi mungkin disebabkan karena adanya produksi keringat yang berlebihan,
ataupun keadaan patologis seperti infeksi pada Tuberculosis, hipoglikemia,
gangguan hormon atapun bisa juga pada pasien cancer.3
c. Batuk disangkal, menunjukkan bahwa kemungkinan tidak ada infeksi virus yang
menyebabkan terjadinya benjolan.
d. Konsumsi makanan tanpa pengawet
e. Di keluarga pasien tidak ada sakit seperti ini, yang berarti keluhan pasien bukan
merupakan suatu penyakit genetik.
Pemeriksaan Fisik
Hal ini penting dilakukan untuk mengetahui lebih jelas mengenai benjolan yang
terjadi. Pemeriksaan fisik pada umumnya meliputi inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.
Pada ispeksi, pemeriksaan dilakukan untuk melihat warna, bentuk, batas dan seberapa besar
benjolan yang terjadi. Sedangkan pada palpasi untuk mengetahui ukuran sebenarnya dari

2
benjolan yang terjadi, benjolan dapat bergerak atau tidak, benjolan melekat pada kulit atau
tidak. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan hasil sebagai berikut :
a. Pembesaran kelenjar getah bening cervical anterior dextra dan subclavicula
multiple.
b. KGB tidak merah, terfiksasi dan tidak nyeri.
Pemeriksaan Laboratorium
a. Hb : 11 g/dL (13-17 g/dL)
b. Ht : 33 % (39 %-51 %)
c. Leukosit : 8.000/ul (5.000-10.000 /ul)
d. Trombosit : 250.000/ul (150.000-350.000 /ul)
e. Retikulosit : 2.5 % (0.5 %-1.5 %)
Gambaran darah tepi
a. Normositik normokrom
Diff count : Basofil/Eosinofil/Batang/Segmen/Limfosit/Monosit = 2/2/1/73/19/2/1
CT scan thorax : pembesaran KGB paraaorta dextra
Biopsi pada KGB ditemukan sel limfoid blast
Anatomi Limfa
Normalnya kapiler darah impermiabel pada molekul besar seperti protein. Adanya
protein yang masuk ke cairan jaringan dari sel atau plasma karenanya tidak dapat memasuki
aliran darah. Molekul ini diabsorpsi bersamaan dengan beberapa cairan jaringan, melalui
system limfatik yang membentuk bagian system sirkulasi. Kapiler limfatik memiliki bentuk
tumpul dan berdinding tipis. Kapiler ini ditemukan pada semua jaringan tubuh kecuali pada
system saraf pusat.5 (lihat gambar 1)

Gambar 1. Hubungan kapiler dan system limfatik


Kapiler bersatu membentuk pembuluh limfatik yang berdinding tipis dan mempunyai
jumlah katup banyak. Kapiler semua mengalir ke kelenjar limfa yang menyaring limfa dan
melewatinya ke pembuluh darah selanjutnya. Pembuluh limfe dari bagian tubuh kanan atas

3
akhirnya mengalir ke duktus limfatikus kanan yang mengalirkan limfa ke vena subclavia
kanan. Pembuluh dari seluruh tubuh bersatu membentuk duktus torasikus yang mengalirkan
vena subclavia kiri. Limfa di duktus torasikus mengandung proporsi tinggi lemak yang
diabsorpsi vili usus halus.5
Nodus limfa adalah massa jaringan limfoid yang berada sepanjang pembuluh limfatik
dan yang menyaring limfa. Kelenjar ini bervariasi ukurannya dari 1-10 mm dan paling
banyak terdapat pada aksila, lipat paha, leher dan dinding posterior rongga abdominal.
Masuknya limfa ke dalam sinus subkapsuler dan kemudian menyaring meninggalkan limfatik
eferen pada hilum. Zat dari kelenjar dibangun pada kerangka kerja serat-serat retikulin
dengan sel-sel endothelial yang membentuk selang berlubang. Di dalamnya terdapat massa
limfosit pada bagian tengah dimana ada pusat germinal. Kandungan sel plasma ini yang
menghasilkan antibody. Limfosit terutama diproduksi pada kelenjar limfe. Jaringan limfoid
tanpa kapsula membentuk tonsil dan adenoid dan ditemukan dalam piringan diseluruh usus
kecil dan besar, termasuk apendiks. Jaringan limfoid adalah sisi produksi utara sel darah putih
dalam berespons terhadap infeksi. Bulk total jaringan limfatik dalam tubuh kira-kira sama
dengan ada yang dalam hepar yaitu kira-kira 1-2 kg.5

Gambar 2.Pembuluh limfa


Histologi Limfe
Nodus limfatikus dikelilingi oleh jaringan capsul serta trabekula yang memanjang
hingga ke bagian dalam nodus dan menyediakan kerangka untuk jaringan di dalamnya. Pada
lapisan bagian bawah dari capsul terdapat celah antar nodus yang disebut sinus subscapular
dan juga aferen limfatikus yang memanjang mempenetrasi capsul. Kelenjar limfe, akan
berjalan melalui sinus subscapular menuju aferen limfatikus berlanjut melalui medullary cord

4
hingga ke hilum limfe yang merupakan perpanjangan dari eferen limfe. 6 Secara garis besar,
struktur di dalam limfe dibagi menjadi 3 bagian besar yang memiliki fungsi masing-masing:
a. Korteks, mengandung nodul penghasil Limfosit B sebagai primary follicles ataupun
sebagai germinal centre.
b. Parakorteks, merupakan bagian nodus limfatikus penghasil Limfosit T
c. Medulla, mengandung sinus dan medullary cord yang menguras cairan limfa untuk
dikeluarkan di hilum.
Germinal centre atau korteks merupakan tempat utama teraktivasinya limfosit B
sebagai respon terhadap antigen. Antibodi yang mengikat antigen akan memasuki limfe
melalui aferen limfe akan terjebak dan direpresentasikan oleh antigen presenting sel yang
bernama dendritic reticulum cell (DRC). Antigen yang telah terikat dengan DRC selanjutnya
akan diberikan kepada virgin limfosit B yang dibantu juga aktivasinya bersama dengan
limfosit T yang selanjutnya akan mengalami perubahan morfologi dan fungsi.6
Parakorteks merupakan bagian dari nodus limfe yang berfungsi untuk menghasilkan
limfosit T dengan predominan menghasilkan CD4+. Gugus yang melakukan diferensiasi
diekspresikan oleh sel T inducer. Sama halnya seperti pada germinal centre ada sel yang
berfungsi sebagai representatif pertama saat adanya antigen yaitu interdigitating reticulum
cell (IDC). Walaupun memiliki peranan yang mirip dengan DRC, IDC memiliki cara kerja
yang berbeda, setelah berikatan dengan antigen IDC akan melimpahkan sitoplasma yang
saling berikatan dengan antigen ke sekitar sel T untuk dipresentasikan.6
Diagnosa Kerja
1. Limfoma Maligna
Limfoma merupakan kanker sel darah putih yang disebut limfosit B atau sel B. 3 Sel
tersebut dengan cepat dapat menggandakan diri dan membentuk tumor. Kelompok penyakit
limfoma dideskripsikan sebagai kelompok penyakit yang heterogen dan dibedakan
berdasarkan biologi dan prognosisnya. Secara umum limfoma dibagi menjadi 2 kelompok
besar neoplasma, Hodgkin disease dan Non-hodgkin lymphoma (NHL). Persentase sekiatar
85% penyakit limfoma maligna merupakan tipe NHL. Usia rata-rata pasien terdiagnosa
menderita limfoma adalah pada decade ke 6 usianya. Walaupun burkitt lymphoma dan
lymphoblastic lymphoma terjadi pada pasien berusia muda.7
Diagnosa Banding
1. Limfadenitis Tuberculosis
Kejadian tuberculosis ekstra-pulmonary lebih sering terjadi pada pasien dengan HIV
daripada pasien yang mengidap tuberculosis paru. Prevalensi terjadinya limfadenitis
mycobacterial merupakan manifestasi yang terjadi pada pasien HIV. Jumlah kejadiannya akan

5
bergantung pada tingkat endemisitas dari bakteri Mycobacterium tuberculosis. Umumnya
gejala yang akan muncul adalah adanya massa yang teraba pada kelenjar getah bening.
Kelenjar getah bening cervical merupakan tempat paling umum terjadinya perbesaran yang
tidak diikuti dengan rasa nyeri. Pada 35% kasus, pembesaran kelenjar getah bening dapat
bersifat multiple. Sekitar 60%-90% kasus yang ada terjadi perbesaran pada KGB dibagian
cervical. Selain perbesaran, gejala yang lain juga menyertai seperti demam, penurunan berat
badan dan adanya keringat dingin pada malam hari. Persentase lainnya dari gejala ini dapat
dilihat pada table 1.8
Tabel 1. Gejala limfadenitis tuberculosis.8

2. Limfadenopati
Pembesaran yang terjadi pada kelenjar limfa menggambarkan adanya penyakit yang
melibatkan retikuloendotelial system, yang terjadi karena adanya peningkatan normal limfosit
dan makrofag sebagai respon terhadap antigen. Pada pemeriksaan fisik akan didapatkan
pembengkakan yang merah, permukaan lembut, hangat dan dapat digerakkan dan nodusnya
tidak mudah digerakkan. Faktor penyebabnya dapat terjadi karena infeksi bakteri atau virus,
etiologi keganasan jika terjadi demam, penurunan berat badan ataupun adanya nyeri tidak
spesifik, adanya gangguan penyimpanan seperti terjadinya penumpukan lemak pada limfa,
hati dan nodus limfatikus.9
3. Limfadenitis
Pembesaran kelenjar getah bening karena reaksi inflamasi. Reaksi inflamasi ini akibat
adanya benda asing (bakteri/virus) yang direspon oleh limfosit dan makrofag sehingga terjadi
peradangan. Ciri dari pembesaran yang terjadi pada limfadenitis adalah pembesaran bisa
tanpa rasa nyeri ataupun nyeri lokal dan permukaannya halus. Kulit yang menutupinya bisa
tanpa ada perubahan bisa juga mengalami kemerahan. Apabila terjadi limfadenitis cervical
dapat mengakibatkan kekakuan leher.10 Pemeriksaan fisik pada pembekakan yang terjadi bisa
dikatakan sugestif keganasan apabila ditemukan benjolan dengan ciri firm, keras, terfikasi dan
permukaan yang tidak halus.
4. Kikuchi Disease

6
Penyakit ini disebut juga dengan histiocytic lymphadenitis yang merupakan penyakit
jarang, idiopathic dan secara umum self limited. Gejala paling umum dari penyakit ini adalah
limfadenopati cervical dengan atau tanpa gejala sistemik. Kikuchi disease merupakan tumor
jinak yang dapat disembuhkan beberapa minggu hingga beberapa bulan. Gejala lain yang
dapat menyertai adalah sakit kepala, mual, muntah, cepat lelah, penurunan berat badan, nyeri
sendi, nyeri otot, keringat malam, kemarahan pada kulit serta nyeri pada bagian dada ataupun
perut.11
Penyakit Hodgkin dan Limfona Non-Hodgkin
Penyakit Hodgkin termasuk dalam keganasan limforetikular yaitu limfoma malignum
yang terbagi dalam limfoma malignum Hodgkin dan limfoma malignum non Hodgkin. Kedua
penyakit tersebut dapat dibedakan secara histopatologis, pada limfoma Hodgkin ditemukan
sel reed-sternberg.12 Analisis PCR menunjukkan bahwa sel reed Sternberg berasa dari folikel
sel B yang mengalami gangguan struktur immunoglobulin, sel ini juga mengandung suatu
faktor transkripsi inti sel (NKkB), kedua hal tersebut menyebabkan gangguan apaptosis.
Untuk mempermudah membedakan kedua penyakit tersebut (lihat table 2).
Tabel 2. Perbedaan LH dan LNH.12
Limfoma non Hodgkin
Karakteristik Limfoma Hodgkin Intermediete / High
Lowgrade
Grade
Tempat asal Nodal Ekstranodal (10%) Ekstranodal (35%)
Distribusi nodal Aksial Sentrifugal Sentrifugal
Penyebaran nodal Contiguous Noncontiguous Noncontiguous
Keterlibatan sususan
Jarang < 1% Jarang < 1% Jarang <10%
saraf pusat
Keterlibatan hepar Jarang Sering > 50% Jarang
Keterlibatan sumsum
Jarang < 10% Sering > 50% Jarang < 10%
tulang
Keterlibatan sumsum
Ya Tidak Ya
tulang
Sembuh dengan
Ya Tidak Ya
kemoterapi
Epidemiologi
Kejadian LNH, pada tahun 2000 di Amerika Serikat diperkirakan terdapat 54.900
kasus baru dan 26.100 orang meninggal karena LNH. Sekitar 5% laki-laki dan 4% wanita
setiap tahunnya terdiagnosa LNH baru. Pada tahun 1997, LNH dilaporkan sebagai penyebab
kematian akibat kanker utama pada usia 20-39 tahun. Insidensi LNH meningkat seiring
dengan bertambahnya usia dan mencapai puncaknya pada kelompok usia 80-84 tahun. Saat
ini angka pasien LNH di Amerika semakin meningkat dengan pertambahan 5-10% per
tahunnya menjadikannya urutan ke lima tersering dengan angka kejadian 12-15 kasus per
100.000 penduduk.13

7
Di eropa, tepatnya di Perancis penyakit ini merupakan penyakit keganasan terbanyak
ke tujuh. Sedangkan di Indonesia LNH bersama-sama dengan penyakit Hodgkin dan
Leukemia menduduki peringkat ke enam tersering. Sampai saat ini belum diketahui
sepenuhnya penyebab dari terus meningkatnya angka kejadian LNH. Hubungan erat antara
HIV dan LNH diduga sebagai salah satu penyebab terus meningkatnya angka kejadiannya.13
Di Amerika Serikat, angka kejadian Hodgkin disease terdapat 7.500 kasus baru setiap
tahunnya. Rasio kejadian pada laki-laki berbanding perempuan adalah 1,3-1,4 berbanding 1.
Terdapat distribusi distribusi umur bimodal, yaitu pada usia 15-34 tahun dan usia di atas 55
tahun.12
Faktor risiko untuk penyakit ini adalah infeksi virus, infeksi virus onkogenik diduga
berperan dalam menimbulkan lesi genetik, virus memperkenalkan gen asing ke dalam sel
target. Virus tersebut adalah virus epstein-barr, sitomegalovirus, HIV dan HHV 6. Faktor
risiko lainnya adalah defisiensi imun, misal pada pasien transplantasi organ dengan
pemberian obat imunosupresif atau pada pasien cangkok sumsum tulang. Keluarga Hodgkin
juga mempunyai risiko untuk terjadi penyakit Hodgkin.12
Etiologi
Pada sebagian besar kasus LNH, tidak diketahui etiologinya. Namun demikian
terdapat beberapa faktor resiko yang diduga menyebabkan terjadinya LNH. Berikut adalah
faktor resiko tersebut :
a. Imunodefisiensi
Sekitar 25% kelainan herediter langka yang berhubungan dengan terjadinya LNH antara lain
adalah severe combined immunodeficiency, wiskott Aldrich syndrome, dan ataxia
telangiectasia. Limfoma yang berhubungan dengan kelainan tersebut seringkali dihubungkan
pula dengan virus ebstain barr (EBV) dan jenisnya beragam. Mulai dari hyperplasia
poliklonal sel B hingga limfoma monoclonal.13
b. Agen infeksius
EBV DNA ditemukan pada 95% limfoma burkit endemic, dan lebih jarang ditemukan pada
limfoma burkit sporadic. Karena tidak pada semua kasus limfoma ditemukan EBV maka
hubungan dan mekanisme EBV terhadap kejadian limfoma burkitt belum diketahui. 13 Sebuah
hipotesis menyatakan bahwa infeksi awal EBV dan faktor lingkungan dapat menimbulkan
jumlah precursor yang terinfeksi EBV dan meningkatkan risiko terjadinya kerusakan genetic.
Virus Epstein barr juga dihubungkan dengan post-transplant lymphoproliferative disorders
(PTLDs) dan AIDS-associated lymphomas.13
c. Paparan lingkungan dan pekerjaan

8
Beberapa pekerjaan yang sering dihubungkan dengan risiko tinggi adalah peternak serta
pekerja hutan dan pertanian. Hal ini disebabkan karena adanya paparan herbisida dan pelarut
organik.13
d. Diet dan paparan lainnya
Risiko LNH meningkat pada orang yang mengkonsumsi makanan tinggi lemak hewani,
merokok, dan yang terkena paparan ultraviolet.13
Patogenesis
Sama seperti sel darah pada umumnya, sel limfosit yang berada dalam kelenjar limfe
juga berasal dari sel-sel induk multipotensial di sumsum tulang. Sel induk multipotensial
pada tahap awal bertransformasi menjadi sel progenitor limfosit yang kemudian akan
berdiferensiasi melalui dua jalur. Sebagian mengalami pematangan dalam kelenjar timus
menjadi limfosit T, dan sebagian lagi menuju kelenjar limfe atau tetap dalam sumsum tulang
dan berdiferensiasi menjadi sel limfosit B.13
Saat terjadi rangsangan oleh antigen yang sesuai maka limfosit T ataupun limfosit B
akan bertransformasi menjadi bentuk aktif dan berproliferasi. Limfosit T akan menjalankan
fungsi respon imunitas selular sedangkan limfosit B aktif menjadi limfoblas yang kemudian
menjadi sel plasma membentuk immunoglobulin. Perubahan yang mencolok akan terjadi
pada morfologi sel ini, sitoplasma sel limfosit B yang telah matang berubah menjadi
bersitoplasma banyak pada sel plasma, perubahan ini terjadi pada sel limfosit B disekitar atau
di dalam centrum germinativum sedangkan limfosit T aktif berukurang besar dibanding
dengan limfost T matang.13
Perubahan sel limfosit normal menjadi sel limfoma merupakan akibat terjadinya
mutasi gen pada salah satu sel dari kelompok sel limfosit tua yang tengah berada dalam
proses transformasi menjadi imunoblas. Hal yang perlu diperhatikan adalah proses ini terjadi
di dalam kelenjar getah bening, dimana sel limfosit tua berada di luar dari centrum
germinativum sedangkan imunoblas berada dibagian paling sentral dari centrum
germinativum. Beberapa perubahan yang terjadi pada limfosit tua antara lain :
a. Ukurannya semakin besar
b. Kromatin inti lebih halus
c. Nukleolinya terlihat
d. Protein permukaan sel mengalami perubahan
Hal mendasar lain yang perlu diingat adalah bahwa sel yang berubah menjadi sel
kanker seringkali tetap mempertahankan sifat dasarnya. Misalnya sel kanker dari limfosit tua
tetap mempertahankan sifat mudah masuk ke dalam aliran darah, namun dengan tingkat

9
mitosis yang rendah. Sedangkan sel kanker imunoblas amat jarang masuk ke dalam darah,
namun dengan tingkat mitosis yang tinggi.13
Translokasi Kromosom
Peranan ekspresi gen yang berasal dari kromosom memegang peranan penting dalam
terjadinya non Hodgkin limfoma. Translokasi yang terjadi memegangn peranan penting
dalam perubahan histologi dan imunofenotip pada kelenjar limfe. Translokasi kromosom 14
dan 18 merupakan translokasi yang sering dihubungkan dengan kejadian NHL. Pada 85%
kasus limfoma foliculer dan 28% high grade limfoma ditemukan translokasi pada kromosom
ini. Translokasi dari kromosom ini akan menyebabkan terjadinya pertukatan fungsi yang
berlawanan dari bcl-2 yaitu onkogen inhibitor apoptosis pada kromosom 18 dengan bagian
rantai utama dari immunoglobulin yang terletak pada lokus dari kromosom 14.7
Translokasi pada antara kromosom 11 dan kromosom 14 umumnya akan terdiagnosa
pada penyakit mantle cell lymphoma. Hal ini akan menyebabkna overexpression dari bcl-1
yang merupakan pengatur siklus sel pada kromosom 11. Pada translokasi kromosom 8, akan
terjadi disregulasi c-myc yang biasanya muncul pada high grade lymphoma small noncleaved
lymphoma (Burkitt dan Non-Burkitt) termasuk pada limfoma yang berkaitan dengan HIV.7
Pada anaplastic large cell lymphoma akan terjadi translokasi antara nucleoplasmin
(NPM) dan anaplastic lymphoma kinase (ALK-1) yang diekspresikan oleh kromosom 2 dan
kromosom 5. Hal ini menyebabkan terjadinya penyimpangan protein fusi.7
Translokasi juga bisa terjadi pada 2 kromosom sekaligus. Misalnya pada translokasi
kromosom 11 dan kromosom 18 dengan kromosom 1 dan kromosom 14. Hal ini biasanya
akan dikaitkan dengan MALT (mucosa-associated lymphoid tissue) lymphoma. Ekspresi dari
translokasi ini yang sering muncul adalah translokasi AP12 apoptosis inhibitor dengan
MALT-1 yang akan menyebabkan terjadinya kelainan fusi protein.7
Stadium Limfoma
Penetapan stadium penyakit penting dilakukan untuk dapat menentukan prognosis
dari kejadian yang ada. Namun penetapan stadium dari Hodgkin disease dan Non-hodgkin
lymphoma memiliki kriteria yang berbeda. Untuk pengertian mengenai staging pada kedua
penyakit ini dapat dilihat di bawah ini. (tabel 3)
Tabel 3. Staging pada Hodgkin disease dan Non-hodgkin lymphoma
Stadium Hodgkin disease Non-hodgkin lymphoma
I Keterlibatan 1 regio KGB atau Pembesaran KGB hanya pada 1
struktur jaringa limfoid regio
II Keterlibatan > 2 regio KGB pada Pembesaran 2 regio KGB atau
sisi diafragma yang sama lebih tetapi masih dalam satu
diafragma

10
III Keterlibatan KGB pada dua sisi Pembesaran KGB pada dua sisi
diafragma dapat disertai lien atau diafragma
terlibatnya satu organ ekstranodal
IV Keterlibatan difus/diseminata Mengenai satu organ ekstra
pada satu atau lebih organ limfatik atau lebih tetapi secara
ekstranodal atau jaringan dengan difus
atau tanpa keterlibatan KGB
Pengobatan
Pengobatan pada pasien Hodgkin disease dan Non-hodgkin lymphoma memiliki cara
yang berbeda. Selain itu pengobatan pada setiap staging juga akan berbeda. Pada Non-
hodgkin lymphoma pengobatan akan dibedakan pertama berdasarkan tumor yang ada
aggressive atau indolent. Setelah dibedakan pengobatan selanjutnya akan dilakukan
berdasarkan staging dari tumor yang ada12,13
Non-hodgkin lymphoma stadium I dan stadium II yang indolen membutuhkan kontrol
jangka panjang atau perbaikan masa bebas penyakit secara bermakna dapat dicapai pada
sejumlah pasien Non-hodgkin lymphoma indolen stadium I dan stadium II dengan
menggunakan dosis radiasi 2500-4000 cGy pada lokasi yang terlibat atau pada lapangan yang
lebih kuat yang mencakup lokasi nodal yang berdekatan.13
Pada Non-hodgkin lymphoma stadium III dan stadium IV pengelolaan optimal LNH
indolen stadium lanjut masih kontroversial dan masih melalui berbagai penelitian klinis.
Pilihan standar untuk terapi ini sebagai berikut :
a. Tanpa terapi, dilakukan penundaan terapi dengan melakukan observasi. Pasien stadium lanjut
dapat diobservasi dan dilaporkan memengaruhi harapan hidup. Remisi spontan dapat terjadi.
Terapi diberikan bila ada gejala sistemik, perkembangan tumor yang cepat dan komplikasi
akibat peradangan tumor.
b. Rituximab
Merupakan terapi lini pertama diberikan tunggal ataupun kombinasi. Obat ini merupakan
antibody monoclonal cimera yang telah disetujui untuk terapi LNH indolen yang refrakter.
Obat ini bekerja dengan cara aktivasi antibody-dependent sitotoksik T-sel.
c. Analog purine nucleoside
Memberikan respon sampai 50% pada pasien yang telah diobati ataupun kambuh
d. Kemoterapi kombinasi
Biasanya dilakukan dengan pemberian kombinasi klorambusil dan siklofosfamid plus
kortikosteroid, dan fludaribin plus mitoksantron. Kemoterapi tunggal atau kombinasi
memberikan respon yang baik berkisar 60%-80%. Terapi dapat diteruskan hingga hasil
maksimum. Terapi maintenance tidak meningkatkan harapan hidup, bahkan dapat
memperlemah respon terapi berikut dan efek leukomogenik. Beberapa protocol kombinasi
yang dapat diberikan :

11
CVP : Siklofosfamid + Vinkristin + Prednison
C(M)OPP : Siklofosfamid + Vinkristin + Prokarbazin + Prednison
CHOP : Siklofosfamid + Doksorubisin + Vinkristin + Prednison
FND : Fludabirin + Mitoksantron + Deksametason
Pengobatan pada pasien dengan NHL Hodgkin disease aggressive serta berdasarkan
stadium pada tumor yang diderita. LNH intermediate/high grade terlokalisir termasuk dalam
bulky stadium IA dan IIA dengan keterlibatan ekstranodal dapat diterapi dengan regimen
mengandung doksorubisin (CHOP/CHVmP/BV) minimal 3 siklus dilanjutkan dengan
involved field radiotherapy (ekuivalen dengan 3000 cGy dalam 10 fraksi). Kombinasi
kemoterapi dan radioterapi memberikan efek yang cukup menjanjikan dibandingkan dengan
pemberian kemoterapi saja. Pada LNH bulky stadium III dan IV, dapat diterapi menggunakan
CHOP lengkap atau CHVmP/BV 8 siklus. Hasil penelitian pada pasien yang menggunakan
regimen CHOP 50%-70% pasien mengalami remisi lengkap dan 75% diantaranya dapat
bertahan hidup hingga 3 tahun.13
Pada pasien yang mengalami refrakter karena gagal complete respons diberikan terapi
salvage dengan radioterapi jika area yang terkena tidak ekstensif. Tetapi pilihan bila
memungkinkan adalah kemoterapi salvage diikuti dengan transplantasi stem cell autologus.
Kemoterapi salvage terdiri dari high dose sitosin arabinose, kortikosteroid dan sisplatin.13
Pengobatan pada MCL (Mantle cell lymphoma) diberikan terapi hyper CVAD
alternating dengan metotreksat dosis tinggi plus sitarabin dosis tinggi. Rituximab juga dapat
13
ditambahkan pada regimen pengobatan ini. Siklus regimen diulang setiap 21 hari. Terapi
yang dimaksud meliputi beberapa obat seperti berikut :
a. Induksi 1
Rituximab 375 mg/m2 IV hari I dan VIII
Siklofosfamid 300 mg/m2 IV setiap 12 jam hari I-III
Vinkristin 2 mg IV hari ke 4 dan 11
Doksorubrisin 25 mg/m2, infus selama 24 jam hari ke 4 dan 5
Deksametason 40 mg IV atau PO, hari I-IV dan hari ke 11 dan 14
Granulosit Colony-stimulating factor (G-CSF) 5 ug/kg IV atau SC setiap hari, dimulai hari ke
6 sampai neutrophil . 4500/ul
b. Induksi 2
Rituximab 375 mg/m2 IV infus selama 1 hari
Metotreksat 200 mg/m2 IV bolus hari 1 diikuti 800 mg/m2 infus IV selama 24 jam ; berikan
larutan IV alkalin

12
Leukovorin 50 mg PO diberikan 24 jam setelah infus metotreksat selesai diikuti 15 mg PO
setiap 6 jam total 8 dosis
Sitarabin 3000 mg/m2 IV selama 1 jam setiap 12 jam total 4 dosis dimuali hari ke 2
Prognosis
Perkembangan teknologi yang ada selama 20 tahun terakhir meningkatkan persentase
hidup pasien yang telah terdiagnosa NHL. Lebih dari 50% atau tepatnya 63% pasien akan
hidup hingga 5 tahun setelah terdiagnosa. Prognosis NHL akan ditentukan oleh beberapa
faktor berikut :7
a. Histologi tumor
b. Stage tumor
c. Usia pasien
d. Ukuran dan jumlah tumor
e. Kadar serum LDH (Lactate dehydrogenase)
f. Beta-2 microglobulin
g. Ada atau tidaknya penyebaran extranodal
International Prognostic Index (IPI) yang pada awalnya dibuat untuk menentukan
prognosis dari NHL agresif ternyata juga bisa digunakan untuk menentukan prognosis dari
low grade lymphoma dan mantle cell lymphoma. Index ini berguna untuk mengidentifikasi
keadaan pasien pada keadaan resiko tinggi berdasarkan pemeriksaan spesifik yang
melibatkan aspirasi sumsum tulang, CNS, hati, testis, paru dan limpa.7
Penentuan index prognosis pada pasien usia di bawah 60 tahun telah dilakukan. Pada
pasien muda dengan limfoma stage III atau IV, tingginya serum LDH dan penurunan fungsi
hidup secara spesifik dikaitkan dengan prognosis yang buruk. Pada pasien anak-anak dan
remaja memiliki prognosis yang lebih baik pada limfoma CNS. Status kerja ECOG dari 0-1
dikaitkan dengan peningkatan angka harapan hidup. Pemberian methotrexate dosis tinggi
dihubungkan dengan respon yang lebih baik.7 Gejala klinis yang termasuk dalam IPI dan bisa
dikaitkan dengan angka harapan hidup pada penderita limfoma sebagai berikut :
Tabel 4. IPI scoring
Kriteria Keterangan Skor
Kurang dari 60 0
Usia
Lebih dari 60 1
Normal 0
Kadar LDH
Peningkatan 1
Grade 0-1 0
Status kerja (ECOG)
Grade 2-4 1
Stage I-II 0
Ann Arbor Stage
Stage III-IV 1
0-1 0
Jumlah extranodul
Lebih dari 1 1

13
Berdasarkan tabel di atas, apabila jumlah skor 0-1 maka prognosis 75%, bila skor 2-3
maka prognosis 50% dan apabila skor 4-5 maka prognosis akan di bawah 25%. 7 Pada pasien
dengan limfoma foliculer yang merupakan subtype kedua tersering dari NHL perkiraan
prognosisnya menggunakan Follicular Lymphoma International Prognosis Index (FLIPI)
yang akan berbeda dengan skoring pada IPI. Skoring pada FLIPI akan meliputi 5 faktor
prognosis di bawah ini :
a. Age (>60 y)
b. Ann Arbor stage (III-IV)
c. Hemoglobin level (< 12 g/dL)
d. Number of nodal areas (>4)
e. Serum LDH level (above normal)

Apabila pasien memiliki kriteria sesuai di atas maka akan diberikan skor 1 dan jika
tidak memiliki maka skor akan 0. Akumulasi dari skor yang ada apabila 0-1 dikatakan
sebagai lowrisk, skor 2 adalah intermediate risk, dan poor risk jika pasien memiliki 3-5
faktor.7

Edukasi Pasien

Pasien harus diberikan penjelasan mendetail dan jelas mengenai pengobatan yang
tersedia, prognosis dan juga penjelasan efek samping dari kemoterapi. Berikan juga masukan
untuk konsultasi ke bagian onkologi jika diperlukan dan edukasi pasien mengenai
kedaruratan kebutuhan akan pembedahan.7

Daftar Pustaka
1. Gleadle, Jonathan. Pengambilan anamnesis. Dalam : At a glance anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Jakarta : Penerbit Erlangga; 2007. h. 1-4
2. Morton PG. Panduan pemeriksaan kesehatan dengan dokumentasi SOAPIE. Edisi 2.
Jakarta : Penerbit buku kedokteran EGC ; 2003. H. 56
3. Muhlisin A. Penyebab keringat malam yang paling utama. 2 Januari 2017. Sumber :
https://mediskus.com/penyakit/penyebab-keringat-malam-yang-paling-utama .
Diakses : 1 Mei 2017
4. Pearce E. Anatomi dan fisiologi untuk paramedis. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama ;
2009. H. 195-7

14
5. Underwood JCE, Cross SS. General systematic pathology. Edisi 5. London :
Churchill Livingstone Elsevier ; 2009. H. 598-612
6. Yayasan spiritia. Lembaran informasi tentang HIV dan AIDS untuk orang yang hidup
dengan HIV. Jakarta : Yayasan Spiritia ; 2015. H. 509
7. Vinjamaram S. Non-hodgkin lymphoma. 22 September 2016. Sumber :
http://emedicine.medscape.com/article/203399-overview#a2 . Diakses : 1 Mei 2017
8. Madkour MM. Tuberculosis. Spinger-verlag Berlin Heidelberg : Germany ; 2004. H.
446-8
9. Kanwar VS. Lymphadenopathy. 14 Februari 2017. Sumber :
http://emedicine.medscape.com/article/956340-overview . Diakses : 1 Mei 2017
10. Parridge E. Lymphadenitis. 1 November 2016. Sumber :
http://emedicine.medscape.com/article/960858-overview#a5 . Diakses : 1 Mei 2017
11. Boone J. Kikuchi disease. 14 April 2016. Sumber :
http://emedicine.medscape.com/article/210752-overview . Diakses : 1 Mei 2017
12. Papdi Hodgkin disease
13. LNH PAPDI

15

Anda mungkin juga menyukai