Anda di halaman 1dari 9

Diabetes Melitus Tipe 1 pada Anak Usia 6 Tahun

Henricho Hermawan
10.2014.108 / D5
2 Desember 2016
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Alamat Korespondensi Jl.Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510
Email: henricho.hermawan@windowslive.com

Pendahuluan
Pertumbuhan seorang anak membutuhkan berbagai macam nutrisi yang diperlukan
tubuh. Nutrisi ini salah satu yang diperlukan adalah kalori yang diolah menjadi tenaga dan
menjadi sumber nutrisi bagi sel-sel untuk berkembang. Kalori ini diperoleh dari karbohidrat,
protein dan juga lemak yang terkandung dalam makanan yang dikonsumsi. Asupan kalori ini
perlu diperhatikan keseimbangannya agar tidak terjadi kelebihan ataupun kekurangan.
Pada beberapa kasus, pertumbuhan dapat terganggu karena tubuh tidak memiliki
enzim yang mampu menyimpan kelebihan kalori dari asupan makanan untuk dijadikan
cadangan tenaga. Keadaan ini terjadi salah satunya karena tidak adanya enzim insulin yang
diproduksi dari sel beta pancreas. Hal ini dapat terjadi karena adanya kelainan genetic pada
sel beta, membuat sel tersebut tidak mampu menghasilkan enzim insulin. Akibatnya terjadi
gangguan pada kadar gula darah karena kadar gula darah yang berlebihan tidak mampu
diubah menjadi glikogen melalui proses glikogensintesis. Justru, karena tubuh tidak mampu
membuat glikogen, sel-sel di dalam tubuh memerlukan asupan glukosa dari sumber-sumber
cadangan glukosa seperti protein dan lemak yang dipecah melalui proses gluconeogenesis.
Oleh karena itu, pada pembahasan kali ini akan menekankan pembahasan mengenai
penanganan serta prognosis dari gangguan sel beta pancreas yang mengakibatkan terjadinya
diabetes mellitus tipe 1.
Anamnesis
Anamnesis adalah pengambilan data yang dilakukan oleh seorang dokter dengan cara
melakukan serangkaian wawancara dengan pasien (autoanamnesis), keluarga pasien atau
dalam keadaan tertentu dengan penolong pasien (aloanamnesis).1 Anamnesis harus dilakukan
dengan tenang, ramah, sabar serta menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh pasien.2
Ketika melakukan anamnesis perlu membedakan antara sakit (illness) dan penyakit
(disease). Sakit adalah suatu bentuk penilaian seseorang akan kondisi yang terjadi pada
dirinya sedangkan penyakit lebih menunjukkan kepada suatu bentuk reaksi yang terjadi di
dalam tubuhnya akibat suatu trauma, mikoorganisme dan sejenisnya yang menyebabkan
perubahan fungsi tubuh.2 Dalam melakukan anamnesis harus diusahakan untuk mendapatkan
data-data sebagai berikut:
a. Waktu dan lamanya keluhan
b. Sifat dan beratnya serangan
c. Lokasi dan penyebarannya
d. Hubungan dengan waktu
e. Hubungan dengan aktivitas
f. Keluhan yang menyertai serangan
g. Apakah keluhan baru pertama kali atau sudah berulang kali
h. Factor risiko dan pencetus serangan
i. Apakah ada kerabat yang menderita keluhan sama
j. Riwayat perjalan ke daerah endemis
k. Perkembangan penyakit
l. Upaya-upaya yang telah dilakukan
Pertanyaan Anamnesis
1. Berat badan menurun sejak kapan?
2. Berapa tinggi badannya?
3. Apakah ada perubahan pola makan? Jadi banyak/sedikit?
4. Apakah ada mual/muntah?
5. Apakah ada diare atau gangguan saluran pencernaan?
6. Bagaimana warna pipisnya? Sering/jarang? Berapa banyak volumenya? Warnanya
seperti apa?
7. Apakah ada rasa haus yang terus menerus?
8. Apakah anak sering berkeringat padahal berada diruang yang dingin?
9. Apakah ada rasa sesak nafas/berdebar-debar?
10. Apakah ada gangguan penglihatan? Misalnya pandangan kabur?
11. Apakah ada perubahan besar lidah? Terasa lebih besar?
12. Riwayat dahulu : Apakah dahulu pernah mengalami keadaan seperti demikian?
13. Riwayat keluarga : Apakah ada keluarga yang menderita keadaan seperti ini? Atau
penyakit seperti diabetes, jantung, ginjal, pernapasan?
Hasil Anamnesis
1. Pasien mengeluh sering merasa haus
2. Minum banyak
3. Sering kencing
4. Sering cepat merasa lapar
5. Badan lemas
6. Pandangan kabur
7. Ayah menderita kencing manis
Hasil Pemeriksaan Fisik
1. Kepala : Normocepali
2. THT : T2-T2, Permukaan licin
3. Leher : dalam batas normal
4. Jantung : BJ 1-2, Normal, murmur (-)
5. Paru : Vesikuler, ronchi (-)
6. Abdomen : lemas, bising usus (+), hepar dan lien tidak teraba
7. Ekstremitas : akral, berkeringat
Hasil Pemeriksaan Penunjang
1. Urine : glukosa (+3), keton (+)
2. Gula darah sewaktu : 300 mg/dL
3. Puasa : 150 mg/dL
4. Hb A1c : 10%
5. C. peptide 0,4 %
Pemeriksaan Lanjutan
1. Funduskopi
2. Pemeriksaan Hb A1c setiap 3 bulan
3. Fungsi ginjal : ureum dan kreatinin, Urine : mikroalbuminemia
4. Tumbuh kembang
5. Analisa gas darah
WD
1. Diabetes Melitus tipe 1
Hal ini dapat ditegakkan karena dari hasil anamnesis didapatkan gejala 3P (Poliuria,
Polifagi dan polidipsi). Selain itu pada riwayat keluarga juga didapatkan bahwa ayah
dari pasien mengalami kencing manis/diabetes. Dari hasil pemeriksaan laboratorium
juga didapatkan kadar gula darah sewaktu dan puasa meningkat jauh di atas nilai
normal. Dipilih tipe 1 karena umumnya diabetes yang terjadi pada anak merupakan
tipe 1. Namun untuk memastikan hal ini dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium.3
DD
1. Diabetes melitus tipe 2
Tidak dipilih diabetes 2 sebagai working diagnosis karena jarang terjadi pada anak,
namun untuk benar-benar menyingkirkan dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium.
Tidak dipilih penyakit tiroid dikarenakan tidak ditemukannya pembesaran ataupun
kelainan pada bagian leher. Selain itu juga adanya gejala berkeringat berlebihan,
perasaan berdebar, pembesaran dari lidah, kelainan pada bagian mata.
Etiologi
Umumnya terjadi karena adanya kelainan genetic menyebabkan kerusakan pada sel
beta pancreas yang menghasilkan insulin.3 Hal ini karena tubuh memproduksi sekumpulan
antibody terhadap insulin seperti antibody sel islet, autoantibodi insulin, antibody terhadap
acid decarboxylase dan lain-lain. Selain itu diabetes mellitus tipe 1 juga bisa berasal dari
kelainan secara keturunan. Gen pembawa yang diduga membawa 50% kemungkinan
terjadinya sifat ini adalah chomoson 6p21. Pada orang caucasia 90-95% dengan penyakit
bawaan diduga dibawa dan diekspresikan oleh HLA-DR3 atau HLA-DR4 haplotype pada
40% subject, sedangkan sekitar 40-50% subject memiliki DM1 dengan kombinasi DR3 dan
DR4.4
Epidemiologi
Jumlah kejadian berdasarkan ras, tertinggi terjadi pada orang keturunan eropa, diikuti
oleh keturunan African-american dan Hispanic, dan pada keturunan asia dan native American
jumlahnya relative sedikit. Berdasarkan kepada kemunculannya pada saudara, biasanya akan
ada kemungkinan 6% kemunculan DM1 apabila saudara kandung. DM1 sendiri
berkontribusi sekitar 5-10% dari kasus diabetes yang ada, dan sekitar 75% kasus terdiagnosa
ketika pasien berusia kurang dari 18 tahun. Pada masing-masing kasus yang terjadi, tingkat
kerusakan sel beta berbeda-beda, sehingga pada beberapa kasus pula, dapat terdiagnosa
ketika akan memasuki usia pubertas. Gejala pada DM1 baru akan muncul apabila kerusakan
sel beta pancreas telah mencapai 80-90%.3
Patofisiologi
Pada kasus diabetes type 1 yang disebabkan oleh autoimun dan nonautoimun. Faktor
penyebab kerusakan sel beta pancreas oleh karena autoimun dikelompokan dalam type 1A
dan yang non autoimun seperti pada kasus pankreatitis dikelompokan dalam type 1B.5
Faktor lingkungan diperkirakan memiliki dampak yang signifikan dalam terjadinya
kerusakan pada sel beta pancreas. Beberapa infeksi virus telah diimplikasikan sebagai
perusak dari sel beta pancreas secara khusus enterovirus walaupun patofisiologi terjadinya
perusakan belum dapat dipastikan. Selain virus infeksi mikroorganisme seperti Helicobacter
pylori juga dianggap dapat menyebabkan terjadiya kerusakan walaupun angka kejadiannya
masih sedikit.5

Penghancuran Sel Beta Pancreas


Hal yang mendasari terjadinya proses autoimun pada diabetes type 1 adalah adanya
kegagalan toleransi sel T spesifik oleh antigens islet. Kegagalan toleransi ini memicu
terjadinya self reactive T sel di thymus juga fungsi regulasi dari sel T ataupun resistensi sel T
karena supresi dari regulator sel. Sel T yang telah terjadi auto reaktif tetap dapat merespon
apabila adanya suatu antigen. Inisiasi aktivasi sel T tadi terjadi pada peripancreatic limfa
nodus sebagai respon terhadap sel islet yang rusak. Sel T yang terautoaktivasi akan masuk ke
dalam pancreas, yang menyebabkan terjadinya perusakan sel beta pancreas.4
Beberapa jenis sel T telah diketahui berimplikasi pada terjadinya kerusakan pada sel
beta pancreas. Seperti TH1 yang mensekresi sitokin (IFN gamma dan TNF yang mencederai
sel B), dan CD8+ CTLs yang bisa membunuh sel B. Islet autoantigen yang menyerang imun
tubuh juga diperkirakan menargetkan hal lain seperti insulin, sel B enzim glutamic acid
decarboxylase dan islet cell autoantigen 512.4
Manifestasi Klinik
Hiperglikemia terjadi karena insulin yang disekresikan tidak mampu mengurangi
kadar gula di dalam darah dan tidak mampu membuat terbentuknya glukosa hepar dan renal.
Hal ini menyebabkan adanya keadaan hiperglikemia, awalnya akan terjadi secara post
prandial 2 jam. Selanjutnya jika dibiarkan menjadi hiperglikemia puasa. Apabila hal ini terus
dibiarkan dapat memicu terjadinya ketoasidosis. Ketoasidosis sendiri merupakan tanda
terjadinya defisiensi insulin total. Hal ini terjadi karena adanya pemecahan terus-menerus dari
lipid dan protein yang menghasilkan produk akhir benda keton (aseton, asam aseto asetat,
asam beta hidroksibutirat) yang dilakukan melalui proses gluconeogenesis untuk
menghasilkan energy bagi tubuh. Glikosuria akan terjadi apabila konsentrasi glukosa serum
melebihi ambang batas reabsorpsi ginjal sekitar 180 mg/dL. Terjadinya glikosuria
menyebabkan terjadinya diuresis osmotic (termasuk kehilangan natrium, kalium dan
elektrolit lainnya) sehingga timbul dehidrasi. Polidipsia terjadi karena tubuh berusaha
mengganti cairan yang hilang, sedangkan penurunan berat badan menjadi turun akibat proses
katabolisme yang terjadi terus menerus lewat glikosuria dan ketonuria.3
Diagnosa terjadinya ketonuria dapat ditegakkan apabila kadar arteri kurang dari 7.25,
kadar bikarbonat darah kurang dari 15 mEq/L dan keton dalam serum atau urin meningkat.
Diluar pemeriksaan laboratorium, kecurigaan terhadap terjadinya ketoasidosis perlu
dipikrikan apabila gejala 3P DM disertai dengan mual, muntah, dan nyeri perut seperti akut
abdomen. Selain itu pada KAD, akan normal terjadi polyuria disertai dengan dehidrasi.3
Terapi Ketoasidosis (Jika terjadi, pada kasus tidak terjadi)
a. Dehidrasi
Derajat dehidrasi pada KAD, dianggap 10%. Bolus cairan isotonic IV (ringer laktat)
sebanyak 10-20 mL/kg harus diberikan untuk mengembalikan volume intravascular
dan perfusi renal. Sisa deficit cairan setelah bolus harus ditambahkan pada kebutuhan
cairan rumatan dan total cairan harus diganti secara perlahan dalam waktu 36-48 jam.
Diuresis osmotic minimal biasanya jika kadar glukosa < 300 mg/dL. Untuk
menghindari perubahan osmolalitas serum yang terlalu cepat sebaiknya digunakan
NaCl 0,9% pada 4-6 jam pertama dan selanjutnya NaCl 0,45%.3
b. Hiperglikemia
Insulin kerja cepat diberikan drip IV kontinu 0,1 U/kg/jam. Kadar glukosa tidak boleh
turun melebihi 100 mg/dl, Jika kadar glukosa 200-300 mg/dl maka perlu ditambahkan
glukosa ke dalam intravena dengan tetap memberikan insulin. Pemberian insulin tidak
boleh dihentikan hingga asidosis terkoreksi.3
c. Asidosis
Pemberian insulin akan secara perlahan-lahan memperbaiki pH darah. Pemberian
terapi bikarbonat hanya perlu diberikan apabila pH turun melebihi 7,0.3
d. Imbalans elektrolit
Pemberian insulin dan glukosa akan membuat kadar kalium turun secara mendadak.
Terapi diberikan apabila kadar insulin kurang dari 6 mEg/L. Terapinya adalah dengan
memberikan kalium klorida 50% dan kalium fosfat 50% dengan konsentrasi 20-40
mEq/L.3
Terapi Diabetes Melitus
Sebelum memulai terapi, harus diketahui target tujuan terakhir terapi yang diberikan. Pada
anak usia dibawah 5 tahun targetnya adalah glukosa darah 80-180 mg/dL, usia sekoah 80-150
mg/dL dan pada usia remaja 70-150 mg/dL.
a. Edukasi
Perlu diberikan edukasi kepada keluarga untuk terus membantu mengawasi pemberian
pengobatan karena umumnya anak berusia dibawah 12 tahun memiliki kesulitan
untuk mengatur waktu pengobatan atau tidak mengerti seberapa penting pengaturan
dosis yang diberikan.3
b. Insulin
Pemberian insulin dapat diberikan pada penanganan pasien DM1 yang
mengalami KAD. Insulin pada pasien DM1 dapat digunakan dalam berbagai macam
kombinasi atau regimen, tergantung dari kebutuhan dan target masing-masing pasien.
Regimen yang paling sering digunakan terdiri dari insulin kerja cepat untuk setiap
makan dikombinasikan dengan insulin kerja panjang sebagai basal sebelum tidur.
Lakukanlah penghitugan dosis total insulin, 50% dari dosis tersebut akan diberikan
sebagia insulin basal, dan sisanya akan diberikan sebagai insulin kerja cepat yang
akan dibagi lagi sesuai dengan kebutuhan. Untuk koreksi hiperglikemia perlu
ditentukan sensitivitas insulin dengan menggunakan aturan 1800 yaitu dengan
membagi 1800 dibagi dengan dosis total insulin harian untuk menentukan berapa
mg/dL glukosa yang akan diturunkan menjadi 1 unit insulin. Sedangkan rumus 450
digunakan untuk menghitung rasio insulin terhadap kandungan karbohidrat dalam
makanan.3
Jika pasien tidak memungkinkan menyuntik insulin pada siang hari, maka
pada pagi hari dapat digunakan insulin kerja menengah seperti NPH dengan
kombinasi insulin kerja cepat. Pasien yang menggunakan kombinasi ini harus patuh
mengenai waktu makan pagi dan makan siang, makan malam dan bila diperlukan
tambahkan snack. Pemberian insulin tambahan diberikan insulin kedua diberikan pada
sore hari.3
Insulin lispro dan aspart dan glulisine adalah analog human-insulin sintetik
perubahan rantai asam amino menghasilkan absorpsi dan kerja yang lebih cepat.
Insulin ini harus digunaka dalam kombinasi dengan insulin kerja panjang karena
durasi kerjanya pendek. Glargine dan determir merupakan insulin analog kerja
panjang. Perubahan rantai asam amino meningkatkan kelarutan insulin pada pH asam
dan menurunkan kelarutannya pada pH fisiologi.3
c. Nutrisi
Menyesuaikan jumlah asupan makanan yang diberikan dengan dosis insulin
untuk mempertahankan gula dalam kisaran target. Hal ini untuk mencegah terjadinya
hipoglikemia atau hiperglikemia. Sebaiknya 50-65% dari kalori total merupakan
karbohidrat, 12-25% protein dan lemak <30%. Asupan lemak jenuh harus kurang dari
10%, dan asupan kolesterol harus kurang dari 300 mg/24 jam.3
d. Olahraga
Hal ini penting dilakukan untuk meningkatkan sensitivitas insulin dan membantu
menjaga berat badan tetap ideal, tekanan darah dan kadar Kolesterol HDL. Namun
olahraga berlebihan dapat menyebabkan hipoglikemia, yang biasa terjadi 2-12 jam
setelahnya maka dari itu perlu dilakukan pengawasan kadar gula darah sebelum dan
sesudah berolahrga. Pengurangan dosis insulin dan memakan camilan sebelum
olahraga juga dapat dilakukan untuk menghindari terjadinya hypoglikemia.3
Pengontrolan Glukosa
Glikohemoglobin atau hemoglobin A1c menunjukkan rerata konsentrasi glukosa rata-
rata selama 3 bulan terakhir. Hemoglobin A1c memberikan informasi penting tentang control
glikemik jangka panjang. Glikohemoglobin harus di ukur 4 kali per tahun dan hasilnya
berguna untuk konseling pasien. Pemeriksaan pada pasien dengan hemoglobinopati tidak
dapat menggunakan pemeriksaan HbA1c tapi dapat digunakan pemeriksaan albumin
terglikosilasi atau fruktosamin.3
Goal Nutrisi
Tujuan akhir dari pengaturan nutirisi pada pasien diabetes adalah mengedukasi pasien
diabetes agar mereka mampu mengubah pola makan serta melakukan olahraga agar dapat
memperbaiki metabolism yang terjadi. Beberapa batasan goal dari pengaturan nutrisi yang
ada sebagai berikut:
1. Menjaga kadar glukosa pada kadar normal dengan mengatur asupan makanan, insulin
endogen dan eksogen dan keadaan hypoglikemik dan juga aktivitas fisik. Goal ini
akan berubah seiring dengan meningkatnya produksi insulin endogen
2. Menjaga kadar serum lipid darah dan menjaga tekanan darah pada kadar normal
3. Menjaga asupuan kalori tetap adekuat
Agar menjaga pertumbuhan pada anak-anak, dan menjaga kesehatan pada
orang dewasa
Menjaga asupan bagi ibu hami atau ibu yang menyusui
4. Mencegah terjadinya komplikasi akut dan kronik
5. Meningkatkan kesehatan secara umum melalui asupan cukup dari nutrisi
Komplikasi
Kurangnya pengontrolan terhadap kadar gula darah dapat mengakibatkan terjadinya
hipoglikemia dan juga memicu terjadinya KAD pada komplikasi akut, sedangkan pada
komplikasi kronis dapat menyebabkan terjadi neuropati dan retinopati.3
Prognosis
Kontrol diabetes yang intensif, termasuk pemeriksaan glukosa darah yang dilakukan
dengan rutin dan injeksi harian yang multiple atau pompa insulin dapat mengurangi
progresifitas komplikasi diabetes. Tatalaksana intensif menurunkan risiko retinopati sebsar
76%, microalbuminuria sebesar 39% dan neuropati klinis sebesar 60%. Pada usia pubertas
dan dewasa, manfaat terapi intensif ini jauh lebih besar daripada resiko terjadi hipoglikemia.
Pada pasien yang lebih muda, risiko terjadinya hipoglikemia jauh lebih besar dan manfaat
control glukosa pekat jauh lebih rendah sehingga regimen tidak perlu terlalu intensif.3

Daftar Pustaka
1. Gleadle, Jonathan. Pengambilan anamnesis. Dalam : At a glance anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Jakarta : Penerbit Erlangga; 2007. h. 1-4
2. Morton PG. Panduan pemeriksaan kesehatan dengan dokumentasi SOAPIE. Edisi 2.
Jakarta : Penerbit buku kedokteran EGC ; 2003. H. 56
3. Jospe N. Endokrinologi. Dalam : Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman
RE. Nelson : ilmu kesehatan anak esensial. Edisi 6. Singapore : Elsevier Saundres ;
2011. H. 682-8
4. Maitra A. The endocrine system. Dalam : Kumar V, Abbas AK, Aster JC. Robbins and
Cotran : pathologic basic of disease. Edisi 9. Philadelphia : Elsevier saunders ; 2015
5. Brashers VL, Jones RE, Huether SE. Alterations of hormonal regulations. Dalam :
McCance KL, Huether S, Brashers V, Rote NS. Pathophysiology : the biologic basic
for disease in adults and children. Edisi 7. St Louis : Elsevier Mosby ; 2014. H. 375-
7
6. Lutz C, Mazur E, Litch N. Nutrition and diet therapy. Edisi 6. Philadhelphia : F.A
Davis Company ; 2015. H. 382

Anda mungkin juga menyukai